PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO."

Transkripsi

1 Yulia 1 PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 704 K/Pdt.Sus/2012 ANTARA PT. TELKOMSEL MELAWAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA) YULIA ABSTRACT The principle of exceptio non adimpleti contractus only applies to a reciprocal contract, that is, an objection which states that a debtor does not accomplish the contract as it should be because the creditor himself has breached the contract. The file for bankruptcy of PT Telkomsel to PT Prima Jaya Informatika began when the cooperation agreement was breached, the objection to two purchase orders which caused the debt of PT Telkomsel. The principle of exceptio non adimpleti contractus was regulated in the cooperation agreement. It is recommended that in the same case as it has been mentioned above, the panel of judges have the same point of view in reaching a verdict on such a case; their verdict should not only be based on legal provisions but also on jurisprudence. Keywords: exceptio non adimpleti contractus, bankruptcy, telkomsel I. Pendahuluan Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari orang lain. 1 Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi kegiatan bisnis yang atau sedang berjalan tersebut. Perangkat hukum itu disebut dengan perjanjian. 2 Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya, yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. 3 Menurut J. Satrio perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis di antaranya adalah perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak. 4 Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain adalah bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian 1 Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), hal Ibid. 3 Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal J. Satrio, Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 191.

2 Yulia 2 tersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain berkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban. 5 Pada setiap perjanjian timbal balik hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain, sehingga dianggap selalu ada prinsip bahwa kedua belah pihak harus secara bersama-sama memenuhi kewajibannya dan sama-sama menerima haknya. Karena itu, tidak logis apabila salah satu pihak menuduh wanprestasi terhadap pihak lain sedangkan ia sendiri wanprestasi. 6 Riduan Syahrani mengemukakan bahwa: exceptio non adimpleti contractus adalah tangkisan yang menyatakan bahwa debitor tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya justru karena kreditor sendiri tidak melaksanakan perjanjian itu sebagaimana mestinya. Bilamana debitor selaku tergugat dapat membuktikan kebenaran tangkisannya maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa-apa atas tidak dilaksanakannya perjanjian itu. 7 Salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik yang lalai dalam memenuhi kewajibannya tidak dapat diminta pemenuhannya oleh pihak lain. Apabila salah satu pihak menuntut pemenuhan kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis dengan apa yang disebut prinsip exceptio non adimpleti contractus, karena si penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi. 8 Tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat diajukan dalam perkara kepailitan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, disebutkan bahwa: kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Permohonan pailit 5 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hal ibid. 8 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU), (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 34.

3 Yulia 3 terhadap seorang debitor untuk dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga apabila telah memenuhi syarat-syarat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terkait dengan pembuktian di dalam hukum acara kepailitan adalah: Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi. Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. 9 Menurut Paulus E. Lotulung, pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan dapat dilakukan apabila pihak Termohon Pailit atau debitor tidak mengajukan tangkisan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, yaitu tangkisan yang menyatakan bahwa kreditor sendiri yang lebih dahulu tidak berprestasi. Prinsip exceptio non adimpleti contractus terdapat dalam perjanjian timbal balik, yang menyebabkan eksistensi utang masih diperdebatkan, sehingga pembuktiannya tidak dapat dilakukan secara sederhana dan cepat. 10 Pembuktian secara sederhana terlihat sangat jelas dan mudah untuk dilaksanakan, akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dalam suatu perkara kepailitan Pengadilan Niaga memberikan putusan bahwa sudah 9 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, (Bandung, C.V Mandar Maju, 1999), hal Paulus E. Lotulung, Pengertian Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Majalah Ombudsman, No. 54, Mei 2004, hal 10.

4 Yulia 4 terbukti secara sederhana, tetapi setelah dilimpahkan ke Mahkamah Agung ternyata dibatalkan dan dikatakan bahwa tidak terbukti secara sederhana. 11 Pada hari Jum at tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah membuat putusan yang cukup mengejutkan, yaitu PT. Telekomunikasi selular (untuk selanjutnya disebut PT. Telkomsel) dinyatakan Pailit. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah memvonis pailit perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan telekomunikasi selular yaitu PT. Telkomsel atas permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Prima Jaya Informatika. Permohonan pailit bermula dari perjanjian kerjasama tentang penjualan produk telkomsel antara PT. Telkomsel dengan PT. Prima Jaya Informatika pada tanggal 01 Juni Menurut perjanjian ini PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikitdikitnya (seratus dua puluh juta) yang terdiri dari voucher isi ulang Rp ,00 (dua puluh lima ribu Rupiah) dan voucher isi ulang Rp ,00 (lima puluh ribu Rupiah). PT. Telkomsel berkewajiban untuk menyediakan perdana kartu prabayar bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya ,-(sepuluh juta) setiap tahun, sebaliknya PT. Prima Jaya Informatika berkewajiban untuk menjual. Bahwa kemudian di tahun kedua PT. Prima Jaya Informatika telah menyampaikan purchase order No.PO/PJI-AK/VI/2012/ , tanggal 20 Juni 2012 berjumlah Rp ,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta Rupiah) dan pada tanggal 21 Juni 2012 telah pula menyampaikan purchase order No.PO/PJI-AK/VI/2012/ , tertanggal 21 Juni 2012, berjumlah Rp ,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah) kepada PT. Telkomsel, namun terhadap kedua purchase order tersebut PT. Telkomsel menerbitkan penolakan melalui electronic mail ( ) dan menghentikan sementara alokasi produk Prima tersebut. Dikarenakan adanya pelanggaran perjanjian kerjasama tersebut PT. Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta 11 Victorianus M.H. Randa Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit,(Bandung: Satu Nusa, 2011), hal 12.

5 Yulia 5 Pusat. Pelanggaran perjanjian tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tindakan wanprestasi. Debitor dapat dikatakan wanprestasi apabila dalam melaksanakan prestasi debitor telah lalai sehingga adanya keterlambatan dari waktu yang sudah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Akhirnya pada 14 September 2012 majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernyataan pailit oleh PT. Prima Jaya Informatika dan menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. Telkomsel, pailit dengan segala akibat hukum. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum, bahwa Pemohon Pailit dapat membuktikan terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana. Bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi. PT. Telkomsel terbukti memiliki utang jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT. Prima Jaya Informatika sebesar Rp ,00 (lima milyar dua ratus enam puluh juta Rupiah). PT. Telkomsel terbukti adanya kreditor lain, yaitu PT. Extend Media Indonesia dengan utang sebesar Rp ,- (dua puluh satu milyar tiga puluh satu juta lima ratus enam puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh empat Rupiah) dan Rp ,00- (sembilan belas milyar dua ratus sembilan puluh empat juta enam ratus lima puluh dua ribu lima ratus dua puluh Rupiah), sehingga permohonan Pemohon Pailit beralasan hukum dan karenanya harus dikabulkan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tidak puas dengan keputusan tersebut, PT. Telkomsel kemudian melakukan perlawanan dengan mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan tingkat kasasi tersebut majelis hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada hari Rabu, tanggal 21 November 2012 telah membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

6 Yulia 6 Nomor: 48/Pailit/2012/ PN. Niaga.Jkt.Pst. dengan putusan Nomor 704 K/pdt.Sus/2012. Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel dapat dibenarkan, sebab setelah memeriksa dengan seksama putusan judex factie atau Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, ternyata judex factie telah salah menerapkan hukum, oleh karena apakah benar telah adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dalam perkara ini memerlukan pembuktian yang tidak sederhana. Bahwa dalil Pemohon Pailit tentang adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit ternyata dibantah oleh Termohon Pailit, sehingga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, oleh karena dalam perkara ini tentang kebenaran adanya utang Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit memerlukan adanya suatu pembuktian yang rumit dan tidak sederhana sehingga permohonan pailit dari Pemohon Pailit tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (4) tersebut di atas sehingga penyelesaian perkara tersebut harus dilakukan melalui pengadilan negeri dan bukan Pengadilan Niaga. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka yang ingin diteliti lebih lanjut dan disusun dalam tesis dengan judul: Penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara kepailitan (studi kasus putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika). Berdasarkan uraian di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ingin diteliti dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian? 2. Bagaimanakah kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel?

7 Yulia 7 3. Bagaimanakah penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika? Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui aturan hukum prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam hukum perjanjian. 2. Untuk mengetahui kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel. 3. Untuk mengetahui penerapan prinsip exceptio non adimpleti contractus pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika. II. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif analitis yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validalitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu, 12 dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian dalam hukum normatif yang menitik beratkan pada studi kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, bahan yang dipergunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: a. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif), 13 meliputi seluruh peraturan perundang-undangan dan putusanputusan pengadilan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. b. Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam 12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 47.

8 Yulia 8 kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer. 14 c. Bahan-bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder III. Hasil Penelitian dan Pembahasan Prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Pasal 1478 KUHPerdata menyebutkan bahwa: si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya. Ketentuan pasal tersebut dapat diartikan bahwa penjual dapat menolak untuk melakukan kewajibannya berupa penyerahan barang karena si pembeli tidak melaksanakan kewajibannya. Adanya kata tidak diwajibkan pada ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bermakna penjual diperbolehkan untuk tidak melaksanakan kewajibannya, dengan ketentuan pembeli tidak melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu sesuai dengan yang disepakati. Ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata bertujuan agar terdapat suatu keadilan yang mana salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, jangan sampai pihak lainnya dipaksakan untuk melaksanakan kewajibannya. Asser-Rutten berpendapat bahwa exceptio non adimpleti contractus dapat diajukan mengingat dalam perjanjian timbal balik para pihak telah menjanjikan prestasi yang saling bergantungan antara satu dengan yang lain. Di dalam jual beli, baik pihak pembeli hendak membeli sebuah rumah maupun karena penjual juga telah sepakat dengan harga jual belinya. Sepakat akan benda yang dibeli tergantung pada harga yang telah disetujui. Ini berarti prestasi untuk membayar harga jual beli bergantung langsung pada prestasi untuk menyerahkan bendanya. Akibatnya pihak yang telah menolak memenuhi prestasi yang telah dijanjikan, 14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 23.

9 baik. 15 Di dalam praktik terdapat hukum yurisprudensi (yurisprudentie recht) Yulia 9 tetapi menuntut pelaksanaan prestasi oleh pihak lawan bertindak tanpa itikad yang timbul dari putusan-putusan pengadilan, terutama putusan-putusan Mahkamah Agung. 16 Menurut C.S.T Kansil, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama di masa yang akan datang. 17 Adapun yurisprudensi mengenai prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat dilihat pada : a. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor 156 K/SIP/1955, yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 2 Desember 1953 Nomor 218/1953, yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 29 September 1951 Nomor 767/1950 G dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Company melawan Oei Ho Liang. b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 yang menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 30 Juni 1999 Nomor 35/Pailit/1999/PN.Niaga/i.Jkt.Pst. kepailitan. Dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel. c. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 yang menguatkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta tanggal 13 Februari 2001 Nomor: 06 K/N/2001 yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 04 Januari 2001 No.81/PAILIT/2000/PN.NIAGA/JKT.PST. dalam perkara kepailitan antara PT. Kadi International melawan PT. Wisma Calindra. Pada dasarnya pembuktian sederhana merupakan penerapan dari syaratsyarat kepailitan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban 15 Harlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan; Buku Kedua, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010), hal R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), hal. 317.

10 Yulia 10 Pembayaran Utang yang dilakukan secara sederhana. Paulus E. Lotulung menyatakan bahwa pengertian secara sederhana harus dilihat secara kasuistis apakah memang syarat sederhana tersebut dapat dibuktikan dengan mudah. Pengecualian terhadap pembuktian sederhana dapat dilakukan misalnya dalam transaksi jual beli, di mana kewajiban penjual untuk menyerahkan barang dan kewajiban pembeli untuk membayar barang. 18 Dalam hal ini dapat terjadi bahwa pembeli mengajukan permohonan pailit terhadap penjual, tetapi kemudian ditangkis oleh penjual bahwasannya pembeli itu sendiri justru belum memenuhi prestasinya membayar harga barang. Disini pihak menjual mengajukan prinsip exceptio non adimpleti contractus, oleh karenanya perkara ini bukan termasuk dalam perkara sederhana karena prestasi masingmasing pihak harus dipenuhi. 19 Pembuktian dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel menjadi tidak sederhana karena Termohon Pailit mengajukan Tangkisan atau bantahan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus. Pembuktian tidak sederhana tersebut dapat dilihat pada: 1. Debitor Tidak Membayar Lunas Sedikitnya Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih Dalam perkara kepailitan antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika, yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih oleh PT. Prima Jaya Informatika dalam permohonan pailitnya adalah penolakan PT. Telkomsel atas kedua purchase order merupakan sebuah tindakan wanprestasi yang menimbulkan utang bagi PT. Telkomsel. Adapun kedua purchase order tersebut adalah purchase order No. PO/PJI- AK/VI/2012/ pada tanggal 20 Juni 2012 berjumlah Rp ,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta Rupiah) yang telah jatuh tempo pada tanggal 25 Juni 2012 dan purchase order No. PO/PJI- AK/VI/2012/ , tertanggal 21 Juni 2012, berjumlah Rp ,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah) yang telah jatuh tempo pada tanggal Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi dengan Studi Kasus Kepailitan), (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2012), hal Ibid.

11 Yulia 11 Juni 2012 dengan total keselurahannya sebesar Rp ,00 (lima milyar dua ratus enam puluh juta Rupiah). Mengenai adanya utang dalam perkara kepailitan antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika, utang yang didalilkan oleh PT. Prima Jaya Informatika tidak dapat dibuktikan secara sederhana. PT. Telkomsel membantah adanya utang dengan mengajukan exceptio non adimpleti contractrus yang berlaku dalam perjanjian timbal balik. PT. Telkomsel tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya karena PT. Prima Jaya Informatika tidak melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu sebagaimana yang diperjanjikan. Tangkisan yang diajukan oleh PT. Telkomsel tidak berkaitan dengan besar atau kecilnya jumlah utang, melainkan ada atau tidaknya utang yang didalilkan oleh PT. Prima Jaya Informatika. Sehingga eksistensi adanya utang harus dibuktikan terlebih dahulu melalui gugatan perdata biasa yaitu pada pengadilan negeri dan dengan demikian syarat jatuh tempo dan dapat ditagih juga harus dibuktikan terlebih dahulu pada pengadilan negeri. 2. Debitor Mempunyai 2 (Dua) atau Lebih Kreditor PT. Prima Jaya Informatika mendalilkan adanya kewajiban lain kepada PT. Extend Media Indonesia atas pelaksanaan kerja sama layanan mobile data content, untuk periode bulan Agustus 2011 dan bulan September 2011 seluruhnya sebesar Rp ,- (empat puluh milyar tiga ratus dua puluh enam juta dua ratus tiga belas ribu tujuh ratus sembilan puluh empat Rupiah), dengan mengajukan alat-alat bukti tertulis atau surat. Selanjutnya PT. Telkomsel mengakui memang terdapat kewajiban kepada PT. Extend Media Indonesia atas pelaksanaan kerja sama layanan mobile data content, tetapi kewajiban tersebut sudah dilunasi oleh PT. Telkomsel dengan mengajukan alat bukti berupa surat. Pelunasan terhadap PT. Extent Media Indonesia telah dinyatakan dalam perjanjian penyelesaian terhadap perjanjian kerjasama mobile data content antara PT. Telkomsel dengan PT. Extent Media Indonesia No. PKS.1078/LG.05/LG- 01/IX/ 2012 tanggal 3 September 2012 dimana Pasal 6 ayat (2) dalam perjanjian kerjasama tersebut menyepakati sebagai berikut: para pihak sepakat dengan ditandatanganinya perjanjian penyelesaian ini dan diikuti dengan diselesaikannya pembayaran sebagaimaan dimaksud dalam Pasal 2 perjanjian penyelesaian ini,

12 Yulia 12 maka PT. Telkomsel tidak mempunyai kewajiban apapun kepada PT. Extent Media Indonesia. PT. Telkomsel telah membuktikan bahwa utang terhadap PT. Extent Media Indonesia telah dilunasi seluruhnya, sehingga adanya utang terhadap kreditor lain tidak terpenuhi. Putusan Majelis hakim Mahkamah Agung telah dengan tepat dan benar menerapkan prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan membenarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus yang berlaku dalam perjanjian timbal balik. Adapun alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi atau dahulu Termohon Pailit berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, yaitu: Gagalnya Termohon Kasasi untuk melakukan penjualan sebesar (sepuluh juta) kartu perdana dan (seratus dua puluh juta) voucer isi ulang dalam satu tahun atau hingga Juni Gagalnya Termohon Kasasi membangun komunitas prima dengan jumlah anggota (sepuluh juta) dalam satu tahun perjanjian atau hingga Juni Gagalnya Termohon Kasasi menjual produk telkomsel tersebut hanya di komunitas prima. 4. Gagalnya Termohon Kasasi membayar purchase order no. PO/PJI- AK/V/2012/ tanggal 9 Mei 2012 yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon Kasasi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan terhadap permasalahan di dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Prinsip exceptio non adimpleti contractus diatur dalam hukum perjanjian, yaitu: pertama, peraturan perundang-undangan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1478 KUHPerdata. Kedua, diatur dalam yurisprudensi, yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 15 Mei 1957 Nomor Lihat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012.

13 Yulia 13 K/SIP/1955 dalam perkara perdata antara PT. Pacific Oil Company melawan Oei Ho Liang dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 23 K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel serta putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 PK/N/2001 dalam perkara kepailitan antara PT. Kadi Internasional melawan PT. Wisma Calindra. 2. Kaitan antara prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan PT. Telkomsel adalah dengan adanya exceptio non adimpleti contractus yang diajukan oleh PT. Telkomsel, membuat pembuktian dalam perkara kepailitan tersebut menjadi tidak sederhana, karena yang ditangkis oleh PT. Telkomsel bukan besar atau kecilnya utang melainkan ada atau tidaknya utang yang didalilkan oleh PT. Prima Jaya Informatika, sehingga perkara tersebut harus dibuktikan melalui gugatan perdata pada Pengadilan Negeri. 3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 704 K /Pdt.Sus/2012 antara PT. Telkomsel melawan PT. Prima Jaya Informatika telah dengan tepat dan benar menerapkan prinsip exceptio non adimpleti contractus dengan membenarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh PT. Telkomsel berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus, meskipun di dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak membahas mengenai exceptio non adimpleti contractus. B. SARAN 1. Dengan diaturnya tangkisan ataupun bantahan berdasarkan prinsip exceptio non adimpleti contractus yang berlaku pada perjanjian timbal balik dalam hukum perjanjian, maka disarankan terhadap fakta-fakta hukum yang sama majelis hakim mempunyai pendapat yang sama dalam memutuskan perkara. Sehingga dapat memberikan suatu kepastian hukum kepada masyarakat terhadap penyelesaian fakta-fakta hukum yang sama. 2. Berkaitan dengan prinsip exceptio non adimpleti contractus dalam perkara kepailitan, maka dalam memutuskan suatu perkara sebaiknya majelis hakim selain berdasarkan pada peraturan perundang-undangan juga memperhatikan yurisprudensi.

14 Yulia Dalam perjanjian timbal balik, disarankan agar pihak yang dirugikan terlebih dahulu karena adanya wanprestasi, mengajukan permintaan pembatalan perjanjian kepada hakim. Hal tersebut demi adanya kepastian hukum terkait dengan perjanjian kerja sama. V. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Santiago, Faisal, Pengantar Hukum Bisnis, Jakarta: Mitra Wacana Media, Wicaksono, Frans Satriyo, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Jakarta: Visimedia, Satrio, J, Perikatan pada Umumnya, Bandung: Alumni, Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, Syahrani, H. Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, Patrik, Purwahid, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU), Bandung: Mandar Maju, Prodjohamidjojo, Martiman, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan, Bandung, C.V Mandar Maju, Puang, Victorianus M.H. Randa, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit, Bandung: Satu Nusa, Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Media Group, Manik, Edward, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Dilengkapi dengan Studi Kasus Kepailitan), Bandung: Penerbit Mandar Maju, Budiono, Harlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan; Buku Kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

15 Yulia 15 Majalah Paulus E. Lotulung, Pengertian Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Majalah Ombudsman No. 54, Mei Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan Menjadi Undang- Undang. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

BAB I PENDAHULUAN. adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. 3

BAB I PENDAHULUAN. adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari orang lain. 1 Untuk

Lebih terperinci

BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM HUKUM PERJANJIAN. dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM HUKUM PERJANJIAN. dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 26 BAB II ATURAN HUKUM PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM HUKUM PERJANJIAN A. Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Menurut Paul Scolten bahwa: prinsip atau asas hukum merupakan pikiranpikiran

Lebih terperinci

BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT

BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT BAB III DOKTRIN EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS SEBAGAI PEMBELAAN DEBITOR AGAR TIDAK DINYATAKAN PAILIT A. 1. Posisi Kasus PT Prima telah melakukan suatu perikatan hukum dengan Telkomsel yang dituangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KASUS KERJA SAMA ANTARA PT. TELKOMSEL DAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA (PJI)

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KASUS KERJA SAMA ANTARA PT. TELKOMSEL DAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA (PJI) BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KASUS KERJA SAMA ANTARA PT. TELKOMSEL DAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA (PJI) A. Profil dan struktur organ 1. PT. TELKOMSEL PT. TELKOMSEL adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun Putusan pailit ini dapat dikatakan menghebohkan, k arena tidak ada yang

BAB I PENDAHULUAN. tahun Putusan pailit ini dapat dikatakan menghebohkan, k arena tidak ada yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kasus kasus kepailitan belakangan ini semakin banyak terjadi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kasus putusan pailit terhadap PT. Telkomsel yang dijatuhkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hal yang paling mendasar yaitu kemampuan untuk bertahan hidup (survive).

BAB 1 PENDAHULUAN. hal yang paling mendasar yaitu kemampuan untuk bertahan hidup (survive). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan sebagai bagian dari pelaku ekonomi, merupakan suatu organisasi yang didirikan oleh seseorang atau sekelompok orang atau badan lain yang aktivitasnya adalah

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN PENERAPAN PRINSIP EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS DALAM PERKARA KEPAILITAN (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 704 K/PDT.SUS/2012 ANTARA PT. TELKOMSEL MELAWAN PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA TESIS Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I EXCEPTIO NON ADEMPLETI CONTRACTUS PT. TELKOMSEL ATAS GUGATAN KEPAILITAN OLEH PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA (PJI)

BAB I EXCEPTIO NON ADEMPLETI CONTRACTUS PT. TELKOMSEL ATAS GUGATAN KEPAILITAN OLEH PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA (PJI) BAB I EXCEPTIO NON ADEMPLETI CONTRACTUS PT. TELKOMSEL ATAS GUGATAN KEPAILITAN OLEH PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA (PJI) DI HUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya tidak dapat terlepas dari interaksi atau hubungan dengan manusia lain. Salah

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 48/ PAILIT/ 2012/ PN. NIAGA. JKT. PST ANTARA PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA DENGAN PT

PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 48/ PAILIT/ 2012/ PN. NIAGA. JKT. PST ANTARA PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA DENGAN PT PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 48/ PAILIT/ 2012/ PN. NIAGA. JKT. PST ANTARA PT. PRIMA JAYA INFORMATIKA DENGAN PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR Oleh: Irhamni Pembimbing: Prof. Dr. Sunarmi SH.,

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang piutang acap kali menjadi suatu permasalahan pada debitor. Masalah kepailitan tentunya juga tidak pernah lepas dari masalah utang piutang. Debitor tersebut

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Penelitian Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. Sengketa merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 2/Pdt.Sus-PAILIT/2016.PN.NiagaMdn.) Oleh: I Gede Andi Iswarayana

Lebih terperinci

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana TINJAUAN YURIDIS PADA SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PUTUSAN SERTA MERTA (UIT VOERBAAR BIJ VOORAAD) DAN PROVISIONIL TERHADAP PUTUSAN PAILIT YANG BERSIFAT SERTA MERTA Oleh : A.A.

Lebih terperinci

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi

2016, No Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Pedoman Imbalan Jasa bagi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.371, 2016 KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan Jasa. Pedoman.Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

Winandya Almira Nurinasari, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Winandya Almira Nurinasari, Teddy Anggoro. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Konversi Utang Menjadi Saham (Debt to Equity Swap) sebagai Upaya Menyelamatkan Perusahaan dari Kepailitan, Studi Kasus: PT Istaka Karya (Persero) Winandya Almira Nurinasari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*, Paramita Prananingtyas. Hukum Perdata Dagang ABSTRAK

Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*, Paramita Prananingtyas. Hukum Perdata Dagang ABSTRAK PUTUSAN PAILIT ATAS PERUSAHAAN ASURANSI DAN AKIBAT HUKUMNYA DI INDONESIA ( KAJIAN YURIDIS ATAS PUTUSAN NO. 10/PAILIT/2002/PN.JKT.PST DAN PUTUSAN MA NO. 021/K/N/2002 ) Annisa Chaula Rahayu,Herman Susetyo*,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut juga dengan penelitian hukum teoritis atau penelitian hukum dogmatik karena tidak

Lebih terperinci

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG 0 KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 318.K/Pdt/2009 Tanggal 23 Desember 2010) TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan hubungan tersebut tentunya berbagai macam cara dan kondisi dapat saja

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melakukan hubungan tersebut tentunya berbagai macam cara dan kondisi dapat saja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam kehidupannya pasti mengadakan hubungan dengan orang lain, baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan masyarakat atau tempat bekerja.

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM MENGENAI JUAL BELI RUMAH DENGAN OPER KREDIT (Studi Kasus Putusan Nomor : 71/Pdt.G/2012/PN.Skh) Oleh : NOVICHA RAHMAWATI NIM.

TINJAUAN HUKUM MENGENAI JUAL BELI RUMAH DENGAN OPER KREDIT (Studi Kasus Putusan Nomor : 71/Pdt.G/2012/PN.Skh) Oleh : NOVICHA RAHMAWATI NIM. TINJAUAN HUKUM MENGENAI JUAL BELI RUMAH DENGAN OPER KREDIT (Studi Kasus Putusan Nomor : 71/Pdt.G/2012/PN.Skh) Oleh : NOVICHA RAHMAWATI NIM. 12100022 ABSTRAK Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut (Subekti, 1979:7-8). Selain lahir

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut (Subekti, 1979:7-8). Selain lahir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya sehari-sehari adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari interaksi antara satu dengan yang lain. Interaksi sehari-hari itu dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI

SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI SUATU TINJAUAN HUKUM TERHADAP RETUR PENJUALAN DALAM ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN JUAL BELI Oleh Fery Bernando Sebayang I Nyoman Wita Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Sales Returns

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan adalah kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014 AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NIAGA TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Evie Sompie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

PARTNERS. * Hengki M. Sibuea, Founder dan Senior Partner pada Kantor Hukum HENGKI SIBUEA &

PARTNERS. * Hengki M. Sibuea, Founder dan Senior Partner pada Kantor Hukum HENGKI SIBUEA & PENERAPAN RASA KEADILAN YANG BERTENTANGAN DENGAN JUMLAH YANG SUDAH DISEPAKATI ADALAH PERTIMBANGAN YANG KELIRU Oleh: Hengki M. Sibuea * Topik tersebut merupakan pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi pada

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh Ida Ayu Kade Winda Swari A.A. Gede Ngurah Dirksen A.A. Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE Oleh Ni Made Asri Alvionita I Nyoman Bagiastra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.

BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO. 69 BAB IV PENERAPAN HUKUM KONTRAK DAN KEWENANGAN MENGGUGAT PAILIT DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI (ANALISIS PUTUSAN KASASI NO.022/K/N/2001) 4.1 Posisi Kasus Untuk membantu memahami kewenangan menggugat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak dapat !1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak dapat melakukan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia)

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah LBHK semester I Angkatan V Oleh: Prasaja Pricillia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU). Pengertian

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA TENAGA KERJA YANG DI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) AKIBAT DARI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA TENAGA KERJA YANG DI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) AKIBAT DARI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA TENAGA KERJA YANG DI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) AKIBAT DARI PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT Oleh Ayu Putu Eltarini Suksmananda I Ketut Markeling Ida Ayu Sukihana

Lebih terperinci

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA oleh Raden Rizki Agung Firmansyah I Dewa Nyoman Sekar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Principle

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI Oleh : Anak Agung Cynthia Tungga Dewi Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 14 September 2012, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pailit kepada PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel. Keputusan ini timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur

Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Hukum kepailitan mempunyai kekhasan sebagaimana hukum yang lain. Hukum kepailitan mempunyai cara dan prosedur tersendiri dalam mengatur hukumnya dan menyelesaikan permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada tanggal 18 Maret 2013, United Nations Development Programme (UNDP) telah merilis data yang menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG PUTUSAN Nomor 18 K/N/2000 =============================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa perkara niaga dalam tingkat. kasasi telah mengalami putusan sebagai

Lebih terperinci

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO.

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO. Judul : KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO. 13/Pdt.G/2009/PN. Skh Disusun oleh : Rani Permata Sari NPM : 13101115 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Jika kita telusuri dalam sejarah, bidang perekonomian selalu

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Jika kita telusuri dalam sejarah, bidang perekonomian selalu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan sebuah Negara, termasuk di Indonesia sendiri yang notabenenya adalah negara berkembang. Jika kita

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA Oleh I Komang Indra Kurniawan Ngakan Ketut Dunia Ketut Sukranatha Hukum Perdata, Fakultas

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI Awal permasalahan ini muncul ketika pembayaran dana senilai US$ 16.185.264 kepada Tergugat IX (Adi Karya Visi),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

MAHKAMAH AGUNG. memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari;

MAHKAMAH AGUNG. memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara kepailitan dari; PUTUSAN Nomor 16 PK/N/1999 ==================================== DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa permohonan Peninjauan kembali telah mengambil putusan sebagai

Lebih terperinci

PENERAPAN PENAFSIRAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN

PENERAPAN PENAFSIRAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN 1 PENERAPAN PENAFSIRAN PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM PERKARA KEPAILITAN (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR :48/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST DAN PUTUSAN KASASI NOMOR : 704 K/PDT.SUS/2012) Jurnal hukum INDAH WIJAYATI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA Oleh: Anastasia Maria Prima Nahak I Ketut Keneng Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H A. PENGANTAR Disaat pertama kali kita mendengar Pailit, maka yang pertama kali ada di dalam bentak kita adalah bangkrut. Bangkrut, diidentikkan dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 41/PDT/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR : 41/PDT/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR : 41/PDT/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN Oleh : Dewa Made Sukma Diputra Gede Marhaendra Wija Atmadja Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M P U T U S A N Nomor 2 K/Pdt.Sus-Pailit/2018 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata khusus kepailitan prosedur renvoi pada

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor : 101 / PDT / 2017 / PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata pada pengadilan tingkat banding

Lebih terperinci

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN 90 Jurnal Cepalo Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2018 ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN Rilda Murniati Fakultas Hukum, Universitas Lampung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci