BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asas-Asas Dalam Ilmu Hukum. Asas Equality Before The Law: 1 asas yang menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Karena itu setiap orang harus diperlakukan sama, memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada pilih kasih atau pandang bulu, satu sama lain mendapat perlakuan yang sama. Asas Lex Superior Deerogat Lex inferiory: 2 asas berlakunya undang-undang, yang menyatakan bahwa undang-undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi. Misalnya, Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah; Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang; dan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD B. Warganegara Menurut Undang-Undang No.12 Tahun Setiap negara mempunyai wewenang untuk menentukan siapakah yang dapat menjadi warga negaranya. Kedaulatan negara dalam menentukan status kewarganegaraan juga diimbangi dengan kebebasan dari warga untuk menentukan hak kewarganegaraannya. Hal ini dinyatakan dalam Artikel 15 Deklarasi Universal HAM tahun 1948 yang berbunyi: setiap orang berhak atas sesuatu 1 Riduan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009, hlm Ibid, hlm

2 kewarganegaraannya. Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraan. 3 Dalam Konstitusi Negara Indonesia yaitu dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat (2) dikatakan bahwa: setiap warga negara dan penduduk diatur dengan undangundang. Di Indonesia terkait dengan pengaturan kewarganegaraan yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dahulu sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia, di Indonesia diberlakukan Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 didasarkan pertimbangan bahwa secara filosofis, yuridis, dan sosiologis UU No. 62 Tahun 1958 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Indonesia. secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuanketentuan yang belum sejalan dengan ketentuan falsafah Pancasila, antara lain karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anakanak. Secara yuridis, landasan konstitusional pemberlakuan undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya 3 Sri Harini Dwiyatmi et al.., Pendidikan Kewarganegaraan, Widya Sari, Salatiga, 2010, hlm

3 persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. 4 Pengertian warga negara menurut Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 yaitu, dikatakan: yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Penjelasan dari bunyi pasal tersebut memberikan penegasan bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri. Sedangkan pengertian dari orang-orang bangsa lain yang dimaksud adalah orang-orang seperti peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, yang mengakui Indonesia sebagai tumpah darahnya dan sikap setia kepada negara Republik Indonesia. 5 Dalam UU No. 12 Tahun 2006 tidak menyebutkan warganegara keturunan (yang dalam hal ini WNI suku Tionghoa), jadi dapat dipahami bahwa baik warga negara suku Tionghoa maupun pribumi asli sudah sama-sama berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI) menurut undang-undang ini. Dengan adanya ketentuan yang baru tersebut diharapkan tidak ada lagi pembedaan penamaan penduduk Indonesia atas golongan pribumi dan keturunan yang dapat memicu konflik antar penduduk di Indonesia. 6 Di dalam Penjelasan Umum I Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, guna untuk menenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal, yaitu asas ius sanguinis, Ius soli dan campuran. 4 Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

4 Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini, sebagai berikut: 1. Asas Ius Sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. 2. Asas Ius Soli (low of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 3. Asas Kewarganegaraan Tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. 4. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun dasar penyusunan Undang-Undang Kewarganegaan Indonesia memiliki Asas-asas khusus diantaranya: 1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri. 2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam negeri maupun di luar negeri. 3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. 4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 14

5 5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hak ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender. 6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya. Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan mengakibatkan orang tersebut memiliki pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan menghasilkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban warganegara, maupun negara yang bersifat timbal balik. Setiap hak-hak warganegara wajib dihormati, dilindungi, dan difasilitasi, serta dipenuhi oleh negara. 7 C. Hukum Agraria Nasional. Dalam tatanan hukum pertanahan nasioanal, hubungan hukum antara orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, serta perbuatan hukumnya terkait dengan tanah, telah diatur dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September Menurut Boedi Harsono, pengertian hukum agraria dalam UUPA bukan hanya satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria sebagai yang diuraikan dalam UUPA. Kelompok bidang hukum tersebut meliputi: 8 7 Ibid, hlm Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006, Hlm

6 a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi. b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air. c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan. d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air. e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur dalam Ruang Angkasa (bukan space law ), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam riang angkasa yang dimaksudkan dalam pasal 48 UUPA. Hadirnya UUPA ini mencabut semua ketentuan peraturan perundangundangan keagrariaan yang berlaku sebelumnya dan menggantikan dengan satu aturan hukum agraria yang bersifat nasional, yang sekaligus UUPA mengakhiri politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis. Dengan berlakunya UUPA ini tidak dikenal lagi istilah hak-hak atas tanah menurut hukum barat seperti hak eigendom, hak postal, hak erfpacht, dan lain sebagainya. Sebagai gantinya dikenal istilah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, dan sebagainya. 9 Hukum agraria nasional ini didasarkan pada hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, serta mengindahkan unsurunsur fundamental di bidang agraria, yaitu perubahan dari hukum agraria kolonial menjadi hukum agrarian nasional yang mempunyai sifat unifikasi hukum (kesatuan hukum), sederhana, dan yang menjamin hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Dasar pemikiran dan landasan politik agraria nasional yang dianut di dalam UUPA yang didasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat. 9 Richard Edy, op.cit, hlm. 1 16

7 Negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik, seperti telah dicantumkan dalam pasal tersebut di atas, Negara cukup bertindak sebagai penguasa untuk memimpin dan mengatur kekayaan nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari ketentuan dalam pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa kekuasaan yang diberikan kepada Negara memberikan kewajiban kepada Negara untuk mengatur pemilikan dan menentukan kegunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah Negara dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 10 Hal yang menyangkut tujuan pokok yang ingin dicapai dengan hadirnya UUPA sebagai hukum agraria Indonesia ini adalah: Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan. 1. Gambaran Hukum Tanah Nasional. 12 Sifat-sifat nasional Hukum Tanah. UUPA memulai dengan menyebutkan dalam Konsiderannya cacat-cacat dan kekurangan-kekurangan Hukum Tanah yang lama, sebagai yang telah dibicarakan dalam Bab II. Berhubung dengan itu hukum tanah yang lama tersebut harus diganti dengan hukum tanah yang baru (Hukum Tanah Nasional). Hukum tanah 10 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni, Bandung, 1986, hlm Supriadi, op.cit, hlm Boedi Harsono, Hukum Agraria Nasional : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya; Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm

8 yang baru ini harus bersifat nasional baik mengenai segi fomal maupun materiilnya. Sifat nasional formal: Sifat nasional formalnya Hukum Tanah Nasional harus harus dibuat oleh pembentuk Undang-Undang Indonesia, dibuat di Indonesia dan disusun dalam bahasa Indonesia. lagipula Hukum Tanah Nasional berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di wilayah negara. UUPA telah memenuhi syarat nasional yang formal itu. Sifat nasional materiil: Sifat nasional materiilnya Hukum Tanah yang baru harus nasional pula, yaitu berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan isinya. Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam Konsiderannya ( Berpendapat huruf a s/d d), bahwa Hukum Agraria/Tanah yang baru itu: a. Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah; b. Harus sederhana; c. Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia; d. Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama; e. Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur; f. Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia; g. Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria; h. Harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, sebagai asas kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa, seperti yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar; i. Harus merupakan pelaksanaan daripada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960; j. Harus melaksanakan pula ketentuan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin 18

9 penggunaannya hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; penggunaan itu bisa secara perseorangan maupun secara gotong royong. 2. Subyek pemegang hak-hak atas tanah. Sesuai dengan asas kebangsaan yang tercantum di dalam Pasal 1 UUPA maka Pasal 9 ayat 1 menentukan, bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Dalam UUPA pengertian warga negara Indonesia yang dimaksudkan ini adalah warga negara Indonesia dalam arti tunggal, dalam UUPA tidak menyebutkan adanya perbedaan antara warga negara Indonesia asli ataupun warga negara Indonesia keturunan. Dalam hubungannya dengan tanah maka hubungan yang sepenuhnya itu adalah hubungan hak milik. Atas dasar ketentuan itu maka Pasal 21 ayat 1 UUPA menetapkan, bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik, bagi orang asing tidak diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah. Bukan hanya hak milik yang tidak dapat dipunyai oleh orang-orang asing, tetapi juga hak guna usaha dan hak guna bangunan (Pasal 30 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1 UUPA). Bagi orang-orang asing hanya terbuka kemungkinan untuk menguasai tanah dengan hak pakai atau hak sewa (Pasal 42 dan Pasal 45), yaitu hak-hak atas tanah yang member wewenang yang terbatas dan berjangka waktu pendek. Sebenarnya orang-orang asing tidak perlu mempunyai tanah sendiri. Untuk keperluan tempat tinggal dan usahanya dapatlah mereka menyewa bangunan-bangunan kepunyaan warga negara Indonesia Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm

10 Di dalam Pasal 21 ayat 3 UUPA masih dibuka kemungkinan bagi orang asing untuk memperoleh dan menguasai tanah hak milik selama waktu 1 tahun. Seorang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA kehilangan kewarganegaraannya diwajibkan melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraannya itu. Selama satu tahun itu ia boleh menguasai tanahnya sebagai pemilik. Ketentuan yang serupa juga terdapat di dalam Pasal 30 ayat 2 UUPA (HGU) dan Pasal 36 ayat 2 UUPA (HGB). Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijkeepersoon), baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan telah memenuhi syarat-syaratnya (Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963), sesuai den Pasal 21 ayat 1 dan 2 UUPA. Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai tanah dengan hak eigendom, baik ia warga negara maupun orang asing, baik ia warga negara maupun orang asing, bahkan badan hukumpun boleh mempunyai hak eigendom, baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. 14 Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat 1 UUPA maka menurut Pasal 21 ayat 1 UUPA hanya warga negara Indonesia saja dapat mempunyai hak milik. sebagaimana telah dijelaskan, bahwa larangan tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan keturunan asing. Dalam pada itu biarpun menurut Pasal 9 ayat 2 UUPA tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara, akan tetapi dalam hak pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan tunggal dan rangkap. 14 Ibid, hlm

11 Berkewarganegaraan rangkap artinya bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia dipunyai pula kewarganegaraan lain. Pasal 21 ayat 4 UUPA menentukan, bahwa selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing. Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, sudah selayaknya orang-orang yang membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan negara lain, dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia tunggal saja. Biarpun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat memiliki tanah, akan tetapi dalam hal-hal tertentu selama waktu yang terbatas UUPA masih memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah atas dasar pertimbangan perikemanusiaan. 15 Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24 September 1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Ketentuan ini berlaku juga terhadap seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 September 1960 kehilangan kewarganegaraannya. Jangka waktu dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu. 16 Berlakunya Pasal 21 ayat 3 UUPA ini, juga berlaku terhadap warganegara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap ataupun jika orang yang awalnya berkewarganegaraan Indonesia tunggal, tetapi kemudian kewarganegaraannya menjadi rangkap. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat 4 UUPA. 15 Ibid, hlm Ibid 21

12 Cara-cara yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat 3 di atas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Ada pun cara-cara yang tidak diperbolehkan karena dilarang oleh Pasal 26 ayat 2 UUPA, seperti jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, atau badan hukum yang tidak ditetapkan oleh pemerintah, dalam waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bahwa dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan. Kalau hak milik itu dilepaskan maka hak tersebut menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara. Maksudnya, setelah itu bekas pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali tanah yang bersangkutan dengan hak yang dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing diberikan hak pakai dan bagi orang Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. 17 Tujuan dari pada ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA itu adalah pada satu pihak untuk mengakhiri pemilikan tanah yang bertentangan dengan asas Pasal 9 ayat 1 UUPA dan ketentuan Pasal 21 ayat 1 dan pada lain pihak memberikan kesempatan kepada pemilik untuk mengakhiri pemilikan itu dengan cara yang dianggap sesusai dengan kepentingannya. Maka tidaklah keberatan jika di dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut hak miliknya dialihkan kepada pihak lain asal pihak yang menerima peralihan itu memenuhi syarat sebagai pemilik. Sebagai seorang pemilik ia memang berwenang untuk mengalihkan haknya itu. Kemungkinan yang kedua serupa mengenai hak guna usaha (Pasal 30 ayat 2 UUPA) dan hak guna bangunan (Pasal 36 ayat 2 UUPA). 18 Menurut Pasal 21 ayat 3 UUPA maka hak miliknya menjadi hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain 17 Ibid, hlm Ibid, hlm

13 yang membebaninya tetap berlangsung. Maksud hapus karena hukum artinya bahwa hak milik itu hapus dengan sendirinya atas kekuatan ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA setelah jangka waktu satu tahun tersebut habis. Dengan demikian, maka untuk hapusnya hak milik itu tidak disyaratkan adanya suatu keputusan dari instansi manapun, baik pengadilan maupun eksekutif. Tidak diperlukan adanya keputusan yang bersifat kontitutif. Tetapi biarpun demikian agar ada ketegasan bagi pihak-pihak yang berkepentingan (bekas pemilik, instansi-instansi agraria, khususnya Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang berkewajiban untuk mencatatnya dan pihak ketiga) maka hapusnya hak tersebut sebaiknya ditegaskan dengan suatu surat keputusan dari instansi agraria yang berwenang. 19 Surat keputusan itu bersifat deklaratoir, yaitu untuk menegaskan atau menyatakan berlakunya ketentuan Pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut terhadap hak milik yang bersangkutan. Instansi yang berwenang mengeluarkan surat keputusan yang dimaksudkan itu menurut PMDN No. 1 Tahun 1967 adalah Menteri Dalam Negeri / Direktur Jenderal Agraria. 20 Adapun kemungkinan bila tanah hak milik menjadi kepunyaan bersama dari orang WNI tunggal dan orang asing atau WNI yang berkewarganegaraan rangkap, hal ini sebenarnya tidak diatur secara tegas, tetapi dalam buku Eddy Ruchiyat yang berjudul Politik Pertanahan diggunakan analogi, bahwa pihak pemilik bersama yang tidak mempunyai syarat juga berkewajiban untuk mengakhiri pemilikannya di dalam jangka waktu satu tahun. Jika kewajiban itu tidak dipenuhi, maka bukan bagiannya saja yang menjadi hapus tetapi hak milik itu seluruhnya dan tanahnya menjadi tanah Negara. Hak milik itu tidak dapat hapus sebagian saja karena merupakan kepunyaan bersama, hingga tidak dapat ditentukan bagian tanah yang mana kepunyaan pihak yang tidak memenuhi syarat itu. Sebaliknya jika hak pemilik bersama itu tidak dihapus, maka akan timbul keadaan di mana seorang yang tidak memenuhi syarat dapat terus mempunyai hak 19 Ibid. hlm Ibid 23

14 milik. Adapun perlindungan hukum bagi pihak yang memenuhi syarat atas pemilikan bersama, bahwa setelah tanah yang bersangkutan menjadi tanah Negara maka pihak yang memenuhi syarat mempunyai proritas utama untuk memintanya kembali dengan hak milik, dengan kewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada Negara sebesar bagian dari bekas pemilik bersama yang tidak memenuhi syarat itu Hak Atas Tanah : Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Dalam bunyi UUD 1945 Pasal 28H ayat (4) yang mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) dikatakan bahwa: setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hak kepemilikan pribadi tersebut juga kaitannya dengan hak milik atas tanah yang diberikan kepada tiap warga negara Indonesia, dan hak milik yang dimiliki oleh warga negara tersebut harus dilindungi dan tidak boleh diambil oleh negara yang dalam hal ini pemerintah maupun pemerintah daerah secara sewenang-wenang. Hak-hak atas tanah yang akan dibahas disini meliputi: Hak Milik dan Hak Guna Bangunan saja. Pembahasan dari kedua hak atas tanah tersebut dikarenakan hanya kedua hak atas tanah tersebut yang dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 1. Hak Milik (HM). Pengaturan yang mengatur terkait dengan hak milik atas tanah oleh UUPA diatur dalam Pasal 20 s/d Pasal 27 UUPA, sampai sekarang belum ada undangundang tersendiri yang mengatur mengenai hak milik, yang memang perlu dibuat berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UUPA. Pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA, yakni: 21 Ibid, hlm

15 (1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 UUPA (semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial). (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sifat dari hak milik membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. 22 Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukan, bahwa di antara hakhak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang ter (artinya: paling) kuat dan terpenuh. 23 Jadi, sifat khas dari hak milik ialah hak yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh. Bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti hak itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, hak tersebut wajib didaftarkan. 24 Hak milik mempunyai sifat turun-temurun, artinya dapat diwarisi oleh ahli waris yang mempunyai tanah. Hal ini berarti Hal ini berarti hak milik tidak ditentukan jangka waktunya seperti misalnya, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Hak milik tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya, melainkan kepemilikannya akan dilanjutkan oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Tanah yang menjadi objek hak milik (hubungan 22 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan. 2000, hlm Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama, Djilid Kedua, Jakarta, Djambatan, 1971, hlm

16 hukumnya) itu pun tetap, artinya tanah yang dipunyai dengan hak milik tidak berganti-ganti, melainkan tetap sama. 25 Terpenuh maksudnya hak milik itu memberikan wewenang yang paling luas kepada yang memenuhi hak jika dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Hak milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya, seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang dari hak milik: menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain, karena hak milik adalah hak yang paling penuh, sedangkan hak-hak lainnya itu kurang penuh. 26 Jika dilihat dari peruntukannya, hak milik tidaklah terbatas. Adapun hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, juga hak guna usaha terbatas hanya untuk keperluan usaha pertanian dan bisa untuk bangunan. Selama tidak ada pembatasan-pembatasan dari pihak penguasa, maka wewenang dari seorang pemilik tidak terbatas. Seorang pemilik bebas dalam mempergunakan tanahnya. Pembatasan itu ada yang secara umum berlaku terhadap masyarakat, dan ada juga yang khusus, yaitu terhadap tanah yang berdampingan, harus saling berdampingan, harus saling menghormati, tidak boleh memperkosa. 27 Setelah melihat pengertian dari hak milik yang diatur dalam UUPA, hak milik atas tanah juga memiliki sifat dan ciri-ciri, hal tersebut juga terdapat dalam UUPA. Sifat dan ciri-ciri hak milik adalah sebagai berikut: Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus didaftarkan. (Pendaftaran yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas pemilikan tanah tersebut. Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian mengenai orang / badan hukum yang menjadi pemegang hak yang disebut juga dengan kepastian 25 Ibid. 26 Adrian Sutedi, op.cit, hlm Ibid. 28 Boedi Harsono, op.cit, hlm

17 mengenai subjek hak, disamping itu juga mengenai letak batas-batasnya serta luas bidang-bidang tanah yang juga disebut dengan kepastian mengenai objek hak 29 ). Terkait pengaturan yang mengatur pendaftaran hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UUPA, yang menyatakan: (1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 (Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk menjamin kepastian hukum, yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. 2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal 20 UUPA). 3. Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo. Pasal 26 UUPA). 4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang. Hak milik sebaliknya tidak dapat berinduk pada hak atas tanah lainnya. 5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 25 UUPA). 6. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 27 UUPA). 7. Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat (3) UUPA). 29 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm

18 Adapun juga bahwa batas waktunya hak milik atas tanah tidak terbatas tergantung dari pemilik tanah tersebut. 30 Meskipun hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh dibandingkan dengan hak-hak lainnya, hak milik juga memiliki fungsi sosial seperti hak-hak lainnya (Pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung arti bahwa hak milik atas tanah tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin bermanfaat bagi orang lain atau kepentingan umum bila keadaan memang memerlukannya. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh menganggu ketertiban dan kepentingan umum. 31 Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA, dikatakan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia hanyalah: 32 a. Warga Negara Indonesia (WNI). b. Badan-Badan Hukum yang ditunjuk Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, tertanggal 19 Juni 1963, yakni: 1. Bank-Bank Negara: - Bank Indonesia. - Bank Dagang Negara. - Bank Negara Indonesia Koperasi Pertanian. 3. Badan-Badan Sosial. 4. Badan-Badan Keagamaan. Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang sudah dipunyai sejak tanggal 24 September 1960 (sebelum berlakunya UUPA), sedang sesudah tangga; tersebut diberikan hak guna bangunan atau hak pakai Ibid, hlm Purnadi Halim Purbacaraka, Sendi0Sendi Hukum Agraria, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hlm Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002, hlm Soedharyo Soimin, Statua Hak dan Pembebasan Tanah, edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm

19 Bahwa selain dari badan-badan hukum diatas ini tidak diberikan hak milik atas tanah, melainkan hanya diberi hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), dan hak pakai (HP). Pemberian hak selain hak milik tersebut dengan pertimbangan bahwa badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik. 34 Dalam hal ini dapat dilihat bahwa badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik adalah badan-badan hukum yang erat kaitannya dengan keagamaan, sosial, dan hubungan perekonomian. Sedangkan untuk kepemilikan tanah dengan hak milik bagi warga negara asing (WNA) di Indonesia tetap dilarang, hal tersebut termaktum dalam bunyi Pasal 24 ayat (4) UUPA, yang menyatakan: selama seorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini. Bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA menyatakan bahwa: orang asing yang sudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik, karena pewarisan tanpa wasiat, atau percampruan harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung. Dari bunyi Pasal 21 ayat (3) UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa dimungkinkan WNA dapat memiliki hak milik atas tanah tetapi jangka waktunya hanya satu tahun, setelah satu tahun hak milik tersebut harus dilepaskan kepada subyek hukum yang memenuhi syarat. Karena jika WNA tersebut tidak melepaskan hak milik tersebut, hak tersebut akan hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara dengan sendirinya. Di Indonesia salah satu hak dari warga negara yang harus dilindungi dan diakui oleh negara adalah hak warga negara untuk berhak memiliki hak milik atas 34 H. Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, hlm

20 tanah, yang hak milik atas tanah tersebut merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, terkecuali yang tidak dapat diberikan hak milik atas tanah di Indonesia adalah warga negara asing (WNA) dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. bagi mereka yang ingin menggunakan dan mengelola tanah di Indonesia oleh pemerintah hanya diberikan hak pakai atas tanah saja. Terkaitannya dengan proses terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, hal tersebut terdapat didalam Pasal 22 UUPA. Proses terjadinya hak milik tersebut dapat terjadi berdasarkan: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak milik terjadi karena: a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. b. Ketentuan Undang-Undang. Bahwa penjelasan dari ke 3 cara terjadinya hak milik tersebut, yaitu: 35 - Menurut hukum adat. Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan). Artinya, pembukaan tanah (hutan) tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui sistem penggarapan, yaitu matok sirah, matok sirah gilir gelang, dan sistem bleburan atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (aanslibbing). Lidah tanah adalah tanah yang timbul / muncul karena terbeloknya arus sungai atau tanah di pinggir pantai, biasanya terjadi dari lumpur yang makin lama makin 35 Richard Edy, op.cit, Hlm. 5 30

21 tinggi dan mengeras. Dalam hukum adat, lidah tanah yang tidak begitu luas menjadi hak bagi pemilik tanah yang terbatas. Hak milik tersebut dapat didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten / kota setempat untuk mendapatkan sertifikat hak miliknya. - Penetapan Pemerintah. Hak milik atas tanah ini terjadi karena permohonan pemberian hak milik atas tanah (semula berasal dari tanah Negara) oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setlah semua terpenuhi, BPN menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH tersebut wajib didaftarkan oleh pemohon kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sebagai sertifikat hak milik atas tanah. - Ketentuan Undang-Undang. Terjadinya hak milik atas tanah ini didasarkan karena konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA, semua hak atas tanah yang ada harus diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Selain terjadinya hak milik atas tanah, bahwa hak milik atas tanah yang dimiliki warga negara dapat pula hapus. Hapusnya hak milik tersebut diatur menurut Pasal 27 UUPA. Hapusnya hak milik tersebut bila: a. Tanahnya jatuh kepada Negara: 1. Karena pencabutan hak berdasarkan untuk kepentingan umum, kepentingan bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat (Pasal 18 UUPA). 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya. 3. Karena diterlantarkan. 4. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah (Pasal 21 ayat (3)). 31

22 5. Karena peralihan hak mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah (Pasal 26 ayat (2)). b. Tanahnya musnah; misalnya karena bencana alam. 2. Hak Guna Bangunan (HGB). Pengaturan hak guna bangunan (HGB) dalam UUPA diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 40 UUPA. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan ini diatur pula dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 35 ayat (1) UUPA menyatakan pengertian dari hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Menurut penjelasan Pasal 35 UUPA, karena hak guna bangunan tidak mengenai tanah pertanian, maka hak guna bangunan, selain atas diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang. Hak guna bangunan dapat diberikan atas tanah Negara maupun tanah milik orang lain. Pasal 35 ayat (1) UUPA tersebut mengandung unsur-unsur penting dari hak guna bangunan, yakni: 36 a. Peruntukan HGB. HGB adalah hak untuk: mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah. Bangunan tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian maupun rumah tempat usaha (rumah toko atau rumah tempat usaha/kantor), bangunan tempat kegiatan olahraga, bangunan tempat kegiatan pariwisata serta bangunan-bangunan lainnya. Meskipun, HGB dapat dimanfaatkan bagi bangunan rumah tempat tinggal, namun lembaga HGB itu sesungguhnya diciptakan untuk memperkaya lembagahukum hak atas tanah menurut hukum adat yang lebih dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan usaha warga negara 36 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm

23 dan badan hukum Indonesia. Tegasnya, penciptaan lembaga hukum HGB adalah lebih dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan usaha dari warga negara, sedangkan untuk hunian lebih merupakan maksud dari hak milik. Oleh karena itu, tidak sesuai dengan maksud awal dari Hukum Tanah Nasional kalau suatu Pemerintah Daerah di wilayah perkotaannya membuat kebijakan untuk memberikan HGB kepada kepentingan pembangunan rumah (hunian) dengan agar lebih murah untuk menggantiruginya ketika suatu waktu dibutuhkan untuk kepentingan umum. Konsisten dari hal itu pulalah, maka diambil suatu kebijakan kemudahan untuk memberikan peningkatan HGB menjadi HM bagi pemilik rumah yang masih berstatus HGB di lingkungan perumahan. b. Objek Tanah HGB. Objek tanah yang dapat diberikan HGB dapat berupa: tanah negara, tanah hak pengelolaan, dan tanah hak milik. Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: (a) tanah negara; (b) tanah Hak Pengelolaan; dan (c) tanah Hak Milik. c. Jangka Waktu HGB. Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 tahun, sehingga kalau dalam jangka waktu tersebut belum digunakan untuk mempunyai atau mendirikan bangunan, maka HGB tersebut seyogianya tidak dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat (2) UUPA menyatakan: Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunanbangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Dapat diperpanjang atau dapat diperbaharui berarti bahwa perpanjangan atau perubahan HGB dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai persyaratan perpanjangan atau pembaruan HGB tersebut, seperti yang ditentukan dalam Pasal 26 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yakni: 33

24 a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut; b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan; d. Mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan (bagi Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan). Sedangkan dalam Pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996, menyatakan: (1) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. (2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama. Menurut Pasal 27 PP No. 40 Tahun 1996, permohonan perpanjangan itu diajukan 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya HGB tersebut. Jika telah diperoleh perpanjangan atau pembaharuan, maka harus didaftarkan lagi pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Mengenai tata cara mengajukan permohonan atau pembaharuan dari HGB atau pembaharuan dari HGB ini serta syarat-syaratnya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. 37 Selanjutnya Pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan HGB dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau 37 Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op.cit, hlm

25 pembaharuan HGB dan perincian uang pemasukannya dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan. Uang pemasukan yang diperlukan untuk baik perpanjangan atau pembaharuan ini dapat ditentukan pada saat pertama kali diajukan permohonan HGB. Tampaknya dengan ketentuan seperti ini, dari pihak pemerintah atau kas negara, memperlihatkan kebutuhan akan uang pemasukan ini. Tetapi di lain pihak adanya ketegasan pembayaran uang pemasukan secara di muka untuk permintaan perpanjangan maupun pembaharuan HGB ini menjadi juga suatu jaminan dan merasa lebih aman bagi pihak peminta HGB ini. Karena dari semulanya dia sudah harus membayar uang pemasukan ini, baik untuk hak pertama kali dia minta maupun untuk perpanjangan maupun pembaharuan daripada HGB bersangkutan itu. Demikian maka jumlah uang pemasukan yang harus dibayar oleh si peminta ini adalah lebih besar. Tetapi di lain pihak ia mendapat kepastian bahwa tidak akan ditolak perpanjangannya atau pembaharuan yang akan dimintanya itu. Kemudian dinyatakan bahwa untuk selanjutnya dalam acara perpanjangan atau pembaharuan HGB ini ia akan hanya dikenakan biaya administrasi. Besarnya biaya administrasi ini ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Satu dan lain setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (selanjutnya persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan dari HGB ini dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam Keputusan Pemberian HGB). 38 d. Peralihan HGB. Menurut Pasal 35 ayat (3) UUPA menyatakan: Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Bahwa berdasarkan pada Pasal 34 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 meyatakan bahwa peralihan HGB itu terjadi karena: (a) jual beli, (b) tukar menukar, (c) penyertaan dalam modal, (d) hibah, (e) pewarisan. Poin (a) sampai dengan (d) 38 Ibid, hlm

26 disebut peralihan karena ada perbuatan hukum, sedangkan poin (e) yakni pewarisan terjadi karena peristiwa hukum, bukan karena perbuatan hukum. 39 Pada peralihan hak atas tanah menurut ayat (2) tersebut harus didaftarkan pada kantor pertanahan. e. Pembebanannya. Pasal 39 UUPA menyatakan: Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Selanjutnya, Pasal 33 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa: (a) HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan; dan (b) Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya HGB. f. Pembuktiannya. Pasal 38 UUPA menyatakan: (1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. (2) Pendaftaran termasuk ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut kecuali dalam waktu hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Kaitannya dengan subyek hak guna bangunan, Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah: (a) warga negara Indonesia; dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya, Pasal 36 ayat (2) UUPA tersebut menyatakan: orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka 39 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad,op.cit, hlm

27 waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan yang sama mengenai subyek HGB ini dapat dilihat pada Pasal 19 dan Pasal 20 PP No. 40 Tahun Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan: bahwa yang menjadi pemegang HGB adalah: (a) warga negara Indonesia; dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya, Pasal 20 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan: (1) Pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum. Mengenai luas HGB yang dapat dipunyai oleh subyek HGB sampai saat ini belum ada ketentuan yang membatasinya. Oleh karena itu pembatasan pemilikan tanah yang belum diatur oleh UU No. 56 Prp. Tahu 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, hanya melakukan pembatasan terhadap pemilikan tanah pertanian, sedangkan untuk tanah perumahan dan bangunan lainnyaoleh pasal 12 UU No. 56 Prp. Tahun 1960 itu akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Namun sampai sekarang PP tersebut belum ada. Oleh karena itu, sebagai langkah pragmatisnya, pembatasan tanah perumahan itu dilakukan melalui instrument perizinan peralihan hak atas tanah seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun Di dalam Peraturan Menteri Agraria itu dinyatakan bahwa orang sudah menguasai 5 (lima) bidang tanah, maka apabila ia memohon pendaftaran hak atas 37

28 tanah yang baru dipunyainya lagi diwajibkan untuk memperoleh izin pemindahan hak. 40 Menurut Pasal 30 PP No. 40 Tahun 1996, bahwa Pemegang Hak Guna Bangunan memiliki kewajiban untuk: a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputsan pemberian haknya; b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjuan pemberiannya; c. Memelihara kelestarian baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus; e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. Inti yang dinyatakan dalam Pasal 31 PP No. 40 Tahun 1996, apabila ternyata tanah HGB bersangkutan dalam keadaan geografis atau lingkungan atau karena soalsoal lain demikian rupa letaknya hingga mengurung dan menutup pekarangan tanah orang lain dari jalan lalu lintas umum atau jalan air, maka si pemegang HGB wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain untuk pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Jadi ini adalah prinsip yang berlaku demi kerukunan tetangga. Maka jalan keluar atau jalan air ini selalu harus diberikan kepada tetangga ini. Supaya mereka inipun tidak terkurung dan tidak mempunyai akses sama sekali kepada jalan umum. 41 Si pemegang HGB berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanahnya itu selama waktu yang ditentukan dan ia bisa mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi dan usahanya. Disamping itu dia juga dapat mengalihkan hak 40 Ibid, hlm Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, op. cit, hlm

29 menguasai dan mempergunakan ini kepada pihak lain dan juga dapat dibebani dengan hak-hak tanggungan tertentu (Pasal 32 PP No. 40 Tahun 1996). Untuk menjamin hutang, maka HGB dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 33 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996). Pembebanan ini telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Tahun 1996 No. 4 mengenai Hak Tanggungan. Ditentukan pula seperti haknya dengan HGB, bahwa apabila telah hapus HGB ini, maka Hak Tanggungan juga sebagai suatu hak yang aksesoir turut menjadi hapus (Pasal 33 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996). Mengenai peralihan hak guna bangunan, bahwa menurut Pasal 34 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996 maka hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Mengenai cara-cara beralihnya HGB kepada pihak lain ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2) PP No. 40 Tahun Peralihan hak guna bangunan ini terjadi karena hal-hal sebagai berikut: a. Jual beli; b. Tukar menukar; c. Penyertaan dalam modal; d. Hibah; e. Pewarisan. Semua cara peralihan HGB kepada pihak lain adalah lazim dan dikenal dalam sistem hukum yang berlaku. Jika telah berlaku peralihan HGB, maka hal ini harus didaftarkan pada kantor Pertanahan. Peralihan HGB karena jual beli (kecuali melalui lelang), tukar menukar dan penyertaan dalam modal serta hibah harus dilakukan dengan suatu akta yang dibuat di hadapan PPAT (Pasal 34 ayat (4) PP No. 40 Tahun 1996). Kalau dilakukan jual beli melalui lelang, maka cukup dibuktikan dengan Berita Acara Lelang (Pasal 34 ayat (5) PP No. 40 Tahun 1996). Mengenai peralihan HGB karena pewarisan harus diberikan dengan surat wasiat dan keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang (Pasal 34 ayat (6) PP No. 40 Tahun 1996). Untuk mereka yang hidup di bawah sistem BW dan 39

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status

Lebih terperinci

Pengertian Hak Milik Hak Milik adalah hak atas tanah yang turun temurun, terkuat dan terpenuh. Kata terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa hak milik itu merupakan hak yang mutlak, tidak dapat diganggu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) www.4sidis.blogspot.com HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pertanahan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaitanya tentang hukum tanah, merupakan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

HUKUM KEWARGANEGARAAN H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

HUKUM KEWARGANEGARAAN H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI HUKUM KEWARGANEGARAAN H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI NEGARA ORGANISASI KEKUASAAN UNSUR NEGARA WILAYAH PEMERINTAH YANG BERDAULAT RAKYAT PENGAKUAN DARI NEGARA LAIN ISTILAH-ISTILAH WARGA NEGARA Warga suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah 13 BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang

Lebih terperinci

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun, LAMPIRAN: 1 Persandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Menurut Undang-Undang Pertanahan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH.

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH. 1 of 16 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa tanah memilik peran

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING MAKALAH Oleh : Hukum Agraria Dosen : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Hak Guna Bangunan 1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur dalam Undang Undang Pokok Agraria.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Agraria a. Pengertian Hukum Agraria Keberadaan Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

DAFTAR PUSTAKA. Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 DAFTAR PUSTAKA Non Undang-Undang Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid I, Prestasi Pustaka,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN 1996 Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran yang sangat penting artinya alam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 28 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi.tanah yang dimaksud di sini bukan mengatur tanah dalam segala

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Presiden Republik Indonesia, a. bahwa tanah memilik peran yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA A. PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN. Defenisi kewarganegaraan secara umum yaitu hak dimana manusia tinggal dan menetap di suatu kawasan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran yang

Lebih terperinci

Menimbang: Mengingat:

Menimbang: Mengingat: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Menimbang: Presiden Republik Indonesia, a. bahwa tanah memiliki peran yang sangat

Lebih terperinci

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia Oleh: R. Herlambang Perdana Wiratraman Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: herlambang@unair.ac.id atau HP. 081332809123

Lebih terperinci

2 UUPA harus memberikan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya m

2 UUPA harus memberikan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya m BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi masyarakat Indonesia, tanah merupakan modal yang paling utama dalam kehidupan sehari-hari, yaitu untuk berkebun, berladang, maupun bertani. Berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH 2. 1. Pendaftaran Tanah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA NASIONAL

HUKUM AGRARIA NASIONAL HUKUM AGRARIA NASIONAL Oleh : Hj. Yeyet Solihat, SH. MKn. Abstrak Hukum adat dijadikan dasar karena merupakan hukum yang asli yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum adat ini masih harus

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerja Praktik merupakan suatu proses penerapan disiplin ilmu yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja praktik dilaksanakan. Dalam kerja praktik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. instansi vertikal yang melaksanakan tugas dekonsentrasi pusat di Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. instansi vertikal yang melaksanakan tugas dekonsentrasi pusat di Provinsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kepulauan Riau adalah instansi vertikal yang melaksanakan tugas dekonsentrasi pusat di Provinsi Kepulauan Riau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN. Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari hak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN. Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari hak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN 2.1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari hak opstal yang diatur dalam Pasal 71 KUHPerdata

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018 PENGATURAN HUKUM TENTANG PENDAFTARAN TANAH MENJADI HAK MILIK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 1 Oleh: Syendy A. Korompis 2 Dosen Pembimbing: Atie Olii, SH, MH; Godlieb N. Mamahit, SH, MH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan sebagai ukuran bagi berlaku atau tidaknya peraturan-peraturan

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK Agus Sekarmadji Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: agussekarmadji_unair@yahoo.com Abstract Land Law in Indonesia does not clearly specify the political

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING (WNA) DENGAN AKTA NOMINEE

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING (WNA) DENGAN AKTA NOMINEE AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING (WNA) DENGAN AKTA NOMINEE Mohammad Anis Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang

Lebih terperinci

HAT hak menguasai negara

HAT hak menguasai negara HUKUM AGRARIA RH Hak atas tanah Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA : Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH A. Pengertian Tanah Menarik pengertian atas tanah maka kita akan berkisar dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, hanya saja secara rinci pada ketentuan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL A. Ketentuan Konversi Hak-Hak Lama Menjadi Hak-Hak Baru Sesuai Undang-Undang Pokok Agraria 1. Sejarah Munculnya Hak Atas

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA BAGI WARGA NEGARA ASING

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA BAGI WARGA NEGARA ASING BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA BAGI WARGA NEGARA ASING A. Penguasaan Hak Atas Tanah di Indonesia Bagi Warga Negara Asing 1. Tinjauan Umum

Lebih terperinci

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia 10 BAB 2 SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 00609/JEMBATAN BESI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG KUAT ( TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 40 K/PDT/2009 ) 2. Landasan Teori Umum 2.1. Pendaftaran

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 SERTIFIKAT KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI OTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA NO. 5 TAHUN 1960 1 Oleh : Reynaldi A. Dilapanga 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA. Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Sumber Alam. mengatur Hak Penguasaan atas Tanah. Hak Penguasaan Atas Tanah

HUKUM AGRARIA. Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Sumber Alam. mengatur Hak Penguasaan atas Tanah. Hak Penguasaan Atas Tanah HUKUM AGRARIA LUAS SEMPIT PENGERTIAN Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Sumber Alam Seperangkat hukum yang mengatur Hak Penguasaan atas Tanah OBYEK RUANG LINGKUP Hak Penguasaan atas Sumbersumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu kehidupan masyarakat Indonesia yang tata kehidupannya masih bercorak agraris dan sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting baik untuk kehidupan maupun untuk tempat peristirahatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa warga negara merupakan

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN TANAH SERTA BANGUNAN DI ATASNYA OLEH ORANG ASING DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN TANAH SERTA BANGUNAN DI ATASNYA OLEH ORANG ASING DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 BAB II ASPEK HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN TANAH SERTA BANGUNAN DI ATASNYA OLEH ORANG ASING DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK- POKOK AGRARIA DAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Usaha Pemerintah di dalam mengatur tanah-tanah di Indonesia baik bagi perorangan maupun bagi badan hukum perdata adalah dengan melakukan Pendaftaran Tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia adalah negara yang susunan kehidupan rakyat dan perekonomiannya masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan warga Negara. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang

Lebih terperinci

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih.

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih. BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH A. Hak Milik 1. Pengertiannya Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial. Kata-kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu unsur yang paling penting bagi setiap manusia di dalam melangsungkan kebutuhan hidupnya. Tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah mempunyai peranan penting dalam kegiatan pembangunan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah mempunyai peranan penting dalam kegiatan pembangunan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah mempunyai peranan penting dalam kegiatan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PERTAMA BAB I DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK Pasal 1 (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang

Lebih terperinci

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional Sebelum tahun 1960, di Indonesia berlaku sistem dualisme hukum agraria yang membingungkan, dimana dalam satu waktu yang bersamaan berlaku dua perangkat hukum yang positif

Lebih terperinci

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan Desa Caturharjo Kecamatan Pandak) Oleh : M. ADI WIBOWO No. Mhs : 04410590 Program

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U AN

BAB I P E N D A H U L U AN BAB I P E N D A H U L U AN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin meningkat dan dirasakan kurang, mengingat jumlah perumahan yang tersedia tidak

Lebih terperinci

Modul ke: KEWARGANEGARAAN. Hak dan Kewajiban Warga Negara. Fakultas Teknik. Program Studi Teknik Elektro

Modul ke: KEWARGANEGARAAN. Hak dan Kewajiban Warga Negara. Fakultas Teknik. Program Studi Teknik Elektro Modul ke: 06 Bethriza Fakultas Teknik KEWARGANEGARAAN Hak dan Kewajiban Warga Negara Hanum ST., MT Program Studi Teknik Elektro 5 HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS; 1. MENJELASKAN

Lebih terperinci

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

UU NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI

UU NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI UU NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI PENDAHULUAN Pemerintah RI pada tanggal 1 Agustus 2006 telah mensahkan UU No. 12 tentang Kewarganegaraan RI. Dengan diundangkannya UU tersebut, UU kewarganegaraan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017 PENDAFTARAN TANAH MENGGUNAKAN SISTEM PUBLIKASI NEGATIF YANG MENGANDUNG UNSUR POSITIF MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH 1 Oleh: Anastassia Tamara Tandey 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan, kelangsungan hubungan dan perbuatan

Lebih terperinci

JAWABAN SOAL RESPONSI UTS HUKUM AGRARIA 2015

JAWABAN SOAL RESPONSI UTS HUKUM AGRARIA 2015 JAWABAN SOAL RESPONSI UTS HUKUM AGRARIA 2015 oleh: Ghaida Mastura FHUI 2012 disampaikan pada Tentir Hukum Agraria 27 Maret 2015 I. PENGETAHUAN TEORI: 1. a. Jelaskan apa yang dimaksud Domein Verklaring

Lebih terperinci

UU NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI PENDAHULUAN Pemerinta h RI pada tanggal 1 Agustus 2006 telah mensahkan UU No.

UU NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI PENDAHULUAN Pemerinta h RI pada tanggal 1 Agustus 2006 telah mensahkan UU No. UU NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI PENDAHULUAN Pemerinta h RI pada tanggal 1 Agustus 2006 telah mensahkan UU No. 12 tentang Kewarganegaraan RI. Dengan diundangkannya UU tersebut, UU kewarganegaraan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 Agus Suprijanto agussuprijanto@upgris.ac.id ABSTRAK Dalam era globalisasi, warga negara asing mempunyai peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hlm 1. 1 Richard Edy. Aspek Legal Properti - Teori, Contoh, dan Aplikasi. C.V ANDI OFFSET, Yogyakarta 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Hlm 1. 1 Richard Edy. Aspek Legal Properti - Teori, Contoh, dan Aplikasi. C.V ANDI OFFSET, Yogyakarta 2010. BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam tatanan Hukum Pertanahan Nasional, hubungan hukum antara orang, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA), serta perbuatan hukumnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

Upik Hamidah. Abstrak

Upik Hamidah. Abstrak Pembaharuan Standar Prosedure Operasi Pengaturan (SOP) Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah Karena Hibah Wasiat Berdasarkan Alat Bukti Peralihan Hak Upik Hamidah Dosen Bagian Hukum Administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah diperlukan manusia sebagai ruang gerak dan sumber kehidupan. Sebagai ruang gerak, tanah memberikan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 PEMINDAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI LELANG MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 1996 DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 1 Oleh : Farrell Gian Kumampung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 1 BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 3.1. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Secara general, pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peran Badan Pertanahan Nasional di bidang Pertanahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peran Badan Pertanahan Nasional di bidang Pertanahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peran Badan Pertanahan Nasional di bidang Pertanahan Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan profesinya maka dia menjalankan suatu peranan (role). Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberikan

Lebih terperinci

BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAB III KRITERIA, OBJEK DAN SUBJEK TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 3.1. Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundang-undangan Dalam ketentuan UUPA terkandung suatu

Lebih terperinci

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini PEMANDANGAN UMUM Perubahan yang revolusioner UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Undang-undang ini benar-benar memuat hal-hal yang merupakan perubahan yang revolusioner dan drastis terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kewarganegaraan Republik Indonesia, sejak 1 Agustus 2006 untuk. menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kewarganegaraan Republik Indonesia, sejak 1 Agustus 2006 untuk. menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, sejak 1 Agustus 2006 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan tanah diselenggarakan atas dasar peraturan perundangundangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran peralihannya.

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RGS Mitra 1 of 15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT Mixed marriage according to Nomor.1 Act of 1974 on Marriage is a marriage between Indonesian citizens with a foreign citizen (Article 57).

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Peranan tanah bagi pemenuhan berbagai kebutuhan manusia akan terus

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Peranan tanah bagi pemenuhan berbagai kebutuhan manusia akan terus 1 BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Peranan tanah bagi pemenuhan berbagai kebutuhan manusia akan terus meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Hal ini menyebabkan tanah

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN

KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN 1 KARYA ILMIAH AKIBAT HUKUM JUAL BELI TANAH HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH NEGARA YANG BERASAL DARI HARTA BAWAAN DENGAN BANGUNAN YANG DIMILIKI OLEH PIHAK LAIN Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting

Lebih terperinci

LAND REFORM INDONESIA

LAND REFORM INDONESIA LAND REFORM INDONESIA Oleh: NADYA SUCIANTI Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal didirikannya Republik Indonesia, yang menjadi tujuan utama pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Lebih terperinci