MISTERI DAN KEKELAMAN PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK DALAM NOVEL HARRY POTTER AND THE CHAMBER OF SECRETS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MISTERI DAN KEKELAMAN PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK DALAM NOVEL HARRY POTTER AND THE CHAMBER OF SECRETS"

Transkripsi

1 MISTERI DAN KEKELAMAN PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK DALAM NOVEL HARRY POTTER AND THE CHAMBER OF SECRETS Mohamad Ikhwan Rosyidi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Semarang Abstrak: Tujuan dalam penelitian ini adalah deskripsi deskripsi analisis bagaimana misteri dan kekelaman pendidikan di dalam novel Harry Potter and the Chamber of Secrets, dan deskripsi analisis bagaimana misteri dan kekelaman pendidikan ini membentuk nilai karakter bagi anak secara kultural yang terefleksi dalam novel novel Harry Potter and the Chamber of Secrets.. Metode yang diguanakan adalah deskriptif kualitatif dengan menerapkan pendekatan struktur sastra formulaik yang dikemukakan Cawelti. Hasil dari penelitian ini adalah kedua hal, misteri dan kekelaman pendidikan, merupakan muara dari rentetan kejadian yang saling berkesinambungan dan berasosiasi satu dengan yang lain. Kejadian-kejadian yang muncul dalam ranah kemisterian merupakan pemicu lahirnya kekelaman atmosfer dalam dunia pendidikan di Hogwarts, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, kemisterian di dalam novel ini menjadi penanda dan petanda dari kekelaman pendidikan di Hogwarts. Begitu pula, kekelaman pendidikan di Hogwarts menjadi penanda dan petanda dari kemisterian yang terjadi di dalam novel HPCS. Kedua, karakter membeda-bedakan dan berburuk sangka yang disuguhkan Rowling ini merupakan pembelajaran moral bagi pembacanya. Kedua karakter tersebut digambarkan dengan contoh kejadian yang baik, yang dapat langsung diambil pembelajaran moralnya begitu saja dengan mudah. Ia ingin mengajak pembaca melihat sebuah kejadian dari sudut pandang atau perspektif terbalik. Kata kunci: misteri, kekelaman pendidikan, formula, karakter PENDAHULUAN Pendidikan karakter menjadi tujuan dalam proses pendidikan di Indonesia. Anak didik diharapkan setelah menempuh proses pendidikan mampu menerapkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan individualnya maupun dalam kehidupan sosialnya. Penerapan pendidikan karakter ini membutuhkan media, salah satunya melalui nilai-nilai dalam karya sastra. Implikasi dari hal tersebut adalah anak diharapkan rajin untuk membaca karya sastra. Hal yang menjadi paradoks dalam hal ini adalah temuan dari UNESCO. Organisasi dunia ini mengungkapkan bahwa pada tahun 2011 diungkapkan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Angka menunjukkan bahwa dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi (Yasir Mukhtar, tumblr.com). Dengan demikian, minat baca masyarakat Indonesia cukup rendah. Rendahnya minat baca masyarakat ini ini dimungkinkan akan menjadi gambaran persepsional bagi anak-anak bahwa kegiatan membaca tidak mendapatkan dukungan secara aktif oleh orang dewasa. Implikasi lainnya adalah ketika minat baca masyarakat rendah, pengenalan dan pemahaman nilai kehidupan sulit untuk ditanamkan. 47

2 Misteri dan Kekelaman Pendidikan... (Mohamad Ikhwan Rosyidi) Permasalahan mengenai minat baca ini menjadi sebuah PR bagi akademisi dan praktisi pendidikan. Mereka akan berupaya untuk menggiatkan anak untuk membaca. Upaya ini tidak lepas dari kebijakan yang dibuat dalam institusi pendidikan tersebut. Tidak sedikit upaya itu menimbulkan bentuk kemisterian tersendiri (Audifak, 2005). Kemisterian ini menjadi upaya positif bagi anak untuk mencari tahu (Muljadi, 2005). Keingintahuan menjadi salah satu tujuan yang dicapai dalam penanaman nilai karakter bagi anak. Mereka akan menggerakkan simpul saraf otak untuk membongkar hal-hal yang menjadi sebuah kerahasiaan. Dengan kata lain, kemisterian dibutuhkan anak untuk memicu kemampuan berpikir dan mengembangkan daya nalar mereka sekaligus membentuk karakter mereka. Di sisi lain, kemisterian memberikan imaji kekelaman atmosfer bagi institusi tersebut. Kerahasiaan dan jejak-jejak misterius membentuk dampak kengerian dalam proses pendidikan. Anak-anak akan merasakan dengan sendirinya imaji-imaji kelam tersebut dalam menjalani proses pendidikan tersebut. Ketakutan menjadi efek dari kekelaman tersebut. Secara tidak sadari, ketakutan itu akan membentuk nilai karakter yang berlawanan dengan kemisterian tersebut (bdk Bohlin, 2005). Dengan demikian, ada beberapa paradoks yang muncul dalam hal ini, yakni: pertama, paradoks antara penanaman karakter dan rendahnya minat baca; kedua, paradoks antara kemisterian dan kekelaman pendidikan; ketiga, paradoks yang dihasilkan dari paradoks yang kedua, yakni paradoks antara keingintahuan dan ketakutan. Paradoks-paradoks inilah yang menjadi kajian untuk dianalisis dalam penelitian ini. Hal-hal yang berkaitan dengan kemisterian dan kekelaman ini muncul dalam novel The Adventures of Sherlock Holmes, The Chronicles of Narnia, dan Harry Potter. Ketiga novel tersebut mengusung cerita dengan basis pengungkapan misteri melalui bentuk petualangan. Namun demikian, novel The Adventures of Sherlock Holmes lebih menekankan pengungkapan misteri dengan latar berbagai kehidupan dan novel The Chronicles of Narnia (Lewis, 2005) mengungkapkan misteri di dunia rekaan Narnia, yang digambarkan dengan latar hutan, sedangkan novel Harry Potter menggambarkan pengungkapan misteri di dunia sekolah sihir. Berdasarkan deskripsi di atas, peneliti akan memilih novel Harry Potter sebagai objek kajian dalam penelitian ini. Novel Harry Potter yang terdiri atas tujuh volume ini merupakan serial dari satu jalinan cerita pengungkapan kejahatan di dalam dunia sihir, yang direpresentasikan melalui fenomena di sekolah sihir Hogwarts. Setiap volume di dalam novel ini mengungkapkan permasalahan yang berbeda-beda sesuai dengan judul novel tersebut, misalnya, pada seri pertama judul novel tersebut adalah Harry Potter and the Sorcerer s Stone, jalinan cerita pada novel ini mengungkapkan misteri batu Sorcerer yang diinginkan oleh Voldemort untuk menyambung hidupnya dari kematian. Kemisterian di sini muncul dalam pengungkapan apa, mengapa, dan dalam rangka apa batu tersebut diinginkan. Pada seri kedua, novel ini berjudul Harry Potter and the Chamber of Secrets. Pada novel ini, jalinan cerita bermuara pada pengungkapan misteri kamar rahasia yang ada di dalam sekolah dan kelamnya penyimpanan rahasia yang, salah satunya, menimbulkan efek ketakutan bagi para 48

3 Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: siswa di sekolah. Efek ini menimbulkan karakter yang secara tidak sengaja tertanan dalam persepsi para siswa. Berdasarkan uraian di atas, peneliti meneliti bagaimanakah gambaran kemisterian dan kekelaman yang terjadi di dalam novel tersebut dalam pencangkokan nilai karakter para siswa melalui pendekatan formulaik sastra yang diungkapkan olah Cawelti (1976). Uraian latar belakang di atas mengindikasikan beberapa pertanyaan yang termanifestasikan dalam bentuk permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, Permasalahan yang diteliti antara lain: (1) bagaimanakah misteri dan kekelaman pendidikan di dalam novel Harry Potter and the Chamber of Secrets? (2) bagaimanakah misteri dan kekelaman pendidikan ini membentuk nilai karakter bagi anak secara kultural yang terefleksi dalam novel novel Harry Potter and the Chamber of Secrets? Dengan mendasarkan pada uraian objek material, objek formal, dan tujuan penelitian, maka dipaparkan teori Cawelti (1976) yang tertuang di dalam bukunya yang berjudul Adventure, Mystery, and Romance: Formula Stories as Art and Popular Culture. Teori Cawelti (1976) menyuguhkan konsep formula. Berdasarkan konsep formula yang dikemukakan Cawelti, novel Harry Potter ini peneliti asumsikan sebagai novel formula. Frase formula sastra (literary formula), menurut Cawelti (1976:5), adalah sebuah struktur naratif atau konvensikonvensi dramtik yang digunakan dalam banyak karya individual. Ia menambahkan bahwa dua kegunaan istilah formula yang direlasikan dengan konsepsi yang akan ia buat kemudian. Kegunaan pertama sebuah formula adalah secara sederhana menandakan sebuah cara konvensional dalam memerlakukan beberapa hal yang spesifik. Hal yang spesifik merujuk pada pola-pola konvensi spesifik suatu budaya dan periode tertentu dan tidak berarti sama di luar konteks kekhususannya. Kegunaan kedua adalah bahwa istilah formula merujuk pada tipe plot yang lebih besar. Artinya, formula merujuk pada tipe-tipe plot yang mereperesentasikan tipe-tipe cerita yang, jika tidak universal dalam pesonanya, menjadi populer dalam budaya uang berbeda dan dalam waktu yang berbeda. Tipe-tipe plot inilah yang kemudian para sarjana menyebutnya arketipe atau pola-pola yang memesona dalam budaya-budaya yang berbeda. Dengan demikian, foemula merupakan cara di mana tema-tema dan stereotipestereotipe budaya yang spesifik menjadi bentukan dalam pola-pola dasar (arketipe) cerita yang lebih universal. Sebuah formula, menurut Cawelti (1976:6-7), adalah sebuah kombinasi atau sintesis sejumlah konvensi-konvensi budaya khusus dengan bentuk atau pola dasar cerita yang lebih universal. Konsep sebuah formula merupakan sebuah alat generalisasi karakteristik kelompokkelompok besar karya-karya individual dari kombinasi tertentu material-material budaya dan pola-pola cerita arketipeal. Hal ini berguna terutama sebagai alat pembuatan kesimpulan historis dan kultural tentang fantasi-fantasi kolektif yang terbagi oleh kelompok-kelompok besar dan pengeidentifikasian perbedaanperbedaan dalam fantasi-fantasi dari satu budaya atau periode ke budaya atau periode lain. 49

4 Misteri dan Kekelaman Pendidikan... (Mohamad Ikhwan Rosyidi) Sastra formula (formula literature), menurut Cawelti (1976:8-10), is a kind of literary art. Oleh sebab itu, sastra formula dapat dianalisis dan dikaji seperti any other kind of literature. Dua aspek sentral struktur formulaik yang terpatri dalam pikiran artistik sastra formula adalah strandardisasi esensial dan relasi primernya terhadap kebutuhankebutuhan pelarian (escape) dan relaksasi (relaxation). Konvensi-konvensi standar membangun sebuah latar umum (common ground) antara penulis dan audiens. Struktur konvensional yang terbangun baik secara partikular penting bagi penciptaan sastra formula dan merefleksi ketertarikan audiens, pencipta, dan distributor. Karena kenikmatan dan keefektifan karya formulaik bergantung pada intensifikasi pengalaman formulaiknya, formula menciptakan dunianya sendiri di mana repetisi akan menjadi kebiasaannya. Sastra formulaik merupakan mesin untuk pengalaman-pengalaman pelarian dan relaksasi karena sastra ini membelajarkan bagaimana mengalami dunia imajiner tanpa membandingkannya dengan pengalaman pembaca sendiri. Setiap formula memiliki seperangkat batasan sendiri yang menentukan jenis apa elemenelemen yang baru dan unik memungkinkan tanpa menegangkan formula pada titik uraian (breaking point). Karakteristik sastra formulaik lain adalah, menurut Cawelti (1976:13), pengaruh dominan tujuan-tujuan pelarian dan hiburan. Tipe-tipe formulaik ini digunakan sebagai alat pelarian sementara dari frustasi kehidupan. Ceritacerita semacam ini didefinisikan sebagai subsastra (karena dioposisikan dengan sastra), hiburan (karena dioposisikan dengan sastra serius), karya populer (karena dioposisikan dengan karya agung), budaya terbelakang (karena dioposisikan dengan budaya maju), atau dalam istilah oposisi merendahkan lainnya. Kaitannya dengan persoalan bagaimana aspek-aspek sastra formulaik membentuk kesenimanan pelarian (artistry of escape), Cawelti (1976:14-15) mengemukakan bahwa karya-karya formulaik menekankan jenis-jenis kegembiraan dan kepuasan yang intens dan yang dioposisikan pada analisis yang kompleks dan ambigu tokoh dan motivasi yang mengarakterisasi sastra mimetik. Sebuah pelarian merupakan hal yang menopang dirinya sendiri dalam waktu lama dan sampai pada beberapa pandangan penyelesaian dan pemenuhan dalam dirinya sendiri. Kekerasan juga memainkan peran dalam struktur formulaik karena kapasitasnya untuk menggerakkan perasaan intens yang mengeluarkan diri pembaca. Formula, menurut Cawelti (1976:20), merupakan produk budaya dan pada gilirannya memiliki pengaruh pada budaya karena formula menjadi cara konvensional merepresentasikan dan merelasikan imajiimaji, simbol-simbol, tema-tema, dan mitos-mitos tertentu. Proses yang formula kembangkan, ubah, dan memberikan jalan untuk formula lain merupakan sejenis evolusi kultural dengan penyelamatan melalui seleksi audiens. Sebuah formula merupakan semacam pola. Ketika pembaca sukses mendefinisikan formula, pembaca telah mengisolasi setidaknya satu basis popularitas sejumlah karya, Ketika menjadi formula yang berhasil, sebuah pola cerita secara jelas memiliki ketertarikan dan makna khusus bagi banyak orang dalam budaya. 50

5 Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: Formula, menurut Cawelti (1976:38-39), bersifat lebih konvensional dan terorientasi pada beberapa bentuk pelarian (escapism), penciptaan suatu dunia imajiner di mana tokoh-tokoh fiksi yang memerintahkan ketertarikan dan fokus pembaca melebihi bantasan dan frustasi yang pembaca biasa alami. Sastra formula tidak seluruhnya nonmimetik. Sebuah fantasi moral sangat luar biasa pada titik bahwa fantasi moral tidak dapat menggerakkan penggantungan sementara ketidakpercayaan tidak akan menyajikan fungsi pelarian. Pada titik ini, formula diikat pada budaya dan audiens tertentu karena ini merupakan perilaku kelompokkelompok tertentu yang menentukan garis batas elementer kredibilitas untuk tujuan pelarian. Fantasi moral dapat dibedakan dari bentuk fantasi fisik atau material yang lebih mimetik di mana penulis membayangkan satu dunia yang secara material berbeda dari realitas biasa, di mana tokoh-tokoh dan situasi yang mereka hadapi masih dipandu oleh kebenaran umum pengalaman manusia. Analisis fantasi moral yang mendasari beberapa tipe formulaik besar menyediakan basis untuk sebuah tipologi struktur formulaik. Cawelti mengemukakan lima fantasi moral, yakni: petualangan (adventure), romansa (romance), misteri (mystery), melodrama, dan mahluk atau keadaan asing (alien beings or states). Fantasi sentral cerita petualangan, menurut Cawelti (1976:39-41), adalah pahlawannya, baik individu maupun kelompok, dalam mengatasi halangan dan bahaya, dan memenuhi beberapa misi moral yang penting. Fokus ketertarikan utama cerita petualangan adalah tokoh pahlawan dan sifat halangan yang harus diatasi. Fantasi moral dasar yang teimplisit dalam cerita ini adalah kemenangannya atas kematian, walaupun ada semua macam cabang kemenangan bergantung pada materi kultural tertentu yang digunakan. Karakteristik khusus pahlawan bergantung pada motif dan tema kultural yang dibentuk dalam formula petualangan tertentu. Ada dua cara umum pahlawan dikarakterisasi, yakni sebagai superhero dengan kekuatan dan kemampuan taktertandingi, dan sebagai bagian dari kita, figur yang ditandai, setidaknya pada awal cerita, dengan kemampuan dan perilaku cacat yang mungkin dibagi oleh pembaca. Di luar dua pola petualangan umum superhero dan hero biasa, formula petualangan khusus dapat dikategorisasi dalam istilah lokasi dan sifat petualangan hero. Hal ini nampaknya untuk bertukar dari satu budaya ke budaya lain, mungkin dalam relasi aktivitas bahwa periodeperiode dan budaya-budaya yang berbeda dilihat sebagai bentukan sebuah kombinasi bahaya, makna, dan ketertarikan. Situasi petualangan yang nampaknya terlalu jauh dalam kerangka waktu dan ruang cenderung mengeluarkan katalog baru formula-formula petualangan atau untuk memasuki area lain budaya tertentu. Ekuivalen dengan cerita petualangan, romansa, menurut Cawelti (1976:41-42), memiliki protagonis perempuan, yang menyarankan hubungan dasar antara seks dan dua tipe cerita ini yang berbeda. Pendefinisian karakteristik romansa bukan karena lakonnya perempuan, melainkan pengorganisasian aksinya adalah perkembangan hubungan cinta, biasanya antara laki-laki dan perempuan. Romansa sering berisi elemen petualangan, tetapi bahaya berfungsi sebagai alat tantangan dan kemudian menyemen hubungan cinta. Fantasi moral dalam romansa 51

6 Misteri dan Kekelaman Pendidikan... (Mohamad Ikhwan Rosyidi) adalah kemenangan kepermanenan cinta, mengatasi semua halangan dan kesulitan. Plot formulaik favorit cerita ini adalah gadis miskin yang jatuh cinta pada beberapa lelaki kaya dan terhormat, yang disebut formula Cinderella. Atau, ada formula Pamela, di mana pahlawan perempuan mengatasi ancaman hasrat yang tak berarti untuk membangun hubungan cinta yang seutuhnya. Formula yang lebih kontemporer adalah wanita karir yang menolak cinta karena kekayaan atau ketenaran, hanya untuk menemukan bahwa hanya cintalah yang sangat memuaskan hati. Prinsip fundamental dalam cerita misteri, menurut Cawelti (1976:42-44), adalah investigasi dan penemuan rahasia yang tersembunyi, penemuan yang biasanya menggiring beberapa keuntungan untuk tokoh dengan yang pembaca identifikasi. Dalam formula misteri, masalah selalu memiliki solusi yang rasional dan diinginkan, karena hal ini merupakan dasar fantasi moral yang terekspresikan dalam pola dasar formulaik. Misteri dapat memperhebat dan memperumit kemenangan cerita terhadap halangan atau terhadap perkembangan cinta yang sukses dengan meningkatkan ketegangan dan keraguan ketertarikan selanjutnya pada resolusi akhir. Misteri membagi banyak karakteristik dengan cerita mahluk atau keadaan imajiner. Maka, istilah tersebut sering diterapkan pada cerita hantu, pada cerita kepemilikan setan, atau kegilaan. Misteri mahluk atau keadaan imajiner tidak dapat dipecahkan. Sebagai gantinya, protagonis manusia mengadaptasi dirinya sendiri menjadi mahkluk asing, contohnya, dengan belajar bagaimana mengontrolnya. Ada ceritacerita hantu di mana mahkluk asing menghasilkan sebuah trik atau tipuan dengan jelmaan misterius yang diberikan oleh penjelasan rasional. Inilah yang kemudian menjadi formula misteri. Mengutip pendapat Poe tentang cerita detektif klasik, Cawelti (1976:80-105) mengemukakan bahwa formula cerita detektif klasik dapat dideskripsikan sebagai sebuah cara konvensional pendefinisian dan pengembangan jenis partikular situasi, sebuah pola tindakan dan pengembangan situasi tersebut, sebuah kelompok karakter-karakter (tokoh) dan relasi-relasi di antara mereka, dan sebuah latar atau tipe latar yang tepat bagi tokoh dan tindakannya. Ada empat aspek formula cerita detektif klasik, yaitu: (1) formula pertama adalah situasi. Cerita detektif klasik memulai ceritanya dengan sebuah kejahatan yang takterselesaikan ke arah penguraian misteri. Ada dua tipe kejahatan dalam sastra detektif, yakni: pembunuhan dan kejahatan. Kemunculan dua elemen di atas disebabkan oleh pemaknaan kejahatan-kejahatan tersebut sebanding dengan gambaran parade mistifikasi dan penelusuran yang cerita detektif gerakkan; (2) formula kedua adalah pola tindakan (patterns of action). Karena formula cerita detektif berpusat pada investigasi detektif dan solusi kejahatan, maka Cawelti memberikan enam fase pola ini: (a) pengenalan detektif; (b) kejahatan dan kunci; (c) investigasi; (d) pengungkapan solusi; (e) penjelasan solusi; (f) kesudahan (akhir); (3) formula ketiga adalah karakter (tokoh) dan hubungan-hubungannya. Cerita detektif klasik membutuhkan empat peran: (a) si korban; (b) si kriminal; (c) si detektif; (d) mereka yang diancam oleh kejahatan tetapi tidak mampu menyelesaikannya; (4) formula keempat adalah latar. Latar dalam cerita detektif 52

7 Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: klasik biasanya berada di: ruang terkunci di tengah-tengah kota, rumah desa yang terisolasi di tengah-tengah area terbuka (moor) yang aneh dan menakutkan, tembok persegi kampus, atau villa sendirian di pinggiran kota.sastra formula mempunyai struktur formulaik sentral yakni standardisasi esensial dan relasi pada kebutuhan pelarian dan relaksasi. Akan tetapi, struktur konvensional yang terbangun secara partikular penting bagi penciptaan sastra formula dan merefleksi ketertarikan audiens, pencipta, dan distributor. Audiens menemukan kepuasaan dan jaminan emosional dasar dalam sebuah bentuk yang biasa dikenal. Lagipula, pengalaman masa lalu audiens dengan sebuah formula memberikan pandangan apa yang diharapkan dalam contoh-contoh individual baru, demikian pula meningkatkan kapasitasnya untuk memahami dan menikmati detail-detail sebuah karya (Cawelti, 1976:8-9). Dengan demikian, kehadiran audiens dalam proses penciptaan sastra formula tidak dapat dikesampingkan begitu saja, terlebih dalam kaitannya dengan pengalaman masa lalu pembacanya. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. penelitian ini menyajikan hasil analisis berupa sebuah deskripsi (lihat Moleong, 2001;Endraswara, 2004).Sifat penelitian ini adalah kepustakaan murni dengan data utama teks Harry Potter and the Chamber of Secrets (bdk Chamamah-Soeratno, 1994). Sumber-sumber informasi (buku, makalah, artikel, dan hasil penelitian) yang memiliki relevansi dengan topik penelitian di atas dimanfaatkan untuk mempertajam hasil kajian dalam penelitian ini (lihat Fiske,1989; Lukens, 2003). Setelah data didapatkan, dikumpulkan, dan diklasifikasikan, peneliti akan menganalisis data tersebut yang akan disesuaikan dengan rumusan masalah. Analsis data dilakukan dengan menerapkan pendekatan sastra formula (Caewlti, 1976). Langkahlangkah tersebut akan dilakukan sebagai berikut: mendeskripsikan formula situasi yang ada di dalam novel Harry Potter and the Chamber of Secrets;Menjelaskan formula pola tindakan yang ada di dalam novel tersebut;memaparkan formula penokohan dalam novel tersebut dan hubungan-hubungannya satu sama lain;mengungkapkan formula latar dalam novel tersebut;merelasikan semua formula di atas sebagai entitas dalam bentuk oposisi biner;menyimpulkan relasi-relasi sebagai misteri dan kekelaman pendidikan sebagai bentuk pengembangan karakter anak dalam novel tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAAN Misteri dalam Novel Harry Potter and the Chamber of Secrets Novel ini memulai cerita pada situasi ketika tokoh Dobby datang menemui Harry Potter. Dia menyampaikan sebuah informasi rahasia kepada Harry Potter. Hal ini digambarkan dalam novel Rowling(1999:16). Kutipan ini memberikan gambaran bahwa ada rahasia besar yang tidak diketahuinya dan tidak bisa disampaikan kepada Harry. Rahasia ini akan direalisasikan ketika Harry sekolah di Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry. Perencanaan sebuah rahasia yang tidak diinformasikan, namun tidak disampaikan secara detil isi dari rahasia tersebut menimbulkan kemisterian tersendiri. Dobby sudah mengetahui ini berbulan-bulan. Hal ini mengindikasikan 53

8 Misteri dan Kekelaman Pendidikan... (Mohamad Ikhwan Rosyidi) bahwa rencana ini direalisasikan untuk mencelakakan Harry. Dengan demikian, ada oposisi biner dimunculkan dalam kutipan ini yang dimuarakan pada kemisterian, yakni oposisi antara sebuah rahasia yang disampaikan kepada objek yang dicelakakan dan isi rahasia yang tidak dapat diinformasikan secara detil. Akibatnya, hal ini memunculkan keingintahuan. Akan tetapi, hal ini dibenturkan pada informasi yang tidak bisa disampaikan oleh Dobby. Aktualisasi dari oposisi keingintahuan dan informasi terbatas ini adalah prediksi atau tanda kehati-hatian bagi Harry Potter. Realisasi tanda predisksional yang diberikan Dobby kepada Harry dilakukan kembali. Namun demikian, Harry tidak atau belum menyadari bahwa itu bentuk realisasi selanjutnya yang dilakukan oleh Dobby (Rowling, 1998:68). Hal di atas mengindikasikan bahwa usaha untuk bisa bersekolah pun dihambat oleh Dobby. Ketidakbisaan Harry dan Ron menembus pintu merupakan bentuk realisasi peletakkan Harry dalam kebahayaan. Oposisi yang dimunculkan dalam hal ini adalah kelancaran menuju ke sekeloh dan penghambatan yang dilakukan Dobby kepada Harry dan Ron agar tidak menuju ke Hogwarts. Kutipan di atas menandakan kembali kemisterian yang disituasikan di dalam dunia pendidikan sihir di Hogwarts. Situasi kemisterian muncul kembali ketika muncul suara-suara aneh yang hanya didengar oleh Harry (Rowling, 1999:120). Suara yang hanya dididengar oleh Harry mengindikasikan bahwa dia menjadi satusatunya target yang diburu oleh seseorang. Dalam situasi ini, Harry tidak mengetahui bahwa dia menjadi target. Dia hanya bisa menangkap suara yang samar dan Profesor Lockhart pun tidak mendengarnya. Kemisterian ini kembali dimunculkan dalam bentuk oposisi antara mendengar suara dan tidak mendengar suara. Oposisi dilanjutkan bahwa yang mendengar suara adalah Harry, dan yang tidak mendengar suara adalah Lockhart. Hal ini menimbulkan oposisi keingintahuan dan kemasabodohan terhadap sebuah fenomena. Jika digambarkan dalam bentuk diagram, oposisi-oposisi tersebut diilustrasikan sebagai berikut: Mendengar suara Tidak mendengar suara Harry Potter Professor Lockhart Keingintahuan Kemasabodohan Kemisterian Diagram di atas memberikan gambaran bahwa oposisi kemisterian dapat dimunculkan dari oposisi-oposisi biner tersebut. Oposisi yang memunculkan kemisterian kembali terjadi ketika Harry mendengar suara yang aneh, yang melanjutkan kata-kata yang sebelumnya (Rowling, 1999:137). Suara itu kembali terdengar dengan pilihan kata yang lain (Rowling, 1999:138). Karakteristik yang dimunculkan dari suara-suara tersebut relatif berkelanjutan. Tujuan yang dituju dalam suara itu adalah keinginan untuk membunuh seseorang. Suara pertama, ketika Harry bersama Lockhart, berisi undangan bagi target yang dibunuh untuk mendatangi 54

9 Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: sumber suara. Suara kedua, ketika Harry bersama dengan Ron dan Hermione, berisi ungkapan kelaparan yang berujung pada keinginan untuk membunuh. Isi suara kedua melanjutkan dari suara pertama. Dilanjutkan lagi, suara ketiga menyampaikan bahwa si pembuat suara mencium bau darah. Yang menjadi kemisterian di sini adalah keinginan membunuh sesorang yang orang itu tidak jelas siapa atau masih dirahasiakan agar pembunuhan ini bersifat lebih alamiah tanpa rekayasa. Kedua, kelaparan yang diungkapkan oleh suara itu apakah kelaparan dalam hal ini adalah kelaparan yang berarti ia ingin makan ataukah kelaparan sebagai hasrat terpendam untuk membunuh. Ketiga, ketika suara itu mengungkapkan bahwa ia mencium bau darah, bau darah di sini berarti darah yang dikucurkan setelah ia membunuh, darah yang dikonsumsi sebagai pengganti lapar setelah ia membunuh, ataukah darah sebagai garis genetika yang ingin dilenyapkan. Kemisterian ini dipertegas dengan munculnya tulisan di dinding sekolah (Rowling, 1999:138).Tulisan ini membuka misteri baru, yakni adanya kamar rahasia. Kamar rahasia menjadi sebuah tekateki misteri yang banyak diingintahui oleh warga Hogwarts. Keingintahuan itu direalisasikan dengan mencari info mengenai kamar tersebut di seksi terlarang perpustakaan, bahkan menanyakan kepada guru mata pelajaran Sejarah Sihir, Professor Binns. Kamar tersebut dijelaskan dari versi kesejarahan (Rowling, 1999:150-1). Hal ini mendeskripsikan bagaimana sejarah kamar itu dibuat, mengapa, dan dalam rangka apa dibuat. Dalam sejarah pembuatannya, Slytherin ingin memurnikan dunia sihir dari garis keturunan yang bukan Darah-Murni seorang penyihir. Hal ini berasosiasi dengan pernyataan yang dikeluarga suara misterius di atas. Kata darah di sini berasosiasi dengan usaha permurnian darah penyihir. Dengan kata lain, suara di atas menargetkan anak-anak Hogwarts yang bukan dari keturunan penyihir. Usaha mengilangkan bukan keturunan penyihir merupakan usaha memilih target orang yang keturunan manusia bukan penyihir, atau Muggle. Mereka diincar untuk dihilangkan oleh semacam mahkluk yang menghuni kamar rahasia tersebut. Hal ini diperkuat dalam kutipan di atas yang mengungkapkan adanya monster di dalam kamar tersebut. Monster tersebut menjadi sebuah rahasia yang tidak ingin diungkapkan di sekolah Hogwarts. Para guru, misalnya Professor Binns, berusaha terus merahasiakan hal tersebut. Realisasi dari penghilangan bukan keturunan penyihir ini diketahui ketiga beberapa murid Hogwarts diserang oleh mahkluk rahasia tersebut (Rowling, 1999:257).Serangan-serangan dalam kutipan di atas, sebagai usaha penghilangan bukan darah murni penyihir, merupakan muara dari sebuah hal yang membahayakan yang telah direncanakan sebelumnya dan disampaikan penandanya oleh Dobby kepada Harry. Secara struktural, dengan kata lain, misteri yang dimunculkan dalam novel ini mengindasikan oposisi-oposisi mulai dari oposisi antara pihak yang ingin mencelakakan Harry dan Dobby yang ingin membantu menyelamatkan Harry. Usaha yang dilakukan Dobby melahirkan rasa keingintahuan Harry. Usaha Dobby tidak pernah berhenti untuk membuat Harry tidak menuju sekolah Hogwarts karena hal itu sangat membahayakan, menurut Dobby. Ketidakmampuan Harry 55

10 Misteri dan Kekelaman Pendidikan... (Mohamad Ikhwan Rosyidi) dan Ron menembus palang pintu stasiun melahirkan oposisi antara Harry dan Dobby. Untuk menembus oposisi itu, Harry dan Ron memilih tetap berangkat menuju ke sekolah dengan mengendarai mobil. Ketika Harry dan Ron tiba di sekolah, Harry dihadapkan pada misteri kemunculan suara-suara yang menginginkan untuk membunuh seseorang. Suara-suara tersebut melahirkan oposisi antara penyhir darah murni dan penyihir bukan darah murni. Pembedaan ini berakhir pada serangan-serangan untuk memusnahkan penyhir dari bukan darah murni. Hal-hal inilah, pada akhirnya, menjadi penanda dan petanda akhir dari kemisterian dalam novel HPCS. Pihak yang ingin Harry Pihak ini Penyihir Dibiarkan/ mencelakakan dan Ron membuat darah Dilindungi Harry mengendarai suara-suara murni mobil misteri Misteri dalam HPCS Pihak yang Harry dan Harry Penyihir Diserang membantu Ron tidak bisa menangkap bukan menyelamatkan menembus penanda darah Harry pintu stasiun dari suara murni itu Kekelaman Pendidikan dalam Novel Harry Potter and the Chamber of Secrets Lahirnya misteri-misteri yang ada di dalam novel ini melahirkan adanya suasana kelam dalam sekolah Hogwarts. Misteri memancing keingintahuan, di satu sisi, ia menciptakan atmosfer kelam dalam proses pendidikan, di sisi lain. Kekelaman ini terefleksi dalam kejadian-kejadian di sekolah Hogwarts. Kekelaman yang pertama terjadi ketika Hogwarts menerima guru yang lebih melembagakan kebanggaan diri dibandingkan dengan kedewasaan dalam menghadapi permasalahan dan kedalaman ilmu yang diajarkannya. Keberadaan di sekolah tersebut kurang memberi kontribusi dalam pengembangan keprbadian siswa dan sekolah itu sendiri (Rowling, 1999:294). Kecerobohan menerima guru berbuah pada kemunculan kekelaman yang lain. Ia mengajarkan pelajaran duel, yang bermuara pada perpecahan antarsiswa. Perpecahan ini menjadi pemicu lahirnya pembedaan antara darah murni dan bukan darah lumpur. Pembedaan ini mulai dan telah dilembagakan oleh siswa dari Asrama Slytherin. Siswa di asrama ini, merasa kelahiran dari darah murni penyhir, sering melecehkan siswa yang bukan dari darah murni penyihir. Hal ini muncul dalam perseteruan antara Ron dan Draco(Rowling, 1999:112). Pelecehan ini merupakan bentuk lain kekelaman yang ada di Hogwarts. Hal ini juga menimbulkan perselisihan antarsiswa dan antarasrama. Perselisihan ini jaga menjadi pemicu dari serangan-serangan misterius berkaitan dengan pemusnahan penyihir bukan 56

11 Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: darah murni. Penyerangan ini semakin menambah kelam atmosfer pendidikan yang ada di sekolah Hogwarts ini. Bentuk lain dari kekelaman ini adalah masuknya pihak yang ingin memurnikan Hogwarts dengan menggunakan anak Hogwarts sebagai alibinya. Pihak tersebut menggunakan Ginny, di bawah hipnotis pihak tersebut, untuk membantu menghidupinya (Rowling, 1999:310-11). Bagian ini menunjukkan betapa semakin kelam pendidikan di Hogwarts karena seorang murid yang baru menjadi warga sekolah dihipnotis untuk melakukan segala hal yang, bahkan dirinya sendiri tidak mengetahui, buruk bagi kondisi sekolah tersebut. Kekelaman di dalam pendidikan ini secara struktural dihasilkan dari kemunculan guru yang kurang bisa disebut menjadi seorang guru. Penilaian ini didasarkan pada oposisi antara guru yang menjadi seorang guru Hogwarts dan yang bukan. Hal ini juga menyebabkan perpecahan dan perselisihan antarsiswa, jika dioposisikan dengan merukunkan siswa. Perselisihan ini juga bermuara pada penghapusan ras penyihir bukan darah murni. Untuk bisa melakukan itu, penggunaan hipnotis untuk mengendalikan seseorang di luar batas kesadarannya melakukan tindakan yang merugikan banyak pihak. Gambaran struktural di atas dapat diejawantahkan dalam bentuk diagram, seperti di bawah ini: Kemunculan Perpecahan Penghapusan Hipnotis guru yang dan ras bukan terhadap belum perselisihan penyihir darah murid disebut guru antarsiswa murni Kekelaman dalam dunia pendidikan di Hogwarts Guru Kerukunan Apresiasi Fasilitas Hogwarts antarsiswa terhadap bagi murid yang disebut semua pemusnah guru penyihir dari kezaliman darah apa pun Berdasarkan atas deskripsi mengenai misteri dan kekelaman pendidikan di Hogwarts ini, kedua hal merupakan muara dari rentetan kejadian yang saling berkesinambungan dan berasosiasi satu dengan yang lain. Kejadian-kejadian yang muncul dalam ranah kemisterian merupakan pemicu lahirnya kekelaman atmosfer dalam dunia pendidikan di Hogwarts, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, kemisterian di dalam novel ini menjadi penanda dan petanda dari kekelaman pendidikan di Hogwarts. Begitu pula, kekelaman pendidikan di Hogwarts menjadi penanda dan petanda dari kemisterian yang terjadi di dalam novel HPCS. 57

12 Misteri dan Kekelaman Pendidikan... (Mohamad Ikhwan Rosyidi) Misteri dan Kekelaman Pendidikan dalam Pembentukan Nilai Karakter Anak Secara Kultural dalam Novel Harry Potter and The Chamber of Secrets Kejadian-kejadian misterius dan kelam dalam novel HPCS ini mengkontribusikan pada arti yang didapatkan seorang pembaca ketika membaca novel ini. Pembaca seperti disuguhkan gelas-gelas berisi sirup kemisterian dan piring-piring yang memuat kekelaman pendidikan di sekolah Hogwarts. Gelas dan piring tersebut menjadi wadah menampung segala hal di dalam novel tersebut. Ketika pembaca mengkonsumsi apa yang ada di dalam gelas dan piring tersebut, pembaca akan merasakan dan mencernanya menjadi sebuah nutrisi untuk memunculkan karakter. Karakter yang muncul dari kejadiankejadian di dalam novel tersebut diawali dari pembedaan antarsiswa. Pembedaan yang terjadi merupakan manifestasi dari pembedaan perbedaan namanama Asrama, yang diambilkan dari nama pembuat sekolah Hogwarts, yang membuat para siswanya mempunyai rasa bangga sebagai pilihan pewaris dari pendiri asrama masing-masing. Karakter untuk membeda-bedakan dapat dirasakan ketika pembaca membaca novel ini. Seolah-olah pembaca diberikan suguhan tiga cawan berbeda, cawan dengan isi keturunan penyihir darah murni, cawan dengan isi penyihir darah campuran, dan cawan dengan isi penyihir darah lumpur (Muggle). Realisasi pembedaan itu memunculkan karakter yang bersikap melecehkan, mengintimidasi, mengalienasikan, dan menghancurkan. Keempat hal di atas merupakan jelmaan dari karakter membeda-bedakan. Kejadian-kejadian di dalam novel ini, yang terjadi antara Draco dan Ron, merupakan jelmaan dari konflik pembedaan yang dilakukan Draco terhadap Hermione. Karakter ini yang mulai dibelajarkan Rowling kepada pembaca. Rowling, dalam hal ini, tidak mengajarkan para pembacanya untuk melakukan seperti itu. Ia memberikan wacana negatif terhadap kejadian yang diilustrasikan dalam novelnya. Ia memberikan contoh negatif untuk dinegasikan para pembaca novelnya. Penandaan yang dimunculkan dalam novel ini merupakan penandaan yang bersifat untuk dinegasikan. Dengan kata lain, kejadian-kejadian pengalienasian, diskriminasi, dan penghancuran yang menjadi jelmaan sifat menbeda-bedakan ini merupakan benih tanaman penyadaran akan perbedaan dan bagaimana menyikapi perbedaan itu. Karakter selanjutnya yang dapat ditangkap oleh pembaca novel HPCS ini adalah sifat memburuksangkai orang lain. Sifat ini sejatinya tidak dapat dipisahkan sebagai jelmaan dari sifat membedabedakan di atas. Kejadian setelah Harry dapat menyingkirkan ular hasil sihir Draco menjadi salah satu contohnya. Ia dianggap oleh teman-temannya bahwa ia yang meminta ular itu untuk menyerang Justin(Rowling, 1999:196). Perbedaan persepsi inilah yang memunculkan sifat buruk sangka. Perasaan bahwa orang lain akan menyakiti orang lainnya merupakan bentuk pembedaan dalam bentuk yang lain. Sifat yang diilustrasikan Rowling dalam kejadian-kejadian di novelnya 58

13 Haluan Sastra Budaya Vol. XXXV No. 68 Oktober 2016: menunjukkan penandaan yang bersifat menegasikan. Pembaca diminta memahami kejadian dalam novel tersebut sebagai tanda yang dihindari. Dengan kara lain, Rowling, melalui novelnya, memberikan ilustrasi-ilustrasi kejadian yang termanifestasi dari karakter yang dihindari. Kedua karakter yang disuguhkan Rowling ini merupakan pembelajaran moral bagi pembacanya. Kedua karakter tersebut digambarkan dengan contoh kejadian yang baik, yang dapat langsung diambil pembelajaran moralnya begitu saja dengan mudah. Ia ingin mengajak pembaca melihat sebuah kejadian dari sudut pandang atau perspektif terbalik. Hal ini, dengan kata lain, membuktikan apa yang dikatakan Bohlin dalam bukunya Teaching Character Education through Literature: Awakening the moral imagination in secondary classrooms (2005:27) SIMPULAN Berdasarkan dari analisis pada bab sebelumnya, dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, kedua hal, misteri dan kekelaman pendidikan, merupakan muara dari rentetan kejadian yang saling berkesinambungan dan berasosiasi satu dengan yang lain. Kejadian-kejadian yang muncul dalam ranah kemisterian merupakan pemicu lahirnya kekelaman atmosfer dalam dunia pendidikan di Hogwarts, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, kemisterian di dalam novel ini menjadi penanda dan petanda dari kekelaman pendidikan di Hogwarts. Begitu pula, kekelaman pendidikan di Hogwarts menjadi penanda dan petanda dari kemisterian yang terjadi di dalam novel HPCS. Kedua, karakter membeda-bedakan dan berburuk sangka yang disuguhkan Rowling ini merupakan pembelajaran moral bagi pembacanya. Kedua karakter tersebut digambarkan dengan contoh kejadian yang baik, yang dapat langsung diambil pembelajaran moralnya begitu saja dengan mudah. Ia ingin mengajak pembaca melihat sebuah kejadian dari sudut pandang atau perspektif terbalik. DAFTAR PUSTAKA Audifax. (2005). Mite Harry Potter: Psikosemiotika dan Misteri Simbol di Balik Kisah Harry Potter. Yogyakarta: Jalasutra. Bohlin, Karen E. (2005). Teaching Character Education through Literature: Awakening the Moral Imagination in Secondary Classrooms. New York: Routledge Cawelti, John G. (1976). Adventure, Mystery, and Romance: Formula Stories as Art and Popular Culture. Chicago and London: The University of Chicago Press. Chamamah-Soeratno, Siti. (1994). Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar dalam Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Endraswara, Suwardi. (2004). Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Fiske, John. (1989). UnderstandingPopular Culture. Cambridge: Unwin Hyman. Lewis, C.S., (2005). The Chronicles of Narnia: Sang Singa, Sang Penyihir, dan Lemari. Terj. Donna Widjajanto. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 59

14 Misteri dan Kekelaman Pendidikan... (Mohamad Ikhwan Rosyidi) Lukens, Rebecca J. (2003). A Critical Handbook of Children s Literature. USA: Pearson Education, Inc. Moleong, Lexy J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. XV. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Mukhtar, Yasir. (2015) yasirmukhtar.tumblr.com diakses pada 26 Agustus 2015 Muljadi, Hianli. (2005). Sihir dalam Harry Potter: Analisis Responsi Pembaca. Tesis Sarjana S2 Universitas Indonesia, Jakarta. Rowling, J. K. (2007). Harry Potter dan Batu Bertuah. Terj. Listiaana Srisantu. Cet. XXI. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 60

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Dinamika dominasi..., Ely Nurmaily, FIB UI, 2009

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Dinamika dominasi..., Ely Nurmaily, FIB UI, 2009 78 BAB 4 KESIMPULAN Rowling di dalam salah satu wawancaranya bersama O Malley dalam Connie Ann Kirk mengatakan bahwa sekolah penyihir yang ia ciptakan merupakan analogi dari sebuah arena potensi atau kekuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diputar sehingga menghasilkan sebuah gambar bergerak yang disajikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. diputar sehingga menghasilkan sebuah gambar bergerak yang disajikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan sebuah karya seni berupa rangkaian gambar hidup yang diputar sehingga menghasilkan sebuah gambar bergerak yang disajikan sebagai bentuk hiburan. Film

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peneliti ingin meneliti salah satu karya dari Asa Nonami berjudul Kogoeru Kiba.

BAB I PENDAHULUAN. peneliti ingin meneliti salah satu karya dari Asa Nonami berjudul Kogoeru Kiba. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asa Nonami merupakan seorang novelis terkenal di Jepang, ia lahir pada 19 Agustus 1960 di Tokyo. Asa Nonami adalah penulis cerita fiksi kejahatan dan cerita horor,

Lebih terperinci

SIMULACRA DALAM INDUSTRI HIBURAN VISUAL; STUDI KASUS RAGNAROK ONLINE

SIMULACRA DALAM INDUSTRI HIBURAN VISUAL; STUDI KASUS RAGNAROK ONLINE SIMULACRA DALAM INDUSTRI HIBURAN VISUAL; STUDI KASUS RAGNAROK ONLINE ABSTRACT Wimba, 1. PENDAHULUAN Komik adalah sebuah media yang menyampaikan informasi atau pesan melalui sekuens visual atau urutan gambar

Lebih terperinci

INTISARI BAB I PENDAHULUAN

INTISARI BAB I PENDAHULUAN INTISARI Novel teenlit menjadi fenomena menarik dalam perkembangan dunia fiksi di Indonesia. Hal itu terbukti dengan semakin bertambahnya novel-novel teenlit yang beredar di pasaran. Tidak sedikit pula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan analisis data, hasil analisis, dan pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, bahwa cerpen-cerpen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan termasuk salah satu dasar pengembangan karakter seseorang. Karakter merupakan sifat alami jiwa manusia yang telah melekat sejak lahir (Wibowo, 2013:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam buku Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian, sastra dalam bahasa Inggris literature sehingga popular literature dapat diterjemahkan sebagai sastra populer. Banyak

Lebih terperinci

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai Lampiran Ringkasan Novel KoKoro Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai Kamakura menjadi sejarah dalam kehidupan keduanya. Pertemuannya dengan sensei merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah ungkapan pribadi seorang penulis yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, hasil kreasi pengarang. Ide

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan salah satu produk budaya yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan salah satu produk budaya yang diciptakan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu produk budaya yang diciptakan oleh pengarang yang menampilkan gambaran kehidupan masyarakat dengan bahasa sebagai mediumnya.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Paradigma didefinisikan sebagai suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. 1 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra menurut Wellek dan Warren adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (2013: 3). Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Semi bahwa sastra adalah suatu bentuk

Lebih terperinci

05. MEMBUAT CERITA KOMIK. KOMIK 04 MEMBUAT CERITA KOMIK / Hal. 1

05. MEMBUAT CERITA KOMIK. KOMIK 04 MEMBUAT CERITA KOMIK / Hal. 1 05. MEMBUAT CERITA KOMIK KOMIK 04 MEMBUAT CERITA KOMIK / Hal. 1 KOMIK 04 MEMBUAT CERITA KOMIK / Hal. 2 Komik = Cerita + Gambar PENDAHULUAN Komik Intrinsik Ekstrinsik Jiwa Komik Tema Cerita Plot Penokohan

Lebih terperinci

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

SOSIOLOGI KOMUNIKASI SOSIOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: 12 Dr. Fakultas ILMU KOMUNIKASI Masalah Masalah Sosial Dan Media Massa Heri Budianto.M.Si Program Studi Publik Relations http://mercubuana.ac.id Para akademisi dan praktisi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi Tokoh Eko Prasetyo dalam Novel Jangan Ucapkan Cinta Karya

BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi Tokoh Eko Prasetyo dalam Novel Jangan Ucapkan Cinta Karya BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian Sebelumnya Seperti beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

Batman Unmasked The Psychology of the Dark Knight

Batman Unmasked The Psychology of the Dark Knight Batman Unmasked The Psychology of the Dark Knight Judul: Batman Unmasked The Psychology of the Dark Knight Jenis: Nonfiksi, Dokumenter, Televisi Produser: Prometheus Entertainment Saluran: The History

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan menggunakan kajian BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Sepanjang pengamatan peneliti, tidak ditemukan penelitian yang membahas nilai-nilai moral terhadap cerita rakyat Deleng Pertektekkendengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam berekspresi dapat diwujudkan dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan sebuah karya sastra baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang fenomena kesusastraan tentu tidak lepas dari kemunculannya. Hal ini disebabkan makna yang tersembunyi dalam karya sastra, tidak lepas dari maksud pengarang.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ditemukan tujuh novel yang menghadirkan citra guru dan memiliki tokoh guru, baik

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. ditemukan tujuh novel yang menghadirkan citra guru dan memiliki tokoh guru, baik 347 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dalam karya sastra Indonesia modern pascaproklamasi kemerdekaan ditemukan tujuh novel yang menghadirkan citra guru dan memiliki tokoh guru, baik sebagai tokoh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Dari beberapa penelusuran, tidak diperoleh kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang hampir sama adalah penelitian

Lebih terperinci

PETUALANGAN FANTASTIK DALAM NOVEL SUPERNOVA EPISODE GELOMBANG KARYA DEWI LESTARI

PETUALANGAN FANTASTIK DALAM NOVEL SUPERNOVA EPISODE GELOMBANG KARYA DEWI LESTARI PETUALANGAN FANTASTIK DALAM NOVEL SUPERNOVA EPISODE GELOMBANG KARYA DEWI LESTARI Disusun Oleh: FADHIA IRMAIDA - 13010113140113 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 1. INTISARI Irmaida,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah karya kreatif dan imajinatif dengan fenomena hidup dan kehidupan manusia sebagai bahan bakunya. Sebagai karya yang kreatif dan imajinatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial karena manusia tidak akan bisa hidup sendiri. Manusia dalam menjalani kehidupannya selalu dihadapkan pada berbagai persoalan yang melingkupinya.

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX BAB 4 KESIMPULAN Berdasarkan teori yang sudah dipaparkan dalam bab dua dan analisis yang telah dilakukan dalam bab tiga, maka kesimpulan dari skripsi yang berjudul Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa yang dituangkan dalam sebuah karya. Sastra lahir dari dorongan manusia untuk mengungkapkan diri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui berbagai kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai lingkungan fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan refleksinya. Penyajiannya disusun secara menarik dan terstruktur dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan refleksinya. Penyajiannya disusun secara menarik dan terstruktur dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu bentuk kontemplasi dan refleksi pengarang terhadap keadaan di luar dirinya, misalnya lingkungan atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Film memiliki dampak positif dan dampak negatif terhadap penonton. Terutama dampak positif sebuah film dapat menyampaikan pesan edukasi terhadap penontonnya. Hal ini

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Wilayah Analisis Penelitian ini dilakukan pada beberapa wilayah kajian analisis. Kajian utama yang dilakukan adalah mencoba melihat bagaimana respon pesantren terhadap berbagai

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia BAB 2 LANDASAN TEORI Kehidupan sosial dapat mendorong lahirnya karya sastra. Pengarang dalam proses kreatif menulis dapat menyampaikan ide yang terinspirasi dari lingkungan sekitarnya. Kedua elemen tersebut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. produksi dan strukstur sosial. Pandangan kritis melihat masyarakat sebagai suatu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. produksi dan strukstur sosial. Pandangan kritis melihat masyarakat sebagai suatu 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Kritis Penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma ini mempunyai pandangan tertentu bagaimana media dan pada akhirnya informasi yang

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. daripada karya fiksi (Wellek & Warren, 1995:3-4). Sastra memiliki fungsi sebagai

BAB 1. Pendahuluan. daripada karya fiksi (Wellek & Warren, 1995:3-4). Sastra memiliki fungsi sebagai BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Karya sastra merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya fiksi (Wellek & Warren, 1995:3-4). Sastra memiliki fungsi sebagai hiburan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesusastraan Indonesia boleh merasa lega dengan kehadiran kebijakan baru yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada awal tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008:725) Konsep merupakan (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, Sastra merupakan. lukisan ataupun karya lingkungan binaan/arsitektur.

BAB I PENDAHULUAN. dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, Sastra merupakan. lukisan ataupun karya lingkungan binaan/arsitektur. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra sebagai hasil karya seni kreasi manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan manusia sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Drama merupakan kisah utama yang memiliki konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini drama bukan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Pada bagian ini akan diuraikan secara berturut-turut: simpulan, implikasi, dan saran A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata BAB II LANDASAN TEORI Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu institusi budaya yang mempengaruhi dan dipengaruhi kenyataan sosial. Seorang seniman atau pengarang akan melibatkan sebuah emosi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya mencipta suatu

BAB I PENDAHULUAN. tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya mencipta suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah suatu tulisan yang memiliki keindahan yang luar biasa karena menggambarkan tentang kehidupan. Seseorang yang berjiwa sastra akan menghasilkan suatu karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumardja dan Saini (1988: 3) menjabarkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hasil dari imajinasi pengarang. Imajinasi yang dituangkan dalam karya sastra,

BAB I PENDAHULUAN. hasil dari imajinasi pengarang. Imajinasi yang dituangkan dalam karya sastra, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah hasil ciptaan manusia yang memiliki nilai keindahan yang sangat tinggi. Keindahan yang terdapat dalam sebuah karya sastra, merupakan hasil dari

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penelitian ini melibatkan beberapa konsep, antara lain sebagai berikut: 2.1.1 Gambaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:435), gambaran

Lebih terperinci

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA NOVEL NEGERI PARA BEDEBAH KARYA TERE LIYE DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA NOVEL NEGERI PARA BEDEBAH KARYA TERE LIYE DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA NOVEL NEGERI PARA BEDEBAH KARYA TERE LIYE DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA Oleh: Siti Fatimah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN

MENU UTAMA UNSUR PROSA FIKSI PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN ENCEP KUSUMAH MENU UTAMA PENGANTAR PROSA FIKSI MODERN UNSUR PROSA FIKSI CERPEN NOVELET NOVEL GENRE SASTRA SASTRA nonimajinatif Puisi - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai perwujudan kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Karya sastra itu dapat dinikmati dan dipahami oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Karya sastra itu dapat dinikmati dan dipahami oleh semua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra dijadikan sebagai pandangan kehidupan bermasyarakat. Karya sastra itu dapat dinikmati dan dipahami oleh semua orang, khususnya pecinta sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah alat yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra adalah alat yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah alat yang digunakan sastrawan untuk mengungkapkan berbagai fenomena kehidupan manusia. Fenomena kehidupan manusia menjadi hal yang sangat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak pada zaman sekarang umumnya lebih banyak menghabiskan waktu

BAB I PENDAHULUAN. Anak pada zaman sekarang umumnya lebih banyak menghabiskan waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penciptaan Anak pada zaman sekarang umumnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk browsing internet atau menonton televisi dan film-film yang cenderung menampilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. 7 BAB II LANDASAN TEORI E. Pengertian Psikologi Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsurunsur

BAB I PENDAHULUAN. intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsurunsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam novel terdapat unsur dari dalam yang membangun terciptanya novel, atau biasa disebut unsur intrinsik. Nurgiyantoro (2007:23) berpendapat bahwa unsur intrinsik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Membaca merupakan salah satu aktivitas yang digemari sebagai sarana hiburan. Hal yang umum dibaca untuk hiburan antara lain majalah, komik, dan novel. Bagi penggemar

Lebih terperinci

BAB 4 KONSEP DESAIN. Berdasarkan pendapat Gary A. Lippincott sebuah subjek ilustrasi yang

BAB 4 KONSEP DESAIN. Berdasarkan pendapat Gary A. Lippincott sebuah subjek ilustrasi yang BAB 4 KONSEP DESAIN 4.1 Landasan Teori 4.1.1 Teori Ilustrasi Berdasarkan pendapat Gary A. Lippincott sebuah subjek ilustrasi yang bersifat mitologi dan fantasi tidak memiliki model yang dapat dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra dalam bentuk novel yang terpenting adalah pendekatannya yaitu pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. sastra dalam bentuk novel yang terpenting adalah pendekatannya yaitu pendekatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi dan kreatifitas pengarang, serta refleksinya terhadap gejala sosial yang terdapat di lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha penulis untuk memberikan perincian-perincian dari objek yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. usaha penulis untuk memberikan perincian-perincian dari objek yang sedang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deskripsi atau pemerian merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian dengan usaha penulis untuk memberikan perincian-perincian dari objek yang sedang dibicarakan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN Pada bab ini akan diuraikan empat hal pokok yaitu: (1) kajian pustaka, (2) landasan teori, (3) kerangka berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Menerut Basrowi Sadakin penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana komunikasi yang paling efektif, karena film dalam menyampaikan pesannya yang begitu kuat sehingga

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

Unsur-unsur dalam Karya Sastra. Kholid A.Harras

Unsur-unsur dalam Karya Sastra. Kholid A.Harras Unsur-unsur dalam Karya Sastra Kholid A.Harras Terbagi 2: Unsur Ekstrinsik Unsur Intrinsik Unsur Ekstrinsik Segala sesuatu yang menginspirasi penulisan karya sastra dan mempengaruhi karya sastra secara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang. memiliki unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang yang dituangkan dalam bahasa. Kegiatan sastra merupakan suatu kegiatan yang memiliki unsur-unsur seperti pikiran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI)

KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI) KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI) Disusun Oleh: JOANITA CITRA ISKANDAR - 13010113130115 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini tampaknya komik merupakan bacaan yang digemari oleh para anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun tempat persewaan buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film

BAB I PENDAHULUAN. tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Film bukan lagi menjadi fenomena baru di ranah media massa. Dengan tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film mampu merekonstruksi wacana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang kian berkembang pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di tengah-tengah dunia global. Program informasi

Lebih terperinci

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI

BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI BAHAN PELATIHAN PROSA FIKSI Ma mur Saadie SASTRA GENRE SASTRA nonimajinatif - esai - kritik - biografi - otobiografi - sejarah - memoar - catatan harian Puisi imajinatif Prosa Fiksi Drama GENRE SASTRA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

Oleh: Lisnawati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purworejo

Oleh: Lisnawati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purworejo KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA NOVEL 3 WALI 1 BIDADARI LELAKI PILIHAN ABAH KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA DAN PEMBELAJARAN DI KELAS XI SMA Oleh: Lisnawati Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci