III. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 III. TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini, akan dipaparkan tinjauan penelitian terdahulu, serta tulisan maupun makalah tentang perkembangan dan kebijakan percengkehan nasional yang terkait dengan penelitian ini, juga sekaligus dengan aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian baik dari ruang lingkup maupun metodologinya Tinjauan Penelitian Terdahulu Tentang Percengkehan Nasional Penelitian tentang komoditas cengkeh di Indonesia telah pernah dilakukan oleh para peneliti baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pada bagian ini, akan diuraikan beberapa hasil penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Studi-studi tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian, menyangkut aspek yang ditelaahnya yaitu, aspek permintaan dan penawaran cengkeh, aspek kebijakan dalam produksi cengkeh, aspek tataniaga dan kebijakan dalam tataniaga cengkeh, serta aspek industri rokok kretek Aspek Permintaan dan Penawaran Cengkeh Studi tentang permintaan dan penawaran cengkeh pernah dilakukan antara lain oleh Gwyer, Chaniago dan Wachyutomo. Penelitian Gwyer (1976), bertujuan untuk memproyeksikan penawaran dan permintaan cengkeh Indonesia. Penawaran cengkeh diproyeksikan melalui produksi menggunakan metode peramalan rata-rata bergerak (moving average), sedangkan permintaan cengkeh diproyeksikan dengan menggunakan dua metode yaitu metode pertama adalah berdasarkan data yang lama kemudian membuat ekstrapolasi dan metode kedua membuat fungsi permintaan. Hasil penelitiannya, menyatakan bahwa pada

2 60 tahun 1983, terjadi keseimbangan antara produksi dan kebutuhan cengkeh domestik. Penelitian Chaniago (1980) menggunakan model ekonometrik dalam bentuk persamaan simultan. Tujuannya untuk mengetahui hubungan penawaran dan permintaan rokok kretek, menilai pengaruh perubahan peubah-peubah utama yang terkandung di dalamnya, dan menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan cengkeh, sehingga dapat membuat proyeksi permintaan cengkeh. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kuantitas rokok kretek yang ditawarkan tergantung pada tersedianya bahan baku cengkeh baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor, sedangkan perubahan harga rokok kretek tidak berpengaruh. Faktor penghambat bagi perkembangan industri rokok kretek adalah harga tembakau dan pita cukai yang tinggi. Sedangkan yang mempengaruhi permintaan rokok kretek adalah perubahan harganya dan kenaikan pendapatan. Kemudian, Wachyutomo (1996) yang menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap penawaran dan permintaan cengkeh di Indonesia, juga menggunakan model ekonometrik dalam bentuk persamaan simultan. Hasil penelitiannya antara lain menunjukkan bahwa satu-satunya kebijakan yang berdampak terhadap peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh dan produsen sigaret kretek adalah kenaikan harga cengkeh di tingkat petani. Pada penelitian Gwyer dan Chaniago, peubah-peubah dalam model diklasifikasikan menjadi peubah endogen dan eksogen dan model dibangun dalam struktur kausalitas. Perbedaan kedua studi tersebut dengan penelitian

3 61 Wachyutomo, adalah untuk menganalisis dampak kebijakan dalam percengkehan nasional disusunlah beberapa alternatif kebijakan yang dianggap relevan Aspek Kebijakan dalam Produksi Cengkeh Penelitian menyangkut kebijakan dalam produksi cengkeh pernah dilakukan oleh Dumais, Ruaw dan Talumingan (2002). Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak yang dapat ditimbulkan apabila diterapkannya usulan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Minahasa berupa pajak terhadap komoditas cengkeh. Penelitian ini menggunakan analisis PAM (Policy Analysis Matrix). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengukur efek dari kebijakan pemerintah yang ada dan yang baru diusulkan dalam memproduksi cengkeh dengan tingkat teknologi tertentu pada beberapa sistem pola tanam dengan zone ekologi yang berbeda dan (2) menentukan IRR (internal rate return) pada teknologi yang ada sehubungan dengan pernyataan pemerintah bahwa pajak keuntungan dapat digunakan untuk meningkatkan teknologi dalam pertanaman cengkeh. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa: (1) perbedaan antara harga privat dan harga sosial dalam produksi cengkeh sangat kecil mungkin disebabkan datanya yang kurang akurat dan (2) dalam beberapa zone ekologi yang berbeda dan dengan menggunakan sumberdaya yang ada, produksi cengkeh di Kabupaten Minahasa sangat efisien Aspek Tataniaga dan Kebijakan dalam Tataniaga Cengkeh Studi tentang implementasi kebijakan dalam tataniaga cengkeh di Provinsi Sulawesi Utara, pernah dilakukan oleh Sarijowan dan Rumondor, pada kurun waktu yang berbeda.

4 62 Penelitian Sarijowan (1986), mengkaji tentang keberhasilan KUD di Sulawesi Utara dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh berkaitan dengan Keppres RI Nomor 8 Tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Produksi Dalam Negeri. Analisis data yang digunakan adalah analisis fungsi diskriminan dan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) beberapa keragaan KUD/koperasi seperti, perkembangan jumlah anggota, pelayanan kepada anggota dan peran serta anggota melunasi simpanan wajib dan pokok, akan menentukan keberhasilannya dalam melaksanakan tataniaga cengkeh dan (2) pemasaran cengkeh melalui KUD/koperasi belum mampu meningkatkan peran serta anggota menjual cengkeh ke KUD/koperasi, karena petani/anggota belum menerima harga yang ditetapkan pemerintah. Selanjutnya, Rumondor (1993) mengkaji secara lebih komprehensif perkembangan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara. Dalam studinya tersebut, dibahas bagaimana perkembangan sistem tataniaga cengkeh sejak awal Repelita I serta bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap efisiensi tataniaga dan tingkat pendapatan petani cengkeh. Analisis data yang digunakan menggabungkan pendekatan deskriptif dan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa perkembangan pelaksanaan tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara sejak awal Repelita I sampai tahun 1990 didominasi oleh lembaga tataniaga pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau (PAP) yang merupakan perpanjangan tangan dari pabrik rokok kretek (PRK). Namun, sejak diberlakukan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992, peran lembaga tersebut cenderung berkurang digantikan oleh lembaga formal seperti KUD, PUSKUD dan BPPC. Namun, dampak kebijakan pemerintah tersebut, ternyata kurang berhasil apalagi pada saat panen raya tahun diakibatkan belum efisiennya

5 63 tataniaga cengkeh sehingga pendapatan petani cenderung turun karena masih kurang disiplinnya para pelaksana tataniaga dalam menjalankan fungsinya serta tidak dilibatkannya PRK secara aktif dalam pelaksanaan tataniaga cengkeh. Selain studi-studi yang dikemukakan di atas, terdapat juga studi yang dilakukan oleh Gonarsyah et al. (1995) guna mengevaluasi pelaksanaan tataniaga cengkeh dalam negeri khususnya pelaksanaan tataniaga cengkeh menurut Keppres RI Nomor 20 Tahun Analisis data yang digunakan bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa kesimpulan penting yang diperoleh adalah: (1) pelaksanaan tataniaga cengkeh yang berlaku di lapangan, ternyata tidak sesuai dengan Keppres RI Nomor 20 Tahun 1992 dan (2) sistem tataniaga cengkeh cenderung menjadi semakin tidak efisien karena rantai tataniaga menjadi lebih panjang. Sementara, saran yang dikemukakan adalah memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat ditempuh yaitu: (1) membatasi kegiatan penyanggaan dan (2) membatasi kegiatan penyanggaan dengan mengikut sertakan Gappri. Sebagai lanjutan dari studi di atas, Gonarsyah (1996) kembali menganalisis penyempurnaan kebijakan tata niaga cengkeh (TNC) untuk mengantisipasi periode pasca GATT. Data dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan yaitu : (1) PAM dan (2) ekonometrik berupa persamaan simultan. Temuan yang diperoleh adalah pengendalian pasokan cengkeh dapat dilakukan dengan menggunakan 4 instrumen kebijakan yaitu: (1) pengendalian impor, (2) pemantauan harga dasar cengkeh, (3) pengendalian luas areal, dan (4) mengarahkan kawasan timur Indonesia sebagai wilayah pengembangan cengkeh.

6 Aspek Industri Rokok Kretek Industri rokok kretek menarik perhatian Bird, dengan melakukan studi pada tahun Tujuannya penelitiannya adalah untuk menguji hubungan antara struktur pasar, persaingan perusahaan dan intervensi pemerintah dalam sektor manufaktur Indonesia selama periode 1975 hingga Terdapat dua metodologi empiris yang digunakan, yaitu: (1) pendekatan Structure-Conduct- Performance (S-C-P) untuk organisasi industrinya dan (2) studi kasus untuk industri rokok dan industri semen. Temuannya antara lain: (1) pada tahun 1994, industri rokok kretek terkonsentrasi pada empat pabrik rokok besar, yaitu PT Gudang Garam, PT Djarum, PT Sampoerna dan PT Bentoel, dengan rasio konsentrasi empat perusahaan tersebut (CR4 ratio) pada pasar rokok kretek adalah sebesar 85 persen dari 144 perusahaan rokok kretek. Terbentuknya struktur pasar yang oligopsonistik, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: mekanisasi produksi dalam skala besar, perubahan dalam kondisi permintaan, dan persaingan yang intensif diantara pabrik-pabrik tersebut dan (2) hasil estimasi pengaruh pengeluaran iklan dari tujuh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar berdasarkan data iklan bulanan dan pangsa pasarnya, menunjukkan bahwa persaingan dalam periklanan merealokasikan penjualan diantara perusahaan-perusahaan tersebut. Bahwa meningkatnya iklan dalam persentase yang sama akan mengubah distribusi pangsa pasar masing-masing perusahaan, namun dalam jangka panjang ternyata perusahaan besar akan lebih sukses karena perusahaan besar memiliki keuntungan dari segi image, bila dibandingkan dengan perusahaan kecil. Selanjutnya, Wibowo (2003) menggambarkan potret industri rokok di Indonesia melalui perkembangan perusahaan, perkembangan produksi rokok,

7 65 perkembangan tenaga kerja serta produtivitas tenaga kerja. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan data yang digunakan adalah data deret waktu antara tahun Beberapa kesimpulan yang dikemukakannya, adalah: (1) produksi industri rokok mengalami masa kejayaan pada tahun 1998, dengan total produksi hampir 270 milyar batang, namun tahun 2002 hanya mencapai 207 milyar batang, atau menurun sebesar 5 persen per tahun, (2) penyerapan tenaga kerja industri rokok selama tahun 1998 hingga 2002, secara keseluruhan masih mengalami pertumbuhan yang signifikan yaitu rata-rata 4 persen per tahun. Dari total tenaga kerja tersebut, industri rokok kretek mendominasi tenaga kerja hingga mencapai 95 persen dari total tenaga kerja dalam keseluruhan industri rokok, (3) peningkatan penyerapan tenaga kerja tidak diikuti dengan peningkatan produksi rokok, dengan demikian produktivitas tenaga kerja mengalami penurunan, dimana pada tahun 1998 produksi mampu mencapai batang per orang per hari, namun pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi batang per orang per hari, dan (4) produktivitas per perusahaan dalam industri rokok justru lebih tinggi dimasa krisis, dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Kemudian, Sumarno dan Koncoro (2002) meneliti tentang struktur, kinerja dan kluster industri rokok kretek Indonesia, dari tahun 1996 hingga 1999, dengan menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance (SCP) serta kluster industri. Berikut ini adalah beberapa temuannya: (1) berdasarkan klasifikasi Bain (1956), industri rokok kretek Indonesia memiliki struktur oligopoli dengan tingkat konsentrasi yang tinggi, hal ini ditunjukkan oleh nilai konsentrasi rasio (CR4/8) industri rokok kretek yang tinggi, (2) krisis ekonomi yang berlangsung pada tahun 1998 tidak lantas membuat struktur industri rokok

8 66 kretek mengalami perubahan drastis, (3) secara umum, kinerja industri rokok kretek mengalami pertumbuhan walaupun perekonomian Indonesia mengalami krisis. Indikasi pertumbuhan kinerja ditunjukkan oleh adanya pertumbuhan sumbangan nilai tambah dan tenaga kerja industri terhadap industri manufaktur Indonesia, (4) industri rokok memiliki empat daerah utama yang dikategorikan sebagai kluster industri rokok kretek di Indonesia, yakni Kudus untuk PT Djarum, Kediri untuk PT Gudang Garam, Surabaya untuk PT HM Sampoerna dan Malang untuk PT Bentoel, (5) industri rokok kretek di Indonesia merupakan pangsa pasar tenaga kerja yang tinggi, terlebih di keempat daerah utama tersebut, dan (6) industri rokok kretek merupakan salah satu tulang punggung industri manufaktur di Indonesia. Sementara itu, analisis pola konsumsi rokok sigaret kretek mesin (SKT), sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM), dilakukan oleh Tjahjaprijadi dan Indarto (2003). Tujuannya penelitiannya adalah: untuk mengetahui, (1) pengaruh harga rokok dan harga rokok substitusi terhadap konsumsi rokok jenis SKM, SKT dan SPM dan (2) pengaruh pendapatan konsumen rokok terhadap konsumsi rokok jenis SKT, SKM dan SPM. Hasil penelitiannya adalah: (1) konsumsi rokok jenis SKM, SKT dan SPM, mempunyai hubungan yang negatif dengan harganya masing-masing, namun bersifat inelastis. Artinya, harga rokok jenis SKT, SKM dan SPM tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi masing-masing rokok tersebut karena faktor selera lebih dominan daripada faktor harga, (2) pendapatan tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok jenis SKM dan SKT, sedangkan berpengaruh positif pada konsumsi jenis SPM, dan (3) Rokok jenis SKM tidak dapat disubstitusi oleh rokok jenis SKT dan SPM, sedangkan rokok jenis SKT disubstitusi oleh rokok jenis SPM.

9 Tinjauan Tulisan dan Makalah Tentang Percengkehan Nasional Aspek Usahatani Cengkeh Husodo (2006), menyatakan bahwa untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan, agar dicapai harga yang layak dan menguntungkan petani melalui mekanisme pasar, tetapi juga tidak memberatkan industri rokok kretek, maka perlu dilakukan regulasi yang menyangkut agribisnis percengkehan nasional. Ada dua strategi dan kebijakan yang seyogyanya ditempuh, yaitu: (1) intensifikasi dan rehabilitasi kebun cengkeh di daerah sentra produksi seluas hektar dan penggantian tanaman tua atau tanaman rusak (TT/TR) melalui peremajaan seluas hektar dan (2) mendorong keterlibatan swasta dalam kegiatan on farm agribisnis percengkehan seperti pada dekade 1970-an, baik yang tergabung dalam GAPPRI maupun Perkebunan Besar Negara/Swasta. Porsi keterlibatan swasta tersebut perlu ditingkatkan dari 5 persen menjadi 10 persen, dengan catatan total areal yang dikembangkan tidak lebih dari hektar. Ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya over supply. Keterlibatan swasta ini diharapkan dapat menjadi stabilisator, dinamisator dan motivator agribisnis percengkehan. Sedangkan keterlibatan Perkebunan Besar Negara dan Swasta diharapkan dapat menjadi prime mover agribisnis percengkehan termasuk dalam adopsi dan rekayasa teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saingnya. Dukungan kebijakan dimaksud, antara lain mencakup beberapa hal sebagai berikut: (1) pemberdayaan penyuluhan dan organisasi petani perkebunan untuk memprioritas pengembangan cengkeh di 10 provinsi sentra produksi, (2) penciptaan iklim yang kondusif untuk mendorong kemudahan swasta ikut berinvestasi, dalam kegiatan on farm dan produksi minyak cengkeh,

10 68 eugenol dan pestisida nabati serta penyediaan bibit untuk keperluan replanting (peremajaan), (3) pengaturan kembali (regulasi) berbagai peraturan perundangundangan yang menyangkut harga, tata niaga, perizinan dan permodalan, (4) mendorong upaya pengembangan agribisnis cengkeh. Kegiatan ini perlu didukung penelitian dan pengembangan serta intensifikasi, rehabilitasi maupun peremajaan tanaman. Dalam lima tahun ke depan, kegiatan tersebut perlu difokuskan pada penelitian produk-produk berbahan baku cengkeh serta pengembangan program intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan di 16 provinsi sentra penghasil cengkeh, (5) untuk mendukung pembiayaan kegiatan tersebut, disamping APBN, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pungutan dana yang bersumber dari CESS, (6) menciptakan hubungan kemitraan yang adil dan harmonis antara petani dan industri rokok/pedagang agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan semua pihak, dan (7) untuk melindungi, meningkatkan pendapatan dan memperkuat posisi tawar petani cengkeh, perlu segera dibentuk Dewan Cengkeh Nasional Aspek Kebijakan dalam Percengkehan Nasional Simatupang (2004), dalam salah satu tulisannya, mengemukakan bahwa pada kondisi normal, anjloknya harga cengkeh tidak semestinya terjadi karena neraca cengkeh Indonesia masih defisit dalam arti kebutuhan dalam negeri masih lebih besar dari produksi dalam negeri, sementara volume perdagangan cengkeh di pasar dunia amat kecil (pasar tipis). Oleh karena itu, akar penyebab gejolak harga cengkeh adalah perubahan kebijakan tataniaga yang menimbulkan perubahan mendasar pada struktur pasar cengkeh, yaitu: (1) pencabutan hak monopsonistik dan monopolistik Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh

11 69 (BPPC) serta liberalisasi perdagangan cengkeh pada akhir tahun 1998 (kesepakatan dengan IMF). Kebijakan ini mendorong meningkatnya impor cengkeh dari sebelumnya tidak ada menjadi sekitar ton per tahun atau sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Akibatnya harga dunia langsung melonjak tajam dari US$ 0.99 per kg tahun 1997 menjadi US$ 7.8 per kg pada awal tahun 2002 sehingga harga cengkeh dalam negeri sempat mencapai Rp per kg dan (2) pembatasan importir cengkeh hanya oleh importir produsen dan importir terbatas (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528/ MPP/Kep/7/2002 tanggal 5 Juli 2002). Tanpa disadari, kebijakan ini memberikan hak oligopsonistik kepada pabrik rokok sehingga mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya seperti BPPC pada periode tahun 1990 hingga Dengan rasional untuk meraih laba sebesar-besarnya, pabrik rokok menghentikan impor cengkeh yang menjadi hak eksklusifnya, sehingga harga cengkeh dunia anjlok dan bertahan sekitar US$ 1.8 per kg, yang berarti sepadan dengan harga di tingkat petani Rp per kg pada akhir-akhir ini. Opsi kebijakan yang dapat dipilih antara lain: (1) menetapkan harga pembelian di tingkat petani cengkeh dengan dukungan dana talangan dari pemerintah, (2) menetapkan tarif dan liberalisasi impor cengkeh, (3) meminta asosiasi pabrik rokok menetapkan harga pembelian cengkeh minimum di tingkat petani, dan (4) membentuk wadah masyarakat dan kemitraan strategis tripartit Petani- Gappri- Pemerintah (Dewan Percengkehan Nasional). Sementara itu, Siregar dan Suhendi (2006) dalam makalahnya, menyatakan bahwa cengkeh merupakan salah satu komoditas pertanian yang erat keterkaitannya dengan beberapa sektor ekonomi, terutama industri rokok

12 70 kretek. Permasalahan yang terkait dengan agribisnis cengkeh yaitu ketidakpastian harga (fluktuasi harga). Selain dari sisi teknis, permasalahan juga dapat terjadi dari sisi kebijakan. Pada kondisi fiskal yang cukup ketat (defisit anggaran), terdapat kecenderungan bahwa pemerintah menaikkan penerimaan negara, termasuk yang bersumber dari cukai dan salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) rokok. Beberapa kesimpulan yang dikemukakan dalam makalah tersebut adalah: (1) dengan melihat potensi lahan yang tersedia cukup besar dan persyaratan tumbuhnya relatif terpenuhi serta indikator finansial yang cukup baik maka dapat disimpulkan bahwa komoditas cengkeh layak diusahakan. Agribisnis cengkeh memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat besarnya peranan komoditas tersebut dalam menggerakkan perekonomian nasional. Industri rokok sebagai salah satu subsistem dalam agribisnis cengkeh memberikan sumbangan penting bagi penerimaan negara, (2) Indonesia merupakan negara besar dalam perdagangan internasional cengkeh, sehingga fluktuasi produksi dan konsumsi, yang bisa terjadi karena aspek alam, aspek perilaku industri, maupun aspek kebijakan domestik, dapat mempengaruhi tatanan perdagangan tersebut. Dengan kata lain, perubahan yang tidak diingingkan pada ketiga aspek tersebut dapat menjadi sumber ketidakstabilan (fluktuasi) yang dapat merugikan para pelaku pasar terutama petani sebagai pelaku terlemah, dan (3) kebijakan pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara dengan menaikkan HJE diperkirakan akan mengganggu peran agribisnis cengkeh terhadap perekonomian. Setidaknya jumlah produksi rokok dan pembelian cengkeh dan tembakau akan berkurang, sehingga pendapatan petani kedua tanaman tersebut diperkirakan akan berkurang. Penyerapan tenaga kerja juga akan berkurang,

13 71 baik dalam usahatani cengkeh dan tembakau maupun dalam industri rokok kretek Aspek Kesehatan Indonesia berada pada urutan ke 5 negara-negara dengan konsumsi tembakau tertinggi di dunia, hal ini disebabkan oleh besarnya populasi penduduk Indonesia dan tingginya prevalensi merokok. Sebagian besar atau sebesar 88 persen perokok Indonesia memilih rokok kretek yaitu rokok yang mengandung cengkeh. Survey remaja sekolah (Global Youth Tobacco Survey) di Jakarta tahun 2000 menunjukkan bahwa 83.5 persen remaja sekolah terpapar asap tembakau di tempat-tempat umum. Walaupun 90.0 persen dari mereka setuju adanya pelarangan merokok di tempat umum, tetapi hanya 43.0 persen yang tahu bahaya asap rokok orang lain bagi kesehatan. Selanjutnya, beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari konsumsi rokok adalah: (1) peningkatan harga dan pajak, (2) larangan menyeluruh terhadap iklan, promosi dan pemberian sponsor pada tembakau, (3) penyuluhan dan pemberian informasi kepada masyarakat, (4) undang-undang tentang udara bersih, dan (5) pengepakan dan pelabelan. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO adalah traktat atau konvensi internasional yang pertama dalam pengendalian tembakau. Tujuannya adalah untuk melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi karena penggunaan tembakau. FCTC merupakan instrumen yang mengikat secara hukum dalam strategi kesehatan masyarakat global untuk membantu negaranegara anggota WHO dalam penyusunan program nasional pengendalian

14 72 tembakau. Pemerintah Indonesia ikut serta selama empat tahun penuh dalam serangkaian negosiasi sebelum FCTC disepakati secara aklamasi dalam sidang WHA (World Health Assembly) tahun 2003 (Badan Litbang Depkes, 2004) Aspek yang Dikaji dalam Penelitian Ini Sebagaimana yang diuraikan pada bagian sebelumnya, maka secara umum, penelitian ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dalam mengkaji permasalahan percengkehan nasional, baik dalam industri cengkeh maupun industri rokok kretek nasional. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, masing-masing peneliti mencoba mengkaji secara lebih spesifik lagi permasalahan dalam percengkehan nasional dengan memotretnya dari beberapa aspek yang terpisah, seperti aspek permintaan dan penawaran cengeh, aspek usahatani cengkeh dan penerapan kebijakan di dalamnya, aspek tataniaga cengkeh dan penerapan kebijakannya, serta aspek industri rokok kretek. Sementara itu, metode analisis yang digunakan masing-masing peneliti tersebut adalah: pendekatan deskriptif, pendekatan ekonometrik, atau pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM). Penelitian ini mencoba untuk mengkaji perkembangan percengkehan nasional, secara lebih komprehensif lagi, mencakup aspek keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional, aspek interaksi antara kedua industri tersebut yang direpresentasikan oleh interaksi antara petani cengkeh dan pabrik rokok kretek, hingga yang lebih spesifik lagi adalah aspek usahatani cengkeh pada salah satu daerah sentra produksi cengkeh yang potensial di Indonesia, yaitu Provinsi Sulawesi Utara. Sedangkan, metode analisis yang

15 73 digunakan dalam penelitian ini adalah menggabungkan beberapa pendekatan tersebut diatas, yakni: pendekatan deskriptif, ekonometrik, matriks analisis kebijakan (PAM) serta teori permainan (game theory). Secara umum, semua metode analisis yang digunakan bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara perkembangan industri cengkeh dan industri rokok kretek nasional. Secara khusus, pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan perkembangan percengkehan nasional. Selanjutnya keterkaitan antara industri cengkeh dan industri rokok kretek dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang bertujuan menggambarkan bentuk hubungan antara peubah-peubah utama dalam kedua industri tersebut, serta menentukan peubah-peubah yang paling berpengaruh. Setelah itu, pendekatan multi-period PAM digunakan untuk menganalisis perkembangan usahatani cengkeh di Sulawesi Utara sebagai salah satu daerah sentra produksi yang potensial, untuk mengkaji lebih jauh bagaimana rentabilitas dari usahatani tersebut, serta berapa sebenarnya biaya produksi cengkeh per kilogram, supaya dapat diketahui apakah usahatani tersebut masih menguntungkan atau tidak, pada tingkat harga yang berlaku pada saat itu. Sedangkan untuk mengkaji kemungkinan kerjasama antara kedua industri tersebut digunakan analisis game theory, yang bertujuan untuk melihat interaksi langsung antara industri cengkeh (petani cengkeh) dan industri rokok kretek (PRK) dalam pemasaran komoditas cengkeh.

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara produsen sekaligus konsumen bahkan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan dilema serta kontroversial. Industri rokok kretek memegang

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan dilema serta kontroversial. Industri rokok kretek memegang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberadaan industri rokok khususnya rokok kretek di Indonesia semakin menimbulkan dilema serta kontroversial. Industri rokok kretek memegang peranan dalam perekonomian

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan peranan

Lebih terperinci

PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA

PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA Oleh: Bambang Sayaka dan Benny Rachman') Abstrak Prospek cengkeh agaknya semakin tidak menentu sebagai akibat menurunnya harga cengkeh yang berkepanjangan serta sistem

Lebih terperinci

Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia

Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia Murry Harmawan Saputra Universitas Muhammadiyah Purworejo Abstraksi Industri rokok merupakan salah satu industri yang mengalami pasang surut namun tetap exis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, dalam. terhadap penerimaan negara. (Bapeda Bandung, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, dalam. terhadap penerimaan negara. (Bapeda Bandung, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri rokok di Indonesia merupakan salah satu industri hasil tembakau yang mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional, karena mempunyai dampak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian Indonesia. Perusahaan rokok mempunyai multiplier effect

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian Indonesia. Perusahaan rokok mempunyai multiplier effect BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Situasi perekonomian yang tidak menentu dan sulit diramalkan dewasa ini sangat besar pengaruhnya terhadap dunia usaha yang ingin tetap bertahan dan mengembangkan semaksimal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Begitu besarnya dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat secara

BAB 1 PENDAHULUAN. Begitu besarnya dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat secara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Begitu besarnya dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat secara tidak langsung menghantam perekonomian hampir seluruh negara di dunia bahkan membuat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU Oleh: Surono Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstraksi: Kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2013 dilandasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia, dengan total produksi nasional rata-rata mencapai 220 milyar batang per tahun dan nilai penjualan nasional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara. Kegiatan perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN GABUNGAN PERSERIKATAN PABRIK ROKOK INDONESIA (GAPRI) DAN GABUNGAN PRODUSEN ROKOK PUTIH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tembakau sebagai bahan baku rokok kretek merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai peranan strategis dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

PERILAKU INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA TAHUN

PERILAKU INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA TAHUN PERILAKU INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA TAHUN 2010-2011 Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Ekonomi (S1) Pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste),

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste), produknya unik, konsumen loyal, bersifat konsumtif, segmen pasar usia produktif dan maskulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah,

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan umum pembangunan perkebunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan 2010 sd 2014, yaitu mensinergikan seluruh sumber

Lebih terperinci

PAYUNG HUKUM PENGUSAHAAN TEMBAKAU DI INDONESIA Disampaikan Pada Musyawarah Nasional Asosiasi Tembakau di Indonesia Di Temanggung, 19 Desember 2009

PAYUNG HUKUM PENGUSAHAAN TEMBAKAU DI INDONESIA Disampaikan Pada Musyawarah Nasional Asosiasi Tembakau di Indonesia Di Temanggung, 19 Desember 2009 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PAYUNG HUKUM PENGUSAHAAN TEMBAKAU DI INDONESIA Disampaikan Pada Musyawarah Nasional Asosiasi Tembakau di Indonesia Di Temanggung, 19 Desember 2009 Assalamu

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CENGKEH

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CENGKEH PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CENGKEH Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI BHINEKA TUNGGAL IKA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai potensi besar yang dimilikinya baik potensi alam, sumberdaya manusia, maupun teknologi tentunya memiliki berbagai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1121, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Cukai. Tembakau. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tepung terigu dari waktu ke waktu semakin menjadi komoditi pangan penting di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tepung terigu semakin menguasai kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

OPSI KEBIJAKAN MEMULIHKAN ANJLOK HARGA CENGKEH

OPSI KEBIJAKAN MEMULIHKAN ANJLOK HARGA CENGKEH OPSI KEBIJAKAN MEMULIHKAN ANJLOK HARGA CENGKEH Pantjar Simatupang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Anjlok harga yang berlangsung sejak

Lebih terperinci

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan Juli 1997 mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian di lndonesia dalam

Lebih terperinci

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan perolehan devisa, baik dari sektor migas maupun dari sektor non migas. Namun dengan semakin menipisnya sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) Sebagai suatu negara yang aktif dalam pergaulan dunia, Indonesia senantiasa dituntut untuk cepat tanggap

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL 1 KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI Disampaikan Dalam Acara Kongres II InaHEA: Pengendalian Rokok Melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu wujudkan masyarakat adil dan makmur kita perlu melaksanakan pembangunan

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian unggulan yang memiliki beberapa peranan penting yaitu dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peran penting yaitu sebagai makanan manusia dan ternak. Indonesia merupakan salah satu penghasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perusahaan-perusahaan di Indonesia terus diwarnai

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perusahaan-perusahaan di Indonesia terus diwarnai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perusahaan-perusahaan di Indonesia terus diwarnai dengan persaingan yang semakin ketat antar perusahan. Persaingan tidak hanya terjadi pada inovasi produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang terjadi, tetapi tidak dapat dipungkiri indonesia menjadi salah satu dari

BAB I PENDAHULUAN. sedang terjadi, tetapi tidak dapat dipungkiri indonesia menjadi salah satu dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masyarakat, khususnya para pengusaha telah di kejutkan dengan adanya krisis global yang melanda dunia. Walaupun pemerintah telah mengatakan untuk tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang devisa negara yang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (Lembaran Negara Republik Indon

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (Lembaran Negara Republik Indon BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1261, 2015 KEMENPERIN. Tembakau. Produksi Industri. ROADMAP. Pencabutan PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63/M-IND/PER/8/2015 TENTANG PETA JALAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman

Lebih terperinci

IMPLIKASI KEBIJAKAN BAGI PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT INDONESIA. Indonesia menetapkan kebijakan pada industri kelapa sawit dan

IMPLIKASI KEBIJAKAN BAGI PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT INDONESIA. Indonesia menetapkan kebijakan pada industri kelapa sawit dan IX. IMPLIKASI KEBIJAKAN BAGI PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT INDONESIA 9.1. Industri Sawit Indonesia Indonesia menetapkan kebijakan pada industri kelapa sawit dan memberlakukan pajak ekspor dengan ketentuan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pada dunia bisnis. Keadaan ini yang menuntut suatu perusahaan untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. dan pada dunia bisnis. Keadaan ini yang menuntut suatu perusahaan untuk selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan era globalisasi ini mengakibatkan kemajuan pada teknologi dan pada dunia bisnis. Keadaan ini yang menuntut suatu perusahaan untuk selalu memperbaiki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada di peringkat 55 dari 134 negara, menurun satu peringkat dari tahun sebelumnya. Dalam hal ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari peranan sektor perkebunan kopi terhadap penyediaan lapangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung merupakan jenis tanaman serealia yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional, mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi apabila barang yang dihasilkan oleh suatu negara dijual ke negara lain

BAB I PENDAHULUAN. terjadi apabila barang yang dihasilkan oleh suatu negara dijual ke negara lain BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan Internasional merupakan kegiatan pertukaran barang dan jasa antara masyarakat di suatu negara dengan masyarakat di negara lain. Indonesia termasuk salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :02

1 of 5 21/12/ :02 1 of 5 21/12/2015 14:02 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy

Lebih terperinci

KAJIAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) PADA SEKTOR KESEHATAN KHUSUSNYA PRODUKSI TEMBAKAU/ROKOK

KAJIAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) PADA SEKTOR KESEHATAN KHUSUSNYA PRODUKSI TEMBAKAU/ROKOK KAJIAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP (TPP) PADA SEKTOR KESEHATAN KHUSUSNYA PRODUKSI TEMBAKAU/ROKOK Indonesian Conference on Tobacco or Health 2017 Balai Kartini, Jakarta 15-16

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur

PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur PROSIDING LOKAKARYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEMBAKAU MALANG, 6 NOVEMBER 2001 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN ISBN : 979-954857-3-X PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR Dinas Perkebunan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1485, 2017 KEMENKEU. Cukai Hasil Tembakau. Tarif. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun mengatasi ketimpangan ekonomi dan pengembangan industri. Pada kondisi rawan pangan,

Lebih terperinci

Pe n g e m b a n g a n

Pe n g e m b a n g a n Potensi Ekonomi Kakao sebagai Sumber Pendapatan Petani Lya Aklimawati 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 9 Jember 68118 Petani kakao akan tersenyum ketika harga biji kakao

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Situasi perekonomian yang tidak menentu dan sulit diramalkan dewasa ini sangat besar pengaruhnya terhadap dunia usaha yang ingin tetap bertahan dan mengembangkan semaksimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen. Perusahaan berusaha membuat suatu produk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12.

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12. 54 V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA 5.1 Perkembangan Produksi Teh Indonesia Perkembangan produksi teh Indonesia selama 1996-2005 cenderung tidak mengalami perubahan yang begitu

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini perekonomian domestik tidak bisa berdiri sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi global. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pada triwulan III tahun

Lebih terperinci