PENYUSUNAN INDEKS KINERJA SEBAGAI DASAR ARAHAN PENGELOLAAN DAS BAHOROK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENYUSUNAN INDEKS KINERJA SEBAGAI DASAR ARAHAN PENGELOLAAN DAS BAHOROK"

Transkripsi

1 PENYUSUNAN INDEKS KINERJA SEBAGAI DASAR ARAHAN PENGELOLAAN DAS BAHOROK Oleh : HERI APRIYANTO I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada tanggal 2 November 2003, tepatnya jam malam terjadi bencana alam banjir bandang di DAS Bahorok, bagian dari DAS Wampu Besitang, Kabupaten Langkat. Banjir bandang tersebut telah meluluhlantahkan permukiman dan kawasan wisata Bukit Lawang, yang dikenal sebagai kawasan wisata hutan alam, bumi perkemahan, penangkaran orang hutan. Durasi banjir yang tidak lebih dari 30 menit telah merenggut jiwa lebih dari tiga ratus korban, membawa hanyut empat ratusan rumah dan puluhan tempat-tempat penginapan. Tutupan lahan di DAS Bahorok didominasi oleh kawasan hutan lindung, yaitu sekitar 80%. Selanjutnya melalui Keputusan Presiden No.33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistim Leuser (KEL) maka KEL dikelola oleh Yayasan Leuser Internasional. KEL sebagai kawasan ekosistim terdiri atas berbagai fungsi-fungsi lindung lainnya, diantaranya sebagai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sedangkan 20 % lagi dari luas total DAS Bahorok merupakan kawasan budidaya permukiman, pertanian, perkebunan dan kawasan wisata. Di satu sisi DAS Bahorok sebagai hutan lindung, sedangkan di sisi lain juga menjadi obyek dan daya tarik wisata yang cukup signifikan bagi perekonomian masyarakat setempat. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Peristiwa bencana alam seperti longsor, banjir dan kekeringan yang sering melanda di berbagai wilayah di Indonesia, banyak disebabkan oleh kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) nya. Kerusakan DAS ini dipengaruhi banyak faktor, baik faktor alami (natural) maupun buatan (artificial). Faktor alami ini seperti topografi, jenis tanah, intensitas curah hujan, gempa dan masih banyak lagi, sedangkan faktor buatan yang paling dominan adalah kegiatan atau aktivitas manusia, antara lain pembukaan lahan, pembangunan, dan penggunaan sumberdaya air yang tidak bijak. Guna mengetahui kinerja atau kondisi suatu DAS maka diperlukan besaran atau nilai dari aspek-aspek yang berpengaruh seperti kondisi lahan, tata air, SDM, sosial ekonomi dan kelembagaan. Indeks Kinerja DAS Bahorok menggambarkan kondisi kesehatan dari DAS Bahorok itu sendiri. Kondisi DAS Bahorok dalam kondisi sehat atau normal apabila paramater-parameter lahan, tata air, SDM, sosial ekonomi dan

2 kelembagaan berada atau sesuai dengan standar yang ada, sedangkan kondisi tidak sehat atau terganggu jika salah satu atau lebih paramaternya melebihi standar atau baku mutu yang ada. Jadi indeks kinerja ini diasumsikan sebagai langkah awal untuk mengetahui atau mendiagnosa kesehatan DAS yang ditinjau dari beberapa aspek umum yang berpengaruh. Gambaran kinerja suatu DAS cukup penting sebelum melakukan penetapan kebijakan pengelolaan DAS. Selain itu juga diperlukan sebelum penyusunan arahan pemanfaatan ruang di suatu DAS. Berdasarkan hal di atas maka sudah saatnya diperlukan suatu arahan pemanfaatan ruang yang berbasiskan ekosistem DAS. Sebagai dasar untuk melakukan penyusunan arahan tersebut maka diperlukan suatu analisis terhadap kinerja atau kondisi aktual DAS pada saat ini. 1.3 TUJUAN Tujuan dari kajian ini adalah menyusun indeks kinerja untuk mengetahui kondisi sesungguhnya penyebab bencana longsor dan banjir bandang di DAS Bahorok. Produk ini diharapkan dapat digunakan oleh seluruh stakeholder dalam DAS Bahorok rangka pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pembangunan di masingmasing wilayah administrasi dalam cakupan DAS Bahorok. 1.4 METODOLOGI Dalam pedoman penyelenggaraan pengelolaan DAS, indikator kinerja DAS perlu ditentukan karena keberhasilan maupun kegagalan hasil kegiatan pengelolaan DAS dapat dimonitor dan dievalusi melalui indikator yang telah ditetapkan. Perlu ditekankan bahwa indikator tersebut seharusnya bersifat sederhana dan cukup praktis untuk dilaksanakan, terukur, dan mudah dipahami terutama oleh para pengelola DAS dan pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap pengelola DAS. Penetapan indikator kinerja DAS diupayakan agar relevan dengan tujuan penetapan indikator dan diharapkan mampu menentukan bahwa kegiatan pengelolaan DAS dianggap berhasil atau kurang/tidak berhasil. Dengan kata lain, status atau kesehatan suatu DAS dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria-kriteria kondisi Penggunaan, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan. Sebagai contoh, untuk menentukan kinerja suatu DAS dari aspek/kriteria tata air, maka diperlukan indikator-indikator : debit aliran sungai, kandungan sedimen dan bahan pencemar lainnya serta nisbah hantar sedimen (SDR). Untuk masing-masing indikator tersebut telah ditentukan parameter dan tolok ukurnya, misalnya parameter untuk debit aliran sungai adalah data time series debit aliran sungai. Sedangkan tolok ukur untuk parameter koefisien rejim sungai (KRS) 2

3 ditentukan berdasarkan nilai baku yang telah ditentukan, dalam hal ini, kondisi tata air dikatakan baik apabila besarnya angka KRS adalah sama dengan atau lebih kecil dari 50. Dengan cara yang sama, kinerja suatu DAS ditentukan berdasarkan kriteriakriteria penggunaan lahan (IPL dan KPL), tata air, sosial (peran serta stakeholders), ekonomi (tekanan penduduk) dan kelembagaan (KISS). Dalam melakukan penyusunan kriteria penataan ini dilakukan dengan menganalisis beberapa parameter seperti di bawah ini : Peraturan atau standar yang terkait dengan penataan ruang, pengelolaan DAS atau sumberdaya air (tata air), kehutanan, ekosistem atau lingkungan hidup, kawasan lindung, kewenangan pemerintah pusat dan daerah; Indikator kinerja DAS ; Potensi dan permasalahan di DAS ; II. GAMBARAN UMUM DAS BAHOROK Wilayah perencanaan adalah DAS Bohorok yang merupakan bagian dari Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Secara administrasi wilayah perencanaan terletak pada Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Wilayah perencanaan merupakan Sub DAS Bohorok adalah bagian dari DAS Wampu Besitang, yang selanjutnya disebut dengan DAS Bohorok. Secara administrasi, desadesa yang termasuk dalam DAS Bahorok adalah Desa Bukit Lawang, Desa Timbang Lawan, dan sebagian Desa Sampe Raya. Sedangkan secara geografis batas wilayah perencanaan adalah wilayah DAS Bohorok dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara : berbatas dengan Sub DAS Batang Serangan Sebelah Barat : berbatas dengan DAS Singkil Sebelah Selatan : berbatas dengan Sub DAS Wampu Hulu Sebelah Timur : berbatas dengan Sub DAS Wampu Hulu CITRA LANDSAT DAS BAHOROK DESA BUKIT LAWANG DESA TIMBANG 3

4 DAS Bahorok terletak pada Taman Nasional Gunung Leuser mempunyai luas sebesar ha. Di bagian barat berbatasan dengan punggung Gunung Alas-Bukit Barisan, di sebelah selatan dibatasi dengan DAS Sungai Landak dan sebelah utara berbatasan dengan DAS Sungai Musani. Sistem sungai Bahorok merupakan sungai yang berada pada daerah dengan tiga buah kemiringan memanjang dengan topografis yang berbeda. Zone pertama di bagian hulu merupakan zone dengan kemiringan memanjang sungai yang relatif terjal (lebih dari 10%), dengan kemiringan lereng lebih dari 60%, dan panjang sungai utama Bahorok berkisar 8 km. Zone kedua pada kemiringan memanjang sedang sampai tinggi (4-6%) dengn kemiringan lereng sekitar 30-45%, dengan panjang sungai utama 7 km. Sedangkan pada zone ketiga dengan kemiringan memanjang sekitar 2% dengan kemiringan lereng kurang dari 30% dan panjang sungai utama sekitar 3 km. Lokasi kawasan wisata Bahorok di Bukit Lawang terletak pada kaki bukit (zone ketiga). Morfologi sungai Bahorok pada lokasi wisata tersebut adalah river braided yaitu sungai yang bercabang-cabang dengan gosong pasir yang berada antara cabang-cabang sungai tersebut. Jenis material gosong pasir adalah berupa pasir, kerikil dan krakal serta brankal (ø 1-25 cm). Sifat morfologi sungai braided adalah dinamis, pada kondisi alamiah dapat berubah lokasi arus utamanya. Banjir pada tipe morfologi braided ini umumnya menyebabkan perubahan drastis pada dasar dan profil sungai di zone tersebut. Penggunaan lahan di DAS Bahorok didominasi oleh hutan primer seluas ,9 ha (86,31%), kebun seluas 1.108,3 ha (4,89%), sawah seluas 807,23 ha (3,56%), kelapa sawit seluas 374,2 ha (1,65%), dan penggunaan lahan lainnya seperti semak belukar dan lain-lain. Kawasan hutan di DAS Bahorok merupakan hutan hujan tropis primer yang termasuk di dalam Kawasan TNGL yang tujuannya adalah untuk kawasan perlindungan dan pelestarian flora, fauna dan ekosistemnya. Sehingga secara legal kawasan tersebut tidak ada peruntukkan bagi kegiatan pengusahaan hutan. Kawasan hutan tersebut memiliki kondisi penutupan yang masih baik. Tajuk hutan sebagian besar sangat rapat dan lebih dari 90% DAS Bohorok tertutup oleh kanopi tajuk pohon-pohon besar. Tabel 1 Penggunaan DAS Bahorok Tahun 2004 No Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Hutan Primer ,9 86,31 2 Kebun 1.108,3 4,89 3 Kelapa Sawit 374,2 1,65 4 Sawah 807,23 3,56 5 Semak Belukar 623,85 2,75 6 Lokasi Relokasi 8,18 0,05 7 Longsor 179,8 0,79 Total ,41 100,00 Sumber : Citra Landsat tahun 2004,diolah. 4

5 III. ANALISIS KINERJA DAS BAHOROK Peristiwa bencana alam seperti longsor, banjir dan kekeringan yang sering melanda di berbagai wilayah di Indonesia, banyak disebabkan oleh kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) nya. Kerusakan DAS ini dipengaruhi banyak faktor, baik faktor alami (natural) maupun buatan (artificial). Faktor alami ini seperti topografi, jenis tanah, intensitas curah hujan, gempa dan masih banyak lagi, sedangkan faktor buatan yang paling dominan adalah kegiatan atau aktivitas manusia, antara lain pembukaan lahan, pembangunan, dan penggunaan sumberdaya air yang tidak bijak Penetapan Indeks Kinerja DAS Bahorok Untuk analisis suatu kinerja maka diperlukan suatu nilai atau indeks. Indeks adalah perbandingan antara suatu jumlah tertentu dengan standard atau dengan dasar yang telah ditentukan sebelumnya. Indeks kinerja DAS Bahorok dapat dikategorikan ke dalam Indeks Lingkungan. Indeks lingkungan adalah suatu cara untuk memonitor dan melaporkan keadaan lingkungan secara kuantitatif berdasarkan pada suatu standar tertentu. Suatu indeks pada dasarnya merupakan perbandingan antara numerator dan denominator. Numerator merupakan jumlah hasil pengukuran, sedangkan denominator merupakan standar tertentu sebagai pembanding. Jika hasil pengukuran kurang dari standard maka nilai indeks rendah dan ini menunjukkan tidak ada masalah lingkungan. Indeks kinerja disusun berdasarkan parameter-parameter kunci yang diperkirakan mempunyai indikasi yang kuat terhadap kondisi suatu DAS. Paramater-parameter yang digunakan dalam mengukur kinerja DAS Bahorok dapat dilihat pada Tabel 2. Dengan adanya bentuk hubungan antara masukan dan keluaran dari sistem ekosistem DAS maka dapat disusun suatu analisis tentang keadaan suatu DAS. Keterkaitan parameter satu dengan parameter yang lain terhadap kinerja suatu DAS tentunya berbeda-beda. Ada parameter yang dominan yang terkait langsung dan kuat dengan kinerja DAS, namun ada juga parameter yang tidak secara langsung terkait dengan kinerja DAS. Berdasarkan referensi yang ada, faktor fisik dan pemanfaatan lahan diindikasikan mempunyai pengaruh kuat terhadap kinerja DAS. 5

6 Tabel 2 Aspek-aspek Umum Untuk Mengukur Kinerja DAS Bahorok No Aspek Parameter Penilaian Berdasarkan Kriteria Baik (1) Sedang (2) Jelek (3) Keterangan 1. Pemanfaatan 1. Indeks Penggunaan (IPL) (%) 2. Kesesuaian Penggunaan (KPL) (%) 3. Tingkat Erosi Potensial (ton/ha/th) 2. Hidrologi 1. Koefisien Regime Sungai (KRS) 2. Indeks Penggunaan Air (IPA) 3. Kandungan Pencemaran > < 30 KepMenhut No. 52/Kpts- II/2001 > < 40 KepMenhut No. 52/Kpts- II/2001 < > 250 RLKT, 1985 (modifikasi) < >120 KepMenhut No. 52/Kpts- II/2001 < 0,2 2,0 > 0,2 PU, 2002 (modifikasi) Tidak ada Pencemara n 4. Neraca Air Tidak ada bulan defisit 3. Sumberdaya Manusia Penduduk (TP) 4. Sosial Ekonomi 1. Ketergantungan Penduduk Terhadap (LQ) Pencemara n tidak lebih dari 1 unsur (Kimia/Fisi k/mikrobiol ogi) Ada 1 bulan defisit Pencemara n lebih dari 1 unsur (Kimia/Fisi k/mikrobiol ogi) Lebih dari 1 bulan defisit Asumsi penulis, 2003 Asumsi penulis, Koefisien Run Off < > 0.5 Pedoman Monev Pengelolaan DAS, 2002 (BTPDAS Surakarta) 1. Tekanan < > 2 O. Sumarwoto, 2. Produktivitas 3. Tingkat Pendapatan 1991 < 1 1 >1 RLKT, 1985 (modifikasi) Meningkat Tetap Menurun KepMenhut No. 52/Kpts- II/2001 Tinggi Sedang Rendah Batas kemiskinan, BPS 5. Kelembagaan 1. KISS Tinggi Sedang Rendah KepMenhut No. 52/Kpts- II/2001 Sumber : Hasil analisa dengan modifikasi dan asumsi terhadap kriteria-kriteria yang ada,

7 Dengan menggunakan nilai eigen (Eigenvalue) untuk perbandingan antar parameter dan Software Expert Choice Versi 8 (EC Versi 8) untuk mengetahui bobot masingmasing aspek penilaian, maka tingkat keterkaitan tiap parameter terhadap kinerja DAS dapat diketahui. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Tingkat keterkaitan (pembobotan) Parameter-Parameter Kunci terhadap Kinerja DAS Bahorok Aspek dan Tingkat NO keterkaitan 1 Pemanfaatan 50.9 % 2. Hidrologi 31.1 % 3. Sumberdaya Manusia 6.0 % 4. Sosial Ekonomi 6.0 % 5. Kelembagaan 6.0 % Sumber : Hasil Analisis, 2004 Parameter Bobot 1. Indeks Penggunaan lahan 12,7 2. Kesesuaian Penggunaan 12,7 3. Tingkat Erosi Potensial 25,5 1. Koefisien Regim Sungai 8,1 2. Indeks Penggunaan Air 2,1 3. Kandungan Pencemar 8,4 4. Neraca Air 3,4 5. Koefisien Runoff 9,1 1. Tekanan Penduduk 6,0 1. Ketergantungan Penduduk Terhadap 2,0 2. Produktivitas 2,0 3. Tingkat Pendapatan 2,0 1. K I S S 6,0 Secara diagramatis hasil pembobotan dapat dilihat pada Gambar 1. KINERJA DAS (100) Pemanfaatan (50,9) Hidrologi (31,1) SDM (6,0) Sosekbud (6,0) Kelembagaan (6,0) Erosi (25,5) Koef. RO (9,1) Tekanan Pdd (6,0) Ketergantun gan lahan (2,0) KISS (6,0) KPL (12,7) Pencemar an (8,4) Prod. (2,0) IPL (12,7) KRS (8,1) Tingkat. Pendapatan (2,0) Neraca Air (3,4) IPA (2,1) Gambar 1. Parameter-Parameter Kunci Kinerja DAS Bahorok Hasil Pengolahan dengan menggunakan Program Expert Choice Versi 8

8 Berdasarkan hasil analisis ternyata pemanfaatan lahan/ruang di suatu DAS mempunyai tingkat keterkaitan dengan kinerja DAS sangat tinggi. Dari kelima aspek yang dinilai ternyata pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam sangat dominan (nilai masing-masing adalah 50,9% dan 31,1 %). Kedua aspek ini mempunyai keterkaitan lebih dari 80% terhadap kinerja DAS. Guna mengevaluasi kinerja DAS Bahorok maka dibuat klasifikasi tingkat kinerja DAS Bahorok. Klasifikasi ini disusun berdasarkan dari total terendah (baik) dan nilai tertinggi (jelek) yang mungkin tercapai dari perkalian antara hasil skoring (data kondisi DAS) dan pembobotan. Nilai terendah yang mungkin tercapai adalah 100, sedangkan nilai tertinggi adalah 300. Selanjutnya dengan mempergunakan kelas interval yang dihitung berdasarkan rentang dari nilai tertinggi dan terendah, yaitu = 200, kemudian dibagi menjadi 3 kelas, maka Kriteria Kinerja DAS Bahorok tersebut disajikan pada Tabel 4. No. Kinerja DAS Bahorok 1. Baik 2. Sedang 3. Jelek Sumber : Hasil Analisis, 2004 Tabel 4 Kriteria Kinerja DAS Bahorok Kriteria Kawasan DAS Bahorok dengan aspek-aspek Pemanfaatan lahan, Hidrologi, SDM, Sosekbud, dan Kelembagaan yang mempunyai skor tidak lebih dari 167 Kawasan DAS Bahorok dengan aspek-aspek Pemanfaatan lahan, Hidrologi, SDM, Sosekbud, dan Kelembagaan yang mempunyai skor antara Kawasan DAS Bahorok dengan aspek-aspek Pemanfaatan lahan, Hidrologi, SDM, Sosekbud, dan Kelembagaan yang mempunyai skor lebih besar dari 234 Kondisi DAS Bahorok Berdasarkan pengolahan data baik primer maupun sekunder maka kondisi DAS Bahorok dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria atau standar yang sudah ada, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Hasil pengolahan parameter-parameter sebagai berikut : Pemanfaatan Dalam analisis pemanfaatan lahan di DAS Bahorok didekati dengan menggunakan 2 (dua) parameter untuk mengevaluasi aspek Penutupan lahan (IPL) dan aspek Kesesuaian Penutupan (KPL).

9 a. Indeks Penutupan (IPL) Indeks Penutupan (IPL) merupakan suatu indikator untuk membandingkan luas vegetasi permanen (LVP) dengan luas DAS. LVP diasumsikan sebagai hutan dan kebun. Selanjutnya LVP diperoleh dari hasil analisis queries pada Peta Penutupan Tahun Berdasarkan hasil perbandingan luas LVP yang ada (19.835,5 Ha) dengan luas DAS Bahorok (22.477,4 Ha), maka diperoleh IPL sebesar 88,24%. Nilai ini menunjukkan bahwa ditinjau dari penutupan lahan yang ada, maka DAS Bahorok dapat dikategorikan masih baik. Hal ini bahkan lebih luas dibandingkan dengan minimal hutan yang harus dipertahankan berdasarkan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu minimal luas hutannya harus 30% dari luas DAS. b. Indikator Kesesuaian Penggunaan (KPL) Indikator Kesesuaian Penggunaan (KPL) merupakan persentase perbandingan luas lahan yang sesuai dengan arahan RTRW. Penutupan lahan DAS Bahorok diperoleh berdasarkan hasil interpretasi data Citra Landsat 7 Tahun Sebaran Penggunaan Tahun 2002 dapat dilihat pada peta terlampir. Dengan dibandingkan dengan arahan penggunaan lahan yang terdapat pada RTRW Kabupaten Langkat tahun 2002 maka didapatkan nilai KPL sebesar 96,3%. Nilai ini menunjukan bahwa pemanfaatan lahan yang ada hampir sesuai dengan rencana atau rujukan arahan yang ada. Dengan demikian ditinjau dari kesesuaian dengan rencana yang ada maka DAS Bahorok dapat dikategorikan masih baik. c. Erosi Potensial Dengan menggunakan metode USLE, dimana faktor-faktor yang dipertimbangkan meliputi erositivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), faktor lereng (LS), serta faktor penggunaan dan pengolahan tanah (CP). Faktor lereng meliputi panjang dan kemiringan lereng maka tingkat erosi dapat diprediksi Dengan menggunakan kriteria erosi dan overlay peta-peta tematik faktor-faktor di atas dapat diketahui tingkat bahaya erosi yang terjadi di DAS Bahorok. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tingkat erosi potensial rata-rata yang terjadi cukup tinggi, yaitu 548,67 ton/ha/th. Dengan demikian ditinjau dari tingkat erosi potensial, maka DAS Bahorok kondisinya dapat dikatakan jelek. Hidrologi Aspek hidrologi yang dipergunakan untuk mengukur indeks kinerja DAS Bahorok adalah Koefisien Regime Sungai, Indeks Penggunaan Air, pencemaran dan neraca air serta koefisien aliran permukaan. Berikut ini aspek-aspek yang digunakan : a. Koefisien Regime Sungai (KRS) KRS adalah perbandingan antara debit maksimum rata-rata dengan debit minimum rata-rata. Perbandingan ini menunjukkan besarnya fluktuasi debit sungai. Jika KRS rendah, maka kondisi DAS masih baik.

10 Berdasarkan analisa data debit aliran maksimum dan minimum ini, maka diperoleh nilai KRS untuk DAS Bahorok. Nilai KRS yang didapatkan adalah 24,5; dimana nilai ini dapat dikatakan baik, karena masih jauh di bawah nilai 50. b. Indeks Penggunaan Air (IPA) Selanjutnya untuk mengetahui kinerja DAS Bahorok maka perlu diketahui keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Keseimbangan ini dicerminkan dengan Indeks Penggunaan Air (IPA). IPA diperoleh dengan membagi kebutuhan air dengan persediaan air yang ada. Jika nilai IPA semakin kecil, maka kinerja DPS masih bagus. Nilai IPA < 0,2, berarti DAS masih bagus, sedang jika nilai IPA > 0,2, berarti DAS sudah jelek dalam artian telah terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Berdasarkan perhitungan maka nilai IPA untuk DAS Bahorok adalah 0,09. Nilai ini masih jauh di bawah nilai standar yang ada yang berarti kinerja DAS masih baik. Berdasarkan data di atas pada saat ini daya dukung DAS terhadap penyediaan air jika dibandingkan dengan kebutuhan airnya dianggap masih memadai. c. Kandungan Pencemaran Berdasarkan hasil pengamatan di Sungai Bahorok secara umum mutu airnya belum tercemari, bahkan dapat diklasifikasikan ke dalam kelas satu, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut (Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air). Dengan demikian kinerja DAS Bahorok ditinjau dari kandungan pencemaran airnya termasuk ketegori baik. d. Neraca Air Berdasarkan perhitungan neraca air maka dapat diketahui bahwa di DAS Bahorok memiliki bulan basah sepanjang tahun. Bulan dinyatakan bulan basah apabila hujan lebih besar daripada evapotransiprasi potensial dan sebaliknya bulan kering jika hujannya lebih kecil dari evapotranspirasi. Dengan persamaan neraca air dapat diketahui surplus dan defisit air di wilayah tersebut. Berdasarkan perhitungan neraca air di DAS Bahorok terjadi surplus air, sedangkan bulan defisitnya tidak ada. Dengan demikian kinerja DAS Bahorok ditinjau dari neraca airnya dapat dikategorikan baik. e. Koefisien Runoff (C) Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang menggunakan peta-peta tematik parameter yang berpengaruh terhadap C seperti peta lereng, tanah, aliran sungai dan penggunaan lahan yang ada maka C dapat diprediksi. Hasil analisis menunjukkan besarnya C rata-rata di DAS Bahorok adalah 0,60. Nilai C ini termasuk kategori jelek, karena menunjukkan bahwa wilayah ini potensi terbentuknya aliran permukaan sangat besar.

11 Sumberdaya Manusia (SDM) Aspek SDM yang digunakan untuk analisis kinerja DAS Bahorok adalah tekanan penduduk. Nilai Tekanan Penduduk (TP) dimaksudkan untuk menghitung besarnya tekanan penduduk terhadap lingkungan/sumberdaya alamnya. Semakin besar jumlah penduduk, maka semakin besar pula kebutuhan akan sumberdaya alam sehingga tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam akan semakin meningkat. Hasil perhitungan diperoleh nilai tekanan penduduk sebesar 0, Niali ini masih lebih kecil dari standar kategori baik (< 1) yang berarti tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam atau lingkungan di Kecamatan Bahorok atau DAS Bahorok relatif kecil dan lahan pertanian yang ada masih memungkinkan untuk menampung lebih banyak penduduk petani. Dengan demikian kinerja DAS Bahorok dapat digolongkan baik ditinjau dari aspek SDM. Sosial, Budaya dan Ekonomi a. Ketergantungan Penduduk Terhadap (LQ) Indeks LQ digunakan untuk menentukan ketergantungan penduduk terhadap lahan di DAS Bahorok. Nilai LQ sektor pertanian sebesar 1,73 (>1) menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang penting di Kecamatan Bahorok dan dapat dikatakan bahwa masyarakat di wilayah tersebut sangat tergantung pada sektor pertanian. b. Produktivitas Produktivitas lahan yang ditunjukkan oleh perbandingan antara total produksi terhadap luas lahan. Produktivitas komoditas pertanian tanaman pangan di Kecamatan Bahorok dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2002 cenderung menurun, terutama untuk komoditas padi ladang dan padi sawah. Dengan demikian kinerja DAS Bahorok ditinjau dari produktivitas lahan tergolong jelek. c. Tingkat Pendapatan Pendapatan perkapita Kecamatan Bahorok pada tahun 2002 adalah sebesar Rp /kapita/tahun. Pendapatan perkapita Kecamatan Bahorok tersebut relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai batas kemiskinan penduduk Indonesia tahun 2002 yang telah ditetapkan sebesar Rp /kapita/bulan atau setara dengan Rp /kapita/tahun. Dengan demikian kinerja DAS Bahorok ditinjau dari tingkat pendapatan masyarakat tergolong baik. Kelembagaan Salah satu aspek yang penting untuk mengukur kinerja DAS adalah kelembagaan pengelolaan DAS. Parameter yang digunakan dalam mengevaluasi kelembagaan adalah KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplikasi). Hal ini karena pengelolaan DAS melibatkan multi stakeholders, multi sektor dan multi disiplin.

12 Berdasarkan hasil analisis terhadap kelembagaan pengelolaan DAS Bahorok masih bersifat sektoral dan belum terpadu serta masih tumpang tindih antar instansi maupun non instansi. Dengan demikian kinerja DAS Bahorok ditinjau dari sisi kelembagaan tergolong jelek. Penetapan Indeks Kinerja DAS Bahorok Untuk mempermudah pembahasan selanjutnya maka semua hasil perhitungan dan analisis diringkas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Kondisi Kinerja DAS Bahorok Berdasarkan Aspek-aspek Umum Penilaian Kinerja No aspek Parameter Nilai atau Kategori Bobot tingkat 1. Pemanfaatan - Indeks Penggunaan 88,24% Baik 1 - Kesesuaian Penggunaan 96,3% Baik 1 - Tingkat Erosi Potensial 548,67 ton/ha/th Jelek 3 2. Hidrologi - Koefisien Regim Sungai 24,5 Baik 1 - Indeks Penggunaan Air 0,09 Baik 1 - Kandungan Pencemar Tidak ada pencemaran Baik 1 - Neraca Air Tidak ada bulan defisit Baik 1 - Koefisien Runoff 0,60 Jelek 3 3. Sumberdaya Manusia - Tekanan Penduduk 0,14 Baik 1 4. Sosial Ekonomi - Ketergantungan penduduk Budaya terhadap lahan 1,73 Jelek 3 - Produktivitas Menurun Jelek 3 - Tingkat Pendapatan Tinggi Baik 1 5. Kelembagaan - K I S S Rendah Jelek 3 Sumber : Hasil Analisis, 2004 Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran parameter berdasarkan tingkat keterkaitan dengan kondisi DAS Bahorok, maka nilai yang ada dikalikan dengan bobot yang sudah ditentukan. Hasil perkalian parameter dengan bobot masingmasing dapat dilihat pada Tabel 6

13 no Aspek Parameter 1. Pemanfaatan Tabel 6 Klasifikasi Tingkat Kinerja DAS Bahorok Bobot Tingkat Kinerja Kategori Keterkaitan - Indeks Penggunaan 1 12,7 12,7 - Kesesuaian Penggunaan 1 12,7 12,7 - Tingkat Erosi Potensial 3 25,5 76,5 2. Hidrologi - Koefisien Regim Sungai 1 8,1 8,1 - Indeks Penggunaan Air 1 2,1 2,1 - Kandungan Pencemar 1 8,4 8,4 - Neraca Air 1 3,4 3,4 - Koefisien Runoff 3 9,1 27,3 3. SDM - Tekanan Penduduk 1 6,0 6,0 4. Sosial - Ketergantungan penduduk Ekonomi terhadap lahan 3 2,0 6,0 Budaya - Produktivitas 3 2,0 6,0 - Tingkat Pendapatan 1 2,0 2,0 5. Kelembagaan - K I S S 3 6,0 18,0 TOTAL 184,2 Sumber : Hasil Analisis, 2004 Berdasarkan perhitungan di atas maka nilai total kinerja DAS Bahorok adalah 184,2 Hasil akhir yang ada ini kemudian dibandingkan dengan kriteria kinerja DAS Bahorok yang telah disusun sebelumnya. Dengan demikian kinerja DAS Bahorok termasuk ke dalam kriteria kinerja DAS sedang. IV. KESIMPULAN Dapat dikatakan bahwa DAS Bahorok secara umum ekosistemnya mulai mengalami gangguan baik secara fisik/hidrologi, manusia, sosial ekonomi budaya, dan pemanfaatan lahan. Aspek kelembagaan belum dapat dikatakan sudah berfungsi dengan baik. Namun gangguan yang secara fisik ini dapat dikatakan bukan hanya disebabkan oleh perlakuan manusia tetapi juga dikarenakan kondisi alamnya. Kondisi alam yang berlereng curam, solum tanah yang tipis, rentan gempa dan longsor serta curah hujan dapat dikatakan sebagai faktor utama penyebab bencana, yang hal ini didukung dengan adanya masyarakat yang membangun permukiman dan sarana wiasata di bantaran sungai. Dengan diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja DAS Bahorok, maka pengelolaan DAS Bahorok dapat dilaksanakan dengan tepat dan efektif.

14 V. REFERENSI - Bapedalda Propinsi Sumatera Utara, Data dan Analisis Bencana Banjir Bahorok, Medan - Bakornas PBP, Pengkajian tentang Bencana Banjir Bandang DAS Bahorok Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara, Jakarta - Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, Data dan Fakta Banjir Bandang di Sub DAS Bahorok. Medan - Kementerian Lingkungan Hidup, Kriteria, Indikator dan Parameter Kerusakan Ekosistem DAS, Jakarta - Unit Management Leuser, Penyebab Terjadinya Banjir Bandang di Sungai Bahorok.

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN 3.1 KABUPATEN LANGKAT 3.1.1 Letak Geografis Secara geografis Kabupaten Langkat terletak antara 3 0 14 4 0 13 Lintang Utara dan 97 0 52 98 0 45 Bujur Timur. Merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN KINERJA PENGELOLAAN DAS DI SUB DAS KONTO HULU

STUDI PENENTUAN KINERJA PENGELOLAAN DAS DI SUB DAS KONTO HULU STUDI PENENTUAN KINERJA PENGELOLAAN DAS DI SUB DAS KONTO HULU Anggara Cahyo Wibowo 1, Rini Wahyu Sayekti 2, Rispiningtati 2 1 Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan suatu kejadian dan fenomena baik alam non alam dan sosial yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan kehidupan

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kegiatan memperbaiki, memelihara, dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan barang dan jasa khususnya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

MODUL KULIAH DASAR ILMU TANAH KAJIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DALAM UPAYA PENGENDALIAN BANJIR. Sumihar Hutapea

MODUL KULIAH DASAR ILMU TANAH KAJIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DALAM UPAYA PENGENDALIAN BANJIR. Sumihar Hutapea MODUL KULIAH DASAR ILMU TANAH KAJIAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DALAM UPAYA PENGENDALIAN BANJIR Sumihar Hutapea UNIVERSITAS MEDAN AREA MEDAN 2016 KARAKTERISTIK DAS : DAS Sebagai Ekosistem Geografi

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air adalah salah satu sumber daya alam yang tersedia di bumi. Air memiliki banyak fungsi dalam kelangsungan makhluk hidup yang harus dijaga kelestariannya dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Studi

Gambar 2. Lokasi Studi 17 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi Studi ini berlokasi di Kawasan Sungai Kelayan di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai Kelayan terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan (Gambar 2).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

Pemintakatan Risiko Bencana Banjir Bandang di Kawasan Sepanjang Kali Sampean, Kabupaten Bondowoso

Pemintakatan Risiko Bencana Banjir Bandang di Kawasan Sepanjang Kali Sampean, Kabupaten Bondowoso JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 C-58 Pemintakatan Risiko Bencana Banjir Bandang di Kawasan Sepanjang Kali Sampean, Kabupaten Bondowoso Bambang Budi Utomo dan Rima Dewi Supriharjo

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional dan meminimalkan perbedaan distribusi pengembangan sumber daya air di daerahdaerah, maka Pemerintah Indonesia telah

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012-2021 1 Oleh : Irfan B. Pramono 2 dan Paimin 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian adalah suatu rencana tentang cara mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data secara sistematis dan terarah agar penelitian dapat dilaksanakan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Data yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini merupakan data sekunder. Data-data yang diperlukan antara lain, data hujan, peta daerah tangkapan air, peta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR

DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 207 ISBN: 978 602 36 072-3 DAYA DUKUNG DAS BRANTAS BERDASARKAN EVALUASI KRITERIA TATA AIR Rahardyan Nugroho Adi dan Endang Savitri Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK i UCAPAN TERIMA KASIH ii DAFTAR ISI iii DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR TABEL viii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap persiapan disusun hal hal yang harus dilakukan dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) BAB III LANDASAN TEORI A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) Metode USLE dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan besarnya erosi untuk berbagai macam kondisi tataguna lahan dan kondisi iklim yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) BAB III LANDASAN TEORI A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) Metode USLE dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan besarnya erosi untuk berbagai macam kondisi tataguna lahan dan kondisi iklim yang

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

Tahun Penelitian 2005

Tahun Penelitian 2005 Sabtu, 1 Februari 27 :55 - Terakhir Diupdate Senin, 1 Oktober 214 11:41 Tahun Penelitian 25 Adanya peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis

Lebih terperinci

PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG

PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI SOLO GUBERNUR JAWA TIMUR DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Provinsi Lampung yang dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Negara Republik

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Provinsi Lampung yang dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Negara Republik 47 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Profil Kabupaten Pringsewu 1. Sejarah Singkat Kabupaten Pringsewu Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Lampung yang

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh 1 Hairul Basri, 2 Syahrul, 3,4 *Rudi Fadhli 1 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode MUSLE Metode MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) adalah modifikasi dari metode USLE (Soil Loss Equation), yaitu dengan mengganti faktor erosivitas hujan (R) dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Situasi Wilayah Letak Geografi Secara geografis Kabupaten Tapin terletak antara 2 o 11 40 LS 3 o 11 50 LS dan 114 o 4 27 BT 115 o 3 20 BT. Dengan tinggi dari permukaan laut

Lebih terperinci