BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL. (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL 2.1 Konsep Penerbangan Sipil Internasional A. Pengertian Hukum Udara Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian hukum udara (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air navigation law) atau hukum transportasi udara (air transportation law) atau hukum penerbangan (aerial law), atau hukum aeronautika penerbangan (aeronautical law), atau udara-aeoronautika penerbangan (air-aeronautical law), saling bergantian tanpa membedakan satu dengan yang lain. Istilah-istilah tersebut pengertiannya lebih sempit dibandingakan dengan pengertian air law. Pengertian air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi, perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan, manajemen, dan lain-lain. Pakarpakar hukum memberikan definisi, Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestic dan internasional. 1 B. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Pesawat udara diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Menurut Konvensi Paris 1919, klasifikasi pesawat udara diatur dalam Bab VII tercantum dalam pasal 30, 31, 32, dan 33, masing-masing mengatur jenis pesawat udara, pesawat udara militer. Menurut pasal 30 Konvensi 1 Diederiks-Verschoor, 1991, Persamaan dan Perbedaan antara Hukum Udara dan Hukum Luar Angkasa, Sinar Grafika, Jakarta, h. 7

2 Paris 1919, pesawat udara terdiri dari 3 jenis, masing-masing pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan untuk dinas pemerintahan seperti bea cukai, polisi, dan pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil (private aircraft), namun demikian dalam Konvensi Paris 1919 tidak diatur pengertian pesawat udara. Dalam hukum nasional, yaitu pengertian pesawat udara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pesawat udara adalah setiap mesin atau alat-alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. 2 Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, bea cukai, dan pesawat udara polisi harus diperlakukan sebagai pesawat udara sipil (private aircraft) dan pesawat udara-pesawat udara tersebut berlaku ketentuan Konvensi Paris 1919, sedangkan pesawat udara militer, bea cukai dan polisi tidak berlaku ketentuan pada Konvensi Paris Setiap pesawat udara.yang dikemudikan oleh anggota militer termasuk pesawat udara militer untuk kepentingan ini. Tidak ada pesawat udara militer negara anggota boleh terbang di atas wilayah negara anggota lainnya tanpa persetujuan lebih dahulu. Dalam hal pesawat udara militer milik negara anggota memperoleh persetujuan terbang di wilayah negara anggota Konvensi Paris 1919, pada prinsipnya menikmati hak istimewa yang diakui oleh hukum kebiasaan internasional sebagaimana berlaku pada kapal perang. 3 Selanjutnya, mengenai pesawat udara sipil juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Dalam Pasal 3 diatur mengenai pesawat udara negara 2 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan 3 Article 32 Convention to the Regulation of Aerial Navigation, Paris 1919

3 dan pesawat udara sipil. Pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan diatas negara-negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan diatas negara anggota lainnya. Pesawat udara Negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara tersebut terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helikopter. Sedangkan di dalam hukum internasional, setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan (nationality and registration mark). 4 Dalam hukum nasional Indonesia sendiri, terdapat pengertian pesawat udara sipil yaitu pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga. Selain itu juga terdapat pengertian pesawat udara sipil asing, yaitu pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing. 2.2 Konsep Keamanan dan Keselamatan Penerbangan Sipil Internasional Keselamatan adalah sebuah tuntutan yang paling mendasar dalam setiap perjalanan dan merupakan hal yang paling utama dalam kehidupan setiap manusia. Keselamatan dan keamanan dalam penerbangan adalah dua ranah yang berbeda. Menurut Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, dijelaskan mengenai perbedaan keamanan dan keselamatan penerbangan. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan : Keamanan dan 4 Pasal 20 Konvensi Chicago 1944

4 keselamatan penerbangan adalah suatu kondisi untuk mewujudkan penerbangan dilaksanakan secara aman dan selamat sesuai dengan rencana penerbangan. Sedangkan, dalam angka 2 dijelaskan mengenai keselamatan penerbangan, yaitu keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang bebas dari gangguan dan/atau tindakan yang melawan hukum.keselematan penerbangan seperti yang diatur dalam pasal 1 angka 3 adalah keadaan yang terwujud dari penyelenggaraan penerbangan yang lancar sesuai dengan prosedur operasi dan persyaratan kelaikan teknis terhadap sarana dan prasarana penerbangan beserta penunjangnya. ICAO sendiri membedakan secara jelas dan terpisah bentuk audit untuk keduanya. Audit untuk keselamatan (safety) dikenal dengan sebutan USOAP (Universal Safety Oversight Audit Programme) sedangkan audit untuk keamanan (security) dikenal dengan sebutan Universal Security Audit Programme (USAP). Perbedaan yang paling sederhana untuk mengetahui apakah sebuah kejadian dalam operasi penerbangan termasuk sebagai sebuah bentuk keselamatan atau keamanan. Bila sebuah pesawat melakukan pembatalan lepas landas (rejected/aborted take-off) yang diakibatkan oleh gagalnya fungsi mesin pesawat (engine failure) secara tiba-tiba, maka kejadian ini masuk kedalam ranah tindakan keselamatan (safety), sedangkan bila sebuah penerbangan melakukan pengalihan pendaratan (diverted) ke bandar udara yang tidak termasuk dalam rencana penerbangan (flight plan), ketika pesawat tersebut sedang berada di bawah kendali pembajak pesawat (hijacking), maka kasus demikian dimasukkan kedalam ranah keamanan (security). Pemeriksaan penumpang dan barang yang ketat di sebuah bandar udara adalah tindakan keamanaan, agar penyusupan penumpang yang dicurigai akan menjadi pelaku kejahatan (pembajakan) dan masuknya barang-barang berbahaya atau peledak (dangerous goods) segera dapat ditanggulangi lebih awal. Demikian pula bila ada penumpang yang

5 mengganggu penumpang lain dalam sebuah penerbangan (unruly passenger), kasus ini dimasukkan dalam ranah keamanan Konsep Perlindungan Hukum dalam Penerbangan Sipil Internasional A. Perlindungan Hukum Dalam Hal Terjadinya Kejahatan atau Pelanggaran di Dalam Pesawat Udara Dewasa ini ternyata masih banyak korban kecelakaan pesawat udara yang tidak mengerti hak-hak yang seharusnya mereka terima berdasarkan perlindungan hukum yang berlaku sebagai akibat kecelakaan pesawat udara, maupun terjadinya tindak pidana di dalam pesawat udara. Selain penumpang, demikian pula pegawai pemerintah yang mengalami kecelakaan pesawat udara saat sedang menjalankan tugas pemerintahan. Masalah aspek hukum yang timbul akibat transportasi udara sangat luas. Masalah-masalah hukum yang timbul misalnya masalah yurisdiksi, kekosongan hukum, kedaulatan atas wilayah udara, ketertiban, dan disiplin dalam pesawat udara selama penerbangan berlangsung, perlindungan awak pesawat udara, penumpang, pemilik pesawat udara, operator, ekstradisi, lingkup berlikunya, pelanggaran hukum nasional, wewenang negara anggota, wewenang kapten penerbang (aircraft commander), sertifikasi awak pesawat udara (certificate of competency), maupun pesawat udara (certificate of airworthiness) itu sendiri, penggunaan pesawat udara, izin pendaratan, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara (nationality and registration mark), transportasi bahan peledak (dangerous good), dan lain-lain sangat luas untuk disebutkan satu per satu. Pada tahun 1950, delegasi Meksiko dalam Konferensi yang membahas konsep Legal Status of Aircraft mengusulkan konvensi tentang tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam 5 Diakses tanggal 15 November 2015

6 pesawat udara.konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh Legal Sub Committee yang dibentuk oleh Legal Committee dibawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization), untuk mempelajarai instrument hukum lebih lanjut.di dalam konsep Legal Status of Aircraft yang dikembangkan Legal Sub Committee tersebut digunakan prinsip yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara dan prinsip yurisdiksi territorial. Penggunaan prinsip tersebut kemudian didukung sepenuhnya oleh delegasi Amerika Serikat yang disampaikan kepada Legal Committee untuk mempercepat proses penyelesaian konvensi. Dalam sidang Legal Committee yang berlangsung di Munich pada 1959, konsep Legal Status of Aircraft disusun secara terpisah dengan konsep konvensi yang mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara yang berjudul Draft Convention on Offences amd Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Konsep ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep sebelumnya, karena dalam konsep ini diatur prinsip yurisdiksi negara terhadap pelaku pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara, hak dan kewajiban negara anggota, hak dan kewajiban kapten penerbang (pilot in command), kekebalan hukum yang dimiliki oleh kapten penerbang beserta awak pesawat udara maupun penumpangnya yang mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk perlindungan terhadap penumpang serta disinggung ancaman hukuman ganda (double trial). Konferensi Diplomatik yang dihadiri oleh enam puluh satu negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan lima organisasi internasional lainnya tersebut telah berhasil mengesahkan konvensi internasional yang berjudul Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft yang ditandatangani tanggal 14 September Konvensi Tokyo 1963 mengatur perlindungan hukum terhadap kapten penerbang, awak pesawat udara,

7 penumpang, pemilik pesawat udara, operator maupun pelaku tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Konvensi Tokyo Berdasarkan pasal 10, kapten penerbang tidak dapat dikenakan gugatan perdata maupun tuntutan pidana atau sanksi administratif lainnya karena perbuatannya untuk melaksanakan wewenang yang diberikan oleh Konvensi Tokyo Kapten Penerbang (Aircfart Commander, Pilot-In-command) adalah pilot yang ditetapkan/ditunjuk oleh operator atau oleh pemilik pesawat udara dalam kasus penerbangan umum, sebagai penanggung jawab dan bertugas untuk melakukan suatu penerbangan yang aman/selamat. 6 Perlindungan hukum terhadap kapten penerbang tersebut diperlukan untuk melindungi kehidupan dan keselamatan kapten penerbang beserta keluarganya, karena tanpa perlindungan hukum tersebut, wewenang yang diberikan oleh konvensi tidak ada artinya sebab kapten penerbang tidak akan berani melakukan langkah-langkah yang diperlukan. 7 Seperti halnya kapten penerbang, kepada awak pesawat udara juga diberi perlindungan hukum. Menurut pasal 10, awak pesawat udara (air crew) yang telah melakukan tindakantindakan tertentu untuk dan atas nama kapten penerbang, guna menyelamatkan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut, maka awak pesawat udara tersebut dibebaskan dari gugatan perdata, tuntutan pidana, maiupun sanksi administratif lainnya. Tanpa adanya perlindungan hukum demikian awak pesawat udara juga akan berpikir berkali-kali untuk melaksanakan ketentuan yang diatur dalam konvensi. Perlindungan hukum lainnya yang diberikan oleh Konvensi Tokyo 1963 kepada penumpang untuk meneruskan perjalanannya. Dalam hal kapten penerbang maupun awak 6 Cholid & Christian, 2010, Pengertian dan Istilah Penerbangan Sipil, Rajawali Press, Jakarta, h K. Martono dan Ahmad Sudiro, 2012, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, Rajawali Pers, Jakarta, h.5

8 pesawat udara tidak dapat melakukan pencegahan melawan tindakan melawan hukum oleh pelaku, mala berdasarkan pasal 10 Konvensi Tokyo 1963, para penumpang juga dapat melakukan pencegahan untuk dan atas nama kapten penerbang karena itu penumpang yang melakukan tindakan pencegahan melawan hukum tersebut juga memperoleh perlindungan hukum, sehingga mereka tidak dapat didajukan gugatan perdata atau tuntutan pidana atas perbuatannya untuk mencegah perbuatan tersebut. Perlindungan hukum juga diberikan kepada pemilik pesawat udara maupun perusahaan penerbangan terhadap gugatan perdata maupun tuntutan pidana sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Menurut pasal 10 konvensi, di samping kapten penerbang, awak pesawat udara maupun kepada penumpang, kepada pemilik pesawat udara (owner of aircraft) maupun perusahaan penerbangan diberikan perlindungan hukum sebagai akibat langkah-langkah tertentu untuk dan atas nama kapten penrbang, sesuai dengan ketentuan konvensi juga memberikan kekebalan hukum kepada pemilik pesawat udara maupun operator pesawat udara. Kepada pemilik pesawat udara maupun operator juga memperoleh kekebalan hukum dari gugatan perdata maupun tuntutan pidana pelanggaran maupun kejahatan serta administratif. Di samping memberi perlindungan hukum kepada kapten penerbang, awak pesawat udara, penumpang maupun perusahaan penerbangan sebagai akibat pencegahan tindakan melawan hukum, Hukum Internasional juga memberikan perlindungan hukum kepada pelaku tindak pidana. Konvensi Tokyo 1963 begitu objektif dengan memberikan perlindungan hukum kepada orang yang telah melakukan tindakan pidana pelanggaran maupun kejahatan di dalam pesawat udara sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Konvensi Tokyo 1963, apabila seorang pelaku tindak pidana dalam pesawat udara ditahan oleh negara anggota, orang tersebut harus dibantu oleh negara yang menahan untuk segera dapat menghubungi perwakilan negara tertuduh

9 dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apabila tertuduh dapat menghubungi perwakilan negaranya, perwakilan tersebut dapat membantu kesulitan yang dihadapi oleh tertuduh, karena sesuai dengan hukum internasional yang berlaku perwakilan negara mempunyai kewajiban membantu dan melindungi warga negaranya. 8 Di samping pasal 13 ayat (3), perlindungan hukum terhadap tertuduh juga terdapat dalam pasal 13 ayat (5). Menurut pasal 13 ayat (5) tersebut apabila tertuduh ditahan, negara yang menahan mempunyai kewajiban untuk segera memberitahukan kepada perwakilan negara tertuduh. Bilamana negara yang menahan tidak berhasil menghubungi negara tertuduh yang mengakibatkan keruguan atau tertuduh bertambah menderita, negara tersebut mempunyai kewajiban hukum internasional untuk menanggung kerugian yang timbul, dengan demikian jelas maksud untuk melindungi kepentingan tertuduh, karena itu negara yang menahan mempunyai kewajiban mengambil langkah-langkah tertentu yang dianggap perlu untuk melindungi tertuduh. Di samping perlindungan tersebut, penumpang yang diturunkan atas penumpang yang diserahkan kepada pejabat yang berwenang atau penumpang yang dituduh melakukan tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara harus diperlakukan seperti halnya warga negara dari negara tempat diturunkan. Apabila penumpang tersebut ditahan, maka tempat penahanan, perawatan, makanan, pemeliharaan kesehatan dan segala pelayanan yang berlaku terhadap warga negaranya juga harus berlaku terhadap penumpang tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 14 ayat (1) Konvensi Tokyo Berdasarkan pasal tersebut, apabila penumpang yang diturunkan oleh kapten pemerbang dengan alasan melindungi keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara dan barang-barang yang diangkut atau untuk menjamin ketertiban dan disiplin dalam pesawat udara atau penumpang yang 8 Vienna Convention On Diplomatic Relations, 1961

10 diturunkan telah melakukan tindak pidana atau penumpang diserahkan kepada pejabat yang berwenang karena menurt keyakinan kaptem penerbang penumpang tersebut telah melakukan tindakan melawan hukum dengan ancaman, sehingga penumpang yang diturunkan tersebut tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke negara tujuam atau penumpang tersebut ditolak tinggal di negara tersebut, maka penumpang yang bersangkutan berhak untuk dikembalikan ke negaranya atau tempat tinggal tetapnya atau negara tempat keberangkatan terakhir. Dalam hal tersebut, penumpang berhak memilih negara yang paling menguntungkan dari sisi perjalanan, dengan demikian penumpang tersebut memiliki kesempatan pergi ke negara yang dianggap memberi pelayanan paling baik dibandingkan negara sendiri, negara tempat tinggal tetap, dan negara tujuan akhir perjalanan. B. Perlindungan Hukum Dalam Hal Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara Dalam hal kecelakaan pesawat udara, perlindungan hukum korban kecelakaan pesawat udara masih banyak tergantung pada peraturan perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Perusahaan penerbangan yang satu dengan yang lainnya belum ada keseragaman, dalam hal apakah perusahaan penerbangan yang sudah memberi jaminan asuransi kepada awak pesawat udara baik loss of licence maupun personal accident insurance. Yang dimaksud dengan korban kecelakaan pesawat udara dalam tulisan ini adalah mereka yang ada di dalam pesawat udara, apapun status mereka. Mereka adalah awak pesawat udara (crew), awak pesawat udara cadangan (extra crew), peninjau (observer) baik dari instansi pemerintah maupun dari staf atau karyawan perusahaan penerbangan, para penumpang sah maupun tidak sah (tidak dilindungi dengan dokumen pengangkutan berupa tiket). Awak pesawat udara (crew) adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai karyawan perusahaan penerbangan untuk mengoperasikan pesawat udara dalam penerbangan. Awak

11 pesawat udara (crew) termasuk pilot, co-pilot, pramugari, pramugara, juru mesin, juru radio, navigator. Awak pesawat udara cadangan (extra crew) adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai karyawan perusahaan penerbangan, tetapi mereka belum mengoperasikan pesawat udara. Mereka akan menggantikan tugas awak pesawat udara pada penerbangan selanjtnya. Extra crew tidak berpakaian dinas seragam, tidak terdaftar sebagai penumpang maupun sebagai crew pesawat udara. Mereka terdaftar sebagai extra crew. Para peninjau (observer) adalah mereka yang karena tugasnya harus berada di dalam peswawat udara, misalnya dalam rangka training, familiarization penerbangan atau keperluan lainnya. Mereka dapat dari instansi pemerintah maupun dari staf atau karyawan dari suatu perusahaan penerbangan.sebagai pegawai suatu perusahaan penerbangan, dapat saja ditugaskan oleh perusahaan yang harus dilakukan di dalam pesawat udara.untuk menjalankan tugas tersebut mungkin saja dilakukan berulang kali, tanpa memperhatikan dokumen-dokumen pengangkutan yang seharusnya mereka lengkapi. Penumpang adalah orang-orang selain yang disebutkan di atas, mereka adalah pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan perusahaan penerbangan. Namun demikian, tidak semua penumpang merupakan pihak yang berjanji, tetapi kadang-kadang sebagai penumpang gelap (penumpang yang tidak dilindungi dengan dokumen pengangkutan yang biasa disebut tiket). Biasanya memakai nama orang lain, sehingga orang tersebut tidak terdaftar dalam daftar penumpang (pax manifest). Perlindungan terhadap penumpang gelap, secara manusiawai adalah tepat, tetapi secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena penumpang gelap diancam dengan hukuman

12 berdasarkan Hukum Internasional. Kebijaksanaan yang tidak dilandasi dasar hukum hanya bersifat temporer dan sangat terpengaruh oleh para pimpinan pada saat tertentu saja Konsep International Civil Aviation Organization (ICAO) dalam Penerbangan Sipil Internasional Organisasi Penerbangan Sipil Internasional lahir pada 4 April 1947 pada saat 26 negara penanda tangan meratifikasi Konvensi Chicago Konvensi tersebut merupakan hasil Konferensi Penerbangan Sipil Internasional yang berlangsung di Chicago, Illinois, dari 1 November sampai 7 Desember Sebagaimana disebutkan diatas, konferensi dihadiri oleh 54 delegasi, delegasi dalam kapasitas pribadi, sisanya mewakili negara masing-masing untuk meletakkan dasar hukum penerbangan sipil internasional setelah berakhirnya Perang Dunia II. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional diatur dalam Bagian Kedua dari Pasal 44 sampai Pasal 66 Konvensi Chicago yang meliputi : 1. Struktur Organisasi Konvensi Chicago 1944 menciptakan organisasi yang diberi nama Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang terdiri atas Sidang Umum (General Assembly), Badan Harian (Council), dan badan-badan lainnya yang dianggap perlu seperti Komisi Navigasi Penerbangan (Air Navigation Commission), Komite Hukum (Legal Committee), Komite Angkutan Udara (Air Transport Committee). Tujuan utama Organisasi Penerbangan Sipil Internasional adalah : a. Mengembangkan prinsip-prinsip dasar teknik navigasi penerbangan internasional untuk meningkatkan pertumbuhan transportasi udara internasional yang dapat menjamin keselamatan dan ketertiban pertumbuhan penerbangan sipil internasional seluruh dunia; 9 K. Martono, 1987, Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Luar Angkasa, Alumni, Bandung, h. 123

13 b. Menggalakan seni dan desain pesawat udara untuk maksud damai; c. Meningkatkan pertumbuhan jalur-jalur penerbangan, bandar udara-bandar udara, fasilitas navigasi penerbangan internasional; d. Memenuhi kebutuhan keselamatan, keteraturan, kelancaran, efisiensi, dan angkutan udara yang ekonomis bagi masyarakat dunia; e. Mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat antar transportasi udara internasional; f. Menjamin bahwa hak-hak para negara anggota sepenuhnya dihormati dan setiap negara anggota memiliki kesempatan yang adil dan sama untuk mengoperasikan perusahaan penerbangan internasional; g. Mencegah tindakan diskriminasi antarnegara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional; h. Meningkatkan keselamatan penerbangan dalam penerbangan internasional dan meningkatkan semua aspek-aspek penerbangan internasional. 2. Sidang Umum (General Assembly) Sidang umum yang dihadiri oleh seluruh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasonal ini memiliki tugas dan wewenang memilih negara anggota untuk duduk di Dewan Harian. Pada prinsipnya, sidang umum (General Assembly) diselenggarakan oleh Badan Harian (Council) pada waktu dan tempat yang tepat dalam kurun waktu minimum sekali dalam tiga tahun, namun dapat dilangsungkan setiap saat oleh Badan Harian (Council) atau atas permohonan sepuluh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Organisasi tersebut. Sebelum dilangsungkan pemilihan ketua sidang umum, Presiden Harian bertindak sebagai ketua sidang sementara sampai saat ketua sidang umum terpilih; memilih negara anggota

14 untuk duduk dalam Badan Harian; memeriksa dan mengambil tindakan yang tepat terhadap laporan-laporan, dan memutuskan masalah-masalah yang diajukan oleh Badan Harian; membentuk dan menentukan tata cara pembentukan subkomisi-subkomisi yang dianggap perlu; memberi persetujuan atau penolakan anggaran belanja organisasi; mengevaluasi, dan menyetujui pengeluaran organisasi; mendelegasikan wewenang dan otoritas kepada Badan Harian tugas dan fungsi yang diperlukan untuk melaksanakan organisasi dan memodifikasi otoritas yang diberikan oleh organisasi; melakukan penyelenggaraan kerjasama internasional lainnya; mempertimbangkan usul-usul atau modifikasi atau amandemen ketentuan-ketentuan Konvensi Chicago 1944 dan, bilamana usul tersebut disetujui, merekomendasikan kepada para negara anggota sesuai dengan prosedur ratifikasi, penundukan diri, pengunduran diri, dan amandemen; dan masalah-masalah lain berkenaan dengan fungsi daan tugas otoritas. 3. Badan Harian (Council) Badan Harian merupakan badan tetap yang bertanggung jawab langsung kepada sidang umum. Badan Harian terdiri dari 36 negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang dipilih oleh sidang umum.badan Harian mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi mandatory dan fungsi permissive. Fungsi mandatory Badan Harian meliputi menyerahkan laporan kepada sidang umum, melaksanakan sidang umum dan tugas serta fungsi yang ditetapkan dalam Konvensi Chicago 1944; menentukan prosedur dan organisasinya; menunjuk dan menentukan tugas Komite Angkutan Udara yang dipilih dari wakil-wakil Badan Harian serta bertanggung jawab kepada Badan Harian; membentuk Komite Navigasi Penerbangan beserta tugas yang dibebankan; administrasi keuangan; menentukan honorarium Presiden Badan Harian; menunjuk petugas eksekutif yang akan diperbantukan pada Sekretaris Jendral dan membuat ketentuan-ketentuan

15 untuk penunjukan personel yang diperlukan; minta, mengumpulkan, memeriksa dan mempublikasikan informasi mengenai perkembangan navigasi penerbangan dan pelayanan transportasi udara internasional, termasuk informasi mengenai biaya operasi dan teutama subsidi yang harus dibayar oleh perusahaan penerbangan dari masyarakat; melaporkan kepada negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional setiap terjadinya pelanggaran Konvensi Chicago 1944, kegagalan mematuhi rekomendasi yang ditentukan oleh Badan Harian. Sebagaimana disebutkan diatas, di samping fungsi yang bersifat mandatory tersebut, terdapat fungsi yang bersifat permissive, yaitu bilamana perlu Badan Harian mendelegasikan kepada Komisi Navigasi Penerbangan tugas-tugas tambahan yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944; melakukan penelitian pada semua aspek transportasi udara dan navigasi penerbangan internasional yang sangat penting; menghubungi negara anggota dan tukar menukar informasi antarnegara anggota mengenai transportasi udara dan navigasi penerbangan internasional; studi setiap masalah yang berkaitan dengan organisasi dan operasi transportasi udara internasional pada rute utama dan menyerahkan kepada sidang umum yang direncanakan; investigasi, atas permintaan negara anggota, setiap situasi hambatan yang muncul dalam perkembanga navigasi penerbangan internasional serta isu-isu penting yang ada. a. Fungsi Legislatif Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai peran yang sangat penting dalam kapasitasnya sebagai badan pembuat peraturan penerbangan. Melalui Komite Hukum (Legal Committee), organisasi tersebut mempunyai tugas mempelajari dan menyiapkan konsep konvensi internasional yang kemudian diserahkan kepada sidang umum untuk memperoleh persetujuan. Berbagai naskah konsep yang konvensi internasional telah disiapkan Komite Hukum (Legal Committee) Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Konvensi tersebut antara lain Konvensi

16 Jenewa 1948 (Convention on the International Recognition of Rights in Aircraft), Konvensi Roma 1952 (Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on the Surface), dan lainnya. b. Fungsi Yudisial Organisasi Penerbangan Sipil Internasional di samping mempunyai fungsi legislasi juga mempunyai fungsi yudisial sebagaimana diatur dalam pasal 84 Konvensi Chicago Menurut pasal 84, bilamana terdapat perbedaan pendapat antara dua atau lebih negara anggota organisasi berkenaan dengan penafsiran atau berlakunya Konvensi Chicago 1944 beserta Annexes-nya yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan negosiasi, maka wajib, atas permintaan para pihak yang bersengketa, diselesaikan oleh Badan Harian. 4. Komisi Navigasi Penerbangan (Air Navigation Commission) Komisi Navigasi Penerbangan terdiri atas 15 anggota yang bertugas mempertimbangkan dan merekomendasikan kepada Badan Harian untuk pengesahan dan modifikasi Annexes; membentuk Sub Teknik Komisi Navigasi Penerbangan dapat mewakili setiap negara anggota, bilamana perlu, terwakili dalam Subkomisi Navigasi Penerbangan, memberi nasihat kepada Badan Harian mengenai pengumpulan dan komunikasi dengan para negara anggota semua informasi yang diperlukan dan sangat bermanfaat bagi perkembangan navigasi penerbangan. 5. Anggota Asli (Original Member) Keanggotaan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional terdiri atas tiga macam yaitu Anggota asli (original member), keanggotaan penerimaan berdasarkan penunundukan diri (adherence), dam penerimaan negara-negara lainnya. Keanggotaan asli dapat dilakukan oleh negara penanda tangan sebelum maupun sesudah konvensi berlaku dengan cara menyerahkan

17 instrumen ratifikasi kepada pemerintah Amerika Serikat yang akan memberitahukan kepada negara-negara yang meratifikasi dan pengikutan 6. Anggota Penerimaan Keanggotaan berdasarkan penundukan diri (adherence) diatur dalam pasal 92 tersebut semua negara anggota PBB atau anggota organisasi di bawah lingkungan PBB dan negaranegara netral Perang Dunia Kedua dapat mmenundukan diri (adhere). Instrument penundukan diri ditujukan kepada pemerintah Amerikan Serikat dan akan berlaku tiga puluh hari terhitung sejak instrument ratifikasi diterima yang juga akan diberitahukan kepada semua negara anggota. Selain keanggotaan berdasarkan ratifikasi dan adhere, keanggotan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga dapat dilakukan berdasarkan persetujuan dari organisasi perdamaian yang dibentuk dan memperoleh dukungan dari empat perlima sidang umum dan rekomendasi dari negara yang pada Perang Dunia Kedua diserang oleh negara yang mengajukan permohonan untuk menjadi anggota.

18

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL) DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

Lebih terperinci

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi

2 Ke Dan Dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.496, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara. Tidak Berjadwal. Pesawat Udara. Sipil Asing. NKRI. Kegiatan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 66 TAHUN 2015

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL A. Konvensi Konvensi Internasional Keamanan Penerbangan Sipil Kajian instrumen hukum internasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA A. Pengertian Penerbangan Sipil Internasional Dalam dunia penerbangan dikenal perbedaan antara pesawat udara sipil (civil aircraft) dengan pesawat udara negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara merupakan suatu pilihan yang tidak dapat dielakkan, Indonesia adalah negara yang terdiri atas

Lebih terperinci

2016, No udara niaga tidak berjadwal luar negeri dengan pesawat udara sipil asing ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu

2016, No udara niaga tidak berjadwal luar negeri dengan pesawat udara sipil asing ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1378, 2016 KEMENHUB. Pesawat Udara Sipil Asing. Angkutan Udara Bukan Niaga. Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III PROFIL PERUSAHAAN. Lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan.Melakukan

BAB III PROFIL PERUSAHAAN. Lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan.Melakukan 18 BAB III PROFIL PERUSAHAAN 3.1 Sejarah Perusahaan KNKT berdasarkan : Keputusan Presiden nomor 105 tahun 1999 Bab I Psl 1 ayat (1) Lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan.Melakukan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.741, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Stasiun Penerbangan. Sertifikasi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 59 TAHUN 2016 TENTANG SERTIFIKASI STASIUN PENERBANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga

BAB V PENUTUP. 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Implementasi Sistem Manajemen K3 pada PT.Merpati terbagi menjadi tiga aspek yaitu keselamatan penerbangan (safety), keselamatan gedung (security), dan total quality management

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014 Online di IMPLEMENTASI KONVENSI PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL DALAM PENGATURAN ASPEK KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENERBANGAN DI INDONESIA Daisy Puji Gayatri, Agus Pramono, Joko Setiyono Hukum Internasional, Fakultas

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN BANDAR UDARA ABDULRACHMAN SALEH MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 15/1992, PENERBANGAN *8176 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992) Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA) Sumber: LN 1992/53; TLN NO.

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTISI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Imigrasi telah dicabut dan diganti terakhir dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 41 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 41 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 41 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 25 TAHUN 2008 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Inspektur Penerbangan. Kewenangan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Inspektur Penerbangan. Kewenangan. Perubahan. No.777, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Inspektur Penerbangan. Kewenangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 98 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Adanya berita penembakan pada Airbus A-300 milik Iran Air yang telah diakui oleh Amerika Serikat menelan korban 290 orang tewas di teluk parsi hari minggu sore

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) 1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain

BAB I PENDAHULUAN. banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman yang disebut era globalisasi membuat semakin banyak orang yang melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang digemari dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat jika menggunakannya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan No.1155, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Prosedur Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Serius Pesawat Udara Sipil. Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 830. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM. 20 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 43 TAHUN 2005 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan No.1213, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Kegiatan Angkutan Udara Perintis dan Subsidi Angkutan Udara Kargo. Kriteria. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 79 TAHUN

Lebih terperinci

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 4

2015, No Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 75); 4 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1593 2015 KEMENHUB. Perawat Udara. Niaga. Armada. Peremajaan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 160 TAHUN 2015 TENTANG PEREMAJAAN ARMADA PESAWAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA. No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1834, 2015 KEMENKUMHAM. TPI. Masuk dan Keluar. Wilayah Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PROTOKOL RELATING TO AN AMENDMENT TO ARTICLE 56 OF THE CONVENTION ON INTERNATIONAL CIVIL AVIATION (PROTOKOL TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1 Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT Pasal 1 Maksud dari Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata adalah meneliti cara cara untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi hukum perdata pada Negara

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi Perkeretaapian UU No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN

NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4075); 3. Peraturan Pemerintah Nomor No.1212, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pelanggaran Bidang Penerbangan. Pengenaan Sanksi Administratif. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 78 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dari masa ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju dari masa ke masa membuat persaingan dalam dunia pekerjaan meningkat. Hal ini dikarenakan adanya globalisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci