BAB II TEORI DASAR. 2.1 Prediksi Cuaca Numerik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TEORI DASAR. 2.1 Prediksi Cuaca Numerik"

Transkripsi

1 BAB II TEORI DASAR 2.1 Prediksi Cuaca Numerik Prediksi cuaca numerik merupakan basis dari prediksi cuaca yang dilakukan sekarang ini. Prediksi cuaca numerik dilakukan dengan menyelesaikan persamaan-persamaan fisis yang menggambarkan tingkah laku dan kondisi atmosfer. Teknik ini telah diformulasikan oleh Bjerknes pada sekitar awal abad ke-20, dan solusi naif telah dibuat oleh Richardson pada tahun Dan prediksi numerik pertama kali sukses dilakukan pada tahun 1950 oleh sekelompok ahli meteorologi asal Amerika Serikat: Jule Charney, Philip Thomson, Larry Gates, seorang ahli meteorologi dan ahli matematika terapan asal Norwegia: Ragnar Fjörtoft dan John von Neumann, mereka menggunakan ENIAC digital komputer dalam penelitiannya. Mereka menggunakan bentuk penyederhanaan dari persamaan dinamika atmosfer berdasarkan persamaan vortisitas barotropik (Comet, 1999). Penyederhanaan persamaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi waktu kerja dan memori komputer, sehingga perhitungannya dapat dilakukan oleh komputer primitif yang ada pada saat itu. Namun model generasi selanjutnya menggunakan persamaan dinamika atmosfer dan thermodinamika yang komplit, sehingga prediksi cuaca numerik memerlukan perkembangan lebih lanjut. Pada tahun 1955, prediksi cuaca numerik mulai dikembangkan secara operasional dibawah proyek gabungan dari angkatan udara, angkatan laut, dan badan meteorologi Amerika Serikat. Dan sekitar tahun 60-an, ketika perkembangan komputer mulai pesat, metode prediksi ini menjadi sesuatu yang nyata, walau hanya terbatas pada pusat-pusat penelitian tertentu (Comet, 1999). II - 1

2 Numerical Weather Prediction (NWP) mulai menyebar luas dari beberapa pusat penelitian menjadi lusinan group. Perkembangan dan peningkatan kualitas NWP selama 40 tahun terakhir disebabkan oleh faktor (Kalnay, 2003), yaitu: a) Peningkatan kemampuan supercomputer yang mengizinkan resolusi numerik yang jauh lebih tinggi dan aproksimasi (pendekatan) yang lebih sedikit dalam model atmosfer operasional; b) Representasi yang lebih baik terhadap proses-proses fisik skala kecil (awan, presipitasi, transfer panas turbulen, kelembaban, momentum, dan skema radiasi) dalam model; c) Penggunaan metode yang lebih akurat dalam asimilasi data, yang menghasilkan kondisi awal yang jauh lebih baik bagi model; d) Peningkatan ketersediaan data, terutama data satelit dan data penerbangan di atas lautan dan belahan bumi bagian selatan. Setiap prediksi cuaca numerik pasti memerlukan data valid sebagai kondisi awal (initial state) dan kondisi batas (boundary condition), model yang efisien, dan tentu saja komputer untuk menjalankannya. Ketiganya merupakan modal utama dalam melakukan prediksi cuaca secara numerik. Kelemahan dari metode prediksi cuaca numerik adalah persamaan-persamaan yang digunakan oleh model biasanya tidak benar-benar menggambarkan keadaan atmosfer yang sebenarnya. Beberapa pendekatan dan asumsi digunakan untuk menyederhanakan perhitungan. Beberapa pembatasan juga digunakan untuk mempermudah perhitungan. Fenomena atmosfer yang tidak bisa diamati secara langsung tapi memberikan pengaruh pada proses prediksi, harus diperhitungkan secara numerik. Fenomena semacam ini memerlukan parameterisasi untuk bisa dimasukkan ke dalam persamaan numerik, biasanya dalam bentuk suatu konstanta (Junnaedhi, 2006). Hal-hal semacam ini akan mengarah pada beberapa kesalahan (error) pada hasil prediksi. Ditambah lagi terdapat gap pada data awal karena kita tidak mungkin melakukan observasi cuaca di setiap area di atas gunung ataupun lautan. Jika II - 2

3 keadaan awal tidak diketahui dengan tepat dan lengkap, maka hasil prediksi tidak akan seluruhnya akurat (Comet, 1999). Namun dengan berbagai kemajuan teknik prediksi numerik, kekurangan ini bisa diminimalisasi. Segala aspek prediksi numerik yang menimbulkan error diusahakan untuk diperkecil pengaruhnya terhadap model utama. Berbagai teknik beda hingga dan integrasi waktu dikembangkan untuk tujuan ini. Penggunaan skema numerik dengan orde yang lebih tinggi juga akan membantu mengurangi tingkat kesalahan prediksi, namun dengan tetap mempertimbangkan kestabilan skema itu sendiri (Krishnamurti, 1996). Pemilihan sistem koordinat biasanya lebih berpengaruh pada apa dan dimana fenomena ingin diprediksi. Artinya ini mempengaruhi jenis fenomena atmosfer apa yang ingin dikaji pada prediksi dan dimana lokasi yang ingin diprediksi. Sistem kartesian biasanya digunakan secara umum untuk koordinat horizontal, meskipun ada beberapa yang menggunakan sistem koordinat lainnya. Sedangkan untuk sistem koordinat vertikal biasanya disesuaikan dengan karakteristik permukaan dan parameter atmosfer yang ingin dikaji. Ada beberapa macam sistem koordinat vertikal yang sering digunakan, misalnya koordinat tekanan (p), koordinat sigma (σ), koordinat eta (ή), koordinat isentropik, atau gabungan dari sistem-sistem koordinat tersebut (hybrid) (Comet,1999). CCAM yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan koordinat vertikal sigma (σ) (Gambar 2.1). Koordinat sigma ini dihitung dari tekanan (p) dengan rumus: = tekanan referensi dimana, = tekanan konstan puncak koordinat = tekanan referensi di dasar koordinat Sistem koordinat ini mengikuti kontur permukaan pada bagian dasar koordinat, sedangkan pada bagian puncak koordinat ini tampak makin mendatar (horizontal). Secara fisis tekanan pada suatu level sigma merupakan nilai sigma itu dikali II - 3

4 tekanan dasar. Misal, tekanan dasar di atas permukaan laut 1000 mb, maka pada sigma 0,5 di atas laut tekanannya adalah sekitar 500 mb (Junnaedhi, 2006). Gambar 2.1 Sistem koordinat sigma (σ) (Sumber: Comet Program,1999) Membuat suatu prediksi yang baik dan akurat merupakan hasil dari proses-proses kompleks yang melibatkan berbagai prinsip meteorologi dan berbagai sumber data, termasuk model numerik itu sendiri. Menghasilkan suatu prediksi cuaca yang baik bukanlah perkara yang mudah, dapat dilihat pada Gambar 2.2 yang menggambarkan proses yang begitu rumit dalam melakukan prediksi. Diperlukan pengalaman, usaha, dan kerjasama yang baik untuk menghasilkan suatu prediksi yang bermutu. Gambar 2.2 Komponen prediksi numerik (Sumber: Comet Program, 1999) II - 4

5 2.2 Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) Sejarah singkat dan karakteristik CCAM CCAM atau Conformal Cubic Atmospheric Model adalah suatu terobosan dalam pemodelan meteorologi yang dikembangkan oleh para peneliti dari CSIRO Marine and Atmospheric Research (CMAR), Australia, selama sepuluh tahun terakhir. CCAM memiliki lisensi, sehingga tidak sembarang orang dapat menggunakannya. Pada tahun 2008 model yang memiliki lisensi dari CSIRO ini telah dibeli oleh Dr. Mezak Arnold Ratag (Indonesia) dan di-install pada server cumulus.geoph.itb.ac.id Laboratorium Analisis Meteorologi (Weather and Climate Prediction Laboratory) Program Studi Meteorologi untuk keperluan penelitian. Sehingga penulis memakai lisensi tersebut dari Beliau dalam penelitian tugas akhir ini. CCAM dapat dikatakan unik karena menggunakan grid quasi-uniform atau grid conformal cubic (Schmidt, 1997). Dengan transformasi yang dilakukan oleh Schmidt ini CCAM mampu melakukan stretching pada domain yang ingin dikaji. Dengan cara tersebut, CCAM dapat menghasilkan resolusi yang tinggi pada daerah manapun dibelahan dunia. Dibandingkan dengan hasil nesting dari pendekatan yang dilakukan oleh model area terbatas lainnya, CCAM menghasilkan fleksibelitas yang tinggi untuk dinamika downscaling dari setiap model iklim global. Karena hanya membutukan sea surface temperatures (SSTs), distribusi daratan-lautan, dan beberapa bentuk nudging dari host model-nya (McGregor, 1999). Hal ini menghindari beberapa masalah yang dapat saja muncul ketika menggunakan area terbatas model iklim regional, seperti refleksi pada lapisan batas. Validitas CCAM pada penelitian ini menggunakan validasi yang telah dilakukan sebelumnya oleh John L. McGregor dari CMAR-Australia. Banyak penelitian John L. McGregor yang telah dilakukan, mengingat bahwa beliau merupakan salah satu pelopor peneliti yang mengembangkan model CCAM ini. Gambar 2.3 II - 5

6 merupakan validasi yang dilakukan menggunakan beberapa host model untuk parameter curah hujan harian pada setiap periode musiman. Gambar 2.3 Curah hujan (mm/hari) dari CCAM 60 km domain Australia dan sekitarnya. (Sumber: McGregor, 2006) Dalam beberapa tahun terakhir, CCAM sebagai sebuah variable-resolution model global memilliki berbagai macam keuntungan, yaitu: a) Menghindari refleksi pada daerah batas model (boundary). b) Menghindari kesulitan yang dapat mengganggu model dan model yang dijalankan memiliki bias yang berbeda antara cold biases dan moist biases yang melekat pada modelnya. c) Dapat melakukan penyimpanan sesuai kebutuhan (easy located), karena bahasa scripting-nya menggunakan bahasa pemrograman Bash Persamaan pengatur gerak atmosfer Persamaan dasar yang penting dalam CCAM antara lain adalah momentum horizontal dan temperatur virtual. Jika p s adalah tekanan permukaan, persamaan primitif untuk terrain-dengan mengikuti koordinat sigma (σ), σ = p/p s, dapat dituliskan dengan persamaan-persamaan berikut: II - 6

7 Momentum Horizontal (2.1) (2.2) Dimana v adalah geopotensial (termasuk kontribusi temperatur virtual) dan f adalah parameter Coriolis; R d adalah konstanta gas untuk udara kering, T v temperatur virtual yang dirumuskan oleh: (2.3) Dimana T adalah temperatur dan R v adalah konstanta gas untuk uap air; q adalah mixing rasio uap air. Bentuk menjelaskan kontribusi yang mungkin dari parameterisasi fisis. Penjelasan lengkap untuk persamaan-persamaan dalam CCAM dapat dilihat pada lampiran Koordinat dan transformasi koordinat CCAM Radius bola bumi dirumuskan sebagai R. (X,Y,Z) di defnisikan sebagai koordinat kartesian fisis 3D pada permukaan sperik bola Bumi dengan Z berarah vertikal ke atas pada panel 1, normal terhadap permukaan Bumi. Masing-masing dari range (X,Y,Z) antara R dan R. Pada kasus menggunakan grid yang di-strech, panel yang beresolusi paling tinggi adalah panel 1. Layout panel CCAM dapat dilihat pada Gambar 2.4. Penjelasan lengkapnya terdapat pada lampiran. Gambar 2.4 Layout panel dengan 3 buah orientasi alternatif (Sumber: McGregor. CCAM Geometric Aspects and Dynamical Formulation. Paper No ) II - 7

8 Persamaan gerak dituliskan dalam bentuk koordinat panel 2D (χ,y,p) dimana p adalah jumlah panel 0 p 5, dan pada tiap panel 0 χ πr/2. Untuk N x N titik pada setiap panelnya, nilai χ dan y sama pada resolusi grid model yang dirumuskan dengan. CCAM diformulasikan pada grid yang seragam, yang diperoleh dengan cara memproyeksikan suatu sistem kubus ke permukaan bumi, biasa disebut sebagai proses downscalling. Grid semacam ini ditemukan oleh Rancic dkk (1996), gridnya isotropik kecuali pada delapan puncak grid tunggalnya (model C48, dengan titik grid 48 x 48 yang mempunyai resolusi sebesar 208 km). Titik-titik grid yang digunakan dalam penelitian ini adalah 48x48 (C48) dan 18 level vertikal koordinat sigma. Dapat diilustrasikan dengan Gambar 2.5. Gambar 2.5 Ilustrasi grid box CCAM (Sumber: McGregor, 2005) Dari ilustrasi Gambar 2.5 dapat dilihat bahwa jumlah titik grid untuk setiap sisi dari kubus adalah 48x48 titik grid. Kemudian kubus tersebut ditransformasikan ke bentuk yang menyerupai bola bumi di dalam modelnya. Jika dikalkulasikan, maka akan didapatkan jumlah seluruh titik dalam model adalah 48 x 48 x 6 x 18 = titik. Grid conformal cubic ini memberikan berbagai keuntungan (McGregor, 2005), antara lain: a) Tidak ada titik singular (seperti kutub utara atau selatan). b) Tidak ada boundary yang pokok CCAM sebagai model global. c) Grid-nya dapat di-strech untuk resolusi prediksi yang tinggi (s.d 1 km). d) Streching tersebut dapat ditempatkan di manapun di seluruh belahan bumi. e) Konveksi cumulus menggunakan skema fluks massa terbaru dari CSIRO, termasuk downdrafts. f) Skema vegetasi/kanopi, 6 lapisan untuk temperatur tanah dan 6 lapisan untuk kelembaban tanah (Richard) II - 8

9 Sama seperti model prediksi cuaca pada umumnya, hasil prediksi modelnya sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah, perairan, topografi, tipe tanah, dan tipe tata guna lahan secara signifikan. CCAM akan menentukan data topografi yang diperlukan setelah pengguna model menentukan lintang dan bujur daerah kajiannya. Sebagai catatan bahwa semua koordinat dalam CCAM (termasuk lintang dan bujur) relatif terhadap topografinya. CCAM menyimpan data topografi dalam 3 skala yang berbeda, yaitu: resolusi data topografi 10 km untuk seluruh dunia, 1 km untuk seluruh dunia, dan 250 m untuk benua Australia. Begitu pula dengan data tata guna lahannya, terdapat data global resolusi 1 0 dengan 12 kategori tata guna lahan (SiB), dataset resolusi 6 km untuk benua Australia dengan 33 kategori tata guna lahan (Gratez), dan dataset kondisi tanah global dengan 10 kategori Zobler. Dan juga tersedia dataset ekosistem dari MeteoFrance, yaitu: 1 km data global dengan 215 kategori tata guna lahan, 10 km dataset tanah global (jenis pasir dan tanah lempung) yang dikonversikan ke dalam 10 kategori Zobler (McGregor, 2005). Faktor Schmidt dilambangkan dengan S; contoh nilai dari S adalah: S = 1 (nonstreched), S = 3 (resolusi yang tinggi pada panel 1). Implementasi dari faktor Schmidt pada CCAM menempatkan sistem koordinat (X,Y,Z) terpusat pada panel 1. Penjelasan lebih lengkap terdapat pada lampiran. 2.3 Prediksi Ensemble Sejumlah model prediksi, baik skala global maupun regional, dijalankan untuk membuat prediksi cuaca di seluruh belahan dunia. Dan dilakukan pula penggunaan model prediksi ensemble yang dapat berfungsi untuk menentukan nilai ketepatan hasil prediksi, dengan cara membandingkan hasil prediksi dari beberapa model prediksi cuaca, ataupun dari berbagai hasil running suatu model prediksi cuaca, biasa disebut sebagai member (anggota). II - 9

10 Tiap model prediksi cuaca tentu saja dimulai dengan syarat awal yang sedikit berbeda dikarenakan teknik yang juga berbeda dalam mengasimilasi dan menganalisis data meteorologi. Seperti yang diperlihatkan oleh Edward Lorenz (Comet, 1999), atmosfer dan model prediksi cuaca numerik bersifat chaotic, artinya keduanya sangat sensitif terhadap syarat awal. Ini berarti perbedaan kecil didalam syarat awal dapat menghasilkan perbedaan yang besar dalam rentang waktu berikutnya. Disamping itu, tiap model prediksi juga menggunakan metoda yang berbeda untuk menghitung efek dinamik atmosfer, termasuk perbedaan resolusi vertikal dan horizontal, dan perbedaan sistem koordinat vertikal. Contohnya, NCEP (National Centers for Environmental Prediction) menggunakan koordinat sigma untuk sistem prediksi globalnya, tetapi menggunakan koordinat step-mountain atau eta untuk model regionalnya (model Eta). Tidak hanya efek dinamis, tiap model juga memiliki teknik yang berbeda dalam mengestimasi efek dari proses fisis yang tidak secara rinci dapat dimodelkan. Contohnya proses konveksi, radiasi matahari dan radiasi gelombang panjang, serta proses microphysics yang menghasilkan hujan (Kurniaji, 2009). Satu atau lebih sumber ketidakpastian prediksi cuaca numerik inilah yang menjadi titik awal tercetusnya ide brilian untuk melakukan prediksi cuaca numerik dengan metode ensemble. Prediksi ensemble pada dasarnya merupakan suatu proses running suatu model prediksi cuaca numerik beberapa kali dari intial time yang sama, namun menggunakan kondisi awal yang sedikit berbeda (seperti yang terlihat pada Gambar 2.6). Setiap proses running model prediksi dengan menggunakan berbagai masukan nilai awal akan menghasilkan hasil prediksi yang disebut sebagai ensemble member (anggota ensemble). Rata-rata dari hasil running model tersebut dapat digunakan sebagai suatu hasil prediksi yang sering disebut ensemble mean (Kurniaji, 2009). II - 10

11 Gambar 2.6 Ilustrasi proses prediksi menggunakan metode ensemble (Sumber: Goto, 2007) Para peneliti juga telah melakukan perbandingan dari satu model prediksi yang sama dengan running yang berbeda, dengan melihat bagaimana observasi yang baru dapat mengubah output prediksi model dari waktu ke waktu. Prediksi ensemble merupakan tools yang relatif baru untuk prediksi operasional berbasis perbandingan banyak prediksi model secara saintifik dan lebih rapat (Comet, 1999). Gambar 2.7 Metode prediksi ensemble Lagged Average Forecast (LAF) (Sumber: Kalnay, 2003) Pada tahun 1983, Hoffman dan Kalnay menunjukkan metode lagged average forecast (LAF) dimana prediksi dilakukan tidak hanya pada waktu saat ini (t=0), tetapi juga waktu-waktu sebelumnya (t= τ, 2τ,, (N 1) τ), untuk melakukan prediksi ensemble (Gambar 2.7). Pada setup operasionalnya, τ secara tipikal merupakan prediksi 6, 12, atau 24 jam-an, sehingga prediksi sudah tersedia. Keuntungan dari metode LAF ini adalah: (1) kebanyakan prediksi sudah tersedia pada pusat prediksi, misal: NCEP; (2) sangat mudah untuk dilakukan dan tidak memerlukan generasi gangguan (perturbation) khusus; (3) terdapat error hari ini pada gangguan (perturbation) (Lyapunov vectors). Kalnay dan Hoffman melakukan perbandingan LAF dengan metode prediksi Monte Carlo (salah satu II - 11

12 metode prediksi ensemble (Leith, 1974)), dan mereka menemukan bahwa rata-rata prediksi ensemble menggunakan LAF sedikit lebih baik daripada metode Monte Carlo, namun kelebihan dari LAF adalah skill prediksi yang lebih terlihat, dengan korelasi antara prediksi dengan waktu observasi pada 50% level adalah 0,68 untuk Monte Carlo dan 0,79 untuk LAF (Kalnay, 2003). Gambar 2.8 Diagram spaghetti hasil ensemble (Sumber: Comet Program, 1999) Produk ensemble seperti diagram spaghetti pada Gambar 2.8 menggunakan berbagai macam metode statistik dan grafis untuk membandingkan banyak running model, masing-masing berbasis pada initial condition yang berbeda atau menggunakan konfigurasi dan/atau parameterisasi model yang berbeda. Secara bersamaan, mereka dapat memasukkan informasi mengenai tingkat uncertainty (ketidakpastian) prediksi, hasil prediksi yang bersinggungan, dan probabilitas dari hasil-hasil prediksi tersebut. Dengan menambahkan hasil prediksi ensemble ke toolkit NWP, forecaster mendapatkan tingkat informasi yang lain yang dapat membantu mereka dalam membuat panduan penggunaan NWP yang cerdas dalam proses prediksi mereka (Comet, 1999). Ada dua alasan utama yang mendasari pentingnya prediksi ensemble dilakukan. Pertama adalah ketidakpastian hasil prediksi (uncertainty), yang dapat muncul dari setiap proses sistem NWP, seperti kumpulan data yang dimiliki (sistem observasi), asimilasi data (sistem analisis), dan model prediksinya sendiri (proses dinamik, komputasi, parameterisasi fisis, dll.). Pada penelitian awal yang dilakukan oleh Lorenz pada tahun 1969 dan 1982, dikemukakan bahwa nilai II - 12

13 kesalahan awal dapat berkembang sangat cepat menjadi skala yang berbeda walaupun nilai kesalahan awal tersebut kecil. Faktanya, kesalahan prediksi akan meningkat secara berkelanjutan sesuai dengan integrasi model sebelum proses integrasi ini jenuh. Solusi optimal untuk menangkap serta mengurangi kesalahan prediksi ini (uncertainty) adalah menggunakan prediksi ensemble pada prediksi tunggal (deterministik), karena prediksi ensemble menghasilkan sekumpulan (set) solusi yang acak-bersinggungan-mirip (independen) untuk waktu yang akan datang (Zhu, 2005). Alasan yang kedua adalah masalah prediksi itu sendiri. Hasil prediksi yang memiliki kesalahan untuk rentang waktu prediksi yang lebih lama harus dikuantifikasi. Berkurangnya kesalahan prediksi ensemble dapat meningkatkan kemampuan prediksi jauh lebih tinggi (Zhu, 2005). 2.4 Prediksi Peluang Kejadian Hujan Curah hujan Curah hujan (presipitasi) didefinisikan sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi. Meskipun kabut, embun, dan embun beku (frost) dapat berperan dalam alih kebebasan (moisture) dari atmosfer ke permukaan bumi, unsur tersebut tidak ditinjau sebagai presipitasi. Bentuk presipitasi adalah hujan, gerimis, salju, dan batu es hujan (hail). Hujan adalah bentuk endapan yang sering dijumpai (Bayong, 2004). Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan seluas 1 m 2 adalah 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer. Di daerah tropis hujannya lebih lebat daripada di daerah lintang tinggi (Bayong, 2004). II - 13

14 Gerimis dikategorikan sebagai tetes dengan diameter kurang dari 0,5 mm, intensitasnya 1 mm/jam. Gerimis merupakan tetesan yang sangat kecil dalam jumlah besar yang tampaknya mengapung mengikuti arus udara. Sedangkan hujan merupakan tetes dengan diameter lebih dari 0,5 mm, intensitasnya lebih dari 1,25 mm/jam. Tetes hujan lebih besar tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan gerimis sehingga lebih sedikit mengurangi jarak pandang (visibilitas) kecuali untuk hujan lebat. Hujan lebat sangat terkait dengan intensitas curah hujan yang mengguyur cakupan wilayah yang relatif kecil dalam waktu (durasi) yang singkat, sedangkan curah hujan ringan dan sedang biasanya dikaitkan dengan pola cuaca yang menyebar luas dengan durasi hujan lebih lama. Karena itu durasi hujan pada umumnya berbanding terbalik dengan intensitasnya (Bayong, 2004). Hujan dengan intensitas sangat ringan, terdiri dari tetes-tetes kecil yang hampir tidak mencapai permukaan tanah disebut gerimis (drizzle). Jika tetes-tetes ini menguap seluruhnya sebelum mencapai tanah, maka akan terjadi kabut (mist) atau kabut tipis. Sebagian besar hujan di permukaan bumi disebabkan oleh udara yang tidak stabil secara konvektif atau kondisional, yang berasal dari sumber yang kompleks, misalnya sumber konveksi, orografi, atau siklonis. Karena itu hujan konveksi bukan saja disebabkan oleh pemanasan permukaan, melainkan dapat pula terjadi oleh udara yang naik karena konvergensi di sepanjang front atau karena orografi (Bayong & Sri Woro, 2006) Probability of Precipitation (PoP) dan Probabilistic Quantitative Precipitation Forecast (PQPF) PoP adalah sebuah pengukuran formal untuk peluang curah hujan yang sering dikeluarkan oleh model-model prediksi cuaca. Di prediksi cuaca Amerika, PoP adalah peluang untuk menyatakan bahwa lebih dari 1/100 kemunculan dari satu inchi curah hujan akan turun pada suatu titik, yang telah dirata-ratakan diatas wilayah prediksi. Sebagai contoh, jika terdapat peluang 100% hujan pada satu sisi kota, dan 0% peluang hujan pada sisi lainnya, maka PoP-nya adalah 50%. Peluang II - 14

15 50% kejadian badai hujan pada suatu kota pun ditunjukkan dengan PoP 50% (Amburn, 2007). Definisi secara matematisnya adalah: Dengan: PoP = Probability of Precipitation C = Confidence atau tingkat kepercayaan bahwa hujan akan turun dimanapun pada area prediksinya A = Persen area yang akan menerima curah hujan yang diprediksi, jika semuanya muncul. PQPF menyediakan pendekatan yang paling baik mengenai peluang pada lokasi manapun yang akan menerima sejumlah curah hujan yang sama atau melebihi suatu nilai threshold tertentu. PoP merupakan peluang unconditional dari suatu lokasi yang akan menerima sejumlah curah hujan yang sama atau melebihi suatu nilai curah hujan tertentu, misal 0,01 inchi. PQPF mirip dengan itu, PQPF diturunkan dari PoP dan QPF (Quantitative Precipitation Forecast), namun dihitung untuk peluang dari beberapa nilai curah hujan, misalnya 0,1, 0,5, 1, dan 2 inchi, atau nilai-nilai curah hujan yang lainnya (Amburn, 2007). Dalam penelitian-penelitian tentang prediksi hujan, digunakan PoP dan PQPF sebagai metode untuk mencari nilai ketidakpastian prediksi. Secara fundamental, PoP dihasilkan dari hasil prediksi hujan yang dihasilkan oleh banyak member (anggota) sehingga muncul nilai probabilitas untuk nilai prediksi hujan tertentu. Dari hasil PoP tersebut, didapatkan prediksi nilai hujan yang sering muncul. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Tae-Young Goo et al (2007) menunjukkan nilai threshold hujan dari hasil PoP prediksi untuk 5 harian, yaitu 0,5, 1, 2, 3, 6, 12, 24, 48, dan 72 mm per hari. Namun, dari hasil tersebut hanya ditentukan 2 threshold saja, yaitu 1 mm/hari dan 48 mm/hari, dengan masingmasing sebagai indikator kejadian hujan ringan dan indikator kejadian hujan lebat. Untuk mengevaluasi hasil tersebut, digunakan metode PQPF. Metode ini menghitung nilai-nilai kesalahan dan kebenaran dari hasil prediksi hujan. Secara statistik, metode ini dapat menggunakan threat score sebagai evaluasi hasil II - 15

16 prediksinya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuan Heiling et al (2004) yang menggunakan pendekatan biner (0 dan 1) untuk mengevaluasi threshold hujan. Kejadian yang teramati (lebih besar dari threshold) diberi nilai 1, sebaliknya diberi nilai 0. II - 16

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan dikenal sebagai negara maritim tropis, memiliki banyak sekali keunikan. Dalam hal cuaca misalnya, awan konvektif

Lebih terperinci

PREDIKSI ENSEMBLE MENGGUNAKAN CCAM (CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL) UNTUK PRAKIRAAN PELUANG KEJADIAN HUJAN DI PULAU JAWA

PREDIKSI ENSEMBLE MENGGUNAKAN CCAM (CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL) UNTUK PRAKIRAAN PELUANG KEJADIAN HUJAN DI PULAU JAWA PREDIKSI ENSEMBLE MENGGUNAKAN CCAM (CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL) UNTUK PRAKIRAAN PELUANG KEJADIAN HUJAN DI PULAU JAWA TUGAS AKHIR Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program Sarjana Strata-1

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam penelitian ini digunakan setidaknya 4 jenis data, yaitu data GFS (Global Forecast System) dari NCEP (National Center for Environment Prediction) sebagai initial

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

VERIFIKASI MODEL ATMOSFER WILAYAH TERBATAS DALAM SIMULASI CURAH HUJAN

VERIFIKASI MODEL ATMOSFER WILAYAH TERBATAS DALAM SIMULASI CURAH HUJAN Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 VERIFIKASI MODEL ATMOSFER WILAYAH TERBATAS DALAM SIMULASI CURAH HUJAN Didi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada saat ini pengguna informasi cuaca jangka pendek menuntut untuk memperoleh informasi cuaca secara cepat dan tepat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BKMG) telah

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI JAKARTA

PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI JAKARTA PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI JAKARTA Roni Kurniawan, Donaldi Sukma Permana Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi

Lebih terperinci

Penggunaan Model Simulasi Atmosfer Sebagai Alat Pembelajaran Dalam Pendidikan

Penggunaan Model Simulasi Atmosfer Sebagai Alat Pembelajaran Dalam Pendidikan Penggunaan Model Simulasi Atmosfer Sebagai Alat Pembelajaran Dalam Pendidikan Didi Satiadi & Dadang Subarna Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173 e-mail satiadi@bdg.lapan.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Global Warming Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 C (1.33 ± 0.32 F)

Lebih terperinci

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR Suaydhi 1) dan M. Panji Nurkrisna 2) 1) Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN. 2) Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN CURAH HUJAN HASIL SIMULASI MODEL SIRKULASI UMUM ATMOSFER DENGAN DATA OBSERVASI SATELIT TRMM

PERBANDINGAN CURAH HUJAN HASIL SIMULASI MODEL SIRKULASI UMUM ATMOSFER DENGAN DATA OBSERVASI SATELIT TRMM Perbandingan Curah Hujan Hasil Simulasi Model..(Didi Satiadi) PERBANDINGAN CURAH HUJAN HASIL SIMULASI MODEL SIRKULASI UMUM ATMOSFER DENGAN DATA OBSERVASI SATELIT TRMM Didi Satiadi Peneliti Pusat Pemanfaatan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN LUARAN MODEL GLOBAL ATMOSFER CCAM

PERBANDINGAN LUARAN MODEL GLOBAL ATMOSFER CCAM PERBANDINGAN LUARAN MODEL GLOBAL ATMOSFER CCAM dan GFS di wilayah INDONESIA DAN SEKITARNYA Donaldi Sukma Permana Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jln.

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta Menurut Caljouw et al. (2004) secara morfologi Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

SIMULASI CUACA DAERAH PADANG

SIMULASI CUACA DAERAH PADANG SIMULASI CUACA DAERAH PADANG Dadang Subarna Peneliti Bidang Pemodelan Iklim, LAPAN E-mail:dangsub@yahoo.com Simulasi Cuaca Daerah Padang (Dadang Subarna) RINGKASAN Daerah Padang dan sekitarnya merupakan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

Pembentukan Hujan 1 KLIMATOLOGI

Pembentukan Hujan 1 KLIMATOLOGI Pembentukan Hujan 1 1. Pengukuran dan analisis data hujan 2. Sebaran curah hujan menurut ruang dan waktu 3. Distribusi curah hujan dan penyebaran awan 4. Fenomena iklim (ENSO dan siklon tropis) KLIMATOLOGI

Lebih terperinci

Iklim, karakternya dan Energi. Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T

Iklim, karakternya dan Energi. Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T Iklim, karakternya dan Energi Dian P.E. Laksmiyanti, S.T, M.T Cuaca Cuaca terdiri dari seluruh fenomena yang terjadi di atmosfer atau planet lainnya. Cuaca biasanya merupakan sebuah aktivitas fenomena

Lebih terperinci

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Meteorologi Suhu Udara dan Kehidupan Variasi Suhu Udara Harian Bagaimana Suhu Lingkungan Diatur? Data Suhu Udara Suhu Udara dan Rasa Nyaman Pengukuran Suhu Udara Variasi Suhu Udara

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perputaran air dengan perubahan berbagai bentuk dan kembali pada bentuk awal. Hal ini menunjukkan bahwa volume

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017)

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017) ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017) Adi Saputra 1, Fahrizal 2 Stasiun Meteorologi Klas I Radin Inten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Hujan / Presipitasi Hujan merupakan satu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa, seperti salju, hujan es, embun dan kabut. Hujan terbentuk

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1 ( )

1. PENDAHULUAN. [8 Januari 2006] 1  ( ) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Informasi ramalan curah hujan sangat berguna bagi petani dalam mengantisipasi kemungkinan kejadian-kejadian ekstrim (kekeringan akibat El- Nino dan kebanjiran akibat

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 Diagram alir penelitian. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer 4.1.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer Harian Faktor yang menyebabkan pergerakan vertikal udara antara lain

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif Bab IV Hasil dan Analisis IV.1 Pola Konveksi Diurnal IV.1.1 Pengamatan Data OLR Pengolahan data OLR untuk periode September 2005 Agustus 2006 menggambarkan perbedaan distribusi tutupan awan. Pada bulan

Lebih terperinci

Bab IV Simulasi Metode Monte Carlo Mengatasi Masalah dalam Distribusi Data

Bab IV Simulasi Metode Monte Carlo Mengatasi Masalah dalam Distribusi Data 24 Bab IV Simulasi Metode Monte Carlo Mengatasi Masalah dalam Distribusi Data IV.1 Mengenal Metode Monte Carlo Distribusi probabilitas digunakan dalam menganalisis sampel data. Sebagaimana kita ketahui,

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR) Teknologi mutakhir pada radar cuaca sangat berguna dalam bidang Meteorologi untuk menduga intensitas curah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sampai saat ini, GCM (general circulation models) diakui banyak pihak sebagai alat penting dalam upaya memahami sistem iklim. GCM dipandang sebagai metode yang paling

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Ozon (O 3 ) mempunyai fungsi melindungi bumi dari radiasi sinar Ultraviolet Ozon sekarang ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parameter model adalah unsur - unsur numerik yang merupakan acuan yang dapat menjelaskan batas - batas atau bagian - bagian tertentu dari suatu model (YTSE, 2010).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hujan 1. Pengertian Hujan Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0,5 mm atau lebih. Jika jatuhnya air sampai ke tanah maka disebut hujan,

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA LUARAN MODEL PRAKIRAAN CUACA CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) SEBAGAI INPUT MODEL GELOMBANG WIND WAVE-05

PEMANFAATAN DATA LUARAN MODEL PRAKIRAAN CUACA CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) SEBAGAI INPUT MODEL GELOMBANG WIND WAVE-05 PEMANFAATAN DATA LUARAN MODEL PRAKIRAAN CUACA CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) SEBAGAI INPUT MODEL GELOMBANG WIND WAVE-05 Roni Kurniawan, Suratno, Hastuadi Harsa, M. Nadjib Habibie, Utoyo Ajie

Lebih terperinci

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen 7 radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi. Kebutuhan

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. 1. Pengertian Pemanasan Global

PEMANASAN GLOBAL. 1. Pengertian Pemanasan Global PEMANASAN GLOBAL Secara umum pemanasan global didefinisikan dengan meningkatkan suhu permukaan bumi oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Meski suhu lokal berubah-ubah secara alami, dalam kurun

Lebih terperinci

Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG

Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG KONSEP DASAR Cuaca adalah kondisi dinamis atmosfer dalam skala ruang, waktu yang sempit. Iklim merupakan rata-rata kumpulan kondisi cuaca pada skala ruang/ tempat yang lebih

Lebih terperinci

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN BAB 3 14 Variasi Suhu Udara Harian Pemanasan Siang Hari Pemanasan permukaan bumi pada pagi hari secara konduksi juga memanaskan udara di atasnya. Semakin siang, terjadi perbedaan suhu yang besar antara

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI KEJADIAN

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA. Sebagian besar Wilayah Jawa Timur sudah mulai memasuki musim kemarau pada bulan Mei 2014. Termasuk wilayah Sidoarjo dan

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Perubahan Iklim

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Perubahan Iklim BAB II TEORI DASAR 2.1 Perubahan Iklim Perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Perubahan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

UJI KEMAMPUAN OBSERVASI DAN PRAKIRAAN MENGGUNAKAN MODEL COSMO (STUDI KASUS HUJAN LEBAT DI JAKARTA DAN LAMPUNG 20 FEBRUARI 2017)

UJI KEMAMPUAN OBSERVASI DAN PRAKIRAAN MENGGUNAKAN MODEL COSMO (STUDI KASUS HUJAN LEBAT DI JAKARTA DAN LAMPUNG 20 FEBRUARI 2017) DOI: doi.org/10.21009/03.snf2017.02.epa.05 UJI KEMAMPUAN OBSERVASI DAN PRAKIRAAN MENGGUNAKAN MODEL COSMO (STUDI KASUS HUJAN LEBAT DI JAKARTA DAN LAMPUNG 20 FEBRUARI 2017) Wido Hanggoro a), Linda Fitrotul

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Tabel 3.1 Data dan Sumber No Data Sumber Keterangan. (Lingkungan Dilakukan digitasi sehingga 1 Batimetri

BAB III METODOLOGI. Tabel 3.1 Data dan Sumber No Data Sumber Keterangan. (Lingkungan Dilakukan digitasi sehingga 1 Batimetri BAB III METODOLOGI 3.1 Pengumpulan Data Data awal yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah data batimetri (kedalaman laut) dan data angin seperti pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Data dan Sumber No Data Sumber

Lebih terperinci

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Iklim merupakan rata-rata dalam kurun waktu tertentu (standar internasional selama 30 tahun) dari kondisi udara (suhu,

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan dan intensifikasi penggunaan air, masalah kualitas air menjadi faktor yang penting dalam pengembangan sumberdaya air di berbagai belahan bumi. Walaupun

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

2. Perhatikan tabel tentang kemungkinan kondisi Samudera Pasifik berikut!

2. Perhatikan tabel tentang kemungkinan kondisi Samudera Pasifik berikut! Bidang Studi Kode Berkas : GEOGRAFI : GEO-T01 (soal) Petunjuk Soal 1) Jumlah soal yang diberikan sebanyak 30 soal pilihan ganda 2) Waktu pengerjaan adalah selama 90 menit 3) Penilaian bagi siswa yang menjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena konveksi merupakan fenomena akibat adanya perpindahan panas yang banyak teramati di alam. Sebagai contohnya adalah fenomena konveksi yang terjadi di

Lebih terperinci

Northerly Cold Surge: Model Konseptual dan Pemantauannya

Northerly Cold Surge: Model Konseptual dan Pemantauannya Northerly Cold Surge: Model Konseptual dan Pemantauannya Asteria S. Handayani*, Wido Hanggoro*, Adityawarman**, Rezza Muhammad***, Yuliana Purwanti**, Ardhasena Sopaheluwakan* *) Puslitbang BMKG, **) Pusdiklat

Lebih terperinci

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE Eusebio Andronikos Sampe, Achmad Zakir Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya air hujan adalah jalannya bentuk presipitasi berbentuk cairan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya air hujan adalah jalannya bentuk presipitasi berbentuk cairan yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hujan 1. Pengertian Hujan Hujan adalah bentuk presipitasi yang berbentuk cairan yang turun sampai ke bumi. Presipitasi adalah proses pengembunan di atmosfer. Jadi, proses terjadinya

Lebih terperinci

5/27/2013 AWAN. Pengertian :

5/27/2013 AWAN. Pengertian : VII. Awan dan Hujan - Pengertian/definisi - Proses pembentukan awan dan hujan - Klasifikasi awan - Tipe hujan di Indonesia - Analisis Curah Hujan Wilayah - Jaringan Pengamatan Hujan AWAN Pengertian : Awan

Lebih terperinci

A. Judul : PEMODELAN FUNGSI TRANSFER PADA PERAMALAN CURAH HUJAN DI KABUPATEN BANDUNG

A. Judul : PEMODELAN FUNGSI TRANSFER PADA PERAMALAN CURAH HUJAN DI KABUPATEN BANDUNG A. Judul : PEMODELAN FUNGSI TRANSFER PADA PERAMALAN CURAH HUJAN DI KABUPATEN BANDUNG B. Latar Belakang Informasi tentang curah hujan merupakan perihal penting yang berpengaruh terhadap berbagai macam aktifitas

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hujan adalah sebuah peristiwa Presipitasi (jatuhnya cairan dari atmosfer yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hujan adalah sebuah peristiwa Presipitasi (jatuhnya cairan dari atmosfer yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hujan Hujan adalah sebuah peristiwa Presipitasi (jatuhnya cairan dari atmosfer yang berwujud cair maupun beku ke permukaan bumi) berwujud cairan. Hujan memerlukan keberadaan

Lebih terperinci

Rommy Andhika Laksono Agroklimatologi

Rommy Andhika Laksono Agroklimatologi Rommy Andhika Laksono Agroklimatologi PROSES PEMBENTUKAN AWAN Awan kondensasi uap air di atas permukaan bumi. Udara yang mengalami kenaikan karena tekanan udara di atas lebih kecil daripada tekanan di

Lebih terperinci

2. PEMODELAN STATISTICAL DOWNSCALING

2. PEMODELAN STATISTICAL DOWNSCALING 2. PEMODELAN STATISTICAL DOWNSCALING 2.1 Model Sirkulasi Umum (General Circulation Models:GCM) GCM merupakan penggambaran matematis dari sejumlah besar interaksi fisika, kimia, dan dinamika atmosfer bumi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan kegiatan penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), konsekuensi keruangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang di batasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan

Lebih terperinci

PREDIKSI AWAN CUMULONIMBUS MENGGUNAKAN INDEKS STABILITAS KELUARAN MODEL WRF ARW DI BIMA

PREDIKSI AWAN CUMULONIMBUS MENGGUNAKAN INDEKS STABILITAS KELUARAN MODEL WRF ARW DI BIMA PREDIKSI AWAN CUMULONIMBUS MENGGUNAKAN INDEKS STABILITAS KELUARAN MODEL WRF ARW DI BIMA Puteri Permata Sani 1, Heri Ismanto 2 1, Jakarta 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Email : puteri.permata@bmkg.go.id

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

2 BAB II TEORI DASAR

2 BAB II TEORI DASAR 2 BAB II TEORI DASAR 2.1 Awan Konvektif Di wilayah tropis, sebagian besar hujan umumnya dihasilkan oleh awan-awan cumulus. Awan jenis ini tumbuh karena terjadi karena adanya konveksi, yaitu naiknya udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang begitu pesat dewasa ini sangat mempengaruhi jumlah ketersediaan sumber-sumber energi yang tidak dapat diperbaharui yang ada di permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan. Variasi

Lebih terperinci

Analisis Kondisi Atmosfer Pada Saat Kejadian Banjir Bandang Tanggal 2 Mei 2015 Di Wilayah Kediri Nusa Tenggara Barat

Analisis Kondisi Atmosfer Pada Saat Kejadian Banjir Bandang Tanggal 2 Mei 2015 Di Wilayah Kediri Nusa Tenggara Barat Analisis Kondisi Atmosfer Pada Saat Kejadian Banjir Bandang Tanggal 2 Mei 2015 Di Wilayah Kediri Nusa Tenggara Barat Oleh: Drs. Achmad Sasmito dan Rahayu Sapta Sri S, S.Kel Perekayasa dan Peneliti di Pusat

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi ROMMY ANDHIKA LAKSONO Agroklimatologi Gambar : Pembagian daerah iklim matahari A. Iklim Matahari Iklim matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Pembagiannya

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA STASIUN EKSTRIM METEOROLOGI TERKAIT

Lebih terperinci

UJI SKEMA PARAMETERISASI CUMULUS PADA MODEL WRF-ARW UNTUK PRAKIRAAN HUJAN HARIAN DI SULAWESI TENGGARA

UJI SKEMA PARAMETERISASI CUMULUS PADA MODEL WRF-ARW UNTUK PRAKIRAAN HUJAN HARIAN DI SULAWESI TENGGARA UJI SKEMA PARAMETERISASI CUMULUS PADA MODEL WRF-ARW UNTUK PRAKIRAAN HUJAN HARIAN DI SULAWESI TENGGARA Rino Indra Natsir¹, Syamsul Huda² Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika email : inonk.jogugu@gmail.com

Lebih terperinci

Dosen: Drs. Zadrach L. Dupe, Msi. Program Studi Meteorologi - ITB

Dosen: Drs. Zadrach L. Dupe, Msi. Program Studi Meteorologi - ITB Dosen: Drs. Zadrach L. Dupe, Msi. Program Studi Meteorologi - ITB PROSES TERMAL & PROSES KELEMBABAN NERACA PANAS ATMOSFER & RADIASI NERACA RADIASI Net Radiation Heat Transport Neraca Radiasi Ekuator Kutub

Lebih terperinci

PENGARUH ASIMILASI DATA RADAR C-BAND DALAM PREDIKSI CUACA NUMERIK (Studi Kasus di Lampung)

PENGARUH ASIMILASI DATA RADAR C-BAND DALAM PREDIKSI CUACA NUMERIK (Studi Kasus di Lampung) PENGARUH ASIMILASI DATA RADAR C-BAND DALAM PREDIKSI CUACA NUMERIK (Studi Kasus di Lampung) IMPACT OF C-BAND RADAR DATA ASSIMILATION IN NUMERICAL WEATHER FORECASTS (Case Study in Lampung) Jaka Anugrah Ivanda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data dan Daerah Penelitian 3.1.1 Data Input model REMO dapat diambil dari hasil keluaran model iklim global atau hasil reanalisa global. Dalam penelitian ini data input

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai peristiwa meningkatnya suhu rata-rata pada lapisan

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai peristiwa meningkatnya suhu rata-rata pada lapisan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanasan global (global warming) merupakan isu lingkungan yang hangat diperbincangkan saat ini. Secara umum pemanasan global didefinisikan sebagai peristiwa meningkatnya

Lebih terperinci

Menentukan Solusi Numerik Model Dinamik Suhu dan Tekanan Udara di Atmosfer Dengan Metode Runge Kutta Orde Empat

Menentukan Solusi Numerik Model Dinamik Suhu dan Tekanan Udara di Atmosfer Dengan Metode Runge Kutta Orde Empat JIMT Vol. 9 No. 1 Juni 2012 (Hal. 38-46) Jurnal Ilmiah Matematika dan Terapan ISSN : 2450 766X Menentukan Solusi Numerik Model Dinamik Suhu dan Tekanan Udara di Atmosfer Dengan Metode Runge Kutta Orde

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian perlu dilakukan pemgumpulan data untuk diproses, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk analisis. Pengadaan data untuk memahami

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

AWAN DAN KELEMBABAN BAB. Siklus Air di Atmosfir. Penguapan, Kondensasi, dan Titik Jenuh

AWAN DAN KELEMBABAN BAB. Siklus Air di Atmosfir. Penguapan, Kondensasi, dan Titik Jenuh BAB 5 AWAN DAN KELEMBABAN Siklus Air di Atmosfir Siklus hidrologi: uap air dari benda mati (evaporasi) dan benda hidup (transpirasi), berkondensasi menjadi awan, dan turun sebagai hujan (presipitasi).

Lebih terperinci

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015)

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015) SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015) Rahma Fauzia Y *, Hariadi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *

Lebih terperinci

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA Alamat : Bandar Udara Juanda Surabaya, Telp. 031 8668989, Fax. 031 8675342, 8673119 E-mail : meteojud@gmail.com,

Lebih terperinci

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi. Sekitar 396.000 kilometer kubik air masuk ke udara setiap tahun. Bagian yang terbesar sekitar 333.000 kilometer kubik naik dari samudera. Tetapi sebanyak 62.000 kilometer kubik ditarik dari darat, menguap

Lebih terperinci

APA & BAGAIMANA PEMANASAN GLOBAL?

APA & BAGAIMANA PEMANASAN GLOBAL? APA & BAGAIMANA PEMANASAN GLOBAL? Temperatur rata-rata global 1856 sampai 2005 Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada temperatur rata-rata dari

Lebih terperinci

Buku 1 EXECUTIVE SUMMARY

Buku 1 EXECUTIVE SUMMARY Activities in Vulnerability Assessment of Climate Change Impact along the Ciliwung River Flowing Through Bogor, Depok, and North Jakarta Buku 1 Activities in Vulnerability Assessment of Climate Change

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL LUARAN MODEL PRAKIRAAN CUACA CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) TERHADAP ARPEGE DAN TLAPS

PERBANDINGAN HASIL LUARAN MODEL PRAKIRAAN CUACA CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) TERHADAP ARPEGE DAN TLAPS PERBANDINGAN HASIL LUARAN MODEL PRAKIRAAN CUACA CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) TERHADAP DAN TLAPS Puslitbang BMKG Email: rony_354@bmg.go.id, donaldi@bmg.go.id, rianggi@gmail.com, nangdare@yahoo.com

Lebih terperinci