BAB II PENGATURAN KESSELAMATAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN KESSELAMATAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN KESSELAMATAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara ( state aircraft ). Perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara Negara (state aircraft) diatur dalam Konvensi Paris 1919, Konvensi Havana 1928, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang UNCLOS. Menurut Pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara ( start aircraft ) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer yang semata-mata untuk pelayanan publik (public services) seperti pesawat udara polisi dan bea cukai sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara sipil ( civil aircraft ) adalah pesawat udara selain pesawat udara Negara ( state aircraft ). Dalam Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 juga diatur mengenai pesawat udara Negara dan pesawat udara sipil. Pesawat udara Negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara Negara (state aircraft). Pesawat udara Negara tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan diatas Negara-negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan

2 tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan diatas Negara anggota lainnya. Pesawat udara Negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara tersebut terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helikopter. Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa UNCLOS , juga terdapat perbedaan antara pesawat udara Negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil ( civil aircraft). Menurut Konvensi Jenewa 1958 istilah yang digunakan bukan pesawat udara sipil dan pesawat udara Negara, melainkan pesawat udar militer dan pesawat udara dinas pemerintah (goverment services) disatu pihak dengan private aircraft dilain pihak. Sedangkan menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa UNCLOS 1982, private aircraft tidak mempunyai hak untuk menguasai dan menyita pesawat udara yang melakukan pelanggaran hukum, karena private aircraft tidak mempunyai kewenangan penegak hukum, kewenangan penegak hukum tersebut hanya dimiliki oleh pesawat udar militer, pesawat udar dinas pemerintah (government services) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Konvensi Jenewa1958. B. Peraturan Penerbangan Sipil yang Diatur oleh International Civil Aviation Orgsnization (ICAO) ICAO merupakan suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkedudukan di Montreal. Badan ini secara resmi mulai berdiri pada tanggal 4 April 1947, sebagai kelanjutan dari PICAO (Provisional International Civil Aviation Organization), yang mulai berfungsi setelah konvensi Chicago 1944, 18 Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum ( United Nations Convention on the Law of the Seas), Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319.

3 Maksud dan tujuan dari ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan tehnik-tehnik navigasi udara internasional dan membina perencanaan dan perkembangan angkutan udara internasional. 19 Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus-menerus diperbarui melalui amandemen-amandemen adalah kebijakan-kebijakan yang diputuskan berdasarkan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan yaitu kebenaran-kebenaran ilmiah yang diperoleh dari berbagai penelitian dan pengembangan (Research and Development) dari berbagai disiplin ilmu yang terkait baik dalam bentuk teori maupun model-model analisis. Kebijakan-kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya melalui keputusan yang diambil dalam sidang Umum dan Sidang Council, adalah kebijakan-kebijakan berlandaskan kebenaran-kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. 20 Delapan belas Annex Konvensi Chicago 1944 pada dasarnya merupakan standart kelayakan yang ditunjukkan kepada seluruh anggota ICAO untuk menjamin keselamatan penerbangan internasional, namun dalam prakteknya SARPs ini juga ditujukan untuk standar kelayakan kelayakan udara pada penerbangan internasional. Annex ini juga menjadi landasan-landasan ICAO untuk membentuk International Standart and Recommended Proctices (ISRPs/SARPs) adapun delapan belas Annex tersebut adalah 21 Convention On International Civil Aviation Annex 1 to 18 International Civil Aviation Organization. 19 Suwardi, Penulisan Karya ilmiah tentang penentuan tanggung jawab pengangkut yang terikat dalam kerjasama pengangkutan udara Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta,1994, hal 4 20 Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang,2012, hal.1 21 AchmadMoegandi, Mengenal dunia Penerbangan Sipil, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996

4 1. Annex 1 - Personal Licensing : memuat pengaturan tentang izin bagi awak pesawat mengatur lalu lintas udara dan personil pesawat udara. 2. Annex 2 - Rules of The Air : aturan-aturan yang berkaitan dengan penerbangan secara visual dan penerbangan dengan menggunakan instrument. 3. Annex 3 - Meterological Service for International Air Navigation: memuat ketentuan mengenai layanan meteorological bagi navigasi internasional dan pemberitahuan hasil observasi meteorology dari pesawat udara. 4. Annex 4 - Aeronautical Charts: pengaturan tentang spesifikasi peta aeronautical yang digunakan dalam penerbangan internasional. 5. Annex 5 - Units of Measurement to be Used in Air and Ground Operation: ketentuan mengenai satuan-satuan ukuran yang digunakan dalam penerbangan. 6. Annex 6 - Operation Aircraft: mengatur tentang spesifikasiyang akan menjamin dalam keadaan yang sama, penerbangan diseluruh dunia berada pada tingkat keamanan diatas tingkat minimum yang telah ditetapkan. 7. Annex 7 - Aircraft Nationality and Registration Marks : membuat persyaratan-persyaratan umum untuk pendaftaran dan identifikasi pesawat udara. 8. Annex 8 - Airworthiness of Aircraft: pengaturan tentang standar kelayakan udara dan pemeriksaan pesawat udara berdasarkan prosedur yang seragam. 9. Annex 9 Facilitation: ketentuan mengenai standar fasilitas-fasilitas Bandar udara yang akan menunjang kelancaran dan masuknya pesawat udara, penumpang dan cargo di Bandar Udara. 10. Annex 10 - Aeranutical Communications : mengatur tentang prosedur standar, sistem, dan peralatan komunikasi.

5 11. Annex 11 - Air Traffic Service : memuat tentang pengadaan dan pengawasan terhadap lalu lintas udara, informasi penerbangan dan layanan pemberitahuan serta peringatan mengenai keadaan bahaya. 12. Annex 12 - Search and Rescuce : memuat ketentuan tentang pengorganisiran dan pemberdayaan fasilitas dalam mendukung pencarian pesawat yang hilang. 13. Annex 13 - Aircraft Accident Investigation : ketentuan tentang keseragaman dan pemberitahuan investigasi, dan laporan mengenai kecelakaan pesawat. 14. Annex 14 - Aerodrome: ketentuan tentang spesifikasi dan desain dan kegiatan dibandar udara. 15. Annex 15 - Aeronautical Information : metode untuk mengumpulkan cara penyebaran informasi yang dibutuhkan dalam operasional dalam penerbangan. 16. Annex 16 - Enviromental Protectum : memuat ketentuan mengenai sertifikat ramah lingkungan, pengawasan terhadap kebisingan yang ditimbulkan oleh emisi dari mesin udara. 17. Annex 17 - Enviromental Protectum : ketentuan mengenai perlindungan keamanan penerbangan sipil internasional dari tindakan melawan hukum. 18. Annex 18 - The Safe Transport of Dangerous Godds by Air : mengatur tentang tanda, cara mengepak, dan pengangkutan cargo yang berbahaya. Kebijakan-kebijakan penerbangan yang dibuat oleh suatu Negara yang berkaitan dengan keselamatan (safety) dan keamanan (security) harus berdasarkan paradigmaparadigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya. ICAO tidak pernah membuat target zero accident. Zero accident adalah sasaran yang tidak pernah akan tercapai (unachievable goal). Dalam Global Aviation Safety Plan (GASP) target yang ingin dicapai ICAO adalah mengurangi jumlah kecelakaanfatal

6 diseluruh Negara, mengurangi secara signifikan angka kecelakaan (accident rates) terutama dikawasan yang angka kecelakaannya tinggi, berupaya agar pada akhir tahun 2011 tidak ada satu kawasanpun yang angka kecelakaannya dua kali angka kecelakaan seluruh dunia. Yang harus dibuat dan ditetapkan Negara dan dilakukan upaya-upaya pencapaiannya adalah an acceptable level of safety, jumalah kecelakaan yang bias diterima dalam sekian ribu atau juta kali penerbangan. 22 Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai peran yang sangat signifikan bagi perkembangan penerbangan sipil diindonesia, teritama dibidang bantuan teknik. Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 april 1950 juga telah menikmati baebagai bantuan dari organisasi tersebut, walaupun Indonesia juga harus membayar iuran tahunan sebagai anggota. Dalam bidang pendidikan penerbangan, Indonesia telah memperoleh bantuan teknis sejak 20 Agustus 1950 pada saat Menteri Perhubungan Ir.H.Juanda meresmikan pendidikan penerbangan yang pada saat itu bernama Akademi Penerbangan Indonesia (API) di curug, Tangerang. Bantuan tersebut berupa tenaga ahli dibidang penerbangan, peralatan pendidikan penerbangan maupun peralatan navigasi penerbangan. Dengan bantuan tersebut Indonesia telah mampu mencetak tenaga terdidik dengan instruktur dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Denmark, dan Swedia, disamping tenaga Indonesia sendiri yang dikirim ke luar negeri. 23 Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagai organisasi internasional merupakan badan khusus (special agency) PBB tidak hanya 22 Ibid hal 2 23 H.K.Martono,S.H.,LLM Dkk, Hukum udara Nasional dan Internasional Publik, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.335.

7 berperan dalam adviser maupun pegawasan pembangunan Bandar udara, pengadaan sistem komunikasi, navigasi penerbangan, desain pesawat udara, modernisasi peralatan penerbangan, menciptakan standar peraturan penerbangan dan berbagai peraturan penerbangan yang ditugaskan kepada Komisi Navigasi Penerbangan ( Air Navigation Commision ) data tata cara operasi penerbangan. 24 Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundmental. Ada kurang lebih standar dan 40 Quasi-Standar yang tercantum dalam Annex 1-8 ICAO beserta dokumen dan sirkulernya (circular). Bila suatu Negara tidak pernah mengirim perbedaan (differences) kepada ICAO maka berarti Negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO. Indonesia termasuk Negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO. ICAO selalu membuat dan merubah standar-standar yang tertuang dalam Pasal-pasal Annex maupun pedoman-pedoman dalam dokumen dan circular ICAO sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi penerbangan. Di masa lalu ICAO seolah-olah tidak peduli dan tidak mau tahu apakah standar itu dipatuhi dan dilaksanakan oleh suatu Negara atau tidak. Dalam posisi ini ICAO berperan sebagai Passive International Standar Setting Body. Perannya hanya membuat standar-standar yang berlaku bagi penerbangan sipil Internasional. Kini peran ICAO telah berubah, ICAO saat ini melakukan tiga peran. ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga (peran kedua) memonitor kepatuhan (compliance) yaitu memonitor pelaksanaan standar- 24 Ibid hal 336

8 standar yang telah ditetapkan untuk kemudian (peran ketiga) meminta segera Negara mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak dipatuhi. ICAO kini berperan sebagai Proactive International Regulatory Body. 25 Untuk mengetahui kepatuhan Negara terhadap standar-standar yang telah ditetapkan, ICAO membuat program Universal Safety Oversigh Safety Audit (ASOAP). Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat (powerfull) untuk memaksa Negara anggota ICAO mematuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan. 26 Tujuan ICAO; 1. Menjamin perkembangan penerbangan sipil internasional yang aman dan teratur di seluruh dunia. 2. Mendorong seni-seni rancangan dan pengoperasian pesawat untuk tujuantujuan damai. 3. Mendorong pembangunan usaha penerbangan, bandara, dan fasilitasfasilitas navigasi udara bagi penerbangan internasional. 4. Memenuhi kebutuhan masyarakat dunia akan tersedianya transportasi udara yang aman, teratur, efisien, dan ekonomis. 5. Mencegah pemborosan ekonomi yang disebabkan oleh persaingan tidak sehat. 6. Menghindari diskriminasi antara negara-negara yang ambil bagian. 7. Meningkatkan keamanan penerbangan dalam navigasi udara internasional. 25 Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang, 2012,hal diunduh pada hari kamis, 23 januari 2014.

9 8. Meningkatkan secara umum perkembangan seluruh aspek aeromatika sipil internasional. C. Konvensi Chicago Tahun 1944 tentang Penerbangan Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah dituangkan dalam berbagai SARPs (Standart and Recommended Practicengas) 27 keamanan dan keselamatan transportasi. Untuk itu Konvensi Chicago Tahun 1944 yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas pada pembukaan Konvensi Chicago Tahun Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun Konvensi ini membatalkan konvensi Paris 1919, demikian juga konvensi Inter Amerika Havana Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka Konvesi Chicago 1944 adalah instrument hukum internasional khususnya hukum internasional Publik 30. Konvensi Chicago 1944 termasuk sebagai instrument hukum internasional serta hubungan antar lembaga dan lembaga yang dibentuk oleh Konvensi Chicago Selain itu Konvensi Chicago merupakan 27 Kebijalan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus menerus diperbarui oleh ICAO 28 Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago 7 December Diunduh Pada Tanggal 3 Februari Mochtar Kusumaadmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung 1996 hal 1

10 sumber hukum untuk Penerbangan Sipil internasional maupun penerbanagan Sipil Nasional. Menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua (PD II), Presiden Amerika Serikat Roosevelt mengundang sekutu-sekutunya pada Perang Dunia Kedua untuk mengadakan konferensi Penerbangan Sipil Internasional di Chicago Pada tahun Hadir dalam konferensi tersebut lima puluh empat delegasi, kedua delegasi dalam kapasitasnya sebagai pribadi sedangkan lima puluh dua delegasi mewakili Negara masing-masing. Namun Saudi Arabia dan Uni Soviet tidak hadir dalam konferensi penerbangan Sipil Internasional tersebut. 31 Spekulasi Uni Soviet tidak hadir dalam konferensi Penerbangan Sipil Internasional dengan alas an keamanan nasional (national security), sebab Uni Soviet tidak menghendaki adanya pesawat udara asing terbang diatas Uni Soviet tanpa melakukan pendaratan. Hal ini dibuktikan bahwa setiap perjanjian angkutan udara internasional timbal balik, posisi Uni Soviet selalu tidak menukarkan hakhak penerbangan pertama (first freedom of the air) yang member hak pesawat udara terbang diatas Negara yang bersangkutan tanpa pendaratan (over flaying), pada umumnya sebelum mempertukarkan hak-hak penerbangan (traffic right), ketiga ( 3 rd freedom pf the air) dan hak-hak penerbangan (traffic right), keempat ( 4th freedom of the air), selalu didahului dengan pertukaran hak-hak penerbangan 31 H.K.Martono dan Ahmad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional public, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012 hal 55

11 kesatu ( 1st freedom of the air) dan kebebasan udara kedua ( 2nd freedom of the air). 32 Spesikulasi pendapat yang menyatakan Uni Soviet lebih mengutamakan pertahanan keamanan tersebut mungkin ada benarnya karena perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan Unii Soviet walaupun ditandatangani pada tahun 1961 tetapi tidsk menukarkan kebebasan udara kesatu ( first freedom of the air) seperti layaknya perjanjian angkutan udara lainnya. 33 (bab I perkmbgn perjanjian angkutan udara bilateral). Konvensi internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau sering dikenal dengan sebutan Konvensi Chicago 1944 (Chicago Convention). Dalam Pasal 37 dengan jelas dikatakan, bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan Negara peserta konvensi Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbnagan dan lain-lain) dengan peraturan, standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standart yang dibuat International Civil Aviation Organization (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbarui standar and recommended practices (SARPs) yang dituangkan dalam Annexes 1-18 dengan berbagai dokumen dan circular penjabarannya yang harus dipatuhi oleh Negara peserta Konvensi Chicago Ibid hal K.Martono dan Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia, Mandar Maju, Jakarta, Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang, 2012, hal.5

12 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 43 sampai pasal 63 Konvensi Chicago Organisasi yang terdiri dari sidang umum (general assembly), dewan harian (council), dan badab-badan lain yang dipandang perlu 35 tersebut bertujuan untuk 36 : Konvensi Chicago 1944 membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu; 1. Konsep internasionalisasi yang disarankan Australi dan Selandia Baru. 2. Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprise. 3. Konsep intermedier inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris diterima oleh konferensi. Pada akhir konverensi sidang menerima 3 (tiga) instrumen yaitu; - Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional - Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara internasional - Persetujuan mengenai alat angkutan udara internasional. 37 Tujuan konferensi Penerbangan Sipil Internasional tampak dengan jelas pada pembukaan konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani di Chicago pada tahun Dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti antar bangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali perang dunia yang sangat 35 Pasal 43 Konvensi Chicago Pasal 44 Konvensi Chicago Pada Tanggal 3 Februari Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago 7 December 1944

13 mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan untuk kerjasama antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh karena itu, Negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsipprinsip dasar Penerbangan Sipil Internasional, menumbuh kembangkan Penerbangan Sipil yang aman, lancer, teratur dan member kesempatan yang sama kepada Negara anggota untuk menyelenggarakan angkutan Udara Internasional dan mencegah adanya persaingan yang tidak sehat. Pasal 1 konvensi Chicago mengakui bahwa setiap Negara berdaulat mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang diatas wilayahnya. 39 Kosekuensi prinsip kedaulatan di udara tersebut adalah tidak ada pesawat udara yang terbang di atau kea tau melalui ruang udara nasional Negara anggota tanpa memperoleh izin terlebih dahulu betapa tinggi atau rendahnya pesawat udara melakukan penerbangan Berdasarkan prinsip kedaulatan diudara tersebut, pesawat udara asing bersama dengan awak pesawat udara, penumpangnya tetap harus mematuhi hukum dan regulasi nasional Negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan. Konsekuensi kedaulatan diudara tersebut tampak dari ketentuan-ketentuan mengenai cabotace, pengawasan pesawat udara tanpa awak pesawat udara, kewenangan menetapkan daerah terlarang (prohibited area), penetapan Bandar udara (airport) yang boleh didarati oleh penerbangan internasional, izin masuk Negara anggota-anggota, pencarian dan pertolongan serta pendaratan dan tinggal 39 The contracting Parties recognize that every sovereign state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its teritory

14 landas, bantuan dalam hal pesawat udara menghadapi bahaya, investigasi menghadapi bahaya, investigasi kecelakaan pesawat udara. 40 Dalam Pasal 37 Konvensi Chicago dinyatakan bahwa; Each contracting State Undertakes to collaborate in securing the hiedghest practicable degree of uniformity in regulation, standards, procedures, and Organization inrelation to aircraft, personnel, airways and auxiliary services in all matters in which such uniformity will facilitate and improve navigation. 41 Apabila diartikan kedalam Bahasa Indonesia yaitu bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan Negara peserta Konvensi Chicago 1944 Apabila diartikan kedalam Bahasa Indonesia yaitu 40 Ibid hal Chapter VI International Standard and Recommended Practices Article 37: To This end the International Civil Aviation Organization Shall adopt and amend from time to time, as may be necessary, international standards and recommended practices and procedure dealing with: a. Communications systems and air navigation aids, including ground making; b. Characteristics of airports and landings area; c. Rules of The air and air traffic control practices; d. Licensing of operating and mechanical personnel; e. Airworthinness of aircraft; f. Registration and identification of of aircraft; g. Collection and exchange of meteorological information; h. Log book; i. Aeronautical Maps; j. Customs and immigration procedures; k. Aircraft in distress and investigation of accident;

15 bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan Negara peserta Konvensi Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan dan laim-lain) dengan peraturan standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar International Civil Aviation Organization (ICAO).

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944

BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 BAB II Pengaturan Aspek Ekonomi Penerbangan Sipil Menurut Konvensi Chicago 1944 A. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Chicago 1944 Setelah ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum udara internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui pesawat udara hubungan antar Negara-negara di dunia semakin mudah. Saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Melalui pesawat udara hubungan antar Negara-negara di dunia semakin mudah. Saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara merupakan suatu kemajuan teknologi yang sangat luar biasa bagi dunia. Melalui pesawat udara hubungan antar Negara-negara di dunia semakin mudah. Saat ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL. D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional

BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL. D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional Sejarah penerbangan sipil internasional dapat dilihat dari perkembangan lintas

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM KESELAMATAN PENERBANGAN PESAWAT UDARA (STUDI KASUS BANDARA INTERNASIONAL KUALA NAMU) JURNAL HUKUM OLEH: NAMA: PUSPITASARI DAMANIK

ASPEK HUKUM KESELAMATAN PENERBANGAN PESAWAT UDARA (STUDI KASUS BANDARA INTERNASIONAL KUALA NAMU) JURNAL HUKUM OLEH: NAMA: PUSPITASARI DAMANIK ASPEK HUKUM KESELAMATAN PENERBANGAN PESAWAT UDARA (STUDI KASUS BANDARA INTERNASIONAL KUALA NAMU) JURNAL HUKUM D I S U S U N OLEH: NAMA: PUSPITASARI DAMANIK NIM: 100200241 DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL D. Sejarah Penerbangan Sipil Internasional 1. Konvensi Paris 13 Oktober 1919 Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tent No.689, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Sistem Tanpa Awak. Pesawat Udara. Pengendalian. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200

2015, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1773, 2015 KEMENHUB. Pengoperasian Sistem. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Dilayani Indonesia. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara merupakan suatu pilihan yang tidak dapat dielakkan, Indonesia adalah negara yang terdiri atas

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.723, 2015 KEMENHUB. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Indonesia. Pengoperasian. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 90 TAHUN

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING Oleh: Sylvia Mega Astuti I Wayan Suarbha Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 47 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 180 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan

BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL 2.1 Konsep Penerbangan Sipil Internasional A. Pengertian Hukum Udara Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi udara adalah salah satu jenis transportasi yang memiliki unsur manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan hukum

Lebih terperinci

2 Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi,

2 Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.424, 2015 BMKG. Informasi Cuaca. Penerbangan. Pengawasan. Pelaksanaan PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang digemari dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat jika menggunakannya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.759, 2016 KEMENHUB. Navigasi Penerbangan. Penyelenggaraan. Pengalihan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 60 TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.561, 2014 KEMENHUB. Penetapan. Biaya. Navigasi Penerbangan. Formulasi. Mekanisme. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PROTOKOL RELATING TO AN AMENDMENT TO ARTICLE 56 OF THE CONVENTION ON INTERNATIONAL CIVIL AVIATION (PROTOKOL TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

Advisory Circular 92-01

Advisory Circular 92-01 LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP/27/ II / 2009 TANGGAL : 13 FEBRUARY 2009 Advisory Circular 92-01 THE HANDLING AND CARRIAGE OF DANGEROUS GOODS ON THE OPERATOR S AIRCRAFT.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI DAN MEKANISME PENETAPAN BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak lima tahun terakhir angkutan udara di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Data angkutan udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 43 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 143 (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATIONS

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di IMPLEMENTASI KONVENSI PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL DALAM PENGATURAN ASPEK KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENERBANGAN DI INDONESIA Daisy Puji Gayatri, Agus Pramono, Joko Setiyono Hukum Internasional, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Udara merupakan hukum yang mengatur penggunaan ruang udara, khususnya mengenai penerbangan, penggunaan pesawat-pesawat terbang dalam peranannya sebagai unsur yang

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 596 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 596 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 596 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN

Lebih terperinci

NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN

NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DTREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 081 TAHUN 2018 TENTANG PROSEDUR PENETAPAN, PENGGUNAAN DAN PENUTUPAN KAWASAN PELATIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN BANDAR UDARA ABDULRACHMAN SALEH MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. itu keselamatan menjadi prioritas utama dalam operasi penerbangan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keselamatan penerbangan selalu menjadi hal serius selama bertahun-tahun hal ini dikarenakan resiko kematian yang di akibatkan oleh suatu kecelakaan pesawat terbang

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan No.1155, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Prosedur Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Serius Pesawat Udara Sipil. Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 830. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA. Pelayanan Informasi. Aerodrome Forecast.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA. Pelayanan Informasi. Aerodrome Forecast. No.275, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA. Pelayanan Informasi. Aerodrome Forecast. PERATURAN KEPALA BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman yang disebut era globalisasi membuat semakin banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan angkutan udara merupakan salah satu alat transportasi yang cepat dan

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan angkutan udara merupakan salah satu alat transportasi yang cepat dan 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengangkutan udara mempunyai peranan yang sangat penting. Hal ini dikarenakan angkutan udara merupakan salah satu alat transportasi yang cepat dan ekonomis. Sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.5931 PENGESAHAN. Konvensi. 2006. Maritim. Ketenagakerjaan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 193) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR: KP 179 TAHUN 2017 TENTANG TIM PERCEPATAN PENYELESAIAN REGULASI TINDAK LANJUT TEMUAN ICAO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan tentu saja akan meningkatkan kebutuhan akan transportasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dicirikan dengan adanya akses transportasi yang cukup baik. Perbaikan akses transportasi ke suatu tempat akan menjadikan lahan tersebut semakin menarik. Berkembangnya

Lebih terperinci

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT BAHAN PAPARAN Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT PENGERTIAN ISTILAH 1. Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang

Lebih terperinci

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1509, 2016 KEMENHUB. Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan. Bagian 174. Peraturan Keselamatan Penerbangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Pengoperasian Sistem Pesawat Tanpa Awak di Wilayah Ruang Udara Indonesia

Pengoperasian Sistem Pesawat Tanpa Awak di Wilayah Ruang Udara Indonesia Pengoperasian Sistem Pesawat Tanpa Awak di Wilayah Ruang Udara Indonesia Tujuan PM 90 Tahun 2015 Peningkatan keselamatan penerbangan terkait pengoperasian pesawat udara tanpa awak di ruang udara yang di

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA I. UMUM Kegiatan penerbangan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin

Lebih terperinci

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Udara Internasional Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah

Lebih terperinci

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KPP430 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN INSPEKTUR NAVIGASI

Lebih terperinci

BAB III PROFIL PERUSAHAAN. Lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan.Melakukan

BAB III PROFIL PERUSAHAAN. Lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan.Melakukan 18 BAB III PROFIL PERUSAHAAN 3.1 Sejarah Perusahaan KNKT berdasarkan : Keputusan Presiden nomor 105 tahun 1999 Bab I Psl 1 ayat (1) Lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan.Melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN (MANUAL OF STANDARD KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : KP 247 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN DAN STANDAR BAGIAN 175-04 (MANUAL OF STANDARD PART

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG MENTERl PERHUBUNGAN «REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 173 (CIVIL AVIATION SAFETYREGULATION

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 25 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 25 TAHUN 2014 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 25 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK DAN TATA CARA PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti.

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti. BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN 3.1. Metoda Penelitian Berdasarkan karakterisitik masalah dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.156, 2013 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5448) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP BANDAR UDARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UU 15/1992, PENERBANGAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal:25 MEI 1992 (JAKARTA) Tentang:PENERBANGAN

UU 15/1992, PENERBANGAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal:25 MEI 1992 (JAKARTA) Tentang:PENERBANGAN UU 15/1992, PENERBANGAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal:25 MEI 1992 (JAKARTA) Tentang:PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PH 190 TAHUN 2015 TENTANG MANAJEMEN PENANGANAN OPERASI IREGULER BANDAR UDARA (AIRPORT JRREGULAR OPERATION)

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN UMUM Keamanan dan keselamatan penerbangan memiliki peranan yang penting dan strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL

K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL K69 SERTIFIKASI BAGI JURU MASAK DI KAPAL 1 K-69 Sertifikasi Bagi Juru Masak Di Kapal 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : INST 001 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN KEWASPADAAN DALAM MENGHADAPI MUSIM HUJAN DAN

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG KURIKULUM PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN DI BIDANG MANAJEMEN PENERBANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau

BAB I PENDAHULUAN. Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perang saudara Suriah yang juga dikenal dengan pemberontakan Suriah atau krisis Suriah adalah konflik senjata berkelanjutan di Suriah antara pasukan pendukung pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 138 CONCERNING MINIMUM AGE FOR ADMISSION TO EMPLOYMENT (KONVENSI ILO MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 578 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 578 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 578 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH

PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH 1 PELANGGARAN KEDAULATAN DI WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA OLEH PESAWAT SIPIL ASING JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh : DITA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci