UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA SINTESIS NANOSTRUKTUR SENG OKSIDA (ZnO) BERKETERATURAN TINGGI DENGAN METODE KIMIAWI BASAH UNTUK APLIKASI SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA DISERTASI Amalia Sholehah Fakultas Teknik Program Studi Teknik Metalurgi dan Material Depok Juli 2015

2 SINTESIS NANOSTRUKTUR SENG OKSIDA (ZnO) BERKETERATURAN TINGGI DENGAN METODE KIMIAWI BASAH UNTUK APLIKASI SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA DISERTASI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Amalia Sholehah Fakultas Teknik Program Studi Teknik Metalurgi dan Material Depok Juli 2015 i

3 ii

4 iii

5 KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta ala, karena atas berkah dan rahmat-nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor pada Fakultas Teknik. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Prof. Dr. Ir. Akhmad Herman Yuwono, M.Phil.Eng, selaku promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan disertasi ini; (2) Dr. Ir. Sri Harjanto dan Prof. Dr. Ir. Nji Raden Poespawati, M.T., selaku ko-promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan disertasi ini; (3) Prof. Dr.-Ing. Ir. Bambang Suharno, Drs. Nofrijon Sofyan, M.Sc., Ph.D., Dr. Agus Supriyanto, S.Si., M.Si., dan Brian Yuliarto, ST., M.Eng., Ph.D., selaku ketua dan anggota tim penguji yang telah memberikan masukan dan koreksi yang sangat berharga, (4) Jurusan Teknik Metalurgi dan Material Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan; Akhir kata, saya berharap Allah Subhanahu Wa Ta ala berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Depok, Juli 2015 Penulis iv

6 v

7 ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Amalia Sholehah : Teknik Metalurgi dan Material : Sintesis Nanostruktur Seng Oksida (ZnO) Berketeraturan Tinggi dengan Metode Kimiawi Basah untuk Aplikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna Seng oksida (ZnO) merupakan material semikonduktor dengan aplikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang seperti elektronik, optoelektronik, fotokatalisis, hingga biomedis. Salah satu aplikasi yang marak diteliti saat ini adalah penggunaan ZnO sebagai lapisan anoda untuk sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-sensitized solar cell, DSSC). Dalam pembuatan sel surya, kondisi morfologi natural lapisan semikonduktor oksida sangat berpengaruh pada interaksi penyerapan cahaya. Bentuk morfologi yang baik adalah struktur onedimensional (1D) yang tersusun secara paralel dan melekat secara vertikal pada substrat kaca konduktif. Akan tetapi, struktur ini tidak mudah didapat pada sintesis dengan metode kimiawi basah. Pertumbuhan nanostruktur dengan arah yang tidak terorientasi akan mengakibatkan rendahnya kristalinitas dan energi celah pita (Eg) yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kemampuan penyerapan zat pewarna (dye) yang memberikan hasil DSSC dengan efisiensi rendah. Pada penelitian ini, dilakukan sintesis nanostruktur ZnO di atas substrat kaca konduktif dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat (Zn(NO 3 ) 2.4H 2 O, Znnitrat) dan heksametilentetraamin (C 6 H 12 N 4, HMTA). Untuk meningkatkan kestabilan lapisan ZnO di atas substrat, dilakukan penempelan lapisan bibit terlebih dahulu dengan menggunakan metode spin-coating. Lapisan bibit ini dibuat dengan menggunakan larutan yang disintesis pada suhu 0 o C. Setelah proses spin-coating, lapisan nanostruktur ZnO ditumbuhkan dengan menggunakan metode chemical bath deposition (CBD). Untuk meningkatkan kristalinitas nanostruktur ZnO, dilakukan proses pasca-hidrotermal, yang terbagi menjadi 2 variasi. Pada variasi pertama, reaksi dilakukan dalam reaktor hidrotermal pada vi

8 150 o C selama 3 jam. Pada variasi kedua, reaksi dilakukan dalam reaktor tertutup dengan penambahan gas nitrogen (N2) 1 bar pada suhu 100 o C selama 1 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pasca-hidrotermal, menhasilkan lapisan nanostruktur ZnO dengan kristalinitas yang lebih tinggi, ditandai dengan intensitas puncak difraksi yang lebih tajam dibandingkan dengan ZnO hasil as-synthesized. Naiknya kristalinitas tersebut selanjutnya memicu penurunan energi celah pita (Eg) sehingga lapisan nanostruktur ZnO dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang yang lebih besar. Selain itu, morfologi yang yang terlihat dari hasil SEM juga menunjukkan perbaikan setelah proses pasca-hidrotermal. Hal ini terlihat orientasi nanostruktur ZnO yang semula tidak beraturan menjadi tegak vertikal. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa perbedaan kondisi pasca-hidrotermal menghasilkan pertumbuhan nanostruktur dengan bentuk yang berbeda. Pada variasi pertama, didapat hasil sintesis berupa nanorods ZnO, sedangkan variasi kedua menghasilkan nanorods dan nanotubes ZnO. Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca konduktif yang telah dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai lapisan anoda pada DSSC. Pada penelitian ini, terlihat bahwa perbedaan variasi proses pasca-hidrotermal mempengaruhi kemampuan penyerapan warna (dye loading). Anoda yang dihasilkan dari proses pasca-hidrotermal yang menggunakan penambahan gas N2 mampu menyerap za pewarna lebih banyak. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya struktur nanotubes yang memiliki pori/rongga. Namun demikian, efisiensi tertinggi diraih oleh anoda setelah perlakuan pasca-hidrotermal tanpa gas N2, yaitu sebesar 0,12%. Nilai ini bersesuaian dengan ukuran kristalit yang paling stabil dan energi celah pita paling rendah yang didapat dari perhitungan. Pada penelitian, diameter kristalit dan energi celah pita pada sampel dengan efisiensi tertinggi adalah sebesar ~18 nm dan 3,17 ev. Kata kunci: Nanostuktur ZnO, lapisan bibit, CBD, pasca-hidrotermal, gas N2, efisiensi vii

9 ABSTRACT Name Study Program Title : Amalia Sholehah : Metallurgical and Material Engineering : Synthesis of Highly Ordered Zinc Oxide (ZnO) Nanostructure via Wet Chemical Method for Dye-Sensitized Solar Cell Zinc oxide (ZnO) is a semiconductor material with a very broad application in many fields, such as electronics, optoelectronic, photocatalyst, and biomedicine. One application that widely examined nowadays is its use as an anode layer for dye-sensitized solar cells (DSSC). In solar cells fabrication, the nature of morphological conditions of the oxide semiconductor layer greatly affect the interaction of light absorption. Good morphology is a one-dimensional structure (1D) arranged in parallel and attached vertically on a conductive glass substrate. However, this structure is not easily obtained in the synthesis via wet chemical method. Nanostructures with non-oriented growth will result in lower crystallinity and higher band gap energy (Eg) is high. This can lead to low dye absorption that results in DSSC with low efficiency. In this study, synthesis of ZnO nanostructures on a conductive glass substrate was carried out using zinc nitrate tetrahydrate (Zn(NO3)2.4H2O, Znnitrate) and heksametilentetraamin (C6H12N4, HMTA) at 0 o C. To improve the stability of ZnO layer on the substrate, seeding layers were attached using spincoating method. After the spin-coating process, the seeding layers were grown using chemical bath deposition (CBD). To improve the crystallinity of nanostructured ZnO, post-hydrothermal process was performed afterward. This process was divided into two variations. In the first variation, the reaction is carried out in a hydrothermal reactor at 150 o C for 3 hours. While in the second variation, the reaction is carried out in a closed reactor with the addition of 1 bar nitrogen gas (N2) at 100 C for 1 hour. The results showed that post-hydrothermal treatment had improved the ZnO nanostructures layer. The diffraction peaks were sharper than the as-synthesized ZnO nanostructure, indicating higher crystallinity. As a consequence, the band gap viii

10 energy would be lowered. In addition, the morphology also showed improvement in the nanostructures orientation after a post-hydrothermal process. In this research, the difference in the post-hydrothermal conditions generated different shapes of ZnO nanostructures. The first variation resulted ZnO nanorods, while the second variation produced ZnO nanorods and nanotubes. In this study, it appeared that post-hydrothermal process variations affected the dye loading capacity of the ZnO nanostructure layers. When used as anodes in DSSC, the layer obtained from post-hydrothermal process using N2 gas additions showed a higher dye absorption. The presence of nanotubes structure was assumed to gave this contribution, since this structure had pores / cavities that could absorbed more dyes. However, the highest efficiency achieved by the anode after post-hydrothermal treatment without N2 gas, with the value of 0.12%. This corresponded with the most stable crystallites size and lowest band gap energy obtained from the calculation. In the study, the crystallites size and the band gap energy of this sample were given as ~ 18 nm and 3.17 ev. Keywords: ZnO nanostructures, seeding layer, CBD, post-hydrothermal, N 2 gas, efficiency ix

11 DAFTAR ISI Halaman Judul i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii HALAMAN PENGESAHAN iii KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS v AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Abstrak vi Abstract viii Daftar Isi x Daftar Gambar xii Daftar Tabel xvi Bab I. Pendahuluan Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Sistematika Penulisan 6 Bab II. Studi Pustaka Seng Oksida (Zinc Oxide, ZnO) Struktur Kristal ZnO Sifat Mekanik ZnO Sifat Optis dan Elektrik ZnO Nanostruktur ZnO Nanorods ZnO Sintesis Nanostruktur ZnO Proses Fasa Uap Proses Fasa Larutan Sintesis Nanorods ZnO dengan Proses Kimiawi Basah Aplikasi Nanostruktur ZnO untuk Sel Surya Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (Dye-Sensitized 25 Solar Cell, DSSC) Two-Dimensional (2D) DSSC State of The Art Penelitian Hipotesis Penelitian 28 Bab III. Metode Penelitian Tinjauan Umum Sintesis Nanostruktur ZnO Pembuatan Lapisan Bibit ZnO Pertumbuhan Nanostruktur ZnO Proses Pasca-Hidrotermal Fabrikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (DSSC) Teknik Karakterisasi Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) Analisis Atomic Force Microscopy Analisis X-Ray Diffraction (XRD) Analisis Ukuran Kristalit dengan Metode 35 Scherrer Analisis Ukuran Kristalit dan Regangan Kisi 37 x

12 Kristal dengan Metode Williamson-Hall Analisis Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis) 40 dengan Mode Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS) Penentuan Energi Celah Pita (Band gap 41 energy, Eg) a.persamaan Tauc 41 b. Teori Absorption Fitting Spectrum (AFS) Efisiensi Sel Surya 44 Bab IV. Nanorods ZnO Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical 46 Deposition Bath (CBD) dan Pasca-Hidrotermal 4.1. Pendahuluan Tujuan Penelitian Hasil dan Pembahasan Pengaruh Basa Pembentuk terhadap Struktur 47 Nanorods ZnO Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Struktur ZnO Pengaruh Suhu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap 52 Ukuran Kristalit ZnO Pengaruh waktu reaksi terhadap nanostruktur ZnO Pengaruh Waktu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap 62 Nanostruktur ZnO 4.4. Kesimpulan 68 Bab V. Pengaruh Lapisan Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorods ZnO 69 yang Disintesis dengan Metode Chemical Deposition Bath 5.1. Pendahuluan Tujuan Penelitian Hasil dan Pembahasan Pengaruh Jumlah Lapisan dan Suhu Anil terhadap 71 Nanostruktur ZnO Proses Penumbuhan Lapisan Nanorods ZnO melalui 77 Metode Chemical Bath Deposition (CBD) 5.4. Kesimpulan 83 Bab VI. Efek Variasi Perlakuan Hidrotermal terhadap Lapisan 84 Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensitized Solar Cell 6.1. Pendahuluan Tujuan Penelitian Hasil dan Pembahasan Morfologi dan Ketebalan Lapisan Nanostruktur ZnO Struktur Kristal Lapisan Nanostruktur ZnO Sifat Optik Lapisan Nanostruktur ZnO Aplikasi Nanostruktur ZnO sebagai Lapisan Anoda 98 pada DSSC 6.4. Kesimpulan 100 Bab VII. Kesimpulan dan Saran Penelitian Kesimpulan Saran 102 Daftar Pustaka 103 xi

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Struktur ZnO a) rocksalt, b) zinc blende, dan c) wurzite 9 Gambar 2.2. Struktur kristal wurtzite ZnO 10 Gambar 2.3. Skema efek piezoelektrik pada kation dan anion yang 10 tersusun secara tetrahedral Gambar 2.4. Kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada a) 12 direct dan b) indirect semiconductor Gambar 2.5. Berbagai bentuk nanostruktur ZnO hasil sintesis 15 Gambar 2.6. Efek ballistic transport 16 Gambar 2.7 Beberapa skema geometris pada proses sintesis 18 nanostruktur ZnO dengan metode CVD Gambar 2.8. Skema proses sintesis nanostruktur ZnO dengan metode 19 VLS Gambar 2.9. Skema peralatan pada sistem hidrotermal 21 Gambar Sel surya tipikal 24 Gambar Prinsip kerja dan skema energi pada DSSC 25 Gambar Skema 2D DSSC 26 Gambar 3.1. Gambaran umum penelitian 29 Gambar 3.2. Skema proses CBD 31 Gambar 3.3. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 150 o C selama 3 32 jam pada tekanan atmosfer (PHT-1) Gambar 3.4. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 100 o C selama 1 32 jam pada tekanan gas N2 1 bar (PHT-2) Gambar 3.5. Plot kurva Plot kurva βhkl cosθ terhadap sinθ pada 36 metode Scherrer Gambar 3.6. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ pada metode UDM 38 Gambar 3.7. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ/Ehkl pada metode 39 UDSM Gambar 3.8. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ(2/Ehkl) 1/2 pada 40 metode UDEDM Gambar 3.9. Plot kurva Tauc untuk penentuan nilai Eg 42 Gambar Kurva J-V untuk sel surya tipikal dengan filter AM 1,5 45 dalam kondisi gelap dan terang Gambar 4.1. Foto SEM sampel nanorods ZnO hasil CBD pada 49 temperatur pemanasan 90 o C Gambar 4.2. Struktur mikro ZnO hasil percobaan dengan variasi suhu 51 pertumbuhan Gambar 4.3. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO 53 Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-x untuk nanorods ZnO 54 Gambar 4.5. Spektrum absorbansi UV-Vis untuk nanorods ZnO 56 Gambar 4.6. Foto SEM nanorods ZnO hasil sintesis pada 90 o C 57 selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam Gambar 4.7. Foto SEM penampang melintang nanorods ZnO yang 58 disintesis pada 90 o C selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam Gambar 4.8. Pola difraksi sinar-x nanorods ZnO yang disintesis pada o C selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam Gambar 4.9. Spektrum absorbansi UV-Vis nanorods ZnO hasil 61 xii

14 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4. Gambar 5.5. Gambar 5.6. Gambar 5.7. Gambar 5.8. Gambar 5.9. sintesis pada 90 o C: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam Gambar SEM penampang atas nanorods ZnO: (a). asdeposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, serta (d) 9 jam Difraktogram sinar-x nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pascahidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3, (c) 6, dan (d) 9 jam Spektrum absorbansi nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pascahidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3, (c) 6, dan (d) 9 jam Plot kurva (αhν) 2 terhadap hν untuk nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 100 o C sebanyak a). 1 lapis (1A), b). 3 lapis (1B), dan c). 5 lapis (1C) Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 200 o C sebanyak a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B), dan c). 5 lapis (2C) Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 300 o C sebanyak a). 1 lapis (3A), b). 3 lapis (3B), dan c). 5 lapis (3C) Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 400 o C sebanyak a). 1 lapis (4A), b). 3 lapis (4B), dan c). 5 lapis (4C) Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 500 o C sebanyak a). 1 lapis (5A), b). 3 lapis (5B), dan c). 5 lapis (5C) Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 100 o C sebanyak b). 1 lapis (1A), c). 3 lapis (1B), dan d). 5 lapis (1C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 100 o C Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 200 o C sebanyak b). 1 (2A), c). 3 (2B), dan d). 5 lapis (2C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 300 o C sebanyak b). 1 lapis (3A), c). 3 lapis (3B), dan d). 5 lapis (3C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 300 o C Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 400 o C sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B), dan d). 5 lapis (4C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 400 o C xiii

15 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar 6.1. Gambar 6.2. Gambar 6.3. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 500 o C sebanyak b). 1 lapis (5A), c). 3 lapis (5B), dan d). 5 lapis (5C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 500 o C Distribusi diameter nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C dengan jumlah lapisan a). 1 (2A) lapis, b). 3 (2B) lapis dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu 400 o C dengan jumlah lapisan d). 1 (4A) lapis, e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C) lapis Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B), dan d). 5 lapis (2C) Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400 o C sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C) Difraktogram nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C dengan jumlah lapisan a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu 400 o C dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C) Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta dengan lapisan bibit yang dianil pada 200 o C dengan jumlah lapisan b).1 lapis (2A), c).3 lapis (2B) dan d). 5 lapis (2C) Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan bibit yang dianil pada 400 o C dengan jumlah lapisan b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C) Morfologi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: (a) proses CBD (sampel A) dengan perbesaran i) X, ii) X, dan iii) X; (b) proses PHT-1 (sampel B) dengan perbesaran i) X, ii) X, dan iii) X; serta (c) proses PHT-2 (sampel C) dengan perbesaran i) X, ii) X, dan iii) X Penampang melintang lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C) Pencitraan AFM 2D lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C) xiv

16 Gambar 6.4. Gambar 6.5. Gambar 6.6. Gambar 6.7. Gambar 6.8. Gambar 6.9. Gambar Gambar Gambar Pencitraan AFM 3 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C) Pola difraktogram lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT- 1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C) Plot kurva analisis metode Scherrer untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1(sampel B); dan c) proses PHT-2(sampel C). Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan asumsi UDM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO: a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2 (sampel C). Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan asumsi UDSM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2 (sampel C) Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan asumsi UDEDM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2 (sampel C) Plot kurva perhitungan energi celah pita (Eg) dengan metode ASF untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah:a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C) Plot ln A terhadap 1/λ untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C) Kurva rapat arus (J) terhadap tegangan (V) untuk DSSC dengan anoda lapisan nanostruktur ZnO xv

17 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO 14 Tabel 4.1. Diameter rata-rata nanorods ZnO sebelum dan sesudah 53 perlakuan pasca-hidrotermal Tabel 4.2. Ukuran kristalit nanorods ZnO 55 Tabel 4.3. Energi celah pita untuk nanorods ZnO (a). as-synthesized; 56 setelah perlakuan pasca-hidrotermal 100oC selama (b). 3 jam, dan (c). 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 150oC selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam Tabel 4.4. Diameter dan panjang rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis 57 Tabel 4.5. Ukuran kristalit rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis dengan 60 variasi waktu reaksi Tabel 4.6. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis 61 Tabel 4.7. Parameter nanostruktur ZnO as-deposited dan setelah 64 perlakuan pasca-hidrotermal Tabel 4.8. Energi celah pita nanorods ZnO as-deposited dan setelah 68 perlakuan pasca-hidrotermal Tabel 5.1. Energi celah pita lapisan bibit nanorods ZnO 74 Tabel 5.2. Diameter rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis 78 Tabel 5.3. Diameter kristalit nanorods ZnO hasil sintesis. 80 Tabel 5.4. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis via metode 82 CBD Tabel 6.1. Diameter nanostruktur dan ketebalan rata-rata lapisan ZnO 90 Tabel 6.2. Parameter kisi nanostruktur ZnO 92 Tabel 6.3. Parameter geometrik nanostruktur ZnO 95 Tabel 6.4. Energi celah pita (Eg) dan energi Urbach (Eu) yang 97 ditentukan dengan metode ASF Tabel 6.5. Karakterisasi DSSC untuk setiap sampel anoda 99 xvi

18 1 BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Seng oksida (ZnO) dalam bentuk nanostruktur satu dimensi (onedimensional, 1D) merupakan salah satu material yang banyak diteliti dalam dekade terakhir ini. Struktur morfologi yang beragam, proses sintesis yang mudah serta aplikasi yang luas di bidang optik, elektronik, piezoelektrik dan sensor [1 3] merupakan daya tarik bagi pengembangan riset tentang material tersebut. ZnO merupakan material semikonduktor dengan nilai energi celah pita (band gap energy, E g ) yang lebar (3,37 ev) dan nilai energi ikat eksiton yang besar (60 mev) [4-5]. Posisi pita valensi ZnO yang tepat berada di bawah pita konduksi (direct band gap) memungkinkan terjadinya eksitasi elektron yang lebih cepat pada saat absorpsi energi foton dibandingkan dengan TiO 2 yang memiliki karakeristik sebagai semikonduktor indirect band gap. ZnO yang tumbuh dalam nanostruktur one-dimensional (1D) vertikal; seperti nanowires, nanorods, dan nanotubes; bahkan secara khusus diketahui berpotensi dalam bidang optoelektronik dan elektronik [6]. Salah satu kelebihan dari struktur 1D adalah dapat memberikan efek ballistic transport, dimana elektron dapat bergerak dalam suatu medium dengan mengabaikan resistansi elektrik yang disebabkan karena adanya hamburan [7-8]. Dengan demikian, kemungkinan energi yang hilang dalam proses transportasi elektron dapat diminimalisasi. Hamburan pada proses transportasi dapat terjadi karena adanya pengotor, cacat pada kristal maupun struktur yang memungkinkan terjadinya osilasi gerak elektron pada proses transportasi. Lapisan semikonduktor 1D yang tersusun rapi dan homogen pada area yang luas di atas substrat memiliki potensi yang besar dalam berbagai bidang [9]. Salah satu aplikasi nanostruktur ZnO di bidang optoelektronik yang banyak diteliti adalah sel surya. Di tengah permasalahan krisis energi global yang dihadapi masyarakat dunia karena menipisnya cadangan bahan bakar fosil serta gencarnya gerakan penggunakan energi bersih (clean energy), pencarian sumber energi baru

19 2 dan terbarukan merupakan trend penelitian yang cukup populer saat ini. Dengan memanfaatkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara tropis yang berada di garis khatulistiwa, penggunaan sel surya sebagai sumber energi alternatif merupakan solusi penting yang cukup rasional untuk diaplikasikan. Selain sel surya konvensional berbasis Si, generasi ketiga dari sel surya; yaitu sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-sensitized solar cell, DSSC), adalah jenis yang banyak diteliti saat ini. Kelebihan DSSC terletak pada biaya pembuatan yang relatif rendah dan merupakan bagian dari grup sel surya lapisan tipis (thin film solar cells) [10]. Salah satu komponen penting dari DSSC adalah lapisan semikonduktor yang diletakkan di antara dua plat kaca konduktif (transparent conductive oxide glass, TCO glass). Daerah ini merupakan area antar fasa yang melibatkan semikonduktor dan lapisan zat warna (dye) di atasnya. Lapisan semikonduktor yang banyak dipakai saat ini adalah TiO 2. Material ini memiliki energi celah pita (band gap energy, Eg) sebesar 3,20 ev sehingga mampu menyerap energi foton pada sebagian besar spektrum cahaya matahari. ZnO merupakan alternatif semikonduktor yang potensial karena memiliki struktur dan nilai Eg yang mirip dengan TiO2 serta mobilitas elektron yang cukup tinggi (1 5 cm 2 V -1 s -1 ) [11]. Dalam pembuatan sel surya, kondisi morfologi natural lapisan semikonduktor oksida sangat berpengaruh pada interaksi penyerapan cahaya. Bentuk morfologi yang baik adalah mesoporous channel atau nanorods yang masing-masing tersusun secara paralel dan melekat secara vertikal pada substrat kaca TCO [12]. Bentuk-bentuk ini menghasilkan efek difusi pori yang baik, yang memberikan akses penetrasi dye hingga ke batas butir dan berperan pada fenomena light trapping yang akan mempengaruhi kinerja sel surya. Pembuatan nanostruktur ZnO secara umum dapat dibagi menjadi 2 metode besar, yaitu proses fasa uap (vapor-phase process) dan proses kimia basah (wet chemical process) [6]. Proses fasa uap seperti spray pyrolisis [13], radio frequency (RF) / magnetron sputtering [14], dan chemical vapor deposition (CVD) [4] memberikan hasil nanostruktur yang sangat baik, tetapi mempunyai kekurangan pada mahalnya biaya proses dan peralatan yang rumit. Untuk melakukan sintesis dengan proses tersebut dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu seperti suhu tinggi ( 400 o C), tekanan rendah, dan kontrol atmosfer yang baik.

20 3 Kondisi yang cukup rumit ini mengakibatkan sulitnya dilakukan fabrikasi massal nanostruktur ZnO dengan metode tersebut. Sedangkan proses kimia basah seperti sol gel [15], hidrotermal [16], spin coating [17], atau elektrodeposition [18] merupakan metode yang kini dianggap cukup menjanjikan untuk fabrikasi nanorod ZnO dalam skala besar. Metode tersebut mempunyai kelebihan pada biaya yang murah, proses yang ramah lingkungan dan dapat dilakukan pada suhu yang relatif lebih rendah [4,19-20]. Namun sayangnya, sebagai konsekuensi dari rendahnya suhu proses tersebut, nanostruktur ZnO yang dihasilkan dengan metode ini mempunyai tingkat kristalinitas yang relatif rendah, karena fasa anorganik yang dihasilkan masih bersifat amorf. Telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa struktur 1D vertikal yang tumbuh merata di atas permukaan substrat dengan kristalinitas yang tinggi merupakan kunci penting dalam pembuatan sel surya yang baik [21]. Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan dalam upaya mendapatkan struktur tersebut dengan menggunakan metode kimia basah [6,21 24]. Namun, hingga saat ini struktur yang vertikal sempurna pada substrat TCO masih sulit didapat dengan menggunakan metode tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian yang sistematis dan komprehensif untuk memperoleh kondisi proses optimal yang mampu menghasilkan nanostruktur ZnO 1D dengan karakteristik morfologi, sifat optik dan performa yang paling sesuai untuk lapisan semikonduktor pada DSSC Rumusan Masalah Struktur ZnO yang tumbuh secara vertikal di atas substrat TCO merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan sel surya dengan tingkat efisiensi tinggi karena mampu memfasilitasi transfer elektron yang lebih baik. Di samping itu, tingkat kristalinitas dari nanostruktur ZnO juga memainkan peranan penting dalam proses tersebut, dalam kaitannya dengan mekanisme eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi pada saat menyerap energi foton dari sinar matahari. Nilai energi celah pita (band gap energy, E g ) ZnO yang cukup besar mengakibatkan penyerapan energi foton hanya dapat terjadi pada rentang sinar ultra-violet, sehingga aplikasi ZnO sebagai semikonduktor terbatas hanya pada rentang emisi cahaya tersebut. Oleh karena itu, diperlukan paparan cahaya

21 4 matahari yang sangat kuat untuk menghasilkan eksitasi foton yang dapat menghasilkan listrik. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu ditelaah lebih dalam agar sel surya yang menggunakan ZnO sebagai bahan semikonduktor juga dapat diaplikasikan pada kondisi tertentu dimana intensitas sinar matahari tidak terlampau kuat. Pada umumnya, kontrol reaksi untuk metode kimia basah hanya dilakukan melalui pengamatan terhadap suhu dan waktu tahan reaksi. Sejauh ini, belum ditemukan adanya penelitian yang mengarah pada pengaruh penambahan tekanan eksternal terhadap proses kimiawi basah serta hasil sintesis yang akan didapat. Dengan melakukan modifikasi pada tekanan yang digunakan dalam reaksi, diharapkan dapat diperoleh struktur yang diinginkan dalam waktu yang lebih singkat dan suhu proses yang lebih rendah Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada Sub Bab 1.2, maka optimasi karakteristik nanostruktur ZnO merupakan prioritas di dalam fabrikasi sel surya. Kontrol terhadap struktur nanostruktur ZnO, diharapkan memperbaiki sifat-sifat elektronik fundamental material. Penurunan nilai E g sebagai salah satu parameter elektronik material dapat dilakukan dengan melakukan restrukturisasi morfologi ZnO melalui proses hidrotermal. Dengan demikian maka diharapkan efisiensi dan arus yang dihasilkan DSSC dengan lapisan nanostruktural ZnO hasil sintesis melalui proses pasca-hidrotermal tersebut dapat ditingkatkan secara signifikan. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk: a. Mempelajari proses sintesis nanostruktur ZnO melalui metode kimia basah pada suhu rendah dan proses pasca hidrotermal untuk memperoleh nanostruktur yang sesuai untuk lapisan semikonduktor oksida pada DSSC. b. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi, kristalinitas, serta sifat-sifat elektronik fundamental nanostruktur ZnO; c. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.

22 5 Untuk mencapai tujuan di dalam penelitian ini, akan dilakukan beberapa strategi sebagai berikut: a) Nanostruktur ZnO disintesis melalui metode kimia basah dengan menggunakan prekursor larutan bibit Zn(NO 3 ).4H 2 O dan heksametilentetraamin (HMTA). Variasi pada konsentrasi larutan bibit, suhu dan waktu reaksi, serta kondisi basa larutan digunakan untuk mencari kondisi optimum proses sintesis nanostruktur ZnO. b) Nanostruktur ZnO kondisi optimum disintesis melalui metode kimia basah dan dilanjutkan dengan perlakuan pasca-hidrotermal dengan variasi konsentrasi dan waktu reaksi. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap kristalinitas, sebaran (coverage), dan morfologi bibit nanostruktur ZnO di atas substrat akan dipelajari secara sistematis. c) Nanostruktur ZnO sebagai lapisan bibit di atas substrat ditumbuhkan melalui metode kimia basah dan dilanjutkan dengan proses pascahidrotermal. Investigasi terhadap proses penempelan larutan bibit nanostruktur ZnO pada substrat kaca indium titanium oxide (ITO) dilakukan dengan variasi jumlah lapisan bibit yang ditempelkan pada substrat melalui metode spin-coating. Selain itu, proses pertumbuhan lapisan bibit menjadi struktur nanostruktur ZnO juga dilakukan mealui proses hidrotermal. Metode hidrotermal yang digunakan pada tahap ini dilakukan dalam reaktor dengan variasi waktu dan tekanan reaksi. Dengan menggunakan penambahan tekanan, diharapkan kristalinitas dan orientasi pertumbuhan nanorod ZnO dapat mengalami kenaikan secara signifikan sehingga mampu menghasilkan sifat optik yang baik untuk diaplikasikan pada sel surya. d) Nanostruktur ZnO hasil sintesis tahapan-tahapan di atas akan diintegrasikan ke dalam divais, baik sebagai lapisan semikonduktor oksida anorganik pada sel surya tersensitasi zat pewarna (DSSC) dan dilihat perbandingan performanya.

23 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan laporan ini dimulai dari Bab I: Pendahuluan, Bab ini, akan dibahas latar belakang yang mendasari dilakukannya penelitian. Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan masalah yang akan diselesaikan dengan menentukan tujuan-tujuan penelitian. Selain itu, Bab ini juga akan menggambarkan secara singkat mengenai sistematika penulisan disertasi. Bab II berisikan Tinjauan Pustaka, yaitu literatur mengenai seng oksida (zinc oxide, ZnO), yang meliputi sifat-sifat karakteristik materialnya, proses sintesis, dan aplikasinya dalam sel surya, terutama DSSSC. Dalam Bab ini, akan dibahas secara spesifik teknik sintesis nanostruktur ZnO dengan metode kimiawi basah yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian terdahulu. Dengan menggabungkan hasil studi literatur dan percobaan pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, dirumuskan state of the art, berikut hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. Bab III menjelaskan tentang Metodologi Penelitian, yang berisi prosedur sintesis nanostruktur ZnO dan karakterisasi hasil penelitian. Pada Bab ini, akan dijelaskan secara rinci mengenai tahapan penelitian, metode kerja yang dilakukan, serta teknik-teknik karakterisasi yang digunakan dalam penelitian. Tahapan awal dari hasil penelitian disajikan dalam Bab IV: Nanorod ZnO Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical Bath Deposition (CBD) dan Pasca- Hidrotermal. Bab ini menjelaskan tentang ringkasan hasil dan pembahasan dari percobaan perdahuluan yang dilakukan di awal penelitian. Parameter-parameter sintesis seperti suhu reaksi, waktu reaksi, serta kekuatan basa menjadi perhatian yang akan ditelaah. Pada akhir Bab IV, didapat kondisi sintesis yang paling optimum untuk digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya. Proses penelitian selanjutnya akan dibahas dalam Bab V: Pengaruh Lapisan Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorod ZnO yang Disintesis dengan Metode Chemical Deposition Bath (CBD). Tahapan ini merupakan proses optimasi nanostruktur ZnO yang sudah diperoleh dari percobaan pendahuluan pada Bab 4. Dalam Bab ini, akan dijelaskan tentang pengaruh jumlah lapisan bibit dan suhu anil, serta proses penumbuhan lapisan terhadap nanostruktur ZnO hasil sintesis.

24 7 ZnO dengan struktur paling optimum yang diperoleh pada proses ini selanjutnya akan digunakan dalam fabrikasi DSSC. Dengan menggunakan hasil yang telah diperoleh pada Bab terdahulu, dilakukan tahapan selanjutnya, yaitu Bab VI: Efek Variasi Perlakuan Hidrotermal terhadap Lapisan Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensitized Solar Cell (DSSC). Dalam Bab ini, dilakukan fabrikasi DSSC dengan menggunakan nanostruktur ZnO hasil optimasi yang sudah didapat dari Bab 5. Pengaruh penambahan tekanan eksternal menjadi ciri utama yang akan dijelaskan dalam Bab ini. Selain itu, sifat-sifat karakteristik dari DSSC yang dihasilkan juga akan diamati. Penelitian ditutup dengan menyajikan Bab VII: Kesimpulan dan Saran Penelitian. Bagian ini menggambarkan ringkasan hasil penelitian secara umum serta langkah-langkah yang disarankan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

25 8 BAB II Studi Pustaka 2.1. Seng Oksida (Zinc Oxide, ZnO) Seng oksida (zinc oxide, ZnO) adalah salah satu semikonduktor golongan II- VI dengan tingkat ionitas berada pada ambang batas antara semikonduktor ionik dan kovalen [25]. Material ini memiliki energi celah pita langsung (direct band gap) yang lebar sebesar 3,37 ev pada 300 K [9, 25 28]. Kelebihan yang dimiliki oleh material dengan energi celah pita yang lebar adalah dapat menahan medan listrik yang besar, memiliki electronic noise yang rendah, serta dapat dioperasikan pada suhu dan daya tinggi. Nilai energi celah pita ZnO dapat dinaikkan hingga ~4.0 ev dengan cara memadukan ZnO dan magnesium oksida (MgO) atau kadmium oksida (CdO). Sifat tersebut membawa potensi yang sangat besar untuk aplikasi laser semikonduktor UV-biru, dioda pemancar cahaya dan peralatan optoelektronik [29-30]. ZnO menghasilkan emisi ultra-violet (UV) yang kuat disebabkan oleh tingginya energi ikat eksiton sebesar 60 mev [28,9] pada temperatur ruang, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bahan semikonduktor lain, misalnya galium nitrida (GaN). Nilai energi ikat eksiton yang tinggi dapat memperkuat efisiensi emisi eksiton dalam suhu kamar. Tingginya nilai energi ikat eksiton ini membuat ZnO menjadi material yang potensial untuk digunakan dalam aplikasi laser dengan basis rekombinasi eksiton pada suhu kamar atau bahkan suhu tinggi [3]. Fenomena luminesensi sinar UV pada suhu kamar bahkan telah dilaporkan terjadi pada nanopartikel ZnO berketeraturan rendah dan pada lapisan tipis film ZnO [27]. Di sisi lain, ZnO merupakan material yang ramah lingkungan dan bersifat biocompatible, sehingga dapat diaplikasikan sebagai peralatan biomedis tanpa memerlukan perlakuan coating [31]. ZnO tidak beracun dan mempunyai transparansi yang sangat baik dalam spektrum cahaya tampak [29]. Mobilitas elektron dari ZnO sangat bervariasi, bergantung pada suhu, dengan nilai maksimum ~200 cm 2 /(V s) pada 80 K. ZnO merupakan material semikonduktor

26 9 dengan tipe-n dengan nilai mobilitas hole berkisar antara 5 30 cm 2 /(V s). Koefisien difusi elektron pada anoda ZnO yang difabrikasi menjadi DSSC diketahui memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan TiO2. Nilai koefisien difusi elektron ZnO diketahui sebesar 1,2x10-4 cm 2 /s, sedangkan TiO2 sebesar 5x10-5 cm 2 /s [12]. Dengan karakteristik tersebut, ZnO dapat menghantarkan elektron lebih cepat dibandingkan TiO Struktur Kristal ZnO Secara umum, struktur kristal ZnO terbagi menjadi hexagonal wurtzite, cubic zincblende, dan struktur kubus rocksalt yang jarang ditemui (hanya terdapat pada tekanan yang sangat tinggi, yaitu sekitar 10 GPa), seperti terlihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1. Struktur ZnO a) rocksalt, b) zinc blende, dan c) wurzite [25]. Struktur wurtzite ZnO mempunyai space grup C6mc dengan nilai konstanta kisi a = 3,2469 Å and c = 5,2065 Å. Secara sederhana, struktur ZnO dapat digambarkan sebagai bidang tetrahedral dengan ion Zn 2+ atau O 2- terletak pada pusat secara bergantian [27]. Detail struktur kristal wurtzite ZnO dapat dilihat pada Gambar 2.2.

27 10 Gambar 2.2. Struktur kristal wurtzite ZnO [1] Susunan koordinasi tetrahedral dalam ZnO menunjukkan struktur noncentrosymmetric [1,32]. Sifat inilah yang menyebabkan adanya fenomena piezoelektrik dan piroelektrik pada ZnO. Dalam struktur non-centrosymmetric tersebut, pusat muatan positif dan negatif dapat bertukar posisi dengan menambahkan tekanan luar [32]. Efek piezoelektrik dapat diilustrasikan sebagai suatu kation yang dikelilingi oleh anion-anion dengan susunan tetrahedral, seperti terlihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3. Skema efek piezoelektrik pada kation dan anion yang tersusun secara tetrahedral [27,32]. Kation yang terletak pada pusat tetrahedron merupakan pusat gravitasi bagi anion-anion di sekelilingnya. Dengan menambahkan tekanan di sepanjang sisi sudut tetrahedron akan mengakibatkan terjadinya distorsi struktur. Hal ini menyebabkan posisi anion tidak lagi bersesuaian dengan posisi kation sebagai

28 11 pusat, sehingga terjadilah dipol listrik. Jika tetrahedral dalam struktur mengalami orientasi yang sama atau orientasi yang saling menguatkan maka kristal akan mengalami dipol listrik makroskopis. Akibatnya, bidang yang saling berseberangan pada kristal akan mempunyai muatan listrik yang berbeda [27]. Sifat piezoelektrik mengacu pada proses reversibel dimana terjadi kontraksi atau elongasi pada kristal ketika diletakkan dalam suatu medan listrik. Sebuah kristal hanya akan bersifat piezoelektrik jika memiliki struktur noncentrosymmetric, yang memastikan tidak terjadinya dipol listrik dengan arah berlawanan atau saling meniadakan pada struktur. Efek piezoelektrik dapat mengubah vibrasi mekanik menjadi sinyal listrik atau sebaliknya. Efek ini digunakan sebagai dasar pembuatan resonator, sensor, atau alat kontrol pergerakan pada scaning probe microscopy [27]. Di antara material-material semikonduktor berstruktur tetrahedral, ZnO merupakan material dengan sifat piezoeletrik terkuat, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan GaN dan aluminium nitride (AlN) Sifat Mekanik ZnO ZnO mengalami deformasi plastis pada beban yang cukup rendah, yaitu 4 13 mn dengan jarak spherical indenter sebesar 4,2 mm. Nilai kekerasan (H) yang terukur untuk ZnO adalah sebesar 5,0 + 0,1 GPa. Modulus Young (E) untuk ZnO memiliki nilai konstan sebesar 111,2±4,7 GPa. Untuk ZnO polikristalin, nilai H dan E terukur dalam kisaran 1,5 12 GPa dan GPa. Besaran H dan E untuk ZnO diketahui memiliki nilai yang lebih rendah dari GaN. Nilai H pada GaN memiliki kisaran 15, GPa, sedangkan E pada GaN adalah sebesar GPa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ZnO termasuk material yang lebih lunak jika dibandingkan dengan GaN. Hal ini disebabkan oleh titik leleh ZnO (1975 o C) yang lebih rendah dari GaN (2500 C) dan juga sifat ionik yang lebih besar (0,616 pada ZnO dibandingkan dengan 0,500 pada GaN) [25]. Selain itu, ZnO juga diketahui memiliki kapasitas dan konduktifitas panas yang tinggi, serta ekspansi termal rendah.

29 Sifat Optis dan Elektrik ZnO ZnO merupakan direct semiconductor. Pada direct semiconductor, pita konduksi berada tepat di atas pita valensi. Absorpsi cahaya dalam semikonduktor umumnya merupakan absorpsi kisi dasar (basic lattice absorption), dimana eksitasi elektron akan menempatkan sejumlah elektron pada pita konduksi dan meninggalkan hole pada pita valensi dalam jumlah yang sama [33]. Perbedaan bentuk kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada semikonduktor (direct dan indirect semiconductors) diperlihatkan pada Gambar 2.4. Gambar 2.4. Kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada a) direct dan b) indirect semiconductor [33]. Sumbu-y pada Gambar 2.4 menyatakan energi dan sumbu x menyatakan momentum kristal. Pada direct semiconductor, energi minimum pita konduksi berada tepat pada momentum yang sama dengan energi maksimum pita valensi (Gambar 2.4.a). Ketika sebuah foton terabsorpsi, terjadi perbedaan energi antara kondisi awal dan akhir dengan besar E = hυ [33]. Dengan demikian, energi yang terjadi saat absorpsi besarnya akan sama dengan energi yang dilepas pada proses deabsorpsi. Hal yang berbeda terjadi pada indirect semiconductor. Gambar 2.4.b memperlihatkan bahwa energi minimum pita konduksi tidak berada tepat di atas energi maksimum pita valensi. Dalam hal ini, eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi hanya akan terjadi apabila terdapat pergeseran momentum kristal

30 13 yang disebabkan oleh adanya absorpsi fonon (phonon). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa absorpsi cahaya pada indirect semiconductor lebih rendah dibandingkan direct semiconductor karena melibatkan dua proses, yaitu absorpsi fonon dan absorpsi foton [33]. Sifat optis dari suatu semikonduktor dipengaruhi oleh efek intrinsik dan ekstrinsik. Efek intrinsik terjadi pada elektron dalam pita konduksi dan hole pada pita valensi, dan juga oleh efek eksitonik yang terjadi karena interaksi Coulomb. Sedangkan efek ekstrinsik terjadi karena adanya cacat atau penambahan dopant pada semikonduktor [25]. Pada semikonduktor, sifat elektrik dan optis umumnya dipengaruhi oleh cacat titik (point defect). Konsentrasi cacat pada suatu kristal bergantung pada besarnya energi pembentukan (formulation energy, E f ) [25]. c = Nsites exp {- (E f / kbt)} (2.1) dimana Nsites adalah konsentrasi tempat dimana cacat mungkin terjadi. Cacat yang paling umum terjadi pada kristal ZnO adalah vacancy oksigen (oxygen vacancy) dan interstisi seng (Zn interstitial). Cacat pada kristal ZnO dapat ditentukan berdasarkan kondisi tekanan parsial seng (po2 dan pzn). Pada suasana reduksi kuat dalam suhu tinggi, maka oxygen vacancy lebih mudah terjadi. Sedangkan Zn interstitial akan lebih banyak terjadi pada kondisi apabila kristal terekspos dalam suasana uap Zn berlebih [3,25]. Secara natural, ZnO dengan struktur wurtzite merupakan semikonduktor tipe-n yang disebabkan oleh dua cacat tersebut di atas. Proses doping pada ZnO untuk menghasilkan semikonduktor tipe-p hingga saat ini masih menjadi topik riset yang sangat ramai, dikarenakan tingginya kesulitan dalam pembuatan semikonduktor tersebut. Masalah tersebut disebabkan oleh berbagai hal, antara lain energi cacat asal pada kristal yang lebih rendah dari dopant, adanya pengotor background selain dopant, serta rendahnya kelarutan dopant. Kandidat dopant yang cukup baik untuk semikonduktor ZnO tipe-p adalah nitrogen (N) [2,25] Nanostruktur ZnO Penemuan karbon nanotubes oleh Iijima pada tahun 1991 telah menginspirasi penelitian yang menginvestigasi pertumbuhan dan karakterisasi

31 14 material one-dimensional (1D) berstruktur nano serta material semikonduktor. Dengan menurunkan ukuran ZnO dari bulk material menjadi skala nanometer atau bahkan lebih kecil, beberapa sifat fisik dari ZnO akan mengalami peningkatan. Hal ini disebut sebagai quantum size effects [32]. Celah pita nanopartikel ZnO diketahui memiliki kebergantungan dengan ukuran ZnO. Selain itu, pengataman spektroskopi absorpsi sinar-x dan scanning electron microscopy memperlihatkan adanya perbaikan kondisi permukaan ketika ZnO mengalami penurunan ukuran hingga mencapai skala nanometer [32]. Beberapa sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO [32] Sifat Fisik Nilai Konstanta kisi (T = 300K) a0 0,32 nm c0 0,52 nm Density 5,61 g/cm 3 Titik leleh 2248 K Konstanta dielektrik relatif 8,66 Energi celah pita 3,37 ev, direct Energi ikat eksiton 60 mev Massa efektif elektron 0,24 Mobilitas elektron (T = 300K) 200 cm 2 /Vs Massa efektif hole 0,59 Mobilitas hole ( T = 300K) 5-50 cm 2 /Vs Nanostruktur ZnO single crystal memiliki sifat listrik yang lebih baik daripada ZnO polikristalin. Kelemahan terbesar dari pengembangan ZnO dalam bidang elektronik dan fotonik terletak pada kesulitan melakukan doping tipe-p. Nanostruktur ZnO dengan doping tipe-p yang berhasil dapat memberikan aplikasi yang sangat besar dalam bidang optoelektronik dan elektronik berskala nano. ZnO nanowires tipe-p dan tipe-n dapat dibuat menjadi p-n junctions diode atau dioda pemancar cahaya (Light Emitting Diode, LED) [32]. ZnO dengan ukuran nano telah berhasil disintesis dengan berbagai bentuk, antara lain nanowires dan nanorods, nanocombs, nanorings, nanoloops dan nanohelices, nanobows, nanobelts dan nanocages [34], seperti terlihat pada Gambar 2.5. Aplikasi nanostruktur ZnO ini berhubungan dengan morfologi dan ukuran, yang akan mempengaruhi sifat optis dan elektrik dari ZnO hasil fabrikasi.

32 15 Gambar 2.5. Berbagai bentuk nanostruktur ZnO hasil sintesis [31] Sifat optis intrinsik dari ZnO nanostruktur telah banyak dipelajari untuk aplikasi divais fotonik. Berdasarkan data emisi eksiton yang teramati dari spektrum fotoluminesens nanorods ZnO, terlihat bahwa quantum size confinement dapat meningkatkan exciton binding energy [32]. Puncak emisi yang tampak sangat signifikan pada panjang gelombang 380 nm disebabkan oleh transisi bandto-band. Pita emisi warna hijau-kuning yang teramati merupakan efek dari vacancy atom oksigen. Intensitas emisi cahaya hijau akan meningkat dengan berkurangnya diameter nanowire. Diameter yang makin kecil mengakibatkan rasio surface-to-volume yang makin besar, sehingga terjadi kenaikan cacat dan surface recombination [32]. Nanostruktur ZnO one-dimensional (1D) saat ini merupakan topik yang marak dalam berbagai bidang riset penelitian. Struktur 1D diketahui mempunyai variasi morfologi yang sangat kaya yang dapat disintesis dengan menggunakan berbagai metode. Selain itu, nanostruktur 1D memiliki aplikasi pada bidang optik, elektronik, piezoelektronik, serta sensor. Sebagai material yang ramah lingkungan, nanostruktur 1D juga merupakan salah satu material yang potensial untuk diaplikasikan dalam pembuatan sel surya sebagai alternatif energi bersih

33 16 yang baru dan terbarukan [1]. Di antara 1D nanostruktur, nanorods dan nanowires ZnO telah menarik banyak perhatian disebabkan oleh kemudahan dalam pembentukan nanomaterial serta aplikasi yang luas Nanorods ZnO Nanorods ZnO secara khusus mempunyai potensi aplikasi yang baik dalam bidang optoelektronik. Struktur nanorods yang teratur diketahui dapat memberikan efek ballistic transport, dimana elektron dapat bergerak dalam suatu medium dengan mengabaikan resistansi elektrik yang disebabkan karena adanya hamburan [30,35]. Mekanisme ballistic transport terlihat pada Gambar 2.6. Gambar 2.6. Efek ballistic transport [36] Proses transportasi elektron dalam suatu material bergantung pada karakteristik dari panjang (L) dan lebar (W) daerah aktif dari material tersebut. Daerah bebas rata-rata (dimana terjadi tumbukan elastis) yang dilalui oleh elektron dinyatakan sebagai l. Sedangkan daerah dimana terjadi tumbukan tidak elastis dinyatakan sebagai lψ. Jika panjang L dan W lebih besar daripada l dan lψ, maka transport elektron bersifat diffusive (Gambar 2.6.a). Apabila panjang W lebih kecil namun panjang L lebih besar dari l dan lψ, maka transport elektron

34 17 bersifat quasi-ballistic (Gambar 2.6.b). Sedangkan jika L dan W lebih kecil daripada l dan lψ, maka transport elektron bersifat ballistic (Gambar 2.6.c). Pada proses transport ballistic, elektron dapat bergerak dengan panjang lintasan yang melebihi panjang dan lebar daerah aktif material tersebut Sintesis Nanostruktur ZnO Proses Fasa Uap Salah satu proses sintesis nanostruktur ZnO dalam fasa uap yang banyak digunakan adalah metode chemical vapor deposition (CVD). Secara umum, metode CVD merupakan proses sederhana dimana suatu material dipanaskan pada suhu tinggi sehingga menjadi fasa uap yang kemudian dikondensasi. Proses sintesis dengan metode CVD dapat digunakan untuk menghasilkan nanostruktur ZnO dalam berbagai bentuk, dengan menggunakan material dasar dan parameter proses yang berbeda-beda. Salah satu metode oksidasi langsung yang dapat digunakan adalah dengan memanaskan serbuk Zn dengan aliran gas oksigen pada suhu o C. Metode lain yang juga sering digunakan adalah metode karbotermal, yaitu mencampurkan Zn dan karbon (C) dengan komposisi tertentu. Proses sintesis dengan metode ini berlangsung pada suhu o C. Selain itu, seng asetilasetonat hidrat juga digunakan sebagai material dasar, dengan suhu proses yang jauh lebih rendah ( o C) [2,32]. Morfologi dari nanostruktur yang dihasilkan sangat bergantung pada jenis dan laju alir carrier gas serta jarak subtrat dan material dasar. Proses CVD biasanya dilakukan dalam tube furnace horizontal dengan kondisi vakum pada tekanan ~2x10-3 Torr. Pada proses ini, material dasar yang akan diproses diletakkan dalam krusibel alumina dan diletakkan pada posisi tengah furnace yang disebut sebagai zona pemanasan. Uap ZnO kemudian ditransportasikan ke ujung lain dari tube furnace yang bersuhu lebih rendah, yang disebut sebagai zona deposisi. Pada area ini, diletakkan substrat yang akan digunakan sebagai tempat menempelnya uap ZnO hasil pemanasan. Proses transportasi dilakukan dengan menggunakan aliran gas H2 sebagai carrier gas. Pada zona pemanasan, reaksi yang terjadi adalah: ZnO(s) + H2(g) Zn(g) + H2O(g) (2.2)

35 18 Di zona deposisi, terjadi reaksi sebaliknya, sebagai konsekuensi dari suhu yang lebih rendah dari zona pemanasan. Reaksi yang terjadi pada zona tersebut adalah: Zn(g) + H2O(g) ZnO(s) + H2(g) (2.3) ZnO hasil pemanasan inilah yang akan menempel pada substrat membentuk lapisan tipis [25]. Metode ini menghasilkan lapisan ZnO pada substrat dengan coverage yang baik dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Parameter proses yang penting untuk diperhatikan pada proses ini antara lain adalah suhu, tekanan, carrier gas (meliputi jenis gas dan laju alirnya), jenis substrat, dan waktu evaporasi [27]. Skema proses dengan metode CVD dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7. Beberapa proses sintesis nanostrukturzno dengan metode CVD dengan menggunakan: a) substrate downstream; b) substrate upstream; c) inner tube; d) inlet gas O2; e).vertical growth; dan f) multiple gas inlet [2] Berdasarkan perbedaan mekanisme pembentukan nanostruktur ZnO, proses CVD terbagi menjadi dua golongan, yaitu proses tanpa katalis (vapor-solid, VS) dan proses dengan menggunakan katalis (vapor-liquid-solid, VLS). Proses VS dilakukan dengan kondensasi uap material yang langsung menempel pada substrat, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.6. Proses ini menghasilkan nanostruktur ZnO dengan berbagai bentuk. Sedangkan pada proses VLS,

36 19 pertumbuhan nanostruktur ZnO dikontrol dengan penambahan katalis, yang akan membentuk nanopartikel atau nanocluster. Katalis yang ditambahkan dapat berupa Au, Cu, Co atau Sn. Skema proses sintesis dengan metode VLS dapat dilihat pada Gambar 2.8. Gambar 2.8. Skema proses sintesis nanostruktur ZnO dengan metode VLS [32] Pada mekanisme sintesis VLS, katalis logam diteteskan pada komponen adsorben dalam fasa uap. Proses ini dilakukan pada suhu tinggi dan menghasilkan cairan yang merupakan paduan antara komponen fasa uap (misalnya uap Zn) dan katalis logam. Paduan tersebut kemudian mengalami proses lewat jenuh (supersaturation) yang selanjutnya menghasilkan larutan yang berisi komponen pembentuk paduan dalam konsentrasi tinggi. Hal ini selanjutnya akan mendorong terjadinya reaksi presipitasi komponen fasa uap pada antar muka fasa cair-padat. Ketika energi bebas minimum dari fasa paduan terlampaui, maka terjadi pertumbuhan kristal yang akan terus berkembang selama persediaan komponenkomponen pembentuk reaksi ini tersedia dalam sistem. Karena proses sintesis ini melibatkan fasa uap / vapor (komponen reaktan utama), cair / liquid (katalis logam), dan padat / solid (kristal yang terpresipitasi), maka proses ini disebut sebagai proses vapor-liquid-solid (VLS). Setelah nanostruktur didapat, maka dilakukan evaporasi terhadap katalis [32]. Sehingga hasil akhir akan memberikan substrat yang sudah ditumbuhi nanostruktur tanpa adanya katalis.

37 Proses Fasa Larutan Beberapa metode sintesis berbasis larutan yang umum digunakan antara lain adalah aqueous solution growth dan metode hidrotermal. Metode-metode ini dapat digunakan untuk menempelkan nanostruktur ZnO di atas substrat. Untuk metode aqueous solution growth, reaktan yang umum digunakan adalah larutan Zn(NO3)2 dan (CH2)6N4. Reaksi yang terjadi pada proses ini adalah [3]: (CH2)6N4 + 6H2O 6HCHO + 4NH3 (2.4) NH3 + H2O NH4 + + OH - (2.5) 2OH - + Zn 2+ ZnO(s) + H2O (2.6) Metode aqueous solution growth dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan gelas laboratorium sederhana. Selain itu, metode ini umumnya dilakukan pada suhu yang relatif rendah, yaitu di bawah titik didih air (80-90 o C). Penggunaan metode hidrotermal untuk menumbuhkan ZnO nanostruktur telah menarik banyak perhatian dikarenakan kemudahan untuk melakukan proses serta kondisi pertumbuhan yang tidak membutuhkan suhu tinggi. Karena sintesis dilakukan dalam pelarut air, maka suhu pertumbuhan dapat ditekan hingga mencapai di bawah 100 o C, atau di bawah titik didih air [37]. Proses hidrotermal merupakan teknik untuk mengkristalisasi atau menaikkan kristalinitas suatu material dari larutan dengan menggunakan tekanan uap tinggi yang umumnya dilakukan dalam suatu reaktor yang disebut sebagai autoclave. Proses ini banyak digunakan dalam bidang geologi, terutama pengolahan mineral, dan kini sering digunakan dalam bidang nanomaterial. Metode ini merupakan cara yang murah, dapat dilakukan pada suhu rendah, mudah dimodifikasi, dan menghasilkan struktur nanorods yang vertikal. Salah satu ciri dari proses hidrotermal adalah adanya puncak pada difraktogram XRD yang muncul pada sudut 2θ antar o. Puncak pada daerah ini merupakan karakteristik untuk bidang [002] yang merupakan ciri dari nanorods yang dihasilkan pada metode hidrotermal. Namun demikian, tingkat kristalinitas nanorods ZnO yang dihasilkan dari prosedur ini umumnya belum terlalu tinggi, disebabkan oleh banyaknya cacat interstisi oksigen (oxygen-interestitial defects) yang terjadi pada permukaan. Skema peralatan hidrotermal yang dipergunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.9.

38 21 Gambar 2.9. Skema peralatan pada sistem hidrotermal Pada Gambar 2.9, ZnO ditumbuhkan dengan meletakkan lapisan bibit ZnO (yang sudah ditumbuhkan di atas substrat) pada posisi terbalik. Metode hidrotermal menggunakan cairan atau air untuk menghasilkan tekanan yang dapat membantu pertumbuhan ZnO nanostruktur. ZnO diharapkan tumbuh vertikal dengan bantuan gaya gravitasi. Substrat yang sudah diletakkan dengan posisi terbalik kemudian diletakkan dalam kontainer Teflon, lalu dimasukkan dalam tabung hidrotermal. Bentuk kristal yang dihasilkan melalui ini bergantung pada jenis prekursor dan derajat keasaman (ph) larutan bibit serta nutrient. Ukuran dan orientasi pertumbuhan nanostruktur ZnO yang disintesis dengan proses hidrotermal sangat bergantung pada arah orientasi dan perlakuan substrat. Sintesis dengan menggunakan metode hidrotermal membutuhkan adanya lapisan bibit (seed layer) yang akan memicu pertumbuhan nanostruktur menjadi lapisan yang rapat dan merata di seluruh permukaan substrat [27]. Pembuatan lapisan bibit di atas substrat dapat dilakukan dengan proses spin-coating atau sputtering Sintesis Nanorods ZnO dengan Proses Kimiawi Basah Seperti telah disebutkan sebelumnya, adanya lapisan bibit merupakan salah satu kontrol penting pada sintesis nanostruktur ZnO. Pembuatan bibit ZnO yang cukup terkenal dilakukan oleh Spanhel dan Anderson pada tahun 1991 dengan metode sol-gel. Pada percobaan tersebut, prekursor nanorods ZnO dibuat dengan menggunakan bahan dasar seng asetat dihidrat (Zn(CH3COO)2.2H2O) dan etanol. Meulenkamp [38] melakukan beberapa modifikasi pada metode ini dan mengidentifikasi parameter-parameter penting yang berpengaruh dalam pembuatan ZnO, seperti particle growth, perlakuan setelah proses pertumbuhan (pencucian dan pengeringan), konsentrasi prekursor, dan ph larutan prekursor. Percobaan klasik ini menghasilkan nanostruktur ZnO dengan bentuk nanopartikel.

39 22 Metode sol-gel telah banyak digunakan dalam pembuatan nanorods ZnO. Proses ini menawarkan kemungkinan sintesis film untuk area yang luas dengan aplikasi teknologi berbiaya rendah [39]. Secara umum investigasi terdahulu melaporkan pentingnya lapisan bibit untuk menginisiasi pertumbuhan yang seragam dan terarah dari nanorods ZnO [12,40 43]. Adanya lapisan bibit ZnO di atas substrat kaca konduktif merupakan kontrol yang baik terhadap diameter dan panjang nanorods ZnO yang akan ditumbuhkan. Tetapi, lapisan bibit tidak memperbaiki densitas coverage nanorods ZnO pada substrat. Untuk mendapatkan substrat dengan tingkat coverage nanorods ZnO yang baik, maka dapat dilakukan proses penempelan lapisan bibit ZnO beberapa kali [43]. Untuk proses sol-gel, metode pembuatan lapisan ZnO yang umum dilakukan yaitu teknik dip-coating, dimana substrat dicelupkan dalam larutan bibit dan ditarik kembali dengan kecepatan tertentu. Metode lain yang dapat digunakan adalah teknik spin-coating, yaitu proses penetesan larutan bibit di atas substrat yang dilanjutkan dengan pemutaran substrat pada kecepatan tinggi [44]. Pada setiap proses penempelan lapisan bibit, dilakukan proses anil untuk melekatkan lapisan bibit pada substrat. Proses anil ini sendiri juga merupakan faktor penting dalam pembuatan nanorods ZnO. Perlakuan anil dapat meningkatkan daya rekat lapisan bibit dan substrat kaca konduktor. Lapisan bibit dengan daya rekat yang baik berpotensi untuk tumbuh dengan kondisi nanorods ZnO yang memiliki luas dan kondisi permukaan yang baik. Untuk aplikasi DSSC, hal ini sangat penting karena adsorpsi zat pewarna sangat bergantung pada kondisi permukaan nanorods ZnO [27]. Selain meningkatkan daya rekat, proses anil juga diperlukan untuk memecahkan kompleks Zn 2+ yang dapat terbentuk pada pembuatan larutan bibit atau prekursor yang melibatkan suasana asam, baik berupa asam yang ditambahkan maupun asam yang berasal dari material pembuat larutan bibit (misalnya ion Cl - atau CH3COO - ) [42,45]. Zhang dkk [45] menyebutkan bahwa pembentukan kompleks Zn 2+ pada permukaan nukleus ZnO dapat mencegah pertumbuhan anisotropik. Lee dkk [46] dan Zhong dkk [47] menyebutkan bahwa suhu efektif untuk memecahkan kompleks adalah 400 o C. Guo dkk [48] menyebutkan bahwa pembuatan nanorods ZnO umumnya dilakukan berdasarkan dua tahapan. Tahap pertama adalah proses pembentukan

40 23 lapisan bibit nanorods ZnO, yang dalam hal ini dilakukan dengan metode sol-gel. Tahap ini terjadi di awal proses dan berlangsung cepat. Hasil yang didapat berupa nanorods dengan bentuk pendek namun berdiameter melebar. ph, konsentrasi larutan serta suhu reaksi menentukan ukuran serta bentuk ZnO yang akan tumbuh. Setelah itu, tahap kedua adalah proses penumbuhan nanorods ZnO, baik yang tertanam di dalam substrat (berupa lapisan bibit yang sudah ditempelkan) maupun yang tidak (hanya mengandalkan deposisi dari uap ZnO yang terbentuk pada larutan bibit). Tahap kedua ini berjalan dengan lambat, membentuk nanorods dengan panjang tertentu. Tahap ini disebut sebagai proses penumbuhan. Waktu reaksi penumbuhan ini sangat mempengaruhi ukuran (panjang dan diameter) nanorods yang terbentuk. Sintesis ZnO umumnya dilakukan pada suhu rendah. Lang dkk [22] bahkan telah berhasil melakukan sintesis nanorods ZnO pada suhu di bawah suhu kamar (cool temperature, 4 o C). Pada penelitian tersebut, disimpulkan bahwa rendahnya suhu yang digunakan dalam sintesis mempengaruhi ukuran diameter nanorods ZnO yang dihasilkan. Semakin rendah suhu yang digunakan, maka ukuran diameter nanorods semakin kecil. Seperti telah disebutkan, nanorods ZnO hasil sintesis dengan metode sol-gel mempunyai beberapa kelemahan. Rendahnya kristalinitas dan emisi UV merupakan dua hal yang perlu diperbaiki untuk mendapatkan nanorods ZnO sebagai semikonduktor yang menghasilkan DSSC dengan efisiensi tinggi. Lee dkk [46] telah melakukan proses pasca-hidrotermal setelah sintesis ZnO pada substrat dalam reaktor hidrotermal. Perlakuan pasca-hidrotermal dilaporkan telah menaikkan keteraturan struktur nanorods ZnO yang terbentuk. Dalam penelitian tersebut, diperoleh hasil ZnO berstruktur nanorods yang tumbuh vertikal di atas substrat dengan panjang sekitar 900 nm dan waktu reaksi terbaik adalah 8 jam. Dari studi literatur yang telah dilakukan, diketahui bahwa kristalinitas ZnO as-synthesized dapat dikontrol melalui dua tahap. Kontrol tahap pertama dilakukan pada tahap pembuatan bibit di atas substrat. Beberapa penelitian terdahulu [12,40,46,48] menyebutkan bahwa pembentukan lapisan bibit yang baik merupakan salah satu pemegang peran utama dalam pembuatan nanorods ZnO dengan kristalinitas yang tinggi. Sedangkan kontrol pada tahap selanjutnya dapat

41 24 dilakukan melalui proses perlakuan setelah nanorods ZnO tumbuh di atas substrat. Proses ini bersifat memperbaiki kristalinitas dari ZnO yang sudah terbentuk. Chung dkk [12] dan Lee dkk [49] menyebutkan telah terjadi kenaikan kristalinitas dan sifat optis dari lapisan ZnO setelah melalui anil treatment dengan penambahan gas Ar/O2 dalam lingkungan ambien. Selain itu, Lee dkk [46], Guo dkk [40,48] dan Zhang dkk [35] melakukan perlakuan pasca-hidrotermal untuk memperbaiki kristalinitas nanorods ZnO, dengan menggunakan larutan bibit untuk membantu pertumbuhan nanorods ZnO yang akan dihasilkan. Xu dkk [41] menyatakan bahwa proses hidrotermal merupakan proses sederhana pada suhu relatif rendah yang mudah dikontrol dan memberikan hasil yang seragam. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa kenaikan tekanan dapat meningkatkan ukuran diameter batang (rod) dan menekan arah pertumbuhan kristal dari kisi (001) menjadi (002) sehingga didapat struktur nanorods yang tebal dengan permukaan heksagonal yang datar [41] Aplikasi Nanostruktur ZnO untuk Sel Surya Sel surya adalah suatu divais fotovoltaik (photovoltaic, PV) yang dapat mengkonversi radiasi sinar matahari menjadi listrik secara langsung. Efek PV pertama kali diamati oleh Henri Becquerel pada tahun Secara umum, divais ini menghasilkan listrik melalui dua elektroda yang dihubungkan dengan sistem padatan atau cairan di antaranya. Ketika sistem sel surya mengalami radiasi sinar matahari, terjadi fenomena PV, dengan listrik sebagai output yang dihasilkan. Sel surya melibatkan sebuah p n junction dalam suatu semikonduktor dimana proses PV berlangsung [33]. Gambaran umum sel surya dapat dilihat pada Gambar Gambar Sel surya tipikal [33]

42 25 Absorpsi cahaya terjadi pada lapisan semikonduktor (pada Gambar 2.10 terletak pada bagian Base). Material semikonduktor harus dapat menyerap sebagian besar spektrum cahaya matahari agar dapat menghasilkan listrik. Umumnya, proses absorpsi cahaya terjadi di daerah atau di sekitar area permukaan divais [33] Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (Dye-Sensitized Solar Cell, DSSC) Two-Dimensional (2D) DSSC Jantung dari sistem DSSC adalah suatu sistem lapisan oksida mesoporous yang tersusun atas partikel-partikel berukuran nanometer yang dipanaskan sehingga memungkinkan terjadinya konduktansi elektronik pada lapisan tersebut. Struktur lapisan oksida semikonduktor yang digunakan memegang peranan penting dalam performa DSSC. Dengan memperkecil ukuran semikonduktor dari skala mikrometer menjadi nanometer terbukti dapat menaikkan efisiensi DSSC. Selain itu, struktur berbentuk nanorods memiliki keunggulan pada sifat ballistic effect yang dapat meminimalisasi energi yang hilang selama transportasi selektron yang disebabkan oleh adanya hamburan karena struktur. Secara umum, prinsip kerja sel DSSC terlihat pada Gambar 2.11 [34]. Gambar Prinsip kerja dan skema energi pada DSSC [34] Two-Dimensional (2D) DSSC umumnya tersusun atas kaca konduktor (TCO), lapisan semikonduktor, elektrolit, dan elektroda counter. Elektroda kerja yang digunakan adalah kaca konduktif yang sudah dilapisi dengan lapisan

43 26 semikonduktor di atasnya. Elektroda counter (umumnya dilapisi karbon atau platina) diletakkan secara paralel di atas elektroda kerja [1]. Skema 2D DSSC secara sederhana dapat dilihat pada Gambar Gambar Skema 2D DSSC [1] Pada lapisan semikonduktor ditempelkan lapisan zat pewarna (dye) yang berfungsi sebagai transfer muatan. Eksitasi elektron karena cahaya yang diserap oleh zat warna mengakibatkan injeksi elektron tereksitasi ke dalam pita konduksi pada lapisan oksida semikonduktor. Kekosongan elektron pada zat warna tersebut akan diisi oleh donor elektron yang berasal dari elektrolit. Elektrolit yang digunakan umumnya adalah suatu sistem yang merupakan pasangan reaksi reduksi-oksidasi, misalnya pasangan iodide/triiodida. Elektron yang keluar dari iodida kemudian akan diregenerasi dengan reduksi triiodida pada elektroda counter. Tegangan yang dihasilkan selama penyinaran sel DSSC berkaitan dengan perbedaan tingkat energi Fermi elektron pada lapisan semikonduktor padat dan potensial redoks dari elektrolit. Sehingga, secara umum, peralatan DSSC akan dapat menghasilkan tegangan melalui pencahayaan tanpa mengalami transformasi kimia yang permanen [34] State of The Art Penelitian Struktur ZnO yang tumbuh secara vertikal di atas substrat kaca transparentconducting oxide (TCO) merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan sel surya dengan tingkat efisiensi tinggi karena memfasilitasi transfer elektron

44 27 yang lebih baik. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa tingkat kristalinitas dari nanostruktur ZnO juga memainkan peranan penting. Oleh sebab itu, realisasi struktur ZnO 1D dengan tingkat kristalinitas dan keteraturan tinggi merupakan satu area yang harus ditelaah secara komprehensif dan mendalam. Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan yang berkesinambungan, dimana masing-masing tahap akan memiliki fokus pada area tertentu. Tahapan pertama merupakan tahap percobaan pendahuluan yang menitikberatkan pada modifikasi teknik sintesis. Dalam tahap ini, pengaruh suhu, waktu reaksi serta konsentrasi basa merupakan faktor-faktor penting yang ditelaah. Proses yang akan digunakan meliputi metode kimiawi basah dengan teknik chemical bath deposition (CBD), yang dilanjutkan dengan proses pasca-hidrotermal. Metode sintesis yang paling optimum untuk kondisi percobaan merupakan hasil yang menjadi target utama. Tahapan kedua dilakukan dengan melanjutkan penelitian pada tahap sebelumnya sehingga didapat hasil nanostruktur ZnO dengan sifat-sifat fisik paling optimum. Parameter-parameter yang meliputi coverage, ukuran diameter, tingkat kristalinitas, serta nilai Eg nanostruktur ZnO yang akan dihasilkan akan menjadi perhatian utama. Kontrol terhadap proses pembentukan nanostruktur ZnO dilakukan dengan pengamatan terhadap lapisan bibit yang ditempelkan di atas substrat kaca TCO. Proses kontrol terhadap tekanan sistem reaksi pada proses pasca-hidrotermal menjadi titik berat selanjutnya yang diutamakan dalam tahap ini. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, belum ditemukan adanya penelitian terstruktur yang membahas tentang penambahan tekanan eksternal dalam proses sintesis nanostruktur ZnO via metode kimiawi basah. Dengan demikian, penelitian ini akan menjadi titik awal yang akan menggambarkan peran tekanan eksternal dalam sintesis nanostruktur ZnO. Pada tahapan ketiga dari kegiatan penelitian ini hasil yang diharapkan adalah diperolehnya nanostruktur ZnO dengan tingkat kristalinitas tinggi namun tetap mampu mempertahankan integritas keteraturan susunan antara individualnya. Hal ini ditujukan agar nanostruktur ZnO hasil sintesis langsung dapat diaplikasikan pada prototipe yang berkaitan dengan absorpsi foton. Struktur yang merupakan kombinasi ideal antara tingkat kristalinitas dan keteraturan yang optimal diharapkan mampu meningkatkan performa material aplikasi DSSC.

45 Hipotesis Penelitian Kontrol terhadap morfologi dan sifat-sifat optis serta elektrik nanostruktur ZnO dimulai sejak awal proses persiapan. Untuk mendapatkan nanostruktur ZnO dengan tingkat coverage yang baik di atas substrat, maka perlu dilakukan proses deposisi larutan bibit di atas kaca ITO yang terlebih dahulu sudah dibersihkan. Lapisan bibit ini juga akan berperan sebagai cetakan (template) yang akan mencegah nanorods ZnO tumbuh melebar hingga mencapai ukuran sub mikron. Studi literatur terdahulu telah menyatakan bahwa suhu dan waktu reaksi sintesis memegang peranan penting dalam menentukan nanostruktur ZnO yang dihasilkan. Karena itu, dilakukan proses investigasi terlebih dahulu untuk mendapatkan suhu dan waktu sintesis optimum untuk mendapatkan nanostruktur ZnO dengan ukuran yang sesuai. Pada penelitian ini, akan dilakukan modifikasi pada penambahan pengaruh tekanan terhadap proses sintesis. Untuk meningkatkan tingkat kristalinitas serta memperbaiki sifat optis nanostruktur ZnO, dilakukan proses perlakuan pasca-sintesis melalui metode hidrotermal dan anil termal. Dengan mengaplikasikan tekanan eksternal, diharapkan dapat memicu pertumbuhan nanostruktur ZnO menjadi vertikal sempurna dalam waktu yang lebih singkat dan suhu yang lebih rendah. Hal ini diharapkan dapat menghindarkan adanya kemungkinan rusaknya struktur nanostruktur yang disebabkan oleh lamanya waktu reaksi.

46 29 BAB III Metode Penelitian 3.1. Tinjauan Umum Secara keseluruhan, kegiatan penelitian yang dilakukan terbagi atas 3 bagian utama, yaitu: a. Tahap 1 : Percobaan Pendahuluan b. Tahap 2 : Optimasi Struktur c. Tahap 3 : Fabrikasi Sel Surya Gambaran umum penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1. Gambaran umum penelitian. Pada Tahap 1, dilakukan percobaan pendahuluan dengan membandingkan hasil-hasil penelitian yang didapat dari studi literatur. Nanostruktur ZnO disintesis dengan menggunakan metode kimia basah, dengan teknik merupakan modifikasi dari penelitian Lang dkk [22]. Pada metode ini, digunakan larutan bibit yang dibuat pada suhu rendah (di bawah suhu kamar). Proses penumbuhan nanostruktur

47 30 dilakukan dengan metode chemical bath deposition (CBD) dan dilanjutkan dengan perlakuan pasca-hidrotermal di dalam reaktor [46]. Parameter proses yang menjadi kontrol reaksi adalah suhu, waktu serta konsentrasi basa pembentuk ZnO. Tahap 2 dilakukan dengan menggunakan metode sintesis yang telah diuji pada Tahap 1. Tahapan ini merupakan proses optimasi struktur, dengan target utama berupa lapisan nanostruktur ZnO dengan coverage merata di atas susbtrat kaca TCO. Pengembangan yang dilakukan dari tahap sebelumnya adalah penempelan lapisan bibit ZnO yang dilakukan dengan metode spin-coating. Lapisan ini selanjutnya akan ditumbuhkan dengan menggunakan metode CBD. Selanjutnya, diinvestigasi pengaruh penambahan tekanan eksternal pada proses pasca-hidrotermal terhadap nanostruktur ZnO yang telah dihasilkan. Sifat-sifat fisik maupun optik lapisan nanostruktur ZnO menjadi perhatian dalam bagian ini. Lapisan ZnO dengan hasil yang paling optimum akan digunakan dalam Tahap 3, yaitu aplikasi nanostruktur ZnO untuk DSSC. Pada tahap ini, dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter penting dalam sel surya (seperti fill factor dan efisiensi) dengan sifat-sifat fisik dan optik yang telah didapat pada tahap sebelumnya. Tahap 3 ini menghasilkan prototipe DSSC dengan nanostruktur ZnO sebagai lapisan anoda. Untuk setiap tahap penelitian. Dilakukan karakterisasi nanostruktur ZnO hasil sintesis dengan menggunakan X-ray diffraction (XRD), scanning electron microscopy (SEM), dan spektroskopi ultra violet visible (UV-Vis). Pengujian terhadap prototipe DSSC yang dihasilkan juga dilakukan dengan menggunakan solar simulator. Rincian penelitian secara lengkap akan disampaikan pada Sub- Sub Bab berikut Sintesis Nanostruktur ZnO Pembuatan Lapisan Bibit ZnO Lapisan bibit merupakan bagian yang sangat penting dalam sintesis nanostruktur ZnO. Fungsi pembuatan lapisan bibit adalah untuk mencetak lapisan ZnO yang akan ditumbuhkan agar memiliki struktur yang teratur dan tegak lurus tanpa menggunakan bahan tambahan seperti polymer template atau surfaktan. Bahan-bahan yang digunakan adalah kaca indium tin oxide (InSn2O3, ITO), seng

48 31 nitrat tetrahidrat (Zn(NO3)2.4H2O/Zn-nitrat, Merck), heksametilentetraamin (C6H12N4/HMTA, Merck), aquades, etanol teknis, dan aseton teknis. Sebelum digunakan, kaca ITO berukuran 2,5x2,5 cm terlebih dahulu dibersihkan dalam air, aseton, dan etanol dengan ultrasonic cleaner selama 480 detik dalam masingmasing cairan. Setelah itu, kaca ITO dikeringkan dengan hair dryer dan disimpan dalam tempat kering yang tertutup untuk kemudian digunakan sebagai substrat. Larutan bibit dibuat dengan menggunakan campuran ekimolar Zn-Nitrat dan HMTA 0,05M pada suhu 0 o C dan dibiarkan selama 1 jam. Setelah itu, larutan diteteskan di atas kaca ITO dan ditahan selama 5 menit agar dapat terserap pada permukaan kaca. Untuk menghilangkan sisa larutan yang tidak terserap, dilakukan proses spin coating dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 detik. Sampel-sampel kaca ITO yang sudah dilapisi larutan bibit kemudian dipanaskan dalam muffle furnace pada 200 o C selama 10 menit. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3x untuk melihat pengaruh ketebalan lapisan terhadap sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO Pertumbuhan Nanostruktur ZnO Proses pertumbuhan nanostruktur dilakukan dengan metode CBD. Nanostruktur ZnO ditumbuhkan dengan menggantung kaca ITO di dalam larutan ekimolar Zn-nitrat dan HMTA 0,05 M pada suhu 90 o C selama 3 jam. Skema proses CBD dapat dilihat pada Gambar 3.2. Setelah itu, kaca ITO dicuci dengan menggunakan aquades dan dikeringkan di udara. Gambar 3.2. Skema proses CBD Proses Pasca-Hidrotermal Perlakuan pasca-hidrotermal dilakukan pada ZnO nanorods hasil sintesis untuk meningkatkan derajat kristalinitas dan keteraturan arah pertumbuhan.

49 32 Proses pasca-hidrotermal dilakukan dengan meletakkan sampel di atas air yang dipanaskan hingga mendidih, dengan bagian kaca yang sudah ditumbuhi lapisan ZnO diletakkan menghadap sisi dasar reaktor. Terdapat dua variasi proses yang dilakukan dalam percobaan. Variasi pertama dilakukan dengan menggunakan reaktor hidrotermal dalam muffle furnace pada suhu 150 o C selama 3 jam pada tekanan atmosfer. Untuk selanjutnya perlakuan pasca-hidrotermal ini disebut dengan singkatan PHT-1. Skema dari reaktor hidrotermal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.3. Gambar 3.3. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 150 o C selama 3 jam pada tekanan atmosfer (PHT-1) Pada variasi proses pasca-hidrotermal kedua, digunakan reaktor tertutup pada suhu 100 o C selama 1 jam dalam tekanan gas nitrogen (N2) 1 bar. Perlakuan pasca-hidrotermal ini selanjutnya disebut dengan singkatan PHT-2. Skema reaktor pasca-hidrotermal pada variasi yang kedua ini dapat dilihat pada Gambar 3.4. Untuk setiap varisi proses, sampel setelah perlakuan pasca-hidrotermal kemudian dicuci dengan aquades, dikeringkan di udara, dan dikarakterisasi untuk mengetahui sifat-sifat fisiknya. Gambar 3.4. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 100 o C selama 1 jam pada tekanan N2 1 bar (PHT-2)

50 Fabrikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (DSSC) Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO hasil sintesis selanjutnya digunakan sebagai anoda dalam sel surya tersensitasi zat pewarna (DSSC). Sebelum digunakan sebagai anoda, kaca ITO terlebih dulu dicetak dengan luas area 1x1 cm 2 dan direndam dengan menggunakan pewarna / dye N-719 0,05 mm (Solaronix) selama 2 jam dalam wadah tertutup. Lapisan ZnO diletakkan menghadap ke atas untuk menghindari kerusakan lapisan akibat benturan dengan dasar wadah perendam. Setelah itu, kaca ITO dibersihkan dengan menggunakan aquades dan dikeringkan. Anoda ini selanjutnya disimpan dalam tempat gelap yang tertutup hingga digunakan dalam perakitan DSSC. Katoda untuk DSSC ini dibuat dengan menggunakan kaca ITO yang sudah dilubangi pada 2 titik. Setelah kaca ITO dibersihkan, kemudian diaplikasikan lapisan tipis pasta platinum/pt (Sharif Solar) menggunakan kuas pada sisi yang bersifat konduktif. Area yang dilapisi berukuran 1x1 cm 2. Setelah itu, lapisan Pt dikeringkan dalam muffle furnace dengan suhu 450 o C selama 30 menit. Katoda ini kemudian disimpan dalam tempat kering yang tertutup. Tahap selanjutnya adalah mempersiapkan elektrolit untuk DSSC. Pada penelitian ini, elektrolit dibuat dengan menggunakan campuran 0,5 M KI dan 0,05 M I2 dalam etanol p.a. Elektrolit yang sudah dilarutkan kemudian disimpan dalam botol kaca berwarna gelap hingga digunakan. Proses fabrikasi DSSC dilakukan dengan menempelkan anoda dan katoda menggunakan double tape. Proses dilanjutkan dengan meneteskan elektrolit melalui lubang pada katoda yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Setelah seluruh ruang sel terisi oleh elektrolit, lubang ditutup dengan menggunakan selotip. DSSC yang sudah difabrikasi kemudian siap untuk diuji Teknik Karakterisasi Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM merupakan teknik yang banyak digunakan untuk mendapatkan pencitraan dari suatu sampel/spesimen. Analisis SEM menghasilkan data yang berhubungan dengan ketebalan, topografi permukaan dan beberapa karakteristik susunan lapisan tipis pada sel surya [50,51]. Pada penelitian ini, analisis dengan

51 34 menggunakan SEM dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk, ukuran, dan sebaran (coverage) nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO. Dari pengamatan tersebut, akan diperoleh distribusi ukuran diameter nanostruktur yang dihasilkan. Selain itu, didapat juga data ketebalan lapisan nanostruktur ZnO yang digunakan di dalam perhitungan penentuan energi celah pita (Eg) dan indeks bias. Pada penelitian ini, analisis morfologi dan ketebalan nanostruktur ZnO di atas ITO dilakukan dengan menggunakan SEM JEOL JSM-6510LA di Laboratorium Basic Science A, Institut Teknologi Bandung, serta menggunakan FE-SEM FEI Inspect F50 di Centre for Materials Processing and Failure Analysis (CMPFA), Departemen Teknik Metalurgi dan Material,. Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengamatan dengan menggunakan SEM JEOL JSM-6390A di Pusat Penelitian Metalurgi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2M LIPI), Serpong Analisis Atomic Force Microscopy (AFM) AFM adalah teknik analisis yang dapat mengukur permukaan struktur dengan resolusi dan akurasi tinggi. Pengujian ini dapat memberikan hasil yang berupa susunan atom dalam sampel, atau melihat struktur dari molekul individual. AFM bekerja dengan menggunakan scanning probe yang digerakkan di atas sampel dan menghasilkan gambaran ketinggian atau topografi dari permukaan yang disentuhnya [52,53]. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian AFM untuk mendapatkan profil permukaan lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat. Dari analisis tersebut, didapatkan data mengenai kekasaran (roughness) permukaan, topografi, serta perkiraan ketebalan rata-rata dari lapisan tersebut. Data yang didapat dari analisis AFM selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil pengujian SEM. Proses pengujian dilakukan menggunakan Bruker Innova di Centre for Materials Processing and Failure Analysis (CMPFA), Departemen Teknik Metalurgi dan Material,.

52 Analisis X-Ray Diffraction (XRD) Analisis dengan menggunakan metode difraksi sinar-x merupakan teknik konfirmasi fasa yang juga efektif untuk menentukan ukuran kristalit (crystallite size) dan regangan kisi (lattice strain). Pada penelitian ini, digunakan 2 metode untuk melakukan analisis data XRD, yaitu metode Scherrer dan Williamson-Hall. Metode Scherrer menggunakan nilai full width half maximum (FWHM) sampel untuk menentukan ukuran kristalit. Sedangkan metode Williamson-Hall (W-H) merupakan teknik integral breadth yang disederhanakan dimana nilai ukuran kristal dan pelebaran kisi ditentukan dengan menggunakan lebar puncak difraksi sebagai fungsi 2θ. Pengukuran difraktogram pada penelitian ini dilakukan dengan radiasi Cu Kα, λ = 0,1504 nm, menggunakan Shimadzu X-Ray Diffractometer 7000 di Laboratorium MIPA Terpadu, Universitas Isalm Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengukuran difraktogram dengan menggunakan Pan Analytical X-Pert Pro di Departemen Teknik Material dan Metalurgi, Institut Teknologi Sepuluh November Analisis Ukuran Kristalit dengan Metode Scherrer Adanya pelebaran pada puncak difraksi membuktikan terjadinya proses penghalusan butir yang mengakibatkan terjadinya regangan dalam sampel. Pelebaran puncak yang disebabkan karena alat uji (instrumental broadening, βhkl (instrumental)) dikoreksi dengan menggunakan persamaan: (β hkl ) 2 = (β hkl (measured) ) 2 (β hkl (instrumental) ) 2 (3.1) β hkl = (β hkl (measured) ) 2 (β hkl (instrumental) ) 2 (3.2) dimana βhkl = pelebaran puncak difraksi sampel βhkl (measured) = pelebaran puncak difraksi terukur βhkl (instrumental) = pelebaran puncak difraksi instrumen Pada pengujian XRD, nilai yang didapat adalah βhkl (measured). Nilai ini masih mengandung unsur βhkl (instrumental). Nilai βhkl bersesuaian dengan besaran full width

53 36 half maximum (FWHM) sampel yang didapat setelah proses fitting. Untuk mendapatkan nilai βhkl, FWHM sampel harus dikurangi dengan nilai FWHM instrumen, yang dapat direpresentasikan oleh besaran FWHM kristal sampel sejenis yang dibuat dalam ukuran butir yang sangat besar (skala mikrometer). Pada penelitian, hal ini dilakukan dengan menentukan FWHM kristal ZnO yang dianil pada suhu 800 o C selama 8 jam. Ukuran kristal ZnO rata-rata dihitung dengan menggunakan Persamaan Debye-Scherrer [54]: D = dimana Kλ β hkl cos θ D = ukuran kristalit K = faktor bentuk (0,89) λ = panjang gelombang radiasi CuKα θ = sudut yang bersesuaian dengan puncak difraksi (3.3) Pada senyawa polikristalin, analisis XRD akan memberikan lebih dari satu puncak difraksi. Nilai ukuran kristalit dapat ditentukan dengan membuat plot kurva βhkl cosθ terhadap sinθ, dimana D dapat dihitung sebagai titik potong terhadap sumbu-y pada kurva. Plot kurva tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.5. Sedangkan regangan rata-rata pada sampel dinyatakan dalam persamaan [55] : ε = c c 0 c 0 x100% (3.4) dimana ε adalah regangan rata-rata sampel, c adalah konstanta kisi sampel, dan c0 adalah konstanta kisi sampel ruah. Untuk ZnO, nilai c0 adalah sebesar 0,52 nm. Gambar 3.5. Plot kurva Plot kurva βhkl cosθ terhadap sinθ (Metode Scherrer) [56]

54 Analisis Ukuran Kristalit dan Regangan Kisi Kristal dengan Metode Williamson-Hall (W-H) Regangan kisi pada sampel yang disebabkan karena ketidaksempurnaan dan distorsi kristal dapat dihitung dengan persamaan [57,58]: ε = β hkl 4 tan θ (3.5) dimana ε adalah regangan kisi, βhkl adalah pelebaran puncak difraksi, dan θ adalah sudut yang bersesuaian dengan puncak difraksi. Berdasarkan Persamaan 3.3 dan Persamaan 3.5, dapat disimpulkan bahwa lebar puncak kristal bervariasi sebanyak 1/cosθ regangan untuk setiap perubahan tanθ. Dengan asumsi ukuran partikel serta kontribusi regangan terhadap pelebaran adalah tidak saling bergantung, maka luas daerah di bawah kurva dapat dinyatakan sebagai resultan dari Persamaan 3.3 dan Persamaan 3.5, yaitu [57,58]: β hkl = Kλ D cos θ β hkl cos θ = Kλ D + 4ε tan θ (3.6) + 4ε sin θ (3.7) Persamaan 3.7 merupakan Persamaan Williamson-Hall (W-H) [57,58]. Dengan membuat plot βhkl cosθ sebagai sumbu y terhadap 4sinθ pada sumbu-x, maka ukuran kristalit sampel (D) dapat ditentukan sebagai titik potong pada sumbu-y. Sedangkan gradien kurva merupakan regangan kisi (ε). Regangan pada kristal yang berhubungan dengan deformasi kisi dapat ditentukan dengn menggunakan modifikasi metode W-H, yaitu Uniform Deformation Model (UDM). Pada Metode UDM, kristal dianggap berada dalam kondisi isotropik. Jenis modifikasi Metode W-H yang lain adalah Uniform Deformation Stress Model (UDSM) dan Uniform Deformation Energy Density Model (UDEDM). Kedua metode ini mempertimbangkan kristal berada dalam keadaan anisotropik, dimana regangan yang berasal dari kondisi anisotropik kristal dibandingkan dengan regangan yang berasal dari interplanar spacing. Metode UDSM menghasilkan hubungan antara tegangan-regangan, sedangkan Metode UDEDM menghasilkan fungsi kerapatan energi (energy density, u). Gambar 3.6 merepresentasikan persamaan Model UDM, dimana regangan diasumsikan seragam ada seluruh arah kristal. Dengan demikian sifat-sifat

55 38 material dianggap tidak tergantung pada arah pengukuran saat pengujian dilakukan [57]. Gambar 3.6. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ pada Metode UDM [57] Pada metode UDSM dan UDEDM, kristal diasumsikan berada pada kondisi anisotropik dengan melibatkan modulus elastisitas (Modulus Young). Hukum Hooke menyatakan hubungan linier antara tegangan dan regangan sebagai [57,58]: σ = E (3.8) dimana σ adalah tegangan (MPa) dan E adalah regangan (%). Pada Persamaan 3.8, tegangan dianggap proporsional terhadap regangan, dengan modulus Young sebagai tetapan proporsionalitas. Dengan demikian, Persamaan 3.7 dimodifikasi menjadi [57,58]: β hkl cos θ = Kλ + 4 sin θ σ D E (3.9) hkl dimana Ehkl adalah modulus Young yang arahnya tegak lurus terhadap bidang kisi kristal (hkl). Nilai tegangan dapat dihitung dari gradien kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ/Ehkl, seperti terlihat pada Gambar 3.7. Nilai regangan dapat ditentukan jika besaran Ehkl untuk material uji diketahui. Sebagai contoh, untuk ZnO dengan fasa kristal heksagonal, Ehkl berkaitan dengan aturan elastisitas Sij dalam persamaan [57,58]:

56 39 E hkl = [h 2 +( (h+2k)2 )+( al 2 3 c )2 ] S 11 [h 2 + (h+2k)2 +S 3 33 ( al c )4 +(2S 33 +S 44 )( h2 +(h+2k) 2 )] 3( al c)2 (3.10) dimana S11, S13, S33, S44 memiliki nilai 7,858x10-12 ; 2,206x10-12 ; 6,940x10-12, serta 23,57x10-12 m 2 N -1 [57]. Gambar 3.7. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ/Ehkl pada Metode UDSM [57] Pada Persamaan 3.7, kristal dianggap berada dalam kondisi isotropik dan homogen. Akan tetapi, dalam kondisi sesungguhnya, hal ini sangat sulit untuk dicapai. Selain itu, konstanta proporsionalitas yang berhubungan dengan tegangan-regangan tidak bersifat independen apabila kerapatan energi regangan (strain energy density, u) dipertimbangkan. Menurut Hukum Hooke, u adalah fungsi regangan yang dinyatakan dengan persamaan [57,58]: u = σ2 E hkl (3.11) dimana u adalah kerapatan energi (energi per unit volume). Dengan demikian, Persamaan 3.9 dapat dimodifikasi menjadi [57,58]: β hkl cos θ = Kλ + 4 sin θ (2u D E ) 1/2 (3.12) hkl Persamaan 3.12 merupakan persamaan untuk metode UDEDM. Nilai u dapat ditentukan dari gradien pada plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ (2/Ehkl) 1/2 [57], seperti terlihat pada Gambar 3.8. Regangan kisi dapat dihitung dengan menyelesaikan Persamaan 3.10.

57 40 Gambar 3.8. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ(2/Ehkl) 1/2 (Metode UDEDM) [57] Persamaan 3.9 dan Persamaan 3.12 memberikan definisi mengenai tegangan deformasi (σ) yang berhubungan dengan kerapatan energi deformasi (u) melalui pendekatan yang berbeda. Hubungan antara σ dan u dinyatakan sebagai : u = δ2 E hkl (3.13) Persamaan 3.9 yang merepresentasikan Metode UDSM berdasarkan pada Persamaaan 3.5 yang mengasumsikan bahwa tegangan deformasi mempunyai nilai yang sama pada seluruh arah pertumbuhan kristal. Hal ini mengakibatkan nilai u menjadi anisotropik. Sedangkan, Persamaan 3.12 dalam Metode UDEDM mengasumsikan bahwa energi deformasi adalah sama pada seluruh arah pertumbuhan kristal. Sehingga, nilai tegangan σ menjadi anisotropik. Dengan demikian, kedua metode ini dapat menghasilkan nilai regangan kisi dan ukuran kristalit yang berbeda [57] Analisis Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis) dengan Mode Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS) Diffuse Reflection Spectroscopy (DRS) adalah metode spektroskopi yang berbasis pada pemantulan (refleksi) cahaya pada daerah ultra violet (UV), cahaya tampak (visible), maupun near infra-red (NIR). Dalam spektrum DRS, perbandingan cahaya yang dihamburkan oleh lapisan dengan ketebalan tertentu dan oleh standar/pembanding (reference) diukur sebagai fungsi panjang

58 41 gelombang. Penyinaran sampel oleh radiasi cahaya pada sudut datang tertentu mengakibatkan terjadinya pembauran cahaya oleh sampel. Cahaya yang mengenai sampel sebagian diserap, dan sebagian dihamburkan. Hamburan cahaya tersebut dikumpulkan dalam integration sphere dan dikarakterisasi dalam detektor. Dalam material absorben, pancaran cahaya diserap berdasarkan Hukum Absorpsi Lambert, yaitu [59]: I = I 0 e K Tx (3.14) dimana I = pancaran cahaya yang ditransmisikan I0 = pancaran sinar datang x = ketebalan lapisan medium absorpsi KT = koefisien absorpsi (atau koefisien pemadaman, extinction coefficient) yang diukur dari data transmisi Apabila ukuran partikel sama dengan atau lebih kecil dari panjang gelombang cahaya, maka kontribusi dari pemantulan, pembiasan dan penguraian terhadap intensitas dan distribusi cahaya dari sinar yang ditiadakan menjadi tidak mungkin untuk dipisahkan. Hal ini disebut sebagai peristiwa penghamburan cahaya (scattering). Semakin kecil jarak antar partikel, maka proses hamburan tunggal (single scattering) akan berubah menjadi multiple scattering [59]. Pada penelitian ini, pengkuran sifat-sifat optik dilakukan dengan spektrofotomer UV-Vis Shimadzu 2450 dalam mode DRS. Pengujian tersebut dilakukan di Departemen Kimia, Penentuan Energi Celah Pita (Band gap energy, Eg) a. Persamaan Tauc Dengan menggunakan data reflektansi (R) dan transmitansi (T), nilai koefisien absorbansi (α) dapat ditentukan melalui persamaan [28]: α = 1 d ln ((1 R2 ) 2T + (1 R)4 4T 2 + R 2 ) (3.19) dimana d adalah ketebalan lapisan semikonduktor di atas substrat. Dengan menggunakan Persamaan Tauc [60], nilai α dapat digunakan untuk menentukan Eg melalui persamaan [60]:

59 42 (αhυ) 1 n = B(hυ E g ) (3.20) dimana h adalah Konstanta Planck (6,6261 x m 2.kg/s). Nilai hυ merupakan energi foton yang besarnya ditentukan dengan persamaan [60]: hv = h c λ (3.21) dimana c adalah kecepatan cahaya ( m/s) dan λ adalah panjang gelombang. Nilai Eg merupakan titik potong sumbu x pada bagian linier dari kurva (αhυ) 2 terhadap (hυ), seperti diilustrasikan pada Gambar 3.9. Gambar 3.9. Plot kurva Tauc untuk penentuan nilai Eg [56] Pada umumnya, nilai Eg akan mengalami kenaikan dengan menurunnya ukuran kristalit [39]. Penurunan nilai Eg ini bersesuaian dengan terjadinya pergeseran pada daerah linier kurva ke arah panjang gelombang yang lebih besar, atau disebut dengan red shift. Dengan menggunakan data reflektans, nilai indeks bias material dapat ditentukan melalui persamaan [39]: n = ( 1+R ) + 4R 1 R (1 R) 2 k2 (3.22) dengan k adalah nilai extinction coefficient yang besarnya dapat ditentukan dengan Persamaan Fresnel [28]: k = αλ 4π (3.23) Nilai indeks bias dipengaruhi oleh proses pelapisan [34] dan juga kerapatan film material semikonduktor tersebut [39]. Semakin tinggi tingkat kerapatan, maka indeks bias akan semakin besar.

60 43 b. Teori Absorption Fitting Spectrum (AFS) Pada semikonduktor semikristalin, hubungan antara koefisien absorpsi dengan enegi foton dinyatakan dalam persamaan [61,62]: α(v)hv = B(hv E g ) m (3.24) dimana Eg, B, dan hυ adalah energi celah pita, konstanta optis, dan energi foton. m merupakan indeks yang bergantung pada sifat semikonduktor, dengan nilai berbeda-beda yaitu 1/2, 3/2, 2, dan 3. α(v) adalah koefisien absorpsi yang dinyatakan dengan Persamaan Beer-Lambert berikut [61]: α(v) = 2,303 x Abs(λ) d (3.25) Persamaan absorption spectrum fitting (AFS) diturunkan dengan asumsi bahwa α adalah fungsi panjang gelombang (λ), maka Persamaan 3.24 dapat ditulis menjadi [61,62]: α(λ) = B(hc) m 1 λ ( 1 1 m ) λ λ g (3.26) dimana λg adalah panjang gelombang yang berhubungan dengan energi celah pita, h adalah Konstanta Planck, dan c adalah kecepatan cahaya. Jika asumsi yang sama digunakan pada Persamaan 3.25, maka persamaan tersebut dapat ditulis ulang menjadi [61]: m A (λ) = B 1 λ ( 1 1 ) λ λ g + B 2 (3.27) dengan B 1 = [B(hc) m 1 x d 2,303 ] dan B2 adalah konstanta yang berhubungan dengn refleksi. Dengan menggunakan Persamaan 3.27, energi celah pita (Eg) dapat ditentukan melalui metode ASF tanpa mengukur ketebalan lapisan. Nilai Eg ditentukan dengan melakukan ekstrapolasi linier ( Abs (λ) ) 1/m terhadap 1. Pada saat λ λ ( Abs (λ) ) 1/m = 0, didapat nilai λg yang akan digunakan untuk menentukan Eg λ dengan persamaan [61]: E ASF g = 1239,83 λ (3.28) g Relasi antara koefisien absorpsi dan energi foton dapat ditentukan dengan menggunakan Aturan Urbach yaitu [61,62]: α(v) = α 0 exp (hv E ) tail (3.29)

61 44 dimana α0 adalah konstanta dan Etail adalah Energi Urbach. Energi ini berhubungan dengan transisi optik antara kondisi terlokalisasi pada pita valensi yang berdekatan dengan pita konduksi. Pada metode ASF, berlaku hubungan [61]: Abs(λ) = D 3 exp (hc E λ) tail (3.30) dimana D 3 = ( α 0d 2,303 ). Nilai Etail dapat ditentukan dari gradien daerah linier pada kurva ln A terhadap 1/λ, dengan persamaan [61]: E ASF tail = 1239,83 gradien (3.31) Efisiensi Sel Surya Sel surya tipikal memiliki karakteristik seperti dioda. Pada divais tersebut, arus yang berlaku pada saat sebelum terjadi penyinaran dinyatakan dengan persamaan [33]: I = I 0 exp (V A VT ) 1 (3.32) dimana I adalah arus yang terjadi pada tegangan tertentu (applied voltage, VA), VT adalah konstanta voltase termal, dan I0 adalah arus jenuh dioda (diode saturation current). Ketika divais mengalami penyinaran, terjadi absorpsi cahaya yang menghasilkan efek PV [33]. Pada kondisi tersebut, Persamaan 3.32 berubah menjadi [33]: I = I 0 (exp (V A ) VT ) I L (3.33) dimana IL adalah besar arus yang terjadi pada divais dalam kondisi penyinaran.secara umum, total arus menjadi tidak sama dengan nol pada saat tidak terjadi tegangan dalam divais (dikarenakan adanya faktor IL).

62 45 Gambar Kurva J-V untuk sel surya tipikal dengan filter AM 1,5 dalam kondisi gelap dan terang [1] Ketika sel diradiasi dengan simulasi cahaya matahari (AM 1,5), efisiensi konversi energi cahaya matahari menjadi listrik (η) dapat dihitung dari nilai shortcircuit current density (Jsc), open-circuit voltage (Voc), fill factor (FF), dan intensitas cahaya datang (Pin) [1]. Pada Gambar 3.10, nilai Vm dan Jm adalah tegangan dan arus maksimum divais. Sedangkan nilai Pm adalah daya maksimum divais, yang merupakan hasil perkalian dari Vm dan Jm. Kurva J-V untuk sel surya yang baik memiliki bentuk menyerupai persegi panjang. Nilai fill factor (FF) harus mendekati 1, dan dinyatakan dengan rumus [63,11]: FF = V M J M V OC J SC (3.34) Efisiensi sel surya selanjutnya dapat dinyatakan sebagai [11,64]: η = P max P in = V OC J SC FF P in (3.35) Pengukuran efisiensi DSSC dilakukan menggunakan Sun Simulator Oriel dengan software National Instrument SMU-NI-PXI-430 di Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Penelitian Indonesia (PPET-LIPI), Bandung. Pada saat pengujian, digunakan filter standar AM 1,5 G, dengan intesitas cahaya 500 W/m 2 dan suhu 27 o C.

63 46 BAB IV Nanorods ZnO Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical Deposition Bath (CBD) dan Pasca-Hidrotermal 4.1. Pendahuluan Seperti telah disampaikan pada Bab 1 terdahulu, kondisi morfologi lapisan semikonduktor nanostruktur ZnO memiliki peran yang penting dalam penyerapan cahaya. Karena itu, penelitian mengenai sintesis nanostruktur ZnO merupakan topik yang masih sangat marak dilakukan. Metode sintesis kimia basah dengan teknik chemical bath deposition (CBD) merupakan salah satu pilihan yang sangat umum dilakukan karena kemudahan proses, biaya yang relatif murah, serta peralatan yang cukup sederhana. Namun demikian, teknik CBD umumnya belum mampu menghasilkan nanostruktur ZnO dengan struktur vertikal sempurna. Proses sintesis nanorods ZnO pada suhu di bawah suhu ruang hingga kini masih sedikit diaplikasikan. Penelitian terdahulu [22] telah menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah ini diketahui telah memberikan efek kontrol pada ukuran nanorods. Dengan demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan pada sintesis diharapkan dapat memiliki ukuran yang cukup kecil, seragam, dengan lapisan yang cukup homogen walaupun tanpa menggunakan lapisan bibit sebelum proses pertumbuhan. Pada bab ini, akan dijelaskan mengenai proses sintesis nanorods ZnO dengan menggunakan teknik CBD. Parameter-parameter proses yang menjadi perhatian adalah basa pembentuk, suhu, serta waktu reaksi. Pengaruh dari ketiga parameter proses tersebut terhadap diameter nanorods, kristalinitas, ukuran kristalit, profil absorbansi, serta energi celah pita nanorods hasil sintesis akan diinvestigasi Tujuan Penelitian Bab ini bertujuan untuk menjelaskan proses sintesis nanorods ZnO yang dilakukan melalui metode CBD. Proses sintesis dilakukan dengan metode yang dikembangkan oleh Lang dkk [22] dan Adriyanto dkk [21], yang dimodifikasi

64 47 sesuai dengan langkah-langkah pada Bab 3 terdahulu. Pengukuran terhadap morfologi, arah pertumbuhan dan ukuran merupakan titik awal analisis nanorods ZnO. Difraktogram merupakan parameter yang akan ditelaah dan digunakan untuk menganalisis tingkat kristalinitas serta ukuran kristalit nanorods. Kemudian, profil absorbansi dan energi celah pita menjadi parameter penting dari sifat optis nanorods ZnO yang akan berhubungan langsung dengan aplikasinya dalam sel surya. Investigasi nanorods dengan menggunakan berbagai variasi tersebut diharapkan akan menghasilkan kondisi optimum sintesis ZnO dengan struktur vertikal dan coverage yang luas. Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian adalah sebagai berikut: a. Mengamati pengaruh penambahan basa sebagai salah satu unsur pembentuk nanorods ZnO dengan variabel konsentrasi Zn 2+ konstan, b. Mengamati pengaruh variasi penggunaan suhu reaksi terhadap struktur ZnO hasil sintesis, c. Menelaah pengaruh variasi waktu reaksi terhadap nanorods ZnO hasil sintesis 4.3. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Basa Pembentuk terhadap Struktur Nanorods ZnO Hasil pengamatan dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 4.1., dimana hampir seluruh sampel pada penelitian ini menghasilkan nanorods ZnO tumbuh dengan diameter nm. Namun, terdapat hal yang menarik, yaitu pada variasi waktu tahan 6 jam dengan penambahan NaOH 0,1 M (Gambar 4.1.a) menghasilkan bentuk nanoflowers berdiameter jauh lebih besar (~440 nm). Bentuk nanoflowers ini bersesuaian dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya [21,35,65], yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ZnO menjadi suatu struktur dengan bentuk tertentu seperti nanorods dimulai dengan nukleasi yang menghasilkan molekul prekursor dengan kation Zn 2+. Dengan penambahan basa, Zn 2+ akan membentuk Zn(OH) 2 dan ZnO 2-2 yang akan berubah menjadi ZnO seiring dengan adanya pemanasan. Dalam penelitian ini, basa yang ditambahkan

65 48 berasal dari dekomposisi HMT menjadi formaldehid (HCHO) dan amonia (NH 3 ) dengan reaksi sebagai berikut [30]: C 6 H 12 N 4 + 6H 2 O 6HCHO + 4NH 3 (4.1) NH 3 + H 2 O NH OH - (4.2) HMTA merupakan nonionic cyclic tertiary amine yang dapat berfungsi sebagai basa Lewis dengan ion logam sebagai atom pusat dan gugus organik sebagai ligan bidentate yang dapat menjembatani dua ion Zn 2+ dalam larutan. HMTA akan terhidrolisis menjadi formaldehid dan amonia, seperti terlihat pada Reaksi 4.1 dan Reaksi 4.2 [66]. Gugus OH - yang dihasilkan dari Reaksi 4.2 merupakan basa utama dalam pembentukan ZnO sehingga tanpa penambahan NaOH pun ZnO dapat terbentuk dalam reaksi. Adapun mekanisme reaksi pembentukan ZnO dinyatakan sebagai berikut [30,65] : Zn OH - ZnO H 2 O (4.3) Zn OH - Zn(OH) 2 ZnO + H 2 O (4.4) Zn(OH) 2 + 2OH - ZnO H 2 O (4.5) ZnO H 2 O ZnO + 2OH - (4.6) Selanjutnya presipitat/nuklei ZnO yang terdapat dalam larutan kemudian akan tumbuh menjadi kristal dengan ukuran lebih besar melalui proses kristalisasi. Penambahan secara signifikan gugus OH - yang terlibat pada Reaksi 4.3 diperoleh dengan adanya penambahan NaOH. Dalam hal ini, maka sejalan dengan bertambahnya waktu reaksi, molekul prekursor Zn 2+ bereaksi dan terkonsumsi hingga habis, menghasilkan populasi nuklei ZnO yang lebih banyak [30]. Di sisi lain, kehadiran suplai nuklei yang lebih banyak tersebut menghasilkan kompetisi pertumbuhan nanorods pada sumbu vertikal sehingga mengakibatkan diameter individual masing-masing nanorods akan menjadi lebih kecil. Hal ini dapat dilihat jelas pada hasil penelitian ini, di mana dengan semakin lamanya waktu reaksi (yaitu 24 jam) maka didapatkan struktur nanorods ZnO yang tumbuh semakin rapat di atas substrat, dengan diameter rata-rata ~165 nm (Gambar 4.1.b). Hal yang hampir serupa juga diperlihatkan pada nanorods ZnO hasil sintesis CBD

66 49 tanpa penambahan NaOH, dimana peningkatan waktu tahan pembibitan dari 6 jam menjadi 24 jam mengecilkan diameter rata-rata nanorods ZnO dari ~240 nm (Gambar 4.1.c.) menjadi ~210 nm (Gambar 4.1.d.). Namun untuk kedua sampel terakhir ini, nanorods ZnO yang dihasilkan memberikan tingkat sebaran yang sangat seragam dan coverage yang sempurna pada permukaan substrat. Gambar 4.1. Foto SEM sampel nanorods ZnO hasil CBD pada temperatur pemanasan 90 o C dengan variasi : a) waktu tahan 6 jam, dengan penambahan NaOH; b). waktu tahan 24 jam, dengan penambahan NaOH; c). waktu tahan 6 jam, tanpa penambahan NaOH; d). waktu tahan 24 jam, tanpa penambahan NaOH. Perbedaan pertumbuhan antara Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b dapat dikaitkan dengan lebih lamanya waktu tahan pembibitan yang memungkinkan NaOH memberikan kontribusi lebih besar di dalam reaksi hidrolisis. Vernardou dkk [67] menyatakan bahwa efek morfologi ZnO yang tumbuh di atas substrat dalam sistem aqueous chemical growth sangat dipengaruhi oleh ph larutan. Kenaikan ph dapat merubah struktur, dimana pada ph yang lebih tinggi, ZnO akan membentuk struktur nanoflower, sedangkan pada ph yang lebih rendah, ZnO akan cenderung stabil dalam bentuk nanorods. Di samping itu, suplai NaOH yang lebih banyak sebagai agen pereaksi pembentuk ZnO dari ion prekursor Zn 2+

67 50 memberikan efek terhadap coverage pertumbuhan nanorods ZnO di atas substrat. Dengan membandingkan Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.c, serta Gambar 4.1.b dan Gambar 4.1.d, dapat dilihat perbedaan di antara nanorods ZnO sebagai hasil proses CBD dengan dan tanpa penambahan NaOH. Pada sampel tanpa penambahan NaOH (Gambar 4.1.c dan Gambar 4.1.d), tingkat coverage nanorods ZnO di atas permukaan substrat lebih rapat dibandingkan dengan NaOH, seperti terlihat pada Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b. Hal ini sangat dimungkinkan karena tanpa penambahan NaOH, Reaksi 4.3 hingga Reaksi 4.4 telah berlangsung dengan gugus OH - hasil dekomposisi HMT menjadi formaldehid (HCHO) dan ammonia (NH 3 ). Dengan suplai yang relatif terbatas, maka setiap bibit nuklei ZnO harus tumbuh dalam keterbatasan, menjadikan nanorods ZnO pada Sampel 4.1.c dan Sampel 4.1.d tumbuh secara individual dan rapat pada sumbu-z tegak lurus permukaan substrat, dan bukan pertumbuhan ke arah sumbu-x dan sumbu-y sebagaimana ditunjukkan jelas oleh struktur nanoflowers pada Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Struktur ZnO Proses pertumbuhan kristal ZnO dalam sampel sangat bergantung pada suhu pertumbuhan, seperti terlihat pada Gambar 4.2. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kenaikan suhu reaksi dapat mempengaruhi morfologi ZnO yang dihasilkan dalam proses sintesis [15,24].

68 51 Gambar 4.2. Struktur mikro ZnO hasil percobaan dengan variasi suhu pertumbuhan pada a). 75 o C, b). 90 o C, dan c). 120 o C. Gambar 4.2.a menunjukkan morfologi kristal ZnO yang ditumbuhkan dengan temperatur 75 o C. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kristal ZnO belum tumbuh sempurna, karena temperatur yang digunakan masih terlalu rendah untuk dapat menghasilkan stuktur batang ZnO. Hal ini diperkirakan terjadi karena tidak tersedianya energi yang cukup untuk tumbuh sempurna dalam waktu 5 jam. ZnO yang terbentuk masih berupa lempengan tipis, dengan beberapa bagian membentuk pola heksagonal yang kemungkinan merupakan dasar bagi terbentuknya struktur batang ZnO. Diameter rata-rata ZnO yang terbentuk adalah 0,92 µm. Pada Gambar 4.2.b, dengan suhu pertumbuhan 90 o C terlihat struktur batang ZnO telah tumbuh sempurna, dalam waktu pertumbuhan selama 5 jam. Dengan variasi suhu tersebut didapat juga struktur seperti jarum yang terbentuk di antara struktur batang ZnO dengan diameter rata-rata sebesar 1,24 µm, sedangkan jika digunakan suhu pertumbuhan di atas 90 o C, maka akan didapat ZnO dengan berbagai macam bentuk. Zhang dkk [35] menyebutkan bahwa kenaikan suhu menyebabkan laju nukleasi ZnO melambat dan pertumbuhan Zn(OH) 2 yang merupakan senyawa antara pembentukan ZnO meningkat. Pertumbuhan nukleat

69 52 ZnO yang melambat mengakibatkan berkurangnya ZnO yang tumbuh melebar dan memicu pertumbuhan ke arah vertikal sehingga membentuk struktur batang. Gambar 4.2.c memperlihatkan bahwa pada temperatur 120 o C didapat ZnO dengan struktur batang, tube, bunga, dan jarum. Diameter ZnO tube yang terukur adalah sebesar 2,26 µm. Kenaikan diameter ZnO yang terbentuk pada suhu yang makin tinggi ini bersesuaian dengan penelitian Meen dkk [68]. Pada temperatur yang lebih tinggi, jumlah, titik aktifasi pertumbuhan ZnO mengalami peningkatan [35]. Hal ini terlihat dari makin banyaknya struktur jarum yang terbentuk dengan formasi menyerupai bunga (flower-like). Tingginya temperatur reaksi mengakibatkan terjadi kerusakan pada struktur batang sempurna, yang ditandai dengan lepasnya bagian atas dari struktur sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi tube (Gambar 4.2.c) Pengaruh Suhu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap Ukuran Kristalit Nanorods ZnO Berdasarkan hasil penelitian pada Sub Bab dan Sub Bab 4.3.2, dilakukan penelitian lanjutan mengenai efek proses pasca-hidrotermal terhadap ukuran kristalit nanorods ZnO. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO sebelum dan sesudah proses hidrotermal ditunjukkan pada Gambar 4.3. Pada gambar tersebut, nanorods ZnO terbukti memiliki struktur batang heksagonal dengan diameter nm dan tumbuh dengan arah vertikal yang baik di atas substrat kaca ITO. Sampel nanorods dengan perlakuan pasca-hidrotermal pada suhu 100 o C terlihat mengalami kenaikan ukuran diameter yang cukup signifikan dengan makin lamanya waktu reaksi (Gambar 4.3.b, Gambar 4.3.c, dan Tabel 4.1). Sementara, nanorods ZnO dengan perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C mengalami penurunan ukuran diameter pada waktu reaksi 3 jam (Gambar 4.3.d, dan Tabel 4.1). Namun demikian, densitas nanorods ZnO pada variasi ini merupakan yang tertinggi, jika dibandingkan dengan sampel-sampel nanorods ZnO pada variasi perlakuan yang lain. Pada suhu ini, diduga terjadi pemisahan batang-batang nanorods yang tumbuh bersama pada proses sintesis. Sehingga, nanorods tumbuh secara individual dan tampak memiliki ukuran yang lebih kecil. Nanorods ZnO dengan diameter terbesar didapat pada proses pasca-hidrotermal

70 53 dengan suhu 150 o C selama 12 jam (Gambar. 4.3.e, Tabel 4.1). Setelah waktu reaksi 12 jam, terlihat beberapa stuktur nanorods ZnO mengalami kerusakan. Gambar 4.3.e menunjukkan adanya bintik-bintik kecil di bagian atas struktur nanorods. Tabel 4.1. Diameter rata-rata nanorods ZnO sebelum dan sesudah perlakuan pasca-hidrotermal. Setelah perlakuan pasca-hidrotermal As-synthesized 100 o C 150 o C 3 jam 12 jam 3 jam 12 jam Diameter rata-rata [nm] 456,19 597,94 608,25 442,86 817,96 Gambar 4.3. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO (a) assynthesized; setelah proses pasca-hidrotermal pada 100 o C selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah proses pasca-hidrotermal pada 150 o C selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam. Pola difraksi sinar-x dari nanorods ZnO sebelum dan sesudah perlakuan pasca-hidrotermal ditunjukkan oleh Gambar 4.4. Seluruh puncak difraksi yang muncul dapat diidentifikasi sebagai puncak ZnO heksagonal wurtzite, sesuai

71 54 dengan JCPDS No [35,44]. Walaupun puncak (100) dan (101) terlihat memiliki intensitas yang cukup tinggi, puncak (002) merupakan yang paling dominan. Intensitas puncak (002) paling kuat diperoleh pada nanorods ZnO asdeposited (Gambar 4.4.a) dan setelah proses pasca-hidrotermal pada suhu 150 o C selama 12 jam (Gambar 4.4.e). Nilai intensitas puncak (002) yang tinggi ini membuktikan bahwa nanorods ZnO tumbuh searah sumbu-z. Hal inilah yang mengakibatkan terbentuknya struktur yang tegak lurus di atas substrat kaca ITO, seperti terlihat pada Gambar 4.3. Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-x untuk nanorods ZnO (a) as-synthesized; setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 100 o C selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam. Difraktogram sinar-x pada Gambar 4.4. menunjukkan bahwa proses pascahidrothermal efektif untuk menaikkan kristalinitas jika dilakukan dalam waktu yang lebih lama (12 jam). Dengan menggunakan kedua variasi suhu, terlihat bahwa pada waktu reaksi 12 jam (Gambar 4.4.c dan Gambar 4.4.e), puncak (002) memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu reaksi 3 jam (Gambar 4.4.b dan Gambar 4.4.d). Puncak intensitas yang lebih rendah

72 55 berkorelasi dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah pula. Dengan menggunakan persamaan Scherrer [54], diketahui bahwa ukuran kristalit nanorods ZnO mengalami kenaikan dengan makin lamanya waktu reaksi, seperti terlihat pada Tabel 4.2. Perlakuan pasca-hidrotermal pada suhu 150 o C terbukti memberikan kontrol yang lebih baik dikarenakan kenaikan ukuran kristalit tidak menunjukkan lonjakan tajam pada saat waktu reaksi dinaikkan dari 3 jam (258,65 nm) menjadi 12 jam (269,40 nm). Hal sebaliknya terjadi dalam proses pasca-hidrotermal pada suhu 100 o C, dimana penambahan waktu reaksi dari 3 hingga 12 jam mengakibatkan pembesaran ukuran kristalit hampir 2x lipat, yaitu dari 113,96 nm menjadi 207,55 nm. (Tabel 4.2). Namun demikian, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kenaikan waktu reaksi mengakibatkan terjadinya pembesaran ukuran kristalit pada kedua variasi suhu. Hal ini disebabkan karena dengan memperpanjang waktu reaksi, diameter kristalit nanorods memiliki waktu dan energi lebih sehingga dapat tumbuh menjadi lebih besar [69]. Selain itu, Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pertumbuhan ukuran kristalit nanorods ZnO juga dapat dipicu dengan menggunakan suhu reaksi yang lebih tinggi. Tabel 4.2. Ukuran kristalit nanorods ZnO. Setelah perlakuan pasca-hidrotermal As-synthesized 100 o C 150 o C 3 jam 12 jam 3 jam 12 jam Ukuran kristalit [nm] 42,85 113,96 207,55 258,65 269,40 Spektrum absorbansi UV-Vis seluruh sampel nanorods ZnO memperlihatkan adanya absorbansi kuat pada daerah ultra violet, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.5. Setelah proses pasca-hidrotermal, terlihat bahwa puncak kurva absorbansi mengalami pergeseran ke arah cahaya tampak. Pergeseran ini disebut sebagai red shift [70], dimana puncak kurva absorbansi bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar. Dengan menggunakan Persamaan Tauc [60], nilai energi celah pita (E g ) untuk setiap variasi dapat ditentukan. Adanya pergeseran puncak kurva ke panjang gelombang yang lebih besar berkontribusi pada nilai E g yang lebih rendah, seperti

73 56 tertera pada Tabel 4.3. Nilai E g ini juga berkaitan dengan ukuran kristalit yang terrangkum pada Tabel 4.2. Pada umumnya, penurunan nilai E g berkaitan dengan kenaikan suhu reaksi yang akan mengakibatkan perbaikan dalam pertumbuhan kristal, yang ditandai dengan naiknya ukuran kristalit. Selain itu,ketebalan film yang makin besar juga memicu turunnya nilai E g [69]. Gambar 4.5. Spektrum absorbansi UV-Vis untuk nanorods ZnO (a) assynthesized; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 100 o C selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 150 o C selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam. Tabel 4.3. Energi celah pita untuk nanorods ZnO (a) as-synthesized; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 100 o C selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 150 o C selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam. Setelah perlakuan pasca-hidrotermal Assynthesized Parameter nanostruktur 100 o C 150 o C 3 jam 12 jam 3 jam 12 jam Energi celah pita, Eg (ev) 3,31 3,24 3,23 3,21 3,21 Dengan nilai E g yang lebih rendah, nanorods ZnO mampu mengabsorpsi cahaya dalam panjang gelombang yang lebih besar, mendekati cahaya tampak. Dengan demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan dalam proses ini memiliki potensi yang cukup tinggi untuk aplikasi dalam bidang optoelektronik.

74 Pengaruh waktu reaksi terhadap nanostruktur ZnO Gambar 4.6. menunjukkan foto SEM nanorods ZnO di atas substrat kaca ITO. Pada gambar tersebut terlihat bahwa setiap nanorods memiliki bentuk hekasgonal dan pada umumnya tumbuh secara vertikal, dengan sebaran (coverage) yang baik di atas substrat. Dengan memperpanjang waktu reaksi selama 3 jam menjadi 5 jam, diameter nanorods bertambah dari 325 nm menjadi 583 nm. Panjang nanorods juga mengalami pertambahan dari 0,66 μm hingga 1,98 μm (Tabel 4.4). Namun demikian, pembesaran diameter yang terjadi pada waktu reaksi 4 jam dan 5 jam (Gambar 4.6.b dan Gambar 4.6.c) mengakibatkan terjadinya penurunan coverage lapisan nanorods, jika dibandingkan dengan nanorods hasil sintesis pada waktu 3 jam akan (Gambar 4.6.a). Dengan waktu reaksi yang makin lama, setiap nanorods akan dikelilingi oleh reaktan dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga, pertumbuhan ke arah vertikal dan horizontal akan lebih optimal. Akan tetapi, tidak semua nanorods dapat tumbuh secara tegak vertikal. Adanya kompetisi pertumbuhan antar nanorods-nanorods tersebut mengakibatkan sebagian nanorods tumbuh dengan arah miring atau horizontal. Investigasi lanjut pada penampang lintang stuktur nanorods menunjukkan fenomena tersebut, seperti terlihat pada Gambar 4.7. Gambar 4.6. Foto SEM nanorods ZnO hasil sintesis pada 90 o C selama : (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam. Tabel 4.4. Diameter dan panjang rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis. Karakteristik nanostruktur Waktu reaksi (jam) Diameter rata-rata (nm) Panjang rata-rata (µm) 0,66 1,65 1,98

75 58 Gambar 4.7.a menunjukkan bahwa selama 3 jam, nanorods mempunyai cukup ruang sehingga dapat tumbuh secara vertikal dengan baik tanpa mengalami hambatan yang cukup besar dari kondisi sekelilingnya. Hal sebaliknya terjadi pada nanorods yang ditumbuhkan dalam 4 jam dan 5 jam (Gambar 4.7.b dan Gambar 4.7.c). Dengan waktu reaksi yang lebih lama, disorientasi dan ketidakteraturan pertumbuhan struktur meningkat, sehingga didapat banyak nanorods yang tumbuh miring maupun ke arah horizontal. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya ruang untuk tumbuhnya nanorods yang merupakan konsekuensi dari membesarnya diameter nanorods. Dengan meningkatkan waktu reaksi, nanorods yang tumbuh vertikal sempurna di atas substrat mengalami penurunan. Gambar 4.7. Foto SEM penampang melintang nanorods ZnO yang disintesis pada 90 o C selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam. Pola difraksi pada Gambar 4.8. menunjukkan nanorods hasil sintesis teridentifikasi sebagai ZnO berstruktur kristal heksagonal wurtzit yang sesuai dengan referensi JCPDS no [44,65], kecuali untuk puncak pada 2θ 35 o yang merupakan karakteristik dari kaca ITO. Pada waktu reaksi 3 jam dan 4 jam (Gambar 4.8.a dan Gambar 4.8.b), puncak dengan intensitas tertinggi diperoleh pada bidang (002). Hal ini bersesuaian dengan Gambar 4.6 dan Gambar 4.7 yang menunjukkan bahwa pada kondisi ini, nanorods ZnO umumnya tumbuh secara vertikal pada arah sumbu-z. Kristal wurtzit ZnO memiliki bidang (002) yang bersifat polar serta bidang (100) dan (101) yang bersifat non polar. Bidang polar dengan permukaan dipol lebih tidak stabil secara termodinamika dibandingkan sisi bidang non polar. Oleh sebab itu, bidang polar cenderung melakukan pengaturan ulang dalam arah pertumbuhan struktur sebagai upaya untuk memperkecil energi permukaan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ke arah bidang (002) lebih cepat dibandingkan arah bidang lain [70]. Nanorods ZnO yang

76 59 disintesis selama 3 jam memiliki stuktur vertikal yang paling baik. Setelah waktu reaksi 5 jam, pertumbuhan nanorods ZnO didominasi pada sumbu-x. Hal ini dapat dibuktikan pada Gambar 4.9.c, dimana terlihat puncak intensitas yang tertinggi adalah pada bidang (100). Pertumbuhan ke arah tersebut mengakibatkan meningkatnya jumlah nanorods yang berada dalam posisi horizontal di atas substrat. Sehingga, lapisan nanorods yang tumbuh pada kondisi ini memiliki coverage dengan kerapatan paling rendah, seperti terlihat pada Gambar 4.7.c. Gambar 4.8. Pola difraksi sinar-x nanorods ZnO yang disintesis pada 90 o C selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam. Pola difraksi ZnO juga dipengaruhi oleh kondisi ketebalan lapisan nanostruktur di atas substrat kaca ITO. Cui dkk [15] menyatakan bahwa dengan lapisan yang makin tebal, intensitas pola difraksi dan kristalinitas nanostruktur akan meningkat. Rendahnya derajat kristalinitas dari ZnO dengan lapisan yang lebih tipis dapat dihubungkan dengan pertumbuhan kristalit yang belum sempurna dikarenakan oleh minimnya jumlah lapisan atom yang membentuk film ZnO [15]. Perhitungan ukuran kristalit rata-rata dari fasa wurtzit sampel dilakukan dengan mengunakan Rumus Scherrer [54]. Untuk mendapat nilai yang akurat, faktor broadening yang disebabkan oleh regangan non-uniform dan pengaruh

77 60 instrumen telah dieliminasi terlebih dahulu [57,71]. Sesuai perkiraan, ukuran kristalit dari nanorods ZnO mengalami peningkatan dengan makin lamanya waktu reaksi. Ukuran kristalit terbesar didapat pada waktu reaksi 5 jam, dengan nilai sebesar 34,28 nm. Hasil perhitungan ukuran kristalit seluruh sampel dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Ukuran kristalit rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis dengan variasi waktu reaksi. Waktu reaksi (jam) Karakteristik nanostruktur Ukuran kristalit rata-rata (nm) 22,85 27,42 34,28 Investigasi pengaruh karakteristik stuktur nanorods terhadap sifat optik dilakukan dengan metode spektroskopi UV-Vis. Gambar 4.9. menunjukkan spektrum absorbansi dari sampel-sampel nanorods ZnO. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nanorods ZnO hasil sintesis memiliki absorbansi kuat pada daerah UV dan bersifat transparan pada daerah cahaya tampak. Untuk menentukan puncak absorbansi, pada setiap spektrum ditarik garis pada bagian linier kurva hingga memotong sumbu x. Dengan menaikkan waktu reaksi 3 jam hingga 5 jam, telah terjadi pergeseran puncak absorpsi dari 365 nm menjadi 420 nm. Pergeseran ini disebut sebagai red shift, dimana puncak absorbansi bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar. Dengan demikian, menambah waktu reaksi dapat mengakibatkan absorpsi cahaya pada daerah cahaya tampak. Resume nilai pergeseran puncak absorbansi dapat dilihat pada Tabel 4.6.

78 61 Gambar 4.9. Spektrum absorbansi UV-Vis nanorods ZnO nanorods hasil sintesis pada 90 o C selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam. Tabel 4.6. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis. Sifat optik Waktu reaksi (jam) Garis potong linier kurva absorpsi (nm) Energi celah pita, Eg (ev) 3,63 3,55 3,13 Energi celah pita (E g ) nanorods ZnO hasil sintesis ditentukan dengan menggunakan Persamaan Tauc [60]. Dengan peningkatan waktu reaksi, nilai E g yang didapat mengalami penurunan dari 3,63 ev pada sintesis selama 3 jam menjadi 3,13 ev setelah 5 jam. Hal ini bersesuaian dengan pertumbuhan kristalit yang mengalami kenaikan dengan penambahan waktu reaksi, seperti ditunjukkan pada pengujian XRD sebelumnya. Pada area skala nanometer, ukuran kristalit dari nanostruktur semikonduktor sangat mempengaruhi nilai energi celah pita. Semakin besar ukuran kristalit nanostruktur, maka nilai E g yang dihasilkan akan semakin kecil.

79 62 Penurunan nilai E g dari 3,63 ev menjadi 3,55 ev pada penambahan waktu dari 3 jam ke 4 jam merupakan indikator yang sangat baik. Dilihat dari sifat optik material semikonduktor, penurunan nilai E g memberikan kemudahan terjadinya eksitasi elektron dari pita valensi yang berenergi rendah menuju pita konduksi yang berenergi tinggi. Pada umumnya, nilai E g nanorods ZnO yang diinginkan adalah mendekati nilai E g ZnO dalam fasa ruah, yaitu 3,34 ev. Akan tetapi, setelah sintesis selama 5 jam, nilai E g nanorods ZnO mengalami penurunan hingga di bawah angka tersebut. Pada kondisi tersebut, E g nanorods ZnO hasil sintesis yang terukur adalah sebesar 3,13 ev. Spektrum absorbansi pada sintesis selama 5 jam (Gambar 4.9.c) menunjukkan perbedaan bentuk kurva jika dibandingkan dengan sintesis pada 3 jam dan 4 jam. Spektrum absorpsi pada sintesis selama 5 jam menunjukkan bentuk yang bergelombang, dengan 3 puncak absorpsi yang tidak tajam. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya fasa lain yang terdapat dalam sampel. Untuk meyakinkan jenis fasa yang terdapat dalam sampel tersebut, analisis lebih lanjut perlu dilakukan sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat Pengaruh Waktu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap Nanostruktur ZnO Gambar menunjukkan morfologi penampang atas lapisan nanorods ZnO di atas kaca ITO pada beberapa variasi. Pada umumnya nanorods ZnO berstruktur heksagonal dan tumbuh secara tegak vertikal dengan coverage yang baik di atas substrat. Pada nanorods ZnO as-deposited terlihat beberapa batang tumbuh bergabung menjadi satu struktur dengan diameter rata-rata ~325 nm (Gambar 4.10.a). Di antara nanorods-nanorods yang terbentuk, terlihat adanya ruang kosong pada substrat yang tidak ditumbuhi oleh ZnO. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakteraturan pada proses sintesis yang mengakibatkan tidak semua nanorods tumbuh secara tegak vertikal. Sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Sub Bab 4.3.3), perlakuan pasca-hidrotermal dapat memperbaiki pengaturan struktural nanorods ZnO (Gambar 4.10). Dengan menambahkan perlakuan pasca-hidrotermal selama 3 jam, diameter nanorods

80 63 terlihat menjadi lebih kecil hingga mencapai ~165 nm. Dengan ukuran diameter yang lebih kecil, lapisan nanorods ZnO menjadi lebih rapat (Gambar 4.10.b). Penambahan waktu reaksi hingga mencapai 6 jam mengakibatkan nanorods ZnO kembali tumbuh dengan diameter yang lebih besar (~228 nm) namun memiliki coverage di atas substrat yang tetap terjaga (Gambar 4.10.c). Selain itu, lapisan nanorods diketahui menjadi lebih rapi jika dibandingkan dengan perlakuan pascahidrotermal selama 3 jam. Setelah waktu reaksi pasca-hidrotermal selama 9 jam, diameter nanorods tumbuh hingga mencapai ~261 nm. Namun demikian, kenaikan diameter ini tidak memperbaiki keteraturan struktur lapisan nanorods. Pada Gambar 4.11.d, terlihat bahwa nanorods ZnO tumbuh dengan bentuk nanostrutur flower-like. Bentuk pertumbuhan menggumpal seperti bunga ini mengakibatkan turunnya keteraturan dan coverage nanorods ZnO di atas substrat ITO. Observasi SEM dengan menggunakan pembesaran yang lebih tinggi (Gambar 4.10.d, inset) menunjukkan bahwa ujung-ujung nanorods kembali mengalami penggabungan. Perubahan ukuran diameter dari kondisi as-deposited dan setelah mengalami proses pascahidrotermal dirangkum dalam Tabel 4.7. Gambar Gambar SEM penampang atas nanorods ZnO: (a). as-deposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, serta (d) 9 jam.

81 64 Tabel 4.7. Parameter nanostruktur ZnO as-deposited dan setelah perlakuan pascahidrotermal. Waktu reaksi pasca-hidrotermal Karakteristik nanostruktural As-deposited (jam) Diameter rata-rata (nm) Ukuran kristalit rata-rata (nm) 22,85 26,87 27,97 28,55 Pola difraksi sinar-x dari sampel nanorods sebelum dan sesudah proses pascahidrotermal menunjukkan terdapat 3 puncak utama dengan intesitas tertinggi, yaitu pada sudut 2θ 32,05 o ; 34,71 o ; dan 36,53 o (Gambar 4.11). Ketiga puncak ini teridentifikasi dalam JCPDS no sebagai puncak untuk bidang (100), (002), (101) dari struktur kritstal wurtzit ZnO [44,65]. Selain itu, terdapat 2 puncak dengan inttensitas yang lebih rendah, yaitu pada sudut 2θ 47,72 dan 63,26 o yang merupakan karakteristik dari bidang kristal (102) dan (103). Puncak difraksi yang terlihat pada sudut 2θ 35 o merupakan karakteristik dari kaca ITO, seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 4.8 dalam Sub Bab terdahulu. Dengan mengaplikasikan perlakuan hidrotermal selama 3 jam (Gambar 4.11.b), terlihat bahwa puncak-puncak difraksi menjadi lebih tajam yang diikuti dengan munculnya puncak pada sudut 2θ 56,75 o yang merupakan puncak untuk bidang (110). Penambahan waktu reaksi pasca-hidrotermal menjadi 6 jam dan 9 jam menunjukkan adanya peningkatan kristalinitas nanorods ZnO, yang ditandai dengan puncak difraksi yang makin tajam, seperti terlihat pada Gambar 4.11.c dan Gambar 4.11.d. Di antara puncak-puncak difraksi tersebut, puncak yang merupakan karakteristik bidang [002] memiliki intensitas tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa nanorods ZnO tumbuh secara vertikal sepanjang sumbu-z, sesuai dengan fakta yang ditampilkan pada pencitraan SEM (Gambar 4.10.a) sebelumnya. Proses pasca-hidrotermal pada 3 jam dan 6 jam masih menunjukkan pertumbuhan ke arah vertikal yang cukup baik. Namun demikian, kenaikan waktu proses pasca-hidrotermal hingga 9 jam mengakibatkan terjadinya pertumbuhan snanorods dengan arah miring (Gambar 4.10.d) yang ditandai dengan intensitas puncak bidang (101) yang makin kuat pada Gambar 4.11.d.

82 65 Gambar Difraktogram sinar-x nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam. Analisis mengenai ukuran kristalit rata-rata dari nanorods ZnO hasil percobaan [54] memperlihatkan adanya peningkatan dengan makin bertambahnya waktu reaksi pasca-hidrotermal. Proses pasca-hidrotermal selama 3 jam, 6 jam, dan 9 jam menghasilkan ukuran kristalit rata-rata sebesar 22,85 nm; 26,87 nm; serta 28,55 nm. Perlakuan proses pasca-hidrotermal mengakibatkan terjadinya fenomena red-shift pada nanorods ZnO, seperti terlihat pada spektrum absorbansi dalam Gambar Puncak absorbansi nanorods ZnO mengalami pergeseran dari 350 nm sebelum proses pasca-hidrotermal (Gambar 4.12.a), menjadi sekitar 400 nm setelah proses pasca-hidrotermal (Gambar 4.12.b-d). Bentuk kurva yang sedikit berbeda ditemui pada sampel nanorods ZnO yang mengalami proses pascahidrotermal selama 9 jam (Gambar 4.12.d). Pada variasi tersebut, nanorods menunjukkan bentuk spektrum yang bergelombang dengan dua puncak kurva. Hal ini diduga berasal dari adanya fasa lain yang terbentuk dikarenakan oleh lamanya waktu reaksi. Untuk memastikan hal tersebut, perlu dilakukan analisis lebih lanjut yang dapat menentukan kandungan fasa-fasa yang terdapat dalam sampel tersebut.

83 66 Gambar Spektrum absorbansi nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam. Energi celah pita (E g ) dari nanorods ZnO ditentukan dengan menggunakan Persamaan Tauc [60] dengan menggunakan plot kurva (αhν) 2 terhadap hν (Gambar 4.13). Nilai E g didapat dengan menarik bagian linier pada kurva hingga menyentuh sumbu x pada kurva, yang menunjukkan nilai energi. Untuk sampel yang mengalami proses pasca hidrotermal selama 3 jam, 6 jam, dan 9 jam, nilai E g yang diperoleh adalah sebesar 3,15 ev; 3,12 ev; serta 3,07 ev. Perlakuan pasca-hidrotermal dapat dikatakan menghasilkan penurunan nilai E g yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan nilai E g sebelum proses pasca-hidrotermal, yaitu sebesar 3,63 ev (Tabel 4.8).

84 67 Gambar Plot kurva (αhν) 2 terhadap hν untuk nanorods ZnO: (a) asdeposited pada 90 o C selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150 o C selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam. Tabel 4.8. Energi celah pita nanorods ZnO as-deposited dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal. Waktu perlakuan pasca-hidrotermal Parameter nanostruktur As-deposited (jam) Energi celah pita, Eg (ev) 3,63 3,15 3,12 3,07 Hasil pengukuran diameter kristalit rata-rata (Tabel 4.7) dan nilai energi celah pita (Tabel 4.8) menunjukkan keterkaitan yang kuat. Dengan makin meningkatnya ukuran kristalit rata-rata, maka nilai E g yang didapatakan makin kecil. Hal ini telah teramati pada beberapa percobaan sebelumnya Penurunan nilai E g ini menampakkan adanya peluang potensial untuk pengembangan material tersebut dalam aplikasi sel surya serta fotokatalisis. Dengan nilai E g yang makin rendah, eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi akan semakin mudah. Namun demikian, faktor lain seperti morfologi permukaan serta adanya unsur dopant juga perlu diperhatikan untuk mendukung aplikasi tersebut.

85 Kesimpulan Sintesis nanorods ZnO telah berhasil dilakukan dengan teknik chemical bath deposition (CBD) pada suhu rendah dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat {Zn(NO 3 ) 2.4H 2 O, Zn-nitrat} dan heksametilentetraamin {C 6 H 12 N 4, HMTA}. Pada sintesis dengan waktu tahan pembibitan dan penambahan NaOH diperoleh struktur nanoflower ZnO dengan ukuran relatif besar namun jarangjarang, sementara pada kondisi yang sama namun dengan waktu tahan 24 jam diperoleh struktur nanorods ZnO yang mampu menutupi permukaan substrat. Tingkat coverage substrat yang lebih tinggi diperoleh dengan teknik yang sama, namun tanpa penambahan NaOH. Hal ini dimungkinkan oleh terbatasnya suplai gugus OH - yang memaksa setiap bibit berkompetisi tumbuh tegak lurus permukaan substrat. Suhu reaksi diketahui memegang peranan penting dalam proses pembentukan struktur batang setelah terjadi nukleasi ZnO. Temperatur optimum pertumbuhan nanorods ZnO adalah 90 o C. Suhu yang terlalu rendah mengakibatkan nanorods tidak memiliki cukup energi untuk tumbuh secara tegak vertikal. Sedangkan pada suhu yang lebih tinggi, terjadi deformasi pada struktur ZnO sehingga membentuk struktur tube, partikel dan jarum. Dengan menggunakan larutan bibit yang disintesis pada suhu rendah (0 o C), nanorods ZnO berstruktur kristal heksagonal wurtzit dengan coverage yang baik di atas substrat kaca ITO telah berhasil disintesis. Dengan menaikkan waktu reaksi dari 3 jam hingga 5 jam, terjadi pembesaran diameter dan ukuran kristalit nanorods ZnO. Nilai energi celah pita nanorods ZnO mengalami penurunan dan profil absorbansi menunjukkan terjadinya red shift dengan makin meningkatnya waktu reaksi. Dengan mempertimbangkan karakteristik sifat optik tersebut, nanorods ZnO hasil sintesis ini mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dalam sel surya maupun fotokatalisis.

86 69 BAB V Pengaruh Lapisan Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorods ZnO yang Disintesis dengan Metode Chemical Deposition Bath 5.1. Pendahuluan Performa dan sifat permukaan sel surya tersensitasi zat pewarna (dyesensitized solar cell, DSSC) sangat dipengaruhi oleh morfologi dan ukuran partikel anoda. Lapisan anoda yang baik dapat meningkatkan efisiensi konversi solar to electricity dan mengurangi laju rekombinasi pada permukaan antar fasa material semikonduktor dan lapisan elektrolit [72]. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ZnO nanostuktur di atas substrat kaca konduktif dapat digunakan sebagai anoda yang baik. Akan tetapi, untuk mendapatkan nilai efisiensi yang tinggi, dibutuhkan struktur dengan keteraturan dan kepadatan yang cukup tinggi [72]. Untuk mendapatkan lapisan ZnO dengan struktur tersebut, diperlukan adanya lapisan bibit yang menempel pada substrat sebelum melakukan proses penumbuhan ZnO nanostruktur. Anoda yang difabrikasi menggunakan kaca konduktif tanpa lapisan bibit ZnO diketahui memiliki efisiensi DSSC sebesar ~0,78%. Sedangkan jika menggunakan kaca konduktif dengan lapisan bibit, efisiensi mengalami peningkatan sebanyak 3x lipat [72]. Kaca konduktif dengan lapisan bibit dapat menginisiasi pertumbuhan ZnO nanostruktur yang seragam dan terorientasi dengan baik [72-74], sehingga morfologi dan sifat-sifat fisik yang dihasilkan akan memberikan performa DSSC yang baik. Pada Bab 4 terdahulu, nanorods ZnO telah berhasil disintesis melalui teknik chemical bath deposition (CBD) pada suhu rendah [22,21], yang dilanjutkan dengan proses pasca-hidrotermal [74,40]. Dalam penelitian tersebut, nanorods ZnO ditumbuhkan tanpa melakukan proses pembuatan lapisan bibit pada substrat kaca indium tin oxide (InSn2O3, ITO) terlebih dahulu. Kondisi optimum untuk mendapatkan nanorods ZnO yang tumbuh di atas kaca ITO telah diinvestigasi untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam langkah berikutnya. Namun demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan masih memiliki kelemahan pada

87 70 ukuran, orientasi arah pertumbuhan serta sebaran (coverage) pertumbuhan di atas substrat. Kontrol reaksi dalam metode terdahulu hanya dilakukan melalui pengamatan terhadap suhu dan waktu tahan reaksi, baik pada proses CBD maupun pasca-hidrotermal. Sejauh ini, dalam rangkaian penelitian yang sedang berjalan, belum ditemukan dilakukan pengamatan mengenai pengaruh penempelan larutan bibit di atas substrat terhadap hasil sintesis yang akan didapat. Pada penelitian ini, dilakukan investigasi pengaruh lapisan bibit film ZnO terhadap sifat-sifat fisik dan optik dari nanostruktur ZnO yang akan ditumbuhkan. Parameter-parameter proses yang menjadi perhatian adalah jumlah lapisan dan suhu anil lapisan bibit. Lapisan bibit nanostruktur ZnO selanjutnya akan ditumbuhkan dengan metode CBD. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO dengan karakteristik paling optimal untuk komponen sel surya Tujuan Penelitian Bab ini bertujuan untuk menelaah pengaruh lapisan bibit terhadap pertumbuhan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO. Larutan bibit yang untuk tahapan ini dibuat dengan menggunakan metode yang telah dijelaskan pada Bab 4 terdahulu. Pengamatan terhadap morfologi sebaran dan energi celah pita lapisan bibit di atas kaca ITO merupakan titik awal penelitian pada tahap ini. Selanjutnya, lapisan bibit ditumbuhkan dengan menggunakan metode CBD. Analisis mengenai pengaruh lapisan bibit mencakup kristalinitas, ukuran kristalit, diameter nanorods, serta energi celah pita dari nanorods ZnO hasil sintesis. Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk: d. Mempelajari proses sintesis lapisan bibit nanorods ZnO melalui metode kimia basah pada suhu rendah untuk memperoleh nanostruktur ZnO dengan densitas, coverage, dan kristalinitas yang tinggi di atas substrat kaca konduktif; e. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi, kristalinitas, serta sifat-sifat optik nanostruktur ZnO; f. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.

88 Hasil dan Pembahasan Pengaruh Jumlah Lapisan dan Suhu Anil terhadap Nanostruktur ZnO Hasil pengamatan dengan menggunakan SEM menunjukkan bahwa lapisan ZnO tumbuh dengan berbagai macam struktur. Secara keseluruhan, lapisan bibit nanostruktur ZnO terdistribusi secara merata di atas kaca ITO. Pada suhu 100 o C, kaca ITO dengan 1 lapisan bibit terlihat menggumpal dan terkonsentrasi pada area tertentu (Gambar 5.1.a). Kaca ITO dengan 3 lapisan bibit dan 5 lapisan bibit (Gambar 5.1.b dan Gambar 5.1.c) menghasilkan nanostruktur ZnO yang berbentuk seperti daun, berbeda dari struktur pada sampel-sampel lain. Hal ini diduga disebabkan oleh suhu anil yang relatif rendah. Pada suhu 200 o C, lapisan bibit membentuk struktur nanopartikel ZnO. Penambahan 1 lapisan bibit ZnO memberikan distribusi yang merata di atas substrat dengan ukuran yang sangat halus. Namun, dikarenakan proses spin-coating yang kurang sempurna, terlihat adanya beberapa bentuk nanorods yang tumbuh di atas lapisan bibit nanopartikel ZnO. Dengan menambahkan jumlah lapisan bibit menjadi 3 lapis (Gambar 5.2.b) dan 5 lapis (Gambar 5.2.c), bentuk nanopartikel terlihat stabil, dan menjadi lebih besar untuk setiap penambahan lapisan. Kestabilan bentuk nanopartikel ini juga ditemui pada sampel dengan suhu anil 300 o C (Gambar 5.3), 400 o C (Gambar 5.4.) dan 500 o C (Gambar 5.5). Faktor suhu memberikan kontribusi pada pembesaran ukuran nanostruktur untuk setiap penambahan lapisan bibit. Makin tinggi suhu anil yang digunakan, ukuran nanopartikel yang terbentuk tampak makin besar [15]. Sedangkan faktor penambahan lapisan memberikan efek pada permukaan nanostruktur. Makin banyak lapisan yang ditempelkan ke kaca ITO, permukaan nanopartikel ZnO yang dihasilkan terlihat makin kasar. Hal ini dapat diamati dengan adanya tekstur pada nanostruktur yang tampak menebal dengan bertambahnya lapisan bibit. Dengan menggabungkan pengaruh suhu dan jumlah lapisan, dapat disimpulkan bahwa makin naiknya kedua faktor di atas akan memberikan lapisan nanostruktur dengan ukuran yang makin membesar serta permukaan yang lebih kasar dan bertekstur. Hal ini terlihat pada Gambar 5.1.c, Gambar 5.2.c, Gambar 5.3.c, Gambar 5.4.c, dan Gambar 5.5.c.

89 72 Gambar 5.1. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 100 o C sebanyak a). 1 lapis (1A), b). 3 lapis (1B), dan c). 5 lapis (1C). Gambar 5.2. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 200 o C sebanyak a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B), dan c). 5 lapis (2C). Gambar 5.3. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 300 o C sebanyak a). 1 lapis (3A), b). 3 lapis (3B), dan c). 5 lapis (3C). Gambar 5.4. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 400 o C sebanyak a). 1 lapis (4A), b). 3 lapis (4B), dan c). 5 lapis (4C).

90 73 Gambar 5.5. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 500 o C sebanyak a). 1 lapis (5A), b). 3 lapis (5B), dan c). 5 lapis (5C). Morfologi dan tekstur permukaan lapisan film nanostruktur ZnO yang akan digunakan juga bergantung pada jenis sel surya yang akan difabrikasi. Untuk aplikasi DSSC, tekstur permukaan yang rapat serta orientasi pertumbuhan merupakan syarat yang harus dipenuhi, sehingga penyerapan zat pewarna (dye) menjadi lebih optimal. Analisis sifat elektronik dasar lapisan bibit ZnO dilakukan dengan Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS) pada rentang cahaya ultraviolet-visible (UV-Vis). Secara keseluruhan, sampel lapisan bibit nanostruktur ZnO menyerap cahaya pada daerah gelombang UV, dengan rentang nilai energi celah pita (band gap energy, Eg) antara 3,5 ~ 3,6 ev. Nilai Eg ini masih berada di atas nilai Eg ZnO dalam fasa ruah (bulk), yaitu sebesar 3,34 ev. Pada suhu anil 100 o C, nilai absorbans mengalami pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar (red-shift), seperti ditunjukkan pada Gambar 5.6. Jika dikaitkan dengan struktur morfologi pada Gambar 5.1., maka dapat dikatakan bahwa struktur nanopartikel yang lebih rapat pada 1 lapisan bibit (5.1.a) memberikan nilai absorbansi yang lebih tinggi. Pada jumlah lapisan yang lebih banyak yaitu 3 lapis dan 5 lapis (Gambar 5.1.b dan Gambar 5.1.c), nanostruktur ZnO berbentuk daun memiliki kerapatan yang lebih rendah. Akibatnya, terjadi pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar (red-shifted) sehingga nilai Eg menjadi makin kecil. Pada suhu anil 200 o C, penambahan lapisan bibit dari 1 lapis menjadi 3 lapis tidak memberikan kenaikan maupun penurunan nilai absorbans (Gambar 5.7). Untuk suhu tersebut, penambahan hingga 3 lapis diduga belum mampu meningkatkan ketebalan di total lapisan bibit yang ada di atas substrat kaca ITO. Suhu yang relatif rendah diduga menjadi penyebab dari hal tersebut. Telah

91 74 diketahui sebelumnya, suhu berkorelasi dengan pertumbuhan ukuran nanostruktur. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka ukuran nanostruktur yang didapat juga makin besar. Setelah melakukan pelapisan sebanyak 5 kali, terlihat adanya pergeseran absorbans ke arah panjang gelombang yang lebih kecil (blue-shifted), sehingga nilai Eg mengalami kenaikan. Untuk suhu anil o C, terjadi fenomena yang hampir seragam dimana penambahan lapisan bibit mengakibatkan terjadinya pergeseran red-shift sehingga nilai Eg turun. Resume nilai Eg pada berbagai variasi dapat dilihat pada Tabel 5.1. Parameter nanostruktur Energi celah pita (ev) Tabel 5.1. Energi celah pita lapisan bibit nanorods ZnO. Suhu anil 100 o C 200 o C 300 o C 400 o C 500 o C 1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C 3,69 3,64 3,62 3,61 3,61 3,65 3,64 3,62 3,60 3,65 3,65 3,57 3,59 3,57 3,54 Gambar 5.6. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 100 o C sebanyak b). 1 lapis (1A), c). 3 lapis (1B), dan d). 5 lapis (1C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 100 o C.

92 75 Gambar 5.7. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 200 o C sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B), dan d). 5 lapis (2C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C. Gambar 5.8. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 300 o C sebanyak b). 1 lapis (3A), c). 3 lapis (3B), dan d). 5 lapis (3C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 300 o C.

93 76 Gambar 5.9. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 400 o C sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B), dan d). 5 lapis (4C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 400 o C. Gambar Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu 500 o C sebanyak b). 1 lapis (5A), c). 3 lapis (5B), dan d). 5 lapis (5C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 500 o C. Dengan mempertimbangkan morfologi, coverage, tingkat absorbans dan nilai Eg dari seluruh sampel bibit nanostruktur ZnO di atas kaca ITO, diputuskan untuk menumbuhkan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 dan 400 o C.

94 Proses Penumbuhan Lapisan Nanorods ZnO melalui Metode Chemical Bath Deposition (CBD) Morfologi nanostruktur ZnO yang ditumbuhkan dengan metode CBD dilihat dengan menggunakan SEM. Hasil foto SEM memperlihatkan bahwa seluruh sampel tumbuh dengan struktur nanorods ZnO. Hampir seluruh nanorods tumbuh secara tegak lurus. Diameter nanorods yang dihasilkan berukuran 120 ~ 390 nm, seperti terlihat pada Tabel 5.2. Sampel nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C mengalami penurunan ukuran diameter dengan makin bertambahnya lapisan bibit (Gambar 5.12). Pada sampel dengan 1 lapisan bibit (Sampel 2A, Gambar 5.12.b), diameter nanorods yang dihasilkan merupakan ukuran yang terbesar di antara sampel-sampel lain. Suhu yang rendah, serta lapisan yang tipis diduga menjadi faktor penyebab besarnya diameter nanorods pada variasi ini. Dengan penambahan jumlah lapisan, ruang pertumbuhan bibit nanostruktur ZnO di atas substrat menjadi lebih sempit. Akibatnya, nanorods ZnO dengan 3 lapisan dan 5 lapisan bibit (Sampel 2B dan Sampel 2C, Gambar 5.12.c dan Gambar 5.12.d) memiliki diameter yang lebih kecil dari Sampel 2A, seperti terlihat pada Gambar 5.12.b. Arah pertumbuhan nanostruktur ZnO dengan suhu anil 200 o C juga mengalami perbedaan dengan naiknya jumlah lapisan bibit. Pada sampel 2A, terlihat nanorods ZnO tumbuh secara acak, tidak terorientasi secara vertikal dengan baik. Gambar 5.12.b menunjukkan banyak nanorods yang tumbuh dengan arah miring. Pertumbuhan miring ini mengakibatkan pemborosan pada ruang pertumbuhan di atas substrat. Sebagai hasil, dapat dilihat bahwa nanorods ZnO yang tumbuh pada variasi ini memiliki jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan variasi lainnya. Dengan menambah jumlah lapisan bibit, ruang pertumbuhan menjadi sempit, sehingga nanorods tumbuh lebih vertikal pada Sampel 2B dan Sampel 2C (Gambar 5.12.c dan Gambar 5.12.d). Sampel nanorods yang dianil dengan lapisan bibit yang pada suhu 400 o C (Gambar 5.13) menunjukkan fenomena yang berbeda. Pada penambahan 1 lapisan dan 3 lapisan bibit (Sampel 4A dan Sampel 4B, Gambar 5.13.b dan Gambar 5.13.c), terlihat adanya kekosongan pada substrat yang diduga disebabkan oleh ketidaksempurnaan proses spin-coating. Akan tetapi, secara garis besar dapat dilihat bahwa seluruh nanorods dalam varisi suhu anil ini tumbuh dengan struktur

95 78 batang yang berjejal. Untuk Sampel 4A dan Sampel 4B (Gambar 5.13.b dan Gambar 5.13.c), arah pertumbuhan masih belum terorientasi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya nanorods yang tumbuh dengan struktur miring maupun horizontal. Orientasi pertumbuhan nanorods yang lebih baik (tumbuh secara vertikal) terlihat pada sampel nanorods ZnO dengan 5 lapisan bibit (Sampel 4C, Gambar 5.13.d). Dari analisis morfologi dengan SEM ini, dapat disimpulkan bahwa penggunaan suhu anil yang lebih tinggi terbukti tidak selalu memberikan perbaikan pada struktur, arah pertumbuhan, maupun sebaran nanorods ZnO di atas substrat kaca ITO. Pengamatan distribusi ukuran diameter nanorods ZnO dilakukan dengan membuat kurva frekuensi terhadap ukuran nanorods yang terukur. Gambar 5.11, menunjukkan bahwa Sampel 2B (Gambar 5.11.b) memiliki distribusi ukuran yang lebih merata. Dengan kata lain, sampel pada variasi ini memiliki diameter yang lebih seragam untuk setiap nanorods yang tumbuh. Tabel 5.2. Diameter rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis. Parameter Sampel nanostruktur TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C Diameter nanorods ,59 157,58 151,52 126,66 184,20 144,49 ZnO rata-rata (nm) Gambar Distribusi diameter nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C dengan jumlah lapisan a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu 400 o C dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C).

96 79 Gambar Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit (TF-3); serta dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B) dan d). 5 lapis (2C). Gambar Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit (TF-3); serta dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400 o C sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C).

97 80 Analisis X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa seluruh sampel terindikasi sebagai nanorods ZnO, yang bersesuaian dengan JCPDS No Gambar 5.13 memperlihatkan bahwa seluruh sampel berstruktur polikristalin. Nilai puncak 2θ tertinggi berada pada sudut ~34 o. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan nanorods ZnO tumbuh dengan orientasi vertikal, yang bersesuaian dengan foto SEM pada Gambar 5.11 dan Gambar Puncak pada 2θ tersebut merupakan karakteristik untuk bidang kisi (002), dimana pertumbuhan nanorods terjadi pada arah sumbu-z. Sampel dengan puncak ~34 o tertinggi sampel 2B (Gambar 5.14.b). Lapisan bibit merupakan bagian terpenting yang memicu pertumbuhan nanorods ZnO terorientasi pada sumbu-z dengan dimensi yang terkontrol [75]. Perhitungan diameter kristalit untuk seluruh sampel dilakukan dengan menggunakan Metode Scherrer. Berdasarkan metode tersebut, sampel 2B diketahui memiliki ukuran kristalit yang paling besar dan bersesuaian dengan kristalinitas yang paling baik, seperti terlihat pada Gambar Jika dibandingkan dengan nanorods ZnO yang ditumbuhkan tanpa lapisan bibit (Sampel TF-3), terlihat bahwa hampir seluruh sampel yang menggunakan lapisan bibit mengalami kenaikan ukuran diameter kristalit. Pada suhu anil 200 o C, diameter kristalit meningkat dengan menambah lapisan hingga 3 lapis. Akan tetapi, penambahan lapisan bibit hingga 5 lapis mengakibatkan penurunan nilai kristalinitas. Sebaliknya, pada sampel dengan suhu anil 400 o C, penambahan lapisan bibit mengakibatkan penurunan nilai kristalinitas. Resume diameter kristalit nanorods ZnO hasil sintesis dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Diameter kristalit nanorods ZnO hasil sintesis. Sampel Parameter nanostruktur TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C Diameter kristalit (nm) 22,85 31,17 59,63 28,57 31,90 27,43 18,53

98 81 Gambar Difraktogram nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C dengan jumlah lapisan a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu 400 o C dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C). Nilai absorbans dari nanorods ZnO hasil sintesis dengan menggunakan lapisan bibit menunjukkan adanya fenomena red-shift dibandingkan nanorods ZnO yang disintesis tanpa larutan bibit. Sampel nanorods ZnO yang dianil pada suhu 200 o C sebanyak 1 lapisan bibit dan 3 lapisan bibit (2A dan 2B) menunjukkan trend yag sama dengan Gambar 5.7 pada Sub Bab Pada sampel-sampel tersebut, kenaikan jumlah lapisan hingga mencapai 3 lapis ternyata masih belum mampu menaikkan ketebalan lapisan. Akibatnya, tidak terjadi perubahan pada nilai Eg. Sedangkan pada sampel dengan 5 lapisan bibit (2C), terjadi penurunan nilai Eg yang diduga berasal dari naiknya ketebalan sampel. Kurva absorbans terhadap panjang gelombang untuk nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang dianil pada 200 o C dapat dilihat pada Gambar Fenomena yang berbeda terjadi pada nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400 o C. Pada sampel ini, terjadi kenaikan nilai Eg yang bersesuaian dengan turunnya nilai diameter kristalit seperti yang terangkum dalam Tabel 5.3. Plot kurva absorbans terhadap panjang gelombang untuk nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400 o C dapat dilihat pada Gambar 5.16.

99 82 Setelah melakukan proses penumbuhan dengan metode CBD, terjadi penurunan nilai Eg yang cukup signifikan pada nanorods ZnO hasil sintesis. Dibandingkan dengan nanopartikel ZnO pada lapisan bibit yang memiliki nilai serapan pada daerah UV, nanorods ZnO memiliki nilai Eg yang lebih rendah dan serapan pada daerah cahaya tampak. Nilai Eg nanorods ZnO hasil sintesis dengan menggunakan lapisan bibit juga lebih rendah jika dibandingkan dengan nanorods ZnO yang disintesis tanpa lapisan bibit (TF-3). Penurunan nilai Eg ini diduga berasal dari penyempitan pita eksiton dan kenaikan intensitas eksiton yang sangat besar. Hal ini menghasilkan terjadinya penyerapan energi yang sangat baik pada rentang cahaya tampak [76]. Resume Eg nanorods ZnO hasil sintesis dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD. Sampel Parameter nanostruktur TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C Energi celah pita (Eg, ev) 3,63 3,26 3,27 3,26 3,25 3,27 3,29 Gambar Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan bibit yang dianil pada 200 o C dengan jumlah lapisan b).1 lapis (2A), c).3 lapis (2B) dan d). 5 lapis (2C)

100 83 Gambar Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90 o C, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan bibit yang dianil pada 400 o C dengan jumlah lapisan b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C) 5.4. Kesimpulan Sintesis nanorods ZnO dengan menggunakan lapisan bibit telah berhasil dilakukan dengan teknik chemical bath deposition (CBD) pada suhu rendah dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat {Zn(NO 3 ) 2.4H 2 O, Zn-nitrat} dan heksametilentetraamin {C 6 H 12 N 4, HMTA}. Lapisan bibit umumnya berbentuk nanopartikel ZnO dengan coverage yang merata di atas permukaan substrat. Setelah proses pertumbuhan dengan metode CBD dilakukan, Lapisan tersebut tumbuh menjadi nanorods ZnO dengan ukuran yang berkisar antara 120 ~ 390 nm. Secara umum, nanorods ZnO yang ditumbuhkan dengan lapisan bibit ini memiliki diameter kristalit yang lebih besar dan energi celah pita yang lebih kecil dibandingkan nanorods ZnO yang ditumbuhkan tanpa lapisan bibit. Nanorods ZnO dengan sebaran diameter yang paling baik adalah sampel dengan 3 lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 o C (2B). Nanorods ZnO pada variasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai lapisan anoda dalam aplikasi DSSC dengan tingkat efisiensi yang cukup baik.

101 84 BAB VI Efek Variasi Perlakuan Pasca-Hidrotermal terhadap Lapisan Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensittized Solar Cell (DSSC) 6.1. Pendahuluan Telah disebutkan pada Bab 1 dan Bab 4 terdahulu, bahwa sintesis dengan metode chemical bath deposition (CBD) umumnya belum mampu menghasilkan struktur vertikal tegak sempurna di atas substat. Penambahan lapisan bibit yang dilakukan pada Bab 5 menunjukkan adanya perbaikan sifat fisik lapisan nanostruktur, terutama dari segi coverage di atas substrat. Sementara itu, pengaplikasian proses post-annealing diketahui juga memberikan efek yang cukup besar pada karakteristik film, seperti kualitas kristal, sifa listrik, maupun morfologi permukaannya [77]. Karakteristik struktur, sifat optik dan elektrik dari lapisan ZnO sangat dipengaruhi oleh metode dan parameter deposisi [78]. Pada Bab 5 terdahulu, telah berhasil dilakukan proses deposisi lapisan bibit nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO dengan menggunakan metode spin-coating. Lapisan ini berfungsi sebagai fondasi untuk pertumbuhan nanostruktur ZnO. Dengan menambahkan lapisan tersebut, energi permukaan diharapkan akan menurun hingga mendekati nol dan ZnO akan tumbuh dengan arah tegak lurus [79]. Dalam penelitian ini, dilakukan investigasi pengaruh variasi perlakuan pasca-hidrotermal lapisan film ZnO terhadap sifat-sifat fisik dan optik dari nanostruktur ZnO. Proses proses pasca-hidotermal pada Bab 4 terdahulu dilakukan dalam reaktor hidrotermal dengan menggunakan tekanan udara normal. Pada percobaan ini, ditelaah pengaruh tekanan eksternal dengan menambahan gas nitrogen (N2) ke dalam reaktor. Penambahan gas N2 diharapkan akan dapat menghasilkan nanostruktur ZnO yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat. Dengan demikian, resiko kerusakan struktur akibat proses pasca-hidrotermal dalam waktu yang lama dapat dihindari. Lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO ini selanjutnya akan digunakan sebagai anoda dalam sel DSSC.

102 Tujuan Penelitian Bab ini bertujuan untuk menelaah pengaruh perbedaan metode pascahidrotermal terhadap pertumbuhan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO yang sudah dilapisi dengan bibit. Tahap pertama pada penelitian ini adalah melakukan penempelan lapisan bibit ZnO dengan menggunakan metode spincoating yang sudah disimpulkan pada penelitian sebelumnya (Bab 5). Larutan bibit yang untuk tahapan ini dibuat dengan menggunakan metode yang telah dijelaskan pada Bab 4 terdahulu. Selanjutnya, tahap kedua dilakukan dengan menumbuhkan lapisan bibit ZnO dengan metode chemical bath deposition (CBD) seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 4. Pada tahap ketiga, nanostruktur ZnO as-synthesized slanjutnya akan mengalami perlakuan pasca-hidrotermal dengan 2 variasi, yaitu proses dalam reaktor hidrotermal dengan tekanan ruang pada suhu150 o C selama 3 jam dan dalam reaktor dengan tekanan gas N2 1 bar pada suhu 100 o C selama 1 jam (PHT-1 dan PHT-2). Penjelasan detail mengenai perbedaan variasi pasca-hidrotermal dapat dilihat pada Bab 3. Tahap terakhir dalam penelitian ini adalah mengaplikasikan nanostruktur ZnO di atas substrat ITO tersebut sebagai lapisan anoda pada sel surya tersensitasi zat pewarna (dyesensitized solar cell, DSSC). Analisis mengenai pengaruh lapisan bibit mencakup morofologi, diameter, kristalinitas, ukuran kristalit, diameter, serta energi celah pita dari nanorods ZnO hasil sintesis. Selanjutnya, parameter-parameter tersebut akan digunakan untuk menganalisis hasil yang diperoleh pada kurva rapat arus (JSC) terhadap tegangan (v) yang dihasilkan oleh sel DSSC. Secara khusus, penelitian pada tahap ini bertujuan untuk : a. Mempelajari pengaruh lapisan bibit terhadap pertumbuhan nanostruktur ZnO dengan di atas kaca ITO; b. Menginvestigasi pengaruh perbedaan kondisi pasca-hidrotermal terhadap nanostruktur ZnO; c. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi, kristalinitas, serta sifat-sifat optik nanostruktur ZnO; d. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.

103 Hasil dan Pembahasan Pada bagian ini disajikan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap sampel hasil penumbuhan lapisan nanostruktur ZnO dengan metode CBD, sesuai dengan metode yang didapat dari Bab 4, dan diberi label sebagai Sampel A. Selanjutnya, sampel tersebut akan mendapatkan proses pasca-hidrotermal yang terbagi menjadi dua variasi. Variasi pertama adalah sesuai dengan proses pasca-hidrotermal yang telah dilakukan pada Bab 4 terdahulu. Hasil yang diperoleh pada proses ini selanjutnya akan diberi label Sampel B. Sementara itu, sampel hasil CBD lain akan mendapat perlakuan pasca-hidrotermal dengan menggunakan penambahan gas N2. Hasil yang didapat pada proses ini selanjutnya diberi label Sampel C Morfologi dan Ketebalan Lapisan Nanostruktur ZnO Strukturmorfologidan ketebalan lapisan nanostruktur ZnOdianalisis dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Atomic Force Microscopy (AFM). Setelah lapisan bibit as-synthesized ditumbuhkan dengan proses CBD (sampel A), terbentuk ZnO dengan struktur batang (nanorods) dengan diameter rata-rata 366,16 nm, dengan sebaran yang cukup baik di atas substrat. Akan tetapi, arah pertumbuhan nanorods ZnO yang terbentuk masih terlihat acak atau belum terorientasi tegak vertikal (Gambar 6.1.a). Lapisan ZnO as-synthesized ini memiliki ketebalan 2,04 μm (Gambar 6.2.a). Dengan mengaplikasikan proses PHT-1, terlihat adanya penurunan ukuran diameter nanorods, seperti yang telah dilaporkan pada penelitian terdahulu yang terngkum dalam Bab IV. Setelah mengalami proses PHT-1, diameter rata-rata nanorods ZnO yang terbentuk menjadi 260,44 nm dengan ketebalan lapisan sebesar 1,24 μm. Penurunan ukuran diameter ini disebabkan karena terjadinya pemisahan nanorods yang tumbuh bersama pada saat proses CBD. Dengan mengaplikasikan tekanan uap air, nanorods yang tumbuh saling menempel dapat terpisah dan terorientasi ke arah vertikal, dengan bentuk heksagonal yang lebih sempurna (Gambar 6.1.b(i-iii)). Akan tetapi, waktu reaksi PHT yang cukup lama mengakibatkan terjadinya penurunan ketebalan lapisan ZnO. Hal ini diduga disebabkan karena terjadinya peluruhan sebagian ZnO yang sudah terbentuk sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur lapisan pada beberapa

104 87 bagian. Selain itu, tekanan uap air juga mengakibatkan terjadinya pemampatan lapisan yang menghasilkan struktur yang lebih padat. Gambar 6.2.b menunjukkan bahwa lapisan ZnO yang sudah mengalami proses pasca-hidrotermal memiliki struktur lapisanyang lebih rapat dibandingkan lapisan ZnO hasil sintesis dengan proses CBD. Hal ini mengakibatkan ketebalan lapisan setelah proses PHT-1 menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lapisan ZnO as-synthesized. Hal yang sama juga terjadi pada lapisan ZnO hasil proses PHT-2. Pada varisi proses ini, diameter nanostruktur ZnO mengalami penurunan dengan nilai rata-rata sebesar 306,85 nm. Jika dibandingkan dengan proses PHT-1, lapisan ZnO pada proses PHT-2 memiliki sebaran yang lebih baik (Gambar 6.1.c(i-iii)). Hal yang menarik pada proses ini adalah ZnO yang terbentuk ternyata tidak hanya berupa nanorods saja. Pada beberapa titik, terlihat bahwa nanotubes ZnO juga terbentuk dengan diameter luar yang berukuran hampir sama. Lapisan nanostruktur ZnO ini memiliki ketebalan 1,28 μm (Gambar 6.2.c), dengan struktur film yang paling rata dan padat jika dibandingkan dengan kedua variasi sebelumnya. Data mengenai diameter dan ketebalan lapisan nanostruktur ZnO disajikan dalam Tabel 6.1. Penambahan tekanan eksternal gas N2 sebesar 1 bar sebagai substitusi dari penggunaan waktu dan suhu reaksi hidrotermal terbukti mampu mengurangi kerusakan dan menghasilkan struktur lapisan ZnO yang lebih baik. Dengan mengurangi waktu reaksi dari 3 jam menjadi 1 jam, serta menurunkan suhu reaksi dari 150 o C menjadi 100 o C, resiko terjadinya peluruhan ZnO menjadi lebih kecil. Akibatnya, struktur lapisan yang didapat terlihat lebih padat dan rata, dengan cacat permukaan yang lebih sedikit (Gambar 6.2.b dan Gambar 6.2.c).

105 88 Gambar 6.1. Morfologi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: (a) proses CBD (sampel A) dengan perbesaran i) X, ii) X, dan iii) X; (b) proses PHT-1 (sampel B) dengan perbesaran i) X, ii) X, dan iii) X; serta (c) proses PHT-2 (sampel C) dengan perbesaran i) X, ii) X, dan iii) X. Gambar 6.2. Penampang melintang lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C). Ukuran butir pada sampel yang dianil dengan meggunakan gas nitrogen lebih besar dibandingkan sampel yang dianil dengan udara. Peningkatan ukuran butir tersebut dapat dianggap sebagai pemicu kekosongan (vacancy) oksigen dalam lingkungan gas nitrogen. Konsentrasi kekosongan akan meningkat secara eksponensial dengan naiknya suhu dan berpengaruh pada kinetika pertumbuhan butir dengan mengubah fluks difusi kekosongan oksigen [77,80].

106 89 Analisis morfologi lapisan ZnO dengan menggunakan AFM dapat dilihat pada Gambar 6.3 dan 6.4. Pencitraan 2 dimensi dengan menggunakan AFM menunjukkan bahwa lapisan ZnO as-synthesized terlihat tumbuh dengan profil ketebalan yang tidak merata (Gambar 6.3.a). Hal ini juga ditunjang dengan pencitraan 3 dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 6.4.a. Kondisi ini bersesuaian dengan hasil analisis SEM pada Gambar 6.2.a, dimana lapisan ZnO setelah proses CBD masih belum memiliki arah pertumbuhanyang terorientasi. Hal ini mempengaruhi profil ketebalan lapisan yang selanjutnya ditampilkan dengan bentuk bukit dan lembah dengan ketinggian yang tidak seragam, seperti terlihat pada Gambar 6.4.a. Dengan mengaplikasikan proses PHT-1, terjadi perubahan pada lapisan ZnO dengan tampilan profil yang lebih merata, seperti terlihat pada Gambar 6.3.b dan Gambar 6.4.b. Pada pencitraan 3 dimensi terlihat jelas bahwa lapisan ZnO memiliki ketebalan yang lebih rata dibandingkan proses sebelumnya. Kondisi ini bersesuaian dengan analisis SEM pada Gambar 6.2.b, dimana lapisan ZnO setelah proses PHT-1 tampak memiliki ketebalan yang lebih seragam dibandingkan dengan ZnO setelah proses CBD. Proses PHT-2 juga memberikan hasil pencitraan AFM yang lebih baik, seperti halnya dengan analisis SEM. Gambar 6.3.c menampilkan profil 2 dimensi lapisan dengan ketebalan yang lebih merata, yang didukung dengan profil 3 dimensi sebagaimana terlihat pda Gambar 6.4.c. Hal ini mendukung analisis SEM yang telah dilakukan sebelumnya, yang menunjukkan bahwa lapisan ZnO pada varisi PHT-2 memang memiliki struktur yang paling baik (Gambar 6.2.c). Simões dkk [81] menyatakan bahwa foto AFM menunjukkan bahwa sampel yang dianil dalam lingkungan gas nitrogen menunjukkan peningkatan ukuran butir yang menyiratkan terjadinya pengurangan area batas butir. Proses konduksi terjadi pada elektron pada pita konduksi yang melalui batas butir. Dengan kata lain, perlakuan anil dalam lingkungan gas nitrogen dapat meningkatkan konduktifitas karena adanya fasa sekunder pada lapisan film.

107 90 Gambar 6.3. Pencitraan AFM 2 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C). Gambar 6.4. Pencitraan AFM 3 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C). Tabel 6.1. Diameter nanostruktur dan ketebalan rata-rata lapisan ZnO Sampel Diameter nanostruktur (nm) Ketebalan lapisan ZnO (μm) A 366,16 2,04 B 260,44 1,24 C 306,85 1, Struktur Kristal Lapisan Nanostruktur ZnO Investigasi struktur kristal lapisan ZnO di atas substrat dilakukan dengan X- Ray Diffraction (XRD). Analisis difraktogram menunjukkan bahwa ketiga sampel teridentifikasi sebagai ZnO dengan referensi ICDD no untuk sampel A, serta no untuk sampel B dan C. Secara keseluruhan, terdapat 3 puncak utama dengan intesitas tertinggi, yaitu pada sudut 2θ ~32,~34 dan ~36 o (Gambar 6.5). Ketiga puncak ini berkorelasi dengan kisi 100, 002, 101 dari struktur kritstal wurtzit ZnO. Selain itu, terdapat juga 3 puncak dengan intensitas

108 91 yang jauh lebih rendah, yaitu pada sudut 2θ ~47, ~56, dan ~63 o yang berkorelasi dengan kisi kristal 102, 110 dan 103. Puncak difraksi yang terlihat pada sudut 2θ ~35 o merupakan karakteristik dari kaca ITO, seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 4.8 dalam Sub Bab terdahulu. Pada Sampel A, yaitu sampel lapisan ZnO yang ditumbuhkan dengan proses CBD, terlihat bahwa ketiga puncak dominan muncul dengan nilai intesitas hampir sama (Gambar 6.5.a). Hal ini menunjukkan bahwa sampel memiliki arah pertumbuhan yang acak, yang bersesuaian dengan hasil analisis SEM pada Gambar 6.1.a. Dengan mengaplikasikan perlakuan pasca-hidrotermal (Sampel B dan Sampel C), terlihat bahwa puncak difraksi yang dominan muncul pada 2θ ~34 o, yang merupakan karakteristik untuk kisi (002) (Gambar 6.5.b. dan Gambar 6.5.c). Perlakuan pasca-hisrotermal terbukti menghasilkan puncak struktur dengan arah kristal yang tegak lurus pada sumbu-z. Hal ini bersesuaian dengan analisis SEM yang ditunjukkan pada Gambar 6.1.b dan Gambar 6.1.c. Perbedaan perlakuan pasca-hidotermal memberikan hasil difraktogram yang sedikit berbeda. Pada Sampel B yang mengalami proses PHT-1, puncak kisi (002) memiliki intensitas yang sangat tinggi, jauh melebihi puncak-puncak lain. Sehingga, pada variasi ini seolah-olah terlihat bahwa lapisan ZnO hanya memiliki satu puncak difraktogram saja (Gambar 6.5.b). Sedangkan pada sampel C yang mengalamai proses PHT-2, selain puncak pada kisi [002], terdapat puncak dengan intensitas kecil pada kisi (101) (Gambar 6.5.c). Dengan demikian, berdasarkan difraktogram yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa Sampel B dengan perlakuan PHT-1 merupakan variasi dengan kristalinitas yang paling tinggi. Proses post-annealing dapat memberikan dampak besar pada sifat-sifat film yang terbentuk, seperti kualitas kristal, sifat listrik serta morfologi permukaan. Amoupour dkk telah membuktikan bahwa sampel yang dianil dengan menggunakan gas nitrogen mengindikasikan kristalinitas yang lebih baik dibanding sampel yang dianil di udara. Selain itu, mobilitas elektrik juga mengalami peningkatan pada proses anil dengan menggunakan nitrogen [77].

109 92 Gambar 6.5. Pola difraktogram lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C). Tabel 6.2. Parameter kisi nanostruktur ZnO. Sampel Parameter Kisi a [nm] c [nm] c/a [nm] V [nm 3 ] A 0,32 0,52 1,60 47,63 B 0,32 0,52 1,60 47,67 C 0,32 0,52 1,60 47,73 Perhitungan parameter kisi terrangkum dalam Tabel 6.2. Analisis parameter geometrik lapisan nanostruktur ZnO dilakukan dengan membandingkan metode Scherrer dan Williamson-Hall. Metode Williamson-Hall (W-H) terbagi menjadi 3 jenis asumsi, yaitu Uniform Deformation Model (UDM), Uniform Deformation Stress Model (UDSM), dan Uniform Deformation Energy Density Model (UDEDM). Pada Metode Scherrer, ukuran kristalit dan regangan karena terjadinya dislokasi dapat dihitung dari perluasan puncak difraktogram. Untuk mendapatkan perhitungan yang akurat, maka efek perluasan puncak yang disebabkan oleh interaksi instrumen dan sampel perlu dihilangkan terlebih dahulu. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan material standar untuk menentukan perluasan

110 93 puncak akibat instrumen [82]. Pada penelitian ini, koreksi terhadap perluasan puncak akibat efek instrumen dilakukan dengan mengurangi nilai FWHM puncak difraktogram yang terukur dengan nilai FWHM sampel standar ZnO. Gambar 6.6. Plot kurva analisis Metode Scherrer untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C). Pada metode W-H dengan asumsi UDM, kristal dianggap bersifat isotropik, dimana sifat dan regangan material dianggap sama pada seluruh arah [57,58]. Sementara, dengan asumsi UDSM dan UDEDM, kristal dianggap bersifat anisotropik yang memiliki sifat tidak seragam pada seluruh arah [57,58]. Persamaan Scherrer memiliki ketergantungan pada setiap perubahan 1/cos θ, sedangkan Persamaan Williamson-Hall (W-H) memiliki ketergantungan pada setiap perubahan tan θ. Pada Metode W-H, ukuran kristalit dan regangan mikro terjadi karena refleksi pada pelebaran puncak difraksi [82].

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya

BAB I PENDAHULUAN. Listrik merupakan kebutuhan esensial yang sangat dominan kegunaannya λ Panjang Gelombang 21 ω Kecepatan Angular 22 ns Indeks Bias Kaca 33 n Indeks Bias Lapisan Tipis 33 d Ketebalan Lapisan Tipis 33 α Koofisien Absorpsi 36 Frekuensi Cahaya 35 υ BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI Oleh Yuda Anggi Pradista NIM 101810301025 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

Analisis Struktural Seng Oksida (ZNO) Dari Limbah Dross Galvanisasi

Analisis Struktural Seng Oksida (ZNO) Dari Limbah Dross Galvanisasi Analisis Struktural Seng Oksida (ZNO) ari Limbah ross Galvanisasi Rizqy Novid 1, Amalia Sholehah 1, M. Ikhlasul Amal 2 (1) Jurusan Teknik Metalurgi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Cilegon-Banten,

Lebih terperinci

PERFORMA SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA (DSSC) BERBASIS ZnO DENGAN VARIASI TINGKAT PENGISIAN DAN BESAR KRISTALIT TiO 2 SKRIPSI

PERFORMA SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA (DSSC) BERBASIS ZnO DENGAN VARIASI TINGKAT PENGISIAN DAN BESAR KRISTALIT TiO 2 SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA PERFORMA SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA (DSSC) BERBASIS ZnO DENGAN VARIASI TINGKAT PENGISIAN DAN BESAR KRISTALIT TiO 2 SKRIPSI WULANDARI HANDINI 04 05 04 0716 FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sel surya merupakan suatu piranti elektronik yang mampu mengkonversi energi cahaya (foton) menjadi energi listrik tanpa proses yang menyebabkan dampak buruk terhadap

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 33 Bab IV Hasil dan Pembahasan Pada bab ini dilaporkan hasil sintesis dan karakterisasi dari senyawa yang disintesis. Senyawa disintesis menggunakan metoda deposisi dalam larutan pada temperatur rendah

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR. Jurusan Teknik Material & Metalurgi Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember

SIDANG TUGAS AKHIR. Jurusan Teknik Material & Metalurgi Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember SIDANG TUGAS AKHIR Arisela Distyawan NRP 2709100084 Dosen Pembimbing Diah Susanti, S.T., M.T., Ph.D Jurusan Teknik Material & Metalurgi Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Sintesa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanopatikel merupakan partikel mikroskopis yang memiliki ukuran dalam skala nanometer yaitu < 100 nm. Nanopartikel menjadi kajian yang sangat menarik, karena ketika

Lebih terperinci

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 3 Pendahuluan ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita energi 3,37 ev pada suhu ruang dan 3,34 ev pada temperatur rendah dengan nilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan sumber energi merupakan masalah yang harus segera diselesaikan oleh masing-masing negara termasuk Indonesia. Untuk itu perlu dikembangkan suatu teknologi

Lebih terperinci

SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION

SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION SINTESIS LAPISAN TIPIS SEMIKONDUKTOR DENGAN BAHAN DASAR TEMBAGA (Cu) MENGGUNAKAN CHEMICAL BATH DEPOSITION Yolanda Oktaviani, Astuti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas e-mail: vianyolanda@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memasuki abad 21, persediaan minyak dan gas bumi semakin menipis. Sementara kebutuhan akan energi semakin meningkat, terutama dirasakan pada negara industri. Kebuthan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kimia yang dibantu oleh cahaya dan katalis. Beberapa langkah-langkah fotokatalis

I. PENDAHULUAN. kimia yang dibantu oleh cahaya dan katalis. Beberapa langkah-langkah fotokatalis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah berkembang suatu mekanisme fotokatalis yang menerapkan pemanfaatan radiasi ultraviolet dan bahan semikonduktor sebagai fotokatalis, umumnya menggunakan bahan TiO2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini dunia elektronika mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini dunia elektronika mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini dunia elektronika mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini terlihat dari banyaknya komponen semikonduktor yang digunakan disetiap kegiatan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi peradaban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi peradaban manusia di abad ini. Sehingga diperlukan suatu kemampuan menguasai teknologi tinggi agar bisa

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Graphene merupakan susunan atom-atom karbon monolayer dua dimensi yang membentuk struktur kristal heksagonal menyerupai sarang lebah. Graphene memiliki sifat

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN GELAS TRANSPARAN FTO SEBAGAI BAHAN BAKU SEL SURYA

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN GELAS TRANSPARAN FTO SEBAGAI BAHAN BAKU SEL SURYA LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN GELAS TRANSPARAN FTO SEBAGAI BAHAN BAKU SEL SURYA Disusun Oleh: EVALIKA ASTUTI FAUZIAH I 8310031 FITRI NUR PRATIWI I 8310033 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Energi cahaya matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik melalui suatu sistem yang disebut sel surya. Peluang dalam memanfaatkan energi matahari masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Proses pembangunan disegala bidang selain membawa kemajuan terhadap kehidupan manusia, tetapi juga akan membawa dampak negative bagi lingkungan hidup. Industrialisasi

Lebih terperinci

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS SKRIPSI Oleh : Ahsanal Holikin NIM 041810201063 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL 3 2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL Pendahuluan Bahan semikonduktor titanium oxide (TiO 2 ) merupakan material yang banyak digunakan dalam berbagai

Lebih terperinci

PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL

PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL PENENTUAN PANJANG GELOMBANG EMISI PADA NANOPARTIKEL CdS DAN ZnS BERDASARKAN VARIASI KONSENTRASI MERCAPTO ETHANOL Muhammad Salahuddin 1, Suryajaya 2, Edy Giri R. Putra 3, Nurma Sari 2 Abstrak:Pada penelitian

Lebih terperinci

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC

STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC STUDI AWAL FABRIKASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) DENGAN EKSTRAKSI DAUN BAYAM SEBAGAI DYE SENSITIZER DENGAN VARIASI JARAK SUMBER CAHAYA PADA DSSC Surabaya 27 Januari 2012 Perumusan Masalah B Latar

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI PREKURSOR TERHADAP SIFAT OPTOELEKTRONIK Mn 3O 4

PENGARUH KONSENTRASI PREKURSOR TERHADAP SIFAT OPTOELEKTRONIK Mn 3O 4 PENGARUH KONSENTRASI PREKURSOR TERHADAP SIFAT OPTOELEKTRONIK Mn 3O 4 Amiruddin Zainuddin *), Subaer, Abdul Haris Pusat Penelitian Geopolimer - Lab. Fisika Material Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi yang semakin maju dalam beberapa dekade ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi yang semakin maju dalam beberapa dekade ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang semakin maju dalam beberapa dekade ini mengalami peralihan dari teknologi mikro (microtechnology) ke generasi yang lebih kecil yang dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi yang terus meningkat dan semakin menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam menjadi pendorong bagi manusia untuk mencari sumber energi alternatif.

Lebih terperinci

Efek Doping Senyawa Alkali Terhadap Celah Pita Energi Nanopartikel ZnO

Efek Doping Senyawa Alkali Terhadap Celah Pita Energi Nanopartikel ZnO Efek Doping Senyawa Alkali Terhadap Celah Pita Energi Nanopartikel ZnO Ira Olimpiani,*, Astuti Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar sumber energi yang dieksploitasi di Indonesia berasal dari energi fosil berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi merupakan masalah terbesar pada abad ini. Hal ini dikarenakan pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia sehingga kebutuhan manusia akan sumber energi pun meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang yang kaya akan radiasi matahari yang tinggi, sudah seharusnya Indonesia memanfaatkannya sebagai energi listrik dengan menggunakan sel surya.

Lebih terperinci

SINTESIS TiO 2 NANORODS DAN KOMPOSIT TiO 2 NANORODS - ZnO UNTUK BAHAN FOTOANODA DSSC

SINTESIS TiO 2 NANORODS DAN KOMPOSIT TiO 2 NANORODS - ZnO UNTUK BAHAN FOTOANODA DSSC SINTESIS TiO 2 NANORODS DAN KOMPOSIT TiO 2 NANORODS - ZnO UNTUK BAHAN FOTOANODA DSSC Disusun Oleh : RAHMAT HIDAYAT M0311058 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana

Lebih terperinci

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si

Logo SEMINAR TUGAS AKHIR. Henni Eka Wulandari Pembimbing : Drs. Gontjang Prajitno, M.Si SEMINAR TUGAS AKHIR Add Your Company Slogan STUDI AWAL FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) MENGGUNAKAN EKSTRAKSI BUNGA SEPATU SEBAGAI DYE SENSITIZERS DENGAN VARIASI LAMA ABSORPSI

Lebih terperinci

Pengaruh Temperatur dan Waktu Putar Terhadap Sifat Optik Lapisan Tipis ZnO yang Dibuat dengan Metode Sol-Gel Spin Coating

Pengaruh Temperatur dan Waktu Putar Terhadap Sifat Optik Lapisan Tipis ZnO yang Dibuat dengan Metode Sol-Gel Spin Coating ISSN 2302-8491 Jurnal Fisika Unand Vol. 6, No. 2, April 2017 Pengaruh Temperatur dan Waktu Putar Terhadap Sifat Optik Lapisan Tipis ZnO yang Dibuat dengan Metode Sol-Gel Spin Coating Fitriani *, Sri Handani

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakterisasi luas permukaan fotokatalis menggunakan SAA (Surface Area BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini akan dibahas mengenai preparasi ZnO/C dan uji aktivitasnya sebagai fotokatalis untuk mendegradasi senyawa organik dalam limbah, yaitu fenol. Penelitian ini

Lebih terperinci

Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor

Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor Jurnal Nanosains & Nanoteknologi ISSN 1979-0880 Edisi Khusus, Agustus 009 Distribusi Celah Pita Energi Titania Kotor Indah Nurmawarti, Mikrajuddin Abdullah (a), dan Khairurrijal Kelompok Keahlian Fisika

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 - Juni 2011 di Laboratorium Biofisika dan Laboratorium Fisika Lanjut, Departemen Fisika IPB.

Lebih terperinci

BAB IV PERHITUNGAN & ANALSIS HASIL KARAKTERISASI XRD, EDS DAN PENGUKURAN I-V MSM

BAB IV PERHITUNGAN & ANALSIS HASIL KARAKTERISASI XRD, EDS DAN PENGUKURAN I-V MSM BAB IV PERHITUNGAN & ANALSIS HASIL KARAKTERISASI XRD, EDS DAN PENGUKURAN I-V MSM Pada bab sebelumnya telah diperlihatkan hasil karakterisasi struktur kristal, morfologi permukaan, dan komposisi lapisan.

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KOMPOSISI KIMIA LAPIS TIPIS BAHAN SEMIKONDUKTOR Sn(Se 0,2 S 0.8 ) HASIL PREPARASI TEKNIK VAKUM EVAPORASI UNTUK APLIKASI SEL SURYA

STRUKTUR DAN KOMPOSISI KIMIA LAPIS TIPIS BAHAN SEMIKONDUKTOR Sn(Se 0,2 S 0.8 ) HASIL PREPARASI TEKNIK VAKUM EVAPORASI UNTUK APLIKASI SEL SURYA J. Sains Dasar 2015 4 (2) 198-203 STRUKTUR DAN KOMPOSISI KIMIA LAPIS TIPIS BAHAN SEMIKONDUKTOR Sn(Se 0,2 S 0.8 ) HASIL PREPARASI TEKNIK VAKUM EVAPORASI UNTUK APLIKASI SEL SURYA THE STRUCTURE AND CHEMICAL

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian 28 Bab III Metodologi Penelitian III.1 Tahap Penelitian Penelitian ini terbagi dalam empat tahapan kerja, yaitu : Tahapan kerja pertama adalah persiapan bahan dasar pembuatan film tipis ZnO yang terdiri

Lebih terperinci

Karakterisasi XRD. Pengukuran

Karakterisasi XRD. Pengukuran 11 Karakterisasi XRD Pengukuran XRD menggunakan alat XRD7000, kemudian dihubungkan dengan program dikomputer. Puncakpuncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan nanoteknologi terus dilakukan oleh para peneliti dari dunia akademik maupun dari dunia industri. Para peneliti seolah berlomba untuk mewujudkan karya

Lebih terperinci

#2 Steady-State Fotokonduktif Elektronika Organik Eka Maulana, ST., MT., MEng. Teknik Elektro Universitas Brawijaya

#2 Steady-State Fotokonduktif Elektronika Organik Eka Maulana, ST., MT., MEng. Teknik Elektro Universitas Brawijaya #2 Steady-State Fotokonduktif Elektronika Organik Eka Maulana, ST., MT., MEng. Teknik Elektro Universitas Brawijaya 2015 Kerangka materi Tujuan: Memberikan pemahaman tentang mekanisme efek fotokonduktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia Tenggara. Sebagai negara berkembang, Indonesia melakukan swasembada diberbagai bidang, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oksida konduktif transparan atau transparent conductive oxide (TCO)

BAB I PENDAHULUAN. Oksida konduktif transparan atau transparent conductive oxide (TCO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Oksida konduktif transparan atau transparent conductive oxide (TCO) adalah semikonduktor yang memiliki lebar celah pita energi antara 2,5 4,5 ev (Dengyuan, 2005).

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI LAPISAN ZINC OXIDE (ZnO) NANOROD SEBAGAI LAPISAN TRANSPORT ELEKTRON PADA SEL-SURYA PEROVSKITE

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI LAPISAN ZINC OXIDE (ZnO) NANOROD SEBAGAI LAPISAN TRANSPORT ELEKTRON PADA SEL-SURYA PEROVSKITE Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 05, No. 02 (2015) 24 28 Departemen Fisika FMIPA Universitas Padjadjaran PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI LAPISAN ZINC OXIDE (ZnO) NANOROD SEBAGAI LAPISAN TRANSPORT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Katalis merupakan suatu zat yang sangat diperlukan dalam kehidupan. Katalis yang digunakan merupakan katalis heterogen. Katalis heterogen merupakan katalis yang dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sel surya merupakan salah satu divais elektronik yang dapat mengubah secara langsung energi radiasi matahari menjadi energi listrik. Sel surya merupakan sumber energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti alam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti alam skala nanometer. Material berukuran nanometer memiliki

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING I Dewa Gede Panca Suwirta 2710100004 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia. Sehingga para peneliti terus berupaya untuk mengembangkan sumber-sumber energi

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dye-Sensitized Solar Cells (DSSC) Perkembangan sel surya atau photovoltaic menjadi penelitian yang dikembangkan pemanfaatannya sebagai salah satu penghasil energi. Salah satu

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Zeniar Rossa Pratiwi,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Zeniar Rossa Pratiwi,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan akan energi yang terus meningkat memaksa manusia untuk mencari sumber-sumber energi terbarukan. Sampai saat ini sebagian besar sumber energi berasal

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Produksi H 2 Sampai saat ini, bahan bakar minyak masih menjadi sumber energi yang utama. Karena kelangkaan serta harganya yang mahal, saat ini orang-orang berlomba untuk mencari

Lebih terperinci

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL 4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI SEL SURYA HIBRID ZnO-KLOROFIL 21 Pendahuluan Sel surya hibrid merupakan suatu bentuk sel surya yang memadukan antara semikonduktor anorganik dan organik. Dimana dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuatan lapis tipis semikonduktor merupakan salah satu cara untuk memudahkan aplikasi semikonduktor baik sebagai solar sel maupun fotokatalis dalam degradasi

Lebih terperinci

F- 1. PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA

F- 1. PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA PENGARUH PENYISIPAN LOGAM Fe PADA LAPISAN TiO 2 TERHADAP PERFORMANSI SEL SURYA BERBASIS TITANIA Rita Prasetyowati, Sahrul Saehana, Mikrajuddin Abdullah (a), dan Khairurrijal Kelompok Keahlian Fisika Material

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keterangan Gambar 7 : 1. Komputer 2. Ocean Optic USB 2000 Spektrofotometer

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keterangan Gambar 7 : 1. Komputer 2. Ocean Optic USB 2000 Spektrofotometer 7 Keterangan Gambar 7 : 1. Komputer 2. Ocean Optic USB 2000 Spektrofotometer 3. Sumber Cahaya (Polikromatis) 4. Fiber Optik 5. Holder 6. Samp 7. Gambar 7 Perangkat spektrofotometer UV-VIS. Karakterisasi

Lebih terperinci

Preparasi Lapisan Tipis ZnO Dengan Metode Elektrodeposisi Untuk Aplikasi Solar Cell

Preparasi Lapisan Tipis ZnO Dengan Metode Elektrodeposisi Untuk Aplikasi Solar Cell Preparasi Lapisan Tipis ZnO Dengan Metode Elektrodeposisi Untuk Aplikasi Solar Cell Oleh: Hanif Mubarok 2310100049 Yusuf Hasan Habibie 2310100137 Pembimbing : Ir. Minta Yuwana, MS. Prof. Dr. Ir. Heru Setyawan,

Lebih terperinci

BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI

BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI Pada bab ini dibahas penumbuhan AlGaN tanpa doping menggunakan reaktor PA- MOCVD. Lapisan AlGaN ditumbuhkan dengan variasi laju alir gas reaktan, hasil penumbuhan dikarakterisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fotokatalis telah mendapat banyak perhatian selama tiga dekade terakhir sebagai solusi yang menjanjikan baik untuk mengatasi masalah energi maupun lingkungan. Sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan nanoteknologi terus dilakukan oleh para peneliti dari dunia akademik maupun dari dunia industri. Para peneliti seolah berlomba untuk mewujudkan karya baru

Lebih terperinci

SYNTHESIS THIN LAYER ZnO-TiO 2 PHOTOCATALYSTS SOL GEL METHOD USING THE PEG (Polyethylene Glycol) AS SOLVENTS SCIENTIFIC ARTICLE

SYNTHESIS THIN LAYER ZnO-TiO 2 PHOTOCATALYSTS SOL GEL METHOD USING THE PEG (Polyethylene Glycol) AS SOLVENTS SCIENTIFIC ARTICLE SYNTHESIS THIN LAYER ZnO-TiO 2 PHOTOCATALYSTS SOL GEL METHOD USING THE PEG (Polyethylene Glycol) AS SOLVENTS SCIENTIFIC ARTICLE By NIM 061810301027 DEPARTEMENT OF CHEMISTRY THE FACULTY OF MATHEMATIC AND

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karena tidak akan ada kehidupan di permukaan bumi tanpa energi matahari maka sebenarnya pemanfaatan energi matahari sudah berusia setua kehidupan itu sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi alternatif telah mendorong minat yang besar pada device dan material dengan skala nanometer beberapa tahun terakhir ini. Material berskala nano

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nanoteknologi adalah ilmu yang mempelajari, menciptakan dan merekayasa material berskala nanometer dimana terjadi sifat baru. Kata nanoteknologi berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sel surya merupakan alat yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sel surya merupakan alat yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sel surya merupakan alat yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik DC secara langsung. Sel surya telah diaplikasikan dalam berbagai bidang, salah

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini diulas dalam tiga subbab. Karakterisasi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari 3 macam, yaitu SEM-EDS, XRD dan DRS. Karakterisasi

Lebih terperinci

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI Oleh ARI MAULANA 04 04 04 010 Y SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN PERSYARATAN

Lebih terperinci

PEMBUATAN KONDUKTOR TRANSPARAN THIN FILM SnO2 DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SPRAY PYROLYSIS

PEMBUATAN KONDUKTOR TRANSPARAN THIN FILM SnO2 DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SPRAY PYROLYSIS PEMBUATAN KONDUKTOR TRANSPARAN THIN FILM SnO2 DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK SPRAY PYROLYSIS Syuhada, Dwi Bayuwati, Sulaiman Pusat Penelitian Fisika-LIPI, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15314 e-mail: hadda212@yahoo.com

Lebih terperinci

KERAMIK Mimin Sukarmin, S.Si., M.Pd.

KERAMIK Mimin Sukarmin, S.Si., M.Pd. KERAMIK Mimin Sukarmin, S.Si., M.Pd. m.sukar1982xx@gmail.com A. Keramik Bahan keramik merupakan senyawa antara logam dan bukan logam. Senyawa ini mempunyai ikatan ionik dan atau ikatan kovalen. Jadi sifat-sifatnya

Lebih terperinci

PENGARUH DAYA PLASMA PADA STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT OPTIK FILM TIPIS CdTe YANG DITUMBUHKAN DENGAN DC MAGNETRON SPUTTERING

PENGARUH DAYA PLASMA PADA STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT OPTIK FILM TIPIS CdTe YANG DITUMBUHKAN DENGAN DC MAGNETRON SPUTTERING 134 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 134-138 PENGARUH DAYA PLASMA PADA STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT OPTIK FILM TIPIS CdTe YANG DITUMBUHKAN DENGAN DC MAGNETRON SPUTTERING

Lebih terperinci

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 Sintesis Padatan ZnO dan CuO/ZnO Pada penelitian ini telah disintesis padatan ZnO dan padatan ZnO yang di-doped dengan logam Cu. Doping dengan logam Cu diharapkan mampu

Lebih terperinci

KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2

KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2 KARAKTERISASI TiO 2 (CuO) YANG DIBUAT DENGAN METODA KEADAAN PADAT (SOLID STATE REACTION) SEBAGAI SENSOR CO 2 Hendri, Elvaswer Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang,

Lebih terperinci

Pembuatan Sel Surya Film Tipis dengan DC Magnetron Sputtering

Pembuatan Sel Surya Film Tipis dengan DC Magnetron Sputtering Pembuatan Sel Surya Film Tipis dengan DC Magnetron Sputtering Desty Anggita Tunggadewi 1, Fitria Hidayanti 1 1 Program Studi Teknik Fisika, Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Nasional dtunggadewi@yahoo.co.id,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material dan struktur fungsional dalam skala nanometer. Perkembangan nanoteknologi selalu dikaitkan

Lebih terperinci

Modul - 4 SEMIKONDUKTOR

Modul - 4 SEMIKONDUKTOR Modul - 4 SEMIKONDUKTOR Disusun Sebagai Materi Pelatihan Guru-Guru SMA/MA Provinsi Nangro Aceh Darussalam Disusun oleh: Dr. Agus Setiawan, M.Si Dr. Dadi Rusdiana, M.Si Dr. Ida Hamidah, M.Si Dra. Ida Kaniawati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Intan adalah salah satu jenis perhiasan yang harganya relatif mahal. Intan merupakan kristal yang tersusun atas unsur karbon (C). Intan berdasarkan proses pembentukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita terima bahwa pemakaian energi berbahan dasar dari fosil telah menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. kita terima bahwa pemakaian energi berbahan dasar dari fosil telah menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menipisnya cadangan energi fosil di Indonesia dan kenyataan yang harus kita terima bahwa pemakaian energi berbahan dasar dari fosil telah menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring pertumbuhan penduduk di dunia yang semakin meningkat, kebutuhan akan sumber energi meningkat pula. Termasuk kebutuhan akan sumber energi listrik. Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Spektrum elektromagnetik yang mampu dideteksi oleh mata manusia

BAB I PENDAHULUAN. Spektrum elektromagnetik yang mampu dideteksi oleh mata manusia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Spektrum elektromagnetik yang mampu dideteksi oleh mata manusia berada dalam rentang spektrum cahaya tampak yang memiliki panjang gelombang dari 400 900 nm. Sedangkan

Lebih terperinci

MAKALAH PITA ENERGI. Di susun oleh, Pradita Ajeng Wiguna ( ) Rombel 1. Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisika dan Teknologi Semikonduktor

MAKALAH PITA ENERGI. Di susun oleh, Pradita Ajeng Wiguna ( ) Rombel 1. Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisika dan Teknologi Semikonduktor MAKALAH PITA ENERGI Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fisika dan Teknologi Semikonduktor Di susun oleh, Pradita Ajeng Wiguna (4211412011) Rombel 1 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SEL SURYA

PERKEMBANGAN SEL SURYA PERKEMBANGAN SEL SURYA Generasi Pertama Teknologi pertama yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti adalah teknologi yang menggunakan bahan silikon kristal tunggal. Teknologi ini dalam mampu menghasilkan

Lebih terperinci

1. Semikonduktor intrinsik : bahan murni tanpa adanya pengotor bahan lain. 2. Semikonduktor ekstrinsik : bahan mengandung impuritas dari bahan lain

1. Semikonduktor intrinsik : bahan murni tanpa adanya pengotor bahan lain. 2. Semikonduktor ekstrinsik : bahan mengandung impuritas dari bahan lain 1. Semikonduktor intrinsik : bahan murni tanpa adanya pengotor bahan lain 2. Semikonduktor ekstrinsik : bahan mengandung impuritas dari bahan lain Adalah Semikonduktor yang terdiri atas satu unsur saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modern pada fotokonduktor ultraviolet (UV) membutuhkan material

BAB I PENDAHULUAN. modern pada fotokonduktor ultraviolet (UV) membutuhkan material BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengembangan material semikonduktor tidak lepas dari perkembangan piranti elektronik diantaranya fotokonduktor ultraviolet (UV). Tuntutan aplikasi modern pada

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 commit to user

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 commit to user LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TITANIA PASTA SEBAGAI BAHAN BAKU SEL SURYA Disusun Oleh: ASTRI KURNIAWATI I 8310011 DEVI AYU ANTASARI I 8310021 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian ini menjelaskan proses degradasi fotokatalis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V. 10 larutan elektrolit yang homogen. Pada larutan yang telah homogen dengan laju stirring yang sama ditambahkan larutan elektrolit KI+I 2 sebanyak 10 ml dengan konsentrasi 0.3 M tanpa annealing. Setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis energi saat ini yang melanda dunia masih dapat dirasakan terutama di Indonesia. Pada tahun 2000 hingga tahun 2004 konsumsi energi primer Indonesia meningkat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN TUGAS... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN... v. HALAMAN MOTO...

DAFTAR ISI. PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN TUGAS... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN... v. HALAMAN MOTO... ix DAFTAR ISI PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN TUGAS... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v HALAMAN MOTO... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lapisan tipis merupakan suatu lapisan dari bahan organik, anorganik, metal,

I. PENDAHULUAN. Lapisan tipis merupakan suatu lapisan dari bahan organik, anorganik, metal, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lapisan tipis merupakan suatu lapisan dari bahan organik, anorganik, metal, maupun campuran metal-organik yang dapat memiliki sifat-sifat sebagai konduktor, semikonduktor,

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SONOKIMIA

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SONOKIMIA SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) MENGGUNAKAN METODE SONOKIMIA Astuti * dan Sulastriya Ningsi Laboratrium Fisika Material, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA. SINTESIS NANOTUBE TiO 2 MENGGUNAKAN PROSES HYDROTHERMAL UNTUK PENYISIHAN ZAT WARNA METHYL ORANGE TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA. SINTESIS NANOTUBE TiO 2 MENGGUNAKAN PROSES HYDROTHERMAL UNTUK PENYISIHAN ZAT WARNA METHYL ORANGE TESIS UNIVERSITAS INDONESIA SINTESIS NANOTUBE TiO 2 MENGGUNAKAN PROSES HYDROTHERMAL UNTUK PENYISIHAN ZAT WARNA METHYL ORANGE TESIS LATIFA HANUM LALASARI NPM. 0706174045 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM MAGISTER TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Outlook Energi Indonesia (2014), konsumsi energi dalam berbagai sektor di Indonesia meliputi sektor komersial,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA. KARAKTERISASI NANOPARTIKEL ZnO HASIL SINTESIS DENGAN METODE PRESIPITASI DAN PERLAKUAN PRA- HIDROTERMAL SKRIPSI

UNIVERSITAS INDONESIA. KARAKTERISASI NANOPARTIKEL ZnO HASIL SINTESIS DENGAN METODE PRESIPITASI DAN PERLAKUAN PRA- HIDROTERMAL SKRIPSI UNIVERSITAS INDONESIA KARAKTERISASI NANOPARTIKEL ZnO HASIL SINTESIS DENGAN METODE PRESIPITASI DAN PERLAKUAN PRA- HIDROTERMAL SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas 31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis material konduktor ionik MZP, dilakukan pada kondisi optimum agar dihasilkan material konduktor ionik yang memiliki kinerja maksimal, dalam hal ini memiliki nilai

Lebih terperinci

PENUMBUHAN NANOPARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA PADA SUBSTRAT FTO DENGAN METODE ELEKTRODEPOSISI. Saidatun Khofifah *, Iwantono, Awitdrus

PENUMBUHAN NANOPARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA PADA SUBSTRAT FTO DENGAN METODE ELEKTRODEPOSISI. Saidatun Khofifah *, Iwantono, Awitdrus PENUMBUHAN NANOPARTIKEL TITANIUM DIOKSIDA PADA SUBSTRAT FTO DENGAN METODE ELEKTRODEPOSISI Saidatun Khofifah *, Iwantono, Awitdrus Mahasiswa Program Studi S1 Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah banyak dibangun industri untuk memenuhi kebutuhan manusia. Berkembangnya industri tentu dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, tetapi juga menimbulkan

Lebih terperinci