TEORI-TEORI DASAR PERKEMBANGAN MORAL PADA USIA DINI: SUATU PERSPEKTIF PSIKOLOGI. Abstrak Yulia Ayriza

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TEORI-TEORI DASAR PERKEMBANGAN MORAL PADA USIA DINI: SUATU PERSPEKTIF PSIKOLOGI. Abstrak Yulia Ayriza"

Transkripsi

1 TEORI-TEORI DASAR PERKEMBANGAN MORAL PADA USIA DINI: SUATU PERSPEKTIF PSIKOLOGI Abstrak Yulia Ayriza Pendidikan karakter memiliki tiga komponen yang penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan moral action. Ketiga komponen dasar ini merupakan satu kesatuan yang kontinyu dalam perkembangan moral anak. Dengan demikian mempelajari perkembangan moral anak akan bermanfaat juga sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan pendidikan karakter. Meskipun demikian, banyak praktisi yang tidak mengetahui teori dasar dari perspektif psikologi yang menerangkan ketiga komponen penting dalam perkembangan moral tersebut, padahal pendidikan karakter sangat erat hubungannya dengan psikologi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Dalam artikel ini akan dibahas tiga teori psikologi mayor yang menjelaskan komponen dasar dari perkembangan moral: Teori Perkembangan Kognitif menjelaskan moral knowing, Teori Psikoanalitik menjelaskan moral feelings, dan Teori Sosial Kognitif menjelaskan moral action/behavior. Diharapkan dengan memahami dasar terbentuknya perilaku tiga komponen dasar perkembangan moral ini, pendidik memiliki pegangan lebih baik dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Pendahuluan Sehubungan dengan adanya Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun , maka pendidikan karakter pada akhir-akhir ini menjadi topik hangat di kancah nasional yang banyak diperhatikan dan dikerjakan baik oleh kelompok profesional maupun awam dari unsur masyarakat. Konsep pendidikan karakter sendiri memiliki dasar teori yang dapat dikaji dari berbagai perspektif ilmu, antara lain dari filsafat, psikologi, pedagogi, dan bidang ilmu lainnya. Yang menjadi masalah, para praktisi jarang berniat meninjau lebih dalam asal mula teori yang mencetuskan konsep pendidikan karakter tersebut, melainkan yang umum terjadi konsep-konsep yang ada sudah ready used, sehingga langsung digunakan pada implementasinya di lapangan. Tentu hal ini tidak menjadi masalah sejauh tidak ada hambatan yang dihadapi pada proses pendidikan, namun demikian alangkah baiknya apabila si calon pengguna mengetahui dasar teori yang mendasari lahirnya konsep yang akan 1

2 digunakan, sehingga dapat dipahami dinamika perkembangan terbentuknya perilaku yang diharapkan, serta mampu mengimplementasikannya sesuai dengan kerangka dasar teoritiknya, khususnya dari perspektif psikologi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Secara khusus dalam kaitannya dengan proses pemerolehan dan internalisasi nilai-nilai karakter yang dikehendaki, pendidikan karakter memiliki hubungan yang sangat erat dengan teori perkembangan moral, oleh karena itu dalam artikel ini akan diuraikan tiga teori besar dalam psikologi yang menerangkan tentang perkembangan moral anak, dengan masing-masing menekankan pada fokus yang berbeda, yaitu dalam hal moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior. Diharapkan dengan memahami dasar teori yang melandasi masing-masing aspek perilaku moral, pendidik akan memiliki pegangan lebih kuat dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya, dan dengan demikian pula akan diperoleh proses yang lancar serta hasil yang memuaskan. Pendidikan Karakter dan Perkembangan Moral Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti yang menanamkan nilai moral manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Dalam proses penanaman nilai moralitas ini melibatkan unsur kognitif yang meliputi pikiran, pengetahuan, dan kesadaran; unsur afektif atau perasaan; serta unsur psikomotorik atau perilaku (Muslich, 2011; Suyanto, 2009). Sementara Lickona (1992) berpendapat bahwa tiga komponen dari karakter yang baik terdiri dari: (1) knowing the good/moral knowing, (2) desiring the good atau loving the good/moral feeling, dan (3) acting the good/moral action. Pendapat Lickona tentang komponen-komponen karakter ini apabila digabungkan sebagai satu kesatuan yang kontinyu merupakan dinamika dari terbentuknya moralitas anak dalam perkembangan moralnya. Santrock (2008, h. 316) dalam menerangkan tentang perkembangan moral menyatakan bahwa: 2

3 Moral development involves the development of thoughts, feelings, and behaviors regarding rules and conventions about what people should do in their interactions with other people. Berdasar pendapat-pendapat yang sudah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan adanya kesamaan antara pendidikan karakter dengan perkembangan moral individu, terutama dalam proses pemerolehan dan internalisasinya; bahwa untuk terbentuknya nilai-nilai yang diharapkan, individu tidak cukup hanya mengetahui saja nilai yang ditanamkan, melainkan perlu juga dapat merasakan dan mencintai nilai tersebut, serta melaksanakan atau mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku. Dengan demikian pula, dapat disimpulkan bahwa uraian tentang teori-teri dasar yang mencetuskan aspek-aspek perkembangan moral dapat pula digunakan untuk memahami dinamika terbentuknya aspek-aspek perilaku pada pendidikan karakter. Teori-Teori Dasar Perkembangan Moral Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa ada tiga aspek perkembangan moral yang meliputi moral knowing, moral feelings, dan moral action, masing-masing diterangkan oleh tiga teori perkembangan mayor, yaitu teori perkembangan kognitif oleh Piaget, teori psikoanalitik oleh Freud, dan teori social kognitif oleh Bandura (Santrock, 2008). 1. Teori Perkembangan Kognitif Penalaran Moral/Moral Reasoning Perhatian tentang bagaimana anak-anak berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dirintis oleh Piaget pada tahun 1932 (dalam Santrock, 2008) melalui penelitian-penelitiannya yang luas dan mendalam dengan menggunakan metode observasi dan wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Dalam penelitiannya, Piaget mengangkat persoalan-persoalan moral seperti mencuri, berbohong, hukuman, dan keadilan. Dari hasil penelitiannya, Piaget membagi tahap-tahap perkembangan moral berdasarkan cara penalarannya, yaitu: 3

4 a. 4-7 tahun: tahap moralitas heteronom; pada tahap ini cara berpikir anak tentang keadilan dan peraturan bersifat obyektif dan mutlak (dalam Monks, Knoer, & Haditono, 2001), artinya tidak dapat diubah dan tidak dapat ditiadakan oleh kekuasaan manusia. b tahun: tahap transisi; anak menunjukkan sebagian sifat dari tahap moralitas heteronom, dan sebagian sifat lain dari tahap moralitas autonom. c. 10- dan seterusnya: tahap moralitas autonom; anak menunjukkan kesadaran bahwa peraturan dan hukum diciptakan oleh manusia, oleh karenanya dalam menilai suatu perbuatan, anak-anak selain mempertimbangkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, juga sekaligus mempertimbangkan maksud dan ikhtiar dari si pelaku. Teori perkembangan moral yang dirintis Piaget ini kemudian dikembangkan oleh Kohlberg yang membagi tahap-tahap perkembangan moral dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Perbedaan Cara Berpikir Moralitas Heteronom dan Autonom Anak pada tahap moralitas heteronom dan autonom tentu memiliki cara berpikir moral yang berbeda. Berikut akan diuraikan pendapat Piaget (dalam Monks, Knoer, & Haditono, 2001; Santrock, 2008) tentang perbedaan karakteristik penalaran moral anak pada kedua tahap tersebut. a. Pada Tahap Moralitas Heteronom 1) Anak-anak menilai benar-salah dengan mempertimbangkan akibatakibat yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Misalnya, pada cerita tentang anak yang ingin menunjukkan nilai rapornya yang bagus dan secara tidak sengaja telah memecahkan 12 cangkir dibandingkan dengan anak yang bermaksud mencuri kue dan memecahkan sebuah 4

5 cangkir. Pada tahap hateronom, memecahkan 12 cangkir dinilai lebih besar kesalahannya daripada memecahkan sebuah cangkir. Dalam hal ini penilaian moral didasarkan pada kerugian material yang dinilai secara kuantitatif. 2) Anak-anak yakin bahwa peraturan tidak dapat diubah karena diturunkan secara tradisi oleh orang-orang yang memiliki wewenang sangat besar. Sebagai contoh: ketika Piaget menganjurkan anak-anak kecil untuk menggunakan peraturan baru dalam bermain marbel, mereka dengan tegas menolak, karena hal itu dianggap melanggar peraturan. 3) Anak-anak yakin bahwa keadilan bersifat tetap dan selalu ada, sebagai akibatnya, anak menghubungkan pelanggaran dengan datangnya hukuman secara otomatis. Oleh karena itu dapat disaksikan bahwa anak kecil yang melakukan kesalahan sering melihat ke sekeliling dengan cemas, karena yakin bahwa datangnya hukuman tak dapat dihindari. b. Pada Tahap Moralitas Autonom 1) Anak-anak menilai benar-salah berdasarkan tujuan si pelaku, oleh sebab itu dalam kasus anak yang memecahkan cangkir, anak yang bermaksud mencuri kue dan memecahkan satu cangkir dinilai lebih besar kesalahannya karena dinilai tujuannya tidak baik dibandingkan anak yang memecahkan 12 cangkir secara tidak sengaja. 2) Anak-anak menilai bahwa peraturan semata-mata merupakan kesepakatan yang disetujui bersama, sehingga memungkinkan untuk diubah. Pada contoh permainan marbel, anak-anak pada tahap autonom ini dapat menerima anjuran untuk bermain dengan peraturan baru yang disetujui bersama. 5

6 3) Anak-anak pada tahap ini mengetahui bahwa hukuman hanya akan datang apabila perbuatan salahnya disaksikan oleh orang lain, bahkan anak-anak beranggapan bahwa hukuman itu memiliki kemungkinan untuk dihindari. Cara berpikir autonom ini dinyatakan bersifat subyektif dan relatif tergantung pada tujuannya, dan hal ini sudah dimulai sejak anak berusia 7 tahun pada fase operasional konkrit (Rathus, 2007). Pemerolehan Cara Berpikir Heteronom dan Autonom Pada tahap heteronom, cara berpikir moralitas anak diperoleh dari orang tua dan teman sebayanya, namun lebih dominan diperoleh dari orang tua melalui pengasuhannya. Menurut Santrock (2008), dalam hubungannya dengan orang tua, perkembangan moral anak diperoleh melalui tiga hal penting, yaitu: 1) Sifat hubungan: hubungan orang tua anak yang hangat dan bertanggung jawab mengenalkan nilai-nilai kewajiban yang bersifat timbal balik antara kedua belah pihak tersebut (Thompson, 2006); dalam hal ini tanggung jawab orang tua ialah memberikan pengasuhan dan bimbingan yang positif pada anak untuk menjadi manusia yang berkompeten, sedangkan kewajiban anak ialah merespon secara memadai prakarsaprakarsa orang tua, serta mempertahankan hubungan yang positif dengan orang tua. 2) Strategi proaktif: salah satu strategi pengasuhan ialah secara proaktif mencegah atau menghindarkan anak dari perbuatan yang salah sebelum hal itu terjadi (Thompson, Meyer, & McGinley, dalam Shamrock, 2008). Cara yang digunakan orang tua yaitu dengan tindakan pengalihan seperti mengalihkan perhatian anak pada hal-hal yang tidak baik atau mengarahkan mereka pada kegiatan-kegiatan lain supaya terhindar dari perbuatan jelek. Misalnya, anak yang sedang menonton televisi tentang 6

7 adegan agresivitas bisa dialihkan pada kegiatan bermain di taman. Dengan anak-anak yang sudah lebih besar, orang tua dapat secara proaktif mendiskusikan nilai-nilai moral yang dipandang penting bagi anak untuk bisa menghindarkan diri dari perbuatan tidak baik. 3) Percakapan dua arah: percakapan dengan anak, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja tentang nilai-nilai moral dapat memberikan kontribusi tinggi pada perkembangan moral anak. Percakapan dapat mencakup nilai moral yang positif seperti disiplin, ataupun nilai yang negatif seperti perbuatan curang. Pada anak-anak di atas 10 tahun, pemerolehan cara berpikir moralitas lebih banyak berasal dari hubungannya dengan kelompok teman sebaya. Sejalan dengan perkembangan kognisinya, anak-anak juga semakin terampil dalam berpikir tentang masalah-masalah social. Piaget menekankan bahwa pemahaman masalah sosial diperoleh melalui hubungan timbal balik dalam hal memberi dan menerima dengan teman-teman sebayanya. Dalam kelompok teman sebaya, anak-anak memiliki kekuasaan dan status yang seimbang dalam hal membuat perencanaan-perencaaan yang kemudian dinegosiasikan dan dikoordinasikan untuk mendapatkan kesepakatan. Apabila terdapat ketidaksepakatan, maka hal ini dipikirkan bersama dengan nalar hingga akhirnya dapat diselesaikan atau dengan kata lain dicapai kesepakatan. Melalui cara seperti ini, penalaran anak tentang moralitas berkembang, sedangkan dalam hubungan orang tua-anak yang ditandai hubungan otoriter atau hubungan kepatuhan searah, maka cara berpikir moralitas anak kurang dapat berkembang (Santrock, 2008). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Piaget menitik-beratkan aspek kognisi sebagai fungsi utama dalam perkembangan moral anak, baik pada tahap moralitas heteronom yang cenderung bersifat pasif menerima dari orang tua maupun pada tahap moralitas autonom yang cenderung bersifat aktif mengadakan negosiasi dengan kelompok teman sebaya tentang norma 7

8 dan peraturan-peraturan yang akan diadopsi dan kemudian dikonsepsi dalam kepribadiannya. 2. Teori Psikoanalitik Perasaan Moral/Moral Feelings Menurut Freud dengan teori psikoanalitiknya, perasaan cemas dan bersalah merupakan inti dari perkembangan moral. Penyelesaian terhadap konflik Oedipus dan Electra yang terjadi pada usia 3-5 tahun memainkan peranan penting pada perkembangan moral anak. Pada usia tersebut, anakanak mengembangkan keinginan yang tinggi untuk menggantikan posisi orang tua yang sama jenis kelamin dengan dirinya serta menikmati kasih sayang dari orang tua lawan jenisnya. Namun demikian, pada usia 5-6 tahun, anak menyadari bahwa orang tua mereka yang sesama jenis dapat menghukum mereka atas dorongan seksual yang tidak dapat diterima menurut norma, oleh karena itu anak-anak lalu mengidentifikasikan diri pada orang tua sesama jenis, menginternalisasi norma-norma mereka. Sebagai pengganti rasa permusuhan yang semula ditujukan pada orang tua sesama jenis, maka dengan cara mengidentifikasikan diri pada kepribadian mereka, anak-anak menekan rasa permusuhan itu ke dalam bawah sadar yang kemudian muncul dalam kesadaran sebagai perasaan bersalah (Freud, dalam Santrock, 2008). Dengan demikian, rasa bersalah ini muncul karena anak merasa melanggar norma, sehingga anak perlu melakukan penyesuaian diri terhadap standar norma dari masyarakat untuk mengurangi rasa bersalah. Dalam hal ini, pengendalian terhadap diri sendiri menggantikan pengendalian dari orang tua. Ditinjau dari struktur kepribadian menurut teori psikoanalitik yang terdiri dari id, ego dan superego, maka perkembangan superego sebagai agen moral terjadi ketika anak berusaha mengumpulkan dan mengadopsi standar dan nilai-nilai moral dari orang tua dan anggota komunitas yang lain. Anak melakukannya melalui identifikasi, yaitu dengan mencoba menjadi sama seperti orang-orang yang menjadi ego idealnya. Setelah berhasil 8

9 mengidentifikasi, superego menggantikan kedudukan model-model dari ego ideal dan memonitor tujuan-tujuan dari ego dalam memenuhi dorong id dengan cara memberikan pertimbangan benar dan salah. Penggantian posisi ini menjadikan ego dipenuhi perasaan bersalah dan malu ketika pertimbangan yang diberikan superego terhadap apa yang dilakukan ego bersifat negatif atau dinyatakan bersalah (Freud, dalam Rathus, 2007). Meskipun teori Freud tentang pembentukan ego ideal dan superego tidak dapat dibuktikan, namun para peneliti menemukan bahwa intensitas perasaan bersalah anak ketika melakukan perbuatan salah dapat dibuktikan. Sebagai contoh, pada salah satu penelitian yang melibatkan 106 anak prasekolah, mereka diberitahu bahwa mereka telah merusakkan suatu benda yang berharga, maka reaksi mereka yang menunjukkan perasaan bersalah diukur, ada yang menghindari tatapan mata (melempar pandang, melihat ke bawah), menampakkan tekanan fisik (melanggang-lenggokkan badan, membelakangi orang dengan punggungnya, menunduk, menutup wajah dengan tangan), serta menampakkan rasa sedih (memperlihatkan ekspresi tidak nyaman, menangis). Anak-anak perempuan mengekspresikan rasa bersalah yang lebih besar daripada anak laki-laki, dan anak-anak yang memiliki temperamen penakut juga menunjukkan ekspresi bersalah lebih besar. Sementara anakanak dari ibu-ibu yang menerapkan pola disiplin keras seperti memukul pantat, menampar, dan membentak justru kurang mengekspresikan rasa bersalah (Kochanska dkk., dalam Santrock, 2008). Emosi lain yang berkontribusi pada perkembangan moral ialah rasa malu karena berbuat salah (Rathus, 2007), dan rasa empati yang berfungsi mereaksi perasaan orang lain dengan respon emosional serupa dengan yang dirasakan orang tersebut. Untuk hal ini, anak memerlukan kemampuan mengambil perspektif/sudut pandang orang lain (Eisenberg, 2006). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkembangan moral menurut teori psikoanalitik, anak-anak demi untuk mengurangi rasa cemas, 9

10 bersalah dan malu, menghindari hukuman serta mempertahankan kasih sayang orang tua, mereka melakukan identifikasi diri terhadap orang tua, menginternalisasi standar nilai tentang benar-salah dari orang tua, untuk kemudian membangun superego yang merupakan elemen moral dari kepribadian anak. Di samping itu dapat juga disimpulkan bahwa untuk mengembangkan moral anak, mereka perlu ditumbuhkan rasa cemas, bersalah, dan malu apabila melakukan kesalahan, serta diajarkan mengambil sudut pandang orang lain untuk mengembangkan rasa empati agar dapat merespon perasaan orang lain dengan reaksi emosional yang memadai. 3. Teori Sosial Kognitif Perilaku Moral/Moral Behavior Perilaku atau tingkah laku moral merupakan fokus dari perkembangan moral menurut pendekatan sosial kognitif (Grusec, 2006), yang menyatakan bahwa penguatan/reinforsmen, hukuman, dan imitasi merupakan prosesproses yang dapat menerangkan perkembangan moral anak. Ketika anak diberi hadiah atas perbuatannya yang mematuhi hukum atau adat sosial, maka ia cenderung akan mengulangi perbuatan tersebut. Demikian juga ketika anak diberi hukuman atas perbuatannya yang salah, maka perbuatan tersebut cenderung akan dikurangi atau dihilangkan. Namun demikian, hukuman, terutama hukuman fisik, memiliki efek samping yang negatif, maka penggunaannya perlu dilakukan secara bijak dan hati-hati (Santrock, 2008). Berkaitan dengan hukuman fisik, Gershoff (2002) berdasarkan penelitiannya terhadap anak lebih menemukan hubungan antara hukuman fisik dengan berbagai pola perilaku moral pada masa kanak-kanak dan dewasa sebagai berikut: 1) Anak-anak yang biasa dihukum secara fisik cenderung kurang mengembangkan standar moral internal. 2) Hukuman fisik berkorelasi dengan hubungan orang tua anak yang tidak harmonis. 10

11 3) Anak-anak yang dihukum secara fisik cenderung bersifat agresif terhadap anak-anak lain, dan terlibat dalam perilaku kriminal pada kehidupan selanjutnya. 4) Anak-anak yang biasa dihukum secara fisik, setelah dewasa cenderung berperilaku kasar terhadap pasangan dan anak-anaknya sendiri. Berhubung efek negatif yang cukup banyak dari hukuman, maka penggunaan hukuman sebagai intervening pembentukan perilaku kurang dianjurkan, karena gagal memenuhi harapan yang ingin dicapai orang tua, guru, dan pendidik yang lain. Sementara ketika model yang memberikan teladan perilaku mematuhi peraturan moral tersedia bagi anak, maka anak-anak cenderung melakukan modeling dan mengadopsi perilaku tersebut. Dalam hal ini anak tidak secara pasif menyerap stimulus eksternal dari model, melainkan secara aktif melakukan seleksi model perilaku yang akan diadopsi dari apa yang diaobservasinya serta membangun konsepsi tentang standar internal yang akan membimbing perilakunya sendiri, di sinilah letak peran fungsi kognitif (Busey & Bandura, 2004). Menurut teori sosial kognitif, bahwa perilaku anak tidak semata-mata dipengaruhi oleh hadiah dan hukuman, tetapi situasi juga mempengaruhinya. Para peneliti behavioristik dan sosial kognitif menekankan bahwa apa yang anak lakukan pada satu situasi seringkali belum tentu dilakukan pada situasi yang lain; anak bisa curang di kelas tetapi tidak pada permainan, demikian juga anak dapat mencuri gula-gula ketika sedang sendirian, tetapi tidak melakukannya ketika ada orang lain di situ (Santrock, 2008). Para penganut teori sosial kognitif juga yakin bahwa kemampuan untuk menolak godaan sangat erat hubungannya dengan perkembangan pengendalian diri, dan untuk memperoleh kemampuan tersebut, anak perlu belajar menunda pemuasan diri. Menurut Bandura, faktor kognitif yang mendukung efikasi-diri sangat penting kontribusinya bagi berkembangnya pengendalian diri (Bandura, 1997), karena anak perlu merasa yakin dalam 11

12 memilahkan mana yang benar dan mana yang salah untuk kemudian dapat menjadi pengendali bagi perilakunya sendiri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut teori sosial kognitif, inti dari perkembangan moral terletak pada proses penguatan/reinforsmen, hukuman, dan imitasi. Selain itu pengaruh situasi, dan fungsi kognitif memiliki pengaruh sangat esensial dalam berkembangnya pengendali diri yang mengatur perilaku bermoral anak. Penutup Tiga teori mayor dalam psikologi menerangkan tiga komponen dasar pendidikan karakter yang secara keseluruhan merupakan dinamika terjadinya perkembangan moral anak, yaitu: Teori Perkembangan Kognitif menjelaskan moral knowing, Teori Psikoanalitik menjelaskan moral feelings, dan Teori Sosial Kognitif menjelaskan moral action/behavior. Menurut Piaget dengan teori perkembangan kognitifnya, aspek kognitif memiliki fungsi sentral dalam perkembangan moral anak, karena pemerolehannya tidak dapat dilepaskan dari kompetensi kognitif anak sesuai dengan tingkat perkembangannya, baik pada tingkat moralitas heteronom maupun pada tingkat moralitas autonom. Hubungan dengan teman sebaya yang bersifat negosiatif lebih menstimulasi perkembangan moral anak dibanding hubungan dengan orang tua yang bersifat kepatuhan searah. Menurut teori psikoanalitik Freud, rasa cemas, bersalah dan malu berkontribusi pada perkembangan moral anak, karena demi mengurangi atau menekan perasaan-perasaan tersebut, anak melakukan identifikasi diri pada orang tuanya, menginternalisasi standar norma dari orang tua dan komunitas lain untuk kemudian digunakan membangun superego yang merupakan elemen moral dari kepribadian. Menurut teori sosial kognitif dari Bandura, proses penguatan/reinforsmen, hukuman dan imitasi memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan 12

13 melaksanakan perilaku moral. Dalam proses ini, perlu dipertimbangkan juga pengaruh situasi dan berfungsinya kognitif, karena anak secara aktif melakukan seleksi terhadap model-model yang diobservasi, untuk kemudian dikonsepsi menjadi standar internal yang akan membimbing perilakunya sendiri. Implikasi dari ketiga teori ini ialah: dalam perkembangan moral, anak memerlukan hubungan yang baik dengan orang tua pada tahap heteronom, serta dengan teman sebaya pada tahap autonom, agar melalui hubungan interpersonal yang baik itu, anak dengan fungsi kognisinya mampu mengabsorbsi dan memahami nilai-nilai moral dari eksternal, baik secara pasif maupun aktif. Selain itu, anak perlu ditumbuhkan rasa cemas, bersalah dan malu apabila melakukan perbuatan salah setelah proses internalisasi nilai-nilai dari eksternal, serta diajarkan mengambil sudut pandang orang lain (persective taking) untuk mengembangkan rasa empati. Terakhir dengan proses penguatan/reinforsmen, hukuman dan imitasi, anak dibiasakan meningkatkan perbuatan baik, mengurangi atau menghilangkan perbuatan negatif, serta melakukan modeling dengan cara aktif menyeleksi model-model yang sesuai dengan nilai moral atau karakter yang diharapkan lingkungannya. Dengan demikian, sejalan dengan perkembangan waktu, perilaku bermoral atau berkarakter akan terbiasa dan melekat pada kehidupan sehari-harinya, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Daftar Pustaka Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: W. H. Freeman and Company. Bussey, K., & Bandura, A. (2004). 2 nd ed. Social cognitive theory of gender development and functioning. In Eagly, H.A., Beall, A.E. & Sternberg, R.J. (Eds.). The psychology of gender (pp ). New York: The Guilford Press. Eisenberg, N. (2006). Empathy-related responding in children. In M. Killen & J.G. Smetana (Eds.). Handbook of moral development. Mahwah, New York: Erlbaum 13

14 Gershoff, E.T. (2002). Corporal punishment by parents and associated child behaviors and experiences: A meta-analytic and theoretical review. Psychological Bulletin, 128 (4), Grusec, J.E. (2006). Development of moral behavior and conscience. In M. Killen & J.G. Smetana (Eds.). Handbook of moral development. Mahwah, New York: Erlbaum Lickona, T. (1992). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., Haditono, S.R. (2001). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muslich, M. (2011). Pendidikan karakter: Menjawab tantangan krisis multidimensional. Jakarta: bumi Aksara. Rathus, S.A. (2007). Psychology: Concept and connections. (8 th ed.). Belmont, California: Thompson Learning, Inc. Santrock, J.W. (2008). Children. (10 th ed.). New York: McGraw-Hill. Suyanto. (2009). Urgensi pendidikan karakter. Diunduh dari: pada tanggal 26 juni

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA Menurut Santrock (1999), moral development adalah tahap perkembangan yang menekankan pada aturan dan nilai-nilai tentang apa yang harus dilakukan oleh individu pada

Lebih terperinci

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK Murhima A. Kau Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo INTISARI Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Social Learning Theory

Lebih terperinci

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA ANAK oleh: Triana Noor Edwina D.S Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM

KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM 0 KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM (Kompasiana, 2010) Melihat kondisi bangsa saat ini dimana banyak terjadi penyimpangan moral di kalangan remaja dan generasi muda, maka perlu

Lebih terperinci

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II PERKEMBANGAN MORAL PADA REMAJA oleh: Triana Noor Edwina D.S, M.Si Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Lebih terperinci

DESKRIPSI DAN SILABI MATA KULIAH

DESKRIPSI DAN SILABI MATA KULIAH DESKRIPSI DAN SILABI MATA KULIAH 1. IDENTIFIKASI MATA KULIAH a. Nama Mata Kuliah : Perkembangan Peserta Didik (PPD) b. Kode Mata Kuliah : MDK 2104 c. Jumlah SKS : 2 SKS d. Program Studi : Psikologi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan sosial dan kepribadian anak usia dini ditandai oleh meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan mendekatkan diri pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : YUNITA AYU ARDHANI F 100 060

Lebih terperinci

MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK

MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK Artikel MEMAHAMI PERKEMBANGAN NILAI MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK Oleh: Drs. Mardiya Masalah moral dan agama merupakan salah satu aspek penting yang perlu di tumbuh kembangkan dalam diri anak. Berhasil tidaknya

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TULISAN NARASI Inayah Hanum Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TULISAN NARASI Inayah Hanum Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TULISAN NARASI Inayah Hanum Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan ABSTRAK Pendidikan karakter sangat diperlukan bagi masyarakat kita, khususnya bagi anakanak dan remaja.seserang

Lebih terperinci

PERSEPEKTIF PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERLINDUNGAN DIRI ANAK Oleh: Arumi Savitri Fatimaningrum, S.Psi., M.A.

PERSEPEKTIF PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERLINDUNGAN DIRI ANAK Oleh: Arumi Savitri Fatimaningrum, S.Psi., M.A. 1 PERSEPEKTIF PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERLINDUNGAN DIRI ANAK Oleh: Arumi Savitri Fatimaningrum, S.Psi., M.A. Perlindungan diri anak merupakan hal yang perlu kita galakkan pada masa sekarang ini. Maraknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

JIPP. Optimalisasi Emosi Sebagai Sistem Peringatan Dini Moral. Subhan El Hafiz a Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA a

JIPP. Optimalisasi Emosi Sebagai Sistem Peringatan Dini Moral. Subhan El Hafiz a Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA a Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris Vol. 1, No. 1, 2015. Hal. 9-16 JIPP Optimalisasi Emosi Sebagai Sistem Peringatan Dini Moral Subhan El Hafiz a Universitas Muhammadiyah Prof.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia 6 tahun. Secara alamiah perkembangan

Lebih terperinci

MASA KANAK-KANAK AWAL. Masa ini dialami pada usia : 2 tahun 5/6 th Masa Usia Pra Sekolah : Play group atau TK

MASA KANAK-KANAK AWAL. Masa ini dialami pada usia : 2 tahun 5/6 th Masa Usia Pra Sekolah : Play group atau TK MASA KANAK-KANAK AWAL Masa ini dialami pada usia : 2 tahun 5/6 th Masa Usia Pra Sekolah : Play group atau TK 1 Tugas Perkembangan Kanak-kanak Awal a)belajar perbedaan dan aturan-aturan jenis kelamin. b)kontak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja, yaitu berkisar antara 12-15 tahun (Lytha, 2009:16). Hurlock (1980:10) mengemukakan

Lebih terperinci

Selamat Membaca, mempelajari dan Memahami Materi e-learning Rentang Perkembangan Manusia I

Selamat Membaca, mempelajari dan Memahami Materi e-learning Rentang Perkembangan Manusia I Selamat Membaca, mempelajari dan Memahami Materi e-learning Rentang Perkembangan Manusia I TEORI-TEORI dalam PSIKOLOGI PERKEMBANGAN oleh: Dr. Triana Noor Edwina D.S, M.Si Fakultas Psikologi Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori self-efficasy

Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori self-efficasy Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning Teory) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu mengatasi segala masalah yang timbul sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan sosial dan harus mampu menampilkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENERAPAN TEKNIK DISIPLIN DI TK X DENGAN KEMAMPUAN PENALARAN MORAL ANAK USIA 4-6 TAHUN FINA DWI PUTRI ABSTRAK

HUBUNGAN PENERAPAN TEKNIK DISIPLIN DI TK X DENGAN KEMAMPUAN PENALARAN MORAL ANAK USIA 4-6 TAHUN FINA DWI PUTRI ABSTRAK HUBUNGAN PENERAPAN TEKNIK DISIPLIN DI TK X DENGAN KEMAMPUAN PENALARAN MORAL ANAK USIA 4-6 TAHUN FINA DWI PUTRI ABSTRAK FINA DWI PUTRI. Hubungan Penerapan Teknik Disiplin Di Tk X Dengan Kemampuan Penalaran

Lebih terperinci

Behavior and Social Learning Theory

Behavior and Social Learning Theory MODUL 4 PSIKOLOGI PERKEMBANGAN 1 Behavior and Social Learning Theory Materi yang akan di bahas: a. Pendekatan Umum Teori b. Penekanan pada Perilaku Belajar c. Hukum Universal d. Teori Belajar Modern e.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak adalah amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak adalah amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak adalah amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayakan pada setiap keluarga. Mengasuh dan mendidik mereka agar memiliki ahlak mulia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang dikenal dengan keramahtamahannya serta budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004) 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Konsep Teoritis 1. Aspek Psikososial Remaja Masa remaja merupakaan masa dimana remaja mencari identitas, dan dalam proses pencarian identitas tersebut tugas utama

Lebih terperinci

Perkembangan Anak Usia Dini Ernawulan Syaodih

Perkembangan Anak Usia Dini Ernawulan Syaodih Perkembangan Anak Usia Dini Ernawulan Syaodih Karakteristik Anak Batasan tentang masa anak cukup bervariasi, istilah anak usia dini adalah anak yang berkisar antara usia 0-8 tahun. Namun bila dilihat dari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MORAL: TEORI PIAGET & KOHLBERG

PERKEMBANGAN MORAL: TEORI PIAGET & KOHLBERG PERKEMBANGAN MORAL: TEORI PIAGET & KOHLBERG TENTANG MORAL Moral berasal dari kata Latin mores yang berarti: Tata cara, kebiasaan dan adat. Perilaku moral berarti perilaku yg sesuai dengan kode moral kelompok

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIAL- EMOSIONAL MASA KANAK- KANAK AWAL. Kuliah 7 Adriatik Ivanti, M.Psi

PERKEMBANGAN SOSIAL- EMOSIONAL MASA KANAK- KANAK AWAL. Kuliah 7 Adriatik Ivanti, M.Psi PERKEMBANGAN SOSIAL- EMOSIONAL MASA KANAK- KANAK AWAL Kuliah 7 Adriatik Ivanti, M.Psi The Self Initiative Versus Guilt (Erikson): Dlm tahap ini, konflik2 perasaan akan muncul dlm diri anak2 Konflik muncul

Lebih terperinci

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom.

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. AGRESI Modul ke: Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Fakultas Psikologi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

MASA KANAK-KANAK AWAL

MASA KANAK-KANAK AWAL MASA KANAK-KANAK AWAL Oleh: Prof.Dr. Siti Partini Suardiman Drs. Hiryanto, M.Si Yulia Ayriza, M.Si, Ph.D Dra. Purwandari, M.Si Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Rosita Endang Kusmaryani, M.Si yulia_ayriza@uny.ac.id

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH

PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK PRASEKOLAH Pendahuluan Pada hakikatnya, anak manusia, ketika dilahirkan telah dibekali dengan bermacam-macam potensi yakni kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang

Lebih terperinci

PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM

PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM PROGRAM PENGABDIAN PADA MASYARAKAT BAGIAN PSIKOLOGI KLINIS FAKULTAS PSIKOLOGI UNDIP BEKERJASAMA DENGAN RS. HERMINA BANYUMANIK SEMARANG PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM SEMARANG, 23 AGUSTUS 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penanganan untuk anak berkebutuhan khusus menjadi suatu tantangan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan luar biasa mengingat karakteristik dan kebutuhan anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah pendidikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH

PERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH PERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH Oleh: Sri Maslihah PENDAHULUAN Dunia anak adalah dunia yang senantiasa menarik perhatian dengan berbagai tingkah laku anak yang luar biasa dinamis, variatif dan inovatif.

Lebih terperinci

MANFAAT EMOTIONAL INTELLIGENCE BAGI PENGAJAR DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

MANFAAT EMOTIONAL INTELLIGENCE BAGI PENGAJAR DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR MANFAAT EMOTIONAL INTELLIGENCE BAGI PENGAJAR DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR Astrini Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Bina Nusantara University, Jln. Kemanggisan Ilir III No 45, Kemanggisan, Palmerah,

Lebih terperinci

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY Pendahuluan Setiap anak memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Proses utama perkembangan anak merupakan hal

Lebih terperinci

"EMOTIONAL LEARNING" SEBAGAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER. Yulia Suriyanti STKIP Persada Khatulistiwa Sintang

EMOTIONAL LEARNING SEBAGAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER. Yulia Suriyanti STKIP Persada Khatulistiwa Sintang "EMOTIONAL LEARNING" SEBAGAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER Yulia Suriyanti STKIP Persada Khatulistiwa Sintang suryantiyuli@yahoo.co.id ABSTRAK Pembelajaran merupakan proses adaptasi, penyesuaian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Sebagai seorang manusia, kita memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Interaksi kita dengan orang lain akan memiliki dampak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan tersebut menjungjung tinggi moralitas berdasarkan norma-norma 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terkenal dengan masyarakatnya yang ramah. Kebudayaan Indonesia seringkali disebut sebagai bagian dari budaya timur, dimana kebudayaan tersebut menjungjung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Efikasi Diri A. Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam teori sosial kognitif atau efikasi diri sebagai kepercayaan terhadap

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN

KEMANDIRIAN DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN KEMANDIRIAN DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu masa dalam tahap perkembangan manusia yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja menurut Hurlock (1973)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra dengan ilmu psikologi. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang

BAB I PENDAHULUAN. sastra dengan ilmu psikologi. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bidang psikologi sastra merupakan bidang interdisipliner antara ilmu sastra dengan ilmu psikologi. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Bangsa Jepang merupakan bangsa yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai

Bab 5. Ringkasan. Bangsa Jepang merupakan bangsa yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Bab 5 Ringkasan Bangsa Jepang merupakan bangsa yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalnya. Walaupun kini bangsa Jepang merupakan bangsa yang sudah sangat modern dan maju, namun mereka tetap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan anak untuk optimalisasi bagi perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan anak untuk optimalisasi bagi perkembangannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Anak adalah anugerah, rezeki, amanah dan kekayaan yang paling berharga bagi orangtua dan keluarganya. Suatu kebahagian bagi orangtua yang selalu berharap agar

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi MODUL PERKULIAHAN AGRESI Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Psikologi Psikologi 61119

Lebih terperinci

Teori Perkembangan. Rizki Dawanti, M.Psi., Psikolog. Luh Mea Tegawati, M.Psi., Psikolog. Perkembangan. Definisi Teori.

Teori Perkembangan. Rizki Dawanti, M.Psi., Psikolog. Luh Mea Tegawati, M.Psi., Psikolog. Perkembangan. Definisi Teori. Modul ke: Teori Perkembangan Fakultas PSIKOLOGI Rizki Dawanti, M.Psi., Psikolog. Luh Mea Tegawati, M.Psi., Psikolog. Program Studi PSIKOLOGI Definisi Teori Syarat syarat Teori Macam Teori Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Adapun

Lebih terperinci

MASA KANAK-KANAK AWAL. Masa ini dialami pada usia Masa Usia Pra Sekolah : 2-4 th Play group atau TK : 4 5,6 th

MASA KANAK-KANAK AWAL. Masa ini dialami pada usia Masa Usia Pra Sekolah : 2-4 th Play group atau TK : 4 5,6 th MASA KANAK-KANAK AWAL By FH Masa ini dialami pada usia Masa Usia Pra Sekolah : 2-4 th Play group atau TK : 4 5,6 th 1 Tugas Perkembangan Kanak-kanak Awal a) Belajar perbedaan dan aturan-aturan jenis kelamin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KTSP DALAM INOVASI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAGI PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

IMPLEMENTASI KTSP DALAM INOVASI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAGI PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA IMPLEMENTASI KTSP DALAM INOVASI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAGI PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA PENDAHULUAN Dalam dunia pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa menjadikan masyarakat yang

Lebih terperinci

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak

POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH. Abstrak POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA OLEH : ADE JUWAEDAH Abstrak Kontrol belajar pada implementasi pendidikan praktis di rumah, terutama untuk anak usia dini dan usia sekolah seyogiyanya ada di bawah kendali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja BAB I PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah fase kedua dalam kehidupan setelah fase anak-anak. Fase remaja disebut fase peralihan atau transisi karena pada fase ini belum memperoleh status

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti dilalui oleh seseorang. Anak-anak merupakan aset penting milik negara yang akan menjadi

Lebih terperinci

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat: Pengantar

Perkembangan Sepanjang Hayat: Pengantar Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat: Pengantar Karisma Riskinanti, M.Psi., Psi Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI http://www.mercubuana.ac.id Definisi Teori Syarat-syarat Teori Macam Teori Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik dan psikisnya. Karena dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa.pada masa remaja terjadi pertumbuhan untuk mencapai kematangan yang mencakup

Lebih terperinci

Social Learning Theory

Social Learning Theory Modul ke: 04Fakultas Erna PSIKOLOGI Social Learning Theory Multahada, S.HI., S.Psi., M.Si Program Studi Psikologi Pendekatan Umum Teori P E R I L A K U o B S E R V A T I O N A l Teori Belajar Tradisional

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada 144 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian secara mendalam peneliti membahas mengenai self

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

PROSES SOSIALISASI DAN PENGASUHAN ANAK DI DALAM KELUARGA

PROSES SOSIALISASI DAN PENGASUHAN ANAK DI DALAM KELUARGA PROSES SOSIALISASI DAN PENGASUHAN ANAK DI DALAM KELUARGA Melik Budiarti Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP PGRI Madiun Email: melikbudiarti74@gmail.com Abstract Parenting parents to their children is the first

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi mendefinisikan perkembangan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Metode Penelitian dan Pengembangan (Research and Development/R&D). Menurut Sugiyono (2012)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan koloni terkecil di dalam masyarakat dan dari keluargalah akan tercipta pribadi-pribadi tertentu yang akan membaur dalam satu masyarakat. Lingkungan

Lebih terperinci

Authentic Couching Untuk Pengembangkan Perangkat Pembelajaran Character Building Berbasis Kearifan Lokal Sari

Authentic Couching Untuk Pengembangkan Perangkat Pembelajaran Character Building Berbasis Kearifan Lokal Sari Authentic Couching Untuk Pengembangkan Perangkat Pembelajaran Character Building Berbasis Kearifan Lokal 1 Oleh: Endah Rita, S. Dewi 2., Sumarno 3, Prasetiyo 4 Sari Authentic Couching untuk Pengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan dipelihara karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Masing-masing individu yang berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

TAHAPAN ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN MANUSIA

TAHAPAN ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN MANUSIA TAHAPAN ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN MANUSIA Aspek-aspek perkembangan PERKEMBANGAN KOGNITIF JEAN PIAGET Perkembangan Moral Jean Piaget yang terkait perkembangan kognitif Tahap realisme moral (0-12 thn) Tahap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan sosial 2.1.1 Definisi kecerdasan sosial Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan setiap individu, baik berupa pendidikan formal ataupun nonformal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

Karakteristik manusia komunikan. Rahmawati Z

Karakteristik manusia komunikan. Rahmawati Z Karakteristik manusia komunikan Rahmawati Z Kenalilah Dirimu. Pemeran utama dalam proses komunikasi adalah manusia. Sebagai psikolog, kita memandang komunikasi justru pada perilaku manusia komunikasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari tahapan demi tahapan perkembangan yang harus dilalui. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari tahapan demi tahapan perkembangan yang harus dilalui. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi untuk bertahan dan melanjutkan tugas dalam setiap tahap perkembangannya. Remaja tidak terlepas dari tahapan demi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci