HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN (BIG FIVE) DAN PERILAKU MEROKOK PADA DEWASA MUDA Deasy, S.Psi., Sandi Kartasamita, M.Psi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN (BIG FIVE) DAN PERILAKU MEROKOK PADA DEWASA MUDA Deasy, S.Psi., Sandi Kartasamita, M.Psi"

Transkripsi

1 HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN (BIG FIVE) DAN PERILAKU MEROKOK PADA DEWASA MUDA Deasy, S.Psi., Sandi Kartasamita, M.Psi Abstrak Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepribadian (Big Five Personality) dan perilaku merokok. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dimensi mana dari kelima dimensi Big Five Personality, yang memiliki hubungan terhadap perilaku merokok dewasa muda, dengan rentang usia 18 sampai 40 tahun. Penelitian menggunakan sampel sebanyak 191 orang, yang secara acak (random) diambil dari populasi. Dengan menggunakan perhitungan statistik analisis diskriminan, diperoleh hasil penelitian bahwa kepribadian berhubungan dengan perilaku merokok. Namun secara spesifik, terdapat hubungan yang signifikan antara kepribadian dengan perilaku merokok pada sub dimensi anxiety, p = 0,037 < 0,05. Terdapat hubungan yang signifikan antara kepribadian dengan perilaku merokok pada dewasa muda pada sub dimensi self-consciousness, p = 0,011 < 0,05. Kata Kunci: Kepribadian, Perilaku Merokok, Dewasa Muda. Pendahuluan Merokok adalah penyebab utama terbesar dari kematian (Taylor, 2003). Jika merokok dilihat dari berbagai segi, maka banyak memberi dampak yang merugikan, baik itu pada diri sendiri maupun pada lingkungan sekitarnya. Dilihat dari segi lingkungan sekitar, merokok dapat merugikan orang-orang yang berada di sekitar perokok. Wetherall (2006) mengatakan bahwa merokok pasif juga meningkatkan penyakit jantung, memperparah asma, dan merusak sirkulasi darah karena efek carbon monoksida (CO) yang masuk dalam tubuh. Di lingkungan rumah, istri yang bersuamikan perokok, akan menanggung risiko terkena kaanker paru-paru dua kali lipat. Orang yang menikah dengan seorang perokok berat, kemungkinan terserang penyakit paru-paru dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan orang yang menikah dengan bukan perokok. Meskipun banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari merokok, namun di Indonesia terjadi peningkatan jumlah perokok yang makin pesat. Menurut Mackay dan Eriksen (2002), berdasarkan jumlah pengkonsumsi rokok di dunia, terdapat 5 (lima) negara teratas yang mengkonsumsi rokok terbanyak, dan Indonesia menduduki peringkat ke-5. Urutan negara yang mengkonsumsi rokok terbanyak: (1) RRC, milyar batang; (2) USA, 451 milyar batang; (3) Jepang, 328 milyar batang; (4) Rusia, 258 milyar batang; dan (5) Indonesia, 215 milyar batang rokok. Jumlah rokok yang sangat banyak telah dikonsumsi rakyat bangsa Indonesia. Mackay dan Eriksen (2002) juga menjelaskan bahwa lebih dari 15 milyar batang rokok tiap harinya dikonsumsi para perokok di seluruh dunia. Sitepoe (2000) menjelaskan bahwa di Indonesia, alasan anak-anak berusia muda mulai merokok karena kemauan sendiri, melihat teman-temannya, dan diajari atau dipaksa merokok oleh temantemannya. Sitepoe menambahkan bahwa alasan utama seseorang merokok karena ingin menghilangkan 1

2 rasa jenuh, ketagihan, dan untuk menghilangkan stres. Mu tadin (2002) menjelaskan bahwa seseorang merokok karena beberapa faktor, yaitu pengaruh dari orangtua, teman, iklan, dan kepribadian. Mu tadin mengatakan bahwa faktor kepribadian mempengaruhi seseorang mencoba rokok karena rasa ingin tahu, ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, serta membebaskan diri dari kebosanan. Wood, Wood, dan Boyd (2005) menjelaskan bahwa teori kepribadian yang paling umum digunakan saat ini adalah teori Big Five Personality. Kepribadian dari Big Five Factors ini pada awalnya ditinjau oleh Goldberg (Gregory, 2004). Dimensi-dimensi dari Big Five adalah (a) neuroticism, (b) extraversion, (c) openness, (d) agreeableness, dan (e) conscientiousness. Gregory (2004) menyingkat kelima dimensi kepribadian dari Big Five ini dengan OCEAN. Ryckman (2004) menjelaskan bahwa masing-masing dimensi dari kepribadian ini mempunyai nilai positif dan negatif. Gregory (2004) menambahkan bahwa setiap dimensi dari kepribadian tersebut mempunyai 6 trait yang menjelaskan dimensi itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Terracciano dan Costa (2004) terhadap dewasa muda di Amerika, didapatkan bahwa perokok tetap memiliki skor yang lebih tinggi dibanding yang tidak pernah merokok pada dimensi neuroticism, dan skor rendah pada agreeableness dan conscientiousness. Terracciano dan Costa (2004) juga menambahkan dimensi neuroticism berhubungan dengan merokok terutama antar individu dengan conscientiousness yang rendah, sebagai indikasi adanya pengaruh interaksi antara dua faktor. Selain itu, dari hasil penelitian Terracciano dan Costa (2004) dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan pada extraversion dan openness to experience. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dari kelima dimensi Big Five Personality yang dapat menjelaskan ciri kepribadian perokok adalah dimensi neuroticism dan conscientiousness. Sub-dimensi pada neuroticism adalah emosi yang negatif, moody, lekas marah, gugup, dan mudah kuatir. Peneliti berasumsi bahwa individu pada dimensi neuroticism cenderung mudah stres sehingga mempunyai kemungkinan lebih banyak melakukan perilaku merokok. Asumsi kedua adalah perokok mempunyai kecenderungan rendah pada disiplin diri dan kurang mempunyai pertimbangan yang teliti mengenai konsekuensi dari tindakan mereka. Skor rendah pada dimensi conscientiousness adalah orang yang kurang mandiri, tidak terorganisir, impulsif, tidak dapat dipercaya, tidak bertanggung jawab, teledor, dan malas (Wood et al., 2005). Hal ini berhubungan dengan kepribadian perokok yang cenderung mempunyai prestasi akademik yang rendah (McKim, 2000). Tinjauan Teoritis Kepribadian Allport (dalam Suryabrata, 2003) mendefinisikan kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu atas sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Organisasi dinamik menekankan pada fakta bahwa kepribadian selalu berkembang dan berubah. Istilah psikofisis menunjukkan bahwa kepribadian terdiri bukan semata-mata mental dan bukan juga semata-mata neural. Istilah dari menentukan menjelaskan bahwa kepribadian terdiri dari kecenderungan yang memainkan peran aktif dalam tingkah laku individu. Dengan banyaknya definisi-definisi tentang kepribadian, Gregory (2000) mengatakan bahwa definisi kepribadian memiliki 2 (dua) hal penting. Pertama, setiap individu memiliki perbedaan-perbedaan 2

3 dalam hal-hal tertentu, seperti perbedaan tingkah laku. Kedua, setiap individu memiliki persamaanpersamaan yang konsisten, seperti persamaan traits dan pola perilaku yang sering muncul.. Coon (2004) mendefinisikan personality theory sebagai sistem dari suatu konsep, asumsi, ide, dan prinsip yang diusulkan untuk menjelaskan kepribadian. Coon (2004) menambahkan bahwa terdapat perspektif utama dari teori kepribadian, yaitu teori (a) trait, (b) psikodinamik, (c) behavioristik, (d) social learning, dan (e) humanistik. Teori trait menekankan pada traits apa yang membentuk kepribadian dan bagaimana mereka berhubungan dengan perilaku yang nyata. Teori psikodinamik berfokus pada kepribadian bagian dalam, khususnya konflik internal dan perjuangan. Teori behavioristik menekankan bahwa hal yang penting berada pada lingkungan eksternal dan mempengaruhi keadaan (conditioning) dan pembelajaran (learning). Teori humanistik menekankan pada privasi, pengalaman subyektif, dan perkembangan pribadi. Pada penelitian ini, peneliti akan lebih menekankan pada teori trait. Penelitian seputar kepribadian telah terjadi bertahun-tahun. Sampai pada tahun 1980-an, setelah ditemukan metode yang lebih canggih dan berkualitas, khususnya analisis faktor, maka terjadilah kesepakatan antar peneliti kepribadian yang menyatakan ada lima dimensi dasar yang dapat digunakan untuk menggambarkan perbedaan dalam kognitif, afektif, dan perilaku sosial (Nindyati, 2006). Goldberg (dikutip oleh Nindayati, 2006) mengatakan bahwa perkembangan di atas merupakan dasar untuk pengembangan kepribadian model lima faktor, yang kemudian model lima faktor ini dijadikan nama untuk menggambarkan kepribadian yang populer dengan sebutan Big Five Personality. Kepribadian Big Five Pola perilaku individu oleh De Raad (2000) dibedakan menjadi lima pola. Pola kepribadian ini disebut Big Five Factors yang pada awalnya ditinjau oleh Goldberg (Gregory, 2004). Dimensi dari Big Five ini: (a) openness (b) conscientiousness, (c) extraversion, (d) agreeableness, dan (e) neuroticism,. Gregory menyingkat kelima dimensi kepribadian dari Big Five ini dengan OCEAN. Ryckman (2004) menjelaskan bahwa masing-masing dimensi dari kepribadian ini mempunyai nilai positif dan negatif. Dimensi openness to experience. Dimensi kepribadian openness to experience ini terdapat 6 facet, yaitu (a) fantasy, (b) aesthetics, (c) feelings, (d) actions, (e) ideas, dan (f) values. Pervin dan John (1997) mengatakan bahwa skala trait openness memberikan penilaian proaktif, membutuhkan apresiasi terhadap pengalaman, mentoleransi dan mengeksplorasi sesuatu yang tidak dikenal. Skor yang tinggi pada openness adalah penasaran, menarik, kreatif, original, imaginatif, dan tidak tradisional; sedangkan skor yang rendah adalah konvensional, rendah hati, minat yang sempit, tidak artistik, dan tidak analitik. Wood et al., (2005) menambahkan bahwa orang yang berada dalam dimensi ini adalah orang yang mencari pengalaman yang berbeda dan orang yang imaginatif, intelektual, dan mempunyai pemikiran yang luas. Wood et al. menemukan bahwa orang yang tinggi pada openness to experience adalah kebutuhan untuk menjadi kreatif. Dimensi conscientiousness. Dimensi kepribadian conscientiousness ini terdapat 6 facet, yaitu (a) competence, (b) order, (c) dutifulness, (d) achievement striving, (e) self-discipline, dan (f) deliberation. Pervin dan John (1997) mengatakan bahwa skala trait conscientiousness memberikan penilaian tingkat 3

4 individu dalam organisasi secara terus menerus, dan motivasi dalam mencapai tingkah laku yang ingin dicapai secara langsung. Dimensi ini mempunyai perbedaan dengan orang yang bergantung pada orang lain, cerewet, lesu, dan tidak rapi. Wood et al., (2005) menjelaskan bahwa dimensi conscientiousness membedakan orang yang mandiri, terorganisir, dapat dipercaya, seksama, pekerja keras, dan tekun; dengan orang yang tidak mandiri, tidak terorganisir, impulsif, tidak dapat dipercaya, tidak bertanggung jawab, teledor, lalai, dan malas. Dimensi extraversion. Dimensi kepribadian Extraversion ini terdapat 6 facet, yaitu (a) warmth, (b) gregariousness, (c) assertiveness, (d) activity, (e) excitement seeking, dan (f) positive emotion. Pervin dan John (1997) mengatakan bahwa skala extraversion memberikan penilaian kuantitas dan intensitas terhadap pengaruh timbal balik antar perseorangan, tingkat aktivitas, keperluan stimulus, dan kapasitas untuk kesenangan. Skor yang tinggi pada extraversion adalah dapat bersosialisasi, aktif, talkative (cakap berbicara), berorientasi pada sesama, optimis, fun-loving, dan sikap afektif (penyayang); sedangkan skor yang rendah pada extraversion adalah sikap suka menyendiri, tenang, menyendiri, berorientasi pada tugas, malu-malu, dan sikap yang tidak gembira (Pervin & John, 1997; Wood et al., 2005). Dimensi agreeableness. Dimensi kepribadian agreeableness ini terdapat 6 facet, yaitu (a) trust, (b) straightforwardness, (c) altruism, (d) compliance, (e) modesty, dan (f) tender-mindedness. Pervin dan John (1997) mengatakan bahwa skala trait agreeableness memberikan penilaian kualitas terhadap suatu orientasi pengaruh timbal balik bersamaan dengan rangkaian kesatuan dari perasaan kasihan menjadi sebaliknya. Perasaan ini terjadi baik dalam pemikiran, perasaan, maupun tindakan. Orang mempunyai skor yang tinggi pada trait ini adalah orang yang penolong, pemaaf, lembut hati, karakter yang baik, dapat dipercaya, mudah dibujuk, dan bersikap terang-terangan. Skor yang rendah pada trait ini adalah kasar, mudah curiga, kurang dapat diajak bekerja sama, manipulatif, bersikap sinis, dan suka mencari masalah. Wood et al., (2005) menambahkan bahwa dimensi agreeableness terdiri dari kumpulan traits yang terbentang dari rasa kasihan sampai pada perasaan pertentangan (antagonis) terhadap orang lain. Orang dengan nilai yang tinggi pada dimensi ini adalah orang yang menyenangkan, baik hati, hangat, simpatik, kooperatif, sedangkan mereka yang rendah dalam dimensi ini adalah orang yang tidak bersahabat, tidak menyenangkan, agresif, argumentatif, dingin, terkadang bersifat bermusuhan, dan dendam. sifat-sifat tersebut berasal dari dalam diri sendiri (internal) dan bukan paksaan orang lain (eksternal). Dimensi neuroticism. Dimensi kepribadian neuroticism ini terdapat 6 facet, yaitu (a) anxiety, (b) angry hostility, (c) depression, (d) self-consciousness, (e) impulsiveness, dan (f) vulnerability to stres. Pervin dan John (1997) mengatakan bahwa dimensi neuroticism memberikan penilaian pada penyesuaian dibanding dengan ketidakstabilan emosi yang mengindikasikan kecenderungan pada penderitaan psikologis, ide-ide yang tidak realitis, keinginan-keinginan yang berlebihan, dan penyelesaian respon yang maladaptif. Skor yang tinggi pada neuroticism adalah khawatir, cemas, emosional, tidak 4

5 nyaman, perasaan kurang, dan rasa cemas yang berlebihan, sedangkan skor yang rendah pada neuroticism adalah tenang, rileks, tidak mudah emosi, tabah, rasa aman, dan rasa puas. Wood et al., (2005) menambahkan bahwa orang yang tinggi pada neuroticism cenderung tidak mempunyai stabilitas emosional. Mereka cenderung mengalami emosi yang negative, menjadi moody, lekas marah, gugup, dan mudah kuatir. Dimensi ini membedakan orang yang bersemangat, mudah mengatasi emosinya, dan cenderung tenang. Perilaku Merokok Merokok adalah perilaku yang sangat merugikan kesehatan tetapi perilaku ini terus dipertahankan oleh kebanyakan perokok. Sarafino (2002) menjelaskan bahwa seorang individu biasanya mulai mencoba untuk merokok pada saat remaja. Mereka akan menjadi perokok tetap bila mereka sudah menghisap rokok keempatnya (Laventhal & Cleary, dikutip oleh Sarafino, 2002). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa untuk menjadi perokok tetap seringkali membutuhkan waktu yang lama, kadang membutuhkan waktu sampai setahun atau lebih (Ary & Biglan, dikutip oleh Sarafino, 2002). Menurut Laventhal dan Cleary (dikutip oleh Brannon & Feist, 2000) terdapat beberapa tahapan seseorang menjadi perokok tetap. Pertama, tahap persiapan. Sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku, intensi tentang merokok, dan bayangan tentang seperti apa rokok itu. Kedua, tahap inisiasi (initiation). Reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk dan berkeringat. Namun demikian, hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok. Ketiga, tahap menjadi perokok. Tahap ini melibatkan suatu proses concept formation, yaitu seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok serta memasukkan aturan perokok ke dalam konsep dirinya. Terakhir, perokok tetap. Tahap ini terjadi saat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung, dan semakin mendorong perilaku merokok. Rokok Menurut Sitepoe (2000), rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, termasuk di dalamnya cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dan/atau tanpa bahan tambahan. Biasanya rokok berbentuk silinder yang panjangnya antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah ( Rokok, 2006). Rokok yang dihasilkan terdiri dari tembakau yang disusun kembali atau diparut dengan memproses beratus-ratus bahan kimia (Mackay & Eriksen, 2002). Rokok digunakan dengan cara membakar salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain ( Rokok, 2006). Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik dengan menggunakan rokok maupun pipa (Sitepoe, 2000). Jadi, merokok dapat diartikan membakar tembakau dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut, baik dengan menggunakan rokok maupun pipa. 5

6 Asap rokok yang dihisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang terhembus ke udara oleh perokok disebut sidestream smoke yang mengakibatkan orang menjadi perokok pasif. Asap rokok yang dihisap mengandung 4000 jenis bahan kimia dengan berbagai daya kerja terhadap tubuh. Asap rokok terdiri dari bahan kimia dan 200 bahan kimia diantaranya bersifat racun (Jamal, 2006). Racun yang terdapat di dalam asap rokok antara lain karbon monoksida (CO) dan polycyclic aromatic hydrocarbon yang mengandung zat-zat pemicu terjadinya kanker (seperti tar, benzopyrenes, vinyl chlorida, dan nitroso-nor-nicotine). Di samping itu, nikotin dapat menimbulkan ketagihan, baik pada perokok aktif maupun perokok pasif. Para perokok aktif dan pasif berisiko terkena batuk dengan sesak nafas 6,5 kali dibanding bukan perokok. Meskipun, industri rokok selalu berusaha menyangkal bukti-bukti epidemiologis tentang dampak merokok ini pada kesehatan manusia. Sarafino (2002) mendefinisikan nikotin sebagai zat aktif dalam rokok yang dapat meningkatkan energi dan kewaspadaan perokok, memberi kenikmatan, dan pengalaman. Nikotin juga merangsang neurotransmitter yang memiliki efek memberikan rasa tenang atau mengurangi rasa sedih. Nikotin merupakan alkaloid yang bersifat stimulan dan pada dosis tinggi beracun (Jamal, 2006). Zat ini hanya terdapat dalam tembakau, sangat adiktif, dan mempengaruhi otak atau susunan saraf. Dalam jangka panjang, nikotin akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan, sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang semakin tinggi untuk mencapai tingkat kepuasan dan ketagihannya. Sifat nikotin yang adiktif ini dibuktikan dengan adanya jurang antara jumlah perokok yang ingin berhenti merokok dan jumlah yang berhasil berhenti. Survei pada anak-anak sekolah usia tahun di Jakarta menunjukkan bahwa lebih dari 20% adalah perokok tetap dan 80% diantaranya ingin berhenti merokok tetapi tidak berhasil (Jamal, 2006). Tipe Perokok Berdasarkan intensitasnya, terdapat tiga tipe perokok (Sitepoe, 2000): (a) perokok ringan, yaitu perokok yang mengkonsumsi rokok 1-10 batang per hari; (b) perokok sedang, yaitu perokok yang mengkonsumsi rokok batang per hari; dan (c) perokok berat, yaitu perokok yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang per harinya. Tomkins (dikutip oleh Brannon & Feist, 2000) menjelaskan terdapat empat tipe perilaku merokok, yaitu (a) positive affect, (b) negative affect, (c) addictive, dan (d) habitual atau kebiasaan. Pertama, tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif, yaitu dengan merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang positif. Kedua, perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya ketika ia marah, cemas, dan gelisah, maka rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok jika perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak. Selain itu, ada tipe perilaku merokok lain, yaitu perilaku merokok yang adiktif. Mereka yang sudah adiksi akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya 6

7 berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah untuk membeli rokok, walau tengah malam sekalipun, karena ia khawatir jika rokok tidak tersedia setiap saat ia menginginkannya. Terakhir, perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok bukan untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi rutinitas dan/atau kebiasaan. Dengan kata lain, orang-orang pada tipe ini menganggap bahwa merokok sudah merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis. Seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari, mereka menjadi pecandu rokok. Alasan dan Penyebab Seseorang Merokok Conrad dan Miller (dikutip oleh Sitepoe, 2000) menyatakan bahwa seseorang akan menjadi perokok melalui dorongan psikologis dan dorongan fisiologis. Dorongan psikologis, seperti menganggap perilaku merokok sebagai rangsangan seksual, ritual, mengalihkan kecemasan, menunjukkan kejantanan, serta kedewasaan. Dorongan fisiologis, seperti adanya efek nikotin yang dapat menyebabkan ketagihan sehingga seseorang ingin terus merokok. Laventhal dan Cleary (dikutip oleh Brannon & Feist, 2000) mengajukan hipotesis bahwa anak muda mungkin mulai merokok pada satu atau tiga alasan berbeda, yaitu mengontrol ketegangan, pemberontakan, atau tekanan sosial. Banyak anak muda yang mulai merokok karena rokok diasosiasikan dengan gambaran dari sikap memberontok dan kemandirian. Hipotesis lain mengenai alasan mulai merokok adalah tekanan sosial. Beberapa anak muda sangat sensitif terhadap tekanan sosial dan akan mulai merokok jika mereka mempunyai teman yang merokok. Keberadaan teman sebaya yang merokok merupakan prediktor yang kuat terhadap perilaku merokok. Tomkins (dikutip oleh Sarafino, 2002) mengungkapkan terdapat empat alasan psikologis mengenai keputusan seseorang untuk tetap merokok. Pertama untuk mendapatkan efek positif karena merokok adalah stimulasi, relaksasi, serta kesenangan. Kedua, untuk mengurangi efek negatif, yaitu untuk menghindari, kecemasan serta ketegangan. Ketiga adalah kebiasaan yang secara otomatis dilakukan tanpa kesadaran, dan keempat adalah dengan adanya ketergantungan psikologis pada rokok untuk mengatur keadaan emosional negatif dan positif. Taylor (2003) menjelaskan bahwa seseorang akan mulai merokok pada usia remaja jika orangtuanya juga merokok, mereka berada dalam kelas yang rendah, dan jika mereka mengalami tekanan sosial. Prince (dikutip oleh Rice, 1999) menjelaskan bahwa beberapa remaja memulai kegiatan merokok karena adanya tekanan dari teman sebaya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Stanton dan Silva pada tahun 1992 (dikutip oleh Rice, 1999) membuktikan bahwa bahkan orangtua yang tidak merokok, keberadaan teman mempunyai pengaruh yang besar pada awal keremajaan anak untuk merokok. Kepribadian dan Perilaku Merokok Partodiharjo (2006) menjelaskan terdapat beberapa ciri orang yang mempunyai kemungkinan besar mengalami gangguan penggunaan zat: (a) sifat mudah kecewa dan kecenderungan menjadi agresif dan destruktif; (b) perasaan rendah diri (low self-esteem); (c) tidak dapat menunggu atau bersabar 7

8 yang berlebihan; (d) suka mencari sensasi, melakukan hal-hal yang mengandung risiko berbahaya yang berlebihan; (d) cepat menjadi bosan dan merasa tertekan, murung dan merasa tidak sanggup berfungsi dalam kehidupan sehari-hari; (e) mengalami hambatan atau penyimpangan psikoseksual dengan akibat kegagalan membentuk identifikasi seksual yang memadai; (f) keterbelakangan mental (retardasi mental) terutama yang tergolong pada taraf perbatasan; (g) kurangnya motivasi atau dorongan untuk mencapai suatu keberhasilan dalam pendidikan atau pekerjaan atau dalam lapangan kegiatan lainnya; (h) prestasi belajar menunjukkan hasil yang cenderung rendah; (i) kurang berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler; dan (j) cenderung memiliki gangguan jiwa seperti kecemasan, obsesi, apatis, menarik diri dalam pergaulan, depresi, kurang mampu menghadapi stres atau sebaliknya hiperaktif. Selain itu didapatkan juga adanya perilaku yang menyimpang, seperti hubungan seksual pada usia dini, putus sekolah, perilaku anti sosial pada usia sangat dini, seperti tindakan kekerasan, mencuri, agresifitas, berbohong, dan kenakalan remaja lainnya (Partodiharjo, 2006). Remaja yang mempunyai kecenderungan untuk terjurumus dalam narkoba juga mempunyai perilaku sebagai berikut: (a) suka tidur pada malam hari atau tidur larut malam, (b) kurang suka berolahraga, (c) cenderung makan berlebihan, (d) suka melancarkan protes sosial, (e) mempunyai persepsi bahwa hubungan dalam keluarga kurang dekat walaupun seringkali kenyataannya tidak demikian, (f) adanya anggota keluarga lain yang tergolong peminum alkohol yang berat atau pemakai obat yang secara berlebihan, (g) berteman dengan orang yang tergolong peminum berat atau pemakai obat yang berlebihan, (h) sudah mulai merokok pada usia yang lebih dini daripada rata-rata perokok lainnya, dan (i) kehidupan keluarga atau dirinya kurang religius. McKim (2000) menambahkan bahwa perokok akan lebih mudah menggunakan obat-obatan, seperti kafein dan terutama alkohol dibandingkan dengan mereka yang bukan perokok. Perokok lebih mudah mengganti pekerjaan mereka, cepat memutuskan untuk menikah dan kemudia bercerai, lebih sering mengalami kecelakaan lalu lintas, lebih pemberontak, pendidikan akademik yang rendah, dan lebih aktif secara seksual dibandingkan dengan mereka yang bukan perokok. Peran Kepribadian Big Five dan Perilaku Merokok Kepribadian dengan pendekatan Big Five memiliki lima dimensi yang berbeda-beda dan tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, perannya dalam perilaku merokok akan menunjukkan peran yang berbeda juga, sesuai dengan karakteristik yang berlaku. Sebuah laporan tentang kepribadian adiktif oleh The National Academy of Sciences (dikutip oleh Penanggulangan bahaya Narkoba, 2001) menyimpulkan bahwa tidak ada kesatuan kepribadian tunggal yang unik yang menjadi kondisi yang diperlukan dan mencukupi untuk penggunaan zat. Dengan kata lain, sulit untuk mengatakan ada kepribadian adiktif secara khusus. Sebaliknya dapat ditentukan adalah kecenderungan penyalahgunaan zat. Pada umumnya para ahli melihat kecenderungan ini berdasarkan hasil-hasil evaluasi psikologis, inventori-inventori maupun observasi. Melalui Five Factor Model dari Costa dan McCrae maupun Eysenck s P-E-N Model, didapatkan suatu gambaran umum skor penyalahguna zat, yaitu: (a) tinggi pada dimensi Neuroticism dan Openness to experience; dan (b) rendah pada dimensi Extraversion dan Conscientiousness. Neuroticism yang 8

9 dimaksud di sini adalah stabilitas emosional, yaitu apabila orang yang bersangkutan menunjukkan skor yang tinggi pada aspek ini menandakan kecenderungan ketidakstabilan yang kuat.extraversion yang dimaksud di sini adalah kecenderungan socially outgoing. Skor yang rendah pada dimensi ini untuk penyalahguna zat adalah kecenderungan untuk lebih banyak menarik diri dari situasi-situasi sosial. Hal ini terjadi karena para penyalahguna memiliki subculture sendiri yang memungkinkannya untuk mendapatkan interaksi sosial. Openness yang dimaksud adalah faktor kepribadian yang mengarah pada originality, kreativitas, independensi, dan senang tantangan. Sementara skor yang tinggi pada dimensi ini untuk penyalahguna zat lebih berarti sebagai senang mencari sensasi dan keberanian mengambil risiko tanpa perhitungan yang matang. Conscientiousness yang dimaksud adalah kepribadian yang goal-oriented, dan kerja keras. Skor rendah untuk dimensi ini bagi penyalahguna zat berarti segala tindakannya kecenderungan tidak memiliki tujuan pasti, dan sangat tidak tahan pada proses tindakannya. Dewasa Muda Secara fisik, dewasa muda menampilkan profil yang sempurna yang dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak. Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan terlihat inisiatif, kreatif, energik, cepat, dan proaktif (Dariyo, 2004). Menurut Santrock (1998), dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik, transisi secara intelektual, maupun transisi peran sosial. Pertama, transisi fisik. Pada tahap ini, seorang individu tidak lagi disebut masa tanggung, namun sudah tergolong menjadi pribadi yang benar-benar dewasa. Penampilan fisik yang sudah benar-benar matang, sehingga siap melakukan tugas-tugas seperti bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Ia dapat bertindak secara bertangung jawab untuk dirinya ataupun orang lain (termasuk keluarganya). Kedua, transisi intelektual. Menurut Piaget (dikutip dalam Papalia et al., 1998), kapasitas kognitif dewasa muda sudah memasuki masa operational formal, atau bahkan kadang-kadang mencapai postoperasional formal. Dengan adanya kemampuan kognitif ini, maka dewasa muda mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir, abstrak, logis, dan rasional. Dari sisi intelektual, sebagian besar mereka telah lulus dari SMU dan masuk ke perguruan tinggi (universitas/akademi). Kemudian setelah lulus tingkat universitas, mereka mengembangkan karier untuk mencapai puncak prestasi. Transisis peran sosial. Pada masa ini, mereka akan menindaklanjuti hubungan dengan pasangannya (dating), untuk segera menikah agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga yang baru, yakni terpisah dari kedua orangtuanya. Di dalam kehidupan rumah tangga, baik lakilaki maupun perempuan memerankan peran ganda, yaitu sebagai individu yang bekerja, sebagai ayah atau ibu bagi anak-anaknya, sebagai suami atau istri, dan peran sosial lainnya. Kepribadian Dewasa Muda 9

10 Menurut Levinson (dikutip oleh Papalia et al., 1998), struktur kehidupan adalah pola-pola sifat, karakter, sikap, nilai, dan cita-cita yang terbentuk dalam diri individu sepanjang perjalanan hidupnya. Pola tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman interaksi antara individu dan lingkungan sosial. Dengan adanya berbagai interaksi, maka dalam jiwa individu terbentuk berbagai pengalaman-pengalaman yang mampu membangun dan mengembangkan pola kepribadiannya. Tiap individu akan melewati proses transisi kehidupan. Levinson (dikutip dalam Papalia et al., 1998) membagikan masa dewasa ke dalam tiga tahap, yaitu: (a) dewasa muda, pada usia 17 tahun sampai 45 tahun; (b) dewasa menengah, pada usia 40 tahun sampai 65 tahun); dan (c) dewasa akhir, pada usia 60 tahun ke atas. Pada setiap fase transisi, Levinson memberikan waktu lima tahun yang saling tumpang tindih (overlap). Hal ini dikarenakan waktu yang dibutuhkan oleh setiap individu untuk berhasil melewati fase transisi berbeda-beda. Kecepatan dan kekuatan individu untuk melewati fase transisi tergantung pada faktor biologis, psikologis, dan lingkungan sosial dari individu itu sendiri. Levinson (dikutip oleh Papalia et al., 1998) membagi dua fase transisi kehidupan pada dewasa muda, yaitu: (a) fase memasuki dewasa muda awal (usia tahun); dan (b) fase puncak dewasa awal (usia tahun). Pertama, fase memasuki dewasa awal (17-33 tahun). Fase ini terdiri dari tiga tahap, yaitu transisi dewasa muda tahun), memasuki struktur kehidupan dewasa awal (22-28 tahun), dan usia transisi 30-an (28-33 tahun). Pada masa transisi dewasa muda (17-22 tahun), individu masih berada pada masa remaja. Secara fisik, bentuk tubuhnya tampak seperti orang dewasa pada umumnya, tetapi secara mental individu masih belum memiliki tanggung jawab penuh karena masih hidup bergantung secara ekonomi dari orangtuanya. Namun demikian, ada hasrat untuk menjadi mandiri dan lepas dari bantuan orangtua. Untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut, maka individu mempersiapkan dirinya dengan cara menimba ilmu dan keahlian melalui pendidikan formal maupun non-formal. Pada tahap memasuki struktur kehidupan dewasa (22-28 tahun), umumnya individu telah menyelesaikan pendidikan formal. Untuk masyarakat yang maju wawasannya, mereka telah menempuh pendidikan menengah (SMU) dan universitas. Pada tahap transisi 30-an (28-33 tahun), secara prinsip sama dengan masa sebelumnya, yaitu individu masih tetap membangun karier pekerjaan dan membentuk kehidupan keluarga, serta berkarya untuk membangun struktur kehidupan berikutnya. Akhir dari periode ini, individu menggunakan waktunya untuk lebih mandiri, dengan cara menciptakan autonomi dan mereduksi ketergantungannya kepada orang lain yang posisinya lebih tinggi, misalnya orangtuanya, mentornya, dan/atau institusi tertentu (Santrock, 1998). Kedua, fase puncak dewasa awal (usia tahun). Fase ini dibagi ke dalam 2 tahap, yaitu (a) tahap puncak kehidupan dewasa awal (usia 33-40), dan (b) tahap transisi dewasa menengah (midlife transition, usia tahun). Pada tahap puncak kehidupan dewasa awal (usia tahun), individu merasa mantap atau memantapkan diri untuk pilihan pekerjaannya saat ini. Karena menanggung kehidupan keluarga, individu memperkuat komitmen untuk membangun karier pekerjaan. Individu juga 10

11 membentuk kehidupan pribadi yang bertanggung jawab sesuai harapan dan cita-cita masyarakat bangsa. Pada tahap ini individu juga mewujudkan aspirasi dan cita-cita yang tertanam sejak masa mudanya dulu. Pada tahap transisi dewasa menengah (midlife transtition, usia tahun), individu telah menempuh perjalanan hidup yang panjang, di antaranya: (a) meniti karier pekerjaan sampai mencapai posisi penting sebagai ahli atau pimpinan (kepala, manajer, direktur); (b) membangun kehidupan rumah tangga yang ditandai dengan kehadiran anak-anak. Dengan adanya pencapaian itu, individu mulai menilai kembali struktur kehidupan tersebut dan mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa menengah (Papalia et al., 1998). Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah perokok dewasa muda,usia 18 hingga 40 tahun. Pendidikan minimal SMU dan/atau sederajat. Penelitian ini menggunakan non-probability sampling, dengan teknik purposive sampling. Gambaran umum mengenai subyek penelitian dapat dilihat dari 8 kategori. Kategori tersebut adalah (a) usia, (b) jenis kelamin, (c) pendidikan, (d) pengeluaran per hari, (e) pekerjaan, (f) kondisi tempat tinggal, (g) kondisi ayah kandung, dan (h) kondisi ibu kandung. Gambaran Subyek Berdasarkan Usia Usia Frekuensi Persentase Total Gambaran Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi Persentase Laki-laki Perempuan Total Gambaran Subyek Berdasarkan Pendidikan Pendidikan Frekuensi Persentase Tamat SMA Tamat Diploma 4 2 S Tamat S Total

12 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif noneksperimental. Penelitian kuantitatif non-eksperimental ini digunakan dengan maksud disesuaikan dengan sasaran untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara kepribadian dan perilaku merokok pada dewasa muda. Berdasarkan rumusan di atas, dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang digunakan, yaitu variabel kepribadian dan variabel perilaku merokok. Setting Penelitian Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 23 hari, yaitu tertanggal 17-9 Oktober Pengambilan data dilakukan di beberapa tempat di Jakarta. Peneliti menggunakan beberapa tempat untuk melakukan pengumpulan data, yaitu: (a) Universitas Tarumanagara, (b) Universitas Atma Jaya, (c) IBII, (d) Mal Ambasador, (e) Food Court Plaza Semanggi, (f) salah satu perusahaan di Cilincing, (g) Bank Permata cabang Pecenongan, (h) Foodcourt Golden Truly, (i) salah satu sekolah di Pluit, dan beberapa tempat lainnya yang berada di daerah Jakarta. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari sejumlah butir pernyataan. Kuesioner pertama bertujuan untuk mengukur tingkat perilaku merokok pada dewasa muda. Kuesioner kedua bertujuan untuk mengukur kepribadian, dan alat ukur yang digunakan adalah NEO PI-R milik Lembaga Riset dan Pengukuran Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, yang terdiri dari 248 butir pernyataan. Instrumen penelitian yang peneliti berikan terdiri dari beberapa bagian. Bagian pertama, pengantar. Pada bagian ini penulis menjelaskan mengenai tujuan penelitian, keterangan bahwa identitas dirahasiakan, dan terakhir, ucapan terimakasih atas kesediaan subyek untuk dilibatkan dalam penelitian. Bagian kedua, surat persetujuan. Surat persetujuan ini dimaksudkan untuk menyatakan kesediaan subyek untuk dilibatkan dalam penelitian. Bagian ketiga adalah data kontrol yang terdiri dari nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, pendapatan per hari, tinggi dan berat badan, dan data lainnya. Bagian terakhir adalah alat ukur perilaku merokok dan kepribadian. Pengukuran Variabel Perilaku Merokok Pengukuran variabel pada perilaku merokok adalah dengan mengetahui intensitas rokok yang dikonsumsi oleh subyek. Selain itu, dalam pengukuran variabel perilaku merokok ini juga diberikan pertanyaan mengenai sejak usia berapa subyek mulai merokok, berapa banyak rokok yang dihisap setiap harinya, jenis rokok yang digunakan oleh subyek, dan beberapa pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan perilaku merokok. Berdasarkan intensitasnya, perokok dapat dibedakan dalam 3 tipe (Sitepoe, 2000): (a) perokok ringan, yaitu perokok yang mengkonsumsi rokok 1-10 batang per hari; (b) perokok sedang, yaitu perokok yang mengkonsumsi rokok batang per hari; dan (c) perokok berat, yaitu perokok yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang per harinya. Dengan pengertian di atas, maka definisi 12

13 operasional dari perilaku merokok adalah makin banyak rokok yang dihisap oleh seseorang, maka makin tinggi pula perilaku merokok yang ditunjukkannya. Pengukuran Variabel Kepribadian Pengukuran variabel kepribadian menggunakan alat ukur kepribadian Big Five milik Lembaga Riset Penelitian dan Pengukuran Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Alat ukur kepribadian Big Five ini terdiri dari 5 dimensi, yaitu openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism. Tiap dimensi ini terdapat enam sub-dimensi. Pada dimensi openness, sub-dimensinya terdiri dari (a) fantasy, (b) aesthetics, (c) feelings, (d) actions, (e) ideas, dan (f) values. Sub-dimensi pada dimensi conscientiousness adalah (a) competence, (b) order, (c) dutifulness, (d) achievement striving, (e) self discipline, dan (f) delibration. Sub-dimensi pada dimensi extraversion adalah (a) warmth, (b) gregariousness, (c) assertiveness, (d) activity, (e) excitement seeking, dan (f) positive emotion. Subdimensi pada dimensi agreeableness adalah (a) trust, (b) straightforwardness, (c) altruism, (d) compliance, (e) modesty, dan (f) tender mindedness. Sub-dimensi pada dimensi neuroticism (a) anxiety, (b) angry hostility, (c) depression, (d) self consciousness, (e) impulsiveness, dan (f) vulnerability. Total seluruh item yang terdapat pada kepribadian Big Five ini adalah sebanyak 248 item. Koefisien Reliabilitas Internal Pengukuran Kepribadian Sub dimensi Sub dimensi No. Kepribadian α No. Kepribadian α 1 Fantasy 0, Activity 0,444 2 Aesthetics 0, Excitement seeking 0,465 3 Feelings 0, Positive emotion 0,716 4 Actions 0, Trust 0,528 5 Ideas 0, Straightforwardness 0,451 6 Values 0, Altruism 0,484 7 Competence 0, Compliance 0,473 8 Order 0, Modesty 0,447 9 Dutifullness 0, Tender Mindedness 0, Achivement Striving 0, Anxiety 0, Self discipline 0, Angry Hostility 0, Deliberation 0, Depression 0, Warmth 0, Self Consciousness 0, Gregoriousness 0, Impulsiveness 0, Assertiveness 0, Vulnerability 0,631 13

14 Hasil penelitian Gambaran Kepribadian Dimensi Openness Sub-dimensi Min. Max. Mean SD Sig. (2 tailed) Keterangan Fantasy 2,13 4,00 3,15 0,35 0,00 Tinggi Aesthetics 1,63 4,88 3,28 0,54 0,00 Tinggi Feelings 2,13 4,38 3,31 0,38 0,00 Tinggi Actions 1,63 4,13 3,03 0,40 0,25 Cukup Ideas 2,25 8,00 3,39 0,59 0,00 Tinggi Values 2,13 4,25 3,04 0,37 0,11 Cukup Gambaran Kepribadian Dimensi Conscientiousness Sub-dimensi Min. Max. Mean SD Sig. (2 tailed) Keterangan Competence 1,50 5,00 3,24 0,47 0,00 Tinggi Order 2,13 4,50 3,10 0,44 0,00 Cukup Dutifullness 2,00 5,00 3,37 0,47 0,00 Tinggi Achievement 2,25 4,88 3,39 0,46 0,00 Tinggi Self-Discipline 1,00 4,38 2,85 0,54 0,00 Cukup Deliberation 2,13 4,25 3,38 0,45 0,00 Tinggi Gambaran Kepribadian Dimensi Extraversion Sub-dimensi Min Max Mean SD Sig. (2 tailed) Keterangan Warmth 2,00 5,00 3,58 0,42 0,00 Tinggi Gregariousness 1,88 4,75 3,24 0,50 0,00 Tinggi Assertiveness 1,88 4,38 3,05 0,46 0,15 Cukup Activity 2,13 4,38 3,16 0,40 0,00 Cukup Excitement Seeking 2,38 5,00 3,59 0,47 0,00 Tinggi Positive Emotion 2,25 5,00 3,64 0,57 0,00 Tinggi 14

15 Gambaran Kepribadian Dimensi Agreeableness Sub-dimensi Min. Max. Mean SD Sig. (2 tailed) Keterangan Trust 1,88 4,88 3,30 0,46 0,00 Tinggi Straighforwardness 2,25 5,00 3,33 0,46 0,00 Tinggi Altruism 2,38 4,63 3,51 0,43 0,00 Tinggi Compliance 1,13 4,13 2,79 0,44 0,00 Rendah Modesty 1,50 4,50 3,11 0,46 0,00 Cukup Tender-Mindedness 2,38 4,63 3,58 0,45 0,00 Tinggi Gambaran Kepribadian Dimensi Neuroticism Sub-dimensi Min. Maks. Mean SD Sig. (2 tailed) Keterangan Anxiety 1,88 4,88 3,24 0,52 0,00 Tinggi Angry Hostility 1,50 4,88 3,15 0,55 0,00 Cukup Depression 1,50 4,88 3,18 0,56 0,00 Tinggi Self-Consciousness 2,13 5,38 3,16 0,44 0,00 Cukup Impulsiveness 1,75 4,50 2,98 0,47 0,59 Cukup Vulnerability 1,38 4,13 2,74 0,51 0,00 Rendah Uji Hubungan Aspek-aspek Kepribadian terhadap Perilaku Merokok Berdasarkan analisis diskriminan, maka hasil yang diperoleh adalah terdapat 2 sub-dimensi yang mempunyai hubungan dengan perilaku merokok, yaitu yang berasal dari dimensi neuroticism: (a) pada sub-dimensi anxiety, dan (b) pada sub-dimensi self-consciousness. Sub-dimensi anxiety diketahui mempunyai hubungan dengan perilaku merokok, dengan nilai p = 0,037 < 0,05. Secara keseluruhan, subyek memiliki skor sub dimensi anxiety yang tinggi, yaitu dengan rata-rata 3,24. Jadi, subyek cenderung merasa cemas dan khawatir terhadap masa depan dan kemungkinan yang akan terjadi. Namun jika dilihat dari perbandingan antara subyek yang merokok 1-10 batang per hari (perokok ringan), subyek yang merokok batang per hari (perokok sedang), dan subyek yang merokok lebih dari 20 batang per hari (perokok berat), maka diketahui bahwa perokok berat mempunyai skor anxiety yang lebih rendah dibandingkan perokok ringan dan perokok sedang. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat bahwa pada sub-dimensi anxiety (N1), perokok yang merokok 1-10 batang/hari mempunyai rata-rata 3,2662; perokok yang merokok batang/hari mempunyai ratarata 3,2917; dan perokok yang merokok lebih dari 20 batang/hari mempunyai rata-rata 2,9844. Rata-rata terendah (2,9844) pada sub-dimensi anxiety terdapat pada berat, dan rata-rata tertinggi (3,2917) pada 15

16 sub-dimensi anxiety terdapat pada perokok sedang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak rokok yang dikonsumsi, maka semakin perokok itu kurang mempunyai kecenderungan pada sub-dimensi anxiety. Jadi, semakin perokok itu termasuk dalam perokok berat, (merokok lebih dari 20 batang per hari), maka semakin subyek kurang merasa cemas dan khawatir terhadap masa depan dan kemungkinan yang akan terjadi. Gambaran Nilai Rata-Rata pada tiap Sub-dimensi Kepribadian dan Banyak Rokok yang Dikonsumsi Banyak_Rokok_ batang batang! 20 batang Total O1_Fantasy 3,1573 3,1569 3,1302 3,1538 O2_Aesthetics 3,2953 3,2113 3,3490 3,2796 O3_Feelings 3,2963 3,4020 3,2135 3,3141 O4_Actions 3,0197 3,0343 3,0990 3,0336 O5_Ideas 3,3847 3,3529 3,5000 3,3907 O6_Values 3,0528 3,0711 2,9375 3,0432 C1_Competence 3,1821 3,3382 3,3125 3,2402 C2_Order 3,1056 3,1029 3,0677 3,1001 C3_Dutifulness/Obedient 3,3459 3,4338 3,3750 3,3730 C4_Achievement Striving 3,3685 3,4069 3,4271 3,3861 C5_Self-Discipline 2,8416 2,8260 2,9427 2,8501 C6_Deliberation 3,3728 3,3456 3,4844 3,3796 E1_Warmth 3,5787 3,5760 3,6042 3,5812 E2_Gregariousness 3,2563 3,2279 3,1667 3,2375 E3_Assertiveness 3,0086 3,0735 3,1823 3,0478 E4_Activity 3,1444 3,1544 3,2396 3,1590 E5_Excitement-Seeking 3,6142 3,5686 3,4792 3,5851 E6_Positive Emotion 3,6476 3,6446 3,5990 3,6407 A1_Trust 3,2780 3,2770 3,4531 3,2997 A2_Straighforwardness 3,3168 3,3333 3,3594 3,3266 A3_Altruism 3,4860 3,5760 3,4531 3,5059 A4_Compliance/conform 2,7985 2,8235 2,6510 2,7866 A5_Modesty 3,1099 3,1201 3,0938 3,1106 A6_Tender-Mindedness 3,5722 3,6740 3,4427 3,5831 N1_Anxiety 3,2662 3,2917 2,9844 3,2376 N2_Angry Hostility 3,1379 3,1985 3,1051 3,1500 N3_Depression 3,2128 3,2108 2,9688 3,1816 N4_Self-Consciousness 3,2349 3,0662 3,0000 3,1603 N5_Impulsiveness 2,9945 2,9485 2,9896 2,9816 N6_Vulnerability 2,7800 2,7083 2,5781 2,7355 Selain itu, pada dimensi neuroticism, diketahui juga bahwa sub dimensi self-consciousness terdapat hubungan dengan perilaku merokok, dengan nilai p = 0,011 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa sub dimensi self-consciousness berhubungan dengan perilaku merokok pada dewasa muda. Secara keseluruhan, subyek memiliki skor yang cukup tinggi pada sub dimensi self-consciousness. Hal ini berarti subyek cenderung cukup segan terhadap orang lain yang posisinya lebih tinggi darinya, serta cukup takut berbuat kesalahan yang mengecewakan orang lain. 16

17 Jika dilakukan perbandingan antara perokok ringan, perokok sedang, dan perokok berat, maka pada tabel 16, dapat dilihat bahwa pada sub-dimensi self-consciousness (N4), perokok ringan mempunyai mean 3,2349; perokok sedang mempunyai mean 3,0662; dan perokok berat mempunyai mean 3,0000. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak rokok yang dikonsumsi, maka semakin perokok itu kurang mempunyai kecenderung pada sub-dimensi self-consciousness. Artinya, semakin banyak rokok yang dikonsumsi, maka semakin orang itu tidak segan terhadap orang lain yang posisinya lebih tinggi darinya, serta tidak takut berbuat kesalahan yang mengecewakan orang lain. Kesimpulan!+ Pada! gambaran! kepribadian! perokok! dapat! dilihat! bahwa! pada! dimensi! openness,! perokok! mempunyai!skor!fantasy,!aesthetics,!feelings,!dan!ideas!yang!tinggi,!sedangkan!skor!yang!cukup!berada! pada!sub!dimensi!actions!dan!values.!pada!dimensi!conscientiousness,3perokok!mempunyai!skor!tinggi! pada!sub!dimensi!competence,!dutifullness,!achievement,!deliberation,!dan!skor!cukup!pada!sub!dimensi! order3dan!self7discipline.!pada!dimensi!extraversion,3perokok!mempunyai!skor!tinggi!pada!sub!dimensi! warmth,!gregariousness,!excitement!seeking,!dan!postive3emotion.!sedangkan!skor!cukup!berada!pada! sub!dimensi!assertiveness!dan!activity.!! Pada! dimensi! agreeableness,! perokok! mempunyai! skor! tinggi! pada! trust,! straightforwardness,! altruism,! dan! tender! mindedness.! Skor! cukup! untuk! sub! dimensi! modesty,! dan! skor! rendah! pada! sub! dimensi! compliance.! Pada! dimensi! neuroticism,! perokok! mempunyai! (a)! skor! tinggi! pada! sub! dimensi! anxiety! dan! depression;! (b)! skor! cukup! pada! sub! dimensi! angry! hostility,! self=consciousness,! dan! impulsiveness;!dan!(c)!skor!rendah!pada!sub!dimensi!vulnerability.!! Dari!hasil!penelitian!yang!didapatkan,!maka!diperoleh!kesimpulan!bahwa!terdapat!hubungan!yang! signifikan!antara!kepribadian!dan!perilaku!merokok!pada!dewasa!muda.!kepribadian!merupakan!salah! satu! faktor! yang! mempengaruhi! perilaku! merokok.! Dimensi! kepribadian! Big3 Five! yang! mempunyai! pengaruh!terhadap!perilaku!merokok!adalah!dimensi!neuroticism,!dengan!sub!dimensi!anxiety!dan!self3 consciousness.! Asumsi! peneliti! bahwa! dimensi! neuroticism! berpengaruh! terhadap! perilaku! merokok! dewasa!muda!ternyata!terbukti.!! Saran+untuk+Perokok.!! Banyanya!dampak!negatif!yang!ditimbulkan!dari!merokok,!maka!penulis!sangat!menyarankan!agar! perokok!dapat!berhenti!merokok.!dengan!berhenti!merokok,!yang!pasti!perokok!dapat!terhindar!dari! beberapa! penyakit,! seperti! penyakit! jantung,! penyakit! paru=paru,! dan! penyakit! lain! yang! ditimbulkan! dari!efek!merokok.!selain!itu!menyelamatkan!diri!perokok!sendiri,!perokok!juga!dapat!menyelamatkan! orang=orang!di!sekitar!perokok,!karena!telah!mengurangi!perokok!pasif.!sadarilah!bahwa!kesehatan!itu! 17

18 sangat! mahal! harganya.! Uang! dapat! dicari,! namun! kesehatan! tidak! dapat! dibeli! dengan! harga! yang! murah.!ingatlah!bahwa!tubuh!yang!diciptakan!tuhan!adalah!sangat!berharga.!! Selain! itu,! berdasarkan! hasil! penelitian! yang! dilakukan,! diketahui! bahwa! perokok! cenderung! mempunyai!skor!anxiety!yang!tinggi.!perokok!cenderung!mengurangi!kecemasan!mereka!dengan!cara! mengisap!rokok!lebih!banyak.!dengan!demikian,!hal!ini!perlu!lebih!diwaspadi!oleh!para!perokok.!peneliti! menyarankan! agar! perokok! dapat! mengurangi! kecemasan! dengan! cara! lain.! Kita! dapat! mengatakan! bahwa! botol! setengah! berisi! atau! botol! setengah! kosong.! Semua! tergantung! bagaimana! kita! memandang!masalah!yang!kita!hadapi.! Banyak! cara! yang! dapat! perokok! lakukan! saat! mereka! cemas.! Salah! satunya! adalah! mencari! kesibukan! lain,! yang! pasti! bukan! merokok.! Lakukanlah! aktivitas! lain! yang! dapat! memberi! manfaat,! contohnya! kursus! program! komputer.! Selain! itu,! apabila! perokok! merasa! tidak! dapat! mengatasi! kecemasannya!sendiri,!cobalah!untuk!mencari!bantuan!orang!lain.!perokok!dapat!menceritakan!masalah! dan!kecemasan!kepada!orang!yang!perokok!percaya.!! Perokok! berat! juga! mempunyai! self7consciousness! yang! rendah.! Dengan! demikian,! perokok! diharapkan!untuk!lebih!meningkatkan!rasa!segan!dan!kepedulian!terhadap!dirinya!maupun!orang!lain.! Perokok! juga! harus! lebih! peka! terhadap! lingkungan! sekitar,! terutama! kepada! orang! lain! yang! tidak! merokok,! agar! mereka! tidak! menjadi! perokok! pasif.! Pikirkanlah! orang! di! sekitar! yang! perokok! kasihi.! Jangan!biarkan!mereka!terkena!imbas!dari!perilaku!merokok!yang!dilakukan!perokok.!Sadarilah!bahwa! orang!lain!juga!mempunyai!hak!untuk!menghirup!udara!yang!bersih.! DAFTAR+PUSTAKA+ Coon,!D.!(2004).!Introduction3to3psychology:3Gateways3to3mind3and3behavior!(10 th!ed.).!belmont,!ca:!thomson.! Dariyo,!A.!(2004,!November).!Psikologi3perkembangan3dewasa3muda.!Gramedia:!Jakarta.! Davison,!G.!C.,!Neale,!J.!M.,!Kring,!A.!M.!(2004).!Abnormal3psychology!(9 th!ed.).!hoboken,!nj:!john!wiley!&!sons.! DeRaad,!B.!(2000).!The3big3five3personality3factors:3The3psycholexical3approach3to3personality.3Seattle:!Hogrefe!&! Huber.! Eysenck,!M.!W.!(2004).!Psychology:3An3international3perspective.!New!York,!NY:!Psychology!Press.! Febrida,! M.! (2007,! Oktober).! Ketagihan3 rokok3 lebih3 bahaya3 dibandingkan3 psikotropika3 lain.! Diambil! pada! November! 1,! 2007,! dari! /idkanal/10.! Gregory,!R,!J.!(2004).!Psychological3testing:3History,3principles,3and3applications!(4 th!ed.).!boston,!ma:!pearson.! Hawari,!H.!D.!(2002).!Penyalahgunaan3dan3ketergantungan3NAZA!(cetakan!ke=4).!Jakarta:!Gaya!Hidup.! 18

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana BAB II LANDASAN TEORI A. PEMBELIAN IMPULSIF Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana perilaku pembelian ini berhubungan dengan adanya dorongan yang menyebabkan konsumen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen (bebas) adalah big five personality yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap individu mengalami masa peralihan atau masa transisi. Yang dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu berfungsi sebagai satu kesatuan yang utuh dan unik. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, karena individu

Lebih terperinci

Keyword: mindfulness, NEO- PI BAB I. PENDAHULUAN

Keyword: mindfulness, NEO- PI BAB I. PENDAHULUAN HUBUGA KEPRIBADIA BIG FIVE (EO- PI) DEGA MIDFULESS PADA MAHASISWA Sandi Kartasasmita, M.Psi., Psikolog., Psikoterapis., CMHA., CBA Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Seinama2003@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Secondary Traumatic Stress Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan trauma sekunder yang sering diartikan dengan salah. Walau terlihat mirip akan tetapi memiliki definisinya

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Alat yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov- Smirnov

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merokok merupakan kegiatan membakar tembakau kemudian asapnya dihisap. Kecanduan rokok banyak terjadi pada usia remaja. Remaja adalah masa transisi antara masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami menjadi tua sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami menjadi tua sesuai dengan tahapan perkembangannya. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebanyakan orang memang mengakui bahwa menjadi tua itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari, akan tetapi pada dasarnya setiap manusia akan mengalami

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five 35 BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Personality Terhadap Coping Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Frekuensi Merokok 1. Definisi frekuensi Frekuensi berasal dari bahasa Inggris frequency berarti kekerapan, keseimbangan, keseringan, atau jarangkerap. Smet (1994) mengatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis A. Teori Lima Besar (Big Five Model) 1. Sejarah Big Five Model Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali dilakukan oleh Allport dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan. ada dalam diri individu yang bersangkutan ( Sunaryo, 2004 ).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan. ada dalam diri individu yang bersangkutan ( Sunaryo, 2004 ). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persepsi 1. Pengertian Persepsi Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Locus of Control 2.1.1 Definisi Locus of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Agresi 1. Definisi Perilaku Agresi Perilaku agresi adalah merupakan salah satu bentuk perilaku yang dimiliki oleh setiap manusia. Seperti yang dikemukakan Freud, Mc Dougall,

Lebih terperinci

TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: 13 Yoanita Fakultas PSIKOLOGI TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG Eliseba, M.Psi Program Studi Psikologi HANS EYSENCK Dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia 10 2. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini mengulas tentang pelbagai teori dan literatur yang dipergunakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori tersebut adalah tentang perubahan organisasi (organizational change)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dampak buruk bagi perokok itu sendiri maupun orang-orang sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. dampak buruk bagi perokok itu sendiri maupun orang-orang sekitarnya. BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi perokok itu sendiri maupun orang-orang sekitarnya. Bila telah mengalami ketergantungan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan diyakini menjadi unsur kunci dalam melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia sebagai Homo economicus, tidak akan pernah lepas dari pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengandung CO (Carbon monoksida) yang mengurai kadar oksigen dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengandung CO (Carbon monoksida) yang mengurai kadar oksigen dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MEROKOK 1. Pengertian Merokok adalah suatu bahaya untuk jantung kita. Asap rokok mengandung CO (Carbon monoksida) yang mengurai kadar oksigen dalam sel darah merah. Merokok dapat

Lebih terperinci

Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia

Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara Email:zamralita@fpsi.untar.ac.id ABSTRAK Dosen adalah salah satu komponen utama

Lebih terperinci

BAB I PENAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan permasalahan global yang sudah menjadi ancaman serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini, penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan barangkali merupakan istilah yang tepat, namun tidak populer dan tidak menarik bagi perokok. Banyak orang sakit akibat merokok, tetapi orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kinerja 1. Pengertian Kinerja Prawirosentono (2008) menyatakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sari, dkk (2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas

BAB II LANDASAN TEORI. Sari, dkk (2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas 7 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Merokok II.1.1 Definisi Merokok Sari, dkk (2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami rasa kesepian dalam dirinya, yang menjadi suatu pembeda adalah kadarnya, lamanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tidak menular (PTM), yang merupakan penyakit akibat gaya hidup serta

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tidak menular (PTM), yang merupakan penyakit akibat gaya hidup serta BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada beban ganda, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecurangan Kecurangan sebagaimana yang umumnya dimengerti, berarti ketidak jujuran dalam bentuk suatu penipuan yang disengaja atau suatu kesalahan penyajian yang dikehendaki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada remaja biasanya disebabkan dari beberapa faktor

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada remaja biasanya disebabkan dari beberapa faktor BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Stres merupakan bagian yang tidak terhindar dari kehidupan. Stres mempengaruhi kehidupan setiap orang bahkan anak-anak. Kebanyakan stres diusia remaja berkaitan dengan

Lebih terperinci

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seks pranikah merupakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa, pada dasarnya sebagai generasi penerus. Mereka diharapkan sebagai subyek atau pelaku didalam pergerakan pembaharuan. Sebagai bagian dari masyarakat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merasakan hal yang demikian terutama pada saat menginjak masa remaja yaitu. usia tahun (Pathmanathan V dan Surya H, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. merasakan hal yang demikian terutama pada saat menginjak masa remaja yaitu. usia tahun (Pathmanathan V dan Surya H, 2013). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai akibat dari perkembangan dunia pada masa ini, masalah yang dihadapi masyarakat semakin beragam. Diantaranya adalah masalah lingkungan sosial dan tuntutan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Robert dan Kinicki (dalam Robert Kreitner, 2011) bahwa komitmen

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Robert dan Kinicki (dalam Robert Kreitner, 2011) bahwa komitmen BAB II LANDASAN TEORI A. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Menurut Robert dan Kinicki (dalam Robert Kreitner, 2011) bahwa komitmen organisasi adalah cerminan dimana seorang karyawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak kandungan zat berbahaya di dalam rokok. Bahaya penyakit akibat rokok juga sudah tercantum dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok. Rokok mengandung

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok. Rokok mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan salah satu dari sekian banyaknya masalah kesehatan masyarakat karena dapat menimbulkan berbagai penyakit bahkan kematian. Hampir semua orang tahu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus penggunaan narkoba pada remaja sudah sering dijumpai di berbagai media. Maraknya remaja yang terlibat dalam masalah ini menunjukkan bahwa pada fase ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kota Bandung dengan populasi penduduk kota

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kota Bandung dengan populasi penduduk kota BAB III METODE PENELITIAN 3.1 LOKASI, POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di kota Bandung dengan populasi penduduk kota Bandung. Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik accidental

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan masa dimana setiap individu mengalami perubahan yang drastis baik secara fisik, psikologis, maupun lingkup sosialnya dari anak usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan

BAB I PENDAHULUAN. berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja disebut sebagai periode peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya apa yang terjadi

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN INTENSI BERHENTI MEROKOK PADA MAHASISWA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Disusun Oleh: WISNU TRI LAKSONO

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk menghasilkan tenaga ahli yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gaya Kepemimpinan 2.1.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian (personality) adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian yang Digunakan Metode penelitian yang pada penelitian ini adalah metode kuantitatif. Menurut Creswell (dalam Alsa, 2011, hal. 13), penelitian kuantitatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk berpasangan yang lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan bahwa pernikahan adalah salah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berubah atau mati!, adalah kalimat yang diserukan oleh para manajer di seluruh dunia untuk menggambarkan keharusan setiap organisasi atau perusahaan untuk terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di negara-negara berkembang. Direktorat Pengawasan Narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di negara-negara berkembang. Direktorat Pengawasan Narkotika, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini jumlah perokok terus bertambah, khususnya di negaranegara berkembang. Keadaan ini merupakan tantangan berat bagi upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kebiasan merokok adalah pemandangan yang tidak. asing lagi untuk kita lihat. Menurut laporan WHO (2002),

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kebiasan merokok adalah pemandangan yang tidak. asing lagi untuk kita lihat. Menurut laporan WHO (2002), BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebiasan merokok adalah pemandangan yang tidak asing lagi untuk kita lihat. Menurut laporan WHO (2002), negara-negara industri menganggap merokok adalah hal umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat berarti terhadap kesehatan masyarakat. Menurut perkiraan

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat berarti terhadap kesehatan masyarakat. Menurut perkiraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa merokok adalah penyebab utama penyakit di seluruh dunia yang sebenarnya dapat dicegah. Asap rokok mempunyai pengaruh yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Manajemen 2.1.1 Pengertian Manajemen Manajemen adalah sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kepribadian 2.1.1.1 Definisi Kepribadian Kepribadian berasal dari kata Latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang biasa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menjadi

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menjadi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, dalam segi fisik, kognitif, sosial ataupun emosional. Masa remaja dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dewasa normal bervariasi antara 4-10 jam sehari dan rata-rata berkisar antara

BAB I PENDAHULUAN. dewasa normal bervariasi antara 4-10 jam sehari dan rata-rata berkisar antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Waktu tidur yang dibutuhkan manusia di setiap tahapan umur berbedabeda. Pada mulanya, bayi yang baru lahir akan menghabiskan waktunya untuk tidur dan hanya akan terbangun

Lebih terperinci

KUISIONER PENELITIAN GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN SOSIAL BUDAYA KELUARGA DALAM HAL PERILAKU MEROKOK SISWA SMK SATRIA NUSANTARA BINJAI PADA TAHUN 2012

KUISIONER PENELITIAN GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN SOSIAL BUDAYA KELUARGA DALAM HAL PERILAKU MEROKOK SISWA SMK SATRIA NUSANTARA BINJAI PADA TAHUN 2012 KUISIONER PENELITIAN GAMBARAN KARAKTERISTIK DAN SOSIAL BUDAYA KELUARGA DALAM HAL PERILAKU MEROKOK SISWA SMK SATRIA NUSANTARA BINJAI PADA TAHUN 2012 A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : 2. Umur : 3. Anak Ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekelompok (peer group) serta kurangnya kepedulian terhadap masalah kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekelompok (peer group) serta kurangnya kepedulian terhadap masalah kesehatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gambaran khas remaja yaitu pencarian identitas, kepedulian akan penampilan, rentan terhadap masalah komersial dan tekanan dari teman sekelompok (peer group)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di dalam keluarga, pria dan wanita sebagai individu dewasa yang telah menikah memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat, karena banyakdari kaum laki-laki maupun perempuan, tua

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat, karena banyakdari kaum laki-laki maupun perempuan, tua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang ini banyak sekali ditemui dimasyarakat Indonesia kebiasaan merokok. Rokok bukanlah suatu hal yang asing lagi bagi masyarakat, karena banyakdari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Sikap 1. Pengertian Sikap Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit lepas dari belenggu anarkisme, kekerasan, dan perilaku-perilaku yang dapat mengancam ketenangan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku merokok tampaknya telah menjadi kebiasaan banyak. seperti Indonesia bermunculan rokok-rokok terbaru yang setiap produk

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku merokok tampaknya telah menjadi kebiasaan banyak. seperti Indonesia bermunculan rokok-rokok terbaru yang setiap produk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rokok adalah salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau anxietas adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1 miliar yang terdiri dari 47% pria, 12% wanita dan 41% anak-anak (Wahyono, 2010). Pada tahun 2030, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga hal ini masih menjadi permasalahan dalam kesehatan (Haustein &

BAB I PENDAHULUAN. sehingga hal ini masih menjadi permasalahan dalam kesehatan (Haustein & BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Merokok merupakan salah satu kebiasaan negatif manusia yang sudah lama dilakukan. Kebiasaan ini sering kali sulit dihentikan karena adanya efek ketergantungan yang ditimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan menghargai hak-hak setiap individu tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa hidup yang dijalaninya tidak berarti. Semua hal ini dapat terjadi karena orang tersebut

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. pilihan yang bersifat intensional dan reflektif dalam merespon kebutuhan.

BAB 2 LANDASAN TEORI. pilihan yang bersifat intensional dan reflektif dalam merespon kebutuhan. BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1 Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan proses untuk membuat suatu pilihan yang bersifat intensional dan reflektif dalam merespon kebutuhan. Proses ini dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi menjadi fenomena yang sangat penting dalam dunia kerja.

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi menjadi fenomena yang sangat penting dalam dunia kerja. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modernisasi menjadi fenomena yang sangat penting dalam dunia kerja. Selain dampaknya terhadap penggunaan alat-alat produksi dan strategi pemasaran. Modernisasi juga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang BAB II LANDASAN TEORI A. Sumber Nilai Makna Hidup 1. Definisi Sumber Nilai Makna Hidup Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang neuropsikiater keturunan Yahudi dari kota Wina,

Lebih terperinci

PERBEDAAN TOLERANSI TERHADAP STRES PADA REMAJA BERTIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DI KELAS XI SMA ASSALAAM SUKOHARJO

PERBEDAAN TOLERANSI TERHADAP STRES PADA REMAJA BERTIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DI KELAS XI SMA ASSALAAM SUKOHARJO PERBEDAAN TOLERANSI TERHADAP STRES PADA REMAJA BERTIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DI KELAS XI SMA ASSALAAM SUKOHARJO SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

Profil Kepribadian Mahasiswa yang Melakukan Kecurangan Akademik di Fakultas Psikologi Unisba Angkatan X Ditinjau dari Big Five Theory

Profil Kepribadian Mahasiswa yang Melakukan Kecurangan Akademik di Fakultas Psikologi Unisba Angkatan X Ditinjau dari Big Five Theory Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Profil Kepribadian Mahasiswa yang Melakukan Kecurangan Akademik di Fakultas Psikologi Unisba Angkatan X Ditinjau dari Big Five Theory 1 Desti Yuniarti, 2 Temi Damayanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

BAB I PENDAHULUAN. ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak berubah dan selalu dibutuhkan. Hal ini bisa dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap hari orang terlibat di dalam tindakan membuat keputusan atau decision

BAB I PENDAHULUAN. Setiap hari orang terlibat di dalam tindakan membuat keputusan atau decision BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap hari orang terlibat di dalam tindakan membuat keputusan atau decision making, bahkan mungkin harus dilakukan beberapa kali. Mulai dari masalah-masalah yang sederhana

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 68 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian Demografi responden penelitian dapat lihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut : Tabel 4.1 Distribusi Umur mahasiswi Universitas Kristen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Hurlock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stres muncul sejalan dengan peristiwa dan perjalanan kehidupan yang dilalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stres muncul sejalan dengan peristiwa dan perjalanan kehidupan yang dilalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stres muncul sejalan dengan peristiwa dan perjalanan kehidupan yang dilalui oleh individu dan terjadinya tidak dapat dihindari sepenuhnya. Pada umumnya, individu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda, yaitu suatu masa dengan rentang usia dari 18 sampai kira-kira umur 25

BAB I PENDAHULUAN. muda, yaitu suatu masa dengan rentang usia dari 18 sampai kira-kira umur 25 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah salah satu individu yang telah memasuki masa dewasa muda, yaitu suatu masa dengan rentang usia dari 18 sampai kira-kira umur 25 tahun (Hurlock

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Merokok Statsus adalah keadaan atau kedudukan (orang, badan, dan sebagainya) dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun belum dapat dikategorikan dewasa. Masa remaja merupaka masa transisi dari masa kanak-kanak

Lebih terperinci

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1) BAB 1: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Lebih dari 70.000 artikel ilmiah telah

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 3 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. STRES 2.1.1. Pengertian Stres Stres adalah suatu kondisi yang dialami manusia selama hidupnya, dan dalam setiap kegiatan manusia berupa tekanan mental,yang dapat mengganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan

BAB I PENDAHULUAN. dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16,

Lebih terperinci

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA Gambar 7.1, terdiri dari rokok, minuman keras dan obat-obatan yang semuanya tergolong pada zat adiktif dan psikotropika Gambar 7.1: Zat adiktif dan psikotropika 1.

Lebih terperinci

PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP DAYA TAHAN JANTUNG PARU

PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP DAYA TAHAN JANTUNG PARU PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP DAYA TAHAN JANTUNG PARU SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Terapan Fisioterapi Disusun Oleh : DIMAS SONDANG IRAWAN J 110050028

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Peneliti akan melakukan penelitian ini di SMA Negeri 2 Kejuruan Muda,

BAB III METODE PENELITIAN. Peneliti akan melakukan penelitian ini di SMA Negeri 2 Kejuruan Muda, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Peneliti akan melakukan penelitian ini di SMA Negeri 2 Kejuruan Muda, Aceh Tamiang. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2015 sampai

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah Ujian Nasional, stres, stressor, coping stres dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan, individu akan mengalami fase-fase perkembangan selama masa hidupnya. Fase tersebut dimulai dari awal kelahiran hingga fase dewasa akhir yang

Lebih terperinci