SERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan ARCADIUS BENAWA ABSTRACT
|
|
- Ida Kurniawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Jurnal Ultima Humaniora, September 2014, hal ISSN Vol II, Nomor 2 SERVANT LEADERSHIP: Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan ARCADIUS BENAWA Dosen Home-base pada Character Building Development Center Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah, Jakarta Telp: (021) / Fax: (021) Surel: aridarsana@yahoo.com Diterima: 27 Oktober 2014 Disetujui: 15 Januari 2015 ABSTRACT This article aims to show that the spiritual aspect must be highlighted in terms of leadership style and significance, because every leader is always marked with oath of office before fulfilling his tour of duty. Leaders should also be accountable not only on the horizontal level but also at the vertical level. With phenomenological studies and literature about the practice of leadership is faced with a number of theories about leadership and then to be synthesized the more authentic leaderships than just imaging or false branding leadership. Current assumption tends to say that leadership (either in political or organizational sphere) is merely a sociological problem devoid of spiritual aspects. However, seen from the historical development of leadership perspective, it is never excluded from the spiritual dimension. In the form of manipulative style, some versions of leadership are derived from the sky (gods), so then these gave way to tyrannical king and rulers model of leadership. In this article, I will argue that these days one must ponder on the birth and growth of authentic leadership as popularized by Robert K. Greenleaf, framed within the term of servant leadership. This article resumes on the conviction that authentic leadership will give more benefit to develop the life system as well as the purpose of leadership itself rather than merely the pseudo leadership, which actually, in the long run, will damage the people because of its failure to meet members expectations in satisfactory ways. Keywords: authentic leadership, spiritual leadership, pseudo leadership Pendahuluan Merebaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh banyak pemimpin politik di negara Indonesia, yang didasarkan pada Pancasila, utamanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan sebuah ironi yang serius. Apalagi dalam upacara pelantikan sebelum memulai periode jabatan publik, setiap pemimpin di negeri ini selalu disahkan dengan ritual sumpah jabatan. Bagi penulis, realitas itu memrihatinkan dan cukup memadai untuk dijadikan indikasi awal dari diabaikannya aspek spiritual dalam praktik kepemimpinan di negeri ini. Padahal seorang pemimpin tentu dituntut untuk memiliki kepercayaan 09-arcadius.indd 243
2 244 SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan Vol II, 2014 (trust) di dalam dirinya. Pertanyaannya, bagaimana pemimpin akan mendapatkan trust dari orang yang dipimpinnya bila ia sendiri tidak setia pada kebenaran yang absen terwujud dikarenakan praktik-praktik terselubung ataupun terang-terangan yang melukai hati konstituennya? Dalam bahasa ragam populer, konstituen butuh bukti bukan janji. Ambil contoh berikut: tekad seorang pemimpin untuk memberantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), ternyata dalam praktiknya justru si pemimpin tersebut yang ditengarai menjadi pemicu pembiaran terhadap praktik KKN. Hal ini tentu sangat melukai hati konstituen yang berujung pada merosotnya tingkat elektabilitas si pemimpin dalam periode pemilihan berikutnya. Berkaca dari paragraf pembuka di atas, secara khusus dengan menyoroti momentum Pemilu 2014 yang baru saja berlalu, baik dalam Pemilihan Legislatif April 2014 maupun Pemilihan Presiden Juli 2014, ditemukan sejumlah persoalan yang mengemuka. Persoalan-persoalan tersebut dapat dirumuskan dalam gugus pertanyaan seperti berikut: 1) Seperti apakah wajah kepemimpinan di Indonesia pasca Pemilu 2014? Bagaimanakah pemetaannya secara makro maupun mikro? 2) Persoalanpersoalan krusial seperti apa yang sudah, sedang dan masih mungkin akan muncul setelah fase Pemilu 2014? 3) Adakah sumbangan yang berarti dari dunia pendidikan untuk memperlancar, atau malah mungkin mendistorsi proses pematangan, bahkan mungkin juga pembusukan demokrasi dalam Pemilihan Umum? 4) Bagaimana membingkai dan menganalisis dramaturgi politik pasca-pemilu 2014 dalam bingkai politik pencitraan? 5) Adakah pesan moral-spiritual yang bernilai, pantas, dan berharga yang dapat dipelajari dari peristiwa Pemilu 2014 yang lalu sebagai modal dan bekal menjadi warga negara Republik Indonesia yang lebih santun, beradab, dan demokratis? Didorong oleh rumusan pertanyaanpertanyaan di atas, penulis hendak memfokuskan pembahasan dalam artikel ini pada aspek spiritual dalam kepemimpinan, yang dalam praktik nyatanya kerap dilalaikan, walaupun dalam ritual pelantikan sang pemimpin, aspek spiritual itu ditampakkan dengan jelas dalam sumpah jabatan. Metode Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pemandu penelitian tersebut di atas, penulis meneliti literatur akademis tentang spiritualitas dan kepemimpinan. Gea, A. et. al. (2004: 308) dalam buku Relasi dengan Tuhan mengungkapkan bahwa salah satu wujud kesetiaan pada kebenaran adalah setia pada janji. Namun, paradoksnya, bagaimana pemimpin bisa diharapkan setia pada janji bila pada level sumpah saja ia telah berani melanggarnya? Hal ini sudah cukup mengindikasikan tiadanya kesetiaan pemimpin pada kebenaran. Lebih jauh lagi, pemimpin yang tidak setia pada kebenaran diragukan dapat membangun trust di antara konstituennya. Paling jauh, pemimpin yang tidak setia pada kebenaran akan membangun trust tersebut dengan model pencitraan. Amat disayangkan bahwa pencitraan yang tidak otentik itu tidak akan bertahan lama. Otentisitas kebaikan si pemimpin masih harus diuji kalau si pemimpin benar-benar mau membangun citra baik di antara konstituennya. Menurut U. S. Army Handbook, seperti dikutip A. B. Susanto (2010: 16), terdapat tiga gaya utama kepemimpinan, yakni otoriter atau otokratis. partisipasi atau demokrat, dan delegasi atau pemerintahan bebas. Gaya kepemimpinan otoriter (otokratis) diterapkan manakala pemimpin 09-arcadius.indd 244
3 SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan arcadius benawa 245 meminta anak buah untuk melakukan apa yang diinginkan si pemimpin. Sifat dari gaya kepemimpinan ini tidak mengenal kompromi. Yang penting, para pengikut melakukan kewajiban mereka, sebab dalam kewajiban tersebut sudah termaktub nilai kebijaksanaan dan kebaikan. Gaya ini diterapkan dalam kondisi ketika seorang pemimpin beranggapan memiliki semua informasi untuk memecahkan masalah, mengejar tenggat waktu, dan memotivasi karyawan. Beberapa pemimpin menerapkan gaya otokratis sebagai kendaraan untuk berteriak, dengan menggunakan bahasa yang merendahkan, memimpin dengan ancaman, bahkan cenderung menyalahgunakan kekuasaan yang diamanahkan padanya. Gaya kepemimpinan ini cenderung kasar. Pemimpin memerintah orang-orang di sekitarnya dengan tangan besi. Tidak ada kesempatan untuk mengulang apa yang telah diperintahkan. Sekali pemimpin berkata, anak buah wajib melaksanakannya tanpa banyak bertanya. Gaya otoriter biasanya digunakan hanya pada saat tertentu. Umumnya, pemimpin yang mempraktikkan gaya ini adalah orang yang otoriter yang seolah-olah memiliki kuasa tanpa batas (omnipotentia). Dalam sejarah peradaban Eropa, Kaisar Nero dikenal sebagai pemimpin otoriter. Nero dikenal dengan semboyannya, Orderint, dum metuant. Artinya, biar mereka (rakyat) benci, asal takut. Gaya kepemimpinan kedua adalah partisipasi atau demokrat. Gaya kepemimpinan ini tidak segera mendapatkan hasil cepat dan mencapai tujuan dengan lekas, namun, sifatnya lebih bersahabat dan egaliter. Bahasa yang digunakan bukan perintah, namun lebih sebagai ajakan. Misalnya, Mari bersama-sama kita bahu membahu memecahkan dan mencapai tujuan bersama. Gaya kepemimpinan partisipatif melibatkan anggota, termasuk satu atau lebih karyawan dalam proses pengambilan keputusan. Secara tim, mereka menentukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Meskipun demikian, si pemimpin tetap orang yang paling bertanggung jawab. Jika si pemimpin menerapkan gaya ini, bukan berarti suatu organisasi atau lembaga lemah. Sebaliknya, penerapan gaya kepemimpinan model partisipasi justru menunjukkan kekuatan seorang pemimpin yang mengundang hormat dari para anak buahnya. Gaya kepemimpinan ini lazim diterapkan ketika si pemimpin memiliki informasi yang cukup mengenai kekuatan dan kelemahan anak buah, sehingga ia dapat membagi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan keterampilan masing-masing anak buahnya. Untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga, si pemimpin tidak bekerja sendirian. Ia bekerja bersama orang lain, dalam tim. Dalam lingkup hidup bermasyarakat (sosio-politis), gaya ini dapat diterapkan ketika sebagian besar warga memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pada dasarnya gaya kepemimpinan ini bertolak dari asumsi bahwa semua warga punya potensi, tinggal bagaimana si pemimpin menggali, mengembangkan, dan mengarahkan potensi-potensi itu semua untuk mencapai tujuan. Sosok pemimpinlah yang bertugas mengarahkan dan memaksimalkan kemampuan anak buah. Gaya kepemimpinan partisipatif ini cocok bagi warga yang sudah terdidik dan paham mengenai hak dan kewajibannya. Baik pemimpin maupun warga berelasi secara saling menguntungkan. Setiap warga menjadi bagian utuh dari organisasi sehingga pemimpin dimungkinkan untuk membuat keputusan yang lebih baik dan adil untuk semua. Gaya kepemimpinan ketiga adalah delegasi atau pemerintahan bebas. Dalam model ini, pemimpin memungkinkan anak buah untuk membuat keputusan. Namun, 09-arcadius.indd 245
4 246 SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan Vol II, 2014 pemimpin tetap bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat. Gaya ini akan berhasil, manakala anak buah mampu menganalisis situasi dan menentukan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya. Seorang pemimpin tidak dapat melakukan semuanya seorang diri. Ia harus pandai membaca situasi, mana tugas yang harus didelegasikan dan mana yang tidak. Yang didelegasikan hanyalah tugas tertentu saja. Pendelegasian tugas bukan berarti tidak ada satu pun yang bertanggung jawab. Jika terjadi kesalahan yang berdampak pada kegagalan, si pemimpin tidak bisa menyalahkan orang lain. Mengambil contoh dari sejarah kekaisaran Romawi, model kepemimpinan yang diterapkan Pontius Pilatus merupakan kasus yang menarik untuk direfleksikan. Dalam tradisi Kristiani, Injil Yohanes bab menjadi konteks dari kasus kontroversial yang menyeret Yesus pada tuntutan dan vonis hukuman salib, sebuah hukuman paling nista waktu itu bagi khalayak Yahudi. Dalam perikop Injil Yohanes 18: 38a, Pilatus mempertanyakan kebenaran yang dicanangkan Yesus, karena Pilatus mau mengaburkan kebenaran itu dengan tindakan simbolik mencuci tangan. Pasalnya, hukuman berat yang layak dijatuhkan bagi seorang Yahudi adalah hukuman rajam, dan bukan salib. Namun, sedemikian nistanya sosok Yesus yang dituduh telah menghojat Allah sehingga orang Yahudi pun merasa jijik untuk menjatuhkan hukuman rajam bagi Yesus. Karena itu, dipakailah tangan orang Romawi melalui hukuman salib, dan tuduhan pun lalu dibuat relevan dengan bahasa penguasa waktu itu, yakni subversif. Seperti tertulis dalam Injil Lukas 23: 38 dan Yohanes 19: 19, Yesus dituduh mengaku sebagai Raja orang Israel, sehingga pada salib-nya dituliskan INRI (Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum = Yesus orang Nazareth [yang mengaku sebagai] Raja orang Yahudi). Model kepemimpinan Pilatus jelas mengisyaratkan kepemimpinan yang berorientasi pada statusquo dan melalaikan keutamaan-keutamaan yang semestinya melekat pada sosok pemimpin, seperti setia pada kebenaran. Pilatus yang jelas-jelas tidak menemukan adanya kesalahan pada Yesus justru menyerahkan proses penyaliban Yesus pada bangsa Yahudi dengan ungkapannya yang terkenal Aku tidak bertanggung jawab atas darah orang ini! Citra Pemimpin yang membiarkan, yang disimbolkan dengan adegan cuci tangan tersebut menjadi cikal-bakal meruapnya anarkisme di tengah masyarakat. Meskipun pelaku dan konteks sejarahnya berbeda, namun pesan moral itu jugalah yang kerap dirasakan oleh warga di Indonesia. Beberapa kejadian bisa disebutkan sebagai contoh, antara lain, pembiaran terhadap perilaku anarkis ormas tertentu terhadap kelompok-kelompok minoritas, baik berupa perusakan fasilitas fisik bangunan maupun penganiayaan fisik. Selain itu, belum terselesaikannya kasus-kasus korupsi besar yang diduga akan menyeret sejumlah elit pemimpin negeri ini juga menunjukkan adanya pembiaran kasuskasus hukum berdampak besar yang lalu ditutup-tutupi dengan kasus-kasus kecil pengalih perhatian khalayak. Contoh dari sosok pemimpin yang berdimensi spiritual ada pada kepemimpinan yang dipraktikkan Yesus; sosok yang tidak disukai para pemuka masyarakat Yahudi, yang lalu membawa risiko jelas, yakni salib (kebinasaan). Salib tak mungkin terhindarkan bagi pemimpin yang menyadari bahwa kepemimpinannya tidak semata-mata dipertanggungjawabkan pada level sosial kemasyarakatan (horizontal) melainkan juga pada level ilahi (vertikal). Alasannya cukup jelas: pada level 09-arcadius.indd 246
5 SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan arcadius benawa 247 horizontal, dengan keahliannya menutupnutupi kesalahan, si pemimpin bisa memainkan citra dirinya seolah-olah ia sosok pemimpin yang baik. Syaratnya juga jelas: sejauh tidak bisa dibuktikan secara legalyuridis tuduhan terhadap kesalahannya, maka tuduhan itu akan dikembalikan menjadi tuntutan balik sebagai pendiskreditan pemimpin, atau bahkan bisa saja dikenakan tuduhan subversif. Sementara itu, bila pemimpin menyadari dimensi spiritual dalam kepemimpinannya, ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya pada Yang Ilahi, yang dipercayai sebagai Yang Mahatahu, baik terhadap kesalahan atau kejahatan yang tampak nyata maupun yang ditutup-tutupi. Di mata manusia, bisa saja kebenaran dikaburkan, tetapi tidak demikian di mata Tuhan. Secara formal, pemimpin memang diminta melakukan sumpah jabatan. Artinya, ia menyadari bahwa jabatan kepemimpinan tersebut ia terima dari Atas dan harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemberi Amanah juga. Maraknya pemimpin yang tidak memerhatikan dimensi spiritual ditengarai oleh Dudi Arisandi sebagai pemicu bagi Robert K. Greenleaf untuk menyuarakan kembali pentingnya dimensi spiritual dalam kepemimpinan lewat bukunya The Servant as Leader (2008), yang disusunnya demi memberikan sumbangsih bagi terbentuknya kondisi masyarakat yang lebih baik, yakni masyarakat yang lebih peduli. Menurutnya, yang harus dilakukan seorang pemimpin pertama-tama adalah melayani. Itulah tolok ukur pemimpin yang sejati, yakni pemimpin yang motivasi utama dalam kepemimpinannya adalah hendak melayani orang lain. Model pemimpin yang melayani bukan sekadar demi pencitraan, melainkan ditunjukkan dengan konsisten dan terusmenerus, demi memicu dan memacu anggotanya dalam meningkatkan kompetensi sekaligus mengembangkan potensi anggotanya. Selayaknya pelayan, hendaknya pemimpin selalu mengutamakan yang dilayaninya agar kebutuhan anggotanya terpenuhi. Niatan atau spirit pemimpin pelayan seperti itu jelas akan bertentangan dengan nafsu akan kekuasaan yang kerap menjadikan status pemimpin justru sebagai peluang untuk meraup harta melimpah. Spirit yang dibawa dan dikembangkan pemimpin pelayan justru demi tumbuh kembangnya anggota yang dilayaninya, sehingga mereka tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik, sehat, bijaksana, mandiri, dan dapat diandalkan. Lebih jauh Arisandi juga menyitir Max De Pree (2003), yang dalam bukunya Leadership is an Art, mengungkapkan ciri khas seorang pemimpin pelayan, yakni respek terhadap orang lain. Konkretnya, sejauh mana pemimpin dapat memahami bahwa setiap manusia itu memiliki kemampuan, bakat, dan kekuatan yang khas. Pemimpinlah yang mengambil peran sentral untuk menumbuhkembangkan rasa percaya diri di antara anggotanya, bahwa masingmasing anggota memiliki potensi dan kemampuan yang khas. Bagaimana seorang pemimpin itu memfasilitasi, memberi kesempatan demi memaksimalkan potensi dan kemampuan anggotanya, merupakan seni tersendiri. Dengan demikian, jelas bahwa seorang pemimpin pelayan mensyaratkan kedewasaan yang harus ditunjukkan, selain bahwa ia mampu menghargai dirinya sendiri juga anggotanya. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian literatur ini menunjukkan bahwa keterlibatan unsur iman ataupun spiritual dalam konsep kepemimpinan menjadi jelas dalam model kepemimpinan pelayan.artinya, semakin pemimpin itu menunjukkan 09-arcadius.indd 247
6 248 SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan Vol II, 2014 keberimanannya atau spiritualitasnya, semakin jelas pula konsep kepemimpinannya yang dihadirkan dalam model kepemimpinan yang melayani, bukan menguasai. Hal ini sejalan dengan temuan yang dikemukakan Sahertian dan Frisdiantara (2012: 284), bahwasanya ada hubungan antara kepemimpinan spiritual dengan teori-teori kepemimpinan berbasis nilai, meskipun kepemimpinan spiritual masih lebih kerap menjadi wacana teoretis, namun ia tetap merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan, terutama jika dibandingkan dengan teori-teori kepemimpinan lainnya. Demikian pula temuan Freeman (2011: 121), yang mengafirmasi bahwa keyakinan spiritual (misalnya, harapan dan iman kepada Allah) sebagai faktor penyebab dalam pembentukan nilai-nilai dan perilaku pemimpin yang melayani. Menyitir Arisandi (2010) dalam blognya, Kepemimpinan pelayan memandang masalah apa saja di dunia sebagai masalah di sini, di dalam diri sendiri, bukan di luar sana. Maka, kalau pemimpin ingin mengobati suatu cacat anggota atau masyarakat, pemimpin pelayan harus memulai proses perubahan/penyembuhannya dari sini, dalam diri pelayan, bukan di luar sana. Pada intinya kepemimpinan pelayan adalah pendekatan jangka panjang yang memberikan perubahan kepada kehidupan dan kerja, demi menciptakan perubahan positif di seluruh kehidupan masyarakat. Banyak sekali individu dan perusahaan besar dunia telah menjadikan kepemimpinan pelayan sebagai falsafah hidupnya. Banyak tokoh dunia yang menerapkan model kepemimpinan pelayan ini, dan mereka dianggap sebagai pemimpin yang besar. Contohnya: Nabi Muhammad, Yesus, Kong Hu Cu, Gandhi, Abraham Lincoln, Ki Hajar Dewantoro dan masih banyak pemimpin besar lainnya. Para penulis, pemikir, dan pemimpin yang terkemuka pun memberikan respon yang positif bagi kemunculan model kepemimpinan pelayan. Dalam perspektif Jawa, kepemimpinan pelayan telah dikenal sejak dulu. Menurut Tugiman (1999: 46), prinsip-prinsip kepemimpinan Jawa tercermin dalam trilogi kepemimpinan yang dikenalkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tulada (di depan pemimpin harus menjadi teladan atau role model dalam perannya sebagai pengarah; directing), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah anggota yang dipimpinnya ia harus membangun semangat sebagai animator), dan tut wuri handayani (bila pemimpin berada di belakang ia memberi dorongan sebagai motivator). Konsep kepemimpinan pelayanan yang menonjolkan pelayanan kepada orang lain, termasuk kepada bawahan, akan semakin menumbuhkan keterikatan yang kuat antara pemimpin dengan yang dipimpin. Tanggung jawab ke bawah (downward accountability) akan menjadikan kepemimpinan berakar dan diterima dengan tulus oleh bawahan. Cara pandang Jawa mengenal istilah sifat tumungkul (tanggung jawab ke bawah) yang harus dimiliki seorang pemimpin Konsep kepemimpinan tradisional yang telah lama dikenal dalam tradisi luhur masyarakat Nusantara, di antaranya tertuang dalam kumpulan seloka Asta Brata, yang berisikan ajaran-ajaran Hindu tentang bagaimana seharusnya menjadi pemimpin yang baik. Menurut Arifin Abdulrachman (1968), Asta Brata adalah contoh kepemimpinan yang terdapat dalam Ramayana. Asta Brata adalah delapan tipe kepemimpinan yang merupakan 8 (delapan) sifat Kemahakuasaan Tuhan. Ajaran ini diberikan Sri Rama kepada Wibhisana sebagai Raja Alengka Pura saat menggantikan kakaknya, Rahwana. Kedelapan ajaran Asta Brata tersebut berbunyi sebagai berikut: 09-arcadius.indd 248
7 SERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan arcadius benawa Indra Brata: Artinya, pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra sebagai dewa pemberi hujan, yang memberi kesejahteraan kepada rakyat. 2. Yama Brata: Artinya, pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Yama, yaitu menciptakan hukum, menegakkan hukum, dan memberikan hukuman secara adil kepada setiap orang yang bersalah. 3. Surya Brata: Artinya, pemimpin hendaknya memberikan penerangan secara adil dan merata kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya. Ia juga perlu selalu berbuat berhati-hati seperti matahari yang sangat berhati-hati dalam menyerap air. 4. Candra Brata: Artinya, pemimpin hendaknya selalu dapat memperlihatkan wajah yang tenang dan berseri-seri, sehingga masyarakat yang dipimpinnya merasa yakin akan kebesaran jiwa dari pemimpinnya. 5. Bayu Brata: Artinya, pemimpin hendaknya selalu dapat mengetahui dan menyelidiki keadaan serta kehendak yang sebenarnya, terutama keadaan masyarakat yang hidupnya paling menderita. 6. Kuwera Brata: Artinya, pemimpin hendaknya harus bijaksana dalam mempergunakan dana atau uang, selalu berhasrat menyejahterakan masyarakat, dan tidak menjadi pemboros yang malah dapat merugikan negara dan masyarakat. 7. Baruna Brata: Artinya, pemimpin hendaknya dapat memberantas segala bentuk penyakit yang berkembang di masyarakat, seperti pengangguran, kenakalan remaja, pencurian dan pengacau keamanan negara. 8. Agni Brata: Artinya, pemimpin seharusnya memiliki kesungguhan untuk memotivasi tumbuhnya sifat ksatria dan semangat yang berkobar dalam menundukkan musuh-musuhnya. Dalam perspektif Buddha, menurut Hagen Berndt (2006: 95), sebagaimana disitir Andri Pitoko, terdapat ciri-ciri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Buddhis, lebih populer dikenal dengan istilah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang dikelompokkan menjadi tiga pokok, yaitu: kebijaksanaan (panna), moralitas (sila), dan konsentrasi (samadhi). Kebijaksanaan meliputi pemahaman benar dan pikiran benar; Moralitas meliputi ucapan benar, tindakan benar, dan penghidupan benar; sementara Konsentrasi meliputi usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Bagaimanapun rupa sang pemimpin, tentu ia memunyai kriteria-kriteria tersendiri antara lain, ia mempunyai kelebihankelebihan, seperti lebih kuat, lebih pandai, lebih memiliki kualitas pribadi yang unggul, serta lebih memiliki kesempatan dari pada orang lain. Seorang pemimpin mendapat mandat untuk bekerja guna memenuhi keperluan orang banyak. Kekuasaan yang dimiliki hanya dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang pemimpin. Dalam pandangan Buddhis, pemimpin tidaklah berbeda dengan bawahannya. Pandangan mengenai martabat dan derajat perlakuan yang sama pada semua manusia, menunjukkan sifat agama Buddha yang demokratis. Dari uraian di atas, menjadi jelaslah pandangan yang penulis ajukan dalam makalah ini, yaitu bahwa kepemimpinan bukanlah suatu ajang popularitas, bukan perebutan kekuasaan, bukan keahlian melakukan pertunjukan, dan bukan sekadar kebijaksanaan dalam perencanaan jangka panjang. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kepemimpinan adalah ikhtiar untuk menyelesaikan suatu amanah 09-arcadius.indd 249
8 250 S ERVANT LEADERSHIP : Menyoal Aspek Spiritual dalam Kepemimpinan Vol II, 2014 bersama orang lain dan membantu orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Simpulan dan Implikasi Dari paparan pada bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa tatkala aspek spiritual diabaikan dalam kepemimpinan, maka sumpah jabatan hanya akan menjadi ritual kosong yang tidak menginspirasi sang pemimpin, terkait dengan aspek spiritual dalam kepemimpinan. Keterlibatan unsur iman atau spiritualitas dalam konsep kepemimpinan kontemporer menjadi lebih jelas terwujud dalam model kepemimpinan pelayan. Sudah seyogianya model kepemimpinan pelayan ini diterapkan secara lebih massif dan intens di Indonesia. Implikasinya, perlu lebih ditanamkan di kalangan calon pemimpin, perhatian akan aspek spiritual di dalam kepemimpinan, sehingga para calon pemimpin dapat memaknai ungkapan pemimpin pelayan atau leader as servant, dengan pelbagai karakteristiknya. Istilah Revolusi mental yang lantang didengang-dengungkan akhir-akhir ini pada hakikatnya adalah revolusi mental pemimpin agar tidak lagi suka minta dilayani tetapi seharusnya si pemimpinlah yang lebih berusaha untuk dapat melayani anggotanya, umatnya, warganya, rakyatnya. Itulah makna pokok dalam aspek spiritual kepemimpinan, yang, jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tulus hati, diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dari krisis kepemimpinan dan dekadensi moralitas beberapa tahun belakangan ini. DAFTAR PUSTAKA Arifin Abdulrachman, R. (1968). Leadership Theory, Pengembangan dan Filosofi Kepemimpinan. Jakarta: Dinas Latihan Djabatan Lembaga Administrasi Negara. Arisandi, Dudi. (2010). Servant Leadership Memimpin dengan Hati untuk Melayani, yang dapat diakses di wordpress.com/2010/04/17/servantleadership-memimpin-dengan-hatiuntuk-melayani/ Berndt, Hagen. (2006). Agama yang Bertindak Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi. a.b. A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. Bdk. dengan sitiran Andri Pitoko dalam DePree, Max. (2003). Leadership is an Art. New York: Random House LLC. Freeman, GT. (2011). Spirituality and Servant Leadership. A Conceptual Model and Research Proposal, dalam Emerging Leadership Journeys, Vol. 4 (1): , yang dapat diakses di regent-edu/acad/global/publications/ elj/vol/ss1/freeman_v4/1_pp pdf Greenleaf, Robert K. dan Frick, Don M. (2008). A Life of Servant Leadership. San Francisco, California: Berrett-Koehler. Greenleaf, Robert K., Don M. Frick, dan Larry C. Spears. (1996). On Becoming a Servant Leader. California: Wiley. Sahertian, P. dan Frisdiantara. Christea. (2012). The Spiritual Leadership Dimension In Relation to Other Value- Based Leadership in Organization, dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol.2 (15): , yang dapat diakses di ijhssnet.com/journals/vol_2_no_15_ August_2012/36.pdf Senge, Peter M. (1994). The Fifth Discipline. New York: Double Day Act Publishing Group, Inc. Susanto, A.B. dan Masri Sareb Putra, R. (2010). 60 Management Gems: Applying Management Wisdom in Life. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tugiman, Hiro. (1999). Budaya Jawa dan Mundurnya Presiden Soeharto. Yogyakarta: Kanisius. 09-arcadius.indd 250 4/16/2015 6:21:48 AM
DIMENSI SPIRITUAL DALAM KEPEMIMPINAN
DIMENSI SPIRITUAL DALAM KEPEMIMPINAN Arcadius Benawa Character Building Development Center (CBDC), BINUS University Jln. Kemanggisan Ilir III No. 45, Kemanggisan Palmerah, Jakarta 11480 aridarsana@yahoo.com
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hanya manusia yang berkualitas saja yang mampu hidup di masa depan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bagi suatu bangsa, peningkatan kualitas pendidikan sudah seharusnya menjadi prioritas pertama. Kualitas pendidikan sangat penting artinya, sebab hanya manusia
Lebih terperinciOKYENDRA PUTRI BESTARI, 2015 PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN KI HAJAR DEWANTARA TERHADAP DISIPLIN KERJA GURU DI SMK SWASTA SE-KECAMATAN CIMAHI UTARA
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Persaingan di dunia dalam berbagai aspek semakin mendapatkan perhatian yang serius, berbagai negara menggunakan berbagai cara agar negara mereka tidak kalah bersaing
Lebih terperinciBAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN. dari hasil wawancara dengan informan, observasi di lapangan maupun datadata
BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data Paparan data temuan penelitian adalah pengungkapan dan pemaparan data maupun temuan yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan baik dari
Lebih terperinciKEPEMIMPINAN EFEKTIF. Riza Aryanto riza2201@yahoo.com riza.ary@gmail.com @riza_ary. PPM School of Management
KEPEMIMPINAN EFEKTIF Riza Aryanto riza2201@yahoo.com riza.ary@gmail.com @riza_ary PPM School of Management Tantangan di Organisasi Mengelola keragaman anggota organisasi Meningkatkan kualitas dan produktivitas
Lebih terperinciPENGEMBANGAN ASPEK KEPEMIMPINAN GURU DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS. Oleh: Dra. Aas Saomah, M.Si
PENGEMBANGAN ASPEK KEPEMIMPINAN GURU DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS Oleh: Dra. Aas Saomah, M.Si Abstrak: Aspek kepemimpinan guru dalam pembelajaran di kelas sangat penting karena
Lebih terperinci12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini mengenai hubungan antara variabel Kecerdasan Spiritual,
172 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Penelitian ini mengenai hubungan antara variabel Kecerdasan Spiritual, variabel Motivasi Kerja, dan variabel Harapan Guru dengan Kinerja Guru SMP Negeri di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional salah satunya yaitu untuk membentuk akhlak/budi pekerti yang luhur, pembentukan akhlak harus dimulai sejak kecil
Lebih terperinciWALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016
SALINAN WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK APARATUR SIPIL NEGARA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MATARAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciHIDUP DALAM KEKUDUSAN 1 Petrus 1:14-19 Herman Yeremia
HIDUP DALAM KEKUDUSAN 1 Petrus 1:14-19 Herman Yeremia Tujuan: Jemaat memahami bahwa Allah menghendaki umat-nya hidup dalam kekudusan Jemaat bertekad untuk hidup dalam kekudusan Jemaat menerapkan kehidupan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. guru, siswa, orang tua, pengelola sekolah bahkan menjadi tujuan pemerintah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah memiliki keunggulan dan berkualitas adalah dambaan bagi guru, siswa, orang tua, pengelola sekolah bahkan menjadi tujuan pemerintah. Sebagai kepala sekolah sudah
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil penelitian menunjukkan bahwa filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara merupakan sistem konsep pendidikan yang bersifat kultural nasional. Sekalipun Ki Hadjar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN
BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Masalah Memberitakan Injil dalam wacana kekristenanan dipandang sebagai tugas dan tanggung jawab melanjutkan misi Kristus di tengah dunia. Pemahaman
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan kepribadian ditujukan untuk mengembangkan
Lebih terperinciBAB 6. Kedewasaan Iman: Hikmat dan Iman
BAB 6 Kedewasaan Iman: Hikmat dan Iman A. Iman Menurut Ibrani 11:1, iman adalah dasar dan segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dan segala sesuatu yang tidak kita lihat. Dan ayat tersebut paling
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan
BAB I PENDAHULUAN Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan Masalah, D. Tujuan Penelitian, E. Manfaat Penelitian, F. Penegasan Istilah A. Latar Belakang Pendidikan
Lebih terperinciHAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2010 PENDIDIKAN. Kepramukaan. Kelembagaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5169) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12
Lebih terperinciA. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan Sumber Daya Manusiayang berkualitas dan berkarakter.
Lebih terperinci11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)
11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan
Lebih terperinciTerry menyebutkan adanya 8 buah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin yang baik, yaitu memiliki:
KOPI - Dewan Perwakilan Rakyat haruslah memiliki jiwa sebagai pemimpin, memimpin pendapat rakyat, memimpin daerahnya sendiri untuk lebih berkembang, meningkatkan kesejahteraan dan menampung semua aspirasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Etika merupakan refleksi atas moralitas. Akan tetapi, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, etika bukan sekedar refleksi tetapi refleksi ilmiah tentang tingkah
Lebih terperinciSOAL CPNS PANCASILA. Petunjuk! Pilihlah jawaban yang paling tepat!
Petunjuk! Pilihlah jawaban yang paling tepat! SOAL CPNS PANCASILA 1. Toleransi dalam kehidupan antar umat beragama berarti. a. Persebaran agama dapat dilakukan kepada siapa saja dan dimana saja b. Setiap
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara di wilayah Asia secara geografis yang diwarnai oleh dua kenyataan, yaitu kemajemukan agama dan kebudayaan, serta situasi kemiskinan
Lebih terperinci21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah Dasar (SD)
21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS
Lebih terperinciKONSEP-KONSEP POKOK DALAM SOSIOLOGI: STRATIFIKASI, KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN DI MASYARAKAT
KONSEP-KONSEP POKOK DALAM SOSIOLOGI: STRATIFIKASI, KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN DI MASYARAKAT Oleh: Suyatno, Ir., MKes. Pelapisan Masyarakat Stratifikasi Sosial: Pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan manusia seutuhnya bertujuan agar individu dapat mengekspresikan dan mengaktualisasi diri dengan mengembangkan secara optimal dimensi-dimensi kepribadian
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan persepsi..., Reza Baizuri, FE UI, Universitas Indonesia
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembahasan tentang kepemimpinan telah menjadi pembahasan hangat di berbagai ranah disiplin ilmu, ilmu sosial (social science), humaniora, ilmu politik, psikologi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang bermanfaat bagi lingkungan masyarakat,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dapat menunjang kualitas sumber daya manusia yang bermanfaat bagi lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Untuk
Lebih terperinci2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 berisi rumusan tujuan pendidikan yang kaya dengan dimensi moralitas, sebagaimana disebutkan dalam
Lebih terperinci1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa
1. Pancasila sbg Pandangan Hidup Bangsa Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna, senantiasa memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan (machstaat).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sejak tahun 1920-an Ki Hajar Dewantara telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia dalam artian menjadikan
Lebih terperinciHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KELOMPOK 2: 1. Hendri Salim (13) 2. Novilia Anggie (25) 3. Tjandra Setiawan (28) SMA XAVERIUS BANDAR LAMPUNG 2015/2016 Hakikat Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Warga Negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea ke Empat yaitu
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. A. Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam (PAI) Perspektif Ki Hadjar
BAB V PEMBAHASAN A. Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam (PAI) Perspektif Ki Hadjar Dewantara Sebagaimana disebutkan di dalam penegasan istilah bahwa penelitian ini dibatasi pada nilai-nilai Pendidikan Agama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kepribadian ditujukan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak,
Lebih terperinciPANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA Oleh : DENY KURNIAWAN NIM 11.11.5172 DOSEN : ABIDARIN ROSIDI, DR, M.MA. KELOMPOK E PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
Lebih terperinci14TEKNIK. Pendidikan Pancasila. Pancasila dan implementasinya dalam sila ke-4 dan ke-5. Yayah Salamah, SPd. MSi. Modul ke: Fakultas
Modul ke: Pendidikan Pancasila Pancasila dan implementasinya dalam sila ke-4 dan ke-5 Fakultas 14TEKNIK Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi Arsitektur Pokok Bahasan Sila Keempat Sila Kelima Arti dan
Lebih terperinciKEPEMIMPINAN. OLEH: Drs. Yunyun Yudiana, M.Pd
KEPEMIMPINAN OLEH: Drs. Yunyun Yudiana, M.Pd Apa itu Kepemimpinan? Suatu kemampuan untuk berproses dari seseorang untuk dapat membawakan tujuan dari kelompok yang dipimpinnya. Profil Pemimpin Tanggung
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1094, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN. Kode Etik. Pegawai Negeri Sipil. Pembinaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG
Lebih terperinciForum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Kulonprogo, Kepala SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo,
BUPATI KULONPROGO SAMBUTAN PADA ACARA PENGAMBILAN SUMPAH JABATAN DAN PELANTIKAN PEJABAT STRUKTURAL DAN KEPALA SEKOLAH PEMERINTAH KABUPATEN KULONPROGO Wates, 7 Januari 2013 Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan
Lebih terperinci2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In
No.1421, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU. Kode Etik Pegawai. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN PENGAWAS PEMILIHAN
Lebih terperinciMENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim
MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim Jika Tuhan itu ada, Mahabaik, dan Mahakuasa, maka mengapa membiarkan datangnya kejahatan?
Lebih terperinciV. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI
79 V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI A. Simpulan 1. Etika kepemimpinan Jawa, merupakan ajaran-ajaran yang berupa nilainilai dan norma-norma yang bersumber dari kebudayaan Jawa tentang kepemimpinan,
Lebih terperinciMEMBANGUN KEPEMIMPINAN OTENTIK DENGAN MODEL PENUGASAN
MEMBANGUN KEPEMIMPINAN OTENTIK DENGAN MODEL PENUGASAN Arcadius Benawa Character Building Development Center, BINUS University Jln. Kemanggisan Ilir III No. 45, Kemanggisan-Palmerah, Jakarta Barat 11480
Lebih terperinci28 Oktober 1928, yaitu sumpah pemuda. Waktu itu, sejarah mencatat betapa masingmasing
==============dikirim untuk Harian Kedaulatan Rakyat============== Semangat Sumpah Pemuda, Masihkah Diperlukan? Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd HARI ini bangsa dan rakyat Indonesia memperingati
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. Sikap, mental, perilaku, kepribadian dan kecerdasan anak ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang diberikan dan dialami serta dilalui
Lebih terperinciKESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA
KANTOR UTUSAN KHUSUS PRESIDEN UNTUK DIALOG DAN KERJA SAMA ANTAR AGAMA DAN PERADABAN KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA HASIL MUSYAWARAH BESAR PEMUKA AGAMA UNTUK KERUKUNAN BANGSA Jakarta 8-10 Februari 2018
Lebih terperinci- 1 - PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA
- 1 - PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG GERAKAN PRAMUKA I. UMUM Salah satu tujuan bernegara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini pendidikan jasmani dapat diterima secara luas sebagai model Pendidikan melalui aktivitas jasmani, yang berkembang sebagai akibat dari merebaknya telaahan
Lebih terperinci2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nasionalisme atau rasa kebangsaan tidak dapat dipisahkan dari sistem pemerintahan yang berlaku di sebuah negara. Nasionalisme akan tumbuh dari kesamaan cita-cita
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fitri Indriyani, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan tidak akan terlepas dari hakikat manusia, sebab subjek utama pendidikan adalah manusia untuk itu dalam membangun bangsa dan negara Indonesia yang
Lebih terperinciOrdinary Hope. Timothy Athanasios
Ordinary Hope Timothy Athanasios Bab I Menyelamatkan Masa Depan All the world s a stage and all men and women are merely players... William Shakespeare Siapapun Anda yang membaca tulisan ini, saya berharap
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR Latar Belakang. Dewasa ini kesadaran moralitas multikultur semakin pudar. Kondisi yang
1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Dewasa ini kesadaran moralitas multikultur semakin pudar. Kondisi yang demikian sebagai akibat tantangan (challenge) yang signifikan dari globalisasi, materialis,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan dapat mewujudkan semua potensi diri manusia dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk
Lebih terperinciBuku dan Proses Mencerdaskan Bangsa
Buku dan Proses Mencerdaskan Bangsa Oleh MAMAN SURYAMAN Beberapa bulan terakhir ini, secara rutin dilaporkan oleh berbagai media massa cetak dan elektronik tentang tanggapan publik terhadap buku pelajaran.
Lebih terperinciRevelation 11, Study No. 38 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No.38, oleh Chris McCann
Revelation 11, Study No. 38 in Indonesian Language Seri Kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No.38, oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu.
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP Praktek Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMA Negeri 1 Matauli Pandan mampu membangun interaksi komunikasi
316 BAB VI PENUTUP Praktek Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMA Negeri 1 Matauli Pandan mampu membangun interaksi komunikasi antara guru dan siswa. Guru selalu mengedepankan
Lebih terperinciPERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, KOMPETENSI GURU DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU SMP NEGERI DI SUB RAYON 03 KABUPATEN SEMARANG TAHUN
PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, KOMPETENSI GURU DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU SMP NEGERI DI SUB RAYON 03 KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2006 Oleh SUGIYARTO NIM : Q.100050189 Program Studi
Lebih terperinciPERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL
PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL Lenda Dabora Sagala STT Simpson Ungaran Abstrak Menghadapi perubahan sosial, Pendidikan Agama Kristen berperan dengan meresponi perubahan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tata kelola yang baik (good governance) adalah suatu sistem manajemen pemerintah yang dapat merespon aspirasi masyarakat sekaligus meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah
Lebih terperinciKARYA TULIS ILMIAH PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN PELAKSANAAN NILAI PANCASILA PADA ERA REFORMASI
KARYA TULIS ILMIAH PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN PELAKSANAAN NILAI PANCASILA PADA ERA REFORMASI Oleh : 1. Fauzi R. I. Karo-Karo (13071010) 2. Vicky Zulfikar Adhi Putra (13071019) 3. Nevi Yuliana
Lebih terperinciLATAR BELAKANG PERMASALAHAN
BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sejak manusia pertama (Adam) jatuh ke dalam dosa, seperti dikisahkan pada kitab Kejadian dari Alkitab Perjanjian Lama, maka pintu gerbang dunia terbuka
Lebih terperinciKISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018
Jenjang Pendidikan : SMP Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Katolik Kurikulum : 2006 Jumlah Kisi-Kisi : 60 KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018 NO KOMPETENSI DASAR
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TENGAH,
QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang : a. BUPATI ACEH TENGAH, bahwa dengan diakuinya keistimewaan Aceh
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinci1) Nasionalis. 2) Pemberani
KOPI - Seorang presiden adalah sosok yang terpenting di Indonesia karena presiden di negara ini tak hanya berperan sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Negara ini dapat menjadi
Lebih terperinciPelaksanaan Program Kesehatan. Muhammad Anwar, SKM, MPH
Pelaksanaan Program Kesehatan Muhammad Anwar, SKM, MPH Pelaksanaan Program Kesehatan (Actuating) Pengetahuan & Keterampilan 1. Motivasi (Motivation) 2. Komunikasi (Communication) 3. Kepemimpinan (Leadership)
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. yang dirasa relevan dan perlu, dengan harapan dapat menjadi sebuah kontribusi
BAB V PENUTUP Pada bagian akhir dari pembahasan ini, penulis mengambil sebuah konklusi atau kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisis yang disesuaikan dengan tujuan pembahasan skripsi ini. Penulis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis :
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan Pemilu 2014 akan menjadi cermin bagi kualitas yang merujuk pada prinsip demokrasi yang selama ini dianut oleh Negara kita Indonesia. Sistem Pelaksanaan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan budaya dan karakter bangsa merupakan isu yang mengemuka di masyarakat saat ini. Korupsi, tindakan asusila, kekerasan, perkelahian massa, pelanggaran
Lebih terperinciEKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI
EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA NAMA : FELIX PRASTYO NIM : 11.12.6219 KELOMPOK : J PROGRAM STUDI
Lebih terperinciDHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG
DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,
BAB IV KESIMPULAN Masyarakat yang plural atau majemuk merupakan masyarakat yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku,
Lebih terperinciKEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN
KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN DALAM KONSTITUSI KITA Kita mengembangkan kesadaran dan kepekaan terhadap masalah-masalah keadilan, damai dan keutuhan ciptaan.para suster didorong untuk aktif
Lebih terperinciOleh : H. Muhtadi Irvan
MAKALAH DISAMPAIKAN PADA SEMINAR INTERNASIONAL YANG DISELENGGARAKAN OLEH IKATAN SARJANA ADMINISTRASI PENDIDIKAN INDONESIA (ISMAPI) Judul : MENGGALI MANAJEMEN PENDIDIKAN YANG EFEKTIF Oleh : H. Muhtadi Irvan
Lebih terperinciSiaran Pers Kemendikbud: Penguatan Pendidikan Karakter, Pintu Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional Senin, 17 Juli 2017
Siaran Pers Kemendikbud: Penguatan Pendidikan Karakter, Pintu Masuk Pembenahan Pendidikan Nasional Senin, 17 Juli 2017 Penguatan karakter menjadi salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. Penataan SDM
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada kehidupan sekarang ini, semua
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu sasaran pokok pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada kehidupan sekarang ini, semua orang berkepentingan
Lebih terperinciMENDENGARKAN HATI NURANI
Mengejawantahkan Keputusan Kongres Nomor Kep-IX / Kongres XIX /2013 tentang Partisipasi Dalam Partai Politik dan Pemilu Wanita Katolik Republik Indonesia MENDENGARKAN HATI NURANI Ibu-ibu segenap Anggota
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 200 TENTANG GERAKAN PRAMUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 200 TENTANG GERAKAN PRAMUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan kepribadian ditujukan untuk mengembangkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Venty Fatimah, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia adalah makhluk sosial, seperti yang dikemukakan Aristoteles (Budiyanto, 2004: 3) Manusia adalah zoon piliticon atau makhluk yang pada dasarnya selalu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal utama dalam pembangunan bangsa Indonesia untuk dapat bertahan di era globalisasi. Peningkatan kualitas sumber
Lebih terperinciPendidikan Agama Kristen
Pendidikan Agama Kristen 1. TUHAN YANG ESA 2. MANUSIA 3. MASYARAKAT 4. MORAL 5. BUDAYA 6. IPTEKNI 7. HUKUM 8. POLITIK 9. KERUKUNAN STANDAR KOMPETENSI STANDAR KOMPETENSI 1.TUHAN YANG ESA KOMPETENSI DASAR
Lebih terperinci