BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM HUKUM PERJANJIAN. dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM HUKUM PERJANJIAN. dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim."

Transkripsi

1 26 BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM HUKUM PERJANJIAN A. Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Menurut Paul Scolten bahwa: prinsip atau asas hukum merupakan pikiranpikiran dasar yang terdapat di dalam sistem hukum masing-masing yang dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 51 Prinsip hukum diperlukan sebagai dasar pembentukan aturan hukum dan sekaligus sebagai dasar dalam menyelesaikan persoalan hukum yang timbul manakala aturan hukum yang tersedia tidak memadai. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat di dalam sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. 52 Prinsip hukum merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dan dapat pula dijadikan dasar bagi hakim di dalam menemukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada aturan hukum positif. 53 hal M. Hadi Subhan, Op.cit, hal Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), 53 Ibid. 26

2 27 Dalam perjanjian timbal balik, terdapat sebuah prinsip hukum yang menegaskan bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. 54 Masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut bertindak sebagai kreditor dan debitor. Tidak dipenuhinya prestasi oleh salah satu pihak akan berhubungan langsung dengan pemenuhan prestasi oleh pihak lainnya. 55 Karena itu tidak logis apabila salah satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan pihak itu sendiri dalam keadaan wanprestasi. Oleh karena itu, pihak yang dituduh lalai dan dimintakan pertanggungjawabannya atas kelalaian tersebut dapat membela dirinya dengan mengajukan tangkisan yang disebut exceptio non adimpleti contractus. 56 Berdasarkan kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, prinsip exceptio non adimpleti contractus diartikan sebagai sangkalan dalam suatu persetujuan timbal balik yang dikemukakan oleh suatu pihak bahwa pihak lawan juga berada dalam keadaan lalai (in gebreke) dan dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi. 57 Pengertian prinsip exceptio non adimpleti contractus, dipahami sebagai suatu bentuk tangkisan dengan jalan mengungkap keadaan nyata yang mana sesungguhnya kreditor yang menggugat sebenarnya tidak berhak mengajukan tuntutan untuk memaksa debitor memenuhi prestasinya karena kreditor telah wanprestasi terlebih dahulu Harlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan; Buku Ke dua, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010), hal H. Ridwan Syahrani, Loc.cit. 56 Ibid. 57 Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1983), hal Ibid.

3 28 Achmad Ali berpendapat bahwa: prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan pembelaan bagi debitor untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan kreditorpun lalai. 59 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa: Exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa ia (debitur) tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditur sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitur selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu. 60 Selanjutnya J. Satrio mengemukakan bahwa: prinsip exceptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang menyatakan bahwa kreditor sendiri belum berprestasi dan karenanya kreditor tidak patut untuk menuntut debitor berprestasi. Tangkisan ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditor akan pemenuhan perjanjian. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan ini hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja. 61 Debitor yang menggunakan tangkisan atau pembelaan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus tentunya ingin menghindar dari kewajibannya untuk melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati. Kewajiban tersebut merupakan kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu yang disebut dengan prestasi Achmad Ali, Op.cit, hal H. Riduan Syahrani, Op.cit, hal J. Satrio, Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV), Kamis 11 November 2010, diakses pada tanggal 06 Juni Lihat ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata.

4 29 Prinsip exceptio non adimpleti contractus merupakan prinsip yang berasal dari hukum Romawi yang menyatakan bahwa: apabila salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik tidak memenuhi kewajibannya atau tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi kewajibannya. 63 Prinsip exceptio non adimpleti contractus telah mendapatkan tempat di dalam KUHPerdata yang mengikuti ketentuan Code Civil Perancis. 64 Dalam sejarah hukum perjanjian, semula yang berlaku dalam suatu perjanjian timbal balik, yaitu antara kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain. Konsekuensinya dalam perjanjian timbal balik, jika salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi), maka pihak lain harus tetap melaksanakan prestasinya sampai selesai. 65 Hal ini dirasakan sangat tidak adil, sehingga kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain ini sudah lama ditinggalkan, antara lain karena munculnya konstruksi hukum sebagai berikut: pihak yang digugat telah melakukan wanprestasi dapat membela diri dengan membuktikan bahwa pihak lawan juga sudah terlebih dahulu melakukan wanprestasi H. Riduan Syahrani, Op.cit, hal J. Satrio, Ketika Penggugat dan Tergugat Sama-Sama Dihukum, Kamis, 23 Agustus 2007, diakses pada tanggal 08 Juni Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Ke dua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hal Ibid, hal. 127.

5 30 Dalam sejarah hukum di Inggris dan Amerika Serikat misalnya, semula juga berlaku kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian timbal balik saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain, yakni berlaku sampai pertengahan abad ke-18 (delapan belas). Baru kemudian diparuh abad ke-18 (delapan belas), muncul putusan-putusan pengadilan yang tidak lagi memberlakukan hal tersebut. Kasus terkenal (landmark case) yang tidak lagi memberlakukan kewajiban dari masing-masing pihak dalam suatu perjanjian timbal balik saling berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain adalah yang dikenal dengan kasus Kigston melawan Preston (diputuskan di Inggris pada tahun 1773). 67 Duduk perkara dari kasus Kigston melawan Preston adalah tergugat menjual bisnisnya kepada penggugat di mana pembeli dapat membayarnya secara cicilan. Penjualan bisnis ini disertai dengan pemberian jaminan utang yang dapat dieksekusi oleh penjual manakala pihak pembeli tidak dapat membayar cicilan harga belinya itu. Kemudian, pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan jaminan utang, sehingga pihak penjual tidak mau menjual bisnisnya. Akan tetapi pihak pembeli menggugat pihak penjual ke pengadilan karena dengan tidak dijualnya lagi bisnis tersebut kepada pembelinya. Dalam hal ini pihak penjual dikatakan telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji oleh pihak pembeli. 68 Putusan menyatakan bahwa tidak dijualnya lagi bisnis kepada pembeli bukanlah tindakan wanprestasi, karena pihak pembeli telah terlebih dahulu 67 Ibid. 68 Ibid, hal

6 31 wanprestasi. Pengadilan menyatakan bahwa pengikatan jaminan utang merupakan syarat bagi penjualan bisnis. Sebab jika pihak penjual diharuskan untuk menjual bisnisnya, sementara pihak pembeli nyata-nyata tidak melakukan kewajibannya, hal tersebut akan menjadi sangat tidak adil (the greatest injustice). 69 Prinsip exceptio non adimpleti contractus berlaku dalam hukum perjanjian Indonesia. Meskipun demikian, masih ditemukan kasus bahwasannya majelis hakim mengabulkan permintaan penggugat dalam perjanjian timbal balik dengan alasan pihak tergugat telah melakukan wanprestasi, padahal pihak penggugat juga telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Seperti pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus PT. Surya Mas Duta melawan Bank Niaga. Hakim memutuskan bahwa pihak tergugat (Bank Niaga) harus menambah lagi kreditnya kepada penggugat sesuai yang diperjanjikan, meskipun pihak penggugat sudah tidak membayar terhadap kredit yang diambilnya. 70 Berdasarkan perjanjian timbal balik yang mana kewajiban para pihak berhubungan sangat erat antara satu sama lain, maka kiranya bisa diterima, bahwa jika pihak yang satu menuntut pemenuhan kewajiban dari pihak yang lain, maka pihak tersebut sudah seharusnya melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati di dalam perjanjian. Menurut Nieuwenhuis, prinsip exceptio non adimpleti 69 Ibid. 70 Ibid, hal. 120.

7 32 contractus dapat diterapkan dalam perjanjian timbal balik, sekurang-kurangnya dapat diterapkan pada jual beli. 71 B. Aturan Hukum Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam Hukum Perjanjian 1. Peraturan Perundang-undangan Hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan aturan hukum peninggalan Belanda, yaitu yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata, yang berjudul tentang perikatan yang terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini. Perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab dalam Buku III KUHPerdata diatur perihal perhubungan-perhubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechmatige daat) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarneming). Namun, sebagian besar dari Buku III KUHPerdata ditujukan kepada 71 Harlien Budiono, Op.cit, hal. 204.

8 33 perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi isinya mengenai hukum perjanjian. 72 Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang perikatan, keseluruhannya terdiri atas delapan belas bab (bab I sampai dengan bab XVIII). Bab I sampai dengan IV yang mengatur tentang: Bab I : ketentuan perikatan pada umumnya (Pasal KUHPerdata) Bab II : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari persetujuan atau perjanjian (Pasal KUHPerdata). Bab III : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang (Pasal KUHPerdata) Bab IV : Mengatur tentang hapusnya perikatan (Pasal KUHPerdata) Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang perjanjian-perjanjian khusus yang merupakan tipe-tipe dari perjanjian-perjanjian yang selalu terjadi dalam masyarakat dan lazim disebut dengan perjanjian bernama. Secara garis besar, Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang pokok-pokok perikatan, sedangkan bab V sampai dengan Bab XVIII memuat pembahasan lebih lanjut, kadang-kadang pengulangan dari bagian umum. Jadi bagian umum dari Buku III tersebut pada dasarnya berlaku terhadap semua perjanjian, baik bernama maupun yang tidak bernama. Misalnya: Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya 72 Rahayu Hartini, Hukum Komersial, (Malang: UMM Press, 2005), hal. 35.

9 34 perikatan, haruslah diberlakukan pada semua perjanjian yang ada dalam Bab V sampai Bab XVIII. 73 Prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Pasal 1478 KUHPerdata menyebutkan bahwa: si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya. Adanya kata tidak diwajibkan pada ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bermakna penjual diperbolehkan untuk tidak melaksanakan kewajibannya, dengan ketentuan pembeli tidak melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu sesuai dengan yang disepakati. Ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bertujuan agar terdapat suatu keadilan yang mana salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, jangan sampai dapat memaksakan pihak lainnya untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata menyebutkan bahwa: Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Pasal 1514 KUHPerdata menyebutkan bahwa: jika pada waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan tentang itu, 74 si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan harus dilakukan. 73 Ibid. 74 Lihat ketentuan Pasal 1513 KUHPerdata.

10 35 Pasal 1517 KUHPerdata menyebutkan bahwa: Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan Dalam hal ini terdapat ketentuan bahwasannya si pembeli harus melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran terlebih dahulu untuk dapat menerima haknya yang merupakan kewajiban dari si penjual. Asser-Rutten berpendapat bahwa exceptio non adimpleti contractus dapat diajukan mengingat dalam perjanjian timbal balik para pihak telah menjanjikan prestasi yang saling bergantungan antara satu dengan yang lain. Di dalam jual beli, baik pihak pembeli hendak membeli sebuah rumah maupun karena penjual juga telah sepakat dengan harga jual belinya. Sepakat akan benda yang dibeli tergantung pada harga yang telah disetujui. Ini berarti prestasi untuk membayar harga jual beli bergantung langsung pada prestasi untuk menyerahkan bendanya. Akibatnya pihak yang telah menolak memenuhi prestasi yang telah dijanjikan, tetapi menuntut pelaksanaan prestasi oleh pihak lawan bertindak tanpa itikad baik (kepatutan dan kesusilaan) Yurisprudensi Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu 75 Harlien Budiono, Op.cit, hal. 204.

11 36 perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Di dalam praktik terdapat hukum yurisprudensi (yurisprudentie recht) yang timbul dari putusan-putusan pengadilan, terutama putusan-putusan Mahkamah Agung. 76 Menurut C.S.T Kansil, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama di masa yang akan datang. 77 Yuriprudensi terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a. Yurisprudensi (biasa), merupakan seluruh putusan pengadilan yang telah telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yang terdiri dari putusan perdamaian dalam perkara perdata, putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi dan seluruh putusan Mahkamah Agung. 78 b. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie), merupakan putusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard arresten) untuk mengambil keputusan. 79 Adapun yurisprudensi mengenai prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat dilihat pada : 76 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), hal Ahmad Ali, Op. cit, hal C.S.T. kansil, Op. cit, hal. 50.

12 37 a. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor 156 K/SIP/1955, yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 2 Desember 1953 Nomor 218/1953, yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 29 September 1951 Nomor 767/1950 G dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Company melawan Oei Ho Liang. Perkara ini bermula dari tuntutan PT. Pacific Oil Company kepada tergugat Oei Ho Liang selaku penjual dalam perjanjian jual beli karet untuk menyerahkan sejumlah karet yang diperjanjikan dan membayar ganti kerugian yang diderita penggugat karena kelalaian tergugat. Bahwa tergugat dalam suratnya tertanggal 27 Januari 1950 telah menyatakan bahwa tergugat tidak akan menyerahkan barang-barangnya tersebut, dengan demikian tergugat telah menyatakan dirinya lalai. Selanjutnya ditangkis oleh tergugat dengan menyatakan bahwa penggugat sendiri telah lalai melaksanakan janjinya, yaitu tidak membayar harga pembelian karet tersebut tepat pada waktunya yaitu selambat-lambatnya pada tanggal 21 Januari 1950 pukul WIB. Tuntutan penggugat akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan, bahwa penggugat sendiri telah lalai sehingga ia tidak berhak mengajukan tuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Putusan tersebut dalam pemeriksaan

13 38 banding telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi di Jakarta dengan putusan tertanggal 2 Desember 1953 No. 218/1953P.T. Perdata. Selanjutnya PT. Pacific Oil Company mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan keberatan-keberatan, yaitu: 1) Keputusan Pengadilan Tinggi tersebut tidak berdasarkan alasanalasan yang cukup. 2) Bahwa perjanjian tidak dengan sendirinya batal menurut hukum sehingga sesuatu wanprestasi tidaklah secara langsung membebaskan pihak lawan dari kewajibannya untuk memenuhi perjanjian tersebut. 3) Untuk membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut pihak lawan tersebut seharusnya memajukan suatu gugatan balasan untuk membatalkan perjanjian tersebut. 4) Penggugat untuk kasasi itu karena suatu keadaan darurat (overmacht) tidak dapat melakukan pembayaran pada 21 Januari 1950 sebelum pukul WIB. 5) Andaikan penggugat untuk kasasi pada saat itu dengan cara lain misalnya dengan membayar uang tunai dapat melakukan pembayaran, maka tergugat dalam kasasi tidak akan dapat memenuhi kewajibannya oleh karena dokumen-dokumen yang bersangkutan ada di kantor Cirebon, yang mana kantor tersebut sedang ditutup.

14 39 Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menolak keselurahan alasan-alasan kasasi dengan pertimbangan hukum yaitu: Penggugat telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu, maka Penggugat tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian kerjasama tersebut. 80 b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 30 Juni 1999 Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst. kepailitan. Dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel. Permohonan pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang pembangunan gedung. PT. Waskita Karya sebagai Pemohon Pailit adalah kontraktor yang ditunjuk oleh Termohon Pailit sebagai pemilik gedung hotel Sheraton Mustika Princess untuk membangun atau sebagai pelaksana pembangunan gedung berdasarkan surat perjanjian kerja sama. Pemohon Pailit telah melaksanakan seluruh pekerjaan dengan baik dan penuh tanggung jawab namun Termohon Pailit tidak membayar kewajibannya pada Pemohon Pailit sebesar Rp (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen). 80 Lihat I. Rubini, R. Roechimat dan M. Chidir Ali, Hukum Acara Perdata dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung ( ), (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hal

15 40 Bahwa karena pekerjaan telah diselesaikan namun Termohon Pailit tidak membayar meskipun telah ditagih oleh Pemohon Pailit, maka berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut Termohon Pailit berhutang pada Pemohon Pailit dan utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Ditangkis oleh Termohon Pailit bahwa Pemohon Pailit tidak melaksanakan perjanjian sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga menimbulkan kerugian bagi Termohon Pailit baik karena robohnya bangunan jembatan layang menuju hotel maupun karena keterlambatan pengoperasian hotel. Tuntutan Pemohon Pailit akhirnya ditolak oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut dengan pertimbangan bahwa Pemohon Pailit dan Termohon Pailit telah mengadakan perjanjian, Pemohon Pailit selaku kontraktor membangun hotel milik Termohon Pailit. Dari hubungan hukum antara kedua pihak tersebut timbul suatu keadaan yang mana Pemohon Pailit telah menyelesaikan pekerjaannya tetapi Termohon Pailit tidak bersedia membayar, yaitu sebesar Rp ,23,- (dua milyar delapan puluh lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen). Prestasi sejumlah uang yang dituntut oleh Pemohon Pailit yang tidak dibayar oleh Termohon Pailit, merupakan utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit.

16 41 Sebaliknya dalam hubungan kerja atau perjanjian antara Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit, ternyata ada satu pekerjaan pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel yang harus dikerjakan oleh Pemohon Pailit. Tentang pekerjaan pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel tersebut tidak disangkal keberadaannya oleh Pemohon Pailit. Bahwa bangunan jembatan layang menuju hotel yang dikerjakan oleh Pemohon Pailit ternyata roboh atau gagal. Pemohon Pailit tidak memperbaiki atau mengerjakan kembali bangunan jembatan layang menuju hotel. Termohon Pailit telah menunjuk kontraktor lain untuk membuat dan memperbaiki bangunan jembatan layang menuju hotel tersebut. Biaya yang dikeluarkan oleh Termohon Pailit untuk biaya yang telah dibayarkan kepada Pemohon Pailit dan biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan kepada kontraktor yang baru untuk pembuatan bangunan jembatan layang menuju hotel baru serta perbaikan lainnya, seluruhnya sebesar Rp ,- (empat milyar tiga ratus tujuh puluh delapan juta dua ratus empat puluh empat ribu Rupiah). Prestasi sejumlah uang tersebut dituntut oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit, prestasi tersebut merupakan utang Pemohon Pailit kepada Termohon Pailit. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam pertimbangannya menyebutkan, bahwa utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit sebesar Rp ,23,- (dua milyar delapan puluh

17 42 lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah dua puluh tiga sen) belum jatuh tempo, karena berdasarkan bukti-bukti yang ada Pemohon Pailit belum menyelesaikan pekerjaan secara penuh sesuai yang ditentukan dalam Surat perjanjian yang dibuat oleh Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit. Berdasarkan putusan tersebut, selanjutnya PT. Waskita Karya mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi adalah bahwa Pengadilan Niaga telah salah menerapkan hukum Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang adanya utang yang telah jatuh tempo dan salah menerapkan hukum tentang adanya utang pada kreditor lain. Terhadap keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa dengan terkaitnya perkara ini dengan masalah prinsip hukum yaitu exceptio non adimpleti contractus dihubungkan pula dengan masalah hukum ipso jure compensatur, maka penyelesaian permasalahan ada atau tidak adanya utang yang disyaratkan Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998, memerlukan pembuktian yang rumit dan berkepanjangan. Sedangkan prinsip proses pemeriksaan pembuktian maupun sistem pembuktian yang digariskan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 adalah acara cepat (expedited prosedure) dengan sistem pembuktian sederhana, bertitik tolak dari fakta-fakta indikasi

18 43 permasalahan hukum adanya exceptio non adimpleti contractus dan ipso jure compensatur dihubungkan dengan prinsip Pasal 6 ayat (3) dimaksud, penyelesaian perkara ini tidak bisa diselesaikan melalui proses Pengadilan Niaga berdasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, akan tetapi harus melalui jalur penyelesaian perdata biasa. 81 c. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta tanggal 13 Februari 2001 Nomor: 06 K/N/2001 yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No.81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. dalam perkara kepailitan antara PT. Kadi Internasional melawan PT. Wisma Calindra. Permohonan Pailit ini bermula dari perjanjian kerjasama tentang pembangunan gedung (Construction Contract) yang mana Pemohon Pailit yaitu PT. Kadi Internasional dan Termohon Pailit yaitu PT. Wisma Calindra telah setuju untuk membangun sebuah kondominium yang terletak di Jalan Jenderal S. Parman Kav.76 Jakarta dengan sistem kontrak Turn Key. Di dalam Kontrak tersebut disepakati bahwa Pemohon Pailit mengerjakan Proyek Kondominium tersebut secara keseluruhan, dari penyusunan konsep, studi kelayakan, perencanaan konstruksi, pengadaan 81 Lihat putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999.

19 44 sampai pada penyelesaian proyek Kondominium tersebut seperti yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan Termohon Pailit terikat untuk melakukan pembayaran dalam jumlah harga kontrak yang telah disepakati pada saat proyek kondominium tersebut selesai dibangun oleh Termohon Pailit. Bahwa dalam Pasal 1 ayat (9) Perjanjian Kesepakatan (Agreement of understanding) yang dibuat dengan Akta Notaris No.140 tanggal 30 Maret 1985 yang merupakan perjanjian yang tidak dapat dipisahkan dari Perjanjian Pembangunan (Construction Contract) di atas dinyatakan bahwa kewajiban dari Termohon Pailit tersebut sebagai loan (pinjaman) antara lain sebagaimana terbukti sebagai berikut: Pinjaman : adalah jumlah yang setara dengan harga kontrak ditambah dengan bunga 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan (Agreement of Understanding) dinyatakan sebagai berikut: Pinjaman dan bunga sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahun atas jumlah yang terhutang termasuk pajak penghasilan, akan dibayarkan kembali oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dari setiap dan semua pendapatan tidak termasuk biaya pelayanan akan tetapi termasuk uang jaminan yang berasal dari setiap dan semua perjanjian sewa yang diadakan oleh Termohon Pailit dengan para penyewa dalam waktu 9 (sembilan) tahun sejak tanggal penyelesaian proyek.

20 45 Dari kutipan perjanjian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau utang yang harus dibayarkan oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit adalah berupa nilai pokok hutang yang telah disepakati dalam kontrak (contract price) ditambah dengan bunga sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) pertahunnya yang akan dibayarkan secara bertahap dalam jangka waktu pembayaran selama 9 tahun terhitung dari dikeluarkannya berita acara serah terima (Certificate of Completion). Pemohon Pailit telah menyelesaikan proyek Kondominium tersebut secara keseluruhan di mana Termohon Pailit juga telah mengkonfirmasikan bahwa proyek Kondominium tersebut telah selesai dibangun dengan diterbitkannya berita acara serah terima (Certificate of completion) pada tanggal 18 Desember Bahwa dalam akta Perjanjian Tambahan (Suplementary Agreement) No. 56 tanggal 24 Desember 1987 Termohon Pailit kembali mengkonfirmasikan bahwa Termohon Pailit telah menyelesaikan pembangunan proyek Kondominium tersebut pada tanggal 30 September 1987 dan untuk itu Termohon Pailit telah menerbitkan Certificate of Completion pada tanggal 18 Desember Selain itu, Termohon Pailit juga mengakui bahwa jumlah utang pokok yang menjadi kewajiban Termohon Pailit untuk dibayarkan kepada Pemohon Pailit adalah sebesar US$ (enam juta lima puluh sembilan ribu dua ratus lima puluh dolar Amerika Serikat).

21 46 Bahwa meskipun utang Termohon Pailit telah jatuh tempo dan dapat ditagih, namun Termohon Pailit tidak melakukan pembayaran seperti yang telah diperjanjikan, walaupun Pemohon Pailit telah berkalikali melakukan peringatan. Utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit yang seharusnya menurut Pasal 4 ayat (2) dari Perjanjian Kesepakatan (Agreement of Understanding) telah harus dilunasi pada tanggal 17 Desember 1996, ternyata sampai saat permohonan pernyataan pailit ini didaftarkan tidak dilunasi, sehingga utang tersebut secara keseluruhan telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Berdasarkan atas niat baik, Pemohon Pailit tetap mengingatkan Termohon Pailit untuk melunasi utangnya, akan tetapi Pemohon Pailit hanya menawarkan janji-janji penyelesaian tanpa pernah melaksanakan janji pelunasan tersebut kepada Pemohon Pailit. Sejak tanggal 18 Agustus 1994, Termohon Pailit tidak pernah melakukan pembayaran utangnya sama sekali terhadap Pemohon Pailit. Keseluruhan utang yang dimiliki Termohon Pailit (utang ditambah dengan bunga) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Pemohon Pailit sampai dengan tanggal 4 Desember 2000 adalah sebesar US$ ,- (dua puluh tiga juta empat ratus delapan puluh delapan ribu sembilan ratus empat puluh sembilan dolar Amerika Serikat). Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang ada Termohon

22 47 Pailit telah mengakui adanya utang kepada Pemohon Pailit dan utang tersebut terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kalimat dapat ditagih pada syarat kedua ini bersifat fakultatif, artinya apabila utang telah jatuh tempo, maka utang tersebut boleh ditagih dan boleh belum ditagih, dan apabila belum ditagih tidak menghilangkan syarat kedua ini, sebab pada Prinsipnya utang harus dibayar, tanpa melakukan penagihan sebelumnya. Berdasarkan syarat substansial sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan secara sederhana telah terpenuhi dan terbukti, maka permohonan pailit yang diajukan harus dikabulkan, sedangkan dalil Termohon Pailit yang mengatakan bahwa perkara ini tidak memenuhi unsur Pasal 6 ayat (3) undang-undang kepailitan, melainkan suatu perkara yang kompleks dan rumit tidak beralasan dan harus dikesampingkan. Akhirnya hakim dalam putusannya tertanggal 04 Januari 2001 menetapkan mengabulkan permohonan pailit dan menyatakan PT. Wisma Calindra pailit. Atas putusan pailit tersebut selanjutnya PT. Wisma Calindra mengajukan Permohonan Kasasi. Alasan Permohonan Kasasi adalah bahwa judex factie telah keliru dan salah menerapkan hukum serta lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu:

23 48 1) Bahwa Judex Factie tidak membedakan dan salah menerapkan hukum atas dua jenis aspek hukum perjanjian konstruksi yang terbagi atas: a) Jenis pertama: Perjanjian kontruksi di mana kontraktor murni dan hanya wajib sebagai kontraktor sedangkan customer wajib menyediakan tanah dan biaya kontrak. b) Jenis kedua: jenis perjanjian konstruksi yang mana kontraktor di samping sebagai kontraktor juga wajib sebagai penyandang dana atau wajib mencari kreditor yang membiayai biaya konstruksi. Sedangkan klien hanya menyediakan tanah atau lahan. Ternyata judex factie salah karena menerapkan hukum untuk perjanjian konstruksi jenis pertama padahal perjanjian antara kreditor dan debitor adalah jenis kedua. 2) Unsur contract price atau utang dapat ditagih tidak dipenuhi sebab prasyarat contract price dapat ditagih tidak terpenuhi. 3) Karena Pemohon Kasasi (debitor) mengajukan tangkisan fakta bahwa exceptio non adimpleti contractus maka perkara a quo tidak dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga secara sederhana, melainkan harus di pengadilan umum, akan tetapi judex factie tidak mengindahkan persyaratan mutlak pembuktian sederhana. Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya membenarkan alasan yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi. Dari bukti-bukti yang diajukan

24 49 oleh Pemohon Kasasi, Majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi adalah perjanjian timbal balik di mana kedua belah pihak menurut perjanjian kesepakatan mempunyai kewajiban. Perjanjian kesepakatan tetap berlaku hingga disediakannya pinjaman kepada Pemohon Kasasi yang cukup untuk membayar jumlah yang terutang yang harus dibayar kepada Termohon Kasasi. Oleh karena masih harus diperiksa dahulu apakah Termohon kasasi telah melaksanakan kewajibannya, pemeriksaan mana tidak bersifat sederhana oleh karena harus memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk membuktikannya atau membantahnya. Seperti memberikan kesempatan kepada Pemohon Kasasi untuk menanggapi bukti tambahan yang diajukan oleh Termohon Kasasi. Sehingga belumlah dapat dikatakan bahwa utang yang telah jatuh waktu tersebut juga telah dapat ditagih dan karena salah satu syarat tidak dapat dipenuhi maka permohonan pailit haruslah ditolak. Majelis hakim kasasi dalam putusannya tertanggal 13 Februari 2001 dengan putusan No. 06 K/N/2001 memutuskan mengabulkan Permohonan Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga No. 81/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst. tanggal 04 Januari Selanjutnya

25 50 Termohon Kasasi (PT. Kadi Internasional) mengajukan peninjauan kembali pada tanggal 9 Maret Menurut hakim majelis Peninjauan kembali Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa, mengenai keberatan Pemohon Peninjauan kembali, bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena penemuan bukti-bukti baru (novum) yang diajukan tidak dapat dikatakan sebagai bukti baru, sebab bukti-bukti tersebut sudah pernah diajukan oleh Pemohon Peninjauan kembali dalam pemeriksaan tingkat kasasi, yaitu ternyata dalam daftar bukti tambahan tertanggal 16 Januari 2001 sewaktu Pemohon Peninjauan kembali bertindak sebagai Termohon Kasasi dalam perkara ini. Mengenai keberatan Pemohon Peninjauan kembali selanjutnya bahwa: keberatan inipun tidak dapat dibenarkan, karena Majelis Kasasi telah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya. Lagipula hubungan hukum antara Pemohon Peninjauan kembali dan Termohon Peninjauan kembali merupakan perjanjian timbal balik yang mana masing-masing pihak terdapat hak dan kewajiban (obligator). Pihak Termohon Peninjauan kembali memang melakukan wanprestasi oleh karena sebelumnya juga Pemohon Peninjauan kembali telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu. Sehingga dalam kasus ini terdapatlah adanya konstruksi yuridis exceptio non adimpleti contractus yang mana satu sama lain masih harus diberi kesempatan membuktikan

26 51 kebenaran dalil masing-masing dan karenanya tentang eksistensi adanya utang tidak dapat dilakukan pembuktian secara sederhana. Syarat Kepailitan juga ditentukan oleh adanya pembuktian utang yang dapat dilakukan secara sederhana dan mudah (vide pasal 6 ayat (3), di samping Pasal 1 Undang-Undang Kepailitan). Bahwa perkara ini tidak dapat diajukan melalui prosedur Kepailitan, tetapi melalui proses perdata biasa yang mana satu sama lain mendapat kesempatan untuk saling membuktikan tentang dipenuhinya hak dan kewajiban (obligator) masing-masing pihak (Pemohon Peninjauan kembali dan Termohon Peninjauan kembali). 82 Bercermin pada kasus dipailitkannya PT. Telkomsel, yang bermula dari perjanjian kerjasama, maka di dalam perjanjian tersebut terdapat klausul-klausul ataupun syarat-syarat perjanjian yang wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak. Ketika PT. Telkomsel menolak memenuhi prestasi dengan alasan PT. Prima Jaya Informatika terlebih dahulu tidak memenuhi prestasi atau wanprestasi, maka berlaku prinsip hukum yaitu exceptio non adimpleti contractus, sehingga penyelesaian perkara tersebut lebih tepat melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. 82 Lihat Yurisprudensi Kepailitan 2001 (Himpunan Lengakap Putusan Pengadilan Niaga Tingkat 1, Putusan Mahkamah Agung dalam Kasasi dan Peninjauan Kembali), dihimpun oleh tim Redaksi Tatanusa, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2002), hal

PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. Yulia 1 PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 704 K/Pdt.Sus/2012 ANTARA PT. TELKOMSEL MELAWAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA) YULIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa perkara niaga dalam tingkat. kasasi telah mengalami putusan sebagai

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO. 69 BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.022/K/N/2001) 4.1 Posisi Kasus Untuk membantu memahami kewenangan menggugat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB II HUKUM KEPAILITAN DAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADEMPLETI CONTRACTUS

BAB II HUKUM KEPAILITAN DAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADEMPLETI CONTRACTUS BAB II HUKUM KEPAILITAN DAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADEMPLETI CONTRACTUS A. Hukum Kepailitan 1. Konsep Kepailitan Secara umum dapat diklasifikasikan konsep dasar kepailitan sebagai berikut: a. Debt collection;

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H A. PENGANTAR Disaat pertama kali kita mendengar Pailit, maka yang pertama kali ada di dalam bentak kita adalah bangkrut. Bangkrut, diidentikkan dengan keadaan

Lebih terperinci

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG 0 KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 318.K/Pdt/2009 Tanggal 23 Desember 2010) TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan dengan manusia lain. Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PERKARA NO. 451/PDT. G/ 2012/ PN. JKT BARAT

PERKARA NO. 451/PDT. G/ 2012/ PN. JKT BARAT PERKARA NO. 451/PDT. G/ 2012/ PN. JKT BARAT Penggugat Tergugat : PT Bangun Karya Pratama Lestari : Nine AM Ltd. FAKTA & LATAR BELAKANG PERKARA 1. Penggugat telah memperoleh pinjaman uang dari Tergugat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 126/PDT/2014/PT.PBR DEMI KEADIILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 126/PDT/2014/PT.PBR DEMI KEADIILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 126/PDT/2014/PT.PBR DEMI KEADIILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara perkara perdata dalam tingkat banding, telah

Lebih terperinci

MAHKAMAH AGUNG. memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari;

MAHKAMAH AGUNG. memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari; PUTUSAN Nomor 16 PK/N/1999 ==================================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT

BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT A. 1. Posisi Kasus PT Prima telah melakukan suatu perikatan hukum dengan Telkomsel yang dituangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ( PPJB) DALAM PRAKTEK JUAL BELI PROPERTI DI MAKASSAR

KONSEKUENSI HUKUM PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ( PPJB) DALAM PRAKTEK JUAL BELI PROPERTI DI MAKASSAR KONSEKUENSI HUKUM PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ( PPJB) DALAM PRAKTEK JUAL BELI PROPERTI DI MAKASSAR Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Email: mtamin.taufiq@gmail.com Abstract

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut (Subekti, 1979:7-8). Selain lahir

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut (Subekti, 1979:7-8). Selain lahir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya sehari-sehari adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari interaksi antara satu dengan yang lain. Interaksi sehari-hari itu dilakukan

Lebih terperinci

BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA

BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA BAB II MENGENAI PERJANJIAN JUAL BELI YANG DIATUR DALAM BUKU III KUH PERDATA A. Tinjauan Perjanjian 1. Definisi Perjanjian Perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Buku III tentang Perikatan, Bab Kedua,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 18 PK/N/1999 =================================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor 18 PK/N/1999 =================================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor 18 PK/N/1999 =================================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara niaga telah mengambil putusan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. patut, dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. 1 Salah satu bidang hukum

BAB I PENDAHULUAN. patut, dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. 1 Salah satu bidang hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang bertujuan untuk melindungi kepentingankepentingan, maka penggunaan hak dengan tiada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya perekonomian di suatu Negara merupakan salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada hari Senin tanggal 17 Juni 2013 menjatuhkan putusan batal demi hukum atas perjanjian yang dibuat tidak menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Oetarid Sadino, Pengatar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hlm. 52.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Oetarid Sadino, Pengatar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hlm. 52. BAB I PENDAHULUAN Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan, maka penggunaan hak dengan tiada suatu kepentingan

Lebih terperinci

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI KESALAHAN PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING VI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 016/K/N/2007) STUDI KASUS HUKUM Oleh: HERMAWAN SUTRISNO Nomor

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor: 04 PK/N/1999 ================================ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

PUTUSAN Nomor: 04 PK/N/1999 ================================ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG PUTUSAN Nomor: 04 PK/N/1999 ================================ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa perkara niaga dalam permohonan peninjauan kembali telah mengambil

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan apabila menghadapi masalah hukum. Class action merupakan contoh

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan apabila menghadapi masalah hukum. Class action merupakan contoh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu keprihatinan dalam penyelesaian hukum di Indonesia adalah faktor ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana upaya hukum yang harus dilakukan apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 10 PK/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

PUTUSAN Nomor 10 PK/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG PUTUSAN Nomor 10 PK/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa perkara niaga dalam permohonan Peninjauan Kembali telah mengambil putusan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian 19 BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatanperikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum antar manusia maupun badan hukum sebagai subjek hukum, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. hukum antar manusia maupun badan hukum sebagai subjek hukum, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia dewasa ini sangat berdampak pada hubungan hukum antar manusia maupun badan hukum sebagai subjek hukum, yaitu hubungan yang terjadi akibat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-36095/PP/M.III/99/2012. Tahun Pajak : 2011

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-36095/PP/M.III/99/2012. Tahun Pajak : 2011 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-36095/PP/M.III/99/2012 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa Menurut Tergugat Menurut Pengugat : bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah,

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONTRAK SEWA BELI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONTRAK SEWA BELI 65 TINJAUAN YURIDIS Abstrak : Perjanjian sewa beli merupakan gabungan antara sewamenyewa dengan jual beli. Artinya bahwa barang yang menjadi objek sewa beli akan menjadi milik penyewa beli (pembeli) apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. 3

BAB I PENDAHULUAN. adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari orang lain. 1 Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian Indonesia baik dibidang perbankan, industri, real

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian Indonesia baik dibidang perbankan, industri, real BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Kemajuan perekonomian Indonesia baik dibidang perbankan, industri, real estate, properti, eksport import dan lain sebagainya menumbuhkan banyak perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

=================================

================================= PUTUSAN NOMOR 02 PK/N/2002 ================================= DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa perkara niaga dalam tingkat peninjauan kembali telah mengambil putusan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah akibat hukum yang timbul dari kelalaian

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN BESARNYA SUKU BUNGA PINJAMAN DALAM SENGKETA HUTANG PIUTANG (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN BESARNYA SUKU BUNGA PINJAMAN DALAM SENGKETA HUTANG PIUTANG (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN BESARNYA SUKU BUNGA PINJAMAN DALAM SENGKETA HUTANG PIUTANG (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan adalah kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak dapat !1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak dapat melakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari orang

Lebih terperinci

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia 106 A. KESIMPULAN 1. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga Pengadilan dalam penyelesaian sengketa, di samping Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga Pengadilan dalam penyelesaian sengketa, di samping Pengadilan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengintegrasian mediasi dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi kemungkinan meningkatnya akumulasi perkara

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga Putusan pernyataan pailit adalah putusan yang diberikan oleh pengadilan niaga atas permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi utama Bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) I WANPRESTRASI 1. Prestasi adalah pelaksanaan sesuatu

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 221/PDT/2015/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 221/PDT/2015/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 221/PDT/2015/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia memerlukan tangan ataupun

BAB I PENDAHULUAN. mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia memerlukan tangan ataupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari berbagai kebutuhan, seiring dengan meningkatnya kehidupan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci