DISERTASI. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISERTASI. Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung"

Transkripsi

1 MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI. STUDI KASUS: ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung Oleh: D. ERWIN IRAWAN NIM: 3252 (Program Studi Teknik Geologi) INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 29

2 ABSTRAK MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI STUDI KASUS: ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT Oleh D. Erwin Irawan NIM : Gunung Ciremai (372 mapl) merupakan gunung api strato yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Zona mata air terletak di bagian kaki dengan jumlah total kurang lebih 2 mata air berdebit 1 L/s hingga 8 L/s. Tipe mata air umumnya adalah rekahan pada batuan lahar dan lava, serta tipe depresi yang muncul pada tanah pelapukan. Penelitian ini menggunakan observasi mata air dan analisis terhadap 15 sifat fisik dan kimia air dengan menggunakan analisis korelasi, analisis klaster serta analisis komponen utama. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi model hidrogeologi yang terdiri dari sistem akuifer endapan gunung api dan pola aliran air tanah. Dari hasil analisis sifat fisik dan kimia dengan grafik korelasi dan Diagram Piper dapat diidentifikasi dua kelompok karakter air tanah, yaitu: air tanah dengan pengaruh air meteorik dominan dan air tanah dengan pengaruh panas bumi. Pengelompokkan tersebut dicirikan pula oleh perubahan fasies kimia air dari daerah tinggi ke yang lebih rendah, yakni dari fasies bikarbonat menjadi fasies kalsium bikarbonat hasil interaksi dengan batuan kaya plagioklas, magnesium bikarbonat yang mengindikasikan kontak dengan batuan sedimen yang diperkirakan dolomit, selanjutnya berubah menjadi natrium kalium klorida hasil interaksi dengan batuan sedimen batu lempung. Analisis klaster berhasil mengidentifikasi dua klaster makro. Klaster 1 beranggotakan mata air mesotermal dan hipotermal yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan gunung api. Kelompok ini terbagi menjadi Klaster 1a beranggotakan 131 mata air yang kaya Ca - HCO 3 serta Klaster 1b yang terdiri dari tiga mata air yang mengandung Mg - HCO 3. Klaster 2 terdiri dari dua mata air yang bersirkulasi di dalam akuifer batuan gunung api dengan tipe aliran cepat. Mata air dalam klaster ini ii

3 tergolong hipertermal dengan kandungan Na-K-Cl dan nilai TDS/DHL yang lebih tinggi dibanding air dalam Klaster 1. Hasil Analisis Komponen Utama menunjukkan parameter utama dari Kuadran II dengan ion bersifat seimbang beranggotakan contoh model mata air mesotermal dan hipotermal pada elevasi yang tinggi. Parameter utama kemudian berubah menjadi ph, Mg 2+, Ca 2+, HCO 3 - pada Kuadran IV atau tetap seimbang pada Kuadran III. Ketiga kuadran tersebut dikendalikan oleh waktu perjalanan air tanah dari elevasi tinggi ke rendah, komposisi akuifer batuan gunung api serta tipe aliran cepat pada media rekahan. Pergeseran contoh air tanah dari Kuadran II ke Kuadran III dan IV mengindikasikan adanya interaksi air tanah pada ketiga jenis akuifer piroklastik, lava, dengan lahar. Untuk model mata air hipertermal pada Kuadran I, komponen utama berubah menjadi TDS, DHL, Na, K, Cl, dan SO 4 sebagai hasil interaksi dengan panas bumi dari aktivitas volkanisme. Pengamatan suhu air tanah dan suhu udara selama 24 jam dimanfaatkan untuk mengindikasikan perilaku air tanah di dalam akuifer dengan lebih rinci. Di lokasi mata air Cibulan, pengukuran mengindikasikan aliran air tanah pada sistem akuifer tertutup yang tidak berhubungan dengan udara permukaan tanah. Sementara pengukuran di Mata air Telaga Remis memperlihatkan pola interaksi air tanah dengan lingkungan permukaan tanah. Berdasarkan analisis respon debit mata air terhadap curah hujan pada dua lokasi mata air dihasilkan dua bentuk kurva time series yang memiliki kemiringan gradual dan tajam. Kurva dengan kemiringan gradual mencerminkan kendali akuifer media pori yang dominan, sementara kemiringan tajam dikendalikan oleh akuifer media rekahan. Kedua jenis kurva memperlihatkan perkiraan time lag rata-rata dalam kurun waktu 3-7 bulan. Hasil lainnya adalah perhitungan kawasan imbuhan dengan luas 3725 km 2 untuk mata air Cibulan dengan volume imbuhan 8,2x1 9 m 3 /tahun, 6188 km 2 untuk mata air Telaga Remis dengan volume imbuhan 14,5x1 9 m 3 /tahun. Kata kunci: endapan gunung api, sifat fisik dan kimia, analisis klaster, analisis komponen utama iii

4 ABSTRACT HYDROGEOLOGICAL MODEL BASED ON ANALYSES OF SHIFTING OF GROUNDWATER S PHYSICAL-CHEMICAL PROPERTIES IN VOLCANIC AQUIFER SYSTEM. CASE STUDY: SPRING ZONE OF MT. CIREMAI WEST JAVA By D. ERWIN IRAWAN NIM : The Mount Ciremai is a 372 masl situated in the south of Cirebon. It constitutes of spring zones along its foot slopes with nearly 2 groundwater springs, discharging 1 L/s to 8 L/s of water. The spring zone is fed by volcanic aquifer system, which lie over clay-sand layers which contains large masses of intercalated evaporites. Due to these conditions, the hydrochemical composition of the volcanic springs is relatively variable. In this study a hydrogeochemical characterization of the aquifer is undertaken to identify the hydrogeological model, consists of aquifer system and groundwater flow path pattern, based on 14 samples collected from the volcanic springs. The identification was performed by studying hydrographs, the temporal evolution of physico-chemical parameters, and by means of multivariate statistical analyses with ifteen (15) hydrochemical parameters were considered (ph, EC., TDS., T water, T air, elevation, lithology, aquifer medium, Ca, Mg, Na, K, HCO 3, Cl, SO 4 ). Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis (CA) were applied in order to examine the importance of each parameter, investigate correlations among them, and separate them into groups. CA recognizes two clusters. Cluster 1 consists of mesothermal and hypothermal waters which are circulating in the volcanic aquifer system. This cluster is divided in to Cluster 1a which consists of 131 springs, with Ca-HCO 3 from plagioclase rocks and Cluster 2b constitutes 3 springs with Mg-HCO 3 ferromagnesian rocks. These samples are closely related with meteoric water. Cluster 2 consists of two springs iv

5 circulating in the volcanic rock aquifer system. Both springs are hyperthermal, with high Na-K-Cl and TDS/DHL contents from volcanic activities. PCA identifies the balanced parameters on Quadrant II and III which consists of mesothermal and hypothermal groundwater samples located on higher altitude. Balanced parameters change to dominant ph, Mg, Ca, HCO 3 in Quadrant IV. The three quadrants are controlled by volcanic rock aquifer system with relatively fast circulation in fractured aquifers. The shifting of groundwater samples from Quadrant II to Quadrant III and IV indicate the interaction between groundwater in the three aquifers: pyroclastics, lavas, and lahars. The prevailing balanced parameters alter to dominant TDS/EC, Na, K, Cl, and SO 4 in Quadrant I which contains volcanic hyperthermal groundwater samples. Along the direction of flow, hydrochemical trends are seen as the groundwater type changes from neutral type to Ca-HCO 3, Mg- HCO 3 ; then to Na-K-Cl derived from the mixture between cold waters and thermal water. Cibulan spring show different pattern of groundwater and surface temperature graphs. It indicates closed aquifer system, un-associated with surface environment. More similar curve pattern is shown at Telaga Remis spring. It indicates that the groundwater flows in open aquifer system, associated with surface environment. Gradual curve indicates the control of porous aquifer system, while the sharp one indicates the role of fractured aquifers. The estimated time lag between spring discharge and precipitation is within 3-7 months period. The calculation of spring s recharge area from the charts are 3725 km 2 with 8.2x1 9 m 3 /year of recharge for Cibulan, 6188 km 2 with 14.5x1 9 m 3 /year of recharge for Telaga Remis. The application of PCA and CA of hydrochemical and hydrodynamic data can be used to extract the conceptual model of hydrochemical evolution of volcanic waters. Moreover, the use of both approaches allows better establishment of volcanic aquifer characterization. Key word: volcanic aquifer system, physical and chemical properties, cluster analysis, principal component analysis v

6 MODEL HIDROGEOLOGI BERDASARKAN ANALISIS PERUBAHAN SIFAT FISIK - KIMIA AIR TANAH PADA SISTEM AKIFER ENDAPAN GUNUNGAPI. STUDI KASUS: ZONA MATA AIR GUNUNG CIREMAI, JAWA BARAT Oleh: D. ERWIN IRAWAN NIM: 3252 Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung Menyetujui Tim Pembimbing Tanggal Juni 29 Ketua Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA NIP: Anggota Anggota Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo, M.Eng Dr.Ir. Prihadi Soemintadiredja NIP: NIP: vi

7 For those who always stand by me Family, C.P and A.R.I vii

8 PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung. viii

9 UCAPAN TERIMAKASIH Program Penelitian S3 ini mendapatkan bantuan dana dari Institut Teknologi Bandung melalui Program Vucher ITB, serta dukungan dana penelitian dari Dirjen Pendidikan Tinggi melalui dana Hibah Pascasarjana tahun Rasa terimakasih saya sampaikan kepada ketiga institusi tersebut karena telah memberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Rasa hormat dan terimakasih saya sampaikan untuk tim promotor yang terdiri dari Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA, Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo, M.Eng, dan Dr. Prihadi Soemintadiredja untuk arahan dan diskusi yang memperkaya penelitian ini serta untuk menyempurnakan teks disertasi ini. Selain itu saya juga menyampaikan penghargaan dan terimakasih untuk Bapak/Ibu Pimpinan FITB: Ir. Lambok M. Hutasoit, Ph.D, Dr. Rubiyanto Kapid, dan Dr. Nining Sari Ningsih yang telah menyediakan fasilitas kerja serta ikut memberi semangat kepada saya untuk terus berupaya lulus tepat waktu dan menulis publikasi dan mengirimkan ke jurnal internasional. Diskusi dan arahan teknis juga saya dapatkan dari Dr. Lilik Eko Widodo dari KK Eksplorasi Sumber Daya Bumi, Dr. Satria Bijaksana dari KK Fisika Kompleks, Dr. Thom Bogaard dari TU Delft, Dr. Asnawir Nasution, dan Dr. Achmad Djumarma. Saya mengucapkan terimakasih pula untuk Bapak Ukas dan Bapak Wahyu Hidayat dari Bapeda Kab. Kuningan yang telah membantu menyediakan data dan memfasilitasi observasi ke lokasi mata air, Bapak Nana Taryana yang membantu akomodasi saya dan tim. Secara khusus pula, saya berterimakasih kepada tim mahasiswa S1 terdiri dari Sdr. Surya Nugraha, Albertus Ditya, Grandis, Thomas, Ryan Surjaudaja, Aditya Juanda yang telah membantu dalam akuisisi data, ix

10 mahasiswa S2 Bapak Taat Setiawan dan Yayan Hendriyan yang telah membantu dalam visualisasi GIS. Dengan tulus, saya mengucapkan terimakasih untuk orang-orang terdekat saya, terutama matahari kecilku Abraary Raditya Irawan serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Bandung, Juni 29 Penulis x

11 DAFTAR ISI ABSTRAK... ii ABSTRACT... iv PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI... viiii UCAPAN TERIMAKASIH... ix DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR TABEL... xixx DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xx BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Distribusi Gunung Api di Indonesia... 1 I.2 Pemilihan Daerah Penelitian... 3 I.3 Daerah Penelitian... 3 I.4 Permasalahan I.5 Lingkup Penelitian I.6 Tujuan I.7 Hipotesis dan Asumsi... 8 I.8 Metodologi... 8 I.7.1 Kajian Penelitian Sebelumnya I.7.2 Penelitian Lapangan I.7.3 Analisis Kimia Air I.7.4 Interpretasi Hasil Analisis Air I.7.5 Penulisan Disertasi I.9 Output Penelitian xi

12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA II.1 Geologi II.2 Hidrogeologi II.3 Analisis Kelurusan Morfologi II.4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah II.4.1 Analisis Grafis II.4.2 Analisis Statistik Multivariabel A. Analisis Komponen Utama (AKU) B. Analisis Klaster II.5 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah II.6 Analisis Respon Debit Mata Air II.6.1 Umum II.6.2 Analisis Respon Debit Mata Air II.6.3 Analisis Respon TDS dan Temperatur Air pada Mata Air BAB 3 HIDROGEOLOGI REGIONAL CIREMAI III.1 Sistem Akuifer III.1.1 Kelompok Endapan Vulkanik III.1.2 Kimia Batuan III.1.3 Analisis Kelurusan Morfologi III.1.4 Ketebalan dan Laju Infiltrasi Tanah Pelapukan III.2 Curah Hujan (Presipitasi) III.3 Distribusi dan Geometri Mata Air III.3.1 Mata Air Depresi III.3.2 Mata Air Rekahan III.4 Survei Geolistrik III.5 Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah III.6 Pola Aliran Air Tanah xii

13 BAB 4 ANALISIS SIFAT FISIK DAN KIMIA AIR TANAH IV.1 Sifat Fisik IV.1.1 Temperatur IV.1.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids) IV.1.3 ph IV.2 Sifat Kimia IV.2.1 Kalsium (Ca 2+ ) IV.2.2 Magnesium (Mg 2+ ) IV.2.3 Natrium (Na + ) IV.2.4 Kalium (K + ) IV.2.5 Klorida (Cl - ) IV.2.6 Sulfat (SO 4 2- ) IV.2.7 Bikarbonat (HCO 3 - ) IV.2.8 Fasies Air Tanah IV.3 Analisis Korelasi IV.3.1 Temperatur vs Elevasi IV.3.2 Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solids/TDS) dengan Elemen Utama (Na, K, Cl, SO 4 ) IV.3.3 Klorida (Cl) dengan Sulfat (SO 4 )... 8 IV.3.4 Klorida (Cl) dengan Bikarbonat (HCO 3 )... 8 IV.3.5 Kalium (K) dengan Natrium (Na) IV.3.6 Klorida (Cl) dengan Natrium (Na) IV.4 Analisis Multivariabel IV.4.1 Analisis Klaster IV.4.2 Analisis Komponen Utama IV.5 Analisis Individu Mata Air BAB 5 ANALISIS RESPON DEBIT MATA AIR V.1 Mata Air Cibulan V.1.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan V.1.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur xiii

14 V.2 Mata Air Telaga Remis V.2.1 Respon Debit Mata Air terhadap Curah Hujan V.2.2 Fluktuasi TDS, DHL, dan Temperatur V.3 Pola Tipikal Respon Debit Mata Air BAB 6 KESIMPULAN VI.1 Model Hidrogeologi VI.2 Hal Baru DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS xiv

15 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Jalur Gunung Api di Indonesia dan Pulau Jawa (Kusumadinata, 1979 op.cit Puradimaja, 26)... 2 Gambar 2 a) Peta Lokasi G. Ciremai dan Citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) memperlihatkan Morfologi Daerah Kab. Majalengka dan Kab. Kuningan; b) Bentuk Siluet Ciremai yang Memperlihatkan Bentuk Lereng Utara dan Selatan Gambar 3 Diagram Alir Penelitian yang Dilaksanakan Pada Perioda Gambar 4 Diagram Alir Proses Preparasi Data Gambar 5 Peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995) Gambar 6 Simulasi Aliran Air Tanah di Lereng Timur Gunung Ciremai (IWACO-WASECO, 1989)... 2 Gambar 7 Contoh Diagram Piper (1944) untuk menganalisis Fasies Air Tanah. 22 Gambar 8 Model skematik hidrograf mata air di kawasan karst dengan sistem akuifer media rekahan murni (Kovacs dan Perrochet, 28) Gambar 9 Beberapa Klaster Hidrograf Mata Air di Kawasan Gunung Api di P. Jeju di Republik Korea (Kim dkk, 27) Gambar 1 Contoh Analisis Besaran Imbuhan (R) berbasis Hidrograf Debit Mata Air menurut Pacheo dan Alencoao (25) Gambar 11 Grafik Klasifikasi Batuan Gunung Api (Le Bas and Streckeisen, 1991; Pusat Survey Geologi, 27) Gambar 12 Pola Kelurusan yang Teridentifikasi di Daerah Penelitian Gambar 13 Diagram Roset Orientasi Kelurusan serta Jumlahnya Gambar 14 Histogram jarak mata air terhadap kelurusan yang terdekat Gambar 15 Plot antara debit mata air (Q dalam L/d) dengan jaraknya terhadap kelurusan (dalam m) Gambar 16 Peta Densitas Kelurusan dan Plot Mata Air Gambar 17 Sketsa Profil Rekahan pada Aliran Lava dan Lahar (Irawan and Puradimaja, 26) Gambar 18 Plot Interval Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan Gambar 19 Plot Laju Infiltrasi Akhir Tanah Pelapukan Terhadap Elevasi xv

16 Gambar 2 Gambar 21 Gambar 22 Gambar 23 Gambar 24 Peta Stasiun Penakar Hujan dan Data Pengukuran Rata-Rata Bulanan pada Jan Des 26. Peta memperlihatkan stasiun yang ada (titik hitam) dan stasiun yang tersedia datanya (lingkaran merah) (Badan Meteorologi dan Geofisika, 28) Grafik Rata-Rata Hujan Bulanan dalam mm (26-27) (Badan Meteorologi dan Geofisika, 28) Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Desember 26 dalam mm (Badan Meteorologi dan Geofisika, 28) Grafik Hujan Tahunan Bulan Januari-Juli 27 dalam mm (Badan Meteorologi dan Geofisika, 28) Histogram Pemunculan Mata Air dan Zonasi Debitnya (Irawan dan Puradimaja, 26) Gambar 25 Histogram Posisi Elevasi Mata Air... 5 Gambar 26 Gambar 27 Gambar 28 Plot Interval Elevasi Mata Air Berdasarkan Jenis Batuan Penyusun Akuifernya Perbandingan Jumlah dan Distribusi Mata Air Antara Lereng Barat (warna hitam) dan Lereng Timur (warna putih) Berdasarkan Elevasi.52 Penampang Geologi Gunung Ciremai Berarah Utara-Selatan (atas) dan Barat-Timur (bawah) Gambar 29 Skema Interpretasi Mata Air Rekahan: Gambar 3 Skema Interpretasi Mata Air Depresi: Gambar 31 Histogram Debit Mata Air Gambar 32 Interval Plot Debit Mata Air Berdasarkan Litologi Gambar 33 Gambar 34 Gambar 35 Gambar 36 Gambar 37 Pola Aliran Air Tanah di Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja, 26)... 6 Pola Aliran Air Tanah pada Contoh Kasus Mata Air Cibulan (Irawan and Puradimaja, 26) Histogram Temperatur Air Tanah pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Histogram nilai Total Padatan Terlarut (TDS) pada sistem akuifer endapan gunung api lahar (LhB), piroklastik (PxB), dan lava (Lv), serta batuan sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) sebagai pembanding Histogram ph pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding xvi

17 Gambar 38 Histogram Konsentrasi Ca 2+ dalam meq/l pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Gambar 39 Histogram Komposisi Mg 2+ dalam meq/l pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Gambar 4 Histogram Komposisi Na + dalam meq/l pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Gambar 41 Histogram Komposisi K + dalam meq/l pada Sistem Akuifer Fm. Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv) Gambar 42 Histogram Komposisi Cl - dalam meq/l pada Sistem Akuifer Fm. Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv) Gambar 43 Histogram Komposisi SO 2-4 dalam meq/l pada Sistem Akuifer Fm. Kaliwangu (Klw), Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (lv) Gambar 44 Histogram Komposisi HCO 3 dalam meq/l pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Gambar 45 Gambar 46 Gambar 47 Gambar 48 Gambar 49 Gambar 5 Gambar 51 Plot Piper Contoh Air Tanah dan Rekonstruksi Proses Perubahan Sifat Kimia Airnya Plot Antara Elevasi dengan Temperatur Udara Diandai Titik Hitam, dan Temperatur Air Ditandai Titik Merah Plot TDS dan Na, K, Cl, SO 4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Plot Antara Ion Cl dan SO 4 pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Plot Antara Konsentrasi Ion Cl dan HCO 3 Pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Plot Antara Konsentrasi K dan Na pada Sistem Akuifer Endapan Gunung Api Lahar (LhB), Piroklastik (PxB), dan Lava (Lv), serta Batuan Sedimen Fm. Kaliwangu (Klw) Sebagai Pembanding Plot Antara Komposisi Na dan Cl pada Contoh Air Dari Daerah Studi Pada Diagram Join dkk (1977) Gambar 52 Dendogram Analisis Klaster (Minitabversi 15 trial version) Gambar 53 Hasil Analisis Klaster Secara Spasial xvii

18 Gambar 54 Plot Komponen Utama antara Komponen 1 dan Komponen Gambar 55 Alur Proses Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah Secara Skematik di Gunung Ciremai. Warna merah mengindikasikan kelompok air tanah hipertermal Gambar 56 Skema Model Hidrogeologi berdasarkan Sifat Fisik dan Kimia Air.. 89 Gambar 57 Skema Sistem Panas Bumi (Ellis dan Mahon, 1978) Gambar 58 Gambar 59 Gambar 6 Skema mata air no 26 (Mata Air Cibewok) dan no 226 (Mata Air Rajawangi). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis akuifer Skema mata air no 17 (Mata Air Sangkanurip) dan no 226 (Mata Air Cigirang). Terjadi interaksi antara air tanah pada kedua jenis akuifer Plot Berurut Waktu Antara Debit Mata Air (sumbu y kanan) dan presipitasi (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan Gambar 61 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Cibulan Gambar 62 Gambar 63 Gambar 64 Plot Berurut Waktu TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan Presipitasi (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Cibulan Plot Hasil Pengukuran Suhu Air dan Udara di lokasi Mata Air Cibulan Selama 24 jam Plot Berurut Waktu Antara Debit (sumbu y kanan) dan Curah Hujan (sumber y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis Gambar 65 Plot Semilog Analisis Hidrograf Debit Mata Air Telaga Remis Gambar 66 Gambar 67 Gambar 68 Plot Berurut Waktu Antara TDS dan DHL (sumbu y kanan); dan Curah Hujan (sumbu y kiri) di Lokasi Mata Air Telaga Remis Plot Berurut Waktu Hasil Pengukuran Temperatur Air Pada Mata Air Dan Temperatur Udara di Mata Air Telaga Remis Usulan Model Umum Hidrograf Mata Air Pada Sistem Akuifer Gunung Ciremai (a) dan (b) dan Perbandingannya dengan model Umum Hidrograf Sistem Akuifer Media Rekahan Murni (c) xviii

19 DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Rangkuman Kondisi Hidrogeologi Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja, 26) Komposisi Kimia Batuan Gunung Api Ciremai Hasil Analisis Laboratorium (Pusat Survey Geologi, 27) Tabel 3 Nilai Laju Infiltrasi Pada Tanah Pelapukan (cm/menit) Tabel 4 Data Curah Hujan dari 13 stasiun 26 dan 27 dalam mm (Badan Meteorologi dan Geofisika, 28) Tabel 5 Ringkasan Data Mata Air Hasil Observasi... 5 Tabel 6 Perbandingan Komposisi Ca pada Batuan dan Air Tanah Tabel 7 Perbandingan Komposisi Mg pada Batuan dan Air Tanah Tabel 8 Perbandingan komposisi Na pada batuan dan air tanah Tabel 9 Perbandingan Komposisi K pada Batuan dan Air Tanah... 7 Tabel 1 Koefisien Korelasi Hasil Analisis Tabel 11 Bobot Faktor (factor loading) pada Analisis Komponen Utama Tabel 12 Tabel 13 Pengukuran Suhu Air Tanah dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata Air Cibulan Pengukuran Suhu Air Tanah Dan Udara Selama 24 jam di Lokasi Mata Air Telaga Remis Tabel 14 Rangkuman Hasil Perhitungan Luas Kawasan Imbuhan Mata Air Tabel 15 Resume Analisis Multivariabel xix

20 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG Singkatan Nama Pemakaian pertama kali pada halaman mapl Meter di atas permukaan laut 3 SRTM Shuttle Radar Topographic Mission 5 Q Debit (dalam satuan L/det) 7 T Temperatur (dalam satuan o C) 7 TDS Total Dissolved Solids (dalam satuan ppm) 7 DHL Daya Hantar Listrik (μs/cm) 7 SMEWW Standard Method Evaluation for Water and 12 Waste Water CA Cluster Analysis 12 PCA Principal Component Analysis 12 AK Analisis Klaster 12 AKU Analisis Komponen Utama 12 U Utara 19 S Selatan 19 B Barat 19 T Timur 19 LhB Lahar 35 Lv Lava 35 PxB Piroklastik 35 NW North West 59 SE South East 59 H 2 S Hidrogen Sulfida 79 Lambang Na Natrium 17 Ca Kalsium 17 xx

21 Mg Magnesium 17 K Kalium 17 HCO 3 Bikarbonat 17 Cl Klorida 17 Q t debit mata air pada waktu t 3 Q debit pada t o 3 (t 2 -t 1 ) beda waktu antara Q t dan Q o 3 e basis angka logaritmik 3 β koefisien resesi 3 R Besaran Recharge (imbuhan) 31 ρ Rho 57 Ω Ohm 57 xxi

22 BAB I PENDAHULUAN I.1 Distribusi Gunung Api di Indonesia Indonesia merupakan bagian dari jalur gunung api dunia yang memiliki kurang lebih 128 gunung api (Gambar 1), dan meliputi lahan seluas 33. km 2 (Kusumadinata, 1979). Jumlah gunung api sebanyak 128 telah direvisi menjadi 129 menurut website Pusat Vulkanologi dan mitigasi bencana alam geologi ( sejak meletusnya Gunung Anak Ranakan di Pulau Flores pada tahun 199. Sebagian besar diantaranya adalah gunung api berumur kuarter berbentuk strato. Jumlah yang sangat besar tersebut membuat Indonesia menjadi salah satu negara penting dalam penelitian kegunungapian di dunia. Namun demikian masih belum banyak penelitian yang secara spesifik menelaah kondisi hidrogeologi di kawasan gunung api. Menurut Kusumadinata (1979) terdapat 73 gunung api Tipe A, 21 diantaranya (29%) berada di Pulau Jawa dan sisanya tersebar di Pulau Sumatra 12 gunung (16%), Bali dan NTB sebanyak lima gunung (7%,) NTT sebanyak 13 gunung (18%), Kepulauan Banda sebanyak tujuh gunung (1%), Sulawesi dan Kepulauan Sangir sebanyak 11 gunung (15%), Kepulauan Maluku sebanyak empat gunung (5%). Menurut Situs Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( tiga tipe gunung api berdasarkan keaktifannya dapat diterangkan sebagai berikut: Tipe A: gunung berapi yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 16. Tipe B: gunung berapi yang sesudah tahun 16 belum lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara. Tipe C: gunung berapi yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah. 1

23 2JAWA1oIyangArgapuraJakartaSurabayaYogyakartaBALILOMBOKSUMBAWATamboraRinjaniAgungBaturIjenRaungSangeanapiLamonganBromoSemeruArjuno-WelirangKeludLawuWilisCiremaiKarahaTalagaBodasSlametSundoroSumbingMerbabuDiengMerapiButakPetaranganKiaraberesUngaranBandungKarangPulasariTangkubanPerahuPatuhaPerbaktiSalakGedeGagakGalunggungKw.ManukGunturPapandayanKamojangWayangWinduPatuhaPatuhaPatuha123kmNorth15o11o115o1o15o11o115o1o5o1o5oSUMATRAPAPUAJAWAKALIMANTANSULAWESIN Gambar 1 Jalur Gunung Api di Indonesia dan Pulau Jawa (Kusumadinata, 1979 op.cit Puradimaja, 26) 75km

24 I.2 Pemilihan Daerah Penelitian Studi komparatif telah dilakukan oleh penulis terhadap sistem akuifer endapan gunung api di G. Ciremai, G. Tangkubanparahu, G. Gede Pangrango, dan G. Karang. Beberapa karakter dan catatan penting khususnya di bidang hidrogeologi pada masing-masing gunung api telah diringkas pada Tabel 1. Tabel 1 Ringkasan Kondisi Hidrogeologi G. Ciremai, G. Tangkubanparahu, G. Gede Pangrango, dan G. Karang yang disarikan dari peneliti sebelumnya. (Situmorang, 1995, Djuri, 1995, Effendi, 1974, IWACO- WASECO, 1989) dan hasil survei awal Parameter yang Ciremai Gede Tangkubanparahu Karang dibandingkan Kemiringan lereng 5 3 o 5 2 o 5 7 o 5 2 o Geologi regional: Litologi 22 lapisan batuan gunung api 12 lapisan batuan gunung api 18 lapisan batuan gunung api 5 lapisan batuan gunung api Struktur Patahan Patahan Patahan Tidak ada patahan terpendam terpendam terpendam Ketebalan tanah pelapukan Sistem Akuifer Tak Tertekan: Mata Air: Jumlah yang telah terpetakan Distribusi di bagian kaki Dalam 3 zona elevasi Di kaki gunung, tersebar Di kaki gunung, tersebar Di kaki gunung, tersebar Tipe mata air Rekahan Rekahan Rekahan Depresi dominan Debit (L/det) Temperatur ( o C) TDS (ppm) DHL (µs/cm) Penelitian sebelumnya Penelitian magister Penelitian skala regional Penelitian skala regional Penelitian skala regional I.3 Daerah Penelitian Gunung Ciremai merupakan gunung api yang soliter atau terpisah dari gunung api lainnya. Gunung api strato ini memiliki elevasi 372 mapl, dan terletak 2 km ke arah selatan Cirebon. Lereng timur Ciremai termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan, sementara lereng barat termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Majalengka (Gambar 2). Puncaknya terletak pada koordinat latitude dan longitude dengan diameter dari puncak ke kaki kurang 3

25 lebih 1 km. Sebagian kawasan Ciremai, seluas 15. ha telah dikelola sebagai kawasan konservasi berupa taman hutan lindung sejak tahun Peruntukannya ditetapkan berdasarkan SK.424/Menhut-II/4 tanggal 19 Oktober 24. Curah hujan rata-rata adalah 328 mm/tahun dengan kisaran antara 157 hingga 4746 mm/tahun (Badan Geofisika dan Meteorologi, 28). Presipitasi yang sangat tinggi tersebut berpotensi menjadi imbuhan ke dalam akuifer produktif endapan gunung api yang kemudian muncul sebagai mata air di bagian kaki gunung. Tabel 2 memperlihatkan contoh kisaran debit pada 13 mata air yang terdapat di Gunung Ciremai. 4

26 Laut Jawa Kab. Kuningan G. Ciremai (372 mdpl) Kab. Majalengka Sumatra Kalimantan U 1 km Jakarta Cirebon Bandung Indian ocean 2 km Ciremai Java sea Java Utara Gambar 2 a) Peta Lokasi G. Ciremai dan Citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) memperlihatkan Morfologi Daerah Kab. Majalengka dan Kab. Kuningan; b) Bentuk Siluet Ciremai yang Memperlihatkan Bentuk Lereng Utara dan Selatan. 5

27 Tabel 2 Contoh Kisaran Debit Mata Air di G. Ciremai (IWACO-WASECO, 1989) No Nama mata air Elevasi (mapl) Total debit (L/det) 1 Cibulan Cibulakan Cigorowong Cibolerang Cipaniis 475 > 1 6 Cijumpu Cisemaya Cibujangga Cicerem Citengah Telaga Remis Telaga Nilem Bojong Akuifer yang produktif di G. Ciremai menjadi sumber air bagi masyarakat Kab. Kuningan, sebagian Kab. Majalengka, Kab. Cirebon, dan bahkan Kota Cirebon. Peran G. Ciremai sebagai sumber air yang sangat penting ini, mengharuskan Pemerintah Kab. Kuningan untuk melakukan pengelolaan dengan baik. I.4 Permasalahan. Sebagaimana diketahui, sumber imbuhan utama air tanah adalah air hujan yang berkisar antara 2 4 mm/tahun di Indonesia; namun pada kenyataannya curah hujan tersebut tidak terdistribusi secara merata (Puradimaja, 26). Sebagai contoh, kawasan pantai P. Jawa hanya menerima kurang dari 25 mm/tahun, sementara kawasan lereng gunung api dan sekitarnya menerima lebih dari 25 mm/tahun. Presipitasi yang sedemikian besar di kawasan gunung api memberikan peluang besar terhadap kemunculan mata air-mata air dengan debit besar dan kualitas yang baik. Di lereng G. Ciremai terdapat ratusan mata air dengan debit yang bervariasi dari 8 L/det hingga 1 L/det (Bapeda Kab. Kuningan, 22). Masalah utama pengelolaan sumber daya air tanah di Kabupaten Kuningan adalah kurangnya pemahaman mengenai sistem akuifer dan pola aliran air tanah serta pemunculan mata air. Posisi dan hubungan antara daerah imbuhan (recharge area) dengan daerah luahan (discharge area) air tanah belum dikaitkan dengan baik, sehingga pengaturan tata ruang dan penetapan langkah konservasi belum 6

28 dapat dilakukan dengan tepat. Berkaitan dengan hal tersebut, Penulis merumuskan masalah utama, yaitu bagaimana mengidentifikasi model hidrogeologi berupa sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada sistem akifer batuan gunung api berdasarkan analisis perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. I.5 Lingkup Penelitian Lingkup penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. Obyek yang diobservasi di lapangan adalah zona mata air di lereng Gunung Ciremai yang berkembang pada sistem akuifer tak tertekan (bebas) pada endapan gunung api. Observasi lapangan terdiri dari observasi kondisi geologi lapangan, pengukuran laju infiltrasi akhir di lapangan, pengukuran sifat fisik dan kimia air tanah pada 14 mata air dan pengambilan contohnya, serta pengukuran hidrometri parameter debit mata air (Q), temperatur air dan udara (T), total padatan terlarut/total dissolved solids (TDS), dan daya hantar listrik (DHL). Tahap metoda analisis di laboratorium/studio terdiri dari analisis kimia komposisi ion utama pada 14 contoh air tanah serta pemanfaatan analisis statistik multi variabel menggunakan analisis klaster dan analisis komponen utama. I.6 Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk model hidrogeologi berupa sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada sistem akifer batuan gunung api berdasarkan analisis perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan tiga pendekatan: observasi lapangan, analisis statistik terhadap hidrokimia air tanah, dan analisis respon debit mata air. Rincian untuk tiap metoda akan diterangkan pada bagian metodologi. 7

29 I.7 Hipotesis dan Asumsi Hipotesis yang diambil dalam tulisan ini adalah bahwa model hidrogeologi berupa sistem akuifer dan pola aliran air tanah dapat diidentifikasi berdasarkan analisis perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. Latar belakang rasional dari hipotesis di atas berbasis kepada asumsi-asumsi di bawah ini: 1. Sifat-sifat kimia air tanah merupakan hasil dari interaksi antara air dengan mineral/batuan serta air dengan udara (Matthess, 1981). Penanda kimiawi air tanah berkaitan dengan satu atau beberapa reaksi antara air tanah dengan komposisi akuifer (Thyne dkk, 24). 2. Reaksi antara air dengan mineral terjadi pada saat air tanah menginfiltrasi akuifer, mengalir dalam akuifer, kemudian muncul ke permukaan sebagai mata air, sehingga komposisi kimia air tanah. bersifat dinamis. Perubahan sifat kimia dinyatakan pula oleh Chebotarev (1955) op.cit buku Physical and Chemical Hydrogeology oleh Domenico dkk (199). 3. Kondisi kimia air tanah merupakan cerminan waktu tinggal (residence time) air di dalam akuifer. Semakin lama waktu tinggal berarti semakin lama air tanah bersirkulasi di dalam akuifer, sehingga semakin lama pula waktu kontak dan interaksi yang terjadi dengan mineral pembentuk batuan. Interaksi tersebut menyebabkan perubahan dalam sifat fisik dan kimia air tanah sampai tercapai kesetimbangan (Chebotarev, 1955 op.cit Domenico dkk, 199). I.8 Metodologi Diagram alir penelitian didisain untuk dapat selesai dalam tiga tahap yang terdiri dari tahap prasurvei lapangan, survei lapangan, dan pasca survei lapangan dalam waktu tiga tahun, sebagai berikut (lihat Gambar 3 dan Gambar 4). 8

30 Peta topografi Citra SRTM Peta geologi Peta hidrogeologi Klasifikasi mata air Observasi mata air: Litologi & geometri Kendaligeologi terhadapmata air Analisis regional Sifatfisik air tanah: Q, T, TDS, EC, ph Sifatkimia air tanah: Ca 2+, Na +, Mg 2+, K +, HCO 3-, Cl -, SO 4 2- Data time series hidrograf: Q, TDS, EC Analisis: 1.Diagram Piper 2.Korelasi 3.Komponenutama 4.Klaster 5.Hidrograf Asal mula mata air Delay time, sistem akuifer, Kawasan imbuhan Sistem input/ Output air tanah Model hidrogeologi pola aliran air tanah Gambar 3 Diagram Alir Penelitian yang Dilaksanakan Pada Perioda

31 Contoh air tanah Analisis ion utama di laboratorium Konsentrasi ion utama: Ca 2+,Mg 2+,Na +,K +, Cl -,SO 4 2-,HCO 3 - Konversi mg/l -> meq/l =m ion/ar * valensi Penyaringan data (Ion Charge Balance) (Σ kation - Σ anion) / (Σ kation + Σ anion) x 1% 5% diterima 5% dikeluarkan An.korelasi An.Statistik Multivariabel Database mataair Variabel Analisis korelasi R 2,8 Analisis Statistik Multivariabel Contoh Air tanah Analisis Klaster Analisis Komponen Utama Pemilahan contoh air tanah (genesa, sistem hidrogeologi) Gambar 4 Diagram Alir Proses Preparasi Data. 1

32 Tabel 3 Jadual pelaksanaan penelitian Volume Jadual kerja No Aktivitas Jumlah Satuan J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D I Tahap Pra Survei (Studio) 1.1 Digitalisasi peta 1.2 Analisis peta: Peta topografi 1 set Peta geologi 1 set Analisis data sekunder 1 set Analisis citra SRTM 1 set 1.3 Studi literatur 1 set II Tahap survei 2.1 Observasi mata air 1 mata air Sifat fisik: Q, T, ph, DHL, TDS 1 sampel Pengambilan contoh air 1 sampel Observasi singkapan 1 lokasi Geometri mata air 1 mata air Pengujian kimia air (ion utama): Ca, Na, Mg, K, HCO3, 1 sampel 2.2 Cl, SO Sampel air tanah dari mata air 81 sampel Sampel air tanah dari sumur 1 sampel Sampel air hujan 4 sampel Sampel air sungai 5 sampel 2.3 Pengukuran geolistrik (pada lokasi terpilih) 2 titik Pengukuran data Interpretasi data Rekonstruksi penampang Pengujian parameter hidrolik 5 lokasi 2.4 lapangan (pada lokasi terpilih) Pemboran dangkal 15 titik Pengukuran permeabilitas lapangan 25 titik Uji permeabilitas laboratorium 15 titik III Tahap pengolahan data (Studio) 3.1 Pengolahan data mata air Penyusunan database mata air Pengolahan peta Pembuatan penampang 3.2 Analisis statistik multi variabel Analisis komponen utama Analisis klaster 3.3 Pengujian hasil penelitian 3.4 Penyusunan disertasi 3.5 Penyusunan publikasi 7 buah I.7.1 Kajian Penelitian Sebelumnya Pada tahap ini, data sekunder serta informasi yang didapat dari penelitianpenelitian dan survei sebelumnya dianalisis kembali untuk memperoleh gambaran kondisi regional daerah penelitian yang mencakup peta topografi, peta geologi dan peta hidrogeologi. I.7.2 Penelitian Lapangan Dalam tahap ini dilakukan pencatatan koordinat mata air (x, y, dan z), pengamatan kondisi geologi di sekitar mata air dan batuan penyusun akuifer, pengukuran debit mata air dan sifat fisik-kimia air tanah. Debit (Q) mata air yang 11

33 lebih besar dari 1 L/det diukur menggunakan metoda stream channeling. Untuk debit mata air kurang dari 1 L/det, pengukuran menggunakan wadah bervolume 1 L dan stopwatch. Pengukuran debit mata air dilakukan dua kali (duplets) untuk setiap pengamatan. Sifat fisik-kimia air tanah yang diukur meliputi: temperatur udara (Tu), temperatur air (Ta), Daya Hantar Listrik (DHL), Total Padatan Terlarut atau Total Dissolved Solids (TDS), dan ph (tingkat keasaman). Temperatur udara diukur menggunakan thermometer air raksa standar. Parameter lainnya diukur dengan alat ukur DHL/TDS meter merk Orion dan ph meter merk Hanna Instrument. Untuk keperluan analisis kimia, contoh air tanah diambil dengan botol plastik berukuran 1 L. I.7.3 Analisis Kimia Air Uji laboratorium terdiri dari pengukuran kandungan ion utama (Ca 2+, Na +, Mg 2+, K +, HCO - 3, SO 2-4, dan Cl - ) menggunakan Standard Method Evaluation for Water and Waste Water (SMEWW) oleh The America Public Health Administration (APHA) tahun Hasil analisis kimia diverifikasi dengan metoda ion balance dengan persamaan 1 di bawah ini, sebelum dianalisis dan diinterpretasi lebih lanjut. Penulis menentapkan batas error balance sebesar 1% (Matthess, 1981). Air tanah dengan cation/anion balance lebih dari 1 % akan diuji ulang. [(Σ cations - Σ anions) / (Σ cations + Σ anions)] x 1% Persamaan 1 I.7.4 Interpretasi Hasil Analisis Air Analisis dan interpretasi dalam penelitian ini memerlukan teknik pengklasifikasian contoh air tanah berbasis sifat fisik dan kimia. Untuk itu digunakan metoda grafis dan statistik multivariabel yaitu: Diagram Piper, Analisis Klaster (Cluster Analysis), dan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis). Kombinasi analisis grafis dan statistik, dapat menghasilkan klasifikasi contoh yang konsisten dan saling mendukung (Guller dkk, 22). Analisis statistik menggunakan piranti lunak Minitab version 15 (trial version) by Minitab Inc. 12

34 I.7.5 Penulisan Disertasi Tahap akhir dari penelitian ini adalah pelaporan dalam bentuk penulisan disertasi. Dokumen disertasi ini kemudian akan dipertahankan di depan Komisi Program Pasca Sarjana (KPPS) dalam Sidang Tertutup. Kerangka penulisan disertasi adalah sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan Bab pertama menyajikan distribusi gunung api di Indonesia, bagaimana potensi air tanahnya, serta pemilihan daerah penelitian. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai masalah dan tujuan penelitian, deskripsi metodologi yang akan dilakukan, hipotesis dan asumsi yang digunakan, output penelitian, serta hal baru yang diharapkan. Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab tinjauan pustaka menampilkan berbagai dasar teori yang berkaitan dengan sistem endapan gunung api, pemunculan mata air, sifat fisik dan kimia air tanah, serta berbagai analisis statistik yang akan digunakan untuk menjawab masalah yang ada. Bab 3 Hidrogeologi Regional Ciremai Pada Bab 3 akan mengulas kondisi geologi dan hidrogeologi regional di kawasan Gunung Ciremai, berdasarkan hasil penelitian dan survei yang telah dilakukan sebelumnya. Bab 4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah Pada bagian ini dilakukan analisis terhadap sifat fisik dan kimia air tanah, meliputi: analisis hidrokimia air tanah dengan Diagram Piper, Analisis Klaster (AK) dan Analisis Komponen Utama (AKU). 13

35 Bab 5 Analisis Respon Debit Mata Air Analisis lebih jauh dilakukan terhadap data pengukuran berkala (time series) dari debit mata air, curah hujan, temperatur air dan udara, serta nilai TDS. Analisis detil ini hanya dilakukan terhadap 3 mata air, yaitu: Cibulan, Telaga Remis, dan Ciuyah. Ketiga mata air dipilih karena merefleksikan kondisi geologi yang berbeda, serta pencapaian ke lokasinya yang relatif mudah. Pembahasan diarahkan untuk memperkirakan waktu tinggal (residence time) air tanah di dalam akuifer. Bab 6 Kesimpulan Bab ini menyimpulkan hasil penelitian secara komprehensif dan merumuskan jawaban dari permasalahan yang ada. I.9 Output Penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat: Mengidentifikasi model hidrogeologi berupa sistem akuifer endapan gunung api dan pola aliran air tanahnya. Menguji kemampuan metoda grafis dan statistik multivariabel AK dan AKU untuk memisahkan sistem akuifer endapan gunung api dan pola aliran air tanahnya. Secara rinci, output penelitian ditampilkan pada tabel berikut ini. Tabel 4 Output penelitian yang direncanakan Hasil Hal baru Model hidrogeologi berupa sistem akuifer endapan gunung api dan pola aliran air tanahnya berdasarkan analisis perubahan sifat fisik dan kimia air tanah. Kombinasi metoda pemetaan hidrogeologi dengan menggunakan teknik observasi mata air dengan analisis statistik multi variable (AK dan AKU) terhadap sifat fisik-kimia air tanah. Model tipikal hidrograf mata air di kawasan gunung api. Model tipikal hidrograf mata air di kawasan gunung api, bahkan lebih luas lagi di Indonesia, dapat lebih dimanfaatkan dalam analisis hidrogeologi pada skala lebih detail. 14

36 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA II.1 Geologi Ciremai dikelompokkan sebagai gunung api Tipe A, yakni gunung api yang masih aktif sejak 16. Sejarah mencatat gunung api ini pernah meletus sebanyak lima kali, yaitu pada tahun 1698, 1772, 1775, 185, dan Interval terpendek erupsi adalah tiga tahun, sedangkan yang terpanjang adalah 112 tahun (Kusumadinata, 1979 dan Endapan gunung api kuarter di daerah riset terdiri dari tiga generasi erupsi: Generasi pertama adalah gunung api berumur Plistosen, yang merupakan bagian dari aktivitas vulkanisme Plio-Plistosen (Bemmelen, 1949). Unit ini terdiri dari lava dan breksi yang diendapkan di atas batuan sedimen berumur tersier. Sisa-sisanya dapat dilihat saat ini sebagai Gunung Putri, Pasir Bungkirit, Pasir Wangi, Pasir Garunggang (Ciremai selatan). Generasi kedua adalah G. Gegerhalang yang diduga memiliki elevasi 35 mapl sebelum runtuh. Endapan gunung apinya dari tua ke muda terdiri dari Aliran Piroklastik Puncak, Aliran Lava Karangsari, Aliran Piroklastik Argalingga, Aliran Piroklastik Cibuluh, Aliran Lava Cibuluh, Lahar Bantaragung, dan Lahar Kuningan. Keberadaan kawah ini dapat dideteksi dengan adanya morfologi yang tinggi, sebagai sisa dari dinding kawah lama. Generasi ketiga berumur holosen, yakni G.Ciremai. Gunung ini tumbuh di bagian utara Kaldera Gegerhalang. Produk erupsi Ciremai dari tua ke muda terdiri dari Aliran Piroklastik Palutungan, Aliran Lava Simurugul, Aliran Piroklastik Sadarehe, Aliran Lava Pasirlamelaut, Jatuhan Piroklastik Tegaljamuju, Aliran Lava Guawalet, Jatuhan Piroklastik Ciremai, dan Lahar Pejambon. Erupsi berikutnya menghasilkan Lava Pucuk, Lava Buntung, Lava Sukageri, dan Piroklastik Sukageri. Media 15

37 pengendapan piroklastik adalah gas dan arah jatuhan (angin), yang distribusi umumnya pada lereng gunung api. Media pengendapan lahar adalah air yang terdistribusi umumnya pada lereng bawah sampai elevasi 5 mapl (McPhie dkk., 1993). Marks (1959) telah mendeskripsikan formasi-formasi batuan di Indonesia sebagai referensi umum. Kondisi geologi regional juga telah dipetakan oleh Kusumadinata (1977) serta Silitonga dan Masria (1978) pada skala 1:1.. Riset-riset lainnya di kawasan Gunung Ciremai dan sekitarnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Kajian aspek geokimia telah dilakukan oleh Badrudin (1988) sebagai bagian dari pengukuran geokimia dan COSPEC di Gunung Galunggung, Tangkubanparahu, Tampomas, dan Ciremai. Hasilnya adalah emisi gas SO 2 pada kondisi normal rata-rata 15 ton/hari, dengan kisaran 13,55 ton/hari hingga 17,25 ton/hari. Pengukuran gravity telah dilaksanakan oleh Husein dan Suparan (199), mengikuti investigasi magnetik yang telah dilaksanakan oleh Said (1984). Purbawinata dkk. (1991) mempelajari geokimia batuan Gunung Ciremai yang menghasilkan komposisi dominan andesit berjenis hipersten aegirin-augit, andesit aegirin agit antofilit, antofilit augit, dan horblenda. Riset ini juga menghasilkan batuan kalk alkali. Pemetaan detail untuk memisahkan batuan gunung api dan distribusinya telah dilakukan oleh Suradji (1993). Peneliti tersebut mempelajari stratigrafi vulkanik dan potensi bencananya pada skala 1:5.. Peta geologi lainnya juga telah disusun oleh Djuri (1995) dengan skala 1:1.) dan Situmorang (1995) pada skala 1:5. (Gambar 5). Dari riset-riset diatas dapat disimpulkan bahwa Gunung Ciremai memiliki setidaknya 22 jenis endapan vulkanik, terdiri dari 11 aliran lava, sembilan materials piroklastik, dan dua lapisan lahar. 16

38 II.2 Hidrogeologi Hidrogeologi Gunung Ciremai telah menjadi obyek riset sejak Maier (1861) sebagai riset pertama yang tercatat. Peneliti ini mempelajari kondisi kimiawi dua sampel mata air panas di Gunung Ciremai. Selanjutnya Kartokusumo (1983) mengobservasi beberapa mata air panas Gunung Ciremai dan Tampomas yang hasilnya berupa komposisi kimia mata air panas disajikan pada Tabel 5. Temperatur Ciniru adalah 43 o C, dengan ph 7,33. Rasio kimia yang berhasil diukur adalah Cl/SO dan Cl/B Estimasi temperatur reservoirnya adalah 79,7 o C (SiO 2 ), 151,3 o C (NaK-Ca), dan 2 o C (Na/K). Mata air Sangkanurip memiliki temperatur 49 o C dan ph 7,7. Rasio kimia air yang berhasil diukur adalah Cl/SO 4 3,9 dan Cl/B 7,5 dengan estimasi temperatur reservoir adalah 97,7 o C dengan SiO 2, 168,4 o C dengan NaK-Ca, dan 18 o C dengan Na/K. Fasies air panasnya adalah bikarbonat dan klorida sebagai akibat interaksi dengan batuan sedimen laut di bawahnya. Tabel 5 Ringkasan hidrokimia air panas di lereng Gunung Ciremai Mata air ph Rasio Cl Temperatur reservoir ( o C) Cl/SO 4 Cl/B SiO 2 NaK-Ca Na/K Ciniru Sangkanurip Riset yang lebih komprehensif telah dilakukan oleh IWACO-WASECO (199) Menurut peneliti tersebut sistem akuifer regional di Gunung Ciremai terbagi menjadi tiga sistem yaitu aluvial, vulkanik kuarter/muda, dan sedimen tersier. Sistem akuifer aluvial tersebar di bagian dataran rendah di kaki Gunung Ciremai yang terdiri dari akuifer media pori berupa pasir lepas. Sistem akuifer vulkanik kuarter memiliki karakter akuifer yang heterogen dengan produktivitas tinggi, berupa media pori pelapukan tanah dan media rekahan batuan segar. Sistem akuifer sedimen tersier terletak di bawah sistem gunung api, tersusun atas akuifer berproduktivitas rendah. Air tanah tersimpan pada tanah pelapukan dan pasir lempungan, serta rekahan mikro pada batuan segar. IWACO-WASECO (199) juga telah mensimulasikan aliran air tanah dalam 2D berarah barat laut tenggara dan barat - timur memotong puncaknya (Gambar 5) 17

39 dengan simplifikasi sistem akuifer menjadi dua yakni: sistem endapan gunung api api produktif dan sistem batuan sedimen tua yang impermeable sebagai batuan dasar cekungan air tanah. Hasil simulasi berarah SW-NE terdapat konsentrasi pemunculan mata air yang tinggi pada elevasi 1 sampai 4 mapl, dengan sistem aliran lokal dan sub regional. Jumlah mata air sedikit pada elevasi lebih rendah dari 1 mapl. Selanjutnya pemunculan mata air pada elevasi mapl, dikendalikan oleh bentuk morfologi tekuk lereng (slope break) pada elevasi 8 mapl. Bentuk tekuk lereng tersebut terbentuk karena ada perubahan dominasi jenis batuan. Pada elevasi lebih tinggi dari 75 mapl kondisi distribusi batuan dominan lava kemudian berubah menjadi dominan lahar pada elevasi lebih rendah dari 75 mapl). 18

40 N U Breksi piroklastik B T Lava Breksi lahar S Fm. Halang Fm. Kaliwangu oo Morphology: Gradual slope with angle from 1 to 42 Morphology: gradual slope with angle from Deposits: piroklastik fall at higher than 25 masl, lava masl o. dan volcanic breccias at 1-5 mdpl. The Volcanic Deposits: endapans pyroclastic sit on tertiary fall sediments at higher than 25 masl, lava at 5-25 masl, and volcanic breccias at 1-5 masl. The volcanic deposits sit on tertiary sediments. Piroklastik Pyroclastic fall Piroklastik fall fall 42 o ? o Morphology: Sharp slope angle from 1 to Morphology: o 35. Occurrence sharp slope of old from crater rim. 1 to 35 o, occurrence Deposits: of older mainly crater lava with rimpyroclastic fall Deposits: layers mainly at the lava top with pyroclastic fall layers at the top Tertiary sedimentary Sedimentary rock rock Lahar Sequence of lava flow 1 o 15 o 3 o Lava Lava flow flow 35 o ? + Lava flow 1 o U S pyroclastic fall Morphology: gradual slope 1-42 Morphology: Gradual angle from 1 to 42with o oo with normal fault Pyroclastic fall normal fault pyroclastic fall Endapans: Deposits: pyroclastic pyroclastic fall at higher fall at than higher 2 than masl, lava masl, lava masl at dan pyroklastic masl, flow at and 5-pyroclastic 125 masl. The flow at Volcanic deposits masl. sit on The tertiary volcanic sediments deposits sit on tertiary sediments. + Lava Lava flow flow? Pyroclastic Piroklastik flow 1 o 2 o 35 o 48 o 33 o oo Morphology: Gradual angle from 1 to 42with normal fault Morphology: gradual angle from 1 to 42 o pyroclastic fall at higher than 2mdpl, lava 125 -Deposits: 2 mdpl dan pyroclastic piroklastik fall aliranat at higher than mdpl. 2 The vulkanikendapans masl, lava at sit on tertiary masl sedimentary and pyroclastic batuans flow at masl. The volcanic deposits sit on tertiary sedimentary rocks. 1 o Sequence of Lahar deposits Sequence of lahardeposits 2 o BW TE Gambar 5 Peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995) 19

41 Situasi yang mirip juga terlihat pada penampang berarah barat timur. Gambar 6 memperlihatkan zona mata air pada elevasi 1 mapl sampai 75 mapl. Zona ini dikendalikan oleh tekuk lereng pada elevasi 75 8 mapl. Aliran air tanahnya diperkirakan sebagai tipe aliran lokal yang diindikasikan oleh ph normal dan DHL yang rendah. Namun demikian hasil simulasi oleh IWACO-WASECO (1989) ini masih perlu dirinci kembali, khususnya pada jenis aliran lokal yang mengalir hingga kedalaman 4 m di bawah muka tanah setempat. Riset lainnya juga telah dilakukan oleh Irawan (21) berupa tesis magister. Peneliti tersebut dapat mengkarakterisasi sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada lingkup kecil di lereng timur Gunung Ciremai. Gambar 6 Simulasi Aliran Air Tanah di Lereng Timur Gunung Ciremai (IWACO-WASECO, 1989) 2

42 II.3 Analisis Kelurusan Morfologi Kelurusan (lineament) memiliki banyak definisi. Dari hasil penelusuran literatur di internet, dapat dikumpulkan tidak kurang dari 2 buah definisi. Beberapa terminologi yang terkait adalah kelurusan geologi (geologic lineament), kelurusan tektonik (tectonic lineament), kelurusan foto (photo lineament) atau kelurusan geofisik (geophysical lineament). Definisi kelurusan yang paling banyak dirujuk adalah dari Hobbs (194) op.cit Sander (27) yaitu kelurusan adalah garis landsekap (landscape line) yang dapat dikenali secara signifikan yang disebabkan oleh adanya proses pembentukan kekar dan patahan, yang dapat memperlihatkan arsitektur batuan dasar. Lebih jauh lagi, riset oleh Lattman dan Parizek (1964) dikenal sebagai salah satu peneliti dalam bidang eksplorasi air tanah melalui pemetaan kelurusan (fracture traces) yang diidentifikasi dalam citra stereo-pairs foto udara di kawasan batuan karbonat di Amerika Serikat. Riset tersebut mengemukakan adanya relasi antara produktivitas sumur dengan jarak ke rekahan/kelurusan terdekat.menurut peneliti tersebut, pemetaan bentuk-bentuk kelurusan adalah salah satu kunci untuk memahami keberadaan air tanah, khususnya pada kawasan batuan beku/gunung api, metamorf, dan batuan sedimen karbonat. Di daerah yang didominasi batuan dasar (bed rock) dengan porositas dan konduktivitas hidrolik rendah, umumnya air tanah terdapat pada zona rekahan yang hadir sebagai porositas sekunder. Peta topografi, foto udara, dan bermacam citra satelit dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan kelurusan yang diinterpretasikan sebagai manifestasi rekahan di permukaan dan kisaran nilai konduktivitas hidrolik besar. (Tam dkk., 24). Namun demikian skala citra yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan dalam identifikasi dan interpretasi kelurusan. Hal ini dinyatakan oleh Puradimaja (1991) dalam disertasinya mengenai analisis sifat fisik dan kimia air pada kawasan karbonat Perancis Selatan. 21

43 II.4 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah II.4.1 Analisis Grafis Umumnya, metoda grafis didisain untuk dapat memperlihatkan proporsi relatif ion utama (Hem, 1989); namun demikian, metoda grafis hanya dapat memperlihatkan parameter secara simultan dalam jumlah terbatas. Diagram Piper (Piper, 1944) merupakan metoda grafis yang paling sering digunakan (Gambar 7). Diagram tersebut menayangkan konsentrasi relatif kation dan anion utama pada dua plot segitiga. Di bagian tengah diantara dua segitiga tersebut, terdapat sebuah plot segiempat tempat setiap titik data dari dua segitiga sebelumnya diproyeksikan, sehingga memperlihatkan karakter kimia air tanah (Guller dkk., 22). Gambar 7 Contoh Diagram Piper (1944) untuk menganalisis Fasies Air Tanah II.4.2 Analisis Statistik Multivariabel Statistik multivariabel dapat membantu analisis data set yang kompleks. Metode ini memungkinkan penggunanya untuk menyelidiki hubungan diantara banyak variabel yang kompleks untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih menyeluruh (Wulder, 28). Sebagai bahan dasar untuk analisis tersebut, set data yang terdiri dari variabel dan kasus data disusun dalam bentuk matriks kolom dan baris dengan jumlah kasus (baris) dua kali lipat lebih banyak dibanding jumlah variabel (kolom) (Tabachnick dan Fidell, 1989). 22

44 Tujuan saintifik dari aplikasi metoda ini adalah untuk dapat mengidentifikasi dengan baik proses-proses yang mengendalikan evolusi kimia air tanah di daerah studi. Metoda statistik yang digunakan terdiri dari Hierarchical Cluster Analysis (HCA) selanjutnya disebut Analisis Klaster dan Principal Components Analysis (PCA) selanjutnya disebut Analisis Komponen Utama. Kedua metoda ini diharapkan dapat menguraikan kendali geologi dan hidrogeologi terhadap evolusi air tanah. Melloul dan Collin (1992) telah menggunakan Analisis Komponen Utama untuk mendukung metoda geokimia klasik dengan Diagram Schoeller atau Piper. Dengan kedua jenis grafik tersebut, peneliti dapat mengidenfitikasi dengan baik karakter utama air berdasarkan komposisi kimianya. Peneliti lainnya, Schot dan van der Wal (1992), mengaplikasikan Analisis Komponen Utama dan Analisis Klaster untuk menganalisis data hidrokimia guna untuk mengidentifikasi dampak aktivitas manusia terhadap kualitas air tanah. Metoda statistik multivariabel juga dapat diaplikasikan untuk melacak sumber unsur kimia air tanah sebagaimana dilakukan oleh Farnham dkk (23). Seluruh studi diatas menyatakan bahwa analisis statistik secara signifikan dapat membantu mengelompokkan air tanah dan mengidentifikasi mekanisme dominan yang mempengaruhi komposisi kimia air tanah. Kombinasi interpretasi hidrokimia, pemahaman mengenai kondisi geologi, dan metoda statistik, dapat membantu dalam menganalisis pola aliran air tanah pada suatu sistem akuifer (Farnham dkk., 23; Cloutier dkk., 28) (Tabel 6). A. Analisis Komponen Utama (AKU) Analisis Komponen Utama merupakan salah satu teknik klasifikasi data yang dilakukan secara simultan. Analisis ini dapat mengidentifikasi pola dan struktur data serta menampilkan perbedaan dan kesamaannya dalam bentuk grafik (Guller dkk., 22 dan Davis, 1986). Umumnya, analisis ini sering digunakan dalam ilmu kebumian untuk mengklasifikasikan data hidrogeokimia (Steinhorst dan Williams, 1985, Schot dan Van der Wal, 1992 dan Guler dkk., 22). Jumlah komponen yang dipilih untuk dianalisis ditetapkan tiga komponen, berdasarkan Kaiser criterion dengan eigenvalue lebih besar dari satu (StatSoft Inc., 24). 23

45 Metode ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi kesamaan dan perbedaan dalam data. Kemampuan lain dari Analisis Komponen Utama adalah mengidentifikasi pola dalam data (Smith, 22). Metoda ini akan memproyeksikan data multidimensi menjadi kumpulan data dengan dimensi lebih rendah dengan menandai variasi data. Analisis jenis ini juga sering digunakan sebagai pendukung analisis lainnya, misalnya pemodelan, regresi, dan analisis klaster. B. Analisis Klaster Teknik statistik lain yang digunakan adalah Hierarchy Cluster Analysis (HCA) atau Analisis Klaster. Menurut Smith (22), ada tiga tahapan dalam analisis ini: 1. Penyaringan terhadap data pengganggu (noise) berupa data berpola acak (outliers). Data pengganggu dapat berupa kesalahan pengukuran yang dapat mempengaruhi hasil analisis, sehingga harus dikeluarkan dari analisis. 2. Pemilihan jenis jarak antara klaster. Kriteria antar klaster dapat berupa jarak (distance measuring) atau derajat kesamaan (degree of similarity). 3. Pemilihan kriteria peng-klasteran. Jenis-jenis kriteria tersebut adalah nearest neighbour (data terdekat) dan furthest neighbour (data terjauh). Kriteria yang pertama menggunakan titik data yang terdekat dengan titik data yang sedang diukur sebagai referensi. Sebaliknya, kriteria yang kedua menggunakan titik data yang terjauh sebagai referensi. 24

46 Tabel 6 Daftar teknik statistik dan grafis yang umum digunakan untuk mengklasifikasi sampel air (Guller dkk, 22). II.5 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Air Tanah Dalam studi ini, unsur yang dianalisis adalah kelompok unsur utama (major element). Pertimbangan penggunaan unsur utama adalah kelompok unsur tersebut paling banyak dikandung oleh air tanah. Perubahan sifat fisik dan kimia air tanah secara umum dapat dideteksi dengan perubahan komposisi unsur utama. Analisis perubahan komposisinya dapat cukup mudah dianalisis dengan menggunakan Piper diagram. Analisis unsur jarang (trace element) dapat dilakukan bila obyek mata air panas akan dianalisis lebih mendalam. Pertimbangan yang berikutnya adalah biaya analisis unsur jarang cukup tinggi. Berbagai rujukan mengenai evolusi air tanah telah dipelajari, diantaranya Hem (198), Drever (1988), dan Chebotarev (1955) op.cit Domenico dan Schwartz (199). Sebagaimana dinyatakan oleh Drever (1988), salah satu proses yang dapat meningkatkan salinitas air tanah adalah reaksinya dengan halit, sejenis evaporit laut yang menjadi sumber ion Na dan Cl. Proses evolusi hidrokimia oleh Chebotarev (1955) op.cit Domenico dan Schwartz (199) dinyatakan sebagai suatu proses yang berawal dari fasies bikarbonat dekat 25

47 kawasan imbuhan kemudian berevolusi menjadi dominan sulfat sejalan dengan alirannya ke arah kawasan pengurasan. Komposisi akhir dari proses ini didominasi oleh klorida sebagai hasil reaksi dengan berbagai jenis mineral dengan waktu tinggal yang lama. Pendapat lain dari Uliana dan Sharp (21) menyatakan, bahwa data hidrokimia melintasi aliran air tanah menunjukkan peningkatan nilai TDS dan rasio Cl/HCO 3 serta penurunan rasio Na/Cl. Pada fasies bikarbonat, air tanah merepresentasikan air imbuhan yang telah mengalami perubahan karena pelarutan mineral dan pertukaran kation. Pada zona sulfat dan klorida, fasies hidrokimia air tanah dikendalikan oleh gas H 2 S dan HCl, atau mineral yang terbentuk oleh pelarutan endapan gipsum, anhidrit, halit, serta pertukaran kation. II.6 Analisis Respon Debit Mata Air II.6.1 Umum Observasi mata air adalah sarana untuk mengetahui berbagai proses yang terjadi di bawah permukaan di suatu wilayah, karena mata air mengintegrasikan sinyal proses geologi dan hidrologi pada suatu wilayah dan kurun waktu. Dengan menggunakan pengukuran debit mata air, salah satu hasilnya adalah analisis respon debit air tanah dalam akuifer (Manga, 1999 dan 21). Bentuk hidrograf mata air merefleksikan respon akuifer terhadap imbuhan. Bentuk dan gradien kurva resesi (recession curve) memberikan informasi yang berharga mengenai storativitas, geometri akuifer, serta karakter struktur (retakan, kekar, rongga) pada suatu sistem akuifer. Untuk analisis selanjutnya, selain debit, pengukuran karakter sifat fisik dan kimia air secara berurut waktu dapat mengetahui komposisi batuan penyusun akuifer. Durasi dan intesitas presipitasi sangat mempengaruhi bentuk kurva hidrograf debit mata air. Bentuk kurva juga mengindikasikan karakteristik cekungan hidrogeologi seperti bentuk, ukuran, karakter litologi dan tanah pelapukan (Manga, 1999 dan 21). Menurut peneliti tersebut, litologi dapat muncul sebagai kendali utama 26

48 dalam membentuk kurva hidrograf. Batuan kedap air yang mengandung sistem rekahan cenderung menghasilkan bentuk kurva dengan kenaikan dan penurunan garis yang relatif terjal, karena sifat storativitasnya yang rendah. Sifat itu pula yang menyebabkan bentuk kurva debitnya responsif terhadap kurva presipitasi. Sebaliknya, cekungan hidrogeologi dengan dominasi batuan permeabel akan menghasilkan bentuk naik dan turun yang relatif landai dengan respon yang lambat terhadap bentuk kurva presipitasi/hujan. II.6.2 Analisis Respon Debit Mata Air Proses hidrolika dalam akuifer tercermin dari perulangan titik-titik puncak dan gradien kurva resesi (recession curve) serta seberapa cepat responnya terhadap kurva curah hujan (presipitasi) (Gambar 8). Rujukan model umum hidrograf mata air yang berisi anatomi dari suatu kurva serta proses hidrologi yang direfleksikannya menggunakan model mata air karst, sebagaimana banyak ditampilkan di beberapa publikasi. Beberapa hal yang menjadi catatan penulis untuk menggunakan model umum hidrograf mata air karst sebagai pembanding adalah: Hidrograf mata air karst mencerminkan sistem akuifer media rekahan. Mata air Gunung Ciremai juga berkembang pada sistem akuifer media rekahan pada batuan lava, piroklastik, dan lahar (Irawan dan Puradimaja, 26). Perbedaan bentuk kurva yang mungkin terjadi dapat menjelaskan perbedaan sistem hidrogeologinya. Penjelasan mengenai anatomi kurva hidrograf mata air pada Gambar 8 untuk contoh kasus sistem akuifer media rekahan murni dapat dijelaskan sebagai berikut: Terdapat jeda waktu (time lag) sebelum terjadi respon kurva debit mata air, Kurva debit yang naik (rising limb), terdiri dari segmen cekung dan cembung yang dipisahkan oleh titik belok (inflection point). Kedua segmen mengindikasikan volume simpan (storage) maksimum akuifer. 27

49 Titik belok merepresentasikan kapasitas infiltrasi maksimum (Kovacs dan Perochet, 28). Kurva penurunan debit (recession atau falling limb) mencerminkan kondisi debit mata air awal, sebelum hujan dan infiltrasi yang melimpah terjadi. Kurva penurunan debit (falling limb) ini terdiri dari: o Segmen curam: penurunan banjir (flood recession) o Segmen landai: penurunan aliran dasar (baseflow recession). Gambar 8 Model skematik hidrograf mata air di kawasan karst dengan sistem akuifer media rekahan murni (Kovacs dan Perrochet, 28) Pencarian rujukan mengenai analisis hidrograf mata air di kawasan gunung api telah dilakukan dengan menggunakan alat pencari (search engine) Google, Scopus, Blackwell Publishing, ScienceDirect, dan Hydrogeology Journal. Pencarian tersebut menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa peneliti yang telah menelaah bentuk kurva hidrograf mata air pada endapan gunung api, yaitu Kim dkk (27) dengan studi kasus 23 mata air di Pulau Jeju Korea Selatan (Gambar 9) serta Manga (1999 dan 21) yang mempelajari hidrograf mata air di Pegunungan Kaukasus. 28

50 Gambar 9 Beberapa Klaster Hidrograf Mata Air di Kawasan Gunung Api di P. Jeju di Republik Korea (Kim dkk, 27). 29

51 Analisis kuantitatif terhadap hidrograf telah dilakukan oleh Maillet (195) op.cit Memon (1995), yang berpendapat bahwa debit mata air merupakan fungsi dari volume air dalam akuifer (akuifer storage). Hubungan tersebut diterangkan dalam bentuk persamaan eksponensial sebagai berikut; bila kurva diplot pada kerja semilog akan membentuk garis lurus dengan kemiringan lereng β sebagaimana dijelaskan pada persamaan 2 dan Gambar 1...Persamaan 2 Dengan Q t adalah debit mata air pada waktu t; Q o debit pada t o ; (t 2 -t 1 ) adalah beda waktu antara Q t dan Q o ; e basis angka logaritmik; dan β adalah koefisien resesi. Nilai β mengindikasikan karakter hidrogeologi, khususnya porositas efektif (effective porosity) dan transmisivitas (transmissivity). Sebagai contoh ilustrasi, bila terjadi kondisi sebagai berikut: Nilai β yang menunjukkan kemiringan garis resesi besar Perioda paruh (t.5 ) kecil, yaitu waktu yang diperlukan aliran dasar (base flow) berkurang menjadi separuhnya, maka kondisi diatas mengindikasikan proses pengurasan yang intensif dari volume simpan (storage) akuifer, baik dalam bentuk rekahan maupun pori matriks penyusun akuifer. Pada contoh kondisi yang lain, bila: Presipitasi tinggi Nilai β kecil Nilai t.5 besar mengindikasikan pengurasan lambat yang dapat disebabkan interval rekahan yang rapat dengan volume simpan besar, sehingga penambahan volume imbuhan air tidak langsung terekam pada penambahan debit mata air. 3

52 Suatu perhitungan besaran imbuhan (R) berbasis kepada hidrograf debit mata air telah disampaikan oleh Pacheo dan Alencoao (25) dengan persamaan sebagai berikut dan ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 1. Selanjutnya bila besaran R dalam dimensi volume (L 3 ) dibagi dengan curah hujan dalam dimensi panjang (L) maka didapatkan estimasi luas kawasan imbuhan berdimensi luas (L 2 ). Persamaan 3 Gambar 1 Contoh Analisis Besaran Imbuhan (R) berbasis Hidrograf Debit Mata Air menurut Pacheo dan Alencoao (25) II.6.3 Analisis Respon TDS dan Temperatur Air pada Mata Air Respon TDS terhadap waktu terdiri dari tiga fasa (Desmarais dan Rojstaczer, 22), yaitu: pengenceran (flushing), pelarutan (dilution), dan pemulihan (recovery). Fasa pengenceran merupakan respon terhadap imbuhan yang meningkat di saat musim hujan. Fasa pelarutan ditandai dengan peningkatan nilai TDS. Fasa ini merupakan respon dari pelarutan intensif saat musim kemarau, pada saat imbuhan air hujan mencapai titik terendah. Fasa pemulihan dimulai pada saat nilai TDS mencapai titik terendah, fasa ini merupakan kondisi stagnan sebelum nilai TDS meningkat pada fasa pelarutan. 31

53 Observasi temperatur merupakan salah satu metoda yang tidak memerlukan biaya tinggi untuk mengesktrak properti air tanah. Kombinasi antara temperatur air dan temperatur udara dapat diinterpretasi untuk mengetahui perilaku air di bawah permukaan. Salah satu interpretasinya adalah bila bentuk kurva suhu udara dan suhu air tanah sama, tidak terjadi jeda waktu, maka air tanah diperkirakan berada pada akuifer tak tertekan yang relatif dangkal. Sementara bila kurva kedua suhu tersebut menunjukkan jeda waktu, maka diperkirakan air tanah berada pada akuifer yang relatif lebih dalam. Akuifer ini tidak berinteraksi dengan lingkungan di permukaan, sehingga suhu air tanah di dalamnya relatif lebih dingin dan stabil dibanding suhu udara. 32

54 BAB 3 HIDROGEOLOGI REGIONAL CIREMAI III.1 Sistem Akuifer III.1.1 Kelompok Endapan Vulkanik Endapan gunung api dapat dikelompokkan ke dalam fasies, yaitu gabungan/kelompok tipikal batuan yang umumnya muncul pada jarak tertentu dari puncak gunung api. Salah satu model yang ada adalah Model Fasies Gunung api Strato Fuego oleh Cas dan Wright (1987), dari G. Fuego di Guatemala. Irawan dan Puradimaja (26) telah membagi fasies endapan gunung api Ciremai berdasarkan peta geologi gunung api oleh Situmorang (1995) serta peta topografi untuk menentukan batas elevasi suatu fasies. Menurut peneliti tersebut, endapan gunung api Ciremai terdiri dari tiga fasies (Tabel 1) berikut ini sesuai model gunung api Fuego oleh Cas dan Wright (198): 1) Fasies Inti Gunung api (Volcanic core) terletak pada elevasi mapl, terdiri dari andesit. Fasies ini bersifat impermeabel, sehingga tidak memiliki mata air. 2) Fasies Proksimal Gunung Api (Volcanic Proximal Fasies) terdistribusi pada elevasi mapl, terdiri dari: 2a) Proksimal 1 di elevasi mapl tersusun oleh aliran dan jatuhan piroklastik yang impermeabel dengan fragmen andesit dan matriks tuf 2b) Proksimal 2 di elevasi mapl tersusun oleh lava andesit yang umumnya mengandung rekahan. Pada fasies ini terdapat zona mata air 1 terdiri dari 3 mata air dengan debit total 98 L/det. 3) Fasies Distal (Volcanic Distal Facies) terletak pada elevasi 1 65 mapl; terdiri dari lahar permeabel, dengan fragmen andesit yang tertanam di dalam matriks tuf atau pasir vulkanik. Batuan ini mengandung rekahan dengan dimensi dan geometri yang tidak teridentifikasi. Pada fasies ini terletak zona mata air 2 terdiri dari 18 mata air dengan total debit 163 L/det. 33

55 Tabel 1 Rangkuman Kondisi Hidrogeologi Gunung Ciremai (Irawan dan Puradimaja, 26) Volcanic facies Description Slope Spring Physical and hydraulic Symbol Lithology Zone Number Q (L/s) properties Volcanic core Volcanic neck, consists of 1 o Impermeable rock with less, (35 mapl-estimated andesites to dacite 45 data is available 31 mapl) Proximal facies (65 35 masl) Proximal 1 facies ( masl) Proximal 2 facies ( masl) Distal facies (1 65 masl) Pyroclastic fall and pyroclastic flow. Consists of andesite boulder dan tuff matrices Lava flow, consists of andesite to dacite lava Laharic breccias, consists of andesite to dacite boulder with tuff and volcanic sand and matrices. * According to Meinzer (1944) op.cit Todd, (class 1-3)* (class 1-3)* Impermeable rock, high infiltration rate of soil 1.5 cm/min, no other data is available Permeable, secondary permeability: cooling/sheeting joint with unsystematic pola, thick residual soil (2-5 m), final infiltrasi rate of cm/min Permeable, secondary permeability: fractured with isolated pattern, thick residual soil (2-5 m), final infiltration rate of cm/min 34

56 III.1.2 Kimia Batuan Sebanyak lima sampel batuan telah dianalisis komposisi kimia batuannya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sampel terdiri dari tiga jenis batuan meliputi: lahar (LhB), lava (lv), dan piroklastik (PxB). Hasil analisis tersebut ditampilkan pada Tabel 2. Selanjutnya persentase berat Na 2 O dan K 2 O serta SiO 2 diplot ke dalam grafik klasifikasi batuan. Plot kedua data tersebut menghasilkan klasifikasi andesit dari kelompok kalk alkali (Gambar 11). Tabel 2 Komposisi Kimia Batuan Gunung Api Ciremai Hasil Analisis Laboratorium (Pusat Survey Geologi, 27) Unsur LhB1 LhB2 Lv1 Lv2 PxB Rata-rata (% weight) SiO Al 2 O Fe 2 O FeO CaO MgO Na 2 O K 2 O LhB2 Lv1 PxB Kalk alkali Lv2 LhB1 PxB PxB LhB2 Lv1 LhB1 Lv2 Lv2 LhB1 Gambar 11 Grafik Klasifikasi Batuan Gunung Api (Le Bas and Streckeisen, 1991; Pusat Survey Geologi, 27) 35

57 III.1.3 Analisis Kelurusan Morfologi Dalam analisis ini digunakan tiga set data, yakni pola kelurusan yang ditarik dari citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM), peta topografi skala 1:5., peta lokasi mata air, dan data debit mata air. Perhitungan yang dilakukan adalah distribusi panjang kelurusan, densitas kelurusan, dan jarak tegak lurus antara titik mata air dengan kelurusan yang terdekat. Untuk memudahkan analisis digunakan piranti lunak GIS Arc View version 3.3 dengan modul Linstat. Dua perhitungan tersebut kemudian dikorelasikan dengan data yang berkait dengan mata air. Metoda ini pernah dilakukan oleh Galanos dan Rokos (26) dan Walsh (28). Lebih dari 2 kelurusan telah ditarik dan didigitasi pada citra sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 12. Diagram roset (rose diagram) hasil analisis tersebut ditampilkan pada Gambar 13. Orientasi kelurusan adalah NW SE. Keduanya menggabungkan kelurusan pada batuan sedimen dan batuan gunung api. Kelurusan pada batuan gunung api umumnya berpola radial, sedangkan kelurusan pada batuan sedimen berarah NW SE yang sesuai dengan orientasi kelurusan konsisten dengan orientasi sumbu lipatan, patahan, dan dengan struktur regional. Jumlah frekuensi kelurusan pada batuan gunung api rata-rata (ditandai warna merah) adalah enam kelurusan untuk setiap arah kelurusan. Frekuensi kelurusan yang berada di batuan sedimen tersebut, di luar lingkaran merah, umumnya lebih banyak lagi. 36

58 Kelas debit mata air 25 5 L/d 1 25 L/d 1 L/d Gambar 12 Pola Kelurusan yang Teridentifikasi di Daerah Penelitian 37

59 Gambar 13 Diagram Roset Orientasi Kelurusan serta Jumlahnya. Garis merah menandai kisaran frekuensi kelurusan pada batuan gunung api Selanjutnya juga didapatkan bahwa jumlah mata air berkurang secara logaritmik menjauhi kelurusan. Sebagian besar mata air berada pada jarak 4 m dari kelurusan (Gambar 14). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kelurusan pada batuan lava umumnya berkorelasi dengan kemunculan mata air di dekatnya, yaitu pada jarak mendekati m dan 4 8 m. Selanjutnya kelurusan pada lahar memiliki jarak terdekat dengan mata air berkisar antara m hingga 28 m, serta kelurusan pada piroklastik yang berjarak 2 m hingga 1 m dari mata air. 38

60 14 Frequency Frekuensi Loc Scale N 414,3 41, ,3 293, ,8 347,2 7 LITH Laharic breccia Lava Pyroclastic breccia Jarak mata air DISTLINE terhadap kelurusan (m) Gambar 14 Histogram jarak mata air terhadap kelurusan yang terdekat. Bila dibandingkan antara debit mata air dengan jaraknya dengan kelurusan, didapatkan populasi paling tinggi pada jarak 1 m dengan debit berkisar antara 5 hingga 4 L/d, sebagaimana disampaikan pada Gambar 15. Jumlah mata air kemudian umumnya mengecil sejalan dengan jarak yang semakin jauh dari kelurusan. Namun demikian juga terdapat mata air yang memiliki debit 2 3 L/d yang muncul pada jarak 25 3 m dari kelurusan. Selanjutnya analisis densitas kelurusan (lineament density) telah juga dilakukan dengan output berupa peta densitas kelurusan (Gambar 16). Pada gambar terdapat 12 buah lingkaran (garis sambung) dengan diameter enam km yang memperlihatkan kemungkinan adanya relasi antara debit mata air dengan densitas kelurusan. Sebaliknya terdapat lima buah lingkaran (garis putus-putus) yang diduga memperlihatkan korelasi yang lebih lemah antara kedua parameter tersebut. 39

61 Distance Jarak mata form air dari lineaments kelurusan dalam (m) (m) Spring discharge Q (L/s) Debit mata air (Q) dalam (L/d) 4 Gambar 15 Plot antara debit mata air (Q dalam L/d) dengan jaraknya terhadap kelurusan (dalam m). Observasi dan analisis oleh Irawan dan Puradimaja (26) menghasilkan kesimpulan bahwa zona rekahan mengendalikan debit mata air. Terdapat dua jenis asal mula rekahan, yakni: rekahan pada aliran lava dan rekahan pada lahar. Jenis yang pertama merupakan kekar pendinginan (cooling joints) pada lava yang membentuk bukaan sempit pada batuan. Polanya tidak sistematik dengan orientasi N63 E, N9 E, dan N117 E. Jenis yang kedua dijumpai pada piroklastik, yang menyebar mengikuti punggungan batuan tersebut. Pada lokasi Mata air Cibulan, orientasi rekahannya adalah N93 E, sama dengan orientasi punggungan (Gambar 17). 4

62 Kelas debit mata air Densitas kelurusan 25 5 L/d 1 25 L/d 1 L/d Gambar 16 Peta Densitas Kelurusan dan Plot Mata Air. Lingkaran dengan garis sambung menunjukkan diduga memiliki korelasi kuat antara debit mata air dengan kelurusan, lingkaran dengan garis putus-putus menunjukkan diduga memiliki korelasi lemah 41

MODEL HIDROGEOLOGI GUNUNGAPI STRATO MENGGUNAKAN TEKNIK PELACAKAN AIR TANAH DI ZONA MATA AIR G. CIREMAI, JAWA BARAT

MODEL HIDROGEOLOGI GUNUNGAPI STRATO MENGGUNAKAN TEKNIK PELACAKAN AIR TANAH DI ZONA MATA AIR G. CIREMAI, JAWA BARAT DRAFT OKT 2008 DISERTASI MODEL HIDROGEOLOGI GUNUNGAPI STRATO MENGGUNAKAN TEKNIK PELACAKAN AIR TANAH DI ZONA MATA AIR G. CIREMAI, JAWA BARAT Oleh: D. Erwin Irawan 320 05 002 Promotor: Prof.Dr.Ir. Deny Juanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Air Tanah Magelang Temanggung meliputi beberapa wilayah administrasi di Kabupaten Temanggung, Kabupaten dan Kota Magelang. Secara morfologi CAT ini dikelilingi

Lebih terperinci

Week 4. Struktur Geologi dalam Hidrogeologi. (Geological structure in hydrogeology)

Week 4. Struktur Geologi dalam Hidrogeologi. (Geological structure in hydrogeology) Week 4 Struktur Geologi dalam Hidrogeologi (Geological structure in hydrogeology) Reference: 1.Geological structures materials 2.Weight & Sonderegger, 2007, Manual of Applied Field Hydrogeology, McGraw-Hill

Lebih terperinci

Model Hydrogeology for Conservation Zone in Jatinangor using Physical and Chemical Characteristic of Groundwater

Model Hydrogeology for Conservation Zone in Jatinangor using Physical and Chemical Characteristic of Groundwater Model Hydrogeology for Conservation Zone in Jatinangor using Physical and Chemical Characteristic of Groundwater Abstract Jatinangor district is located at foot of Manglayang Mountain. The growth of population

Lebih terperinci

Materi kuliah dapat didownload di

Materi kuliah dapat didownload di Materi kuliah dapat didownload di www.fiktm.itb.ac.id/kk-geologi_terapan HIDROGEOLOGI UMUM (GL-3081) MINGGU KE-7 EKSPLORASI DAN PEMETAAN HIDROGEOLOGI Oleh: Prof.Dr.Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Asisten:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kimia airtanah menunjukkan proses yang mempengaruhi airtanah. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. Nitrat merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI

BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI BAB IV KONDISI HIDROGEOLOGI IV.1 Kondisi Hidrogeologi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk ke dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Bandung-Soreang (Distam Jabar dan LPPM-ITB, 2002) dan Peta Hidrogeologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG TUGAS AKHIR GEOLOGI DAERAH KANCAH DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PARONGPONG, SERTA KARAKTERISTIK AIR PANAS GUNUNG TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT, INDONESIA Diajukan sebagai syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Temanggung bagian timur. Cekungan airtanah ini berada di Kabupaten Magelang

BAB I PENDAHULUAN. Temanggung bagian timur. Cekungan airtanah ini berada di Kabupaten Magelang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Penelitian geokimia airtanah merupakan salah satu penelitian yang penting untuk dilakukan, karena dari penelitian ini dapat diketahui kualitas airtanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium

BAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Bantarkawung merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes bagian selatan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap di sebelah

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume

Lebih terperinci

KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANG-TEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH

KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANG-TEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH KIMIA AIR TANAH DI CEKUNGAN AIR TANAH MAGELANGTEMANGGUNG BAGIAN BARAT, KABUPATEN TEMANGGUNG DAN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH Syera Afita Ratna *, Doni Prakasa Eka Putra, I Wayan Warmada Penulis Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS 4.1 Tinjauan Umum. BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS Salah satu jenis manifestasi permukaan dari sistem panas bumi adalah mata air panas. Berdasarkan temperatur air panas di permukaan, mata air panas dapat dibedakan

Lebih terperinci

What is Human Security Engineering?(GCOE KU University Website)

What is Human Security Engineering?(GCOE KU University Website) Presented in ITB Kyoto University GCOE HSE Program, Nusa Dua Bali 8 October 2009 HYDROGEOLOGICAL CHARACTERIZATION ON VOLCANIC AREA MT. CIREMAI TO CONSERVE WATER RESOURCES (AND OTHER RESEARCH EXPERIENCES

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Regional Pulau Lombok terbentuk oleh suatu depresi yang memanjang (longitudinal depresion), yang sebagian besar sudah terisi dan tertutupi oleh suatu seri gunungapi

Lebih terperinci

Materi kuliah dapat didownload di

Materi kuliah dapat didownload di Materi kuliah dapat didownload di www.fiktm.itb.ac.id/kk-geologi_terapan HIDROGEOLOGI UMUM (GL-3081 3081) MINGGU KE-13 SIFAT FISIK DAN KIMIA AIR TANAH Oleh: Prof.Dr.Ir.. Deny Juanda Puradimaja, DEA Asisten:

Lebih terperinci

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB IV HIDROGEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan klasifikasi Mendel (1980) sistem hidrogeologi daerah penelitian adalah sistem akifer volkanik. Pada sistem akifer volkanik ini batuan segar yang mempunyai

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Secara geografis, kabupaten Ngada terletak di antara 120 48 36 BT - 121 11 7 BT dan 8 20 32 LS - 8 57 25 LS. Dengan batas wilayah Utara adalah Laut Flores,

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH GUNUNG PALASARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN CILENGKRANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. SKRIPSI

GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH GUNUNG PALASARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN CILENGKRANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. SKRIPSI GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI DAERAH GUNUNG PALASARI DAN SEKITARNYA KECAMATAN CILENGKRANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. SKRIPSI Diajukan sebagai syarat meraih gelar sarjana strata satu di Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi.

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah tingkat ketebalan tanah yang tinggi dengan kekuatan antar material yang rendah. Salah satu pembentuk

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk tugas akhir ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. 4.1.1 Data Primer Data primer adalah

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kondisi hidrogeologi daerah penelitian.

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kondisi hidrogeologi daerah penelitian. BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN VII.1 KESIMPULAN 1. Kondisi hidrogeologi daerah penelitian. - Kedalaman airtanah pada daerah penelitian berkisar antara 0-7 m dari permukaan. - Elevasi muka airtanah pada daerah

Lebih terperinci

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT 4.1 Tinjauan Umum Manifestasi permukaan panas bumi adalah segala bentuk gejala sebagai hasil dari proses sistem panasbumi

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR )

KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH KERANGKA ACUAN KERJA ( TERM OF REFERENCE TOR ) KEGIATAN KEGIATAN PENYUSUNAN ZONA PEMANFAATAN DAN KONSERVASI AIR TANAH PADA CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) DI JAWA TENGAH DINAS

Lebih terperinci

KELOMPOK

KELOMPOK Oleh: KELOMPOK 13 1. 2. 3. 4. 5. 6. Rina Sri Wulansari Nanang Darul M Indra Gunawan Setiawan Rendi Reza Sembiring Yusuf Suhendi Pratama : : : : : : 0551 0551 0551 0551 0551 0551 KATA PENGANTAR 12 12 12

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON

BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON BAB IV GEOKIMIA AIR PANAS DI DAERAH GUNUNG KROMONG DAN SEKITARNYA, CIREBON 4.1 Tinjauan Umum Pada metoda geokimia, data yang digunakan untuk mengetahui potensi panasbumi suatu daerah adalah data kimia

Lebih terperinci

Week 9 AKIFER DAN BERBAGAI PARAMETER HIDROLIKNYA

Week 9 AKIFER DAN BERBAGAI PARAMETER HIDROLIKNYA Week 9 AKIFER DAN BERBAGAI PARAMETER HIDROLIKNYA Reference: 1.Geological structures materials 2.Weight & Sonderegger, 2007, Manual of Applied Field Hydrogeology, McGraw-Hill online books 3.Mandel & Shiftan,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE PENGELOLAAN AIRTANAH DENGAN TEORI PERMAINAN (Studi Kasus Cekungan Air Tanah Salatiga) TESIS

PENGEMBANGAN METODE PENGELOLAAN AIRTANAH DENGAN TEORI PERMAINAN (Studi Kasus Cekungan Air Tanah Salatiga) TESIS PENGEMBANGAN METODE PENGELOLAAN AIRTANAH DENGAN TEORI PERMAINAN (Studi Kasus Cekungan Air Tanah Salatiga) TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR INTISARI

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR INTISARI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii INTISARI... xii BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.1.1.Rumusan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan penduduk yang pesat, kebutuhan manusia akan airtanah juga semakin besar. Sedangkan pada daerah-daerah tertentu dengan penduduk yang padat,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERSEMBAHAN...iii UCAPAN TERIMAKASIH...iv KATA PENGANTAR...vi SARI...vii DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xii DAFTAR TABEL...xv BAB

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR S A R I Oleh : Sjaiful Ruchiyat, Arismunandar, Wahyudin Direktorat Geologi Tata Lingkungan Daerah penyelidikan hidrogeologi Cekungan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Daerah Sumatera merupakan salah satu daerah yang memiliki tatanan geologi sangat kompleks, baik dari segi sedimentologi, vulkanologi, tektonik dan potensi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitain berada di pulau Jawa bagian barat terletak di sebelah Utara ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar

Lebih terperinci

V DINAMIKA ALIRAN BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KERAGAMAN SPASIAL DAN TEMPORAL HIDROKIMIA

V DINAMIKA ALIRAN BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KERAGAMAN SPASIAL DAN TEMPORAL HIDROKIMIA 55 V DINAMIKA ALIRAN BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KERAGAMAN SPASIAL DAN TEMPORAL HIDROKIMIA 5.1 Pendahuluan Di beberapa negara, penelitian tentang proses limpasan dalam suatu daerah tangkapan atau DAS berdasarkan

Lebih terperinci

Stratigrafi Seismik Laut Dangkal Perairan Celukanbwang, Bali Utara

Stratigrafi Seismik Laut Dangkal Perairan Celukanbwang, Bali Utara Stratigrafi Seismik Laut Dangkal Perairan Celukanbwang, Bali Utara I N. Astawa, I W. Lugra dan M. Wijayanegara Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Jl. Dr. Junjunan no. 236, Bandung 40174

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KOMPLEK GUNUNG PALASARI MANGLAYANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT TUGAS AKHIR A

GEOLOGI DAERAH KOMPLEK GUNUNG PALASARI MANGLAYANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT TUGAS AKHIR A GEOLOGI DAERAH KOMPLEK GUNUNG PALASARI MANGLAYANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT TUGAS AKHIR A Diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu di Program Studi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi

BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi BAB II TEORI DASAR 2.1. Metode Geologi Metode geologi yang dipergunakan adalah analisa peta geologi regional dan detail. Peta geologi regional menunjukkan tatanan geologi regional daerah tersebut, sedangkan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

HIDROGEOLOGI MATA AIR

HIDROGEOLOGI MATA AIR HIDROGEOLOGI MATA AIR DR. Ir. Heru Hendrayana Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering Gadjah Mada University heruha@ugm.ac.id PENGERTIAN MATA AIR Airtanah adalah air yang terdapat di bawah

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA 3.1 Data Geokimia Seperti yang telah dibahas pada bab 1, bahwa data kimia air panas, dan kimia tanah menjadi bahan pengolahan data geokimia untuk menginterpretasikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN GEOLISTRIK DAN HEAD-ON DAERAH PANAS BUMI SEMBALUN, KABUPATEN LOMBOK TIMUR - NTB

PENYELIDIKAN GEOLISTRIK DAN HEAD-ON DAERAH PANAS BUMI SEMBALUN, KABUPATEN LOMBOK TIMUR - NTB PENYELIDIKAN GEOLISTRIK DAN HEAD-ON DAERAH PANAS BUMI SEMBALUN, KABUPATEN LOMBOK TIMUR - NTB Mochamad Nur Hadi, Anna Yushantarti, Edi Suhanto, Herry Sundhoro Kelompok Program Penelitian Panas Bumi SARI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kajian Pendahuluan Berdasarkan pada peta geohidrologi diketahui siklus air pada daerah penelitian berada pada discharge area ditunjukkan oleh warna kuning pada peta,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. HALAMAN PERNYATAAN... v. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. HALAMAN PERNYATAAN... v. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii HALAMAN PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xii SARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah TPA Leuwigajah mulai dibangun pada tahun 1986 oleh Pemerintah Kabupaten Bandung karena dinilai cukup cocok untuk dijadikan TPA karena

Lebih terperinci

GEOLOGI DAN STUDI INFILTRASI AIR TANAH DAERAH CIHIDEUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT SKRIPSI

GEOLOGI DAN STUDI INFILTRASI AIR TANAH DAERAH CIHIDEUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT SKRIPSI GEOLOGI DAN STUDI INFILTRASI AIR TANAH DAERAH CIHIDEUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu di Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Air merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama air tanah. Kebutuhan manusia yang besar terhadap air tanah mendorong penelitian

Lebih terperinci

POTENSI AIR TANAH DANGKAL DAERAH KECAMATAN NGEMPLAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA

POTENSI AIR TANAH DANGKAL DAERAH KECAMATAN NGEMPLAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA POTENSI AIR TANAH DANGKAL DAERAH KECAMATAN NGEMPLAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA Imam Fajri D. 1, Mohamad Sakur 1, Wahyu Wilopo 2 1Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas akhir merupakan persyaratan utama untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

STUDI POTENSI AIRTANAH BEBAS DI DAERAH KEBUMEN JAWA TENGAH

STUDI POTENSI AIRTANAH BEBAS DI DAERAH KEBUMEN JAWA TENGAH STUDI POTENSI AIRTANAH BEBAS DI DAERAH KEBUMEN JAWA TENGAH T 553.79 BAS Daerah penelitian terletak di bagian selatan Propinsi Jawa Tengah, termasuk dalam rangkaian Pegunungan Serayu Selatan dan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk

BAB I PENDAHULUAN. Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran masuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lokasi penelitian adalah Ranu Segaran, terletak di sebelah timur Gunung Lamongan dan di sebelah barat Gunung Argapura. Secara administratif, Ranu Segaran

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman. No.190, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MANUSIA. Cekungan. Air Tanah. Penyusunan. Pedoman. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas bumi terbesar (p otensi cadangan dan potensi diketahui), dimana paling tidak terdapat 62 lapangan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH CISURUPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

GEOLOGI DAERAH CISURUPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT GEOLOGI DAERAH CISURUPAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT TUGAS AKHIR A Diajukan sebagai syarat untuk kelulusan sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah dan sekitarnya merupakan bagian dari kawasan karst Sukolilo seperti yang telah ditetapkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Gunung Api Arjuno Welirang (KGAW) merupakan bagian dari rangkaian gunung api aktif di Pulau Jawa yang berada di bagian selatan ibukota Surabaya, Jawa Timur.

Lebih terperinci

BAB II. METODELOGI PENELITIAN

BAB II. METODELOGI PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Sari... iii Kata Pengantar... iv Halaman Persembahan... vi Daftar Isi... vii Daftar Tabel... xi Daftar Gambar... xii Daftar Foto... xiii Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian mengenai geokimia air tanah adalah salah satu jenis penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian mengenai geokimia air tanah adalah salah satu jenis penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Penelitian mengenai geokimia air tanah adalah salah satu jenis penelitian air tanah yang belum banyak diteliti oleh para ilmuwan. Padahal dalam ilmu hidrogeologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya airtanah terbentuk akibat adanya proses siklus hidrologi

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya airtanah terbentuk akibat adanya proses siklus hidrologi Genesa Komplek Mata Air Pablengan di Desa Pablengan, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah BAB I BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumber daya airtanah terbentuk akibat adanya

Lebih terperinci

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii

3,28x10 11, 7,10x10 12, 5,19x10 12, 4,95x10 12, 3,10x xviii Sari Metode penelitian yang dilakukan adalah survey geologi permukaan, pendataan klimatologi hidrologi dan hidrogeologi daerah telitian dan sekitarnya serta analisis air. Beberapa data diambil dari data

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014 M1O-01 MENGENALI INTERAKSI AIR SUNGAI DAN AIR TANAH, SERTA ANALISIS HUBUNGAN SIFAT KIMIA DAN FISIK AIR MELALUI METODA GRAFIK (ANALISIS NILAI R 2 ) DALAM PENYELESAIAN MASALAH KEKURANGAN AIR BERSIH WARGA

Lebih terperinci

6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara

6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara 6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara KETERANGAN UMUM Nama Lain : Tonkoko Nama Kawah : - Lokasi Ketinggian Kota Terdekat Tipe Gunungapi Pos Pengamatan Gunungapi : Administratif: termasuk Desa Makewide, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya panas bumi yang terdapat di daerah vulkanik, graben (vulkano-tektonik) dan non-vulkanik. Hingga saat ini, telah teridentifikasi 265 daerah

Lebih terperinci

ANALISIS HIDROKIMIA UNTUK INTERPRETASI SISTEM HIDROGEOLOGI DAERAH KARS

ANALISIS HIDROKIMIA UNTUK INTERPRETASI SISTEM HIDROGEOLOGI DAERAH KARS ANALISIS HIDROKIMIA UNTUK INTERPRETASI SISTEM HIDROGEOLOGI DAERAH KARS Taat Setiawan, Deny Juanda P., Budi Brahmantyo, dan D. Erwin Irawan Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, DESDM, Jln. Diponegoro

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya energi yang melimpah dan beraneka ragam, diantaranya minyak bumi, gas bumi, batubara, gas alam, geotermal, dll.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. penafsiran potensi panasbumi daerah penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. penafsiran potensi panasbumi daerah penelitian. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek yang akan diamati dalam penelitian ini adalah manifestasi panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. Penelitian dikhususkan kepada aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI 4. 1 Pengambilan dan Pengolahan Data Pengukuran laju infiltrasi di daerah penelitian menggunakan alat berupa infiltrometer single ring. Hasil pengujian

Lebih terperinci

SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI GEOLOGI DAN GEOKIMIA

SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI GEOLOGI DAN GEOKIMIA SURVEI PENDAHULUAN PANAS BUMI GEOLOGI DAN GEOKIMIA PULAU WETAR, PROVINSI MALUKU Robertus S.L.S, Herry S, Andri Eko A. W. Kelompok Penyelidikan Panas Bumi Pusat Sumber Daya Geologi SARI Secara umum Pulau

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... i ii iii vi ix xi xiii xii BAB I. PENDAHULUAN... 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perekonomian. Data Kementerian ESDM (2014) menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dan perekonomian. Data Kementerian ESDM (2014) menyatakan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu kebutuhan hidup masyarakat dengan penggunaan tertinggi urutan ketiga setelah bahan bakar minyak dan gas. Kebutuhan energi listrik

Lebih terperinci

EKSPLORASI ENERGI PANAS BUMI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOFISIKA DI LAPANGAN PANAS BUMI TAMBU, KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH.

EKSPLORASI ENERGI PANAS BUMI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOFISIKA DI LAPANGAN PANAS BUMI TAMBU, KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH. EKSPLORASI ENERGI PANAS BUMI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOFISIKA DI LAPANGAN PANAS BUMI TAMBU, KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH Tugas Akhir Disusun sebagai syarat menyelesaikan tahap sarjana S-1 Program

Lebih terperinci

5.5. G. LAWARKAWRA, Kepulauan Banda, Maluku

5.5. G. LAWARKAWRA, Kepulauan Banda, Maluku 5.5. G. LAWARKAWRA, Kepulauan Banda, Maluku G. Lawarkawra di P. Nila, dilihat dari arah utara, 1976 KETERANGAN UMUM Nama Lain : Kokon atau Lina Lokasi a. Geografi Puncak b. Administratif : : 6 o 44' Lintang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Daerah Penelitian Daerah Wai Selabung secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Mekakau Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Luas

Lebih terperinci

BAB VI INTERPRETASI DATA GEOKIMIA

BAB VI INTERPRETASI DATA GEOKIMIA BAB VI INTERPRETASI DATA GEOKIMIA Pada Tahun 2008, tim dari kelompok penelitian Program Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi, melakukan penyelidikan geokimia pada daerah lapangan panas bumi Tambu. Penyelidikan

Lebih terperinci

4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur

4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur 4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur G. Iya KETERANGAN UMUM Nama : G. Iya Nama Lain : Endeh Api Nama Kawah : Kawah 1 dan Kawah 2 Tipe Gunungapi : Strato Lokasi Geografis : 8 03.5' LS dan 121 38'BT Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanah vulkanis merupakan tanah yang berasal dari letusan gunungapi, pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanah vulkanis merupakan tanah yang berasal dari letusan gunungapi, pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah vulkanis merupakan tanah yang berasal dari letusan gunungapi, pada saat gunungapi meletus mengeluarkan tiga jenis bahan yaitu berupa padatan, cair, dan gas.

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. mana tinggi rendahnya konsentrasi TDS dalam air akan mempengaruhi besar

BAB V PEMBAHASAN. mana tinggi rendahnya konsentrasi TDS dalam air akan mempengaruhi besar 68 BAB V PEMBAHASAN Salah satu parameter penentu kualitas air adalah parameter TDS, yang mana tinggi rendahnya konsentrasi TDS dalam air akan mempengaruhi besar kecilnya DHL yang dihasilkan. Daya hantar

Lebih terperinci

STUDI HIDROGEOLOGI DAN POTENSI RESAPAN AIR TANAH DAERAH PUNCRUT DAN SEKITARNYA, BANDUNG TUGAS AKHIR

STUDI HIDROGEOLOGI DAN POTENSI RESAPAN AIR TANAH DAERAH PUNCRUT DAN SEKITARNYA, BANDUNG TUGAS AKHIR STUDI HIDROGEOLOGI DAN POTENSI RESAPAN AIR TANAH DAERAH PUNCRUT DAN SEKITARNYA, BANDUNG TUGAS AKHIR Dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Pertambangan di Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gununghalu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang terletak di bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur. Bentang alamnya

Lebih terperinci

Penyelidikan Pendahuluan Panas Bumi Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, dan Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur

Penyelidikan Pendahuluan Panas Bumi Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, dan Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur Penyelidikan Pendahuluan Panas Bumi Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, dan Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur Dahlan, Dikdik R., dan Edi M. KP Panas Bumi, Pusat Sumber Daya Geologi, Badan

Lebih terperinci

Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Perangkat Lunak LAHARZ Di Gunung Semeru, Jawa Timur

Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Perangkat Lunak LAHARZ Di Gunung Semeru, Jawa Timur Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Perangkat Lunak LAHARZ Di Gunung Semeru, Jawa Timur Kushendratno 1, Emi Sukiyah 2, Nana Sulaksana 2, Weningsulistri 1 dan Yohandi 1 1 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III TEORI DASAR Lereng repository.unisba.ac.id. Halaman

DAFTAR ISI. BAB III TEORI DASAR Lereng repository.unisba.ac.id. Halaman DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN SARI... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR GRAFIK... xi DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR...ix DAFTAR TABEL...xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II. GEOLOGI REGIONAL...12 II.1. Geomorfologi Regional...12 II.2. Geologi Regional...13 II.3. Hidrogeologi Regional...16.

DAFTAR ISI. BAB II. GEOLOGI REGIONAL...12 II.1. Geomorfologi Regional...12 II.2. Geologi Regional...13 II.3. Hidrogeologi Regional...16. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERNYATAAN...iii KATA PENGANTAR...iv SARI...vi DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xi DAFTAR TABEL...xiv BAB I. PENDAHULUAN...1 I.1. Latar belakang...1

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA HIDROGEOLOGI PANTAI GLAGAH-PANTAI CONGOT, KECAMATAN TEMON, KABUPATEN KULON PROGO, DAERAH ISTIMEWA YOGYKARTA Wahyu Wilopo*, Farma Dyva Ferardi Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada *corresponding

Lebih terperinci

PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH

PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH PENELITIAN HYDROGEOLOGI TAMBANG UNTUK RENCANA DRAINASE TAMBANG BATUBARA BAWAH Oleh : Budi Islam, Nendaryono, Fauzan, Hendro Supangkat,EkoPujianto, Suhendar, Iis Hayati, Rakhmanudin, Welly Gatsmir, Jajat

Lebih terperinci