BAB II MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI. Masyarakat hukum adat Bali dalam kesehariannya diatur dengan hukum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI. Masyarakat hukum adat Bali dalam kesehariannya diatur dengan hukum"

Transkripsi

1 BAB II MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI 2.1 Pengertian Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat Bali dalam kesehariannya diatur dengan hukum adat yang mayoritasnya menganut Agama Hindu. Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat hukum adat Bali yang berlandaskan pada ajaran agama (agama Hindu) dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Sehingga di dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkannya antara agama dan adat di dalam masyarakat hukum adat Bali, dikarenakan hukum adat itu bersumber dari ajaran agama. Menurut Wayan Windia dan Ketut Sudantra, masyarakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka, baik berupa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara dalam bentuk peraturan perundang- undangan Republik Indonesia, sedangkan hukum tidak tertulisnya (Hukum Adat) yang berlaku dalam masyarakat bali bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bali yang disebut Dresta. 1 Unsur pembeda masyarakat pada umumnya dengan masyarakat hukum adat adalah sisi karakteristik yang dimiliki, karena kehidupan masyarakat hukum adat memiliki filosofi, fungsi, dan peran khas dalam kehidupan bersama sebagai hal Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. 44 1

2 45 persekutuan hukum masyarakat paguyuban. Karakteristik masyarakat hukum adat adalah dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Corak kehidupan masyarakat hukum adat masyarakat paguyuban, bernuansa komunal, dan selalu berorientasi pada suasana harmoni; 2. Alam pikir warga masyarakat hukum adat bercorak religius dan magis, artinya masyarakat komunal selalu berorientasi pada keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan skala dan niskala; 3. Setiap pengambilan keputusan dilakukan musyawarah dengan melibatkan semua krama desa dalam paruman desa; 4. Cara pandang patut (kepatutan)/tidak patut menjadi standar sosial untuk menilai perkataan dan perilaku warga masyarakat, bukan salah atau benar; 5. Setiap perbuatan hukum harus dilakukan secara terang (dengan saksi/dihadapan banyak orang) dan kontan/tunai sehingga selesai pada saat perbuatan hukum dilakukan; 6. Hakikat sanksi adat bagi pelanggar norma hukum adat bukan dimaksudkan untuk membalas dendam, memberi nestapa, atau menghukum dengan sanksi fisik, tetapi memberi sanksi sosial, moral, atau sanksi melakukan ritual/magis; tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis/bathin dalam wilayah desa adat, mengembalikan seperti dalam keadaan semula (restutitio in integerum); corak sanksi adat adalah win-win bukan win-lose solutions; sanksi adat tidak bersifat individual, yang hanya dibebankan kepada pelanggar

3 46 hukum adat, tetapi sanksi adat bersifat kolektif karena isteri dan anak juga ikut dikenai sanksi. Dalam ajaran agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali, pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui etika, susila, dan upacara. Ketiga hal inilah digunakan sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Etika, susila, dan upacara yang tercermin di dalam kehidupan sehari-harinya mencerminkan rasa kepatutan dan keseimbangan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu azas hukum yang melingkupi hukum adat Bali adalah kepatutan dan keseimbangan. Adanya azas kepatutan dan keseimbangan ini, merupakan pedoman untuk dapat mengukur dan menilai tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku ataukah telah terjadi pelanggaran. Dalam hal seperti ini maka harus dapat dibedakan antara mana yang disebut patut dan apa yang disebut dengan boleh. Segala sesuatu yang boleh dilakukan, belum tentu merupakan perbuatan yang patut dilakukan. Sebagai misal, setiap perempuan pada prinsipnya boleh hamil, namun perempuan yang patut hamil hanyalah perempuan yang memiliki suami. Demikian pula selanjutnya dengan perbuatan-perbuatan yang lainnya. Sedang pada azas keseimbangan (harmoni), pada dasarnya seluruh perbuatan manusia diharapkan tidak mengganggu keseimbangan didalam kehidupan masyarakan. Pada perbuatan ataupun keadaan yang mengganggu keseimbangan, maka perlu dilakukan pemulihan keseimbangan yang berupa tindakan-tindakan yang mencerminkan pengembalian keseimbangan yang terjadi karena perbuatan atau keadaan tersebut.

4 47 Pada gangguan keseimbangan yang tidak diketahui atau tidak dapat ditimpakan pertanggungjawabannya atas kejadian tersebut, maka adalah menjadi tanggung jawab persekutuan (kesatuan masyarakat hukum adat) untuk bertanggung jawab atas pengembalian keseimbangan yang harus dilakukan. Walaupun tadi dikatakan bahwa antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan, namun antara adat dan agama msih dapat dibedakan. Agama (dalam hal ini agama Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali) adalah berasal dari ketentuan-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab suci yang diturunkannya. Sedangkan adat adalah berasal dari kebiasaan dalam masyarakat yang dapat mengikuti situasi, kondisi, dan tempat pada saat itu. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat. Ada empat faktor penting yang mempengaruhi perkembangan hukum Adat. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Faktor magi dan animisme: Pada masyarakat hukum adat, faktor magi dan animisme ini pengaruhnya begitu besar dan tidak atau belum dapat terdesak oleh agama-agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud pelaksanaan-pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada kekuasaan atau kekuatan gaib yang dapat dimohon bantuannya. 2. Faktor Agama: Adanya pengaruh dari agama-agama yang masuk kemudian ke Indonesia dan dianut oleh masyarakat hukum adat bersangkutan, seperti agama Budha, agama Hindu, agama Islam, dan agama Kristen. 3. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat: Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan adat ini adalah kekuasaan yang mempunyai wilayah yang lebih luas dari persekutuan hukum adat seperti Kerajaan dan Negara. 4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing: Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bahkan kekuasaan asing ini yang menyebabkan hukum adat terdesak dari beberapa bidang kehidupan hukum. Selain itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang asing (Barat) ke Indonesia dan kekuasaan asing dalam pergaulan hukumnya, sangat mempengaruhi perkembangan cara berpikir orang Indonesia. Sebagai

5 48 contoh dapat dikemukakan proses individualisering di kota-kota yang berjalan lebih cepat dari pada masyarakat di pedesaan. 2 Suatu adat-istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (Hukum Adat). Tentang bagaimana perubahan itu sehingga menimbulkan hukum Adat, dapat dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain: 1. Van Vollehoven: dikatakan olehnya bahwa suatu peraturan adat, tindakantindakan (tingkah laku) yang oleh masyarakat hukum adat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu bersifat hukum. 2. Ter Haar: dikatakan olehnya bahwa hukum Adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari penetapan-penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perangkat desa dan lain sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Saat penetapan itu adalah existential moment (saat lahirnya) hukum adat itu. (dibaca tentang: teori beslissingenleer yang dikemukakan oleh Ter Haar) 3. Soepomo: mengatakan bahwa suatu peraturan mengenai tingkah-laku manusia (rule of behaviour) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau pada ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan-peraturan itu. Selanjutnya dikatakan oleh Soepomo bahwa tiap peraturan adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru. Demikian pula dengan peraturan baru ini yang juga akan berkembang dan selanjutnya lenyap karena tergantikan oleh peraturan baru yang sesuai dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani masyarakat hukum adat pendukungnya. Begitu seterusnya, keadaan ini digambarkan sebagaimana halnya jalannya ombak dipesisir samudra. 3 Dari beberapa pendapat sarjana di atas dapat dikatakan bahwa hukum adat tersebut merupakan peraturan yang ada dalam masyarakat adat yang mengikat masyarakatnya yang merasa peraturan tersebut perlu dipertahankan turun temurun yang bertujuan untuk mencegah seseorang melanggar peraturan tersebut. 2 Soerojo Wignjodipoero, op.cit., hal Soerojo Wignjodipoero, loc.cit., hal. 15.

6 49 Menurut Wayan Windia, desa Pekraman yang merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Desa Pekraman merupakan Lembaga Adat yang memiliki ciri-ciri yang bersifat khusus yang tidak dijumpai dalam Lembaga Adat lainnya. 4 Sejak dikeluarkannya Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman, sebutan desa adat diganti menjadi desa pakraman. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata kraamaa pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. (pasal 1 nomor urut 4). Selain desa pakramaan, dalam Perda ini juga dijelaskan mengenai banjar pakraman. Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakraman. (pasal 1 nomor urut 4). Dengan memperhatikan definisi desa pakraman seperti dikemukakan diatas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa pakraman, merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) Unsur parahyangan (hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan 4 Wayan P Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig Exsistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, Denpasar Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. hal. 40.

7 50 menurut agama Hindu). (2) Unsur pawongan (hal-hal yang berkaitan dengan warga desa menurut agama Hindu). (3) Unsur palemahan (hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan alam desa, menurut agama Hindu). Berbeda dengan desa dan kelurahan yang mempunyai kantor dan kelengkapan administrasi, desa pakraman pada umumnya tidak mempunyai kantor sebagai tempat untuk mengendalikan roda administrasi pemerintahan desa pakraman. Walaupun demikian, desa pakraman dan banjar pakraman biasanya mempunyai balai pertemuan (wantilan desa dan balai banjar) yang sering juga dimanfaatkan oleh desa dan kelurahan. Sebuah desa pakraman, ada yang hanya terdiri dari satu banjar pakraman dan ada juga yang terdiri dari beberapa banjar. Dimaksud dengan banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakraman. Jika warga dalam satu banjar lumayan banyak dan wilayahnya (wewidangan/wewengkon) relatif luas, maka untuk kepentingan praktis, banjar itu akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang dinamakan tempekan. Pemberian nama tempekan biasanya disesuaikan dengan keadaan tempekan yang dimaksud. Contohnya, yang berada diwilayah bagian utara, akan disebut Tempekan Kaja, yang di selatan disebut Tempekan Kelod, dst. Adakalanya juga tempekan ini diberi nama yang sesuai dengan keadaan warganya, seperti Tempekan Gusti, Tempekan Pande, dll. Perlu ditegaskan bahwa banjar bukan saja menjadi bagian dari desa pakraman, melainkan juga merupakan bagian dari suatu keperbekelan. Seperti halnya desa pakraman yang umumnya terdiri dari beberapa banjar, demikian pula

8 51 halnya dengan keperbekelan. Satu keperbekelan biasanya terdiri dari beberapa banjar. Semua anggota banjar, dengan sendirinya menjadi warga keperbekelan tersebut. Tetapi tidak semua warga keperbekelan dengan sendirinya dapat disebut anggota atau krama banjar. Sebagai bagian dari desa pakraman, ada syarat khusus yang harus dimiliki oleh seseorang, kalau ingin mipil (tercatat) sebagai krama banjar, yaitu orang yang bersangkutan haruslah beragama Hindu. Mereka yang tidak beragama Hindu, tetapi bertempat tinggal tetap di wilayah banjar tertentu dan tercatat sebagai warga keperbekelan, disebut krama tamiu atau tamiu (pendatang) atau warga banjar dinas. 2.2 Desa Adat Canggu Sebagai Masyarakat Hukum Adat di Bali Desa Adat Canggu merupakan salah satu desa adat yang berada di kecamatan Kuta Utara. Kecamatan kuta utara memiliki 8 desa adat, yaitu Kerobokan, Padonan, Tandeg, Canggu, Berawa, Tuka, Dalung, dan Padang Luwih. 5 Hal ini terbukti dengan terpenuhinya kriteria masyarakat adat oleh Desa Adat Canggu. Sesuai dengan yang telah diutarakan di atas maka Desa Adat Canggu juga memiliki aturan-aturan adatnya tersendiri sebagaimana diatur dengan awig-awig Desa Adat Canggu. Pada tanggal 15 Januari 2014 Pemerintah mengundangkan dan memberlakukan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan tujuan mengatur tentang desa, kejelasan status dan kepastian hukum, pengakuan dan penghormatan, memberdayakan desa, dalam pembangunan nasional. Tujuan mulia seperti ini patut disambut baik, secara positif, dan pikiran jernih sepanjang hal BPS Kabupaten Badung, 2014, Badung Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Badung.

9 52 dimaksudkan untuk mewujudkan amanat Pembukaan Alinea IV UUD NRI Tahun 1945 yaitu... melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pasal 6 ayat (1) secara eksplisit menyatakan Desa terdiri dari Desa dan Desa Adat. Ini adalah wujud pengakuan de yure yang menegaskan adanya 2 (jenis) desa dalam sistem pemerintahan NKRI, memberi ruang hidup secara berdampingan (co-existence) dalam memainkan fungsi dan peran masing-masing dalam sistem pemerintahan di tingkat desa. Tetapi, norma Pasal 6 ayat (1) ini menjadi ambigu ketika membaca Penjelasan Pasal 6 yang menyatakan: Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Desa mempunyai dua pengertian di Bali yaitu desa dalam fungsi sebagai desa dinas dan desa dalam fungsi sebagai desa adat. 1. Desa Dinas atau Desa Administrasi, yaitu desa dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang dimaksud desa dalam undang-undang ini adalah: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

10 53 asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional. Desa dalam pengertian ini melakukan berbagai kegiatan yang menyangkut administrasi pemerintahan atau kedinasan, sehingga disebut desa dinas. 2. Desa Adat atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Desa Pakraman, pengertian desa ini mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar adat istiadat dan terikat dengan Pura Kahyangan Desa. Penerapan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Bali tidak menimbulkan perubahan yang fundamental terhadap pemerintahan desa adat/pakraman yang selama ini berperan sebagai organisasi otonomi asli yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Jadi selain desa menurut undang-undang, maka di Bali kita mengenal pula desa adat/pakraman yang telah ada, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan adat masyarakat Bali. Hingga saat ini desa pakraman ternyata telah membuktikan dirinya memegang peranan yang sangat penting tidak hanya dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa pakraman tetapi juga telah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam pembangunan nasional. Berdasarkan penelitian yang di peroleh di desa canggu, sebagai desa dinas canggu termasuk di dalam kawasan Kelurahan Tibubeneng, sedangkan untuk Desa Adat Canggu masuk ke dalam kawasan kelurahan Canggu.

11 SUMBER: BPS KAB. BADUNG 54

12 55 SUMBER: AWIG- AWIG DESA ADAT CANGGU Tahun 2012

13 Letak Geografis Canggu merupakan sebuah desa persisiran pantai dengan jarak 12,9 km dari kota Denpasar, Bali. Ia yang terletak dalam (daerah) kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Wilayah Provinsi Bali, Indonesia. Batas wilayah Desa Adat Canggu adalah: PRATHAMAS SARGAH ARAN LAN WAWIDANGAN DESA Pawos 1. (1) Desa adat puniki mawasta : Desa Adat Canggu. (2) Jimbar wewidangannya mawates nyatur ring: 1. Sisi wetan : Desa Adat Padoman, Desa Adat Tandeg, Desa Adat Berawa. 2. Sisi kidul : sagara Canggu. 3. Sisi kulon : Desa Adat Tumbak bayuh Ian Pererenan. 4. Sisi lor : Desa Adat Tuka. (3) Wewidangan Desa Adat Canggu kepah dados 8 (kutus) banjar adat luwire: 1. Banjar Padang Tawang. 2. Banjar Babakan. 3. Banjar Umabuluh. 4. Banjar Kayutulang. 5. Banjar Pipitan. 6. Banjar Padang Linjong. 7. Banjar Canggu. 8. Banjar Tegal Gundul. Batas wilayah Desa Adat Canggu adalah: Sebelah Utara : Desa Adat Padoman, Desa Adat Tandeg, Desa Adat Berawa. Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat : Pantai Canggu : Desa adat Tumbak bayuh dan Pererenan. : Desa adat Tuka Secara geografis Desa Adat Canggu berada di Kabupaten Badung yang terletak antara Lintang Selatan dan

14 Bujur Timur dengan luas wilayah 418,52 Km2 atau sekitar 7,43% dari daratan Pulau Bali. Desa Adat Canggu dibagi menjadi 8 banjar adat yaitu: 1. Banjar Padang Tawang. 2. Banjar Babakan. 3. Banjar Umabuluh. 4. Banjar Kayutulang. 5. Banjar Pipitan. 6. Banjar Padang Linjong. 7. Banjar Canggu. 8. Banjar Tegal Gundul Susunan Organisasi Desa Adat Canggu adalah desa adat yang menggunakan sistem pemerintahan tunggal dimana hanya ada satu kepala desa yang disebut dengan bendesa dan memiliki susunan yang bertingkat karena Desa Adat Canggu memiliki 8 banjar adat. Desa Adat Canggu menggunakan sistem keanggotaan ngemong karang ayahan yang berarti, memegang/menguasai tanah milik desa (tanah ayahan desa atau tanah karang desa). Berdasarkan sistem ini maka status keanggotaan desa pakraman (krama desa) dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: 1. kelompok kerama yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban (ayahan) penuh kepada desa. Kelompok kerama ini disebut kerama ngarep atau istilah lainnya sesuai dengan adat (dresta) setempat. 2. kelompok kerama yang tidak menguasai tanah milik desa sehingga tidak dikenakan kewajiban penuh kepada desa. Kewajiban-kewajiban yang

15 58 dikenakan terhadap jenis ini bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman lainnya sesuai dengan awig-awig yang berlaku di desa tersebut. Kelompok kerama ini disebut kerama pengele, kerama roban, kerama sibakan, dan sebagainya. 6 Sistem keanggotaan desa ini dapat menyebabkan adanya suatu tanah desa dimana tanah tersebut terkandung hak ulayat di dalamnya. Oleh karena itu apabila ingin melakukan suatu perbuatan hukum terhadap tanah tersebut maka harus ada persetujuan dari desa sebagai pemegang hak ulayat tersebut. Berdasarkan awig-awig Desa Adat Canggu susunan organisasi Desa Adat Canggu terdiri dari: Palet 2 Indik Prajuru Pawos 14 (1) Desa Adat Canggu kaenter antuk Bendesa Desa Adat. (2) Banjar adat kaenter antuk Klien adat, kasanggra antuk juru arah (sinoman). (3) Sahanan Bendesa Adat mawiwit saking krama ngarep, sakidiknia uning tata cara adat/agama, tur uning panglokika, miwah kaadegang malarapan antuk pamilihan olih krama desa, nyabran 5 warsa, nemoning Ngembak Geni. Sajawaning pari indik tios,kengin kapilih malih, tur maduluran matur piuning nunas panugrahan ring pura Kahyangan Tiga. (4) Tata cara ngadegang prajuru: 1. Bendesa Adat, panyarikan, Ssedahan Ian Kasinoman kapilih adiri saking banjar soang soang, sane kadulurin antuk pamilihan sinalih tunggil wakil inucap karejegang (kadegang) kelian Desa manut (3) ring ajeng. 2. Kelian Banjar adat kapilih antuk krama banjar adat. Tan kengin nyudi krama-krama sane tan rawuh ring paruman. 6 Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, op.cit., hal. 4.

16 59 Pawos 15. (1) Bendesa Adat kasanggra antuk : 1. Penyarikan pinaka juru surat (ilikita). 2. Sedahan (petengen) pinaka pangemong druen desa. 3. Petajuh 4. Klian adat pinaka kasinoman lan rencang (wakil) Bendesa Adat ring soang soang banjar. (2) wawilangan pakaryan kasanggra madudoran manut wibuh kancit: karya (agung-alit) miwah gagambelan. (3) Sajeroning ngetangang kasukertan niskala, Bendesa Adat mingsinggihang mangku Kahyangan Tiga Keadaan Penduduk Berdasarkan proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2013 sebanyak 589 ribu jiwa yang terdiri dari 300,4 ribu jiwa penduduk laki-laki dan 288,6 ribu jiwa penduduk perempuan, meningkat 2,51 persen dibandingkan dengan proyeksi penduduk tahun 2012 yang hanya sebanyak 575 ribu jiwa. Penduduk tersebar secara tidak merata di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Badung. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan Kuta Selatan yaitu sebanyak 134,5 ribu jiwa atau sekitar 22,84 persen dari total penduduk di Kabupaten Badung. Sementara itu Kecamatan Petang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu hanya sekitar 26,2 ribu jiwa atau sekitar 4,44 persen dari total penduduk Kabupaten Badung. Sedangkan jumlah penduduk Desa Canggu yang berada di Kecamatan Kuta Utara berjumlah jiwa yang terdiri dari 3000 orang laki-laki dan 3164 orang perempuan. Sebagai salah satu daerah tujuan migran di Provinsi Bali, rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Badung cukup tinggi yaitu mencapai jiwa/km2 dengan

17 60 tingkat kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Kuta yang mencapai jiwa/km2. Sementara kepadatan penduduk terendah terjadi di Kecamatan Petang yang hanya sebesar 227 jiwa/km2. Kepadatan penduduk sangat mempengaruhi kondisi sosial dan keamanan di masingmasing wilayah. AGAMA LAKI-LAKI PEREMPUAN Islam 51 Orang 56 Orang Kristen 297 Orang 331 Orang Katolik 148 Orang 186 Orang Hindu 2396 Orang 2399 Orang Budha 5 Orang 7 Orang Jumlah 2897 Orang 2979 Orang Tabel. Jumlah Penduduk berdasarkan Agama di Desa Adat Canggu Keadaan Tanah Berdasarkan Kepemilikannya Tanah adat Bali sesuai dengan ketentuan konvensi dari UUPA tercantum dalam pasal II dengan sebutan tanah hak atas Druwe atau tanah hak atas Druwe desa. Namun di Bali tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama tanah druwe desa yang artinya tanah-tanah kepunyaan desa adat. Tanah Druwe Desa terdiri dari:

18 61 1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai atau dikuasi oleh Desa Adat yang bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya. Kalau tanah desa ini berupa tanah pertanian (sawah, ladang) akan digarap oleh krama desa (anggota desa) dan penggarapannya diatur dengan membagi-bagikan secara perorangan maupun secara kelompok yang kemudian hasilnya diserahkan oleh penggarap kepada desa adat. Selain itu yang termasuk tanah adalah: Tanah pasar, tanah lapang, tanah kuburan, tanah bukti (tanah-tanah yang diberikan kepada pejabat/pengurus Desa Adat selama memegang jabatan). 2. Tanah Laba Pura, adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik desa (dikuasai oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk keperluan Pura. Tanah Laba Pura ini ada 2 macam yaitu: Tanah yang khusus untuk tempat bangunan Pura Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura 3. Tanah Pekarangan Desa atau tanah PKD adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada karma Desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lazimnya dalam ukuran luas tertentu dan hampir sama untuk tiap keluarga. Kewajiban yang melekat (yang lebih dikenal dengan ayahan ) pada krama Desa yang menempati tanah ialah adanya beban berupa tenaga atau materi yang diberikan kepada Desa Adat. 4. Tanah Ayahan Desa atau Tanah AYDS adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasaai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan

19 62 pada masing-masing Krama Desa disertai hak untuk menikmati hasil yang disertai kewajiban ayahannya. Disamping tanah-tanah adat tersebut diatas, dikenal juga tanah-tanah pribadi atau tanah-tanah bebas yang merupakan tanah-tanah milik perseorangan yang bebas dari kewajiban ayah. Tanah pribadi ini adalah tanah yang dikuasai oleh perseorangan atau milik pribadi dari seseorang yang tidak berkaitan dengan kepentingan adat. Tanah pribadi tersebut dapat diwariskan dan dapat dijualbelikan tanpa persetujuan dari desa adat. Demikian dalam praktek sehari-hari tidak pernah tanah-tanah bebas ini disebut sebagai tanah adat. Untuk tanah AYDS dan tanah PKD secara bersama-sama sering disebut tanah ayahan saja. Ini artinya tanah yang diatasnya berisi beban berupa ayahan dan terdapat hak ulayat dalam tanah tersebut. Tanah ayahan ini dapat diwariskan, dan jika ingin menjual harus dengan persetujuan Desa Adat demikian juga kalau mau melakukan transaksi-transaksi tanah adat lainnya, harus tetap seijin dari Desa Adat. Tanah warisan yang dimiliki oleh ahli waris dalam kasus ini merupakan tanah ayahan desa. Oleh karena itu tanah warisan tersebut dikuasai oleh Desa Adat Canggu. Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan. Sebagai fungsi keagamaan, krama desa memiliki kewajiban ngayahang yang berupa tenaga, yaitu menyediakan dirinya untuk ngayah atau berkorban ke desa pakraman dan ngayah ke Pura/ Kahyanagan Desa seperti gotong royong membersihkan pura, memperbaiki pura hingga menyelenggarakan upacara keagamaan di dalamnya.

20 63 Palet 5 Indik Druen Desa Pawos 27. Padruen Desa Adat Canggu sakadi ring sor : (1) Kahyangan Desa, Pura Kahyangan Tiga lan Mrajapati jangkep sakaluir busanania. (2) Pelaba pura minakadi sawah / tegalan manut ring palet 5 (1). (3) Lelangan makadi tetabuhan tan ilen-ilen padruen bebanjaran/tempekan sane wenten ring adat Canggu mina kadi gong, gender, angklung miwah ilen-ilen wali. (4) Setra limang palebahan, soang-soang kapinaro kalih makadi : - setra rare genah menden waong rare sane dereng ketus untu. - Miwah setra ageng pamendeman wong tua tur soang-soang kaempon olih kramania manut dresta. (5) Piranti-piranti desa luire : 1. wewangunan ring pura Dalem/Mrajapati, lan sapanuggilan ipun. 2. Wewangunan ring pura Desa/Bale agung, lan sapanuggilan ipun. 3. Wewangunan ring pura Puseh, lan sapanunggilan ipun. 4. Wewangunan ring Khayangan Desa, lan sapangunggilan ipun. Pawos 28. (1) kawigunan tanah Pelaba pura inucap ring ajeng: pamuponnia kaanggen prabea macikang wewangunan ring pura Khayangan Desa, pura Khayangan Tiga. Kakirangannia desa ngurunin manut pararem. (2) Druwen desa ten kengin kaadol, katukar utami kagadeang, sajawaning sampun kararemin antuk krama desa utawi kawigunayang anut patitis pawos Hukum Kekeluargaan yang Berlaku dalam Masyarakat Hukum Adat di Bali Belum adanya keseragaman tentang istilah hukum kekeluargaan, sehingga para sarjana memakai istilah yang berbeda. Hilman Hadikusuma menggunakan istilah Hukum Kekerabatan yakni, hukum yang menunjukkan hubunganhubungan hukum dalam ikatan kekerabatan termasuk kedudukan orang seorang sebagai anggota warga kerabat (warga adat kekerabatan). 7 Menurut Djaren 7 Hilman Hadikusuma, 1991, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 140.

21 64 Saragih Hukum Kekeluargaan adalah, kumpulan kaedah-kaedah hukum yang mengatur huhungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis. 8 Hubungan-hubungan hukum antara orang seorang sebagai warga adat dalam ikatan kekerabatan meliputi hubungan hukum antara orang tua dengan anak, antara anak dengan anggota keluarga pihak bapak dan ibu serta tanggung jawab mereka secara timbal balik dengan orang tua dan keluarga. Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang penting untuk meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. Masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan Pura keluarga untuk menyembah para leluhurnya. Pada umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, antara lain antara orangtua dengan anak-anaknya. Juga ada akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya, tetapi akibat hukum tersebut tidak semuanya sama diseluruh daerah. Meskipun akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur diseluruh daerah tidak sama, tapi dalam kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini diseluruh daerah, yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsure yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya tidak punah, sehingga ada generasi penerusnya. Apabila dalam suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi kepunahan klan, suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi 8 Djaren Saragih, 1984, Pangantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal. 113.

22 65 (pengangkatan anak) untuk meneruskan garis keturunan, maupun pengangkatan anak yang dilakukan dengan perkawinan atau pengangkatan anak untuk penghormatan. Seperti dalam masyarakat Lampung dimana anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya. Menurut Bushar Muhammad, individu sebagai keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. 9 Keturunan boleh ikut menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan dan berhak atas kekayaan keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. Menurut Gde Panetje, Hukum Kekeluargaan di Bali adalah, berdasarkan patriarchaat yakni hubungan seorang anak dengan keluarga (clan) bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan keluarganya. 10 Hubungan seorang anak dengan keluarga bapaknya adalah paling penting dalam kehidupannya. Keluarga dari pancer laki-laki ini harus mendapat perhatian lebih dahulu dari keluarga dari pihak ibunya. Tetapi disini bukan berarti di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia terdapat keanekaragaman sifat sistem kekeluargaan yang dianut. Sistem kekeluargaan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu : 1. Sistem kekeluargaan patrilineal 9 Bushar Muhammad, op.cit., hal Gde Panetje, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung, Denpasar, hal. 21.

23 66 Anak menghubungkan diri dengan ayahnya (berdasarkan garis keturunan lakii-laki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam susunan masyarakat Patrilineal yang berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak bapak (laki-laki)dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hakhaknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem kekerabatan Patrilineal berlaku pada masyarakat Batak dan Bali. 2. Sistem kekeluargaan matrilinial Anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi yang jauh lebih banyakk dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem kekerabatan Matrilinel berlaku pada masyarakat minangkabau. 3. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral Anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh

24 67 perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri. Susunan sistem kekerabatan parental berlaku pada masyarakat jawa, madura, Kalimantan dan sulawesi. Pada masyarakat adat Bali, menggunakan sistem kekeluargaan patrilineal dimana anak laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih utama karena semua kewajiban dari orang tuanya akan beralih pada anaknya, dan anak laki-laki itu akan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Anak laki-laki mewarisi tanggung jawab dari orang tuanya.

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KRAMA DESA BERALIH AGAMA YANG MENEMPATI TANAH KARANG DESA DI DESA PAKRAMAN KATUNG,KINTAMANI,BANGLI

KEDUDUKAN KRAMA DESA BERALIH AGAMA YANG MENEMPATI TANAH KARANG DESA DI DESA PAKRAMAN KATUNG,KINTAMANI,BANGLI KEDUDUKAN KRAMA DESA BERALIH AGAMA YANG MENEMPATI TANAH KARANG DESA DI DESA PAKRAMAN KATUNG,KINTAMANI,BANGLI OLEH : GUSTI AYU PRIMA DEWI NPM : 13 101 21 206 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan berbangsa, khususnya dalam kehidupan masyarakat heterogen, seperti Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda hanyalah sifat atau tingkat perubahannya. Perubahan pada masyarakat ada yang terlihat dan ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA. Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA. Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Pembagian Harta Warisan. Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk membedakan dengan istilah-istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas membentang dari kota Sabang Provinsi Nanggro Aceh Darussalam hingga kota Merauke Provinsi Papua. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (machstaat). Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 negara

BAB I PENDAHULUAN. (machstaat). Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 negara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Dengan demikian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai

BAB I PENDAHULUAN. ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari berbagai sukubangsa dan budaya. Dengan penduduk lebih dari 210 (dua ratus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan, di samping unsur yang

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan, di samping unsur yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan, di samping unsur yang lainnya, yaitu agama, teknologi, mata pencaharian, dan kesenian. Di Indonesia ada tiga macam bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara kodrati merupakan makhluk sosial, yang mana tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini, masalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial sudah makin kompleks dan terdiri dari berbagai aspek yang mana hal ini

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN Oleh Drs. Bakti Ritonga, SH.,MH. 1 Assalmu alaikum wr.wb. Salam sejahtera untuk kita semua Yang Terhormat; Bapak dan Ibu Pembina, jajaran pengurus, dan seluruh pesrta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup

Lebih terperinci

JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR)

JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR) JUAL-BELI TANAH PEKARANGAN DESA (PKD) (STUDI KASUS DI DESA PEKRAMAN PENESTANAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR) Oleh Made Adi Berry Kesuma Putra A.A. Gde Oka Parwata A.A. Istri Ari Atu Dewi Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The

Lebih terperinci

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat

Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Hukum Adopsi menurut Hukum Adat Oleh: 1. Rico Andrian Hartono(135010101111114)/ 17 2. Ramadhanti Safirriani(135010119111001)/ 46 3. Farahdyba R (135010107111189)/ 44 4. Giovanna Calista F (135010101111106)/

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Hukum adat merupakan salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Hukum adat merupakan salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Hukum adat merupakan salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional. Unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Perkreditan Desa diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sebab perkawinan itu tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. antaranya, waris menurut hukum BW (Burgerlijk Wetboek), hukum Islam, dan. Ika ini tidak mati, melainkan selalu berkembang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan. Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris di antaranya, waris menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM. undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM. undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA PAKRAMAN KERAMAS DAN KESADARAN HUKUM 1.1. Deskripsi Desa Pakraman Keramas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IV Pasal 18 mengamanatkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai mahkluk hidup pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat hukum yang berkaitan dengan pengurusan

Lebih terperinci

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Indonesia sangat luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Begitu juga dengan sistem kekerabatan yang dianut, berbeda sukunya maka berbeda pula

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

HUKUM KEBIASAAN & HUKUM ADAT

HUKUM KEBIASAAN & HUKUM ADAT HUKUM KEBIASAAN & HUKUM ADAT Komponen ketiga dalam sistem Hukum Indonesia Adalah hukum yang diciptakan dari kebiasaan yang terjadi di masyarakat Terdapat 2 macam kebiasaan: 1. Hukum adat 2. Hukum kebiasaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Lebih terperinci

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG TEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 06 TAHUN 1986 TENTANG KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PERANAN DESA ADAT SEBAGAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA oleh : Ida Bagus Miswadanta Pradaksa Sagung Putri M.E Purwani Bagian Hukum dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.

Lebih terperinci

Beberapa Pertanyaan Mendasar

Beberapa Pertanyaan Mendasar Oleh: Joeni Arianto Kurniawan 1 Tujuan Mempelajari Hukum Adat: Tujuan praktis: - Hukum adat masih digunakan dalam lapangan hukum perdata, khususnya dalam perkara waris - Secara faktual, masih banyak terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat 1. Pengertian Hukum Adat Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Hukum waris yang berlaku di Indonesia hingga saat ini masih bersifat pluralistik, artinya beraneka ragam sistem hukum waris di Indonesia berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh masyarakat sendiri

BAB I PENDAHULUAN. beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh masyarakat sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam kehidupan bermasyarakat pada saat sekarang ini, masalah dalam kehidupan sosial sudah semakin kompleks dan berkepanjangan, dimana terdapat beberapa aspek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok.

BAB I PENDAHULUAN. sangat menghormati adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. terjalinnya hubungan antar individu maupun kelompok. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang penduduknya memiliki aneka ragam adat kebudayaan. Mayoritas masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di pedesaan masih berpegang teguh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa memperhatikan Pasal

Lebih terperinci

OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM

OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM OM SWASTI ASTU OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA BH Primer 1. Norma atau kaedah dasar yakni Pembukaan UUD 1945. 2. Peraturan dasar (BT UUD

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Restu Rahayu Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur. Wilayah Kecamatan Raman Utara memiliki

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEWARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI ( Studi di Kecamatan Karambitan Kabupaten Tabanan ) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan usahanya seperti untuk tempat perdagangan, industri, pendidikan, pembangunan sarana dan perasarana lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan usahanya seperti untuk tempat perdagangan, industri, pendidikan, pembangunan sarana dan perasarana lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang langsung untuk kehidupanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah satu yaitu ke Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat bangsa

I. PENDAHULUAN. adalah satu yaitu ke Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat bangsa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia ini adat yang dimiliki oleh daerahdaerah suku bangsa adalah berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya, adalah satu yaitu ke Indonesiaannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang dengan gugusan ribuan pulau dan jutaan manusia yang ada di dalamnya. Secara wilayah daratan,

Lebih terperinci

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama

Lebih terperinci

ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli

ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli Pakraman village is a traditional law community unit which has a whole

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Dengan demikian setiap orang tidak mungkin hidup sendiri tanpa

BAB I PENDAHULUAN. lain. Dengan demikian setiap orang tidak mungkin hidup sendiri tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu berhubungan dengan manusia yang lain. Dengan demikian setiap

Lebih terperinci

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK 1 KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK oleh Ni Putu Ika Nopitasari Suatra Putrawan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Tri Hita Karana is a basic concept that have been

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia terdiri atas gugusan pulau-pulau besar maupun kecil yang tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM DESA PAKRAMAN ABANGAN. Desa Pakraman Abangan termasuk dalam wilayah Desa dinas Tegallalang,

BAB II TINJAUAN UMUM DESA PAKRAMAN ABANGAN. Desa Pakraman Abangan termasuk dalam wilayah Desa dinas Tegallalang, BAB II TINJAUAN UMUM DESA PAKRAMAN ABANGAN 2.1. Letak geografis Desa Pakraman Abangan Desa Pakraman Abangan termasuk dalam wilayah Desa dinas Tegallalang, Kecamatan Tegallalang dan Kabupaten Gianyar. Mengenai

Lebih terperinci

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar Pengertian Hukum Adat, Waris dan Kedewasaan dalam Hukum Adat

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar Pengertian Hukum Adat, Waris dan Kedewasaan dalam Hukum Adat 1 Hukum Adat Lanjutan Rabu, 23 November 2016 Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar Pengertian Hukum Adat, Waris dan Kedewasaan dalam Hukum Adat Pembicara : 1. Hendra Siahaan (2013) 2. Wita Pandiangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah - 1 Agung - Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah - 1 Agung - Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamah - 1 Agung - Republia P U T U S A N Nomor : 05/G/2012/PTUN.DPS DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar yang memeriksa, memutus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan lebih dititikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar di Negara Republik Indonesia. Seiring perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat

Lebih terperinci

MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN HARTA WARISAN MELALUI PERAN KEPALA DESA. Ibrahim Ahmad

MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN HARTA WARISAN MELALUI PERAN KEPALA DESA. Ibrahim Ahmad MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN HARTA WARISAN MELALUI PERAN KEPALA DESA Ibrahim Ahmad Abstrak Sebagai perwujudan sikap saling menghormati dan sikap hidup rukun, maka penyelesaian sengketa diupayakan selalu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Bali memiliki bentuk-bentuk kebudayaan yang cukup beraneka ragam, kebiasaan masyarakat daerah tertentu yang unik, yang kesemuanya itu memiliki daya tarik tersendiri

Lebih terperinci

PARENTAL SISTEM WARIS ADAT PARENTAL. Perhitungan sistem Parental 06/10/2016

PARENTAL SISTEM WARIS ADAT PARENTAL. Perhitungan sistem Parental 06/10/2016 SISTEM WARIS ADAT PARENTAL Sekar Ayuningtiyas 135010100111085 (03) Denna Ayu P W 135010100111097 (04) Elizhabert Corolia 135010118113006 (15) SOEPOMO Hukum adat waris, membuat peraturanperaturan yang mengatur

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI

BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI BAB II SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI BALI 2.1. Sejarah Pemerintahan Desa Adat di Bali Secara etimologis kata desa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu deça, seperti Dusun, Desi, Negara, Negeri, Nagaro,

Lebih terperinci

HUKUM ADAT (Pasca Mid Semester)

HUKUM ADAT (Pasca Mid Semester) HUKUM ADAT (Pasca Mid Semester) Struktur Genealogis Teritorial keanggotaan struktur genealogis teritorial ada dua : 1. Harus masuk dalam satu kesatuan genealogis. 2. Harus berdiam di daerah persekutuan

Lebih terperinci

Universitas Airlangga Fakultas Hukum Departemen Dasar Ilmu Hukum

Universitas Airlangga Fakultas Hukum Departemen Dasar Ilmu Hukum HUKUM KEKERABATAN Joeni Arianto Kurniawan Universitas Airlangga Fakultas Hukum Departemen Dasar Ilmu Hukum 1 Bbrp Istilah Kekerabatan Kekeluargaan Kewangsaan 2 Obyek Kajian Hal-hal seputar masalah: KETURUNAN

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM PEMBAGIAN WARISAN I WAYAN ADIARTA / D 101 09 047 ABSTRAK Tulisan ini mengangkat 3 masalah utama, yaitu (a) Bagaimanakah Status Hukum dan Hak Mewaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM TATA HUKUM NASIONAL INDONESIA MARIA, SH. Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara

KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM TATA HUKUM NASIONAL INDONESIA MARIA, SH. Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM TATA HUKUM NASIONAL INDONESIA MARIA, SH Fakultas Hukum Bagian Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Hukum adat berlaku diseluruh kepulauan Indonesia

Lebih terperinci

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Abstrak Program IPTEKSS bagi Masyrakat (IbM) di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang - Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum, 1 dimana setiap perilaku dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum, 1 dimana setiap perilaku dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, 1 dimana setiap perilaku dan tindakan masyarakatnya diatur oleh hukum. Salah satu hukum di Indonesia yang telah lama berlaku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. defenisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya):

I. PENDAHULUAN. defenisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya): I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keragaman suku juga disertai dengan keragaman budaya. Itulah yang membuat suku budaya Indonesia sangat dikenal bangsa lain karena budayanya yang unik. Berbagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS

UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS 1 UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat Oleh Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS Permasalahan Diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT 1. Menurut pendapat anda, apa yang dimaksud dengan : a. Adat : aturan, norma dan hukum, kebiasaan yang lazim dalam kehidupan suatu masyarakat. Adat ini dijadikan acuan

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Karo dikenal sebagai masyarakat yang menganut stelsel kabapaan. Stelsel kebapaan ini yang dianut masyarakat Karo ini dapat dilihat dari kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia dengan semboyan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM. 3.1. Geografis. Kondisi Umum 14. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB III KONDISI UMUM. 3.1. Geografis. Kondisi Umum 14. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau dan Kabupaten Lingga BAB III KONDISI UMUM 3.1. Geografis Wilayah Kepulauan Riau telah dikenal beberapa abad silam tidak hanya di nusantara tetapi juga

Lebih terperinci

MASYARAKAT DAN TANAH ADAT DI BALI (Studi Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali) S. Hendriatiningsih, A. Budiartha, Andri Hernandi*

MASYARAKAT DAN TANAH ADAT DI BALI (Studi Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali) S. Hendriatiningsih, A. Budiartha, Andri Hernandi* MASYARAKAT DAN TANAH ADAT DI BALI (Studi Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali) S. Hendriatiningsih, A. Budiartha, Andri Hernandi* hningsih@gd.itb.ac.id; agus.budiartha@yahoo.com; andri@gd.itb.ac.id

Lebih terperinci

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H.

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H. ÉÄx{M Joeni Arianto Kurniawan, S. H. Perkawinan dlm Hukum Adat meliputi kepentingan dunia lahir dan dunia gaib HAZAIRIN: Perkawinan mrp rentetan perbuatanperbuatan magis, yg bertujuan utk menjamin ketenangan,

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN A. Sekilas Tentang Bapak Kasun Sebagai Anak Angkat Bapak Tasral Tasral dan istrinya

Lebih terperinci

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA

HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA Sumber: www.survivalinternational.org I. PENDAHULUAN Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat

Lebih terperinci

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau

II TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau 1 II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah masyarakat tradisional atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai wilayah perairan yang dikelilingi oleh samudra-samudra yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai wilayah perairan yang dikelilingi oleh samudra-samudra yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau dan gugusan pulau, besar dan kecil. Kepulauan Indonesia bertebaran dan mempunyai wilayah perairan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PANTAI KEDONGANAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Badung dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat Kedonganan.

BAB IV GAMBARAN UMUM PANTAI KEDONGANAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Badung dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat Kedonganan. BAB IV GAMBARAN UMUM PANTAI KEDONGANAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN 4.1 Aspek Geografis dan Kondisi Fisik Pantai Kedonganan terletak di Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan BAB I PENDAHULUAN Masyarakat sebagai suatu kumpulan orang yang mempunyai sifat dan watak masing-masing yang berbeda, membutuhkan hukum yang mengatur kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain

Lebih terperinci