Ada dua pengertian tentang pengangkatan anak, yaitu : 1. Pengertian Pengangkatan Anak secara Etimologi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Ada dua pengertian tentang pengangkatan anak, yaitu : 1. Pengertian Pengangkatan Anak secara Etimologi"

Transkripsi

1 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengangkatan Anak Ada dua pengertian tentang pengangkatan anak, yaitu : 1. Pengertian Pengangkatan Anak secara Etimologi Pengangkatan anak disebut juga dengan istilah lain yaitu adopsi. Adopsi berasal dari kata adoptie (bahasa Belanda) yang artinya pengangkatan seorang anak untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Sedangkan menurut bahasa Inggris yaitu adoption yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. 2. Pengertian Pengangkatan Anak secara Terminologi Pengertian pengangkatan anak secara terminologi dikemukakan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut : a. Arif Gosita dalam bukunya masalah perlindungan anak, bahwa : Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan (Aris Gosita, 1989:44). b. B. Bastian Tafal di dalam bukunya Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari bahwa pengangkatan anak adalah usaha untuk mengambil anak bukan keturunan dengan maksud untuk

2 8 memelihara dan memperlakukannya sebagai anak sendiri (B. Bastian Tafal, 1983:45). c. Amir Martosedono dalam bukunya Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, bahwa : Anak Angkat adalah anak yang diambil oleh seseorang sebagai anaknya, dipelihara, diberi makan, diberi pakaian, kalau sakit diberi obat, supaya tumbuh menjadi dewasa. Diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan bila nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan orang yang mengangkatnya (Amir Martosedono, 1990:15) d. Shanty Dellyana dalam buku Wanita dan Anak di Mata Hukum bahwa : Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan (Shanty Dellyana, 1988:21). e. Djaja S. Meliala dalam buku Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, bahwa: Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah (Djaja S. Meliala, 1982:3). f. R. Soepomo dalam buku Bab-bab tentang Hukum Adat bahwa : Adopsi atau pengangkatan anak adalah mengangkat anak orang lain. Dengan adopsi atau pengangkatan anak ini timbul hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat seperti hubungan orang tua dengan anak kandung (Soepomo, 1985:76).

3 9 g. Soerojo Wignjodipoero dalam buku Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pengangkatan anak bila dilihat dari sudut anak yang dipungut yaitu sebagai berikut : 1). Mengangkat anak bukan dari kalangan keluarga. Tindakan ini biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga semula, alasan pengangkatan anak adalah takut tidak ada keturunan. Pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan secara resmi dengan upacara adat serta dengan bantuan Kepala Adat. 2). Mengangkat Anak dari kalangan keluarga. Salah satu alasan dilaksanakannya pengangkatan anak adalah karena alasan takut tidak punya anak. Dan yang dilakukan pada masayarakat Bali yaitu dengan mengambil anak yang dari salah satu clan, yaitu diambil dari selir-selir (gundik), apabila istri tidak mempunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat dijadikan anak-anak istrinya. 3). Mengangkat anak dari kalangan keponakan. Perbuatan mengangkat keponakan sebagai anak sendiri biasanya tanpa disertai dengan pembayaran-pembayaran uang ataupun penyerahan-penyerahan sesuatu barang kepada orang tua anak yang bersangkutan. h. Menurut Soerjono Soekanto (2001:251) anak angkat adalah anak orang lain (dalam hubungan perkawinan yang sah menurut agama dan adat) yang diangkat karena alasan tertentu dan dianggap sebagai anak kandung. i. Menurut Wahbah al-zuhaili seperti yang dikutip oleh H. Andi Syamsu Alam dan H.M. Fauzan (2008: 20) Pengangkatan anak (tabanni) adalah pengambilan

4 10 anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya kemudian anak itu di-nasab-kan kepada dirinya. j. Menurut Rifyal Ka bah, dengan mengutip Blackl s Law Dictionary, mengemukakan bahwa adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan (keluarga ) k. Menurut Mahmud Syaltut seperti yang dikutip oleh Muderis Zaini (1995:6), bahwa Tabanni / anak angkat ialah penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya untuk diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasab-nya sendiri. Dari beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para ahli tersebut diatas, pendapat Mahmud Syaltut yang lebih sesuai dengan apa yang dimaksud dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Menurut Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Dari pengertian pengangkatan anak maupun anak angkat yang telah dikemukakan tersebut pada dasarnya adalah sama. Dari pendapat tersebut dapat diambil unsur kesamaan yang ada di dalamnya, yaitu :

5 11 a. Suami istri yang tidak mempunyai anak tersebut mengambil anak orang lain yang bukan keturunannya sendiri. b. Memasukkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarganya, untuk dipelihara, di didik dan sebagainya. c. Memperlakukan anak yang bukan keturunan sendiri sebagai anak sendiri. B. Alasan-Alasan Pengangkatan Anak Takdir Tuhan Yang Maha Esa yang dapat menentukan lain dari keinginan manusia untuk memperoleh anak setelah bertahun-tahun menikah tetapi tidak mempunyai anak maka dalam keadaan yang demikian seseorang melakukan pengangkatan anak. Seseorang melakukan pengangkatan anak ada faktor yang melatarbelakanginya. Disini akan diberikan beberapa alasan atau latar belakang dilakukannya pengangkatan anak oleh para ahli, yaitu sebagai berikut : M. Budiarto (1991:16) dalam bukunya Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, bahwa faktor atau latar belakang dilakukannya pengangkatan anak syaitu: 1. Bagi PNS ada keinginan agar memperoleh tunjangan gaji dari pemerintah. 2. Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak mempunyai anak. 3. Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau sebagai pancingan. 4. Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah dipunyai. 5. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu dan sebagainya.

6 12 Djaja S. Meliala dalam bukunya Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia bahwa seseorang melakukan pengangkatan anak karena latar belakang sebagai berikut : 1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya atau alasan kemanusiaan. 2. Tidak mempunyai anak dan keinginan mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya kelak kemudian di hari tua. 3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah, maka akan dapat mempunyai anak sendiri. 4. Mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. 5. Menambah atau mendapatkan tenaga kerja. 6. Ingin mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga. (Djaja S. Meliala, 1982:4). Shanty Dellyana dalam bukunya Wanita dan Anak di Mata Hukum, menyebutkan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi dilakukannya pengangkatan anak adalah karena: 1. Ingin mempunyai keturunan, ahli waris. 2. Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri. 3. Memberikan teman untuk anak kandung. 4. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihnya terhadap orang lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya. B. Bastian Tafal dalam bukunya yang berjudul Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari, bahwa di Jawa

7 13 anak angkat biasanya diambil dari keponakannya sendiri baik laki-laki atau perempuan beradasarkan alasan-alasan : 1. Memperkuat pertalian keluarga dengan orang tua anak yang diangkat. 2. Menolong si anak karena belas kasihan. 3. Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak itu akan mendapat anak kandung sendiri. 4. Mendapatkan bujang di rumah, yang dapat membantu pekerjaan orang tua sehari-hari (Bastian Tafal, 1983:51). Menurut Muderis Zaini (1995:15), inti dari motif pengangkatan anak yakni: Karena tidak mempunyai anak. 1. Belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya. 2. Belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu). 3. Hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seseorang anak perempuan atau sebaliknya. 4. Pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung. 5. Menambah tenaga dalam keluarga. 6. Bermaksud agar anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak. 7. Adanya unsur kepercayaan. 8. Menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung.

8 14 9. Adanya hubungan keluarga, lagipula tidak mempunyai anak, maka diminta oleh orang tua kandung si anak kepada suatu keluarga tersebut, supaya anaknya dijadikan anak angkat. 10. Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. 11. Ada juga karena merasa belas kasihan atas nasib si anak yang seperti tidak terurus. 12. Mempererat hubungan kekeluargaan. 13. Anak dahulu sering penyakitan atau selalu meninggal, maka anak yang baru lahir diserahkan kepada keluarga atau orang lain untuk diadopsi, dengan harapan anak yang bersangkutan selalu sehat dan panjang umur. Menurut Hilman Hadikusuma (1990:79) pengangkatan anak dilakukan karena alasan-alasan sebagai berikut : 1. Tidak mempunyai keturunan. 2. Tidak ada penerus keturunan. 3. Rasa kekeluargaan dan kebutuhan tenaga kerja. Dari pendapat-pendapat para ahli yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya latar belakang atau sebab-sebab seseorang melakukan pengangkatan anak adalah sama, yaitu yang paling utama adalah karena tidak mempunyai keturunan. Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa lembaga adopsi (pengangkatan anak) merupakan sesuatu yang bernilai positif dan diperlukan dalam masyarakat.

9 15 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dalam hal ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa alasan pengangkatan anak yang dikemukakan oleh Muderis Zaini yang lebih kompleks. Hal ini dikarenakan alasan pengangkatan anak tersebut telah menggambarkan bentuk pengangkatan anak yang diuraikan dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu bentuk pengangkatan anak yang sesuai dengan syariat Islam, pengangkatan anak dalam pengertian ta awun yang diperbolehkan dan dianjurkan dalam Islam yang bertujuan untuk saling tolong menolong antara orang tua angkat dan anak angkat, karena Syari at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang. Selain itu, dengan melihat alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak yaitu untuk kesejahteraan hidup dan masa depan anak, sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Anak, merupakan anugerah tuhan yang paling berharga, tapi ada kalanya tidak semua pasangan beruntung bisa memiliki anak. Pengangkatan anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiaran anak

10 16 angkat diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai "pancingan" agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, saat seseorang memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk merawat si anak. Selain itu juga harus memperhatikan syarat dan prosedur serta hukum tentang pengangkatan anak yang berlaku di negara kita. Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga. b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya. c. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat. d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya (Muderis Zaini, 1995:54). Dari ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

11 17 Syarat-syarat pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah : a. Tidak boleh mengambil anak angkat dari yang berbeda agama, kecuali ada jaminan bahwa anak angkat tersebut akan bisa di Islamkan. b. Orang tua yang mengangkat anak harus benar-benar memelihara dan mendidik anak yang bersangkutan sesuai dengan ajaran yang benar yakni syariat Islam. c. Tidak boleh bersikap keras dan kasar terhadap anak angkat (Evi Kristiana, 2005: 22). Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa syarat pengangkatan anak belum diatur secara khusus dalam hukum Islam. Walaupun dalam hukum Islam tidak diatur secara khusus, dalam pelaksanaannya pengangkatan anak tentunya harus pula mengacu pada peraturan-peraturan hukum positif yang berlaku di Indonesia, salah satunya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Pasal 12 dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, diatur secara khusus tentang syarat-syarat pengangkatan anak yang isinya sebagai berikut: a. Syarat anak yang akan diangkat, meliputi: 1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun 2. Merupakan anak terlantar atau diterlantarkan 3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak 4. Memerlukan perlindungan khusus Usia anak angkat sebagaimana dimaksud huruf a angka 1, meliputi: 1. Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama

12 18 2. Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak 3. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. b. Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: 1. Sehat jasmani dan rohani 2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun 3. Beragama sama dengan agama calon aak angkat 4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan 5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun 6. Tidak merupakan pasangan sejenis 7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak 8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial 9. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak 10. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak 11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat 12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan 13. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial

13 19 D. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Sebagaimana diketahui bahwa lembaga pengesahan pengangkatan anak ditinjau dari sudut litigasi termasuk dalam wilayah yurisdiksi volunteer. Pada wilayah hukum ini pengadilan sama sekali dilarang menerimanya sebagai perkara jika tidak ada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang secara tegas membolehkannya. Apabila dihubungkan dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama perlu diajukan pertanyaan mendasar, apakah ada aturan yang membolehkan Pengadilan Agama untuk menerima permohonan pengesahan pengangkatan anak tersebut. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, memang belum ada aturan yang tegas membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani lembaga hukum tersebut. Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang secara absolut dan limitative menyebut kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan tidak ditemukan satu itempun yang menyebut lembaga hukum tersebut Akan tetapi, kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam yang untuk sementara dipandang sebagai Hukum Materiil Islam, istilah anak angkat secara tegas disebut. Berdasarkan alasan ini pulalah ada beberapa Pengadilan Agama yang secara diam-diam menangani permohonan pengesahan pengangkatan anak versi Islam. Praktek ilegal dari beberapa Pengadilan Agama tersebut ternyata cukup ampuh untuk menciptakan budaya hukum yang kemudian mendapat respon dari para legislator. Menurut Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan (2008: 8) untuk memperkuat landasan hukum praktik penerimaan, memeriksa dan mengadili serta

14 20 menyelesaikan perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan semangat Hukum Islam oleh Pengadilan Agama, serta merespons kuatnya semangat dan aspirasi masyarakat muslim Indonesia untuk mengangkat anak yang sesuai dengan nilai-nilai Hukum Islam, maka pada tanggal 20 April 2006 telah disahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a angka 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Lahirnya Undang-Undang tersebut berarti Pengadilan Agama saat ini memiliki kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak yang berbentuk Penetapan, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk Penetapan. Kemudian bagaimana tata cara penetapan pengangkatan anak versi Islam ini diajukan ke Pengadilan Agama. Pertanyaan mengenai bagaimana tata cara dalam dunia peradilan sudah tentu akan mengacu kepada Hukum Acara. Pertanyaan berikut, hukum acara mana yang akan dipakai oleh Pemohon dan /atau Pengadilan Agama.

15 21 Sebagaimana diketahui, bahwa tidak ada satu pasalpun baik dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 ataupun peraturan perundang-undangan lain yang secara eksplisit menyebut hukum acara tentang penetapan pengangkatan anak ini bagi Pengadilan Agama. Akan tetapi, yang demikian bukan berarti bahwa jika Pengadilan Agama menangani kewenangan tersebut tidak bisa karena tidak ada hukum acaranya. Ketentantuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pada pokoknya telah menegaskan, bahwa hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku bagi peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus oleh undang-undang tersebut. Oleh karena hukum acara tentang penetapan pengangkatan anak tersebut, secara khusus tidak ditemukan dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989, maka harus dilihat hukum acara yang dipakai oleh Peradilan Umum. Secara praktis, dengan kalimat lain, dapat dikatakan bahwa segala aturan hukum acara yang berkaitan dengan penetapan pengangkatan anak yang berlaku bagi peradilan umum, dengan mengacu ketentuan Pasal 54 tersebut, harus dibaca berlaku pula bagi Pengadilan Agama. Kaitannya dengan praktek pengangkatan anak tersebut dapat dikatakan, bahwa segala sesuatu mengenai prosedur yang berkaitan dengan pengesahan pengangkatan anak ini juga berlaku bagi Pengadilan Agama ( Asmu i Syarkowi, 2007: 14). Beberapa aturan mengenai prosedur yang berkaitan dengan pengangkatan anak tersebut adalah : a. Staatblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917.

16 22 b. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. d. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 jo Surat Edaran Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak. f. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008: ). Perlu ditegaskan, bahwa sekalipun pada prinsipnya segala yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut SEMA dan segenap aturan di atas kaitanya dengan praktek penetapan pengangkatan anak di Pengadalin Agama perlu harus dibaca berlaku pula bagi pengadilan Agama akan tetapi kehadirannya harus disikapi secara proporsional. Hal ini disebabkan 2 hal : Pertama, SEMA tersebut terbit jauh sebelum pengangkatan anak versi Islam ini secara yuridis formal belum diakui menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kedua, SEMA tersebut terbit saat aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan Pengangkatan Anak belum ada. Oleh karena itu, ketika kita membicarakan pengangkatan anak versi Islam ini, dalam rangka menyikapi SEMA tersebut kita harus melakukan hal sebagai berikut: a. Oleh karena aturan mengenai pengangkatan anak tersebut, tidak disengaja untuk mengatur pengangkatan anak secara Islam, maka SEMA tersebut atau bahkan semua aturan mengatur tentang pengangkatan anak kita ikuti sepanjang

17 23 tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam tentang pengangkatan anak b. Oleh karena SEMA tersebut terbit saat aturan yang berkaitan dengan anak angkat belum ada, maka kita hurus pula melihat aturan hukum baru mengenai hal serupa. Sebab, aturan hukum tersebut tampaknya saling melengkapi (Asmu i Syarkowi, 2007: 19-20). Selain peraturan-peraturan diatas, dasar hukum pengangkatan anak dalam Hukum Islam yang dapat dijadikan rujukan hakim dalam menetapkan perkara pengangkatan anak adalah: Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disebut KHI dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia selanjutnya disebut Fatwa MUI tahun 1984 pada bulan Jumadil Akhir 1405 H./Maret 1984 tentang adopsi. E. Hukum Acara Peradilan Agama 1. Kewenangan Pengadilan Agama Secara bahasa, kata kekuasaan dapat pula disebut kompetensi atau kewenangan (Djalinus Sjah, Azimar Enong, 1983: 76). Menurut Ridwan Halim (1987: 31-33) dalam konteks kekuasaan kehakiman kata kekuasaan secara yuridis berarti yuridiksi untuk mengadili perkara tertentu, yang dapat dibedakan atas: a. Kompetensi Absolut atau kompetensi mutlak, yaitu kewenangan atau kekuasaan hakim untuk memeriksa suatu perkara ditinjau dari bidang persoalan atau jenis perkara yang dihadapinya, misalnya perkara-perkara perdata yang berkenaan dengan Agama dan Hukum Islam menjadi kompetensi Peradilan Agama, untuk perkara-perkara orang-orang militer menjadi kompetensi Peradilan Militer, perkara-perkara yang bersifat umum menjadi kompetensi

18 24 peradilan umum, sedangkan yang menyangkut keputusan tata usaha negara merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. b. Kompetensi relatif atau nisbi, yaitu kewenangan atau kekuasaan hakim untuk memeriksa suatu perkara dalam lingkungan peradilan yang sama ditinjau dari domisili, daerah atau tempat benda terletak, serta domisili pilihan yang telah ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok- Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka tugas pokoknya ialah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkan pasal tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pengadilan tidak boleh menolak setiap perkara yang diajukan kepadanya selama masih dalam tugas dan wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Menurut penjelasan Umum angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syariah (Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006), sedangkan Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang

19 25 mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding, dan mengadili tingkat pertama dan terakhir terhadap sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan Agama di daerah hukumnya (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). Berdasarkan uraian kewenangan Pengadilan Agama tersebut dapat diketahui bahwa yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa permasalahan hukum antara orang-orang Islam adalah perkara-perkara perdata di bidang: a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Wakaf e. Zakat f. Infaq g. Sadaqah h. Ekonomi syariah (Amanawaty, 2009: 40). Sering dipahami kurang jelas apa saja yang termasuk dalam bidang hukum perkawinan sebagai kewenangan absolut Pengadilan Agama, maka diperlukan adanya penjelasan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syariah, antara lain: a. Izin beristri lebih dari seorang

20 26 b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat c. Dispensasi kawin d. Pencegahan perkawinan e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah f. Pembatalan perkawinan g. Gugatan kelalaian atau kewajiban suami dan istri h. Perceraian karena talak i. Gugatan perceraian j. Penyelesaian harta bersama k. Penguasaan anak-anak l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua p. Pencabutan kekuasaan wali q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut r. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya

21 27 s. Pemberian kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya t. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran v. Putusan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008: 10-11). Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian permohonan pengangkatan anak oleh orang-orang Islam berdasarkan Hukum Islam juga telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan menjadi wewenang absolut Peradilan Agama. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasardasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, tiap penetapan dan putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua dan

22 28 hakim-hakim yang memutus serta panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan dan putusan itu diucapkan, berita acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh ketua dan panitera yang bersidang (Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman). Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding, dan atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara. Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi. 2. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama Istilah peradilan secara etimologi berasal dari kata adil yang mendapatkan awalan per dan akhiran an, yang berarti sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah urusan tentang adil. Dalam bahasa Belanda kata adil dikenal dengan istilah rechtpraak dan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-qadla. Istilah ini secara etimologis dalam Al- Qur an mempunyai bermacam arti. Bisa berarti mengakhiri atau menyelesaikan, menunaikan dan bisa juga berarti memerintahkan (Taufiq Hamami, 2003:34). Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia (Raihan A. Rasyid, 2001:5).

23 29 Sebagaimana diketahui, Peradilan Agama adalah salah satu dari badan-badan Peradilan Khusus di Negara Indonesia untuk melaksanakan kekuasaan di bidang yudisial. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan sebagai berikut: a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. c. Badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Demikian pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang- Undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Badan-badan peradilan ini menurut Henry Panggabean (2001: xxxviixxxviii) mengemban tugas pokok untuk melaksanakan public service di bidang memberikan keadilan. Menurut IRP. Daulay (2004: 14) peradilan merupakan suatu proses persidangan yang diselenggarakan oleh badan-badan pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa atau permasalahan hukum dengan menerapkan hukum yang tepat guna

24 30 menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam melakukan peradilan, pengadilan mengadili berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Semua badan peradilan di Negara Indonesia adalah Peradilan Negara yang ditetapkan dengan undang-undang. Untuk Peradilan Agama diatur dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyebutkan pengertian Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syariah berdasarkan hukum Islam. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa: Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

25 31 Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan negara yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman terhadap perkara perdata bersifat khusus atau tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam di Negara Indonesia yang meliputi bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syariah berdasarkan hukum Islam. 3. Sumber-Sumber Hukum Acara Peradilan Agama Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa: Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Dari ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa Hukum Acara Peradilan Agama selain bersumber dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, juga mengikuti peraturan yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, yaitu sebagai berikut: a. Het Herziene Inlandsche Reglement (HIR) dan Rechts Reglement Buitengewesten (RBg). b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

26 32 e. Kompilasi Hukum Islam. f. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002 jo Perma Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Kewajiban Hakim untuk Melakukan Mediasi untuk Perkara-Perkara Perdata Termasuk Perdata Islam. g. Perma Nomor 3 Tahun 1978 jo Perma Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta. h. Yurisprudensi. i. Dan lain-lain peraturan yang lebih rendah (Amnawaty, 2009: 40). Berdasarkan pemahaman tersebut berarti sumber Hukum Acara Peradilan Agama selain bersumber dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama juga bersumber dari peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana disebut di atas. Hal ini dilakukan dengan mengacu kepada aturan-aturan Hukum Islam karena Peradilan Agama merupakan peradilan bagi orang-orang beragama Islam di Indonesia. F. Putusan dan Penetapan Pengadilan Agama Pengadilan Agama setelah selesai memeriksa perkara maka ia harus mengadilinya atau memberikan putusan dan mengeluarkan produknya. Produk Pengadilan Agama sejak berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989 hanya 2 macam, yaitu: (1) putusan dan (2) penetapan. Sebelumnya ada produk ke (3) yaitu Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3), yang kini tidak ada lagi.

27 33 1. Putusan Pengadilan Agama Putusan disebut juga vonnis (Belanda) atau al-qada u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan tergugat. Produk Pengadilan semacam ini biasanya diistilahkan dengan produk peradilan yang sesungguhnya atau jurisdictio cententiosa (H. Roihan A. Rasyid, 1994: 199). Putusan Peradilan Perdata (Peradilan Agama adalah Perdata) selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi diktum vonis selalu bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya menciptakan (H. Roihan A. Rasyid, 1994: ). Pada dasarnya putusan hakim berisi dan tersusun sebagai berikut: a. Kepala Putusan Di dahului dengan kalimat Bismillahirrahmaanir-rohiim kemudian diikuti dengan kalimat Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b. Identitas para pihak yang berisi nama, umur, alamat penggugat dan tergugat. c. Pertimbangan meliputi tentang duduk perkara (peristiwa hukumnya) tentang dasar putusan (hukumnya). d. Tentang diktum atau amar putusan terdiri dari: Deklaratif yaitu merupakan penetapan dari hubungan hukum yang bukan menjadi sengketa. Despotitif yaitu keputusan yang bersifat memberi hukum atau hukumannya yang berisi mengabulkan gugatan atau menolak gugatan.

28 34 e. Akhirnya suatu putusan hakim harus ditandatangani oleh hakim dan panitera yang melaksanakan pemeriksaan perkara (Amnawati, 2009: 84). Putusan akhir yaitu putusan yang mengakhiri sengketa. Putusan ini ada yang bersifat: a. Putusan Kondemnator Adalah putusan yang bersifat menghukum, artinya kewajiban untuk memenuhi prestasi yang dibebankan oleh hakim. Prestasi itu dapat berwujud memberi, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dalam putusan kondemnator ada pengakuan atau pembenaran hak penggugat atas suatu prestasi yang dituntutnya, atau sebaliknya tidak ada pengakuan atau tidak ada pembenaran atas suatu prestasi yang dituntutnya. Hak atas suatu prestasi yang telah ditetapkan oleh hakim dalam putusan kondemnator dapat dilaksanakan dengan jalan paksaan. b. Putusan Deklarator Adalah putusan yang bersifat menyatakan hukum, atau menegaskan suatu keadaan hukum. Umumnya putusan deklarator terjadi dalam lapangan hukum badan pribadi, misalnya tentang pengangkatan anak, tentang kelahiran, dan lain-lain. Putusan ini bersifat mengadili, karena tidak ada sengketanya. c. Putusan Konstititif Adalah putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya putusan pembatalan perkawinan, pembatalan perjanjian, dan lain-lain. Dalam putusan ini tidak diperlukan pelaksanaan dengan paksaan, karena dengan diucapkannya putusan ini sekaligus

29 35 keadaan hukum lama berhenti dan timbul keadaan hukum baru (Abdulkadir Muhammad, 2000: ). Putusan sela yaitu putusan praeparatoir yaitu putusan hakim yang bertujuan untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara dan memperlancar putusan akhir. a. Putusan interlocutoir yaitu putusan hakim yang berisi perintah untuk mengadakan suatu pemeriksaan yang dapat mempengaruhi putusan akhir. b. Putusan provisionil yaitu putusan hakim yang menetapkan tindakan pendahuluan yang bersifat sementara bagi kepentingan salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara. c. Putusan insedentil yaitu putusan hakim atas suatu perselisihan yang tidak begitu ada hubungan langsung dengan pokok perkara (Amnawaty, 2009: 85). 2. Penetapan Pengadilan Agama Penetapan di sebut al Isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesunggunnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena disana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan (H. Roihan A. Rasyid, 1994: 199). Bentuk dan isi penetapan hampir sama saja dengan bentuk dan isi putusan walaupun ada juga sedikit perbedaanya sebagai berikut:

30 36 a. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat identitas pemohon. Kalaupun disitu dimuat identitas termohon, tapi termohon disitu bukanlah pihak. b. Tidak akan ditemui kata-kata Berlawanan dengan seperti pada putusan. c. Tidak akan ditemui kata-kata Tentang duduk perkaranya seperti pada putusan, melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon. d. Amar penetapan paling-paling bersifat declaratoire atau constitutoire. e. Kalau ada putusan didahului kata-kata memutuskan maka pada penetapan dengan kata menetapkan. f. Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon, sedangkan pada putusan dibebankan kepada salah satu dari pihak yang kalah atau ditanggung bersamasama oleh pihak penggugat dan tergugat tetapi dalam perkara perkawinan tetap selalu kepada penggugat atau pemohon. g. Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau vrijwaring (H. Roihan A. Rasyid, 1994: 200). G. Kerangka Pikir Manusia memang bukan makhluk yang sempurna dalam hal ini mengenai masalah permohonan pengangkatan anak, oleh karena hal tersebut adalah tidak menutup kemungkinan apabila suatu ketika manusia mencoba untuk mencari sesuatu yang lebih baik dalam hal pengangkatan anak dengan maksud dan tujuan yang relevan pastinya, serta mengikuti tata cara dan prosedur yang berlaku dalam undangundang.

31 37 Untuk melihat lebih jelas tentang tata cara dan prosedur permohonan pengangkatan anak dapat dilihat pada bagian berikut ini: SUAMI/ISTERI/PEMOHON PENGAKATAN ANAK PENGADILAN AGAMA ALASAN PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK PERTIMBANGAN HAKIM AKIBAT HUKUM PENETAPAN NO. 03/Pdt. P/ 2008/PA.Lt 1. Bagaimanakah dalam penyelesaian permohonan pengangkatan anak sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perkara permohonan pengangkatan anak Nomor 03/Pdt. P/ 2008/PA.Lahat sejak proses persidangan sampai memberikan putusan akhir. 2. Dalam memberikan putusan, hakim akan melihat apa yang menjadi alasan permohonan pengangkatan anak oleh pemohon/calon orang tua angkat sehingga hal tersebut akan dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dan pertimbangan hukumnya dari perkara permohonan pengangkatan anak tersebut. 3. Setelah hakim memberikan pertimbangan dengan memperhatikan hubungan antara petitum dengan peristiwa yang menyebabkan terjadinya sengketa dan

32 38 hakim akan memberikan perimbangan hukumnya dan mengkhiri persidangan dengan mengeluarkan keputusan yang mana mempunyai akibat hukum bagi pihak yang berperkara (pemohon dan calon anak angkat).

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN

BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN BAB II PENGANGKATAN ANAK MENURUT PP NOMOR 54 TAHUN 2007 A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan anak. Pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi, kata adopsi berasal dari bahasa latin adoptio yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji: RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 tanggal 13 Agustus 2008 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

Lebih terperinci

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota 37 BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA A. Pengertian Pengadilan Agama Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan

Lebih terperinci

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12 KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Lebih terperinci

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hamba- Nya melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya. Secara umum anak adalah seorang

Lebih terperinci

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51 KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA Kewenangan PA dari masa ke masa: Sebelum Kemerdekaan: Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya disebutkan bahwa wewenang PA itu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Oleh: MONA

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec.

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec. SUMBER HUKUM HIR / RBg UU No. 7 / 1989 ttg PA UU No. 3 / 2006 Revisi I UU PA UU No. 50 / 2009 Revisi II UU PA UU No. 14 / 1970 kekuasaan kehakiman UU No. 14 / 1985 ttg MA UU No. 1 / 1974 ttg Perkawinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 PENETAPAN Nomor 09/Pdt. P/2012/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG 1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG Pengadilan Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI DASAR HUKUM PUTUSAN Pengadilan Agama Kendal telah memeriksa dan memberi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA 70 BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA A. Analisis Yuridis Terhadap Dasar Hukum Yang Dipakai Oleh Pengadilan Negeri Jombang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse),

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan gizi tetapi juga masalah perlakuan seksual terhadap anak (sexual abuse), 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang anak adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara naluri insani, setiap pasangan suami isteri berkeinginan untuk mempunyai anak kandung demi menyambung keturunan maupun untuk hal lainnya. Dalam suatu rumah tangga,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEKUENSI HUKUM PENETAPAN PENGADILAN TERKAIT PENGANGKATAN ANAK YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TUNGGAL 2.1 Pengertian Pengangkatan anak Dalam proses pengangkatan anak maka

Lebih terperinci

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM CERAI GUGAT (STUDI PUTUSAN NOMOR : 420/PDT.G/2013/PTA.SBY) A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 004/Pdt.P/2012/PA.SKH. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 004/Pdt.P/2012/PA.SKH. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 004/Pdt.P/2012/PA.SKH. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sukoharjo yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH 66 BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 786/PDT.G/2010/PA.MLG PERIHAL KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DAN IS BAT NIKAH A. Analisis terhadap Pertimbangan Hakim Dalam putusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor /Pdt.G/2014/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor /Pdt.G/2014/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor /Pdt.G/2014/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasir Pengaraian yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM 57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai keturunan bagi keluarga yang tidak memiliki anak, baik yang tidak memiliki anak laki-laki ataupun anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK. tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan

Lebih terperinci

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat guna Mencapai Derajad Sarjana Hukum

Lebih terperinci

P U T U S A N. NOMOR : 54/Pdt.G/2011/PA.Pts DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. NOMOR : 54/Pdt.G/2011/PA.Pts DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR : 54/Pdt.G/2011/PA.Pts بسم الله الرحمن الرحیم DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Putussibau yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95 \ PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat 11610 Telp./Fax. (021) 58352092 sd. 95 E-Mail: info@pa-jakartabarat.go.id ; Website: www.pa-jakartabarat.co.id A. Dasar

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM PUTUSAN Nomor 1278/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna. Salah satu buktinya bahwa manusia diberikan cipta, rasa,

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. 1 Kekuasaan

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS IA CIMAHI NOMOR 4543/PDT.G/2016/PA.CMI TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS IA CIMAHI NOMOR 4543/PDT.G/2016/PA.CMI TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS IA CIMAHI NOMOR 4543/PDT.G/2016/PA.CMI TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA MASIH TERIKAT PERKAWINAN DENGAN ISTRI PERTAMA A. Profil Pengadilan Agama Kelas IA Cimahi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA NEGARA. MAHKAMAH AGUNG. Badan Peradilan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 307/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 307/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 307/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGGUGAT ; MELAWAN TERGUGAT ;

P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGGUGAT ; MELAWAN TERGUGAT ; Salinan Nomor : P U T U S A N 46/Pdt.G/2012/PA.Dgl BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Donggala yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI

SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK. Oleh : Suwardjo. Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI SELAYANG PANDANG TENTANG ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK Oleh : Suwardjo Dosen Fakultas Hukum Universitas surakarta. ABSTRAKSI Hukum perdata di Indonesia baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0213/Pdt.G/2010/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI 1 EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H I EKSEPSI Eksepsi (Indonesia) atau exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) dalam istilah hukum acara

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M 1 Salinan P E N E T A P A N Nomor: XXXX/Pdt.P/2010/PA.Dmk. BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Demak yang memeriksa dan mengadili

Lebih terperinci

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1 54 BAB IV KEKUATAN YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO NO. 0272/Pdt.G/2011/PA.Pwr. DENGAN PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SEMARANG NO. 224/ Pdt.G/2011/PTA.Smg. TENTANG CERAI TALAK A. Kekuatan Yuridis

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor :./Pdt.G/2010/PA.Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor :./Pdt.G/2010/PA.Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor :./Pdt.G/2010/PA.Pso. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK. A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara)

Lebih terperinci

Putusan Nomor : 276/Pdt.G/2011/PA.Pkc. hal. 1 dari 10 hal.

Putusan Nomor : 276/Pdt.G/2011/PA.Pkc. hal. 1 dari 10 hal. PUTUSAN Nomor : 276/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara cerai gugat pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG Menimbang UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara pada umumnya. Sebuah keluarga dibentuk oleh suatu. tuanya dan menjadi generasi penerus bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat di suatu negara. Keluarga yang baik, harmonis, penuh cinta kasih, akan dapat memberi pengaruh yang baik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEMAK PERKARA No. 0033/Pdt.P/2010/PA.Dmk. TENTANG PENGANGKATAN ANAK 1. Analisis sebab terjadinya dissenting opinion dalam proses penyelesaian persidangan perkara

Lebih terperinci

SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc.

SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc. SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara pengangkatan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor /Pdt.G/2013/PA.Ppg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasir Pengaraian yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia berdasarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor: 29/Pdt.P/2011/PA.Ktb. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor: 29/Pdt.P/2011/PA.Ktb. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor: 29/Pdt.P/2011/PA.Ktb. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0220/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0220/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 0220/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo telah memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 5667/PDT.G/2013/PA. Kab Mlg TENTANG PENAMBAHAN NAFKAH ANAK SETIAP PERGANTIAN TAHUN

BAB IV. ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 5667/PDT.G/2013/PA. Kab Mlg TENTANG PENAMBAHAN NAFKAH ANAK SETIAP PERGANTIAN TAHUN BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 5667/PDT.G/2013/PA. Kab Mlg TENTANG PENAMBAHAN NAFKAH ANAK SETIAP PERGANTIAN TAHUN A. Analisis Terhadap Dasar Putusan Hakim Pengadilan Agama Kabupaten

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 PUTUSAN Nomor : 700/ Pdt.G /2013/ PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 BAB III PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006 A. Landasan Hukum Penetapan Harta Bersama Dalam Permohonan Izin Poligami Dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGANGKATAN ANAK ANTAR WARGA NEGARA INDONESIA DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG TESISI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derjat S-2 Program Studi Magister Kenotariatan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 90/Pdt.G/2014/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 90/Pdt.G/2014/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 90/Pdt.G/2014/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci