KEGAGALAN COLLECTIVE ACTION DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (STUDI KASUS KELEMBAGAAN FORUM DAS)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEGAGALAN COLLECTIVE ACTION DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (STUDI KASUS KELEMBAGAAN FORUM DAS)"

Transkripsi

1 KEGAGALAN COLLECTIVE ACTION DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (STUDI KASUS KELEMBAGAAN FORUM DAS) Oleh Bejo Slamet Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Abstrak Kegagalan Forum DAS dalam pengelolaan DAS bisa dilihat dari berbagai aspek dan teori. Dalam tulisan ini peran Forum DAS ditinjau dari aspek teori-teori collective action. Tinjauan kegagalan forum DAS dari aspek koordinasi sudah banyak dibahas, adapun dari aspek tinjauan teori-teori yang berkaitan dengan collective action kegagalan ini karena para stakeholder yang terlibat sebagian besarnya tidak mempunyai komitmen dan kopetensi terhadap pengelolaan DAS. Forum ini juga belum bisa memenuhi prinsipprinsip kelestarian kelembagaan collective action yang diajukan Ostrom (1990). Kata Kunci : collective action, forum DAS, kelembagaan, pengelolaan DAS PENDAHULUAN Latar belakang Bencana yang sering terjadi dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) selain karena faktor alamiah (iklim, tanah) juga karena tidak adanya keselarasan pemanfaatan ruang dan kemampuan lahan. Kegagalan pengelolaan DAS ini utamanya diakibatkan oleh tidak adnya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya. Harus diakui bahwa kegagalan dalam pengelolaan DAS ini disebabkan oleh tidak ada landasan kebijakan nasional yang memungkinkan terjadinya koordinasi antar sektor dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Yang ada adalah bersama-sama memanfaatkan sumberdaya alam berdasarkan acuan setiap Undang-undang secara parsial (hutan, tambang, pertanian, energi, dll). Karena semua sektor dan daerah memaksimumkan capaiannya masing-masing dan dibiarkan begitu dari waktu ke waktu, maka pengendalian dampak kumulatif tidak pernah ada dalam kebijakan nasional (Kartodiharjo 2010). 1

2 Seringkali sumberdaya alam (baik secara langsung maupun tidak langsung) dinikmati oleh banyak orang secara bersama sama dan sulit untuk mengeluarkan pihakpihak yang tidak ikut menghasilkannya, sementara sumberdaya alam itu sendiri terbatas keberadaannya, dan karakteristik ini disebut dengan common-pool resources (CPR). Istilah CPR diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (2003) untuk menjelaskan karakteristik sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat substractibility atau rivalness di dalam pemanfaatannya. Sifat substractability berarti setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kedua, sifat rivalness menyebabkan adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya untuk pihakpihak lain untuk menjadi pemanfaat (beneficiaries). Selanjutnya Ostrom (2008) menyatakan CPR dengan karakteristik menghasilkan manfaat yang dapat dinikmati oleh orang banyak tanpa dapat dikecualikan (non excludable), di mana masing masing dapat mengambil manfaatnya hingga batas ketersediaan manfaatnya habis. Suatu barang dan jasa dikatakan non excludable apabila manfaat barang dan jasa dapat dimanfaatkan oleh siapa saja tanpa ada yang memiliki tanggung jawab eksklusif untuk membangun supply nya. Pengaruh terhadap orang lain dapat bersifat signifikan atau tidak signifikan. Dalam suatu DAS dulu keberadaan air tersedia dengan cukup banyak. Saat sekarang ketika DAS sudah banyak yang rusak keberadaan maka keberadaan air sebagai hasil dari pengelolaan DAS ini menjadi sangat terbatas ketersediaanya. Pada kenyataannya, dalam pengelolaan CPR sering terjadi pemanfaatan berlebihan (overuse), adanya free rider, sulitnya melakukan collective action dan sifat nonexcludable. Hal ini merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdayasumberdaya CPR termasuk pengelolaan DAS, yang menyebabkan penyediaan jasa lingkungan menghadapi banyak tantangan. Padahal keberadaan jasa lingkungan dari DAS ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jasa lingkungan merupakan jasa jasa yang diberikan oleh alam untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan air minum, memelihara kesuburan tanah dan iklim mikro, tempattempat rekreasi, dsb (Wunder et.al., 2005). Kesadaran akan pengelolaan DAS yang multipihak sudah mulai tumbuh dan dirasakan oleh berbagai stakeholder. Bahkan dalam berbagai pertemuan dan seminar sering diungkap masalah pentingnya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral ini. 2

3 Kesadaran perlunya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral (pentingnya aksi bersama/collective action) ini barulah memenuhi syarat perlu (necessary condition) bagi pengelolaan DAS yang baik. Namun demikian perlu dikaji lagi apakah sudah terpenuhi syarat cukupnya (sufficient condition). Tindak lanjut dari kesadaran ini adalah dibentuknya Forum DAS di berbagai daerah. Pada awalnya inisiasi pembentukan Forum DAS adalah berasal dari Kementerian Kehutanan. Menteri Kehutanan melalui Surat No S.652/Menhut-V/2006 telah meminta kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan forum DAS di daerahnya dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pengelolaan DAS yang multipihak. Kemudian tahun tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria Pengelolaan DAS Terpadu. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan kebijakan pembentukan Forum DAS yang lainnya. Saat ini sudah dibentuk 1 forum DAS tingkat nasional, 33 forum DAS tingkat provinsi, 12 forum DAS tingkat Kabupaten/Kota dan 3 forum DAS hasil inisiasi LSM yang belum disahkan SK Bupati/Walikota. Terbentuknya Forum DAS adalah langkah maju dalam kegiatan pengelolaan DAS untuk memenuhi syarat perlu pengelolaan DAS yang baik. Namun harus diingat bahwa pada dasarnya terbentuknya forum ini bukanlah tujuan itu sendiri, akan tetapi forum ini diharapkan menjadi wadah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan DAS yang terpadu. Setelah syarat perlu adanya suatu wadah yang bisa mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan sumber daya alam dalam kawasan DAS, langkah selanjutnya adalah mengkaji apakah forum DAS yang sudah terbentuk ini mampu memenuhi syarat cukup agar peranannya semakin sempurna dalam pengelolaan DAS. Namun demikian, aksi kolektif dalam pengelolaan DAS melalui Forum DAS ternyata belum bisa berlangsung dengan sukses. Hal ini bisa dilihat dari data DAS kritis yang ada di Indonesia. Sampai dengan tahun 2007 terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, sebanyak 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III. Adapun jika dilihat dari luasan lahan yang kritisnya, luasan yang terkategori lahan sangat kritis mencapai hektar, dan seluas hektar lainnya merupakan lahan terkategori kritis (Hutabarat 2007). DAS-DAS kritis ini utamanya adalah DAS yang membentang lintas wilayah administratif baik meliputi beberapa kabupaten/kota dalam satu propinsi 3

4 atau meliputi lebih dari satu propinsi. Dampak yang ditimbulkan dari DAS kritis pada lingkungan adalah beragam bencana dan kondisi kritis mulai dari erosi, banjir, tanah longsor, sampai hilangnya sumber-sumber mata air, kekeringan, dan perubahan fungsi lahan. Dari uraian di muka, maka perlu adanya analisis kegagalan aksi kolektif dalam pengelolaan DAS, dimana kajian aksi kolektif ini difokuskan pada kegagalan peran Forum DAS dalam pengelolaan CPR DAS. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah mengidentifikasi permasalahan kelembagaan dan penyebab kegagalan aksi kolektif Forum DAS dalam pengelolaan DAS Manfaat Penulisan Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah informasi dalam menentukan aksi kolektif pengelolaan DAS yang berhasil. KERANGKA TEORI Aksi Kolektif (Collective action) Aksi bersama (collective action) adalah proses pengambilan keputusan bersama untuk kepentingan masyarakat/bangsa/negara. Menurut Eggertsson, (1990) dalam membangun aksi bersama ada beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan yaitu: (1) munculnya freee riding behavior sehubungan dengan keinginan individu untuk memaksimumkan utilitasnya; (2) biaya aksi bersama sehubungan dengan pembuatan dan penegakan kesepakatan; (3) ukuran kelompok (group size); dan (4) masalah koordinasi antar pelaku. Free rider harus diatasi, karena sekali free rider muncul dan tidak terdapat tindakan pemberantasan dan pencegahan, maka dengan segera mereka akan membangun aliansi strategis (strategic alliance). Alternatif untuk mengatasi free riding behavior dapat dilakukan dengan cara pemaksaan (coercive) dan suka rela (voluntary). Cara pemaksaan dilakukan dengan : aturan dan sanksi berat yaitu dengan mekanisme komando dan awasi (command and control mechanism); berhadapan dengan biaya koordinasi dan penegakan kesepakatan (collective action costs); dan 4

5 good governance and clean government merupakan syarat yang diperlukan (necessary condition). Sementara cara suka rela dilakukan dengan: didasarkan pada insentif ekonomi, moral suasion, tax farming; yayasan, LSM, koperasi, hutan adat/ulayat (common property), dan lain sebagainya banyak yang eksis dan sukses dimana terdapat 3 penjelas, yaitu : Ada manfaat-manfaat barang publik atau sesuatu yang dikelola bersama dapat di private kan, (misalnya : kelompok pencinta lingkungan selalu memberi majalah eksklusif kepada anggotanya, donaturnya, dsb; asuransi, jaminan kepastian mendapat jasa, dls; kebanggaan, rasa diakui, rasa aman, dls; charity sebagai biaya lobbying, image building, dls); Ada sikap altruism yang hidup dalam masyarakat; dan Adanya kelembagaan lokal dan dihormati. Ukuran kelompok (group size) sangat menentukan kefektifan aksi bersama. Ukuran kelompok yang terlalu kecil menyebabkan kapasitas investasi untuk menjalankan mekanisme PES tidak mencukupi, sebaliknya ukuran kelompok yang terlalu besar rentan memunculkan perilaku penunggangan gratis (free riding behavior). Sehingga perlu ditetapkan jumlah yang optimal. Aksi bersama merupakan salah satu solusi mengatasi krisis pengelolaan hutan dengan karakteristik Common Pool Resources (CPRs) yang bersifat non-excludable, sangat berisiko menghadapi persoalan hadirnya penunggang gratis (free rider) dan pencari keuntungan (rent seeking). Apabila sumberdaya hutan CPRs tidak well defined dalam melakukan aksi bersama maka akan terjadi eksploitasi secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin, 1968). Namun, Gautam dan Shivakoti (2005) melaporkan bahwa para ahli kelembagaan yaitu Ostrom (1990); Thompson (1992); McGinnis and Ostrom (1996); Gibson and Koontz (1998); Agrawal and Gibson (1999); dan Gibson et al. (2000) tidak sepenuhnya menyetujui premis Hardin tersebut. Mereka mengatakan bahwa banyak bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi-aksi bersama yang mereka bangun. Tentu saja bahwa tidak semua pengguna CPRs berhasil dalam melindungi dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari. Seperti halnya tidak semua pemilik sumberdaya pribadi (private property) mampu melindungi dan melestarikan sumberdayanya. Namun demikian, tidak berarti membangun aksi bersama merupakan persoalan mudah. Ada beberapa kompleksitas dalam membangun aksi bersama 5

6 yang perlu diperhatikan, antara lain adalah: 1) Ukuran kelompok (group size) sangat menentukan keefektifan aksi bersama, 2) Penunggangan gratis (free riders) yang muncul seringkali tidak segera ditindak sehubungan dengan kedekatankedekatan hubungan sosial dan persaudaraan serta filosofi menjunjung tinggi keharmonisan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Ibarat virus perilaku penunggangan gratis mudah menular, karena penunggang gratis yang tidak segera ditindak akan segera membangun aliansi strategis dengan pihak-pihak lain, 3) Heterogenitas komunitas sangat mempengaruhi tingkat kemudahan dalam membangun aksi bersama. Semakin homogen masyarakat harapan, semakin mudah membangun aksi bersama, walaupun tidak berarti tidak mungkin untuk membangun aksi bersama pada masyarakat yang heterogen, 4) Aksi-aksi bersama membutuhkan kesepakatan multi pihak yang pada banyak kejadian memerlukan biaya transaksi (transaction costs) yang lebih mahal dibanding kesepakatan-kesepakatan bilateral, 5)Keberagaman kepentingan dan preferensi individu pada dasarnya sulit diagregasikan maupun dirata-ratakan, kecenderungan ini menyebabkan pengambil keputusan untuk membuat satu aturan untuk semua (one size fits all), padahal pada kenyataannya multi aspirasi, 6)Aksi bersama memerlukan multilateral give and take, manfaat-manfaat yang dihasilkan tidak secara langsung mudah diperoleh (indirect benefits) dan tidak selamanya bersifat saling menguntungkan (non mutual), serta hasil-hasil kerjasama kolektif sering tidak segera dapat dirasakan. Kondisi demikian akan menyebabkan kerusakan moral (moral hazard), penunggangan gratis dan perilaku oportunistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan munculnya tragedy of the common, 7)Kepentingan dan preferensi kolektif sering disampaikan secara tidak sempurna yang mengakibatkan pengambilan keputusan dilakukan secara voting yang pada dasarnya tidak menjamin terwakilinya preferensi individu-individu yang terlibat, 8)Pengambilan keputusan kolektif sering dilakukan dengan system perwakilan yang rentan menimbulkan principal-agent problem dan memerlukan agency costs yang mahal, 9)Apabila wakil yang ditunjuk adalah adalah partai politik dan birokrat cenderung akan memunculkan fenomena exploitation of the majority by minorities, karena pada dasarnya mereka memiliki kepentingan-kepentingan sendiri yang sulit dideteksi, 10)Apabila biaya keikutsertaan dalam pengambilan keputusan bersama dan biaya informasi untuk mengetahui keragaan, motif dan kepentingan para wakil mahal dan tidak tertanggulangi oleh individu-individu 6

7 yang terlibat, maka principals jadi tidak aktif dan mentoleransi keputusan yg dibuat wakil-wakilnya (rationally ignorant). Kompleksitas membangun aksi bersama seperti diuraikan di atas tidak dimaksudkan untuk menghindari aksi bersama dalam penerapan mekanisme pengelolaan CPRs. Mengingat kemanfaatan aksi bersama yang sangat strategis dalam penerapan pengelolaan CPRs, maka kompleksitas-kompleksitas tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu beberapa langkah perlu dilakukan, antara lain: 1)Membangun kesaling-percayaan (trust) di antara para pihak yang akan terlibat dalam mekanisme pengelolaan CPRs. Dengan adanya kesaling-percayaan akan mengurangi minat individu-individu untuk berperilaku penunggangan gratis, biaya transaksi (information, bargaining, monitoring, and enforcement costs) dapat diminimalkan, akan memudahkan membagun koordinasi antar pihak, dan social cohesion dapat ditingkatkan, 2) Penetapan skala penerapan mekanisme pengelolaan CPRs yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi ukuran kelompok. Apabila penerapan mekanisme pengeloaan CPR mengharuskan skalanya besar, maka perlu dipertimbangkan untuk memecah ukuran kelompok ke dalam sub-sub kelompok yang lebih kecil, namun masih tetap memiliki kemampuan investasi yang memadai, 3)Memastikan bahwa mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun benar-benar dapat memecahkan masalah kolektif yang sedang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan ketepatan pendifinisian akar masalah, tawaran solusi dan enabling condition yang diperlukan. Ketepatan mekanisme yang dibangun akan semakin mendekati kebutuhan local apabila identifikasi dilakukan oleh individu/ kelompok/ lembagalembaga yang mempunyai basis pendampingan masyarakat local dengan mekanisme partisipatif, 4)Untuk menumbuhkan partisipasi yang benar, maka diperlukan penguatan kapasitas para pihak baik melalui pembangkitan kesadaran (raising awareness), penjelasan konsepsi maupun penyediaan informasi yang tepat dan akurat. Tanpa kapasitas yang sepadan di antara para actor, maka proses partisipatif dalam arti sesungguhnya akan sulit dicapai. Dengan demikian perbedaan kepentingan-kepentingan para pihak dapat didekatkan dan mampu diekspresikan dengan sempurna, 5)Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs yang dibangun memungkinkan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan secara langsung. Apabila keterlibatan pemerintah diperlukan, maka harus dipastikan bahwa biaya partisipasi para pihak yang terlibat dapat diminimalkan, 6)Aturan dalam mekanisme pengelolaan CPRs harus dapat mendefinisikan hak dan kewajiban 7

8 secara jelas dan tidak multi-interpretatif, serta menjamin adanya keadilan distribusi manfaat, tranparans, dan akuntabel. Common Pool Resources (CPR) Menurut Stevenson (1991) terdapat 7 (tujuh) karakteristik CPR yang membedakannya dari open access dilihat dari kepemilikan sumberdaya dalam common property regimes yaitu: (i) Unit sumberdaya telah menyatu dan tergambar secara fisik, biologi dan parameter sosial; (ii) Tergambarkan dengan baik kelompok pemakai yang merupakan bagian terpisah dari sumberdaya yang digunakan (iii) Adanya berbagai pemakai yang dikelompokkan dalam pemanen sumberdaya (iv) Adanya pemahaman yang baik secara eksplisit maupun imlpisit terhadap hakhak dan tugas-tugas mereka satu sama lain dalam memanen sumberdaya; (v) Para pemakai melakukan kerjasama, tidak eksklusif dalam pemberian nama atau tempat asal atau sumberdaya yang digunakan (vi) Para pemakai bersaing dalam memanen sumberdaya sehingga timbul hal negative antara satu sama lain. (vii) Penggambaran yang benar dilakukan secara bersama antara kelompok pemilik dengan kelompok pemakai Terdapat beberapa prinsip-prinsip yang dapat meningkatkan keragaman disain kelembagaan pengelola CPR (Ostrom 1990). Fakta CPR di dunia ini sangat besar dan bervariasi dalam pemanfataan dan pemanfaatnya (users) maka tidak ada suatu institutional design yang sesuai dengan beragamnya CPR yang ada. Akan tetapi performa yang baik bagi suatu institutional design dalam menangani CPR haruslah, 1) mengikutsertakan partisipasi resource users dalm pembuatan kebijakan oleh pemerintah/institusi; 2) pemerintah membuat aturan-aturan yang mudah untuk dimonitor/diawasi dalam pelaksanaannya; 3) membuat aturan-aturan yang enforceable; 4) mengatur dan melaksanakan mekanisme sanksi oleh pelanggar; 5) ajudifikasi tersedia secara low cost; 6) institusi monitoring dengan aparat yang ankuntable; 7) kelembagaan yang mengatur CPR dibuat dalam level-level berhierarki sesuai fungsinya; dan 8) adanya prosedur yang memungkinkan adanya revisi peraturan. 8

9 Akan tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa resources dalam jumlah yang besar, kompleksitas yang tinggi, dan memiliki kepekaan eksternalitas membutuhkan disain kelembagaan yang bukan hanya berhierarki akan tetapi saling terkait. Keefektifan institusi dalam mengatur CPR saat ini didesain dengan menghitungnya secara ekonomi. Selain itu membandingkannya dengan daerah subregion lain. Hal ini dimaksudkan agar terjadi komunikasi antara pembuat kebijakan dan koordinasi tentang institusi yang diadopsi dalam mendesain suatu institusi untuk mengatur CPR. Menganalisa desain long enduring kelembagaan CPR, Ostrom (1990 dalam Gautam dan shivakoti, 2005) mengidentifikasi 8 (delapan) prinsip desain yang syarat untuk menempatkan pengaturan CPRs : 1. Kejelasan batasan/definisi sumberdayanya 2. Kecocokan antara aturan dan keadaan lokasi lokal/setempat 3. Pengaturan kolektif yang mengikutsertakan lebih banyak pengguna dalam penyediaan sumberdaya dan proses pengambilan keputusan 4. Monitoring yang efektif 5. Penerapan sanksi terhadap pengguna yang tidak menghargai aturan masyarakat 6. Mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan memudahkan akses 7. minimal mengenal hak untuk mengatur 8. Dalam kasus CPR berskala besar/luas, pengaturan berlapis-lapis terbagi atas kelompok-kelompok kecil/lokal 9

10 Tabel 1. Prinsip-Prinsip Desain Kelembagaan Aksi Kolektif yang Lestari No. Prinsip Penjelasan 1. Batas-batas terdefinisi dengan Sumberdaya dan pengguna terdefinisi dengan jelas jelas 2. Relevansi (sesuai/sebangun) a. Distribusi manfaat dari aturan yang sesuai proporsional terhadap biaya pemaksaan oleh aturan yang ditentukan b. Aturan yang sesuai membatasi waktu, tempat, teknologi dan/atau jumlah unit sumberdaya yang berkaitan dengan kondisi lokal 3. Pengaturan pilihan kolektif Sebagian besar individu yang dipengaruhi oleh aturan operasional dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan ini 4. Pemantauan Pemantau/pengawas, orang secara aktif mengaudit kondisi CPR dan behavior pengguna, dapat dipertanggungjawabkan terhadap pengguna dan/atau pengguna sendiri 5. Penetapan sanksi Pengguna yang melanggar aturan operasional harus menerima sanksi dari pengguna lain, dari petugas pemeriksa pengguna/dari keduanya 6. Mekanisme resolusi konflik Pengguna dan petugasnya mempunyai akses yang cepat untuk mengurangi biaya, arenaarena lokal untuk memecahkan konflik antar pengguna atau antara pengguna dan petugasnya 7. Pengenalan hak minimal untuk diatur 8 Kelompok pengguna (untuk CPRs yang merupakan bagian Sumber : Ostrom (1990) dalam Gautam dan Shivakoti (2005) Hak pengguna untuk merancang kelembagaannya tidak bertentangan dengan otoritas eksternal pemerintah Penyisihan, penetapan, monitoring, penegakan, resolusi konflik dan aktivitas tata kelola pemerintahan Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Keluarnya Pedoman Pernbentukan Forum DAS (Direktorat PDAS dan Rehabilitasi Lahan 2003) adalah tonggak awal pembentukan forum DAS. Forum DAS adalah wadah konsultasi dan komunikasi para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS dalam rangka rnernbantu Gubernur/Bupati/Walikota dalarn rnelaksanakan koordinasi tata pengaturan DAS di wilayahnya, dan bersifat independen. Setiap stakeholders mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Koordinator Forum dan Sekretariat Forum dipilih dari sesama anggota. Kemudian ditindaklanjuti dengan Surat No S.652/Menhut-V/2006 telah meminta kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan forum DAS di daerahnya dalam rangka untuk meningkatkan 10

11 kinerja pengelolaan DAS yang multipihak. Kemudian tahun tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria Pengelolaan DAS Terpadu. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi landasan bagi daerah untuk membentuk forum DAS. Khusus di Provinsi Sumatera Utara kebijakan yang dimaksud adalah SK Gubernur Sumut No. 614/2470/K/TAHUN 2009 Tanggal 21 Juli 2009 tentang Forum Komunikasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Provinsi Sumatera Utara dan SK Gubernur Sumut No 614 /2665/KI TAHUN 2009 tentang Forum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu, Sungai Deli dan Sungai Ular. PEMBAHASAN Stakeholder Forum DAS Sumut Pemangku kepentingan (stakeholders) dari aspek semantik, didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri (Hornby 1995). Dalam konteks sektor pertanian, secara organisasi pemangku kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas. Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh, petani (kontak tani, pemilik, penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihak-pihak terkait lainnya. Dalam implementasi program pembangunan, pemangku kepentingan memiliki definisi dan pengertian yang beraneka ragam. Istilah pemangku kepentingan digunakan untuk mendeskripsikan komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari aktivitas atau kebijakan, di mana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut. Hal ini perlu disadari, mengingat masyarakat tidak selalu menerima dampak secara adil. Sebagian masyarakat mungkin menanggung biaya dan sebagian masyarakat lainnya justru memperoleh manfaat dari suatu kegiatan atau kebijakan (Race dan Millar 2006). Gonsalves et al. (2005) mendeskripsikan pemangku kepentingan atas siapa yang memberi dampak dan/atau siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan 11

12 aktivitas pembangunan. Mereka bisa laki-laki atau perempuan, komunitas, kelompok sosial ekonomi, atau lembaga dalam berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Setiap kelompok ini memiliki sumber daya dan kebutuhan masing-masing yang harus terwakili dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan. Perlu dicatat bahwa pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan secara efektif oleh satu kelompok tertentu. Pemangku kepentingan adalah perorangan dan kelompok yang secara aktif terlibat dalam kegiatan, atau yang terkena dampak, baik positif maupun negatif, dari hasil pelaksanaan kegiatan. Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok (Crosby 1992), yaitu: 1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. 2) Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal. 3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan. Sangat sulit untuk menetapkan secara tepat sebenarnya siapa saja yang harus terlibat dalam Forum DAS Sumut, mengingat batasan batasan dari stakeholder yang sangat luas mulai dari tingkat individu sampai dengan tingkat pemerintah, swasta dan LSM yang itu juga sangat beragam. Dalam kasus Forum DAS Sumut keanggotaannya memang belum dapat merepresentasikan stakeholder yang terdapat dalam kawasan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena pada umumnya pembentukan forum ini dilakukan secara spontan pada saat ada seminar lokakarya atau lainnya yang dari peserta yang hadirlah susunan organisasi disusun. Keanggotaan Forum DAS Sumut berdasarkan SK Gubernur Sumut No. 614/2470/K/TAHUN 2009 dan SK Gubernur Sumut No 614 /2665/KI TAHUN 2009 lebih tertuju pada para individu yang dapat dikatakan tidak memeiliki representasi nyata di masyarakat. Selain itu, pencantuman keanggotaan dalam Forum tidak memperhatikan komitmen dan kopetensinya. Dalam kasus di Forum DAS Sumut, seseorang yang namanya dicantumkan dalam pengurus tidak semua mengetahui bahwa dia adalah pengurus forum. Komitmen dan kopetensi menjadi penting dalam berjalannya kegiatan 12

13 collective action seperti pengelolaan DAS ini. Untuk memudahkan memahami pengaruh dari komitmen dan kompetensi para stakeholder dalam mendukung suksesnya aksi kolektif Forum DAS Sumut bisa dijelaskan dengan menggunakan matrik komitmen dan kopetensi seperti yang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Matrik Komitmen Dan Kompetensi Stakeholder Untuk Menunjang Bekerjanya Mekanisme Collective Action Dalam Forum DAS Forum DAS tidak akan berjalan kalau aktor/stakeholder yang terkait tidak punya komitmen dan kompetensi. Untuk jelasnya, dari Gambar 1 bisa dijelaskan sebagai berikut : a. Forum DAS Sumut yang notabene adalah nirlaba hanya akan berjalan jika stakeholder yang terlibat dalam forum, baik dari jajaran penyelenggara kekuasaan negara (eksekutif & legislatif) maupun eksponen-eksponen masyarakat memeiliki kompetensi dan komitmen (sel I). b. Tantangan bagi jalannya Forum DAS agak sedikit longgar kalau situasi yang dihadapi adalah situasi di sel II dan III: Ada kemauan namun tidak bisa, atau sebaliknya, orang-orangnya bisa namun tidak mau. Untuk Kalau kita berada dalam sel II (bisa tapi tidak mau) maka proses kebijakan terseret dalam proses politis: menuntut atau memaksa agar mereka bersedia bekerja secara partisipatif dan mengembangkan mekanisme yang partisipatif. Kalau yang kita hadapi adalah situasi di sel III (mau namun tidak bisa) maka langkah yang diperlukan adalah mengembangkan kompetensinya. c. Prospek bagi pengembangan mekanisme kebijakan yang partisipatif akan sangat suram kalau situasinya adalah seperti yang di sel IV: sudahlah tidak tahu dia tidak mau lagi. 13

14 Hasil identifikasi terhadap stakeholder yang terlibat dalam Forum DAS Sumut sebagian besar anggotanya termasuk dalam kuadran II dan III, bahkan pada kuadran IV karena terlanjur dicantumkan meskipun yang bersangkutan tidak lagi mau aktif lagi dengan alasan sulit untuk merubah SK. Anggota yang aktif berperan dalam Forum DAS sesuai dengan matrik tersebut berada pada kuadran I didominasi oleh para akademisi dari perguruan tinggi yang mempunyai kopetensi dan komitmen. Demikianlah analisis terhadap para stakeholder forum DAS dari aspek komitmen dan kopetensi terkait kegagalan aksi bersama Forum DAS dalam pengelolaan DAS di Sumatera Utara. Kelestarian Kelembagaan Forum DAS Mengacu pada 8 prinsip desain kelembagaan yang lestari dari Ostrom (1990) secara umum pemenuhan kondisi forum DAS Sumut terhadap desain tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi Pencapaian Prinsip Desain Kelembagaan Yang Lestari Dari Ostrom (1990) Di Forum DAS Sumut No. Prinsip Kondisi Dalam Fordas Sumut 1. Batas-batas terdefinisi dengan jelas a. Terhadap Sumber Daya Jelas b. Terhadap pengguna/user Tidak 2. Kongruen a. Distribusi manfaat dari aturan yang Tidak ada sesuai proporsional terhadap biaya pemaksaan oleh aturan yang ditentukan b. Aturan yang sesuai membatasi Ada tetapi tidak jalan waktu, tempat, teknologi dan/atau jumlah unit sumberdaya yang berkaitan dengan kondisi lokal 3. Pengaturan pilihan kolektif Tidak 4. Pemantauan Tidak berjalan 5. Penetapan sanksi Dalam keanggotaan ini tidak ada pengaturan masalah sanksi 6. Mekanisme resolusi konflik Mekanisme resolusi konflik belum dijelaskan 7. Pengenalan hak minimal untuk diatur Sebagian ya Tabel 2 menunjukkan bahwa apa yang terjadi di dalam Forum DAS dalam kaitannya dengan collective action pengelolaan DAS sangat lemah kelestariannya dan cenderung untuk gagal. Para anggota yang terlibat dalam forum ini dari aspek kejelasan 14

15 hak dan tanggung jawabnya pun banyak yang tidak tahu, bahkan hanya sekedar bergabung dengan alasan tertentu. Karena banyak yang tidak terpenuhi dari desain kelembagaan yang lestari menurut Ostrom (1990) tersebut maka wajar jika collective action dalam pengelolaan DAS di Sumut melalui Forum DAS Sumut mengalami kegagalan. Karena kedinamisannya, maka collective action sulit untuk diukur dan dipelajari (Mienzen-Dick et al., 2004). Namun dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan kelestarian menurut Ostrom (1990) tersebut potret dan sekaligus historis dari collective action bisa dinilai. Selain metode yang digunakan Ostrom tersebut, analisis terhadap keberadaan Forum DAS Sumut juga bisa diamati dari interaksi antar anggota. Karena saling ketergantungan sosial, dan keengganan untuk mengganggu keputusan manajemen apa yang dirasakan sebagai tetangga yang berdaulat dan membawa konflik keluar (Ravnborg & Westermann, 2002) menjadikan keberadaan forum DAS di Sumut menjadi kurang berguna dalam menghadapi kepentingan penting terkait penggunaan suatu CPR. Alasan yang umum adalah Forum tidak boleh mencampuri urusan TUPOKSI diantara lembaga pemerintah yang ada. Akhirnya keputusan strategis yang seharusnya dibahas secara kolektif menjadi sesuatu yang tidak terjadi. Dilain pihak tidak adanya insentif bagi anggota Forum DAS juga menyebabkan keengganan untuk terlibat aktif dalam collective action usaha pengelolaan DAS (Hodge & McNally, 2000). Ketergantungan stakeholder secara langsung terhadap sumberdaya juga mempengaruhi kualitas dan keberhasilan dari collective action. Stakeholder yang tidak banyak tergantung terhadap SDA secara langsung juga kurang memiliki ikatan yang kuat dalam collective action (Mushtaq et al., 2007). Untuk kasus Forum DAS Sumut hal ini juga terjadi dimana sebagian anggota aktif dari forum DAS adalah para akademisi yang dapat dikatakan tidak memiliki ketergantungan/hubungan secara langsung dengan SDA. Stakeholder yang seharusnya banyak aktif seperti lembaga pemerintah dan masyarakat ternyata tidak begitu banyak berperan. Meskipun demikian pada saat-saat tertentu peran akademisi dalam collective action Forum DAS Sumut sangat dibutuhkan, utamanya saat memediasi antara kebijakan pemerintah dengan kepentingan masyarakat dan LSM. Hal senada juga diungkapkan Yang & Wu (2009) yang mengungkapkan bahwa sarjana/akademisi yang memiliki keunggulan komparatif dalam pengetahuan dan informasi daripada aktor-aktor sosial lainnya (seperti masyarakat dan pemerintah) dapat membantu para pelaku collective action dalam melakukan tindakan kolektif terkait dilema sistem sosial-ekologi di bawah kondisi tertentu. 15

16 KESIMPULAN Forum DAS Sumut sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki pengelolaan CPR masih mengalamai kegagalan. Selain karena faktor koordinasi dari aspek tinjauan teoriteori yang berkaitan dengan collective action kegagalan ini karena para stakeholder yang terlibat sebagian besarnya tidak mempunyai komitmen dan kopetensi. Forum DAS Sumut juga belum bisa memenuhi prinsip-prinsip kelestarian kelembagaan collective action yang diajukan Ostrom (1990). Meskipun secara umum Forum DAS gagal dalam peranannya dalam mengendalikan penggunaan SDA yang berkarakteristik CPR, pada saat-saat tertentu peran Forum menjadi penting terutama untuk menjadi mediator antara pemerintah dengan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Crosby, B.L Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes, No. 2. Agency for International Development, Washington DC. Eggertsson, Thrainn Economic Behavior and Institutions. Cambridge University Press. United States of America. Hodge, I & S. McNally Wetland restoration, collective action and the role of water management institutions. Ecological Economics 35 (2000) Gautam, A.B. and Shivakoti, G.P Conditions for Successful Local Collective Action in Forestry: Some Evidence FromtheHills of Nepal. Society and Natural Resources, 18: , Taylor & Francis Inc. Gibsons Robert Incentives Between Firms (Within). Management Science. Vol. 51, No. 1, January 2005, pp issn _eissn _05 _5101 _0002. Gonsalves, J., T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book (glossary). International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. Hornby, A.S Oxford Advanced Learner s Dictionary of Current English. C. Jonathan, K. Kavanagh, and M. Ashby (Eds.). Oxford University Press, Oxford. Hardin, G The tragedy of the commons. Science 162: Kartodihardjo, H Pengelolaan Hutan Bagi Penurunan Emisi Karbon dan Menjaga kelestarian Lingkungan Hidup : Masalah the trapped administrators. Tanggapan terhadap materi ceramah Menteri Kehutanan sebagai bahan diskusi di Lembaga Ketahanan Nasional, 3 Juni Yang, L. & J. Wu Scholar-participated governance as an alternative solution to the problem of collective action in social ecological systems. Ecological Economics 68 (2009)

17 Meinzen-Dick, R, M. DiGregorio & N. McCarthy Methods for studying collective action in rural development. Agricultural Systems 82 (2004) Mushtaq, S., D. Dawe, H. Lin & P. Moya An assessment of collective action for pond management in Zhanghe Irrigation System (ZIS), China. Agricultural Systems 92 (2007) Ostrom, Elinor How Types of Goods and Property Rights Jointly Affect Collective Action, Journal of Theoretical Politics, Vol. 15, No. 3, (2003). Ostrom, E Doing Institutional Analysis: Digging Deeper Than Markets and Hierarchies in Handbook of New Institutional Economics, Edited by Mé nard, C. and Shirley, M. M. Springer Verlag Berlin Heidelberg. Race, D. and J. Millar Training Manual: Social and community dimensions of ACIAR Projects. Australian Center for International Agricultural Research Institute for Land, Water, and Society of Charles Sturt University, Australia. Ravnborg, H. M., & O. Westermann Understanding interdependencies: takeholder identification and negotiation for collectivenatural resource management. Agricultural Systems 73 (2002) Wunder, Sven, Bui Dung The and Enrique Ibarra Payment is Good, Control is Better: Why payments for forest environmental services in Vietnam have so far remained incipient.. CIFOR. Bogor, Indonesia. 17

KEBIJAKAN PEMBENTUKAN FORUM DAS DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

KEBIJAKAN PEMBENTUKAN FORUM DAS DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI KEBIJAKAN PEMBENTUKAN FORUM DAS DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Bejo Slamet Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Kondisi Pengelolaan DAS di Indonesia Fenomena kejadian

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012 PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012 Apa saja prasyaarat agar REDD bisa berjalan Salah satu syarat utama adalah safeguards atau kerangka pengaman Apa itu Safeguards Safeguards

Lebih terperinci

BAGIAN I. PENDAHULUAN

BAGIAN I. PENDAHULUAN BAGIAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Kegiatan di sektor ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah. Selama ini keberadaan industri ketenagalistrikan telah memberikan

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung PENDAHULUAN Ekosistem penghasil beragam produk dan jasa lingkungan keberlanjutan kehidupan. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung Nilai guna langsung pangan, serat dan bahan bakar,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu paradigma pembangunan perdesaan yang bersifat bottom-up

I. PENDAHULUAN. Salah satu paradigma pembangunan perdesaan yang bersifat bottom-up I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu paradigma pembangunan perdesaan yang bersifat bottom-up dikenal dengan istilah pendekatan pembangunan endogen untuk pedesaan (endegoneous rural development

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,

Lebih terperinci

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang Konferensi Pers dan Rumusan Hasil Workshop 21 Juli 2009 Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang Jakarta. Pada tanggal 21 Juli 2009, Departemen Kehutanan didukung oleh USAID

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2.

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2. DAFTAR ISI Halaman: Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar LAMPIRAN I LAMPIRAN II LAMPIRAN III LAMPIRAN IV...... TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. Umum 2. Lampiran 1a: Wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah *

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah * Pada akhir masa sidang III lalu, Rapat Paripurna DPR mengesahkan salah satu RUU usul inisatif DPR mengenai

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

Brief Note. Edisi 19, Mobilisasi Sosial Sebagai Mekanisme Mengatasi Kemiskinan

Brief Note. Edisi 19, Mobilisasi Sosial Sebagai Mekanisme Mengatasi Kemiskinan Brief Note Edisi 19, 2016 Mobilisasi Sosial Sebagai Mekanisme Mengatasi Kemiskinan Mobilisasi Sosial Sebagai Mekanisme Mengatasi Kemiskinan Pengantar Riza Primahendra Dalam perspektif pembangunan, semua

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) Untuk memulihkan kembali fungsi hutan dan lahan yang kritis diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Rehabilitasi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. No.1602, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN PEMANFAATAN SERTA PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain POTRET KETIMPANGAN Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain Lebih dari 186.658 hektar area yang ditetapkan kawasan hutan merupakan perkampungan penduduk

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN SALINAN NOMOR 28, 2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA MALANG TAHUN 2013 2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang:

Lebih terperinci

Brief Note. Edisi 22, Social Marketing Sebagai Strategi Pemberdayaan

Brief Note. Edisi 22, Social Marketing Sebagai Strategi Pemberdayaan Brief Note Edisi 22, 2016 Social Marketing Sebagai Strategi Pemberdayaan Social Marketing Sebagai Strategi Pemberdayaan Riza Primahendra Pengantar Salah satu indikator utama dalam melaksanakan CSR atapun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung Pertemuan 13 PENDAHULUAN Ekosistem penghasil beragam produk dan jasa lingkungan keberlanjutan kehidupan. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung Nilai guna langsung pangan, serat

Lebih terperinci

STATUTA FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA BARAT PEMBUKAAN

STATUTA FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA BARAT PEMBUKAAN STATUTA FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA BARAT PEMBUKAAN Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Barat adalah sebuah wadah yang menyatukan para pihak pemangku kepentingan (multi-stakeholders) di Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada paradigma kehutanan sosial, masyarakat diikutsertakan dan dilibatkan sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai seorang buruh melainkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelangkaan Sumberdaya Air Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu penyebab pemanfaatan berlebihan yang dilakukan terhadap sumberdaya air. Selain itu, berkurangnya daerah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I UMUM Menyadari bahwa peran sektor pertanian dalam struktur dan perekonomian nasional sangat strategis dan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi, BAB VI. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komperhensif tentang bagaimana Pemerintah Daerah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Endah Murniningtyas Deputi Bidang SDA dan LH Disampaikan dalam Forum Diskusi Nasional Menuju Kota Masa Depan yang Berkelanjutan dan Berketahanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 53 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Kemiskinan Proses pembangunan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan berakhirnya era Orde Baru, diakui atau tidak, telah banyak menghasilkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek sosial. Ketiga aspek

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 115 8.1 Kesimpulan Dari hasil kajian tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) (suatu kajian penguatan kapasitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

Lebih terperinci

MEWUJUDKAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN DESA

MEWUJUDKAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN DESA MATERI DISKUSI MEWUJUDKAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN DESA Yeremias T. Keban MKP FISIPOL UGM Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, 27 September 2017 The Alana

Lebih terperinci

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah turut berperan sertanya seseorang atau masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan laporan di dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP Ikhtisar Eksekutif Pembangunan sistem administrasi modern yang andal, professional, partisipatif serta tanggap terhadap aspirasi masyarakat, merupakan kunci sukses menuju manajemen pemerintahan dan pembangunan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH

IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH IX. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PENGELOLAAN SUB DAS BATULANTEH Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumber daya yang menyangkut dan melibatkan banyak pihak dari hulu sampai hilir dengan kepentingan

Lebih terperinci

MK. Ekonomi Kelembagaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESL 327)

MK. Ekonomi Kelembagaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESL 327) MK. Ekonomi Kelembagaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESL 327) Departemen Ekonomi Sumber Daya & Lingkungan Fakultas Ekonomi & Manajemen Institut Pertanian Bogor Flashback materi minggu lalu RELASI KELEMBAGAAN

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1345, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Sungai. Pengelolaan. Daerah. Koordinasi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.61/Menhut-II/2013 TENTANG FORUM KOORDINASI

Lebih terperinci

Komite Advokasi Nasional & Daerah

Komite Advokasi Nasional & Daerah BUKU SAKU PANDUAN KEGIATAN Komite Advokasi Nasional & Daerah Pencegahan Korupsi di Sektor Swasta Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

Forum Dialog Pencegahan, Penanganan dan Penindakan Kesalahan, Kecurangan dan Korupsi (P3K3) Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Forum Dialog Pencegahan, Penanganan dan Penindakan Kesalahan, Kecurangan dan Korupsi (P3K3) Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Forum Dialog Pencegahan, Penanganan dan Penindakan Kesalahan, Kecurangan dan Korupsi (P3K3) Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Tim Pokja Pencegahan, Penanganan dan Penindakan Kesalahan, Kecurangan

Lebih terperinci

INTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMBAHARUAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI PRESIDEN REBUBLIK INDONESIA,

INTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMBAHARUAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI PRESIDEN REBUBLIK INDONESIA, 1 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMBAHARUAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN IRIGASI PRESIDEN REBUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan dan penghidupan manusia

Lebih terperinci

dan Organisasi Petani

dan Organisasi Petani Sessi - 7 A. Klarifikasi pemahaman konsep Kelembagaan dan Organisasi Petani Jepperson (1991), Lembaga suatu aturan yang dipahami dan dipakai oleh suatu kelompok masyarakat atau biasa disebut rules of the

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PERCEPATAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASCABENCANA GEMPA BUMI DI KABUPATEN PIDIE, KABUPATEN PIDIE JAYA, DAN KABUPATEN BIREUEN PROVINSI

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MASYARAKAT (KPM 231)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT (KPM 231) PENGEMBANGAN MASYARAKAT (KPM 231) Koordinator Matakuliah Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Website: http://skpm.fema.ipb.ac.id/

Lebih terperinci

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air BAB VI PENUTUP Air dan lahan merupakan dua elemen ekosistem yang tidak terpisahkan satu-sama lain. Setiap perubahan yang terjadi pada lahan akan berdampak pada air, baik terhadap kuantitas, kualitas,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan bagian dari kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Kawasan ini memiliki beragam fungsi strategis,

Lebih terperinci

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI TATA KELOLA SUMBERDAYA ALAM DAN HUTAN ACEH MENUJU PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DAN RENDAH EMISI VISI DAN MISI PEMERINTAH ACEH VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS FREEDOM OF INFORMATION NETWORK INDONESIA (FOINI)

RENCANA STRATEGIS FREEDOM OF INFORMATION NETWORK INDONESIA (FOINI) RENCANA STRATEGIS FREEDOM OF INFORMATION NETWORK INDONESIA (FOINI) TENTANG FOINI Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) merupakan jaringan organisasi masyarakat sipil dan individu yang intensif

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Mengapa perlu sektor publik?

Mengapa perlu sektor publik? Mengapa perlu sektor publik? Musgrave : Sektor publik (pemerintah) dibutuhkan untuk mengatasi : Kompetisi tidak efisien (monopoli) Kontrak dan pertukaran membutuhkan proteksi, jaminan, penegakan hukum

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a.bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Draft 12 Desember 2004 A. PERMASALAHAN Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh perbedaan persepsi para

Lebih terperinci

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII)

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) Tim Pengajar MK Ekologi Manusia 2010 HAK KEPEMILIKAN (PROPERTY RIGHT) Rezim Hak Kepemilikan Hak Kepemilikan Tipe Hak Kepemilikan Akses Terbuka

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM

VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS LMDH DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM VII. RANCANGAN PROGRAM PENGUATAN KAPASITAS DAN PENINGKATAN EFEKTIVITAS PHBM 107 7.1 Latar Belakang Rancangan Program Guna menjawab permasalahan pokok kajian ini yaitu bagaimana strategi yang dapat menguatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta BUKU RENCANA BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG 8.1 PERAN SERTA MASYARAKAT Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan

Lebih terperinci

ATAS RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA

ATAS RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK BATANG TUBUH RANCANGAN PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

Teori Sumberdaya Bersama (Common- Pool Resource / Common Property Resource)

Teori Sumberdaya Bersama (Common- Pool Resource / Common Property Resource) Teori Sumberdaya Bersama (Common- Pool Resource / Common Property Resource) Kuliah Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam Soeryo Adiwibowo Tragedi Sumberdaya Bersama (Tragedy of the Common, Garret Hardyn)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi penting bagi pembangunan dan kehidupan manusia. Secara umum, danau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologi

Lebih terperinci