BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan diuraikan secara garis besar pengertian sistem pelabuhan pariwisata marina serta dijelaskan teori yang dipakai guna pendekatan penyelesaian masalah penelitian ini. 2.1 Sistem Transportasi dan Destinasi Wisata Transportasi dan perjalanan dapat dibahas tanpa mempertimbangkan pariwisata, tetapi pariwisata tidak dapat berkembang tanpa perjalanan. Transportasi merupakan bagian integral dari industri pariwisata. Perkembangan pariwisata ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan dalam transportasi. Daya saing pariwisata sangat tergantung pada daya saing sistem transportasi dan jasa perjalanan. Untuk menganalisis permintaan transportasi, Manheim (1979 : 13) perlu meninjaunya dari 3 variabel utama dari sistem transportasi total yang saling berinterrelasi yaitu: T, sistem transportasi sebagai representasi dari berbagai elemen transportasi; A, sistem aktivitas sebagai representasi dari kegiatan pariwisata; apa yang dapat dilihat (something to see), apa yang dapat dilakukan (something to do), apa yang dapat dibeli (something to buy) di Daerah Tujuan Wisata (Destinasi) yang dikunjungi dan F, pola aliran transportasi sebagai representasi dari pergerakan barang dan orang menurut asal - tujuannya. Pola arus lalu lintas (F) sangat dipengaruhi oleh sistem transportasi (T) dan sistem aktivitas. Namun sebaliknya pola aliran yang terjadi juga dapat mempengaruhi perubahan sistem aktivitas melalui sifat pelayanannya dan sumber daya yang digunakan dalam memberikan pelayanan tersebut. Demikian juga dengan sistem transportasi yang dapat berubah untuk mengantisipasi pola aliran transportasi yang terjadi, misalnya dengan membangun pelabuhan pariwisata yang baru. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pariwisata dan transportasi merupakan dua sisi dari proses manajemen yang sama, khususnya dalam karakteristik tujuan wisatawan yang berpengaruh terhadap jumlah kunjungan wisatawan. Agar efektif, strategi ini membutuhkan suatu pendekatan yang 6

2 terintegrasi yang mengkombinasikan pariwisata, transport dan perencanaan tata guna lahan dan meliputi tidak hanya angkutan umum lokal dan angkutan pribadi, tetapi juga semua organisasi yang lain dan steakholder yang berkontribusi terhadap pengembangan daerah tujuan wisata (destinasi) sehingga meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Interelasi dari ke tiga variabel tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1. Hubungan interaksi dari ketiga sub sistem di atas adalah apabila aktifitas meningkat maka arus ikut meningkat sehingga sarana dan prasarana juga harus ditingkatkan. Dalam penelitian ini yang menjadi sistem transportasi adalah sistem naik turun penumpang kapal boat. Sistem Transportasi (T) Arus Lalu-lintas (Flow F) Sistem Aktivitas (T) Gambar 2.1 Keterkaitan Sistem Transportasi Sumber : Manheim Dalam (Nyoman Budiartha R.M 2010) Pola alir yang berlaku adalah pola alir searah, dimana saat penumpang turun dari kapal tidak dilakukan kegiatan muat ke kapal sampai proses penurunan penumpang selesai dan sebaliknya juga demikian Peranan Transportasi Laut Peranan transportasi laut bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau, sejak dahulu kala sangat penting artinya. Sejarah mencatat kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit tumbuh dan jaya karena didukung oleh armadanya yang kuat. Negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi dimana potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya tersebar disegenap 7

3 wilayahnya, dimana perwujudan wawasan nusantara merupakan komitmen nasional, sehingga angkutan laut mempunyai peran yang penting bagi kegiatan sosial ekonomi. Persatuan Indonesia dan kesatuan ekonomi Negara kepulauan ini hanya dapat dipertahankan dan dilestarikan oleh transportasi yang terintegrasi, regular, handal, efisien dan terjangkau. Tanpa itu kita membiarkan Indonesia hanya sebagai kumpulan pulau-pulau yang dipisahkan secara geografis oleh beragam etnik dan suku bangsa. Pelayaran antar-pulau memainkan peran penting dalam menyediakan sarana dasar transportasi pada pulau kecil seperti pulau Lembongan. Pentingnya jasa transportasi antar pulau untuk masyarakat terpencil dan ekonomi pulau kecil serta masalah untuk mencapai viabilitas komersial dan tingkat minimum keamanan tidak dapat dipaksakan. Pemerintah kabupaten, provinsi maupun pemerintah pusat selama ini telah mendorong sektor swasta untuk menyediakan layanan, perlu mengambil tindakan untuk memfasilitasi pengembangan armada domestik lebih sehat dan mendorong serta mendukung sektor swasta dalam penggantian kapal yang sudah tua Jaringan Transportasi Jaringan transportasi merupakan bagian dari konektivitas domestik yang diharapkan mampu menghubungkan masyarakat pedesaan, perkotaan (kota, kabupaten, dan provinsi), pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di dalam satu pulau atau di dalam satu koridor ekonomi. Pada tahun 2025, secara Nasional diharapkan jaringan infrastruktur transportasi massal baik darat (kereta api) maupun air (short sea shipping) yang menjadi tulang punggung harus sudah terbangun sehingga akan mengikat kuat interkoneksi antara kawasan-kawasan industri, perkotaan, dan pedesaan. Titik simpul logistik yang penting untuk dikembangkan adalah pelabuhan laut, bandar udara, terminal, pusat distribusi, pusat produksi, dan kawasan pergudangan yang harus terintegrasi dengan jaringan jalan raya, jalan tol, jalur kereta api, jalur sungai, jalur pelayaran dan jalur penerbangan. Dengan kondisi ini diharapkan daya saing produk nasional meningkat, serta kebutuhan bahan pokok dan strategis masyarakat dapat dipenuhi dengan jumlah yang sesuai dan harga terjangkau. 8

4 Sistem jaringan transportasi yang dimaksud adalah sistem jaringan jalan raya, kapal laut dan kapal udara, berfungsi menghubungkan sentra-sentra produksi ke sentra sentra/ node konsumsi. Dari segi fungsinya jalan raya meliputi jalan lokal, jalan kolektor, dan jalan arteri. Sedangkan dari segi manajemennya jalan raya meliputi jalan desa, jalan kabupaten, jalan provinsi dan jalan negara. Dalam menunjang perkembangan wilayah gugus pulau Nusa Penida, sistem transportasi sangat memegang peranan yang penting, sehingga penyediaan/pengembangan sarana dan prasarana perhubungan dalam suatu wilayah harus memadai dalam arti dapat menampung dan menunjang kelancaran aktivitas pergerakan yang ada dalam daerah itu sendiri maupun hubungannya dengan daerah lain. Kebutuhan akan pelayanan transportasi bersifat sangat kualitatif dan mempunyai ciri yang berbeda-beda sebagai fungsi dari waktu, tujuan perjalanan, frekuensi, dan lain-lain. Pelayanan transportasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan pergerakan menyebabkan sistem transportasi tersebut tidak berguna (mubazir). Ciri ini membuat analisis dan peramalan kebutuhan akan pergerakan menjadi semakin sulit (Ofyar Z. Tamin 1997) Salah satu tantangan utama dalam studi pengembangan model transportasi laut pulau-pulau kecil di Bali adalah mengidentifikasi kaitan antara transportasi dan Kawasan Sentra Produksi (KSP) serta derajat ketergantungan pergerakan penumpang antar dan intra gugus. Bagaimana suatu rancangan fasilitas transportasi laut mampu melayani pertumbuhan permintaan yang terjadi akibat pertumbuhan kawasan gugus pulau dan dapat mendukung peningkatan wisatawan dan akses yang menjadikan water front yang memiliki daya tarik dan menguntungkan dari sisi finansial. Pendekatan perencanaan ini dibutuhkan tidak hanya untuk alasan keindahan, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk alasan ekonomi. Selanjutnya dampak dari adanya pelabuhan, tidak hanya terbatas pada industri pelabuhan itu sendiri, tetapi juga harus dilihat derajat ketergantungan pelabuhan terhadap industri pariwisata secara keseluruhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian regional. 9

5 2.1.3 Perwilayahan Pelayanan Jasa Transportasi Laut Penentuan Struktur Ruang tidak bisa dilepaskan dari kondisi transportasi wilayah. Transportasi wilayah menentukan tingkat aksesibilitas wilayah. Aksesibilitas adalah daya hubungan antar zona yang wujudnya berupa fasilitas transportasi dalam arti luas, meliputi jaringan transportasi, yakni kapasitas terminal (pelabuhan), jaringan jalan, dan jaringan pelayanan meliputi: ketersediaan wahana/armada (moda angkutan), biaya wajar, layanan andal, dan jaringan trayek. Selain itu, frekuensi dan kecepatan layanan dapat mengakibatkan jarak yang jauh seolah-olah menjadi lebih dekat. Peningkatan aksesibilitas berarti mempersingkat waktu dan lebih meringankan biaya perjalanan. Daerah Tujuan Wisata (DTW), hanya memiliki makna bagi pengembangan wilayah apabila mudah dikunjungi, artinya memiliki tingkat keterhubungan (aksesibilitas) tinggi, berada pada jalur jaringan transportasi yang mampu menunjang kepariwisataan. Aksesibilitas adalah kemudahan bergerak dari satu daerah kedaerah lain dan sebaliknya. Destinasi akan membentuk suatu jaringan kepariwisataan dan hanya bila jaringan pelayanan transportasi dapat mendukung keberadaan dan fungsinya. 2.2 Pelabuhan dan Fungsinya Menurut peraturan pemerintah nomor 11 tahun 1983, pelabuhan adalah tempat berlabuh dan/atau tempat bertambatnya kapal laut serta kendaraan lainnya, menaikan dan menurunkan penumpang, bongkar muat barang dan hewan serta merupakan daerah lingkungan kerja kegiatan ekonomi (Nyoman Budiartha RM 2015). Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian pelabuhan mencangkup pengertian sebagai prasarana dan sistem, yaitu pelabuhan adalah suatu lingkungan kerja terdiri dari area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas tempat berlabuh dan bertambatnya kapal, untuk terselenggaranya bongkar muat serta turun naiknya penumpang, dari suatu moda transportasi laut (kapal) ke moda transportasi lainnya atau sebaliknya. Selanjutnya menurut Undang-undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan 10

6 pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan dan antarmoda transportasi. Beberapa ketentuan umum yang terkait dengan pelabuhan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan antara lain: 1. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi. 2. Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai. 3. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah. 4. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lainnya. 5. Rencana Induk Pelabuhan Nasional adalah pengaturan ruang ke pelabuhan nasional yang memuat tentang kebijakan pelabuhan, rencana lokasi dan hierarki pelabuhan secara nasional yang merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan pelabuhan. 11

7 6. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. 7. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan. 8. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran. 9. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. 10. Kepelabuhanan adalah meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan intra dan atau antar moda transportasi serta mendorong perekonomian nasional dan daerah. 11. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lainnya Fasilitas-Fasilitas Pelabuhan Untuk bongkar muat barang maupun penumpang agar aman, nyaman, lancar dan ekonomis seperti yang disebutkan diatas, diperlukan fasilits-fasilitas bangunan teknik untuk melayani kapal-kapal baik sewaktu masih diperairan maupun setelah kapal-kapal bersandar di dermaga. Masalah pelabuhan adalah halhal yang menyangkut hubungan antara kapal, muatan, dan jasa kepelabuhan. Kapal memerlukan tempat bersandar di dermaga dan memerlukan berbagai pelayanan selama di pelabuhan. Muatan memerlukan jasa terminal di pelabuhan 12

8 dalam proses peralihan dari kapal ke angkutan darat. Pelabuhan menyediakan jasa-jasa bagi kapal dan muatan agar tidak terjadi hambatan dalam pelayaran kapal dan arus barang serta arus penumpang. Dalam memberikan jasa-jasa, pelabuhan memiliki beberapa fasilitas/prasarana, yaitu dermaga, terminal, gudang, lapangan penimbunan, navigasi dan telekomunikasi, peralatan bongkar muat, serta perkantoran. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain adalah (Nyoman Budiartha RM and Arnatha 2000) a. Untuk Melayani Kapal Pelayanan kapal dimulai dari kapal masuk ke perairan pelabuhan, berada di kolam pelabuhan, ketika akan bersandar di tambatan, sampai saat kapal meninggalkan pelabuhan. Dalam rangka menjaga keselamatan kapal, penumpang dan muatannya sewaktu memasuki alur pelayaran menuju dermaga atau kolam pelabuhan untuk berlabuh, maka untuk pelabuhan tertentu dengan kapal-kapal tertentu harus dipandu oleh petugas pandu yang disediakan oleh Pelabuhan. Pemerintah telah menetapkan perairan-perairan yang termasuk dalam kategori perairan wajib pandu, perairan pandu luar biasa dan perairan di luar batas perairan pandu. Untuk mengantar petugas pandu ke/dan kapal diperlukan peralatan kapal yang disebut kapal pandu. Terhadap kapal yang keluar masuk pelabuhan dan mempunyai kapal berukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih. Beberapa fasilitas untuk melayani kapal di pelabuhan adalah: 1. Telekomunikasi, 2. Perambuan (benda-benda terapung, baik yang bersinar mupun yang tidak), 3. Penerangan pantai (mercusuar untuk menentukan posisi kapal), 4. Kolam pelabuhan, 5. Penangkis gelombang, 6. Pemanduan, 7. Kapal tunda, 8. Dermaga, 9. Air, 10. Bahan bakar, 11. Repair, 13

9 12. Pintu pelabuhan, 13. Fasilitas untuk kapal-kapal berputar (turning bazin), 14. Pelampung untuk menambatkan kapal dan sebagainya. Untuk Barang dan Penumpang Jenis peralatan bongkar muat yang digunakan di pelabuhan sangat tergantung kepada jenis barang yang akan dibongkar/muat. Secara umum jenis barang dimaksud dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu: 1. Barang yang dikemas dengan petikemas, yang semakin banyak digunakan karena kecepatan bongkar muat yang tinggi sehingga mengurang waktu dan biaya yang rendah. 2. Barang umum (general cargo), yang mulai ditinggalkan karena kecepatan bongkar muat yang lambat serta dibutuhkan biaya yang besar, tetapi pelayaran rakyat masih tetap menggunakan pendekatan ini. 3. Barang curah (kering/cair). Fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan adalah: a. Gudang (open atau closed storage), b. Terminal penumpang, terminal barang, terminal peti kemas, c. Alat-alat bongkar muat (forklift, crane, phonton crane, dan lain-lain), d. Tempat parkir, e. Kereta api, f. Gudang khusus untuk bahan-bahan kimia, g. Dan sebagainya b. Untuk Umum : 1. Bangunan jalan 2. Tenaga listrik (penerangan) 3. Pemadam kebakaran 4. Tenaga kerja 5. Dan sebagainya c. Jasa Pemerintah : 1. Keamanan 2. Kesehatan 3. Imigrasi/bea cukai 14

10 4. Karantina 5. Dan sebagainya Pelayanan pelabuhan penyeberangan dapat dilakukan apabila fasilitas pelabuhan penyeberangan telah siap untuk dioperasikan. Fasilitas pelabuhan terdiri dari fasilitas daratan berupa fasilitas pokok yang merupakan fasilitas yang harus dimiliki oleh pelabuhan dan fasilitas penunjang untuk mendukung operasionalisasi pelabuhan. a. Fasilitas Pokok Fasilitas pokok pelabuhan yang meliputi: 1. Terminal penumpang untuk keperluan menunggu sebelum keberangkatan kapal, perpindahan antar moda transportasi perairan pedalaman dengan angkutan jalan serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum. 2. Penimbangan kendaraan bermuatan untuk mengendalikan kelebihan muatan serta untuk mengetahui besar muatan yang diangkut dengan kapal perairan pedalaman. 3. Jalan penumpang keluar/masuk kapal (gang way). 4. Perkantoran untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa seperti loket penjualan tiket. 5. Fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker) untuk keperluaan kapal. 6. Instalasi air, listrik dan telekomunikasi. 7. Akses jalan dan/atau jalur kereta api. 8. Fasilitas pemadam kebakaran. 9. Tempat tunggu kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal. b. Fasilitas Penunjang Instalasi penunjang yang dimaksudkan di sini adalah instalasi yang menunjang kegiatan pelayanan jasa kepelabuhanan yang meliputi: 1. Instalasi listrik dalam hal ini biasanya digunakan PLN, kecuali PLN tidak mampu menyediakan listrik bagi pelabuhan karena letak yang jauh dari jaringan PLN ataupun tidak mempunyai kapasitas yang mencukupi 2. Instalasi air yang dapat disediakan oleh PAM milik pemerintah daerah ataupun swasta 15

11 3. Instalasi pengumpulan, pengolahan limbah yang bisanya dikelola oleh pelabuhan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Sedang fasilitas penunjang pelabuhan penyeberangan meliputi: 1. Kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan seperti kantor perwakilan perusahaan pelayaran.; 2. Tempat penampungan limbah, dan pengolahan limbah; 3. Fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan penyeberangan; 4. Areal pengembangan pelabuhan; 5. Fasilitas umum lainnya (peribadatan, taman, jalur hijau dan pos/klinik kesehatan) Klasifikasi Pelabuhan Selain itu pelabuhan dapat pula diklasifikasikan/dilihat dari berbagai bidang, misalnya dari segi konstruksinya, segi perdagangan, dari jenis muatan yang dibongkar dan dimuat atau dari macam pungutan jasanya. Untuk jelasnya disini kita berikan klasifikasi pelabuhan sebagai berikut: a. Klasifikasi menurut Konstruksinya : 1. Pelabuhan Alam : Adalah pelabuhan yang terlindung dari alam (angin topan, badai dan gelombang) tanpa harus dibangun fasilitas-fasilitas pelabuhan seperti pbangunan penangkis gelombang. Bentuk pelabuhan termasuk pintu pelabuhan dan lokasi fasilitas navigasi menjamin keamanan dan kenyamanan kapal untuk manuver dan bongkar muat barang, penumpang serta keperluan akomodasi kapal. Pelabuhan alam biasanya berlokasi diteluk, muara pasang surut dan muara sungai. Contoh pelabuhan alam adalah New York, San Fransisco dan Rio de Janeiro. Di Indonesia, pelabuhan-pelabuhan seperti ini misalnya ada di Sabang, Pelabuhan Benoa, Pelabuhan Lembar dan lain-lain. 2. Pelabuhan Semi Alam : Pelabuhan yang berada di teluk kecil atau muara sungai yang terlindung pada dua sisi oleh tanjung dan dibutuhkan hanya bangunan pelindung pada pintu masuknya. Hampir sama dengan pelabuhan alam, hanya pada 16

12 pelabuhan semi alam bentuk site pelabuhannya lebih diutamakan. Contohnya pelabuhan Plymouth adalah lokasi pelabuhan alam namun pelabuhan menjadi lebih aman setelah dibangun pemecah gelombang pada pintu masuknya sehingga pelabuhan tersebut menjadi pelabuhan semi alam demikian juga dengan pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya Indonesia. 3. Pelabuhan Buatan : Pelabuhan yang mempunyai fasilitas bangunan pemecah gelombang untuk melindungi pelabuhan atau kolam pelabuhan dari pengaruh gelombang. Sebagian pelabuhan-pelabuhan di dunia adalah pelabuhan buatan dan di Indonesia contohnya adalah Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. b. Klasifikasi menurut fungsi/jenis pelayanannya: 1. Pelabuhan dagang, hampir semua pelabuhan di Indonesia. 2. Pelabuhan militer, Ujung Surabaya. 3. Pelabuhan ikan, Perigi, Bagan Siapi Api. 4. Pelabuhan minyak, Dumai. Pangkalan Brandan. 5. Pelabuhan industri, Petrokimia Gresik. 6. Pelabuhan turis, Benoa Bali. 7. Pelabuhan untuk menghindari gangguan alam (topan, gelombang) yang biasanya terjadi di Jepang. 8. Pelabuhan umum c. Klasifikasi menurut jenis pungutan jasa : 1. Pelabuhan yang diusahakan 2. Pelabuhan yang tidak diusahakan 3. Pelabuhan otonom 4. Pelabuhan bebas Sedangkan fungsi pelayanan transportasi adalah menyediakan akses dan fasilitas tersebut, seperti pelabuhan dan kapal (cruise, kapal layar, boat, dsb.) agar keinginan tersebut dapat terlaksana menjadi suatu aktivitas. Bentuk aktivitas tersebut dapat tercermin pada maksud perjalanan dan pola perjalanan. Oleh karena itulah dalam analisis transportasi informasi mengenai maksud perjalanan dan pola perjalanan menjadi sangat penting. 17

13 Model umum penawaran (supply) ditujukan untuk mencari / mendapatkan total kapasitas angkut atau kapasitas terpasang yang harus disediakan. Pemodelan penawaran merupakan fungsi dari jumlah armada, kapasitas angkut dan jarak yang ditempuh [Stopford Martin (1988) dalam (Pupella 2007)] S = f ( Jumlah Kapal x Kapasitas Angkut x Jarak Pelayaran) S = f ( Q )... Dimana: Q = E.f o + E.f r + Ef = Nk x P P = LF x C p x R trip T = T sea + T port Dimana: S = Total penawaran terhadap barang (ton) Q = Total kapasitas angkut yang dibutuhkan (DWT) Ef o = Kapasitas armada kapal yang telah ada (DWT) Ef r = Kapasitas armada kapal yang direncanakan (DWT) Ʃ s = Permintaan yang tidak dilayani (ton) Nk = Jumlah kapal (unit) P = Kapasitas angkut per tahun (ton) Cp = Kapasitas angkut per unit (ton) LF = Faktor muatan (Load factor) Rtrip = Total trip kapal per tahun Z = Waktu kapal tidak beroperasi (jam) T = Waktu yang dibutuhkan kapal per trip (jam) Tsea = Waktu yang dibutuhkan kapal dalam pelayaran (jam) Vs = Kecepatan kapal (knot) Tport = Waktu yang dibutuhkan kapal di pelabuhan (jam) 18

14 2.3 Pelabuhan Marina Pelabuhan marina adalah pelabuhan khusus yang disediakan untuk kapal pesiar yang dilengkapi dengan prasarana yang dibutuhkan. Infrastruktur yang potensial adalah hal yang paling penting untuk menarik wisatawan. Pelajaran yang dapat diambil dari tulisan-tulisan yang telah ada adalah ketika menguji potensi dari daerah marine resort di negara maju. Memahami pasar yang relatif berkembang dan dapat terus berkembang disebutkan kuncinya adalah potensi dari daerah marina. Langkah pertama dalam menentukan kelayakan dari suatu site bagi pengembangan marina adalah dengan menentukan kelayakan daerah tersebut secara keseluruhan. Masing-masing harus menentukan jenis dan aktivitas pelayaran dan pariwisata yang paling mendukung bagi lingkungan dan daerah di sekitar area tersebut untuk meningkatkan pariwisata bagi wisatawan asing atau kegiatan berwisata bagi wisatawan domestik dalam rangka peningkatan minat wisatawan domestik. Harus selalu diingat bahwa kapal-kapal layar akan selalu mencari pelabuhan atau dermaga dengan rute perjalanan yang mudah selama 5-7 jam. Jika ada kemungkinan lain untuk berlayar dengan waktu yang lebih lama maka harus ada alasan yang menarik bagi wisatawan untuk menikmati fasilitas yang ada. Pada pengembangan area yang setingkat lebih jauh, pada port of call yang terisolasi akan sangat dibutuhkan penyediaan bahan bakar dan bengkel perbaikan selain dari penyediaan berbagai hal yang menyenangkan. Nusa Lembongan disamping selalu dikunjungi oleh kapal-kapal kecil dengan bobot lebih kecil dari 7 GT juga dikunjungi oleh kapal-kapal wisata dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Namun, sampai sekarang belum tersedianya fasilitas pelabuhan yang mendukung peningkatan ini. Untuk itu perlu adanya lokasi/resort yang dapat melayani peningkatan jumlah kapal, penumpang, dan barang. Salah satu fasilitas yang populer saat ini adalah marine resort. Sementara fasilitas wisata pantai masih menjadi hal yang baru bagi negara-negara berkembang, tetapi hal tersebut juga telah menjadikan hal yang layak untuk dikembangkan bagi sektor industri pelabuhan. Kedua kasus tersebut dapat saling melengkapi. Seperti pembangunan fasilitas yang belum ada, tetapi banyak diminati seperti perlengkapan fasilitas wisata atau fasilitas perdagangan 19

15 pada marine resort yang saling melengkapi dan saling menguntungkan. Penyediaan kombinasi perlengkapan fasilitas tersebut di atas dapat membangkitkan sektor ekonomi dan juga untuk penyebaran/pemerataan infrastruktur dan biaya perawatan. Pendekatan perencanaan ini membutuhkan tidak hanya dari segi keindahan, tetapi yang paling penting adalah dari segi ekonomi. Kesalahan teknis dalam penentuan tempat untuk aktivitas di air dapat dengan mudah berakhir dengan kegagalan akibat anggaran biaya pembangunan, menyebabkan biaya yang lebih besar, keterlambatan dan kompromi yang menghasilkan ketidaksesuaian dengan keinginan. Dari titik pandang pengembang, hanya satu keinginan adalah memperkecil biaya. Oleh karena itu, sering sekali pendekatan ini tidak hanya kurang bijaksana tetapi berakhir sebagai salah satu keputusan yang paling mahal. Oleh karena itu konsep perencanaan dengan melakukan penyelidikan awal yang profesional adalah sangat penting. Bagaimana merancang fasilitas rekreasi marina yang dapat mendorong peningkatan wisatawan dan akses, membuat sebagian besar daya tarik hari ini semakin meningkat dengan waterfront dan menawarkan manfaat dalam peningkatan imbalan keuangan Layout Umum Pelabuhan Marina Perancangan suatu marina dan komposisinya, tentu saja, sangat tergantung pada tempat dan kondisi daerahnya. Satu keharusan mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perancangan suatu marina dan komposisinya, tentu saja, sangat tergantung pada tempat dan kondisi daerahnya. Satu keharusan mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan fasilitas, termasuk diantaranya, bagaimanapun tidak terbatas pada, golongan wisatawan atau wisatawan yang saat ini sering pergi ke daerah tersebut atau yang dapat terpikat dengan adanya peningkatan fasilitas bangunan, fasilitas dan layanan yang tersedia, material konstruksi, infrastruktur di darat dan sumber daya operasi; jarak terhadap fasilitas marina lainnya; dan cuaca, geofisika dan kondisi lingkungan. Infrastruktur existing atau infrastruktur potensial adalah luar biasa pentingnya. Untuk daya tarik wisatawan mancanegara, fasilitas bandara, serta 20

16 daya tarik maskapai penerbangan, umumnya memegang peranan penting dalam mensukseskan dari suatu tempat. Untuk daya tarik wisatawan mancanegara dan domestik, kemampuan untuk mencapai fasilitas itu adalah paling penting. Jauhdekatnya jarak dari pusat populasi, walau penting, biasanya waktu tidak sepenting waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tujuan marine resort baik dari bandara atau pusat populasi penduduk lokal. Fungsi total fasilitas seharusnya tidak hanya untuk Port of Call dan pangkalan untuk explorasi lebih lanjut, tetapi sebagai tempat untuk non-boater untuk juga memiliki atau menikmati pantai. Menentukan dan mengintegrasikan desain yang tepat untuk mengakomodasi tujuan-tujuan yang berbeda akan sangat tergantung pada lokasi dan jenis wisatawan. Fasilitas yang berorientasi wisata di Bali, seperti lokasi pelabuhan Sanur, desainya akan mengarah pada peningkatan infrastruktur dan fungsi pelabuhan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Bali. Pengembangan dan fungsi sangat berbeda dengan fasilitas di Carribbean, demikian juga dengan operasional di Hawai atau di Australia. Sejumlah pelajaran yang dapat dipelajari dari daerah ini apabila mempertimbangkan potensi marine resort di negara-negara berkembang. Pemahaman pasar yang relatif potensial memahami pasar relatif potensial pada marina yang sudah adalah kunci keberhasilan marina. Langkah pertama adalah kesepakatan dalam menentukan pantas tidaknya daerah tersebut untuk pengembangan marina dan sifat sumber daya perairan yang tersedia. Kita harus menentukan apa saja kegiatan kapal/boat dan wisatawan dapat melakukan kegiatan di dalam daerah Bali dan di daerah pelabuhan tersebut. apakah untuk melayani boat jarak dekat atau membutuhkan tempat untuk melakukan wisata dengan jarak yang cukup jauh. Apakah tujuannya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara atau meningkatkan kesempatan untuk rekreasi ataukah untuk menanggapi peningkatan kemakmuran penduduk pribumi. Apa yang diharapkan pelaut dari marina, adalah serangkaian layanan yang diberikan dalam lingkungan yang menyenangkan: Tempat tinggal yang memadai dari laut lepas Layanan Docking: pemeliharaan kapal berkala pada harga dan waktu perbaikan yang wajar. 21

17 Tambatan dan pengamatan dari kapal Penyimpanan kapal kecil untuk sementara di darat pada halaman terbuka atau gudang Parkir mobil yachtsmen ini Perbaikan insedentil Cepat Pemasaran kapal baru dan bekas Jasa administrasi ataupun swasta (kantor pelabuhan, prakiraan cuaca, pabean, klub, kebutuhan medis, dll). Pilihan lokasi untuk marina, jika tidak didikte oleh fasilitas rekreasi yang harus diintegrasikan dalam proyek baru, harus berdasarkan hasil dari pertimbangan maritim dan nautical, dengan maksud untuk menyederhanakan sifat alam sehubungan dengan pekerjaan yang harus dilakukan serta untuk menurunkan biaya. Hal ini juga harus bergantung pada pertimbangan lingkungan pelabuhan ke dalam semua perkembangan lain yang sedang berlangsung atau sedang direncanakan di darat, harus dipastikan. Untuk tujuan perencanaan induk, faktor yang paling penting biasanya menyangkut kondisi gelombang. Disepanjang pantai terbuka, marina umumnya harus dilindungi oleh pemecah gelombang. Di daerah yang lebih terlindungi, sistem lain dapat dipertimbangkan, misalnya pemecah gelombang mengapung. Pelabuhan sering terdiri dari sebuah pelabuhan luar di mana gelombang masih agak kasar, dan pelabuhan baik inner terlindung di mana tempat berlabuh yang sebenarnya berada. Ketika kisaran pasang surut kecil, pelabuhan dapat dirancang untuk memberikan kedalaman yang cukup untuk menjaga perahu tetap mengapung. Ketika rentang pasang surut besar, sering diterima oleh umum bahwa tempat berlabuh menjadi kering, jika tidak kunci pelayaran yang relatif mahal harus disediakan. Kondisi akses ke pelabuhan harus dipertimbangkan dengan cermat. Layout, tentu saja, harus memastikan perlindungan yang memadai dari saluran masuk (entrance channel) terhadap aksi gelombang dan terhadap pendangkalan. Selanjutnya, layout harus sedemikian rupa sehingga perahu kecil tanpa mesin dapat masuk atau meninggalkan pelabuhan, Yang menyiratkan bahwa saluran harus cukup lebar untuk taktik, setiap kali diperlukan. Selain itu, gerakan kapal 22

18 harus mampu bergerak tanpa masalah yang tidak semestinya, bahkan selama jam sibuk. Terutama mengingat padatnya lalu lintas di sebagian besar pelabuhan mesin diperlukan untuk kapal-kapal. Uraian diatas menyiratkan bahwa saluran masuk harus berorientasi benar, dan harus memiliki lebar 40 m atau lebih Kapal Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dan sebagainya) seperti halnya sampan atau perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya cukup besar untuk membawa perahu kecil seperti sekoci. Sedangkan dalam istilah Inggris, dipisahkan antara ship yang merupakan kapal yang lebih besar dan sedangkan boat yang lebih kecil. Secara kebiasaannya kapal dapat membawa perahu tetapi perahu tidak dapat membawa kapal. Ukuran sebenarnya dimana sebuah perahu disebut kapal selalu ditetapkan oleh undangundang dan peraturan atau kebiasaan setempat. Di Indonesia kapal-kapal yang berukuran dibawah 7 GT pengurusan ijin operasinya cukup di wilayah kabupaten atau kota. Kapal-kapal yang melayani rute gugus pulau disamping tersedia kapal penyeberangan milik pemerintah dan kapal pariwisata milik swasta, sebagian besar adalah perahu layar dilengkapi mesin 20 sampai 120 PK dan Speed Boat dengan mesin 500 sampai Pengertian Karakteristik Kapal Tonase kotor (gross tonnage), disingkat GT adalah perhitungan volume semua ruang yang terletak dibawah geladak kapal ditambah dengan volume ruangan tertutup yang terletak di atas geladak ditambah dengan isi ruangan beserta semua ruangan tertutup yang terletak di atas geladak paling atas (superstructure). Daya muat adalah berat muatan yang biasa dimuat dalam kapal sampai batas garis muatan atau kapal tenggelam sampai pada batas garis muatan Brotto Register Ton (BRT) = gross tonnage yaitu jumlah isi kapal seluruhnya. Netto Register Ton (NRT) merupakan berat brutto dikurangi isi muatan seperti bahan bakar, ruang mesin, tangki air. Jadi NRT adalah ruang yang dapat dijual/disewakan. 23

19 Dead Weight Tonnage (DWT) adalah selisi antara loaded displacement dengan light displacement merupakan kapasitas muat yang biasa dinyatakan dalam long tons; 1 long tons = 1,016 ton. Sedangkan displacement adalah berat air yang dipindahkan oleh kapal atau dapat juga disebut volume dari kapal yang terletak dibawah air dikalikan BD nya. Tonase kotor dinyatakan dalam ton yaitu suatu unit volume sebesar 100 kaki kubik yang setara dengan 2,83 kubik meter. Perhitungan tonase kotor dijelaskan di dalam Regulation 3 dari Annex 1 dalam (The International Convention on Tonnage Measurement of Ships, 1969). Tergantung dari dua variabel: 1. V, adalah total volume dalam meter kubik (m³), dan 2. K, adalah faktor pengali berdasarkan volume kapal. 2. Klasifikasi Kapal Berabad-abad kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi sungai atau lautan yang diawali oleh penemuan perahu. Biasanya manusia pada masa lampau menggunakan kano, rakit ataupun perahu, semakin besar kebutuhan akan daya muat maka dibuatlah perahu atau rakit yang berukuran lebih besar yang dinamakan kapal. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kapal pada masa lampau menggunakan kayu, bambu ataupun batang-batang papirus seperti yang digunakan bangsa mesir kuno kemudian digunakan bahan bahan logam seperti besi/baja karena kebutuhan manusia akan kapal yang kuat. Untuk penggeraknya manusia pada awalnya menggunakan dayung kemudian angin dengan bantuan layar, mesin uap setelah muncul revolusi Industri dan mesin diesel serta Nuklir. Beberapa penelitian memunculkan kapal bermesin yang berjalan mengambang di atas air seperti Hovercraft dan Eakroplane. Serta kapal yang digunakan di dasar lautan yakni kapal selam. 3. Kapal Roll-On/Roll-Off Prinsip pada kapal roll-on/roll-off (roro) adalah bahwa barang-barang yang diangkut ditempatkan diatas trailer atau di rolling stock lainnya, dan trailer rolling stock berikut barang diatasnya (biasanya barang dalam container) ditarik 24

20 oleh sebuah traktor ke dalam kapal dan sebaliknya melalui sebuah trap pada bagian belakang kapal. Keuntungan dari angkutan ini adalah bahwa waktu muat/bongkar dapat dipersingkat. Kapal roro dioperasikan untuk ferry service pada trayek-trayek jarak pendek dengan waktu berlayar 24 jam. Walaupun presentasi daya muat dalam palka sangat rendah, kapal ini memberikan hasil yang terbaik untuk mengangkut barang dari produsen sampai ke konsumen tanpa mengalami hambatan dalam prosedur bongkar/muat dipelabuhan. 4. Kapal Konvensional Di negara-negara maju kapal-kapal konvensional digunakan untuk pengangkutan barang-barang khusus. Lambat laun tugas dari general cargo liner diambil alih kapal-kapal untuk muatan-muatan khusus (special purpose cargo ships) berkembang sangat cepat. Mulai tahun 2002 kewenangan pelaksanaan pengukuran dan penerbitan Surat atau sertifikat Kapal yang Gross Tonase (GT) nya kurang dari 7, sebagaimana yang disebutkan dalam surat (MAPEL. Ditjen Hubla No. 196/54/ph bl tanggal ), mengenai kapal dengan ukuran isi kotor kurang dari GT.7 jenis dan bentuk sertifikat kapal dinamakan Pas Kecil diterbitkan oleh Dinas Perhubungan Pemerintah Daerah setempat. Pendataan kapal pada tahun 2006, terdapat jumlah kapal yang gross tonase (GT) kurang dari 7 sebanyak 410 buah dengan rincian data-data sebagai berikut: (Dishub Kota Denpasar 2006) a. Di Sanur sebanyak 39 buah b. Di Benoa sebanyak 371 buah Keseluruhan Jumlah: 410 buah Kapal atau perahu dikatakan tertambat apabila telah terikat ke obyek tetap seperti dermaga atau obyek terapung seperti dermaga apung. Untuk menambatkan kapal ke dermaga digunakan tali-temali yang dapat menahan kapal dari arus, angin ataupun gelombang yang terjadi perairan. Semakin besar kapal yang ditambatkan diperlukan tali tambat yang lebih banyak, kapal tangker membutuhkan sampai 12 tali tambat, kapal layar membutuhkan 4 sampai 6 tali 25

21 tambat. Untuk menambatkan kapal ke dermaga awak kapal harus berkoordinasi dengan buruh pelabuhan (kepil) dalam menambatkan tali kapal ke dermaga. Kapal untuk penyeberangan gugus pulau umumnya berukuran kecil, sehingga tidak membutuhkan bolder yang besar pada saat merapat di dermaga tetapi perlu ditambatkan, agar tidak terbawa oleh arus. Untuk menambatkan kapal di Dermaga, digunakan simpul pada bolder, simpul ini tidak gampang terbuka tetapi mudah untuk dibuka kembali. Pada Gambar 2.2 ditunjukkan cara melakukan penambatan (mooring) kapal kecil. Gambar 2.2 Mooring Untuk Kapal Kecil Di Dermaga 5. Yachting dan Yachts Yacht adalah perahu layar berukuran sedang untuk berwisata atau untuk balapan. Sedangkan Yachting adalah olahraga atau hobi dari dayung atau berlayar. Analisis yang sangat mendalam berkenaan dengan persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pembangunan pelabuhan marina dimulai. Hal ini cukup beralasan karena fasilitas yang akan dibangun dan layanan yang akan dimasukkan ke dalam operasi pelabuhan untuk mengakomodasi bagaimana kapal beroperasi itu berarti sangat tergantung pada spesifikasi dari kapal. Ini bervariasi sesuai dengan: Asal dari pengemudi yacht (yachtsmen), apakah orang lokal yang tinggal kurang lebih dekat dengan pelabuhan dan menggunakan boat mereka selama akhir pekan atau berlibur, wisatawan yang menginap di sebuah resor di sekitar pelabuhan, charter, dll). Selera, apakah untuk melakukan pelayaran, menjelajahi lautan, balapan yacht, memancing, ski air). 26

22 Dengan demikian, fasilitas untuk pengembangannya seluruhnya dapat masuk ke dalam pola rencana pengembangan waterfront maritim yang berorientasi pada pelayaran atau, sebaliknya, mereka bisa dibatasi seperti klub berlayar lokal. Tidak bisa terlalu ditekankan bahwa pilihan tersebut harus sepatutnya dipertimbangkan, karena meniru layout yang tidak beralasan sukses di tempat lain, dapat menimbulkan kekecewaan. Struktur armada yang memungkinkan untuk menentukan layout sebuah ukuran fasilitas berlabuh adalah faktor paling penting dalam survei pendahuluan. Diagram pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa, dalam membuat perencanaan harus memperhitungkan banyak variasi. Kesenjangan tentu akan lebih besar jika Gambar 2.3 Persentase Kapal Melebihi Panjang Yang Diijinkan, Sumber: (H.Ligteringen and H. Velsink 2012) Salah satu frekuensi aktual kapal yang sedang dipertimbangkan ternyata tidak sesuai dengan kunjungan pada pelabuhan, struktur pelabuhan langsung terhubung dengan karakteristik dan kondisi operasi kapal, yaitu: dari pelabuhan ke pelabuhan, diasumsikan bahwa Desain umum, mungkin tergantung pada dimensi dan alur pelayaran (fairway), untuk sebagian besar yacht yang singgah di pelabuhan, yang berlayar dengan angin kurang dari 45 0 (setidaknya, perahu berukuran kecil yang tidak memiliki mesin tambahan). 27

23 Kapal kecil dapat dan sering harus diletakkan di darat (pantai), mereka diturunkan ke air atau meluncurkan dengan cara mengambil tempat di landai. Kondisi cuaca dapat memerlukan tambatan sementara dan dalam kasus tertentu diperlukan derek kecil. Boat yang dipakai untuk kapal pesiar selama berhenti membutuhkan fasilitas akomodasi yang terkait dengan kebutuhan hidup mereka selama bertambat/mengapung. Penggabungan operasi pemeliharaan dan perbaikan di dalam marina, memerlukan pengembangan fasilitas khusus (pelataran, fasilitas drydocking). Ukuran yacht diberikan dalam Angka 2.4 dan 2.5 Gambar 2.4 Ukuran Kapal Motor (Motor Boats); Sumber : (H.Ligteringen and H. Velsink 2012) 28

24 Gambar 2.5 Ukuran Kapal Layar (Sailing Boats) Basin dan Tambatan Pelabuhan Marina Dalam pelabuhan zonasi atau disebut basin, perbedaan biasanya dibuat antara: Basin di pelabuhan singgah tidak memerlukan area besar (tidak ada parkir mobil), termasuk disekitar kantor pelabuhan, kantor administrasi (bea cukai, polisi perbatasan, ramalan cuaca, dll) dan berbagai fasilitas layanan ditetapkan (wc, shower, informasi, kantor pos). Basin diperuntukkan untuk yacht terdaftar di pelabuhan, dikelilingi dengan taman mobil besar. Basin untuk pemeliharaan selain mengapung, juga disediakan alat angkat dan area teknis umum, kawasan untuk dock kering, dan gudang. Ukuran dari basin, atau zona, harus ditentukan sesuai dengan persyaratan tertentu. Sebagai estimasi pertama, total luas area A dapat diambil sebagai sama dengan 80 x total kapasitas pelabuhan, dalam hal jumlah kapal pesiar N, yang dapat ditampung: A = 80. Ns Fasilitas tambat berorientasi sedemikian rupa, bahwa kapal-kapal akan berlabuh mengikuti mata angin yang berlaku. Skema yang dianut dalam posisi tambatan yang berbeda dan terutama jarak antara dermaga dan tempat berlabuh dalam setiap kasus tergantung pada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan 29

25 dengan hati-hati. Pelabuhan dengan berbagai pasang surut tinggi dan arus pasang surut yang kuat, atau dengan pasang surut yang sering dan arus pasang surut yang kuat, atau dengan angin yang kuat dan sering, akan membutuhkan area manuver yang lebih besar di antara dermaga (dan dermaga pendek) dibandingakan dengan pelabuhan terlindung di mana rentang pasang surut kecil. Sistem dermaga mengambang yang ditunjukkan pada Gambar 2.6. Susunan berlabuh paralel umum untuk dermaga vising. Hal ini juga dapat digunakan dalam pentahapan awal untuk perkembangan marina kecil. Beberapa tipe pengaturan berlabuh tegak lurus ada. Dua yang paling umum tampaknya sistem mooring busur out. Di mana kerajinan yang naik di buritan secara langsung dari dermaga apung, dan pengaturan tergelincir/jari populer, di mana perahu bisa baik tidur haluan atau buritan menuju jalan utama dan naik dari jari sisi, terbentuk lebih murah sedangkan yang terakhir ini lebih nyaman untuk mooring dan akses kapal dan karenanya lebih aman. Gambar 2.6 Pengaturan Umum Berkaitan Dengan Dermaga Apung Dalam dimensioning baskom, termasuk fairways dan area tidur standar alam telah diterbitkan di beberapa negara, c.g. Standar Australia (1991), Pedoman 30

26 British (1993) atau Pedoman US British (ASCE, 1994). Sebuah gambaran yang komprehensif tentang standar dan pedoman yang diberikan dalam PIANC (1997). Dimensi utama menyangkut daerah basah marina, i.c. panjang dan lebar dari slip dan lebar fairway, semua dalam kaitannya dengan panjang dan lebar dari kapal Ls dan B s : (i) Panjang slip, Ls, di sebagian besar standar sama dengan panjang terbesar dari perahu yang dapat dengan peraturan menjadi berlabuh di slip. Dalam beberapa panduan panjang jari, Lf, dapat dipilih korsleting dari Ls hingga 1/3. L s. (ii)slip lebar ditentukan dengan menambahkan izin ganda untuk B adalah kasus slip tunggal dan izin tiga untuk slip ganda. izin ini bervariasi dari 0,3-0,5 m, sedangkan untuk panjang perahu di atas 15 m nilai 1,0 m yang ditemukan. (iii) Fairway, dalam hal ini daerah air antara bibir, memiliki lebar minimal 1,5, Ls dengan 1,75, Ls disukai. Pedoman ini dirangkum dirangkum dalam Gambar 2.7, Lebar trotoar dan dermaga jari dibakukan oleh produsen sistem dan bergantung pada panjang jalan dan B masing-masing. Untuk panjang trotoar hingga 200 m lebar 1,8 m adalah standar. Dermaga jari memiliki lebar minimal 0,6 m, meningkat menjadi 1,5 untuk Ls> 15 m Gambar 2.7 Pedoman Untuk Area Perairan Marina 31

27 Gambar 2.8 Layout Marina Lake Michigan Ukuran taman mobil untuk dikembangkan, terutama tergantung pada jenis pemanfaatan kapal ditampung di pelabuhan. Jumlah kendaraan ke taman dapat berkisar dari beberapa unit untuk dua kali (atau bahkan 2,5 kali) jumlah kapal meletakkan di pelabuhan. Dengan mempertimbangkan biaya tinggi dan semua ketidaknyamanan lingkungan taman mobil di tepi pantai. Tren ini terhadap fasilitas meminimalkan di pelabuhan dan transfer parkir untuk lokasi pedalaman. Kapal dilakukan di trailer jalan harus dilengkapi dengan peralatan biasa launching (biasanya jalan, setidaknya ketika kisaran pasang surut tidak terlalu besar) dan dekat dengan tempat parkir yang luas untuk kapal dan, jika perlu, untuk mobil. Hal ini berlaku, dalam hal apapun, untuk kapal meletakkan up darat Struktur Pelabuhan Marina Dermaga dan perairan istirahat umumnya merupakan bagian besar dari total biaya marina. Dengan demikian, mereka layak meskipun usaha desain. Pemecah gelombang harus dirancang untuk mencegah gelombang di limpasan setidaknya, ketika tidak ada pelabuhan luar, karena kesenangan kerajinan berkuda di jangkar hanya bisa menghasilkan gelombang yang sangat kecil (amplitudo 30 cm, di terbaik, sehubungan dengan kenyamanan orang yang hidup mengapung, atau 60 cm dengan hormat tp mooring aman). persyaratan tersebut memerlukan 32

28 tingkat puncak tinggi untuk break perairan, yang mungkin bertentangan dalam beberapa kasus dengan aspek rekreasi dari pertimbangan marina. Quas mengharuskan pemecah gelombang tidak membatasi pandangan lansekap dan cakrawala bagi orang-orang berjalan di sekitar wilayah pelabuhan. Puncak breakwater yang bisa diturunkan melalui cara seperti tanggul pantai, baskom menumpahkan atau lereng sangat datar. jenis yang paling umum digunakan adalah pemecah gelombang gundukan rubble kadang-kadang digunakan di perairan yang lebih dalam. Marina di danau atau teluk alami dapat dilindungi oleh pemecah gelombang lantai, yang menyediakan pengurangan gelombang yang cukup untuk periode gelombang pendek, yang berlaku di daerah-daerah, struktur tersebut biasanya lebih murah daripada pemecah gelombang padat, dan memungkinkan lebih banyak pertukaran dengan akan mengelilingi air, sehingga meningkatkan air berkualitas di sisi marina. Untuk port perencana, jumlah pengurangan gelombang adalah menentukan apakah suatu breakwater mengambang dapat digunakan. Transmisi gelombang telah ditentukan untuk berbagai jenis pemecah gelombang terapung baik dengan metode eksperimental dan numerik. Untuk piring datar vertikal, memanjang sampai kedalaman z dari permukaan air di dalam air kedalaman h tinggi persentase gelombang yang ditransmisikan ditunjukkan pada Gambar 2.9. Dalam kasus ponton persegi panjang koefisien transmisi Cr menjadi fungsi dari kedua kedalaman perendaman dan lebar ponton, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10 untuk rasio panjang gelombang lebih dari kedalaman air L / lt = 1,25. Untuk detail lebih lanjut tentang referensi transmisi gelombang dibuat untuk Ofuya (1968). Gambaran dari desain dan konstruksi aspek pemecah gelombang terapung diberikan dalam PIANC (1994). Quas dan dermaga stasioner hanya ditemukan di marina di mana rentang pasang surut rendah (kurang dari 1,50 m), untuk tingkat dek kapal harus tetap dekat dengan yang ada pada fasilitas berlabuh untuk memfasilitasi embarkasi dan debarkasi. 33

29 Gambar 2.9 Tinggi Gelombang Transmisi Sebagai Fungsi Dari Air Dan Struktur Kedalaman; Sumber: (H.Ligteringen and H. Velsink 2012) Gambar 2.10 Koefisien Tranmisi Untuk Kaku, Penghalang Permukaan Persegi Panjang (L / h = 1,25); Sumber: (H.Ligteringen and H. Velsink 2012) 2.4 Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities dan Threats) Analisis SWOT adalah cara yang berguna untuk menilai perkembangan potensial tentang keunggulan kompetitif dan ancaman dari pelabuhan marina. Unsur-unsur yang harus dipertimbangkan dalam analisis tersebut akan bervariasi tetapi daftar tersebut harus mencakup: 34

30 - Posisi geografis. - Akses Nautical - Koneksi Hinterland - Fasilitas Pelabuhan termasuk teknologi informasi. - Biaya Pelabuhan. - Output. - Nilai tambah - Angkatan kerja dan iklim sosial - Struktur Kelembagaan - Efisiensi dan fleksibilitas untuk perubahan Ada dua persyaratan utama untuk pelabuhan untuk mencapai kesuksesan: 1. Keadaan alam pelabuhan dan pendekatan alur pelabuhan yang mempunyai kedalaman yang memenuhi syarat, yaitu pertimbangan lokasi. Misalnya, dengan pulau Lembongan, 2. Lokasi traffic menghasilkan strength, yaitu pelabuhan harus menjadi pusat ke daerah pedalaman dan dalam perjalanan ke tujuan yang bermakna. Di atas dua faktor dapat ditingkatkan dengan faktor manusia. 35

STUDI PEMBANGUNAN MARINA RESORT UNTUK PENGEMBANGAN PARIWISATA PULAU LEMBONGAN-BALI

STUDI PEMBANGUNAN MARINA RESORT UNTUK PENGEMBANGAN PARIWISATA PULAU LEMBONGAN-BALI STUDI PEMBANGUNAN MARINA RESORT UNTUK PENGEMBANGAN PARIWISATA PULAU LEMBONGAN-BALI TUGAS AKHIR Oleh : I Komang Adi Puja Sidartha 1004105062 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA 2016

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Pantai Sanur, Dermaga, Marina, Speedboat

ABSTRAK. Kata kunci: Pantai Sanur, Dermaga, Marina, Speedboat ABSTRAK Pantai Sanur selain sebagai tempat pariwisata juga merupakan tempat pelabuhan penyeberangan ke Pulau Nusa Penida. Namun sampai saat ini, Pantai Sanur belum memiliki dermaga yang berakibat mengganggu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, telah diatur

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70 TAHUN 1996 (70/1996) Tanggal : 4 DESEMBER 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/107; TLN PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 70-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2001 Perhubungan.Pelabuhan.Otonomi Daerah.Pemerintah Daerah.Tarif Pelayanan. (Penjelasan

Lebih terperinci

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1867, 2016 KEMENHUB. Pelabuhan Laut. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial dan Non Komersial a. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial 1) Memiliki fasilitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN LAMPIRAN 1 i DAFTAR ISI 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Istilah dan Definisi 4. Persyaratan 4.1. Kriteria dan Variabel Penilaian Pelabuhan 4.2. Pengelompokan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, dalam

Lebih terperinci

TIPE DERMAGA. Dari bentuk bangunannya, dermaga dibagi menjadi dua, yaitu

TIPE DERMAGA. Dari bentuk bangunannya, dermaga dibagi menjadi dua, yaitu DERMAGA Peranan Demaga sangat penting, karena harus dapat memenuhi semua aktifitas-aktifitas distribusi fisik di Pelabuhan, antara lain : 1. menaik turunkan penumpang dengan lancar, 2. mengangkut dan membongkar

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA Transportasi udara dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok: 1. Penerbangan domestik 2. Penerbangan

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR : 45 TAHUN : 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA CILEGON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI ALOR, : a. bahwa pelabuhan mempunyai peran

Lebih terperinci

PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO

PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Terminal Kapal Pesiar Tanah Ampo Kabupaten Karangasem dengan sebutan "Pearl from East Bali" merupakan tujuan wisata ketiga setelah

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau kecil yang biasanya menunjukkan karakteristik keterbatasan sumber daya dan tidak merata yang membatasi kapasitas mereka untuk merangkul pembangunan. Hal ini terutama

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 KOTA DUMAI LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI, Menimbang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan 66 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan dan kebutuhan prasarana dan sarana transportasi perkotaan di empat kelurahan di wilayah

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN : 1 BUPATI KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN, ANGKUTAN SUNGAI, DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pelabuhan merupakan sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Perkembangan pelabuhan

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan. Bab 1.

LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan. Bab 1. LAPORAN TUGAS AKHIR (KL-40Z0) Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe Deck On Pile di Pelabuhan Garongkong, Propinsi Sulawesi Selatan Bab 1 Pendahuluan Bab 1 Pendahuluan Perancangan Dermaga dan Trestle Tipe

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang perekonomian nasional, Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan Pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang

Lebih terperinci

Pesawat Polonia

Pesawat Polonia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara maritim sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia, tidak bisa dibantah bahwa pelabuhan menjadi cukup penting dalam membantu peningkatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 09 TAHUN 2005 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Berdasarkan, Juknis LLAJ, Fungsi Terminal Angkutan Jalan dapat ditinjau dari 3 unsur:

Berdasarkan, Juknis LLAJ, Fungsi Terminal Angkutan Jalan dapat ditinjau dari 3 unsur: TERMINAL Dalam pencapaian pembangunan nasional peranan transportasi memiliki posisi yang penting dan strategi dalam pembangunan, maka perencanaan dan pengembangannya perlu ditata dalam satu kesatuan sistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Menurut Munawar, A. (2004), angkutan dapat didefinikan sebagai pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1523, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Angkutan Laut. Penyelenggaraan. Pengusahaan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 93 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Standar Pelayanan Berdasarkan PM 37 Tahun 2015 Standar Pelayanan Minimum adalah suatu tolak ukur minimal yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

- Term inal adalah tempat alat-alat pengangkutan dapat. - Terminal adalah tempat berhenti, tempat kedudukan, tempat

- Term inal adalah tempat alat-alat pengangkutan dapat. - Terminal adalah tempat berhenti, tempat kedudukan, tempat BAB II TPKL SEBAGAI SIMPUL SIRKULASI 2.1. Terminal Sebagai Simpul Sirkulasi. 2.1.1. Pengertian Terminal. - Term inal adalah tempat alat-alat pengangkutan dapat berhenti dan memuat, membongkar barang, misalnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN UMUM Kegiatan kenavigasian mempunyai peranan penting dalam mengupayakan keselamatan berlayar guna mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat strategis terhadap aspek ekonomi, juga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat strategis terhadap aspek ekonomi, juga memiliki BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Transportasi merupakan kebutuhan turunan (devired demand) dari kegiatan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah tercermin pada peningkatan intensitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN JASA KEPELABUHAN DAN BANDAR UDARA

PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN JASA KEPELABUHAN DAN BANDAR UDARA BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN JASA KEPELABUHAN DAN BANDAR UDARA Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BULUNGAN, bahwa ketentuan retribusi yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa angkutan di perairan selain mempunyai peranan yang strategis dalam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan

Lebih terperinci

PENGANTAR TEKNIK TRANSPORTASI TERMINAL. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

PENGANTAR TEKNIK TRANSPORTASI TERMINAL. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 PENGANTAR TEKNIK TRANSPORTASI TERMINAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 PENDAHULUAN TERMINAL kelancaran mobilitas keterpaduan intra dan

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB I PENDAHULUAN

D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan / maritim, peranan pelayaran adalah sangat penting bagi kehidupan sosial, ekonomi, pemerintahan, pertahanan / keamanan, dan sebagainya.

Lebih terperinci

STATISTIK PERHUBUNGAN KABUPATEN MAMUJU 2014

STATISTIK PERHUBUNGAN KABUPATEN MAMUJU 2014 s. bp uk ab. am uj m :// ht tp id go. STATISTIK PERHUBUNGAN KABUPATEN MAMUJU 2014 ISSN : - No. Publikasi : 76044.1502 Katalog BPS : 830.1002.7604 Ukuran Buku : 18 cm x 24 cm Jumlah Halaman : v + 26 Halaman

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.193, 2013 TRANSPORTASI. Perhubungan. Lalu Lintas. Angkutan Jalan. Jaringan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Studi Master Plan Pelabuhan Bungkutoko di Kendari KATA PENGANTAR

Studi Master Plan Pelabuhan Bungkutoko di Kendari KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Buku Laporan ini disusun oleh Konsultan PT. Kreasi Pola Utama untuk pekerjaan Studi Penyusunan Master Plan Pelabuhan Bungkutoko di Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Laporan ini adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGEMBANGAN PELABUHAN LAUT SERUI DI KOTA SERUI PAPUA

PERENCANAAN PENGEMBANGAN PELABUHAN LAUT SERUI DI KOTA SERUI PAPUA PERENCANAAN PENGEMBANGAN PELABUHAN LAUT SERUI DI KOTA SERUI PAPUA Jori George Kherel Kastanya L. F. Kereh, M. R. E. Manoppo, T. K. Sendow Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG K E P E L A B U H A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SISTEM TRANSPORTASI 2.1.1 Pengertian Sistem adalah suatu bentuk keterkaitan antara suatu variabel dengan variabel lainnya dalam tatanan yang terstruktur, dengan kata lain sistem

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Medan dewasa ini merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami perkembangan dan peningkatan di segala aspek kehidupan, mencakup bagian dari

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN A. Sejarah Perusahaan PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero) selanjutnya disingkat Pelindo IV merupakan bagian dari transformasi sebuah perusahaan yang dimiliki pemerintah,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Deskipsi (S. Imam Wahyudi & Gata Dian A.) Menjelaskan tentang fasilitas Pelabuhan di darat meliputi : fasilitas-fasilitas darat yang berada di

Deskipsi (S. Imam Wahyudi & Gata Dian A.) Menjelaskan tentang fasilitas Pelabuhan di darat meliputi : fasilitas-fasilitas darat yang berada di Deskipsi (S. Imam Wahyudi & Gata Dian A.) Menjelaskan tentang fasilitas Pelabuhan di darat meliputi : fasilitas-fasilitas darat yang berada di terminal barang potongan, terminal peti kemas, terminal barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pelabuhan merupakan tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan Menurut Lubis (2000), Pelabuhan Perikanan adalah suatu pusat aktivitas dari sejumlah industri perikanan, merupakan pusat untuk semua kegiatan perikanan,

Lebih terperinci

BIDANG PERHUBUNGAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN KABUPATEN 1. Perhubungan Darat. 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)

BIDANG PERHUBUNGAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN KABUPATEN 1. Perhubungan Darat. 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) - 35-7. BIDANG PERHUBUNGAN 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten 2. Pemberian izin penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT YANG MELAKUKAN KEGIATAN

Lebih terperinci

7 STRATEGI PENGEMBANGAN PELABUHAN TANJUNG PRIOK SEBAGAI INTERNATIONAL HUB PORT. Pendahuluan

7 STRATEGI PENGEMBANGAN PELABUHAN TANJUNG PRIOK SEBAGAI INTERNATIONAL HUB PORT. Pendahuluan 73 7 STRATEGI PENGEMBANGAN PELABUHAN TANJUNG PRIOK SEBAGAI INTERNATIONAL HUB PORT Pendahuluan Selama ini jalur pengiriman kontainer dari Indonesia ke luar negeri diarahkan ke Pelabuhan Singapura atau Port

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2015 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT YANG MELAKUKAN

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan kepariwisataan dunia yang terus bergerak dinamis dan kecenderungan wisatawan untuk melakukan perjalanan pariwisata dalam berbagai pola yang berbeda merupakan

Lebih terperinci

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN KATA PENGANTAR

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyusun Studi Penyusunan Konsep Kriteria Di Bidang Pelayaran. ini berisi penjabaran Kerangka

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM NOMOR: KP 99 TAHUN 2017 NOMOR: 156/SPJ/KA/l 1/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN

Lebih terperinci

Denpasar, Juli 2012

Denpasar, Juli 2012 Denpasar, 12-14 Juli 2012 1. Latar Belakang 2. Tujuan dan Sasaran 3. Perkembangan Kegiatan 4. Hasil Yang Diharapkan LATAR BELAKANG MP3EI antara lain menetapkan bahwa koridor ekonomi Bali Nusa Tenggara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 03 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 03 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 03 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PELABUHAN KAPAL PADA PELABUHAN REGIONAL DI PROPINSI SULAWESI TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang

Lebih terperinci

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan daerah. 2.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Membaca : 1. surat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Dasar Hukum... 1 1.1.2 Gambaran Umum Singkat... 1 1.1.3 Alasan Kegiatan Dilaksanakan... 3 1.2 Maksud dan Tujuan... 3 1.2.1 Maksud Studi...

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 24 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN

Lebih terperinci

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan 2. Pemberian

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARAA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG DI SUNGAI BARITO DALAM WILAYAH KABUPATEN BARITO UTARA

BUPATI BARITO UTARAA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG DI SUNGAI BARITO DALAM WILAYAH KABUPATEN BARITO UTARA BUPATI BARITO UTARAA PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TAMBAT, LABUH KAPAL LAUT DAN RAKIT KAYU DI SUNGAI BARITO DALAM WILAYAH KABUPATEN BARITO UTARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

No Angkutan Jalan nasional, rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi, dan rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkuta

No Angkutan Jalan nasional, rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi, dan rencana induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkuta TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5468 TRANSPORTASI. Perhubungan. Lalu Lintas. Angkutan Jalan. Jaringan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Kebandarudaraan. Nasional. Tatanan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 69 TAHUN 2013 TENTANG TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL http://images.hukumonline.com I. PENDAHULUAN Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bandar Udara Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara, 1. Kebandarudaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

G. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PERHUBUNGAN

G. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PERHUBUNGAN LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 G. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998). Parkir merupakan suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998). Parkir merupakan suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara sedang berhenti dengan pengemudi tidak meninggalkan kendaraannya (Direktorat Jendral

Lebih terperinci

Inter and Intra City Aquatic Transport

Inter and Intra City Aquatic Transport Inter and Intra City Aquatic Transport Indonesia Negara Maritim Bakri Prakarso Andi Wiyono 15411095 PL4008 Seminar Studi Futuristik Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung, Kota Bandung

Lebih terperinci