BAB II TINJAUAN PUSTAKA Uraian umum tetrasiklin (Ditjen POM, 2014) Gambar 2.1 Rumus bangun tetrasiklin. Berat Molekul : 444,43

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Uraian umum tetrasiklin (Ditjen POM, 2014) Gambar 2.1 Rumus bangun tetrasiklin. Berat Molekul : 444,43"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tetrasiklin Uraian umum tetrasiklin (Ditjen POM, 2014) Rumus Bangun: Gambar 2.1 Rumus bangun tetrasiklin Rumus Molekul : C 22 H 24 N 2 O 8 Berat Molekul : 444,43 Pemerian : Serbuk hablur, kuning; tidak berbau. Stabil di udara tetapi pada pemaparan dengan cahaya matahari kuat menjadi gelap. Dalam larutan dengan ph lebih kecil dari 2, potensi berkurang, dan cepat rusak dalam larutan alkali hidroksida. Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam larutan asam encer dan dalam larutan alkali hidroksida; sukar larut dalam etanol; praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter. ph : Antara 3,0 dan 7,0 9

2 2.1.2 Farmakologi tetrasiklin Tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini (Setiabudy, 2012). Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi bakteri Gram-positif dan -negatif, -aerobik dan anaerobik. Selain itu, tetrasiklin juga aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela, dan protozoa tertentu (Setiabudy, 2012). Tetrasiklin juga digunakan untuk mengobati ulkus peptikum yang disebabkan oleh Helicobacter pylori (Katzung, dkk., 2004). Dosis oral tetrasiklin untuk infeksi Helicobacter pylori adalah 500 mg empat kali sehari dan pegobatan selama hari (Chey dan Wong, 2007). Untuk infeksi klamidia adalah 500 mg empat kali sehari selama 7 hari dan untuk infeksi akne adalah 500 mg dua kali sehari (Setiabudy, 2012) Farmakokinetik tetrasiklin a. Absorpsi: kira-kira 30-80% tetrasklin diserap lewat saluran cerna. Absorpsi ini sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Berbagai faktor dapat menghambat penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam lambung, ph tinggi, pembentukan kelat (kompleks tetrasiklin dengan zat lain yang sukar diserap seperti kation Ca 2+, Mg 2+, Fe 2+, Al 3+ yang terdapat dalam susu dan antasid). Oleh sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah makan (Setiabudy, 2012). b. Distribusi: Dalam plasma, semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Pemberian oral 250 mg tetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan kadar sekitar 2,0-2,5 μg/ml. Dalam cairan 10

3 serebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dalam jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di hati, limpa, dan sumsum tulang, serta di dentin dan gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri yang terdapat dalam air susu ibu dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, daya penetrasi doksisiklin dan minosiklin ke jaringan lebih baik (Setiabudy, 2012). c. Metabolisme: Obat golongan tetrasiklin tidak dimetabolisme di hati (Setiabudy, 2012). d. Ekskresi: Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin berdasarkan filtrasi glomerulus. Pada pemberian per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja (Setiabudy, 2012) Efek samping tetrasiklin a. Reaksi kepekaan: reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin adalah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat adalah edema angioneurotik dan reaksi 11

4 anafilaksis. Demam dan eosinofilia dapat terjadi pada waktu terapi berlangsung. Sensitisasi silang antara berbagai derivat tetrasiklin sering terjadi (Setiabudy, 2012). b. Reaksi toksik dan iritatif: iritasi lambung paling sering terjadi pada pemberian tetrasiklin per oral. Makin besar dosis yang diberikan, makin sering terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi dosis untuk sementara waktu atau memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau antasid yang mengandung alumunium, magnesium atau kalsium. Diare seringkali timbul akibat iritasi dan harus dibedakan dengan diare akibat superinfeksi staphylococcus sp. atau Clostridium difficile yang sangat berbahaya. Manifestasi reaksi iritatif yang lain adalah terjadinya tromboflebitis pada pemberian IV dan rasa nyeri setempat bila golongan tetrasiklin disuntikkan IM tanpa anestetik lokal. Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipik, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia (Setiabudy, 2012). c. Efek samping akibat perubahan biologik: Seperti antibiotik lain yang berspektrum luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh terjadinya superinfeksi oleh kuman resisten dan jamur. Superinfeksi kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut, faring, bahkan kadangkadang menyebabkan infeksi sistemik. Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya superinfeksi ini adalah diabetes melitus, leukimia, lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama (Setiabudy, 2012). 12

5 2.1.5 Interaksi tetrasiklin Tetrasiklin membentuk kompleks tak larut dengan sediaan besi, aluminium, magnesium, dan kalsium, sehingga resorpsinya dari usus gagal. Oleh karena itu, tetrasiklin tidak boleh diminum bersamaan dengan makanan (khususnya susu) atau antasida (Tan dan Rahardja, 2002). 2.2 Penyakit Ulkus Peptikum Gambaran umum Penyakit ulkus peptikum adalah keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun sering dianggap sebagai tukak (misalnya tukak karena stress). Tukak kronik berbeda dengan tukak akut karena memiliki jaringan parut pada dasar tukak (Price dan Wilson, 1995). Berdasarkan lokasinya, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum (Price dan Wilson, 1995). Gejala utama penyakit tukak lambung adalah adanya rasa sakit dan ketidaknyamanan pada bagian lambung dan gejala lainnya seperti pendarahan pada tinja, muntah, dan tinja yang berwarna hitam menunjukkan bahwa terjadinya pendarahan pencernaan gastrointestinal (Sunil, et al., 2012) Etiologi penyakit ulkus peptikum Kebanyakan penyakit ulkus peptikum disebabkan karena adanya asam lambung dan enzim pepsin ketika Helicobacter pylori, NSAIDs, atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan mukosa dan penyembuhan mukosa. 13

6 Hipersekresi dari asam lambung dan pepsin ini yang menghambat mekanisme pertahanan mukosa proses penyembuhannya (Berardi dan Welage, 2005). Penyebab ulkus peptikum yang lain adalah terlalu banyak sekret getah lambung yang berhubungan dengan derajat perlindungan yang diberikan oleh lapisan mukus lambung dan duodenum, serta netralisasi asam lambung oleh getah duodenum. Daerah keadaan normal yang terpapar getah lambung disuplai banyak kelenjar mukosa, mulai dengan kelenjar mukosa komposit pada bagian bawah esofagus, kemudian lambung, sel leher mukosa glandula gastrika, glandula pilorika dalam yang terutama menyekresi mukus, akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum atas yang menyekresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1990) Patofisiologi Penyebab terjadinya ulkus peptikum saat ini masih sering diperdebatkan. Patifisiologi penyakit tukak lambung dapat digambarkan sebagai ketidakseimbangan antara faktor agresif (Helicobacter pylori, NSAIDs, dan asam lambung) dan faktor pertahanan (mucin, bikarbonat, dan prostaglandin), yang menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa (Sunil, et al., 2012) Helicobacter pylori Helicobacter pylori adalah penyebab utama tukak lambung yang pertama kali di identifikasi oleh dua ilmuwan austraslia pada tahun Helicobacter pylori merupakan bakteri bacillus gram negatif, berbentuk spiral, bakteri mikroaerofilik, dan memiliki flagellata (Shah, et al., 2009). Bakteri ini dapat ditemukan antara lapisan mukus dan permukaan sel epitel di lambung, atau pada berbagai lokasi lapisan sel epitel dapat ditemukan. Kombinasi antara bentuk tubuh 14

7 spiral dan flagel dari bakteri yang membantunya berpindah-pindah disekitar lumen dalam lambung (Berardi dan Welage, 2005). Helicobacter pylori memproduksi enzim urease dalam jumlah besar dimana enzim ini menghidrolisis urea yang terdapat dalam cairan lambung dan mengubahnya menjadi amonia dan karbondioksida. Efek netralisir dari amonia yang dihasilkan akan membentuk suasana netral dan mengelilingi tubuh bakteri yang dapat membantu melindungi bakteri dari pengaruh asam di lambung. Bakteri ini juga memproduksi senyawa protein penghambat asam yang membantunya untuk beradaptasi di lingkungan dengan ph yang rendah dalam lambung. Helicobacter pylori dapat berpindah ketubuh lain melalui tiga jalur yaitu fesesoral, oral-oral dan iatrogenik (Berardi dan Welage, 2005). Infeksi H.pylori dapat menyebabkan terjadinya gastritis kronis pada semua individu yang terinfeksi dan secara umum terkait dengan ulkus peptikum, kanker lambung, dan mukosa jaringan limpoid. Namun, hanya sejumlah kecil yang terkena infeksi H.pylori dapat mengakibatkan terjadinya penyakit ulkus peptikum sekitar 20% atau kanker lambung kurang dari 1% (Berardi dan Welage, 2005) Sawar mukosa lambung Mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan berbagai bahan termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan, dan mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung (Malik, 1992). 15

8 Lapisan mukosa lambung yang tebal merupakan garis depan pertahanan terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Prostaglandin terdapat dalam jumlah berlebihan di mukus lambung dan berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung. Sawar mukosa penting untuk perlindungan lambung dan duodenum (Price dan Wilson, 1995). Prostaglandin dapat meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat, dan aliran darah mukosa. Pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus. Hal ini membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara fungsi sawar selaput lendir (Kartasasmita, 2002). Destruksi sawar mukosa diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis ulkus peptikum. Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat merusak mukosa lambung. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada gambar dibawah ini Gambar 2.2 Gambaran penyakit ulkus peptikum 16

9 2.2.6 Terapi eradikasi Helicobacter pylori Di Amerika Serikat, terapi eradikasi Helicobacter pylori terdiri atas: terapi lini pertama / terapi tripel, terapi lini kedua / terapi kuadrupel, dan terapi sekuensial (Chey dan Wong, 2007). Terapi lini pertama digunakan obat antara lain (Chey dan Wong, 2007) : - Proton pump inhibitor + amoksisilin + klaritomisin (70-85%) - Proton pump inhibitor + metronidazol + klaritomisin (70-85%) - Proton pump inhibitor + metronidazol + tetrasiklin (75-90%) Pengobatan dilakukan selama hari Dosis : 1. PPI: Omeprazole 2x20 mg/hari, Lansoprazole 2x30 mg/hari, Rabeprazole 2x10 mg/hari, dan Esomeprazole 2x20 mg/hari 2. Amoksisilin : 2 x 1000 mg/hari 3. Klaritomisin : 2 x 500 mg/hari 4. Metronidazol : 3 x 500 mg/hari 5. Tetrasiklin : 4 x 250 mg/hari Terapi lini kedua / terapi kuadrupel dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria gagal dapat dilihat apabila 4 minggu pasca terapi, bakteri Helicobacter pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan uji nafas urea atau hispatologi (Chey dan Wong, 2007). Terapi lini kedua digunakan obat antara lain (Chey dan Wong, 2007) : - Bismuth subsalicylate + Proton pump inhibitor + amoksisilin + klaritomisin 17

10 - Bismuth subsalicylate + Proton pump inhibitor + metronidazol + klaritomisin - Bismuth subsalicylate + Proton pump inhibitor + metronidazol + tetrasiklin Pengobatan dilakukan selama 7 hari Dosis bismuth subsalicylate adalah 2 x 525 mg/hari Terapi tripel sekuensial menggunakan 3 antibiotik yang mungkin meningkatkan kecepatan eradikasi, terutama resisten klaritomisin. Regimen sekuensial terdiri dari 40 mg pantoprazol, 1 gram amoksisilin, dan placebo, masing-masing diberikan dua kali sehari untuk 5 hari pertama kemudian 40 mg pantoprazol, 500 mg klaritomisin, dan 500 mg tinidazol yang masing-masing diberikan dua kali sehari untuk sisa selama 5 hari. Terapi standar 10 hari terdiri 40 mg pantoprazol, 500 mg klaritomisin, dab 1 gram amoksisilin yang masingmasing diberikan dua kali sehari. Terapi pengobatan keduanya ditoleransi dengan baik tetapi eradikasi dengan regimen sekuensial (89%) secara signifikan lebih baik daripada terapi pengobatan standar (77%) (Hajiani, 2009). 2.3 Lambung Gambaran umum Lambung adalah organ berbentuk huruf J yang terletak pada bagian kiri atas rongga perut di bawah diafragma yang dapat dilihat pada gambar 2.3. Lambung terdiri dari epitel selapis toraks dengan lekukan-lekukan sehingga terbentuk lubang-lubang pada permukaan lambung. Lubang-lubang ini merupakan muara dari kelenjar lambung. Lambung dapat diregangkan sehingga mampu 18

11 menampung sejumlah besar makanan (Leeson, dkk., 1989). Lambung menerima makanan dan bekerja sebagai penampung untuk jangka waktu pendek. Semua makanan dicairkan dan dicampurkan dengan asam lambung dan dicerna oleh usus (Pearce, 2006). Lambung merupakan organ untuk menampung makanan yang ditelan. Lambung dapat membesar sampai mencapai kapasitas dua sampai tiga liter dan tidak mempunyai bentuk yang tetap (Wibowo, 2009). Gambar 2.3 Struktur lambung (Hameed, et al., 2014) Anatomi lambung Secara anatomis lambung terbagi atas kardia, fundus, korpus, dan pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor (Price dan Wilson, 1995). Bagian proksimal terdiri dari bagian fundus dan bagian badan yang bertindak sebagai tempat untuk bahan tercerna. Bagian antrum adalah bagian utama untuk gerakan mencampur makanan dan juga bertindak sebagai pompa dalam pengosongan lambung untuk mendorong makanan menuju bagian saluran pencernaan selanjutnya (Arunachalam, et al., 2011). 19

12 Lambung terdiri dari empat lapisan umum, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Leeson, dkk., 1989). Mukosa merupakan lapisan dalam lambung yang tersusun dari lipatan-lipatan longitudinal yang disebut rugae. Dengan adanya lipatan-lipatan ini, lambung dapat berdistensi sewaktu diisi makanan (Price dan Wilson, 1995). Mukosa lambung terdiri dari epitel permukaan yang mengalami invaginasi dengan berbagai kedalaman di dalam lamina propria dan membentuk gastric pits. Lamina propria dari lambung terdiri dari jaringan penghubung yang jarang yang diselilingi dengan sel-sel otot polos dan limfoid. Lapisan otot yang memisahkan mukosa dari submukosa adalah mukosa muskularis. Stres dan faktor-faktor psikosomatik lain; konsumsi substansi seperti aspirin, etanol, makanan yang hiperosmolar, dan beberapa mikroorganisme misalnya Helicobacter pylori dapat mengganggu permukaan epitel dan menyebabkan ulkus (Junqueira dan Carneiro, 2005). Submukosa terdiri dari jaringan aerolar yang menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak bersama gerakan peristaltik makanan. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf pembuluh darah dan saluran limfa (Price dan Wilson, 1995). Muskularis dibentuk oleh tiga lapisan otot polos, yaitu: (1) Lapisan luar longitudinal dan (2) Lapisan tengah sirkular yang merupakan lanjutan dari kedua lapisan otot esofagus dan ditambah dengan (3) Lapisan serong (oblik) berbentuk lengkungan otot yang berjalan dari kardia mengitari fundus dan korpus (Leeson, dkk., 1989). Serosa merupakan lapisan terluar yang dibentuk oleh jaringan aerolar elastis yang relatif padat. Pada banyak tempat, jaringan aerolar diliputi oleh 20

13 peritoneum yaitu satu lapis sel mesotel gepeng dan pada keadaan ini disebut serosa. Pembuluh darah dan limfa terdapat di serosa dan menuju ke lapisanlapisan yang lain (Leeson, dkk., 1989) Fisiologi lambung Lambung memiliki fungsi utama untuk memproses dan mengangkut makanan. Selain itu, lambung juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan dalam jangka waktu singkat yang memungkinkan untuk mengonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak secara cepat. Proses pencernaan secara enzimatik berlangsung di dalam lambung (Narang, 2011). Apabila makanan masuk di dalam lambung maka lambung melemas akibat proses refleks relaksasi reseptif. Relaksasi otot-otot lambung ini dicetuskan oleh gerakan gerakan faring dan esofagus. Relaksasi kemudian diikuti oleh kontraksi peristaltik yang mencampur makanan dan menyemprotkannya ke dalam duodenum dengan kecepatan terkontrol. Gelombang peristaltik yang paling jelas di pusat distal lambung. Apabila berbentuk dengan baik, gelombang kontraksi berlangsung dengan kecepatan 3 kali/menit (Ganong, 1999). Waktu pengosongan lambung saat berpuasa ataupun saat makan dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam tubuh. Hal ini berkaitan dengan gerakan atau motilitas dari otot-otot lambung yang mengakibatkan perbedaan waktu pengosongan lambung diantara kedua kondisi ini. Siklus yang baik makanan melalui lambung dan usus setiap 2 sampai 3 jam. Siklus ini disebut siklus mioelektrik bagian saluran pencernaan atau perpindahan suatu bahan tercerna dalam saluran pencernaan yang dipengaruhi motilitas saluran pencernaan. Dalam siklus ini dibagi dalam 4 tahapan: 21

14 1. Tahap I (fase basal) yang berlangsung selama 30 sampai 60 menit dengan terjadinya awal motilitas kontraksi. 2. Tahap II (fase preburst) yang berlangsung selama 20 sampai 40 menit dengan potensial aksi dan motilitas kontraksi. Pada fase ini berlangsung dengan intensitas dan frekuensi motilitas kontraksi yang meningkat secara bertahap. 3. Tahap III (fase burst) yang berlangsung 10 sampai 20 menit. Fase ini mencakup kontraksi intens dan rutin yang terjadi dalam waktu singkat 4. Tahap IV berlangsung selama 0 sampai 5 menit dan terjadi diantara fase II dan fase I yang terjadi motilitas kontraksi secara terus-menerus (Hameed, et al., 2014). Tahapan siklus kontraksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.4 Gambar 2.4 Pola motilitas saluran pencernaan (Hameed, 2014) Sekresi lambung Sel-sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung setiap hari. Getah lambung mengandung bermacam-macam bahan seperti: pepsin, 22

15 lipase, mukus, kation (Na +, K +, Mg 2+, H + (ph sekitar 1,0)), dan anion (Cl - dan SO 2-4 ). Asam lambung yang disekresikan oleh kelenjar di korpus lambung membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan ph yang dibutuhkan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang aliran empedu dan getah pankreas. Asam ini cukup pekat untuk dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena getah lambung juga mengandung mukus (Ganong, 1999). Mukus disekresikan oleh permukaan sel-sel mukosa dan leher di korpus dan fundus serta sel-sel yang serupa di bagian lambung lain yang terdiri dari glikoprotein yang disebut musin. Masing-masing musin mengandung 4 submit yang disatukan oleh jembatan disulfida. Mukus membentuk suatu gel fleksibel yang melapisi mukosa. Membran permukaan sel mukosa dan taut erat antara selsel juga merupakan bagian sawar mukosa yang melindungi epitel lambung dari kerusakan (Ganong, 1999). 2.4 Sistem Penyampaian Obat Uraian sistem penyampaian obat Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat yang paling banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat yang lain dan telah dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik dengan berbagai bentuk sediaan dengan formulasi yang berbeda. Saat ini para ilmuwan farmasi berusaha mengembangkan sistem pemberian obat yang ideal. Sistem pemberian obat yang ideal harus memiliki kemampuan untuk dapat 23

16 digunakan satu dosis pemberian obat dan selama pengobatan harus menyampaikan obat secara langsung di lokasi tertentu supaya pengobatan menjadi optimal. Para ilmuwan telah berhasil mengembangkan sistem penyampaian obat yang mendekati sistem penyampaian yang ideal dan mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan sistem penyampaian obat yang terkontrol atau Controlled Release System. Desain penyampaian obat secara oral dimana pelepasan obatnya dipertahankan berlangsung secara terus menerus yang ditujukan untuk mencapai pelepasan obat yang efektif sehingga konsentrasi obat pada jaringan target dapat ditentukan dan mengoptimalkan efek terapetik obat yang dilakukan dengan cara mengendalikan pelepasan obat di dalam tubuh dengan dosis obat tertentu. Biasanya obat konvensional diberikan dalam dosis berkala yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas, aktivitas, dan bioavalabilitas sediaan obat. Kebanyakan obat yang diformulasi dalam bentuk sediaan konvensional kurang efektif dalam penyampaian obat di jaringan target (Kumar, et al., 2012). Rute oral yang secara umum merupakan sistem penyampaian obat yang ideal memiliki dua sifat utama yaitu (Sharma, et.al., 2011): 1. Untuk aksi diperpanjang harus diberikan dalam dosis tunggal. 2. Penyampaian langsung dari obat aktif ke jaringan target Sistem penyampaian obat pelepasan lambat Sistem pelepasan lambat (Sustained release) adalah sistem penyampaian obat yang pelepasan obatnya diperlambat selama jangka waktu tertentu dan juga pelepasan obat dikontrol di dalam tubuh. Oleh karena itu, sistem penyampaian obat ini berhasil mempertahankan tingkat konsentrasi obat yang konstan pada 24

17 jaringan target atau sel. Sistem penyampaian obat dengan cara ini dikelompokkan ke dalam dua sistem penyampaian obat yaitu Controlled Release dan Extended Release (Lee, 1987). a. Controlled Release Sistem controlled release merupakan sistem penyampaian obat terkontrol yang pelepasannya secara perlahan selama priode waktu tertentu yang pelepasan obatnya diperpanjang (Lee, 1987). b. Extended Release Sistem extendend release merupakan sistem penyampaian obat yang pelepasan obatnya lebih lambat dari pelepasan obat secara normal pada umumnya dan dapat mengurangi frekuensi dosis obat (Lee, 1987). Keuntungan sistem pelepasan lambat adalah mengurangi efek samping secara lokal maupun sistemik yaitu pencegahan iritasi lambung, pemanfaatan obat yang lebih baik yaitu mengakumulasi dosis kronis suatu obat, meningkatkan efisiensi pengobatan,dan meningkatkan kepatuhan pasien dengan mengurangi dosis pemakaian per hari (Isha, et al., 2012). Pelepasan lambat menguraikan suatu pelepasan yang lambat dari bahan obat suatu sediaan untuk mempertahankan respon terapetik dalam waktu yang panjang yaitu 8-12 jam dan kriteria sediaan SR yaitu jumlah obat yang terdisolusi selama 3 jam adalah 20-50% untuk 6 jam adalah 45-75% dan 12 jam 75% (Murthy dan Sellasie, 1993) Sistem penyampaian obat gastroretentif Sistem penghantaran obat tinggal di lambung (GDDS) adalah salah satu cara untuk memperpanjang waktu tinggal sediaan di dalam lambung dengan 25

18 maksud untuk pemberiaan obat lokal pada saluran cerna bagian atas ataupun untuk efek sistemik. Bentuk sediaan gastroretentif dapat bertahan di lambung untuk waktu yang lama sehingga memperpanjang waktu retensi obat pada lambung (Nayak, et al., 2010). Jenis sistem penghantaran obat tertahan di lambung terdiri dari (Dehghan dan Khan, 2009; Ami, et al., 2012; Swetha, et al., 2012): a. Sistem mengembang dan membesar (swelling and expandable system) b. Sistem bioadhesif (bioadhesive systems) c. Sistem mengapung (floating systems) d. Sistem berdensitas tinggi (high-density systems) Gambaran sistem penghantaran obat tertahan di lambung dapat ditunjukkan pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Sistem penghantaran obat tertahan di lambung (Swetha, et al., 2012). Berikut perbandingan antara sistem penyampaian obat konvensional dan gastroretentif dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini. 26

19 Tabel 2.1 Perbedaan antara sistem penyampaian obat konvensional dan gastroretentif (Dixit, et al., 2015) Sistem penyampaian obat konvensional Meningkatkan efek samping Mengurangi tingkat kepatuhan pasien Mengurangi waktu retensi lambung Tidak sesuai untuk penyampaian obat dengan rentang absorpsi yang sempit pada daerah usus Tidak banyak bermanfaat bagi obat yang menunjukkan aksi lokal di lambung dan terdegradasi dalam usus dan mengalami absorpsi yang cepat melalui saluran pencernaan Sistem penyampaian obat gastroretentif Mengurangi efek samping Meningkatkan kepatuhan pasien Meningkatkan waktu retensi lambung Sesuai untuk penyampaian obat dengan rentang absorpsi yang sempit pada daerah usus Bermanfaat bagi obat yang menunjukkan aksi lokal di lambung dan terdegradasi dalam usus dan mengalami absorpsi yang cepat melalui saluran pencernaan Sistem penyampaian obat mengapung (floating system) Sistem penyampaian obat mengapung merupakan salah satu pendekatan untuk mencapai retensi lambung sehingga diperoleh bioavaibilitas obat yang dikehendaki. Sistem ini sesuai untuk obat yang memiliki rentang absorpsi yang sempit di lambung dan juga memiliki daya densitas yang kecil sehingga memiliki daya apung yang besar untuk dapat mengapung di atas cairan lambung tanpa mempengaruhi tingkat kecepatan selama periode waktu yang lama. Sementara sistem mengapung pada cairan lambung, obat dilepaskan secara perlahan-lahan pada tingkat yang diinginkan dari sistem ini. Setelah pelepasan obat, sistem residual ini dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan waktu retensi lambung yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam plasma (Ami, et al., 2012; Dwivedi dan Kumar, 2011). 27

20 Pembagian sistem mengapung Sistem penghantaran obat mengapung diklasifikasikan pada dua variabel mekanisme yaitu sistem Effervescent dan sistem Non-effervescent. a. Sistem Effervescent Sistem ini tidak hanya menggunakan polimer sintetik tetapi juga menggunakan polimer alam untuk dibuat dalam bentuk matriks seperti dengan menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti metil selulosa, kitosan, dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, asam tartrat, dan asam sitrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, maka gas karbondioksida (CO 2 ) akan terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini membantu sediaan untuk mengapung. Bahan tambahan yang sering digunakan pada sistem ini adalah HPMC, polimer poliakrilat, polivinil asetat, karbopol, agar, natrium alginat, kalsium klorida, polietilen oksida, dan polikarbonat (Hameed, et al., 2014). Gambar 2.6 Unit tunggal dan mekanisme sistem Effervescent FDDS 28

21 Lapisan terluar sistem effervescent terbuat dari polimer yang dapat mengembang yang permeabilitas terhadap cairan lambung sehingga bila berkontak dengan lapisan effervescent natrium bikarbonat akan menunjukkan reaksi netralisasi dimana karbon dioksida dibebaskan oleh keasaman cairan lambung dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid sehingga sediaan bergerak ke atas dan mengapung kemudian obat berdifusi secara perlahan-lahan (Hameed, et al., 2014). b. Sistem Non-effervescent Bentuk sediaan mengapung Non-effervescent pada umumnya menggunakan bahan pembentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida, dan polimer pembentuk matriks seperti polikarbonat, poliakrilat, polimetaklirat dan polistiren. Metode formulasi sistem ini termasuk sederhana yaitu dengan mencampurkan obat dengan hidrokoloid pembentuk gel. Setelah pemberian oral, bentuk sediaan ini mengembang dan berkontak dengan cairan lambung dan memiliki daya densitas < 1. Udara yang terperangkap dalam matriks akan mengembang sehingga sediaan mengapung. Struktur seperti gel yang mengembang bertindak sebagai reservoir dan memungkinkan pelepasan obat perlahan-lahan melalui resevoirnya (Bharathi, et al., 2015). Contoh tipe sistem penyampaian obat mengapung ini adalah sistem pelindung koloid gel, sistem kompartemen mikroporos, butiran alginat, dan mikrosfer berongga (Amit, et al., 2011) Kandidat obat untuk sediaan mengapung Pada sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran, dan aktivitas 29

22 kerja obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk diformulasikan pada sistem penghantaran obat mengapung diantaranya: a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung, contoh: misoprostol dan antasida b. Obat-obat yang memiliki rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan, contoh: Levodopa, asam p-amino benzoat, furosemid, dan riboflavin. c. Obat-obat yang tidak stabil pada lingkungan basa di bagian usus atau kolon, contoh: Captopril, ranitidine HCl, dan metronidazol. d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon, contoh: antibiotik yang digunakan pada pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya tetrasiklin, klaritomisin, metronidazol, dan amoksisilin. e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada ph yang tinggi, contoh: diazepam, klordiazeposid, dan verapamil (Bharathi, et al., 2015). Berikut beberapa contoh sediaan obat yang diformulasikan dalam bentuk sediaan mengapung ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 2.2 Berbagai contoh formulasi bentuk sediaan mengapung (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011). No Bentuk Sediaan Nama Obat 1 Tablet Klorfeniramin maleat, teofilin, furosemid, siprofloksasin, captopril, asam aspirin, nimodipin, amoksisilin, dan verapamil HCl. 2 Kapsul Nicardipine, klordiazeposid HCl, furosemid, misoprostol, diazepam, propanolol. 3 Mikrosper Aspirin, griseofulvin, p-nitroanillin, ketoprofen, ibuprofen, dan terfenadin. 4 Granul Indometasin, natrium diklofenak, dan prednisolon. 5 Film Cinnarizine 30

23 Sementara itu, bentuk sediaan mengapung yang telah tersedia dipasaran dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 2.3 Sediaan mengapung yang telah tersedia di pasaran (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011). No Bentuk Sediaan Nama Obat Brand Name Perusahaan, Negara Produsen) 1 Floating Controlled Levodopa, MODAPAR Roche, USA Release Capsule benserazid 2 Floating Capsule Diazepam VALRELEA SE Hoffman-LaRoche, USA 3 Effervescent Floating Liquid Aluminium hidroksida, LIQUID GAVISON Glaxo Smith Kline, INDIA Alginate Preparation MgCO 3 4 Floating Liquid Alginate Preparation Al, Mg antacid TOPALKAN Pierre Fabre Drug, FRANCE 5 Colloidal gel Ferri sulfat CONVIRON Ranbaxy, INDIA forming FDDS 6 Gas-generating Siprofloksasin CIFRAN OD Ranbaxy, INDIA floating Tablets 7 Bilayer floating Capsule misoprostol CYTOTEC Pharmacia, USA Keuntungan sistem penyampaian obat mengapung Sistem penghantaran obat melalui sistem mengapung ini merupakan teknologi penghantaran obat dengan retensi lambung yang lebih lama dan memiliki beberapa keuntungan dalam pemberian obat dengan sistem ini. Keuntungan ini meliputi: a. Peningkatan penyerapan obat karena peningkatan waktu tinggal di lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan. b. Penghantaran obat dapat dikendalikan. c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung. d. Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan tertentu dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali. e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan. 31

24 f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional. g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien menjadi lebih baik. h. Penghantaran obat pada daerah tertentu (Sharma, et al., 2011). Berbagai keuntungan ini menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi untuk menghasilkan sistem pengahantaran yang ideal (Sharma, et al., 2011) Kekurangan sistem penyampaian obat mengapung Disamping memiliki banyak keuntungan dalam sistem mengapung ini, terdapat pula kekurangan dari sistem ini. Kekurangan ini meliputi: a. Retensi lambung yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, ph, dan motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya apung sediaan tidak dapat diprediksi. b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak cocok untuk sistem pemberian obat ini. c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung. d. Pengosongan lambung untuk pasien pada posisi tidur telentang yang terjadi secara acak tidak dapat diprediksi dan bergantung pada diameter dan ukuran sediaan mengapung. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat pasien akan tidur (Sharma, et al., 2011). 2.5 Polietilen Glikol (PEG) Polietilen glikol adalah polimer sintetik yang dapat dirumuskan oleh formula HOCH 2 (CH 2 OCH 2 )nch 2 OH. Nilai n dapat berkisar dari 1 sampai nilai yang sangat besar karena berat molekul polietilen glikol dapat berkisar antara

25 Senyawa yang memiliki berat molekul dari berbentuk cairan dan senyawa yang berat molekulnya berbentuk padatan. Senyawa glikol dengan berat molekul yang rendah biasanya digunakan untuk larutan kental dimana campuran biasanya dimanfaatkan sebagai basis salep larut air (Grosser, et al., 2011). Nama lain basis ini adalah carbowax, carbowax Sentry, Lipoxol, Lutrol E, dan Phenol E. Polietilen glikol merupakan polimer dari etilen oksida dan air. Pemberian nomor menunjukkan berat molekul rata-rata dari masing-masing polimer. Polietilen glikol yang memiliki berat rata-rata 200, 400, dan 600 berupa cairan bening yang tidak berwarna dan polietilen glikol yang memiliki berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat, dan kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul (Rowe, et al., 2003). Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol. Penamaan PEG umumnya ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul rata-rata. Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. PEG dengan bobot molekul (PEG ) berbentuk cair, PEG 1500 semi padat, PEG atau lebih berupa padatan semi kristalin, dan PEG dengan bobot molekul yang lebih besar dari berbentuk seperti resin pada suhu kamar. Umumnya PEG dengan bobot molekul yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat. Polimer ini mudah larut dalam berbagai pelarut, titik leleh, dan toksisitasnya rendah berada dalam bentuk semi kristalin. Kebanyakan PEG yang digunakan memiliki bobot molekul antara 4000 dan 20000, khususnya PEG 4000 dan PEG 6000 biasanya berbentuk serbuk putih dengan tekstur seperti lilin (Leuner dan Dressman, 2000; Rowe, et al., 2003). 33

26 Polietilen glikol 6000 adalah polietilen glikol H(O-CH 2 -CH 2 )n OH dimana harga n antara 158 dan 204. Pemerian: serbuk licin putih atau potongan putih gading, praktis tidak berbau dan berasa. Kelarutan: mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam kloroform P, dan praktis tidak larut dalalm eter P. Bobot molekul rata-rata: Kandungan lembab: sangat higroskopis walaupun higroskopis turun dengan meningkatnya bobot molekul, titik leleh 55-63ºC (Ditjen POM, 2014). Polietilen glikol 4.000, dan berbentuk serbuk putih dengan tekstur seperti lilin dan berwarna seperti parafin. Kelarutannya sangat larut dalam air, dalam diklorometan, dan sedikit larut dalam alkohol (Sweetman, 2009). Polietilen glikol dapat menunjukkan aktivitas oksidasi jika terjadi inkompatibilitas. Aktivitas antibakteri dari bakterisin atau benzilpenisilin dapat dikurangi jika diformulasi dengan salep yang mengandung basis PEG ini. (Sweetman, 2009). Penggunaan polietilen glikol dan polimer hidrofilik lain dengan konsentrasi tinggi dalam suatu formulasi dapat mempengaruhi sifat obat bahkan ketika obat dicampurkan dengan polimer. Mekanisme polimer hidrofilik dapat meningkatkan kelarutan obat atau meningkatkan tingkat kebasahan yang mengelilingi obat (Attwood dan Florence, 2008). 2.6 Kapsul Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya dimasukkan kedalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak dan keras. 34

27 Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien untuk memperoleh keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin keras merupakan kapsul yang digunakan oleh ahli farmasi dalam menggabungkan obat-obat dan pada umumnya kapsul jenis ini sering diproduksi oleh para pembuat sediaan farmasi (Ansel, 2005). Kulit kapsul dibuat dari gelatin pelentur dan air. Kulit kapsul dapat juga mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna, bahan pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang diinginkan. Plasticizier (pelentur) yang digunakan dengan gelatin pada pembuatan kapsul lunak relatif sedikit. Bahan yang paling banyak adalah Gliserin USP, Sorbitol USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasikombinasinya. Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering menetukan kekerasan cangkang gelatin dengan anggapan tidak ada pengaruh dari bahan yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008). Gelatin bersifat stabil diudara bila dalam keadaan kering akan tetapi mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembap atau disimpan dalam larutan berair. Biasanya cangkang kaspul gelatin mengandung uap air antara 9-12%. Apabila disimpan pada lingkungan dengan kelembapan yang tinggi, penambahan uap air akan diabsorbsi oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya. Sebaliknya pada lingkungan udara yang sangat kering, sebagian uap air yang terdapat pada kapsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh serta mungkin akan remuk bila dipegang (Ansel, 2005). Cangkang kapsul gelatin keras harus dibuat dalam dua bagian yaitu badan kapsul dan bagian tutupnya yang lebih pendek. Kedua bagian harus saling 35

28 menutupi bila dipertemukan dimana bagian tutup akan menyelubungi bagian tubuh secara tepat dan ketat (Ansel, 2005). Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, dan mudah pengisiannya tanpa persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil. Pada praktek peresepan, penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan sebagai pilihan dalam meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat pada perhitungan dosis yang dianggap baik untuk pasien secara individual. Fleksibilitasnya lebih menguntungkan daripada tablet. Beberapa pasien menyatakan lebih mudah menelan kapsul daripada tablet. Oleh karena itu, bentuk sediaan kapsul lebih disukai. Pilihan ini telah mendorong pabrik farmasi untuk memproduksi sediaan kapsul dan di pasarkan, walaupun produknya sudah ada dalam bentuk sediaan tablet (Gennaro, 2000). 2.7 Natrium Alginat Alginat sangat berlimpah di alam indonesia karena alginat sebagai komponen struktural yang terdapat pada alga coklat (Phaeophyceae) yang komponennya mencapai 40% bahan keringnya (Draget, et al., 2005) Umumunya, alginat komersil diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et al., 2005). Alginat merupakan bahan yang non toksik, non alergi, biodegradabel, dan biokompatibel (Rehm, 2009). Berikut adalah tabel yang menunjukkan perbandingan asam uronat (guluronat dan manuronat) pada berbagai sepsies alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field. 36

29 Tabel 2.4 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga (Draget, et al., 2005). Source F G F M F GG F MM F GG,MG Laminaria japonica 0,35 0,65 0,18 0,48 0,17 Laminaria digitata 0,41 0,59 0,25 0,43 0,16 Laminaria hyperborea, blade 0,55 0,45 0,38 0,28 0,17 Laminaria hyperborea, stipe 0,68 0,32 0,56 0,20 0,12 Laminaria hyperborea, outer cortex 0,75 0,25 0,66 0,16 0,09 Lessonia nigrescens 0,38 0,62 0,19 0,43 0,19 Ecklonia maxima 0,45 0,55 0,22 0,32 0,32 Macrocystis pyrifera 0,39 0,61 0,16 0,38 0,23 Durvillea Antarctica 0,29 0,71 0,15 0,57 0,14 Ascophyllum nodosum, fruiting body 0,10 0,90 0,04 0,84 0,06 Ascophyllum nodosum, old tissue 0,36 0,64 0,16 0,44 0,20 Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β-dmannuronat (M) dan α-l-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier (Grasdalen, et. al., 1979). Kedua unit itu berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1982). Struktur alginat dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Struktur kimia alginat (Thom, et al., 1982). Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah. 37

30 Natrium alginat lambat larut dalam air dan membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol, dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Aschophyllum, dan Sargassum (Belitz, et. al., 2009). Asam alginat tidak larut dalam air. Oleh karena itu, umumnya yang digunakan di industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat natrium alginat mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat, dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980). Pembentukan gel dan taut silang dari polimer-polimer adalah terutama dicapai melalui pertukaran ion natrium dari asam guluronat dengan ion kalsium dan membentuk struktur seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. Ca 2+ Gambar 2.8 Bentuk konformasi kotak telur kalsium alginat Pengikatan kation dan sifat-sifat pembentukan gel tergantung kepada komposisi dan urutannya. Afinitas terhadap kalsium meningkat dengan 38

31 peningkatan jumlah residu α-l asam guluronat pada alginat. Sifat-sifat fisik gel tergantung kepada rasio asam uronat dalam rantai polisakarida. Alginat yang kaya α-l guluronat membentuk gel yang kaku tapi rapuh, sedangkan alginat yang kaya β-d asam mannuronat lebih lemah tetapi lebih fleksibel (Morris, et al,. 1978; Sachan, et al., 2009). Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain: (i) ph pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat. (ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek salting-out kation-kation non-gelling), dan (iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005). Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul, dan ph. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pada ph dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990). Untuk kepentingan farmasetik digunakan natrium alginat dimana larutannya dalam air bereaksi netral sampai asam lemah. Sediaan alginat paling stabil pada daerah ph 6-7, sedangkan pada ph 4,5 asam bebasnya akan mengendap. Pemanasan yang kuat dan lama terutama >70 C dihindari karena akan mengalami kehilangan viskositas akibat terjadinya polimerisasi. Sediaan 39

32 disimpan dingin dan dilindungi dari cahaya dalam wadah tertutup baik (Voight, 1994). Natrium alginat yang umum digunakan antara 2,5% sampai 10% (Siregar dan Wikarsa, 2010). Di laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU pada beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Cangkang kapsul dibuat dengan bahan dasar berupa natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (ph 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan ph 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005). 2.8 Disolusi Pelepasan obat adalah suatu proses dimana obat meninggalkan produk obat dan melibatkan proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME), dan akhirnya menimbukan aksi farmakologis (Singhvi dan Singh, 2011). Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pka adalah faktor-faktor fisikokimia yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol (controlled release) atau terkendali (sustained release). Lepasnya suatu obat dari bentuk sediaan meliputi faktor disolusi atau difusi yang telah umum digunakan untuk metode pelepasan obat secara in vitro (Martin, dkk., 2008). 40

33 Disolusi secara farmasetikal dapat didefinisikan sebagai laju perpindahan massa dari permukaan padat ke dalam medium disolusi atau pelarut dalam kondisi standar antarmuka cairan/padat, suhu, dan komposisi pelarut. Langkah dasar dalam disolusi obat adalah reaksi antara obat padat dengan cairan dan/atau komponen medium disolusi. Reaksi ini berlangsung pada antarmuka padat-cair dan karena kinetika disolusi tergantung pada tiga faktor, yaitu laju aliran medium disolusi terhadap antarmuka padat-cair, laju reaksi pada antarmuka, dan difusi molekul dari molekul obat terlarut dari antarmuka terhadap medium pelarut (Singhvi dan Singh, 2011). Gambar 2.9 Langkah dasar mekanisme disolusi obat (Singhvi dan Singh, 2011): (1). Molekul pelarut dan/atau komponen dari disolusi medium bergerak menuju antarmuka (2). Adsorpsi (reaksi berlangsung pada antarmuka cairan-padatan) (3). Molekul obat terlarut bergerak menuju medium pelarut Disolusi merupakan percobaan secara in vitro yang mengukur kecepatan dan tingkat kelarutan suatu obat di dalam medium air dimana di dalam obat mengandung satu atau lebih bahan tambahan lainnya. Medium yang umum digunakan pada uji disolusi adalah medium lambung dan dapat fosfat. Masalah bioavailabilitas dapat ditemukan pada metode disolusi ini. Akan tetapi, pada percobaan disolusi yang dilakukan secara in vitro dapat dinyatakan masalah bioavailabilitas yang berbeda untuk setiap formulasi obat (Shargel dan Yu, 1998). 41

34 Laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang larut per satuan waktu di bawah kondisi yang dibakukan dari antarpermukaan cairan/padat, suhu, dan komposisi pelarut. Disolusi dapat dianggap sebagai suatu tipe spesifik reaksi heterogen tertentu ketika hasil pemindahan massa sebagai suatu pengaruh jaringan bersih antara molekul terlarut yang lepas dan yang mengendap pada permukaan padat (Siregar dan Wikarsa, 2010). Sejumlah metode untuk menguji disolusi secara in vitro telah dilakukan. Bila suatu sediaan obat dimasukkan kedalam gelas beaker yang berisi air atau dimasukkan kedalam saluran cerna, obat mulai masuk kedalam larutan dari bentuk padatnya. Desintegrasi, deagregasi, dan disolusi bisa berlangsung secara bersamaan dengan melepasnya suatu obat dari bentuk obat yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori, yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi: i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat. ii. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel yang kecil dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium sehingga laju disolusi akan meningkat. b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi: i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat, dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada 42

35 bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah dan bahan tambahan yang bersifat hidrofob dapat mengurangi laju disolusi. ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan dapat menambah laju disolusi. c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi: i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi. ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskostas medium maka semakin kecil laju disolusi bahan obat. iii. ph medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu akan mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000). Farmakope Indonesia edisi V memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelepasan obat yaitu: a. Metode Keranjang Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu 43

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan konsentrasi obat yang efektif selama periode yang diperlukan, terutama untuk obat-obat yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem penghantaran obat dengan memperpanjang waktu tinggal di lambung memiliki beberapa keuntungan, diantaranya untuk obat-obat yang memiliki absorpsi rendah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk sediaan yang sudah banyak dikenal masyarakat untuk pengobatan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang.

BAB I PENDAHULUAN. Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid. (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Natrium diklofenak merupakan Obat Antiinflamasi Non-steroid (OAINS) yang banyak digunakan sebagai obat anti radang. Obat ini dapat menyebabkan masalah gastrointestinal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadi pada bagian lambung dan akan mereda setelah makan atau sesudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadi pada bagian lambung dan akan mereda setelah makan atau sesudah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Peptic Ulcer 2.1.1 Gambaran umum Penyakit peptic ulcer adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel. Gambaran klinis utamanya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lambung merupakan perluasan organ berongga besar berbentuk kantung dalam rongga peritoneum yang terletak di antara esofagus dan usus halus. Saat keadaan kosong, bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Rosmawati, 2016), Penentuan formula tablet floating propranolol HCl menggunakan metode simple lattice design

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Tablet Mengapung Verapamil HCl Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih lima formula untuk dibandingkan kualitasnya, seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Teofilin Rumus Bangun : Nama Kimia : 1,3-dimethylxanthine Rumus Molekul : C 7 H 8 N 4 O 2 Berat Molekul : 180,17 Pemerian : Serbuk hablur, Putih; tidak berbau;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki beberapa masalah fisiologis, termasuk waktu retensi lambung yang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki beberapa masalah fisiologis, termasuk waktu retensi lambung yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rute pemberian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang paling nyaman dan paling sering digunakan (Badoni, et al.,2012). Namun, rute ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu sediaan obat yang layak untuk diproduksi harus memenuhi beberapa persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan obat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerupai flubiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat

BAB I PENDAHULUAN. menyerupai flubiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Natrium diklofenak merupakan derivat sederhana fenilasetat yang menyerupai flubiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meluas hingga ke mukosa muskularis, yang berlangsung lama dan umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meluas hingga ke mukosa muskularis, yang berlangsung lama dan umumnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum (Peptic Ulcer) Ulkus peptikum merupakan kerusakan pada mukosa gastrointestinal yang meluas hingga ke mukosa muskularis, yang berlangsung lama dan umumnya bergantung

Lebih terperinci

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat terutama dalam bidang industri farmasi memacu setiap industri farmasi untuk menemukan dan mengembangkan berbagai macam sediaan obat. Dengan didukung

Lebih terperinci

BAB II SISTEM MENGAPUNG (FLOATING SYSTEM)

BAB II SISTEM MENGAPUNG (FLOATING SYSTEM) BAB II SISTEM MENGAPUNG (FLOATING SYSTEM) 2.1 Definisi Floating System Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1968, merupakan suatu sistem dengan densitas yang kecil, memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaptopril adalah senyawa aktif yang berfungsi sebagai inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) yang banyak digunakan untuk pasien yang mengalami gagal jantung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KITSAN Kitosan adalah polimer alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitin adalah polisakarida terbanyak kedua setelah selulosa. Kitosan merupakan polimer yang aman, tidak

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspirin 2.1.1 Uraian umum aspirin (Ditjen POM, 1995) Rumus Bangun: Gambar 2.1 Rumus bangun aspirin Rumus Molekul : C 9 H 8 O 4 Berat Molekul : 180,16 Pemerian : Hablur putih,

Lebih terperinci

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang farmasi semakin pesat, khususnya dalam pengembangan berbagai macam rancangan sediaan obat. Rancangan sediaan obat

Lebih terperinci

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi BAB 1 PENDAHULUAN Sampai saat ini, sediaan farmasi yang paling banyak digunakan adalah sediaan tablet, yang merupakan sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkular,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bioavailabilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal

Lebih terperinci

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN Hingga saat ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam meningkatkan mutu suatu obat. Tablet adalah sediaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gliklazid adalah agen anti hiperglikemia yang digunakan secara oral untuk pengobatan non-insulin dependent diabetes mellitus. Gliklazid termasuk dalam golongan sulfonilurea.

Lebih terperinci

waktu tinggal sediaan dalam lambung dan memiliki densitas yang lebih kecil dari cairan lambung sehingga obat tetap mengapung di dalam lambung tanpa

waktu tinggal sediaan dalam lambung dan memiliki densitas yang lebih kecil dari cairan lambung sehingga obat tetap mengapung di dalam lambung tanpa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini, kemajuan di bidang teknologi dalam industri farmasi telah mengalami perkembangan dalam meningkatkan mutu dan kualitas suatu obat, utamanya di bidang sediaan

Lebih terperinci

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari.

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari. BAB I PENDAHULUAN Saat ini banyak sekali penyakit yang muncul di sekitar lingkungan kita terutama pada orang-orang yang kurang menjaga pola makan mereka, salah satu contohnya penyakit kencing manis atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi kelainan musculoskeletal, seperti artritis rheumatoid, yang umumnya hanya meringankan

Lebih terperinci

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, penyakit saluran cerna merupakan penyakit yang sangat sering dialami oleh banyak orang karena aktivitas dan rutinitas masingmasing orang, yang membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. polimer struktural pada ganggang laut sama seperti selulosa pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN. polimer struktural pada ganggang laut sama seperti selulosa pada tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Alginat merupakan karbohidrat, seperti gula dan selulosa dan merupakan polimer struktural pada ganggang laut sama seperti selulosa pada tanaman (Dornish and Dessen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaptopril merupakan golongan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor yang banyak digunakan sebagai pilihan untuk pengobatan gagal jantung dan hipertensi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Formulasi Granul Mengapung Teofilin Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula untuk dibandingkan karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel

Lebih terperinci

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat Al Syahril Samsi, S.Farm., M.Si., Apt 1 Faktor yang Mempengaruhi Liberation (Pelepasan), disolution (Pelarutan) dan absorbtion(absorbsi/difusi)lda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Granul merupakan sediaan multiunit berbentuk agglomerat dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Granul merupakan sediaan multiunit berbentuk agglomerat dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. GRANUL Granul merupakan sediaan multiunit berbentuk agglomerat dari partikel kecil serbuk (7). Pemberiaan granul dapat dilakukan dengan memasukkan granul ke dalam kapsul gelatin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Besi (2+) sulfat (1:1) heptahidrat. Pemerian : Hablur atau granul warna hijau kebiruan, pucat, kuning kecoklatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Besi (2+) sulfat (1:1) heptahidrat. Pemerian : Hablur atau granul warna hijau kebiruan, pucat, kuning kecoklatan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fero Sulfat 2.1.1 Uraian Bahan Rumus molekul : FeSO 4.7H 2 O Berat molekul : 278,01 Nama kimia : Besi (2+) sulfat (1:1) heptahidrat Pemerian : Hablur atau granul warna hijau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi di bidang farmasi begitu pesat, termasuk pengembangan berbagai

Lebih terperinci

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. BAB 1 PENDAHULUAN Di era globalisasi saat ini, rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab salah satu gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Obat anti-inflamasi non steroid (AINS) banyak dimanfaatkan pada pengobatan kelainan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Senyawa yang memiliki berat molekul dari berbentuk cairan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Senyawa yang memiliki berat molekul dari berbentuk cairan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polietilen Glikol (PEG) Polietilen glikol adalah polimer yang dapat dirumuskan oleh formula HOCH 2 (CH 2 OCH 2 ) n CH 2 OH. Nilai n dapat berkisar dari 1 sampai nilai yang sangat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pembuatan tablet floating sebelumnya telah dilakukan, misalnya pada penelitian mengenai optimasi formula tablet floating propanolol hidroklorida dengan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Definisi Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin; tetapi dapat juga

Lebih terperinci

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker. BAB 1 PENDAHULUAN Pemberian obat oral telah menjadi salah satu yang paling cocok dan diterima secara luas oleh pasien untuk terapi pemberian obat. tetapi, terdapat beberapa kondisi fisiologis pada saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, teknologi di bidang farmasi saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan jarak ukuran nm. Obat dilarutkan, dijerat, dienkapsulasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan jarak ukuran nm. Obat dilarutkan, dijerat, dienkapsulasi, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanopartikel didefinisikan sebagai dispersi partikulat atau partikel padat dengan jarak ukuran 1-1000 nm. Obat dilarutkan, dijerat, dienkapsulasi, dan diikat dalam

Lebih terperinci

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat. I. Pembahasan Disolusi Suatu obat yang di minum secara oral akan melalui tiga fase: fase farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik,

Lebih terperinci

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, terutama dalam bidang farmasi, memberikan kesempatan pada bagian Research and Development di sebuah industri farmasi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, tukak lambung menjadi suatu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat dan dalam kondisi yang parah dapat menjadi penyebab kematian. Tukak lambung merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketoprofen merupakan senyawa obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam fenilalkanoat yang bekerja sebagai antiinflamasi, antipiretik, analgetik, dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum 2.1.1 Definisi Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

Lebih terperinci

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA A. GINJAL SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA Sebagian besar produk sisa metabolisme sel berasal dari perombakan protein, misalnya amonia dan urea. Kedua senyawa tersebut beracun bagi tubuh dan harus dikeluarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. 1.1 Latar Belakang Penghambat kanal Ca 2+ adalah segolongan obat yang bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk konvensional dapat mengiritasi lambung bahkan dapat. menyebabkan korosi lambung (Wilmana, 1995).

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk konvensional dapat mengiritasi lambung bahkan dapat. menyebabkan korosi lambung (Wilmana, 1995). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat AINS merupakan suatu grup obat yang secara kimiawi tidak sama dalam hal aktivitas antipiretik, analgesik dan antiinflamasinya. Sediaan aspirin dalam bentuk konvensional

Lebih terperinci

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan BAB 1 PENDAHULUAN Sediaan Tablet merupakan suatu bentuk sediaan solid mengandung bahan obat (zat aktif) dengan atau tanpa bahan pengisi (Departemen Kesehatan RI, 1995). Tablet terdapat dalam berbagai ragam,

Lebih terperinci

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam 1. Agen Pelindung Mukosa a Sukralfat Dosis Untuk dewasa 4 kali sehari 500-1000 mg (maksimum 8 gram/hari) sewaktu lambung kosong (1 jam sebelum makan dan tidur). Pengobatan dianjurkan selama 4-8 minggu,

Lebih terperinci

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, perkembangan terhadap metode pembuatan sediaan obat untuk meningkatkan mutu obat juga semakin maju. Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan populasi sebesar 256 juta jiwa. Indonesia menjadi negara terbesar kedua se-asia-pasifik yang sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tramadol HCl berikut: Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai Gambar 1. Struktur Tramadol HCl Tramadol HCl dengan rumus molekul C 16 H 25 N 2, HCl

Lebih terperinci

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan BAB 1 PENDAHULUAN Saat ini indutri farmasi berfokus pada pengembangan sistem penghantaran obat secara oral yang menawarkan kepatuhan pasien dan dosis yang efektif. Rute pemberian oral tidak diragukan lagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan perkembangan dunia dewasa ini, industri farmasi mengalami kemajuan yang pesat.

Lebih terperinci

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan di bidang teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, memberikan dampak pengembangan terhadap metode untuk meningkatkan mutu suatu obat.

Lebih terperinci

Suspensi. ALUMiNII HYDROXYDUM COLLOIDALE. Aluminium Hidroksida Koloidal. Alukol

Suspensi. ALUMiNII HYDROXYDUM COLLOIDALE. Aluminium Hidroksida Koloidal. Alukol Suspensi Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen merupakan obat OAINS dari turunan asam propionat yang memiliki khasiat sebagai antipiretik, antiinflamasi dan analgesik pada terapi rheumatoid arthritis

Lebih terperinci

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek

anti-inflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak. Obat golongan ini mempunyai efek BAB 1 PENDAHULUAN Saat ini, rasa sakit karena nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari seseorang. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya baik dengan upaya farmakoterapi,

Lebih terperinci

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam BAB 1 PENDAHULUAN Klorfeniramin maleat merupakan obat antihistamin H 1 Reseptor yang dapat menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos, serta bekerja dengan mengobati

Lebih terperinci

Pemberian obat secara bukal adalah pemberian obat dengan cara meletakkan obat diantara gusi dengan membran mukosa pipi. Pemberian sediaan melalui

Pemberian obat secara bukal adalah pemberian obat dengan cara meletakkan obat diantara gusi dengan membran mukosa pipi. Pemberian sediaan melalui BAB 1 PENDAHULUAN Absorbsi obat dalam tubuh tergantung dari kemampuan obat berpenetrasi melewati membran biologis, struktur molekul obat, konsentrasi obat pada tempat absorpsi, luas area absorpsi, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga I. PENDAHULUAN Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari. Lambung merupakan tempat yang

Lebih terperinci

/ ml untuk setiap mg dari dosis oral, yang dicapai dalam waktu 2-3 h. Setelah inhalasi, hanya sekitar 10% -20% dari dosis dihirup mencapai paruparu

/ ml untuk setiap mg dari dosis oral, yang dicapai dalam waktu 2-3 h. Setelah inhalasi, hanya sekitar 10% -20% dari dosis dihirup mencapai paruparu BAB 1 PENDAHULUAN Terbutalin sulfat merupakan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit asma bronkial. Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan peradangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi dalam bidang kefarmasian saat ini telah cukup maju atau dapat dikatakan mengalami modernisasi. Hal ini berkenaan dengan derajat kualitas obat

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan yang masuk ke dalam tubuh harus melalui serangkaian proses pencernaan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. eritrosit. Pemilihan antianemia bergantung pada penyebab anemia. Anemia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. eritrosit. Pemilihan antianemia bergantung pada penyebab anemia. Anemia BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat-obat Antianemia Defisiensi Besi Hematinik adalah antianemia untuk menambah kadar hemoglobin dalam eritrosit. Pemilihan antianemia bergantung pada penyebab anemia. Anemia

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. PEG (polietilen glikol) merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. PEG (polietilen glikol) merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer 2.1.1 Polietilen glikol (PEG) PEG (polietilen glikol) merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formulasi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah sediaan tablet.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit utama dari lambung dan duodenum adalah, gastritis (radang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit utama dari lambung dan duodenum adalah, gastritis (radang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit utama dari lambung dan duodenum adalah, gastritis (radang lambung), ulkus lambung (gastric ulcer), duodenitis (radang usus) dan ulkus duodenum (duodenal ulcer),

Lebih terperinci

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit BAB 1 PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir, bentuk sediaan transdermal telah diperkenalkan untuk menyediakan pengiriman obat yang dikontrol melalui kulit ke dalam sirkulasi sistemik (Tymes et al., 1990).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Natrium Diklofenak 2.1.1 Uraian Bahan Rumus bangun : Rumus molekul : C 14 H 10 Cl 2 NNaO 2 Berat molekul : 318,13 Nama kimia : asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino]-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tablet adalah sediaan oral dalam bentuk padat yang mengandung bahan aktif dengan atau tanpa bahan tambahan yang sesuai (Departemen Keshatan RI, 2014). Tablet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5% A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Asetosal 150 mg Starch 10% PVP 5% Laktosa q.s Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5% Monografi a. Asetosal Warna Bau

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lembab karena sejatinya kulit normal manusia adalah dalam suasana moist atau

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lembab karena sejatinya kulit normal manusia adalah dalam suasana moist atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit mempunyai beberapa fungsi utama yang penting untuk tubuh, yaitu sebagai termoregulasi, sintesis metabolik, dan pelindung. Adanya suatu trauma baik itu secara

Lebih terperinci

SISTEM PENCERNAAN. Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok

SISTEM PENCERNAAN. Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok SISTEM PENCERNAAN Oleh: dr. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok PENDAHULUAN Sistem pencernaan bertanggung jawab untuk menghancurkan dan menyerap makanan dan minuman Melibatkan banyak organ secara mekanik hingga kimia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu,

enzim dan ph rendah dalam lambung), mengontrol pelepasan obat dengan mengubah struktur gel dalam respon terhadap lingkungan, seperti ph, suhu, BAB 1 PENDAHULUAN Dalam sistem penghantaran suatu obat di dalam tubuh, salah satu faktor yang penting adalah bentuk sediaan. Penggunaan suatu bentuk sediaan bertujuan untuk mengoptimalkan penyampaian obat

Lebih terperinci

Aspirin merupakan salah satu obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang

Aspirin merupakan salah satu obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspirin merupakan salah satu obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang memiliki efek analgetik, antipiretik, anti inflamasi, dan dalam dosis rendah dapat menghambat

Lebih terperinci

Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Lambung. Anak Agung K Tri K

Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Lambung. Anak Agung K Tri K Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Lambung Anak Agung K Tri K 111 0211 075 ANATOMI LAMBUNG (GASTER) Bentuk : seperti huruf J Letak : terletak miring dari regio hipochondrium kiri cavum abdominis mengarah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Uraian Umum Aspirin (Ditjen POM, 1995) Gambar 2.1 Rumus Bangun Aspirin. kering; di dalam udara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Uraian Umum Aspirin (Ditjen POM, 1995) Gambar 2.1 Rumus Bangun Aspirin. kering; di dalam udara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspirin 2.1.1 Uraian Umum Aspirin (Ditjen POM, 1995) Rumus Bangun : Gambar 2.1 Rumus Bangun Aspirin Rumus Molekul : C 9 H 8 O 4 Berat Molekul : 180,16 Pemerian : Hablur putih,

Lebih terperinci

periode waktu yang terkendali, selain itu sediaan juga harus dapat diangkat dengan mudah setiap saat selama masa pengobatan (Patel et al., 2011).

periode waktu yang terkendali, selain itu sediaan juga harus dapat diangkat dengan mudah setiap saat selama masa pengobatan (Patel et al., 2011). BAB 1 PENDAHULUAN Obat dapat diberikan kepada pasien melalui sejumlah rute pemberian yang berbeda. Rute pemberian obat dapat dilakukan secara peroral, parenteral, topikal, rektal, intranasal, intraokular,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat di dalam tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim sitokrom

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Getah Jarak Pengumpulan getah jarak (Jatropha curcas) berada di Bandarjaya, Lampung Tengah yang berusia 6 tahun. Pohon jarak biasanya dapat disadap sesudah berumur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini di masyarakat kita, banyak ditemukan penyakit kelainan muskuloskeletal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. saluran cerna, mual, diare dan nyeri abdominal sehingga konsumen tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. saluran cerna, mual, diare dan nyeri abdominal sehingga konsumen tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asam mefenamat merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) yang banyak digunakan oleh para pemakai, namun senyawa ini juga memiliki efek samping yang merugikan

Lebih terperinci

Artikel Kimia tentang Peranan Larutan Penyangga

Artikel Kimia tentang Peranan Larutan Penyangga Artikel Kimia tentang Peranan Larutan Penyangga A. PENGERTIAN Larutan penyangga atau dikenal juga dengan nama larutan buffer adalah larutan yang dapat mempertahankan nilai ph apabila larutan tersebut ditambahkan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN FORMULASI TABLET MATRIKS GASTRORETENTIVE FLOATING DARI AMOKSISILIN TRIHIDRAT

PENGEMBANGAN FORMULASI TABLET MATRIKS GASTRORETENTIVE FLOATING DARI AMOKSISILIN TRIHIDRAT PENGEMBANGAN FORMULASI TABLET MATRIKS GASTRORETENTIVE FLOATING DARI AMOKSISILIN TRIHIDRAT Nursiah Hasyim 1, Mirawati 2, dan Sri Sulistiana 2 1 Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar 2 Fakultas

Lebih terperinci