BAB III PROSES DAN METODOLOGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PROSES DAN METODOLOGI"

Transkripsi

1 BAB III PROSES DAN METODOLOGI 3.1 Persiapan Pelaksanaan KLHS Persiapan pelaksanaan KLHS, dilakukan dengan mengadakan pertemuan yang dihadiri beberapa SKPD terkait, perwakilan masyarakat dan pihak lain yang mendukung kegiatan penyusunan KLHS. Pertemuan ini dilakukan pada tanggal 14 Januari Pertemuan tanggal 14 Januari 2013 ini membicarakan beberapa hal yang penting, yaitu: 1. Status persetujuan substansi RTRW Kabupaten Aceh Selatan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi Dalam Penetapan Rancangan peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota Beserta Rencana Rincinya. 2. Diskusi terkait pemangku lintas kepentingan (multi-stakeholder forum) yang selama ini menjadi mitra Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan. 3. Pembahasan rencana kerja, peran dan tanggung jawab para pihak yang akan berpartisipasi di dalam proses KLHS dan proses pelaksanaan KLHS yang didukung oleh kajian Strategi Pembangunan Emisi Rendah (SPER); analisis KLHS ini disertai dengan penilaian analisis untuk menyusun kajian SPER. Hal ini ditujukan untuk memasukan pertimbangan perubahan iklim dalam penyusunan KLHS. 4. Rencana pendokumentasian rangkaian kegiatan KLHS dan SPER, serta akses publik dalam proses KLHS. 5. Pengumpulan data dan informasi awal yang diperkirakan dibutuhkan pada saat menyusun KLHS, diantaranya Draft Ranqanun RTRW, Materi Teknis RTRW, Aceh Selatan Dalam Angka, dan lain sebagainya. 3.2 Identifikasi dan Pelibatan Pemangku Kepentingan Salah satu prinsip KLHS adalah partisipatif, dimana proses penyusunan KLHS dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP). Identifikasi dan Pelibatan pemangku kepentingan pada proses penyusunan KLHS, diawali dengan pembentukan Tim KLHS Kabupaten yang juga melibatkan perwakilan masyarakat, kemudian pada setiap 28

2 lokakarya yang diadakan selama proses penyusunan KLHS dilibatkan perwakilan masyarakat. Pemilihan peserta lokakarya merupakan peran dari Bappeda Kabupaten Aceh Selatan selaku penanggung jawab kegiatan. Sementara itu masukan untuk pemilihan peserta diberikan oleh para pihak yang mendukung kegiatan ini. 3.3 Identifikasi dan Pelingkupan Isu Strategis KLHS Identifikasi dan Pelingkupan Isu Strategis dilakukan dalam sebuah lokakarya yang melibatkan pemangku kepentingan. Tim Kerja KLHS mempelajari materi teknis RTRW Kabupaten Aceh Selatan (Matek RTRW) serta berbagai data dan informasi terkait kondisi fisik, lingkungan, kependudukan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya untuk keperluan penyusunan pra pelingkupan. Diskusi dengan metode brainstorming dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil prapelingkupan dan menggali isu-isu lain yang belum tercantum pada hasil prapelingkupan tersebut. Aplikasi kartu metaplan menjadi alat bantu dalam proses diskusi ini. Hasil diskusi identifikasi isu strategis ini kemudian menjadi bahan bagi proses pelingkupan. Hasil pra pelingkupan (disajikan pada Lampiran 3) digunakan oleh Tim Kerja KLHS dan Pemangku Lintas Kepentingan sebagai bahan diskusi lebih lanjut. Hasil pelingkupan isu-isu strategis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan hutan 2. Frekuensi banjir yang masih sering terjadi 3. Pertambangan yang tidak ramah lingkungan 4. Perubahan penggunaan lahan pertanian 5. Hama dan Penyakit tanaman Pala 6. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan 7. Persediaan kayu olahan terbatas 8. Kearifan lokal memudar 9. Pendidikan lingkungan 10. Penegakan hukum lingkungan yang lemah 11. Konflik penggunaan lahan. Setelah proses pra-pelingkungan dilakukan, tahap berikutnya adalah proses pelingkungan terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutan. Pada tahap ini dilakukan seleksi atau pemilihan terhadap isu strategis yang paling prioritas/signifikan. Proses pelingkungan dilakukan dengan cara sebagai berikut: 29

3 Memeriksa duplikasi terhadap berbagai isu strategis yang diidentifikasi pada tahap pra-pelingkupan. Hal ini dilakukan sebagai satu langkah awal sebelum memeriksa isu-isu ini menggunakan kriteria strategis. Memilih isu strategis yang paling signifikan berdasarkan kriteria strategis yang ditetapkan, yaitu: (1) bersifat lintas sektor; (2) bersifat lintas wilayah; (3) potensi dampak kumulatif & efek ganda; serta (4) berdampak negatif jangka panjang jika tidak diselesaikan. Setiap isu strategis yang diidentifikasi diberi nilai berdasarkan keempat kriteria yang ditetapkan tersebut. Memilih isu yang memiliki dimensi keruangan untuk dianalisis lebih jauh. Setelah melalui proses kajian dan penilaian berdasarkan keempat kriteria yang ditetapkan di atas, Tim Kerja KLHS menetapkan isu strategis pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Aceh Selatan. Konsultasi publik dilakukan untuk memperoleh tanggapan dan masukan dari publik yang lebih luas terkait dengan isu-isu strategis ini. Konsultasi public dilakukan pada tanggal 16 November 2013 dan menghasilkan 4 (empat) isu strategis pembangunan berkelanjutan, yaitu: 1. Frekuensi banjir yang masih sering terjadi 2. Pertambangan yang tidak ramah lingkungan 3. Alih fungsi lahan sawah untuk perkebunan 4. Sebaran Hama dan Penyakit tanaman Pala yang Makin Meluas 3.4 Analisis Data Dasar (Baseline Analysis) Setelah tahap pelingkungan isu strategis pembangunan berkelanjutan, tahap berikutnya yang dilakukan adalah melakukan kajian Analisis Data Dasar (baseline analysis). Analisis data dasar ini diperlukan untuk mendukung identifikasi isu strategis pembangunan berkelanjutan yang telah dilakukan. Dalam proses ini dibutuhkan data dan informasi yang mendukung setiap isu strategis pembangunan berkelanjutan yang telah ditetapkan. Hal ini diperlukan untuk proses verifikasi isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan hasil proses pelingkupan sebelumnya. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai SKPD terkait, data primer yang dikumpulkan oleh SKPD terkait, catatan masyarakat, data empiris stakeholders secara kualitatif, dan lain sebagainya. 30

4 Metode yang digunakan pada proses analisis data dasar adalah analisis kecenderungan terhadap parameter dan indikator yang terkait dengan tiap isu strategis. Analisis data dasar untuk setiap isu strategis memuat deskripsi sebagai berikut: 1) Gambaran Isu Strategis, dimaksudkan untuk menjelaskan kondisi/fakta dan masalah isu dimaksud; lokasi isu strategis, faktor penyebab isu yang terkait dan implikasi masalah dimaksud. 2) Analisis Kecenderungan, dimaksudkan untuk menjelaskan proses yang muncul dan berkembangnya masalah yang dimaksud semenjak 5 tahun yang lalu di masing-masing lokasi, kelompok masyarakat yang mengalami kerugian akibat masalah dimaksud; apakah masalah dimaksud sudah mencapai titik kritis; mengapa masalah ini cenderung meningkat, apakah karena pembiaran? 3) Perkiraan kecenderungan pada masa yang akan datang, dimaksudkan untuk menjelaskan prakiraan 5 tahun yang akan datang apabila masalah tersebut tidak ditangani; bagaimana akumulasi kerugian (finansial dan lingkungan hidup), kelompok masyarakat yang mengalami kerugian; apakah memang masalah dimaksud tidak dapat dicegah dan/atau ditanggulangi dan/atau dipulihkan?. 4) Rangkuman atau kesimpulan hasil analisis kecenderungan 5) Analisis kecenderungan didukung dengan data tabuler, grafik, peta, grafik, dan lain sebagainya Isu Strategis : Frekuensi banjir yang masih sering terjadi Dengan kondisi topografi, geologi, dan curah hujan, wilayah Kabupaten Aceh Selatan relatif rawan terhadap ancaman bencana alam terutama banjir di daerah dataran banjir. Sebagai daerah yang memiliki DAS cukup banyak, Kabupaten Aceh Selatan juga rawan terhadap bahaya banjir, terutama banjir sungai. Sebagian besar banjir terjadi di kawasan paparan banjir, yaitu yang berada di sepanjang sisi sungai-sungai yang mengalir di Kabupaten Aceh Selatan. Kawasan dataran rendah di bagian Selatan Kabupaten Aceh Selatan juga dikenal sebagai daerah rawa yang memang merupakan kawasan paparan banjir. Selain itu, curah hujan di kawasan Selatan relatif cukup tinggi. Data klimatologi menunjukkan curah hujan di wilayah Selatan ini juga didominasi dengan curah hujan yang cukup tinggi, yaitu mm/tahun. 31

5 Data Bappeda Kabupaten Aceh Selatan 2010 menunjukkan daerah-daerah yang rawan terhadap banjir tersebar di Kecamatan Samadua, Sawang, Kluet Selatan, Kluet Utara, Trumon, Trumon Timur, Tapaktuan, dan Meukeuk. Beberapa lokasi rawan banjir juga merupakan daerah rawan erosi dan longsor. Diduga kondisi topografi dan geologi di kawasan Aceh Selatan mempengaruhi kejadian longsor dan erosi yang berakibat pada banjir bandang. Data Kabupaten Aceh Selatan Dalam Angka 2010 menunjukkan tahun 2009 tercatat kejadian banjir sebanyak 29 kali dan tersebar di 11 kecamatan. Frekuensi kejadian banjir terbanyak terjadi di Kecamatan Bakongan, Kota Bahagian, Trumon dan Trumon Timur. Kejadian banjir tahun 2008 tercatat sebanyak 35 kali, sedang tahun 2007 tercatat sebanyak 16 kali. Jumlah korban akibat kejadian bencana alam, terutama banjir terbanyak terjadi pada tahun 2008 dibanding tahun 2009 dan Pada tahun 2009, data Kabupaten Aceh Selatan Dalam Angka 2010 mencatat jumlah korban yang terkena dampak sebanyak jiwa, sedang pada tahun 2009 mencatat jumlah korban yang terkena dampak banjir jiwa. Sedangkan jika ditinjau dari kelas lerengnya, meskipun 46% wilayah Kabupaten Aceh Selatan merupakan dataran rendah dengan kemiringan di bawah 25%, namun sebagian besar merupakan kawasan rawa dengan tingkat curah hujan yang tinggi sehingga rawan terjadi banjir (Gambar 6). Kawasan di bagian paling selatan Kabupaten Aceh Selatan merupakan SM Rawa Singkil, sehingga kawasan Trumon dan sekitarnya juga merupakan kawasan rawa. Sementara kawasan Kluet dan sekitarnya yang merupakan kawasan dataran rendah diindikasikan merupakan daerah rawa. Tabel 5 menggambarkan banjir yang terjadi setiap tahunnya berdasarkan catatan beberapa media. 32

6 Gambar 6. Peta Curah Hujan di Kabupaten Aceh Selatan Tabel 5 : Catatan Media Bencana Banjir di Aceh Selatan Kejadian Lokasi dan Deskripsi Banjir 10 Mei 2013 Kecamatan Sawang, Kluet Tengah, Kluet Utara, Kota Bahagia, Bakongan, dan Kluet Selatan. Ribuan rumah terendam banjir hingga ketinggian 2,5 meter. 2 Desember 2012 Trumon - ketinggian air mencapai 1 hingga 2 meter, evakuasi korban dilakukan dari tiga wilayah dalam kecamatan Trumon, yakni wilayah Cot Bayu, wilayah Ie Jerneh, dan Padang Harapan. Sumber Merdeka.com 11 Mei m/peristiwa/ribuanrumah-terendam-banjirdi-aceh-seorang-bocahtewas.html Badan SAR Nasional id/index.php/baca/berita /1729/banjir-kembalidatang-di-trumon-acehselatan 33

7 Kejadian Banjir 1 Desember Oktober Desember 2010 Pertengahan November awal Desember 2008 Lokasi dan Deskripsi Kota Bahagia dan Bakongan - delapan desa di Kecamatan Kota Bahagia dan dua desa di Kecamatan Bakongan dilanda banjir besar. Kecamatan Kota Bahagia meliputi Desa Butong, Ujung Gunong Rayeuk, Ujong Gunong Cut, Ujong Tanoh, Jambo Kepok, Alur Dua Mas, Rambong dan Desa Buket Gadeng. Sedangkan di Kecamatan Bakongan meliputi Desa Ujung Padang dan Gampong Drien. Banjir akibat meluapnya Krueng Bakongan ini juga telah mengakibatkan lima desa di wilayah itu terisolir, yakni Desa Beutong, Ujong Tanoh dan Ujong Pulo Cut, Alur Dua Mas dan Jambo Kepok. Ketinggian air 1 2 meter. Banjir di 5 kecamatan yaitu Kec. Kluet Tengah, Kec. Kluet Utara, Kec. Kluet Timur, Kec. Kluet Selatan dan Kec. Bakongan. Kecamatan Trumon dan Trumon Timur. Banjir akibat luapan sungai Singkil karena curah hujan tinggi. Desa yang terpapar banjir: Desa Lhok Raya, Cot Bayu, Desa Seuneubok Jaya, Ujong Tanoh, dan Padang Harapan. Kecamatan Trumon dan Trumon Timur Sumber: Disarikan oleh Tim KLHS dari Berbagai Media Sumber Serambi Indonesia, 2 Desember om/2011/12/02/banjirlanda-kota-bahagia-danbakongan Berita Kementerian Kesehatan, Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, 4 Oktober isis.depkes.go.id/article/ view/6/958/banjir-di- Kabupaten-Aceh- Selatan.htm Surya Online, 2 Desember ws.com/2010/12/02/ba njir-aceh-selatan-kianparah Jejak dari 9/04/refleksi-daribanjir-aceh.html Kawasan Rawan Banjir di Kabupaten Aceh Selatan tersebar hampir setiap kecamatan dengan tingkat potensi banjir sangat ringan seluas ,19 ha (4,41%) dan potensi banjir ringan seluas ,12 ha (3,96%) yang berada di Kecamatan Bakongan, Trumon, dan Trumon Timur. 34

8 No. Gambar 7. Kondisi Banjir di Kecamatan Trumon Tahun 2011 Tabel 6 : Sebaran dan Luas Kawasan Rawan Banjir di Aceh Selatan Kecamatan Luas Total (ha) Tidak Berpotensi Banjir (ha) Luas Wilayah Potensi Banjir Berpoensi Banjir Sangat Ringan (ha) Berpotensi Banjir Ringan (ha) 1. Trumon , ,92 2. Trumon Timur , ,23 3. Bakongan ,02 437, ,97 4. Bakongan Timur Kluet Selatan , ,95-6. Kluet Timur , ,10-7. Kluet Utara , ,84-8. Pasieraja , ,44-9. Kluet Tengah ,64 162, Tapaktuan ,18 525, Samadua , Sawang ,23 870, Meukek , , Labuhanhaji ,01 181, Labuhanhaji Timur ,10 521, Labuhanhaji Barat , , Kota Bahagia Trumon Tengah Aceh Selatan , , ,12 Sumber: SLHD Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2011 Potensi Banjir ini terjadi pada musim penghujan, yaitu Bulan Nopember sampai Bulan Maret. Ketinggian air bisa mencapai satu meter pada kawasan 35

9 dengan potensi banjir ringan.potensi banjir di Kecamatan Bakongan, Trumon, dan Trumon Timur sebagian besar disebabkan oleh perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan dan sebagian juga terjadi alih fungsi dari hutan menjadi perkebunan sawit. Kecenderungan banjir akan semakin tinggi di masa akan datang, mengingat pembangunan yang akan semakin berkembang di daerah ini Isu strategis : Pertambangan yang tidak ramah lingkungan Potensi pertambangan di Aceh Selatan meliputi pertambangan mineral dan batuan (galian C). Pertambangan mineral diantaranya adalah emas, besi, timah, tembaga, airraksa, dsb); sedang potensi pertambangan batuan diantaranya sirtu dan tanah urug. Salah satu kegiatan pertambangan yang telah beroperasi di Kabupaten Aceh Selatan adalah perusahaan PT. Pinang Sejati Utama, tepatnya di Kawasan Gunung Desa Simpang Dua, Menggamat Kecamatan Kluet Tengah. Saat ini aksi penambangan illegal marak terjadi di Aceh Selatan, akibatnya, pemerintah mengalami kerugian yang besar serta mengancam keselamatan warga di sekitar penambangan tersebut. Kegiatan pertambangan, terutama pertambangan ilegal cenderung dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Laporan SLHD menggambarkan sejumlah dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegitan pertambangan. Tabel 7 menunjukkan lokasi dan dampak lingkungan akibat kegiatan penambangan batuan; sedang Tabel 8 menunjukkan dampak dari kegiatan penambangan mineral. Berbeda dengan kegiatan penambangan batuan, kegiatan penambangan bahan mienral mengakibatkan dampak yang lebih luas, meliputi kegiatan penggalian, pencucian, pengangkutan, dan pengolahan. Tabel 7 : Lokasi dan Dampak Penambangan Batuan Bahan Lokasi Tambang 1. Sirtu Desa Seneubok Keranji Kecamatan Bakongan ,0 m 3 ; Desa Pinto Rimba Kecamatan Trumon dengan Deposit ,000,0 m 3, Desa Tepi Gunung Kecamatan Kluet Utara ,0 Dampak Dampak dari kegiatan penambangan Pasir/tanah urug: Penurunan permukaan air sungai yang mengakibatkan banyak saluran irigasi tidak teraliri sehingga menyebabkan keringnya lahan pertanian di beberapa tempat ; Rusaknya beberapa bangunan sungai yang sangat vital, seperti rusaknya Dam yang disebabkan oleh penambangan pasir yang terlalu dekat, rusaknya pondasi Jembatan Krueng Baroe Kecamatan Labuhanhaji 36

10 Bahan Tambang 2. Tanah urug Lokasi m 3 ; Desa Pulo Ie II Kecamatan Kluet Utara ,0 m 3 dan Desa Ladang Rimba Kecamatan Trumon dengan Deposit ,0 m 3. Gunung Kemenyan Kecamatan Kluet Selatan ,0 m 3 ) Desa Paya Ateuk Kecamatan Pasieraja ,0 m 3 Kampung Pisang Kecamatan Labuhanhaji ,0 m 3 Desa Ie Mirah Kecamatan Kluet Utara ,0 m 3 di Desa Pulo Ie II Kecamatan Kluet Utara dengan deposit ,0 m 3 Sumber: SLHD Kabupaten Aceh Selatan 2011 Dampak kemungkinan disebabkan kegiatan penambangan di sekitar tiang-tiang penyangga jembatan. Penurunan permukaan sungai mempengaruhi penurunan permukaan air sumur penduduk; Hilangnya gundukan pasir di pantai yang berguna sebagai benteng alam yang efektif terhadap ancaman terjadinya abrasi atau gelombang pasang. Penambangan Pasir pada Lahan Sawah atau Pekarangan, bila penambangan pasir di sawah dekat dengan irigasi teknis akan memberikan dampak, diantaranya adalah hilangnya top soil tanah sehingga lahan menjadi tidak subur dan rusaknya jaringan irigasi teknis yang dapat mempengaruhi aliran air ke lahan-lahan yang lain. Sedangkan penambangan pasir di pekarangan akan berdampak pada hilangnya kesuburan tanah sehingga terjadi peningkatan luas lahan kritis. Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan batu: meningkatnya kerawanan terhadap bahaya longsor, hilangnya keseimbangan ekosistem lokal; kemungkinan adanya kepunahan organisme endemik ekosistem perbukitan batu kapur ; munculnya konflik dengan masyarakat sekitar lokasi penambangan yang disebabkan oleh: peningkatan kerawanan terhadap bahaya longsor yang dapat mengancam permukiman mereka, peningkatan kebisingan, getaran dan konsentrasi partikel debu yang disebabkan oleh kegiatan penambangan yang dapat menurunkan kualitas udara sekitar, lalu lintas kendaraan berat yang dapat menimbulkan kerawanan gangguan lalu lintas, peningkatan konsentrasi partikel debu, kebisingan dan getaran serta kerusakan sarana dan prasarana jalan Tabel 8 : Lokasi dan Dampak Penambangan Mineral Bahan Galian B Lokasi Dampak Tembaga (a). 4 km Barat Laut Tapaktuan; (b). 16 km Barat Laut Panton Luas; (c). 15 km Barat laut Tapaktuan bagian Dampak-dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan sebagai berikut : 1). Kerusakan habitat dan biodiversity 37

11 Bahan Galian B Lokasi Dampak utara; (d). 1 km Tenggara Tapaktuan; (e). 12 km Timur Laut Tapaktuan bagian Timur; (f). 15 km timur laut Tapaktuan bagian timur; (g). 15 km Tenggara Air Pinang. Emas Labuhanhaji Besi a). Desa Panton Luas Tapaktuan, dan (b). 15 km Tenggara Desa Air Pinang. Lokasi Deposit pasir besi terdapat di Kecamatan Samadua Timah Desa Panton Luas, Barat Air Raksa Laut Kecamatan Tapaktuan. Krueng Simpali Kecamatan Tapaktuan dan Batu Bara sebelah Timur Kota Tapaktuan. Sumber : SLHD Kabupaten Aceh Selatan 2011 pada lokasi pertambangan. 2). Perlindungan ekosistem/habitat/biodiversity di sekitar lokasi pertambangan. 3). Perubahan lanskap/gangguan visual/kehilangan penggunaan lahan. 4). Stabilitas site dan rehabilitasi. 5). Limbah tambang dan pembuangan tailing. 6). Kecelakaan/terjadinya longsoran fasilitas tailing. 7). Peralatan yang digunakan, limbah padat, limbah rumah tangga. 8). Emisi udara. 9). Debu. 10). Perubahan iklim. 11). Konsumsi energi. 12). Pelumpuran dan perubahan aliran sungai. 13). Buangan air limbah dan air asam tambang. 14). Limbah B3 dan bahan kimia. 15). Pengelolaan bahan kimia, keamanan, dan pemaparan bahan kimia di tempat kerja. 16). Kebisingan. 17). Radiasi. 18). Keselamatan dan Kesehatan kerja. 19). Toksisitas logam berat. 20). Peninggalan budaya dan situs arkeologi 21). Kesehatan masyarakat dan pemukiman di sekitar tambang. Kegiatan pertambangan umum, misalnya pertambangan emas di beberapa tempat di Kabupaten Aceh Selatan, telah menghasilkan sejumlah limbah padat dan cair yang berupa tailling dari hasil pengolahan bahan tambang. Kebiasaan ini berdampak terhadap perubahan pola hidrologi sekitar kegiatan, perubahan peruntukan lahan dan sungai, penurunan kualitas air sungai dan air tanah, serta penurunan keanekaragaman hayati. Pemerintah harus bersikap bijak untuk menanggapi kemungkinan akan timbulnya pencemaran sungai akibat penambangan emas rakyat. Salah satu obyek yang berpotensi terjadi pencemaran merkuri adalah Sungai Krueng Kluet dan Krueng Sawang karena di hulu Sungai tersebut terdapat penambangan emas rakyat menggunakan merkuri. Jika jatuh ke air akan memunculkan reaksi lanjutan (residu) yang jika diuraikan bakteri akan 38

12 menjadi senyawa beracun bernama metil mercury (CH3 Hg). Apabila merkuri yang jatuh ke air melalui sisa-sisa ikatan tambang emas sampai ke dasar sungai, sifatnya sudah beracun (toksin). Pada manusia, dampaknya bisa mengenai kinerja saraf tubuh sebagaimana terjadi di tragedi Minamata Jepang. Karenanya badan sungai yang diduga menjadi aliran pergerakan merkuri perlu diantisipasi sedini mungkin. Pada saat proses pengolahan ternyata juga cukup rawan bagi kesehatan manusia. Mereka yang membakar emas yang menggunakan mercury, terancam gangguan saluran pernafasan karena udara yang dihirup masuk hingga menuju paru-paru. Kecenderungan masa depan untuk kegiatan penambangan ini diperkirakan akan semakin tinggi, hal ini dilihat dari potensi kandungan bahan galian yang masih dinilai cukup banyak dan diminati masyarakat Isu strategis : Alih Fungsi Lahan Sawah untuk Perkebunan Lahan pertanian di Kabupaten Aceh Selatan meliputi lahan untuk budidaya padi (padi sawah dan padi ladang), sayur-sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan, dan areal yang dikembangkan untuk budidaya perairan (kolam ikan dan tambak). Lahan pertanian di Kabupaten Aceh Selatan umumnya berada di wilayah dataran rendah pada jalur yang sempit di sepanjang pantai dan sebagian kecil bukit-bukit yang berbatasan dengan daerah pesisir. Lahan pada jalur yang sempit tersebut sekitar 15% dari total areal kabupaten. Sisanya 85% dari areal kabupaten merupakan perbukitan dan pegunungan yang sebagian besar merupakan bagian dari kawasan hutan. Komoditi kelapa sawit saat ini menjadi potensi untuk pengembangan perkebunan di Kabupaten Aceh Selatan. Kelapa sawit mulai menjadi primadona setelah komoditi lada sejak dicanangkannya penggalakan kebun kelapa sawit oleh Pemerintah Provinsi Aceh untuk pengurangan kemiskinan pada sekitar tahun Pada saat itu Pemerintah Provinsi Aceh mendorong kegiatan perkebunan kelapa sawit dengan membagikan benih kelapa sawit kepada masyarakat. Perkebunan kelapa sawit umumnya berada di bagian Selatan Kabupaten Aceh Selatan, yaitu di Kecamatan Bakongan, Kota Bahagia, Trumon, Trumon Timur, Trumon Tengah, Kluet Timur, Kluet Selatan, dan Kluet Tengah. Perkebunan kelapa sawit yang kelola oleh masyarakat banyak ditanam di lereng gunung dan berbatasan dengan TNGL (Gampong Pucuk Lembang). Data terkait dengan kondisi perkebunan kelapa sawit di Aceh Selatan masih terbatas. Berikut ini tabel data produksi dan luasan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Selatan. 39

13 Kelapa Sawit Produksi (Ton) Tabel 9 : Jumlah Produksi dan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Luas Lahan Rakyat (Ha) Luas Lahan Sawit (Ha) Sumber: BKPM Nasional dan SLHD Aceh Selatan Dari tabel di atas terlihat bahwa produksi kelapa sawit di Aceh Selatan meningkat tajam pada tahun 2010 dan 2011, dan diperkirakan jumlah produksi tersebut akan terus meningkat di masa akan datang. Luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dikelola masyarakat berjumlah sekitar 30% dari luas lahan perkebunan kelapa sawit sedangkan sebagian besar lainnya dikelola perusahaan perkebunan. Berdasarkan keterangan stakeholder pada lokakarya telaah dampak muatan RTRW, diketahui bahwa sebagian masyarakat mengalihkan lahan sawahnya menjadi perkebunan kelapa sawit atau mengalihkan lahan kebunnya yang sebelumnya ditanami tanaman kebun lainnya menjadi kelapa sawit. Data yang mendukung hal ini adalah data penurunan lahan sawah, walaupun tidak seluruhnya berubah menjadi kelapa sawit, namun setidaknya dikatakan sebagian berubah menjadi kebun kelapa sawit. Luas areal irigasi (ha) Teknis Semi teknis Sederhana Total Gambar 8. Penurunan Luas Sawah di Aceh Selatan Tahun

14 Kondisi yang demikian menjadikan kekhawatiran, bila berlanjut terus, utamanya dampak yang terkait dengan produksi padi dan tanaman pangan lainnya, selain juga kerusakan lingkungan yang diperkirakan disebabkan oleh kebun kelapa sawit Isu strategis : Sebaran hama dan penyakit tanaman pala yang semakin meluas Salah satu produk unggulan Kabupaten Aceh Selatan adalah Pala. Tanaman Pala di Aceh Selatan merupakan tanaman kebun yang paling banyak ditanam oleh masyarakat. Dari total luas tanaman pala di Provinsi Aceh, sebanyak lebih kurang 87 persen berasal dari Aceh Selatan. Pada masa lalu perawatan tanaman yang minim namun nilai buah yang tinggi menjadikan tanaman Pala menjadi sumber penghasilan utama bagi sebagian besar petani di Aceh Selatan. Jumlah produksi pala Aceh Selatan mengalami fluktuasi dalam sepuluh tahun tahun terakhir, seperti terlihat pada bagan berikut ini : Gambar 9. Produksi Tanaman Pala tahun Bagan di atas memperlihatkan kecenderungan produksi pala yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bila diperhatikan terdapat kurun waktu dimana terjadi penurun yang signifikan, misalnya , dan tahun Penyebab penurunan produksi tersebut, menurut stakeholder pada diskusi telaah dampak, salah satunya disebabkan hama dan penyakit tanaman pala. Lebih jelasnya dapat dilihat perkembangan luas lahan tanaman pala dalam sepuluh tahun terakhir, sebagaimana terlihat pada bagan berikut: 41

15 Gambar 10. Luas Lahan Pala Aceh Selatan Keterangan : TBM : Tanaman Belum Menghasilkan TM : Tanaman Menghasilkan TR : Tanaman Rusak Data tersebut di atas memperlihatkan bahwa luas lahan pala terus meningkat dari tahun ke tahun, terlihat dari jumlah TBM yang meningkat, bahkan meningkat signifikan pada tahun Data tersebut juga memperlihatkan jumlah tanaman rusak (TR) yang terus menurun. Apabila dihubungkan antara bagan 8 dan bagan 9 di atas, diperkirakan penyebab penurunan produksi ditahun disebabkan banyaknya tanaman yang rusak. Jenis hama yang kerap mengganggu tanaman pala adalah hama penggerak batang (kumbang Batocera hercules) yang menyerang batang tanaman. Ulat ini sangat cepat berkembang biak dan menyerang batang tanaman segala usia. Hal ini diperkirakan karena mulai hilangnya burung murai batu, murai kampong, cempala, dan beberapa jenis burung lain pemakan hama ulat. Masalah lainnya adalah hadirnya penyakit akar yang menyerang akar tanaman pala, yaitu jamur akar putih (Rigidoporus microporus) dan jamur akar hitam (Rosselina pepo). Penyakit ini sangat mematikan, satu pohon pala yang terkena penyakit ini akan mati hanya dalam hitungan hari. Walaupun jumlah tanaman rusak terus menurun, namun hal ini tetap mengkhawatirkan dan merugikan sebagian masyarakat di Aceh Selatan, utamanya bagi masyarakat yang hanya menggantungkan mata pencahariannya pada tanaman pala. 42

16 3.5 Identifikasi Muatan RTRW terkait Isu Strategis Pembangunan Berkelanjutan Tim KLHS Aceh Selatan melakukan kegiatan identifikasi muatan RTRW yang memiliki potensi dampak negatif terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutan pada kegiatan lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal Mei 2013 di Kota Tapaktuan, yaitu di ruang aula Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Aceh Selatan. Proses identifikasi muatan RTRW dimulai dengan mengidentifikasi program dalam materi teknis RTRW yang terkait dengan isu strategis. Keterkaitan dinilai berdasarkan dampak dari program tersebut terhadap setiap isu strategis. Selanjutnya telaah detail dilakukan terhadap program yang dinilai dapat memberikan dampak negative terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutan. Secara umum muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan yang dikaji meliputi: 1) Rencana Struktur Ruang, yang terdiri atas: Rencana pusat-pusat pelayanan/kegiatan yang berisi penetapan pusat-pusat kegiatan/pelayanan secara berhirarki; Rencana sistem jaringan prasarana utama, yang berisi rencana sistem jaringan transportasi, meliputi sistem transportasi darat dan sistem transportasi udara; Rencana sistem jaringan prasarana lainnya, yang berisi rencana sistem jaringan energi/kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem sumberdaya air, dan sistem prasarana lainnya; 2) Rencana Pola Ruang, yang merupakan alokasi distribusi ruang bagi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. 3) Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK), yang berisi penetapan 7 (tujuh) KSK yang ditetapkan berdasarkan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi. Lingkup identifikasi muatan RTRW adalah untuk memahami keterkaitan rencana tata ruang (struktur dan pola ruang) dan program-program perwujudan ruang dengan isu strategis KLHS. Sebagai panduan diskusi pada lokakarya ini, digunakan beberapa pertanyaan uji berikut ini: 1) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan kejadian seperti banjir, longsor dan kekeringan? 43

17 2) Apakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan? 3) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan sulitnya dipenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya alam yang mendasar seperti bahan pangan dan air bersih? 4) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan gangguan terhadap ekosistem yang berfungsi lindung? 5) Adakah muatan RTRW yang berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kehidupan makhluk hidup lain dan keseimbangannya dengan kehidupan manusia? Berdasarkan hasil diskusi pada lokakarya tersebut, terdapat 11 (sebelas) muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan yang diidentifikasikan memberikan dampak terhadap isu strategis pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Aceh Selatan sebagaimana terangkum pada Tabel 10 di bawah ini. No Tabel10 : Rangkuman Identifikasi Muatan RTRW Kabupaten Aceh Selatan yang Terkait Isu Strategis Pembangunan Berkelanjutan A. Rencana Struktur Ruang Muatan RTRW Kab. Aceh Selatan 1. Pengembangan Sistem Pusat Kegiatan Isu Strategis a. Pengembangan PKL Tapaktuan b. Pengembangan PKLp Bakongan 2. Pengembangan jaringan jalan baru pada 6 (enam) ruas, yaitu: a. ruas Despot Keude Trumon Cut Bayu b. ruas Buloh Seuma Kuala Baru c. ruas Alue Rumbia Simpang Tiga d. ruas Bukit Mas Alue Saya e. ruas Brahan Seuneubok Keranji f. ruas Seunebok Keranji Laot Bangko B. Rencana Pola Ruang 1. Kawasan peruntukan perkebunan rakyat seluas Ha yang dikembangkan pada kawasan APL 2. Kawasan peruntukan perkebunan rakyat seluas Ha yang dikembangkan pada kawasan hutan yang diusulkan untuk perubahan status 3. Kawasan peruntukan pertambangan, yang meliputi: Potensi pertambangan Emas di Lab. Haji Timur, Kluet 44

18 No Muatan RTRW Kab. Aceh Selatan Tengah, Pasieraja, Sawang, Meukek, Samadua Potensi pertambangan Tambang Bijih Besi di Trumon Tengah, Luet Tengah, Trumon Timur, Meukek, Sawang, Pasieraja Potensi pertambangan Galena/Timah Hitam di lokasi: Bakongan, Kota Bahagia Potensi pertambangan Batubara di lokasi: Pasieraja dan Tapaktuan Isu Strategis Sumber: Hasil kajian Tim KLHS, 2013 Keterangan Isu Strategis: Isu 1 = Peningkatan frekuensi banjir Isu 2 = Penambangan yang tidak ramah lingkungan Isu 3 = Alih Fungsi Lahan Sawah untuk Perkebunan Isu 4 = Hama/penyakit tanaman pala 3.6 Dokumentasi Dan Penjaminan Mutu Dokumentasi Permen Lingkungan Hidup No. 09/2011 menyebutkan mengenai dokumentasi proses KLHS. Proses-proses KLHS perlu didokumentasikan, dengan tujuan membuka akses bagi publik untuk menilai dan menanggapi khususnya dari sisi substansi. Tim KLHS Kabupaten melakukan dokumentasi pada proses penyusunan KLHS, dokumentasi ini berupa berita acara dan catatan hasil lokakarya/konsultasi publik. Selanjutnya sebuah laporan KLHS sebagai hasil akhir dari proses penyusunan KLHS dipersiapkan. Karena keterbatasan sumberdaya, dokumentasi ini belum dipublikasikan secara luas. Bagi masyarakat yang memerlukan dokumentasi ini dapat menghubungi pihak Bappeda Kabupaten Aceh Selatan Penjaminan Mutu Penjaminan mutu KLHS sebagaimana dimuat dalam Permen LH No. 09/2011 adalah sebuah upaya untuk memastikan bahwa proses KLHS sudah dilaksanakan sesuai dengan mekanisme atau tahapannya, termasuk substansi hasil KLHS telah direkomendasikan. Pelaksanaan penjaminan mutu menjadi tanggung jawab pembuat kebijakan, rencana, dan/atau program itu sendiri. Publik dan pihak lain yang berkepentingan dapat melakukan penilaian mutu KLHS. Dalam proses penyusunan KLHS ini, Tim KLHS menggunakan Permen LH 09/2011 sebagai panduan untuk memeriksa penjaminan mutu penyusunan 45

19 KLHS. Secara umum hal yang diperhatikan dalam memastikan mutu pelaksanaan KLHS antara lain: 1. kejelasan tujuan kebijakan, rencana dan/atau program; 2. kejelasan perumusan isu strategis pembangunan berkelanjutan; 3. keterkaitan antara kebijakan, rencana, dan/atau program dengan isu strategis; 4. kejelasan rumusan alternatif penyempurnaan dan rekomendasi; 5. kelengkapan dokumentasi; dan 6. terlaksananya seluruh proses KLHS. 46

LAMPIRAN BERITA ACARA

LAMPIRAN BERITA ACARA LAMPIRAN BERITA ACARA KONSULTASI PUBLIK HASIL KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2012-2032 Tapaktuan, 25 Agustus 2014 Proses penyampaian masukan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PEMERINTAH KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RANPERDA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2014 2O34 September 2014 1. Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH

BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH BAB IV PENGKAJIAN PENGARUH Pada bagian berikut akan dijelaskan secara berjenjang (tiering) implikasi rencana tata ruang (rencana struktur ruang dan rencana pola ruang) dan implikasi program perwujudan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan dan lingkungan hidup adalah dua bidang yang saling berkaitan. Di satu sisi pembangunan dirasakan perlu untuk meningkatkan harkat hidup manusia. Tapi di

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto WALIKOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan perlu didukung data dan informasi lingkungan hidup yang akurat, lengkap dan berkesinambungan. Informasi

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DISAMPAIKAN PADA BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN MINERAL DAN BATUBARA DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN DAN LINGKUP PERENCANAAN TATA RUANG

BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN DAN LINGKUP PERENCANAAN TATA RUANG BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN DAN LINGKUP PERENCANAAN TATA RUANG 2.1 Profil Kabupaten Aceh Selatan 2.1.1 Letak Geografis Secara geografis Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR TABEL Daftar Tabel... i BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan. l 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah

Lebih terperinci

KATALOG BPS BADANPUSATSTATISTIK KABUPATENACEHSELATAN

KATALOG BPS BADANPUSATSTATISTIK KABUPATENACEHSELATAN KATALOG BPS1101002.1103022 BADANPUSATSTATISTIK KABUPATENACEHSELATAN STATISTIK KECAMATAN KOTA BAHAGIA 2015 STATISTIK DAERAH KECAMATAN KOTA BAHAGIA 2015 ISSN : No. Publikasi : Katalog BPS : 1101002.1103022

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN TRUMON TENGAH KABUPATEN ACEH SELATAN

QANUN KABUPATEN ACEH SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN TRUMON TENGAH KABUPATEN ACEH SELATAN QANUN KABUPATEN ACEH SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN TRUMON TENGAH KABUPATEN ACEH SELATAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH (RPJM) KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN

RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH (RPJM) KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH (RPJM) BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH 2.1. Aspek Geografi dan Demografi Aspek geografis menganalisis mengenai karakteristik lokasi dan wilayah untuk

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN FERRY INDARTO, ST DINAS LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TIMUR Malang, 24 Oktober 2017 DEFINISI KLHS : RANGKAIAN ANALISIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu unsur alam yang sama pentingnya dengan air dan udara. Tanah adalah suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang dapat ditumbuhi oleh

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam merupakan salah satu kekayaan alam yang harus tetap dijaga kelestariannya. Saat ini banyak daerah yang memanfaatkan sumber daya alamnya untuk

Lebih terperinci

KERUSAKAN LINGKUNGAN

KERUSAKAN LINGKUNGAN bab i KERUSAKAN LINGKUNGAN A. KONSEP KERUSAKAN LINGKUNGAN Kerusakan lingkungan sangat berdampak pada kehidupan manusia yang mendatangkan bencana saat ini maupun masa yang akan datang, bahkan sampai beberapa

Lebih terperinci

Daftar Tabel. halaman. Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan

Daftar Tabel. halaman. Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan Daftar Tabel Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan halaman Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan... I - 1 Tabel SD-2. Luas Kawasan Hutan Menurut

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat

Lebih terperinci

Daftar Tabel. Kualitas Air Rawa... I 28 Tabel SD-15. Kualitas Air Sumur... I 29

Daftar Tabel. Kualitas Air Rawa... I 28 Tabel SD-15. Kualitas Air Sumur... I 29 Daftar Tabel Bab I Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya A. Lahan dan Hutan Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan... I - 1 Tabel SD-2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan suatu daerah yang sebagian wilayahnya merupakan lokasi kegiatan beberapa perusahaan skala nasional dan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Lebih terperinci

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel SD-1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-1A. Perubahan Luas Wilayah Menurut Penggunaan lahan Utama Tahun 2009 2011... 2 Tabel SD-1B. Topografi Kota Surabaya...

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 0 BUPATI SIGI PROVINSI

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang 43 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Umum Kecamatan Sragi a. Letak Geografis Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada di

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 10/PRT/M/2015 TANGGAL : 6 APRIL 2015 TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BAB I TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di dunia. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana banjir sudah menjadi bencana rutin yang terjadi setiap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

KONDISI FISIK BAB I 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH

KONDISI FISIK BAB I 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH BAB I KONDISI FISIK 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH Sebelum dilakukan pemekaran wilayah, Kabupaten Kampar merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Provinsi Riau dengan luas mencapai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia SUMBER DAYA ALAM (SDA) Kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia SUMBER DAYA ALAM TIM ILMU LINGKUNGAN FMIPA UNSYIAH JENIS-JENIS SDA Sumber daya alam yang dapat diperbaharui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak memberikan sumber kehidupan bagi rakyat Indonesia dan penting dalam pertumbuhan perekonomian. Hal tersebut

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan dan mahluk termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis 3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Penelitian dilakukan di dua kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi. Fokus area penelitian adalah ekosistem transisi meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU Oleh NUR ANITA SETYAWATI, 0706265705 Gambaran Umum DAS SIAK Sungai Siak adalah sungai yang paling dalam di Indonesia, yaitu dengan kedalaman sekitar 20-30 meter. Dengan Panjang

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PEMERINTAH KABUPATEN ACEH SELATAN PROVINSI ACEH KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS RANPERDA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2014 2O34 September 2014 KATA PENGANTAR Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Setelah dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data skunder dari instansi terkait, dan data primer hasil observasi dan wawancara maka dapat diperoleh

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran K-13 Geografi K e l a s XI BARANG TAMBANG INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kegiatan pertambangan. 2. Memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 39 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan pemerintah Indonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa, industri pertambangan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 216 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2.

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2. DAFTAR ISI Halaman: Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar LAMPIRAN I LAMPIRAN II LAMPIRAN III LAMPIRAN IV...... TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. Umum 2. Lampiran 1a: Wilayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Jayapura Tahun 2013-2017 merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang harus ada dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga memiliki kawasan pesisir yang luas dari tiap wilayah pulaunya. Kawasan pesisir ini digunakan oleh penduduk Indonesia

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci