Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) Agus Surono

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) Agus Surono"

Transkripsi

1 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) Agus Surono UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2013

2 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Agus Surono PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH (P4T) Agus Surono Cet. 1 - Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013 viii hlm. B5 ISBN

3 Untuk yang tercinta Orang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah Istriku Sonyendah R. Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso

4 KATA PENGANTAR Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinnya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam tentang Pola Pengelolaan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat di beberapa daerah. Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Pertanahan/Agraria. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian buku ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak dan Ibu upayakan dan ihtiarkan. Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H. Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas

5 Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi hukum ini. Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Agraria di Indonesia khususnya. Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan. Jakarta, April 2013 Agus Surono

6 DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Permasalahan... 6 C. Maksud dan Tujuan... 7 D. Manfaat Penelitian... 8 BAB 2 KERANGKA TEORITIK A. Teori Negara Kesejahteraan B. Teori Keadilan C. Teori Hukum Pembangunan BAB 3 METODE PENELITIAN A. Kerangka Pikir Kajian B. Pendekatan Penelitian C. Metode Pengumpulan Data D. Analisa Data BAB 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian B. Hasil Analisis Berdasarkan Data Sekunder Diluar Lokasi Studi BAB 5 HASIL OLAHAN DATA SEMENTARA YANG SUDAH SELESAI DIOLAH A. Analisis Sementara di Lokasi Pontianak

7 BAB 6 PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

8

9 Bab Satu PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih lanjut hak menguasai Negara dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang lain seperti UU Nomor 11 Tahun 1967 dan UU Nomor 5 Tahun 1967, Hak menguasai Negara dijabarkan menjadi: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dari hak menguasai Negara inilah bersumber wewenang Negara untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 1

10 rakyat. Namun kenyataannya pengelolaan tanah telah menimbulkan berbagai masalah. Tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat masih jauh dari yang diharapkan. Kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan ketimpangan pemilikan penguasaan tanah. Tanah dalam Republik ini sebagian besar dikuasai oleh pengusaha-pengusaha konglomerasi. Demikian juga telah terjadi secara besar-besaran peralihan fungsi tanah pertanian dan non pertanian. Sejak adanya perubahan paradigma pemerintahan setelah era reformasi hingga sekarang pelaksanaan usaha untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dapat dilakukan melalui berbagai program seperti usaha pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UKMM), program revitalisasi pertanian maupun program pembaruan agraria nasional. Masalah hak atas tanah ini sering kali dalam praktiknya menimbulkan berbagai persoalan, sehingga perlu dicari jalan keluar/solusi yang saling menguntungkan baik untuk kepentingan masyarakat maupun demi kepentingan Negara/umum. Pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan administrasi pertanahan di Indonesia sebagaimana diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 (3) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sampai saat ini masih banyak mendapat sorotan dari masyarakat, bahkan ada pihak-pihak tertentu yang mempunyai keinginan untuk merevisi UUPA tersebut. Pada sisi lain banyak pula pihak menilai bahwa substansi yang termuat dalam UUPA sebenarnya masih sangat relevan dengan perkembangan jaman dewasa ini, karena mereka beranggapan bahwa berbagai permasalahan pertanahan yang muncul ke permukaan semata-mata berada pada tataran implementasinya. Namun demikian, harus diakui bahwa pelaksanaan UUPA selama ini belumlah optimal memberikan kemakmuran yang 2 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

11 sebesar-besarnya bagi masyarakat. Paling tidak terdapat tiga kondisi yang mencerminkan permasalahan utama pengelolaan bidang pertanahan. Pertama, maraknya bermunculan kasus tentang konflik pertanahan. Sengketa/konflik pertanahanan ini dapat terjadi antara individu dengan individu, masyarakat dengan pihak swasta, swasta dengan swasta serta masyarakat dengan pemerintah. Termasuk juga di dalamnya sengketa terhadap tanah ulayat yang akan dimanfaatkan baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk kepentingan perkebunan. Kedua, masih terjadi ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Ketimpangan struktur ini mencerminkan masih terdapat focus kepemilikan/penguasaan tanah hanya pada kelompok tertentu. Sehingga masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan manfaat atas tanah sebagai salah satu sumber kehidupan. Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah ini juga terhadap keberadaan tanah ulayat, meskipun dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah memberikan pengakuan terhadap hak atas tanah ulayat kepada masyarakat adat. Ketiga, lemahnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah, khususnya bagi masyarakat ekonomi lemah. Jaminanan kepastian hukum ini sangat diperlukan terutama bagi kalangan ekonomi lemah agar menghindari adanya kemungkinan peluang dilakukan penyerobotan oleh pihak lain yang lebih kuat secara ekonomi baik individu maupun swasta. Dalam rangka meningkatkan kepastian hukum maka sangat diperlukan kualitas pelayanan terutama dalam memberikan hak atas tanah. Perlunya jaminan kepastian hukum ini juga sangat penting, khususnya kepada tanah ulayat yang dapat dimanfaatkan oleh kepentingan masyarakat untuk meningkatkan taraf ekonominya. Salah satu masalah yang terkait dengan masalah pertanahan adalah berkaitan dengan persoalan tanah adat/tanah ulayat. Masalah tanah Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 3

12 dan masyarakat mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan tersebut beraspek hukum perdata yang terbukti dengan adanya hak kepunyaan bersama atas tanah yang ada diwilayah hukumnya, sedangkan dalam aspek hukum public berupa kewenangan untuk mengelola, mengatur penguasaan, pemeliharaan, dan peruntukan penggunaan tanah. Hubungan yang meliputi kedua bidang hukum itu disebut Hak Ulayat. 1 Perwujudan ke dalam hak ulayat itu adalah pemanfaatan tanah ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan warga masyarakat, dengan memungkinkan bagi setiap warganya memakai bagian tanah bersama itu untuk digarap guna memenuhi keperluan hidup pribadi dan keluarganya. Pengakuan hak individu warga atas tanah yang demikian itu hanyalah berlaku selama tanah itu digarap, dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan hak bersama tadi. Apabila hak menggarap itu tidak dimanfaatkan setelah melewati batas waktu tertentu maka hak itu lenyap dan kembali ke tangan masyarakat. Dalam perwujudan keluar hak ulayat itu, orang asing atau orang luar masyarakat tanah milik bersama tadi, kecuali seizin masyarakat atau persekutuan dan harus pula memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Misalnya memberikan kepada persekutuan barang sesuatu yang disebut pengisi adat, sedangkan dalam Penjelasan angka 3 UUPA istilah itu disebut dengan recognitie. Dengan izin itu orang asing atau orang luar tersebut dimungkinkan membuka tanah untuk perladangan atau perkebunan, tetapi harus ditanami dengan tanaman yang tidak berumur panjang. Karena pada prinsipnya orang asing atau orang luar persekutuan tidak dibenarkan ikut memiliki tanah didalam wilayah persekutuan tersebut. 2 1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, cet. Ketiga, (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm Menurut Ter Haar dalam bukunya Beginselen en stelsel van het adatrecht (dalam Soepomo, 1993:46) dikatakan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan masing-masing 4 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

13 Keberadaan hukum adat mengenai tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Agrarische Wet , hanyalah diakui sebagai hak memakai tanah domein Negara (erfelijk individueel gebruikrecht = hak memakai individual yang turun temurun), dan disebut onvrij lands domein (=tanah Negara tidak bebas) dalam administrasi pertanahannya. Mengenai hak ulayat tidak diakui sebagai lembaga hukum, karena digolongkan vrij kinds domein (=tanah Negara bebas). Selain itu, dan sebagai akibat dari ketentuan Pasal 131 dan Pasal 163 IS maka pada masa ini pula berlaku dualisme hukum tanah, yaitu Hukum Tanah Barat yang tertulis dan diatur dalam Buku II BW dan Hukum Tanah Indonesia (Hukum Tanah Adat) yang umumnya tidak tertulis. Setelah Indonesia merdeka, masalah pertanahan untuk pertama kalinya dicantumkan dalam Pasal 3 ayat (3) UUD Karena kondisi Negara kurang kondusif, 15 tahun kemudian baru selesai dibuat UUPA yang bertujuan untuk mengunifiukasi hukum tanah. Dalam konsideran dari UUPA tersebut disebutkan bahwa hukum atnah agrarian nasional dinyatakan berdasarkan atas hukum tanah adat, maksudnya adalah bahwa dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional, hukum adat berfungsi sebagai sumber utama. Dalam penjelasan Pasal 2 (1) UUPA dikatakan bahwa hak bangsa itu adalah semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu pada tingkatan mengenai seluruh wilayah negara. Pada hak bangsa itulah bersumber hak penguasaan atas tanah primer maupun sekunder termasuk hak tanggungan. Tetapi dalam Pasal 3 UUPA hak ulayat itu masih tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Adanya ketimpangan pemilikan tanah, khususnya mengenai pemilikan dan pemanfaatan tanah adat maka diperlukan suatu program mengalami kehidupan sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada satu orangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus tersendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hidup. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 5

14 kebijakan di bidang pertanahan yang lebih menjamin perlindungan masyarakat dan benar-benar mewujudkan harapan masyarakat. Untuk menangani dan membenahi persoalan pertanahan yang berkaitan dengan tanah adat tersebut di atas tentu diperlukan pemikiran-pemikiran dari banyak pihak, baik bersifat akademisi maupun praktisi yang diharapkan nantinya dapat membantu pimpinan merumuskan kebijakan pertanahan dalam bentuk kegiatan beruapa penelitian mengenai pola P4T masyarakat hukum adat dengan sasasran utama bagaimana merumuskannya dalam wilayah masyarakat hukum adat/ulayat dapat member kontribusi maksimal bagi keinginan politik pemerintah yaitu tanah untuk kesejahteraan rakyat. Melalui penilitian ini akan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk kebijakan di bidang pertanahan khususnya mengenai pola P4T masyarakat hukum adat agar mampu memberikan kontribusi yang nyata untuk mensejahterakan masyarakat adat khususnya dan masyarakat pada umumnya terutama terhadap kesempatan mereka untuk memanfaatkan tanah secara optimal. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut di atas harus mampu menjawab beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Bagaimana pola P4T terhadap tanah adat/ulayat yang ada pada saat ini? 2. Bagaimanakah kontribusi P4T pada tanah adat/ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat? 3. Bagaimanakah konsep pola P4T yang efektif dan ideal dalam rangka 6 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

15 mewujudkan kesejahteraan masyarakat? 4. Alternatif kebijakan apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat? C. Maksud dan Tujuan Maksud penyelenggaraan kegiatan ini adalah untuk memperoleh masukan-masukan dalam pola P4T yang telah dilaksanakan di berbagai daerah yang dijadikan sebagai sampel penelitian guna menghasilkan rumusan kebijakan secara nasional berkaitan dengan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun yang menjadi tujuan kajian ini secara lebih khusus harus mampu menjawab beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut di atas yang meliputi: 1. Untuk mendapatkan informasi dan menganalisis tentang P4T terhadap tanah adat/ulayat yang ada saat ini. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang kontribusi P4T pada tanah adat/ulayat terhadap kesejahteraan masyarakat. 3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pola P4T yang efektif dan ideal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 4. Untuk mendapatkan informasi dan mengkaji tentang kemungkinan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap pola P4T terhadap tanah adat/ulayat untuk mensejahterakan masyarakat. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 7

16 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat dan memberikan kontribusi pemikiran: Pertama, penelitian ini diharapkan, dari sudut teori dapat memberikan sumbangan pemikiran dan upaya mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ ulayat. Kedua, dari sudut praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman oleh instansi BPN khususnya dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh BPN dalam pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ ulayat. 8 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

17 Bab Dua KERANGKA TEORITIK Penelitian ini pada dasarnya adalah dalam rangka sebagai alternatif kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Secara khusus akan dicermati tentang pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat yang dapat diterapkan secara nasional di beberapa daerah dengan disesuaikan dengan kondisi di daerah masingmasing. Upaya untuk melakukan penelitian Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat menggunakan beberapa teori yang akan dipakai sebagai alat analisis penelitian. Beberapa teori tersebut diantaranya teori Negara Kesejahteraan (welfare state), teori Keadilan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Rawls, teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 9

18 A. Teori Negara Kesejahteraan Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk dapat menjawab 3 (tiga) identifikasi masalah yang telah ditetapkan. Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan negara adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara hukum yang semula merupakan liberal berubah ke negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. 1 Menurut konsep Negara Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut. 2 Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu konsep yang menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat 3. Sehubungan dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi 4 yaitu: 1. The State as provider (negara sebagai pelayan) 2. The State as regulator (negara sebagai pengatur) 3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and 4. The State as umpire (negara sebagai wasit). 1 Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm Mustamin Dg. Matutu, Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, Pidato Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, hlm W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

19 Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara kesejahteraan sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan negara memegang peranan penting. Guna memenuhi fungsinya sebagai pelayan dan sebagai regulator, maka negara terlibat dan diberi kewenangan untuk membuat peraturan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang memberikan perlindungan kepada masyarakat lokal, sehingga terwujud kesejahteraan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3). Oleh sebab itu,peranan pemerintah dalam mendorong masyarakat agar lebih berdaya dalam ikut mengelola dan memanfaatkan tanah adat/ulayat menjadi suatu hal yang sangat penting. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ ulayat dalam mewujudkan hak-hak masyarakat adat/lokal. Instrumen penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan fungsi reguleren termasuk dalam bidang agrarian khususnya terhadap tanah adat/ulayat adalah undang-undang, dan ini merupakan aplikasi dari asas legalitas dalam konsep negara berdasar atas hukum. Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung suatu pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dalam mewujudkan hak masyarakat lokal, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor agrarian yang dapat dimanfaatkan untuk bidang pertanian, perkebunan maupun bidang lainnya. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 11

20 Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali diadop oleh Muhamad Hatta, 5 yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 33 yang berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, termasuk juga di dalamnya sumber daya agraria mengacu pada ideologi penguasaan dan pemanfaatan sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: 5 Jimly Asshiddiqie, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Universitas Indonesia, Jakarta, Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

21 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara menguasai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun penguasaan ini dibatasi yaitu harus dipergunakan untuk sebesarnyabesarnya kemakmuran rakyat. 6 Campur tangan Pemerintah tersebut di atas menunjukkan bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (Welfare State), sebagaimana dicetuskan oleh Beveridge. 7 Selanjutnya, dalam perkembangannya karena keterlibatan pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya dalam membuat regulasi dan mengawasi berbagai aktivitas di masyarakat, timbul berbagai permasalahan yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat di lapangan. Hal tersebut digambarkan oleh Tocqueville seringkali menimbulkan konflik termasuk juga di dalamnya konflik tenurial di suatu negara. Ia mengemukakan bahwa: Conflict, however bounded; controversy, however regulated-these are features not incidental but essential to the operation of the political system. 8 Tujuan hukum dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, masingmasing: Pertama, dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatik, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi 6 Muchsan, Hukum Administrasi Negara dan Peradilan, Administrasi Negara di Indonesia, (Jakarta: Liberti, 2003), hlm.9. 7 Beveridge seorang anggota Parlemen Inggris dalam reportnya yang mengandung suatu program sosial, dengan perincian antara lain tentang meratakan pendapatan masyarakat, usulan kesejahteraan social, peluang kerja, pengawasan upah oleh Pemerintah dan usaha di bidang pendidikan. Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm Tocqueville s seperti dikutip Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State, (New York: Stanford University Press, 1978), hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 13

22 kepastian hukumnya. Kedua, dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan. Ketiga, dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya. 9 B. Teori Keadilan Disamping teori Negara Kesejahteraan, dipergunakan juga sebagai pisau analisis adalah teori keadilan. Menurut ajaran utilitis dengan tujuan kemanfaatannya, yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Menurut pandangan ini, tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyakbanyaknya warga masyarakat. Penangannya didasarkan pada filsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan the greathes happiness principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan agar ketidakbahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 2000), hlm Ibid., hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

23 Selain pandangan teori keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dapat dikemukakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Menurut John Rawls, semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilitaris, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan. Menurut Rawls, bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran). Jadi yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, itulah yang harus dipedomani. Terdapat dua prinsip dasar keadilan. Prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya. 11 Prinsip keadilan yang kedua yang akan disetujui oleh semua orang yang fair adalah bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus menolong seluruh masyarakat dan para pejabat tinggi harus terbuka 11 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 15

24 bagi semuanya. Tegasnya, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat. 12 Teori keadilan ini sangat relevan untuk menjawab bagaimana seharusnya kebijakan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dapat mewujudkan hak masyarakat adat/lokal secara adil. Karena esensi hak masyarakat adat/lokal dalam pemanfaatan sumber daya agrarian khususnya terhadap tanah adat/ ulayat adalah adanya perlakuan yang adil untuk memanfaatkan dan mengelola tanah adat/ulayat secara arif bijaksana dan berkesinambungan untuk kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan generasi yang akan datang. C. Teori Hukum Pembangunan Friedman mengemukakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur 13 : Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 (elemen), yaitu (a) struktur system hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislative), institusi pengadilan dengan strukturnya lembaga kejaksaan dan badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) subtansi sistem hukum (substance of legal) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan- 12 Ibid. 13 Lawrence W Friedman, American Law, ( New York: W.W. Norton & Company, 1984), hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

25 harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum. Pendapat serupa juga dikemukakan dalam teori hukum pembangunan dari Muchtar Kusumaatmadja. Berdasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan teori hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. 14 Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Muchtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. 15 Dengan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Muchtar memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu: Ibid, hlm Ibid. 16 Ibid. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 17

26 a. Azas-azas dan kaidah hukum; b. Kelembagaan hukum; c. Proses perwujudan hukum. Menurut Muchtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu. 17 Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. 18 Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban. 19 Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. 20 Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah 17 Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: PT. Alumni, 2002), hlm Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid, hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

27 ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum baik berwujud perundang-undangan maupun keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan. 21 Dalam tataran pelaksanaan kebijakan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat harus dapat dijabarkan lebih detail dan lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundangperundangan. Dalam kaitannya dengan pengurusan sumber daya agrarian khususnya yang berkaitan dengan tanah adat/ulayat perlu adanya good lands governance. 22 Adapun syarat good lands governance antara lain: Pertama, adanya transparansi hukum, kebijakan dan pelaksanaan; Kedua, tersedianya mekanisme yang legitimate dalam proses akuntabilitas publik; Ketiga, adanya mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi yang partisipatif; Keempat, adanya mekanisme demokratis dalam memperkuat daerah; Kelima, memperbaiki birokrasi pusat yang tidak efektif dan efisien untuk perbaikan kinerja melalui pengembangan institusi yang mengarah kepada peningkatan pelayanan publik. 23 Beberapa prasyarat di atas sudah sejalan dengan subtansi Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm Elfian Efendi, Jangan Menunggu Kapal Pecah, ( Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), hlm Ibid., hlm Pasal 3 Undang-Undang No.28 Tahun 1999, menyebutkan bahwa ada tujuan asas umum penyelenggaraan negara, yaitu: Kesatu, kepastian hukum, Kedua, asas tertib penyelenggara negara, Ketiga, asas kepentingan umum, Keempat, asas keterbukaan. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 19

28 Pengelolaan tanah adat/ulayat adalah sistem pengelolaan tanah adat/ulayat dalam rangka memberikan perlindungan sistem penyangga kehidupan di kawasan tanah adat/ulayat yang dalam penelitian ini digunakan khusus untuk lingkup penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Apabila pengelolan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dapat menerapkan prinsip keadilan, maka akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Artinya hak-hak masyarakat adat/lokal dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya, sehingga cita-cita konsep Negara kesejahteraan dapat terwujud. Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pemerintah khususnya institusi BPN Pusat dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dan bagaimana mewujudkan hak masyarakat lokal, terutama perlindungan dalam bentuk perbaikan atas pengaturan perundang-undangan pada masa yang akan datang. Untuk menghindarkan perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan disertasi ini, berikut ini definisi operasional dari istilah-istilah tersebut. 1. Masyarakat Adat adalah kesatuan manusia yang tertentu, mempunyai penguasa-penguasa danmempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun di antara para anggota mempunyai fikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, dalam arti melepaskannya untuk selamalamanya Budi Riyanto, Bunga Rampai Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam Menuju Smart Regulation, (Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2006), hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

29 2. Masyarakat Lokal adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan yang dalam hal ini tinggal disekitar kawasan Taman Nasional yang mempunyai ciri-ciri sosial, ekonomi, budaya yang berbeda dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat lokal yaitu sekelompok penduduk asli yang tidak terikat lagi pada masyarakat adat dan pendatang yang berasal dari daerah lain yang sudah tinggal di kawasan tersebut selama lebih dari 10 tahun atau lahir di tempat tersebut, mempunyai hak untuk memanfaatkan hutan yang berada disekitar masyarakat tersebut tinggal Konflik adalah sebagai perwujudan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama. Titik berat konflik dalam penelitian ini adalah konflik kehutanan yang telah muncul kearena publik yang antara lain disebabkan oleh perambahan hutan, pencurian kayu illegal, masalah batas wilayah pengelolaan kawasan hutan, masalah kerusakan hutan, serta adanya peralihan fungsi kawasan hutan Pembagian Kewenangan adalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan Hak Masyarakat Lokal adalah merupakan hak penduduk yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk memanfaatkan sumber daya alam dalam bentuk hak untuk menggarap tanah, memanfaatkan air dan mengambil hasil hutan untuk keperluan rumah tangga. 6. Hak Ulayat adalah hak kepemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga 26 Saafroedin Bahar, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, 2005), hlm Yuliana Cahya Wulan, dkk, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia , (Bogor: CIFOR, 2007), hlm Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 21

30 masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentang dengan undangundang Pengetahuan Tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal setempat dalam kaitannya dengan masalah konservasi sesuai pengethuan yang dimiliki secara turun temurun dalam mengelola sumber daya alam dengan senantiasa berpedoman pada kearifan tradisional/lokal Zona Pemanfaatan Tradisonal adalah merupakan zona pemanfaatan kawasan hutan dengan memperhatikan kearifan lokal/tradisonal masyarakat sekitar kawasan hutan dalam kaitannya dengan pemanfaatan hutan dan masalah konservasi Konservasi Tradisional adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan tradisonal masrakat sekitar kawasan hutan Tanah Ulayat adalah tanah hak kemilikan bersama/komunal dari masyarakat hukum adat yang dikelola secara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan undang-undang Pemerintahan Desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Sedangkan perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria. 30 Budi Riyanto, Op. Cit, hlm Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 32 Budi Riyanto, Op. Cit., hlm Ibid 34 Pasal 202 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 22 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

31 Bab Tiga METODE PENELITIAN A. Kerangka Pikir Kajian Dalam bab ini akan dijelaskan pendekatan dan metodologi yang akan dijalankan oleh Konsultan dalam menangani Pekerjaan Penelitian Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat, yang secara garis besar tahapan pekerjaan sesuai yang tercantum dalam kerangka acuan kerja adalah tahap persiapan perencanaan/ perancangan, penyusunan gambar pra rencana, penyusunan pengembangan perencanaan, pembuatan perhitungan biaya kerja, rancangan detail, persiapan pelelangan, pelelangan, evaluasi dan negosiasi, pengawasan berkala, dan tentunya dalam setiap langkah yang akan diambil tetap mengadakan asistensi/ diskusi dengan Pengguna Jasa. Dalam penelitian tentang Pola P4T terhadap Tanah Ulayat, pertama kali dilakukan pendekatan dengan melakukan proses inventarisasi berbagai kebijakan pemerintah di bidang pertanahan baik yang terdapat dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 23

32 dan Ketentuan turunannya beserta UU lainnya yang terkait dengan masalah tanah adat atau tanah ulayat, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan. Untuk mencapai tujuan pertama ini, dilakukan desk research dan evaluasi relevansi dan tingkat kepentingan substansi pengaturan peraturan perundangundangan dan kebijakan yang berkaitan dengan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat pada saat ini untuk antisipasi pada masa yang akan datang. Desk research kemudian diintegrasikan dengan hasil observasi dan survei lapangan, serta pencocokan data untuk dapat dievaluasi pelaksanaan Pola P4T dalam pengambilan kebijakan di pemerintahan daerah. Mengingat kebijakan yang berpengaruh terhadap pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat di pemerintahn daerah, maka secara umum kebijakan yang dievaluasi dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu : (1) Relevansi, (2) Signifikansi, dan (3) Daya guna. B. Pendekatan Penelitian 24 Dalam melaksanakan Penelitian Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat, diperlukan pendekatan yuridis empiris/yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis dilakukan untuk memahami pengaturan pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat dan juga untuk mengetahui sinkronisasi dan kontradiksi terhadap aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah tanah adat/ulayat dalam kerangka hukum tanah nasional. Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengidentifikasi hukum yang nyatanyata berlaku (secara implicit berlaku) dalam masyarakat mengenai hak penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Penelitian ini juga didukung dengan pendekatan historis Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

33 (sejarah) untuk mengungkap dan menjelaskan lembaga hukum terutama masyarakat adat yang terkait dengan masalah tanah adat/ulayat. 1 Agar proses pelaksanaan penelitian dapat mencapai tujuan yang akan dicapai maka diperlukan enam langkah proses berpikir sistemik. Langkah-langkah proses ini merupakan panduan umum saja yang meliputi: 1. Identifikasi kondisi yang ada; 2. Identifikasi kebutuhan dan kondisi yang diinginkan; 3. Identifikasi permasalahan; 4. Analisis; 5. Penyusunan alternatif usulan kebijakan; 6. Memperkirakan dampak implementasi kebijakan. C. Metode Pengumpulan Data 1. Metodologi Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan guna mengumpulkan Literatur yang berkaitan dengan kebijakan, peraturan dan perundangan terkait di bidang pola penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Atau bisa juga diperoleh berdasarkan hasil studi sebelumnya untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dari kondisi yang terkait dengan perumahan dan permukiman, termasuk permasalahan, kebutuhan maupun harapan yang diinginkan. 1 Jufrina Rizal, dalam Hermayulis, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Keberadaan Pada Sistem Kekerabatan Patrilinial di Sumatera Barat, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1991), hlm. 58. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 25

34 Pengumpulan data melalui data sekunder ini dikatagorikan sebagai penelitian sekunder, dimana penelitian sekunder merupakan pendekatan penelitian yang menggunakan data-data yang telah ada, selanjutnya dilakukan proses analisa dan interpretasi terhadap data-data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian. Sebelum melaksanakan pengumpulan data sekunder tim studi harus benarbenar memahami sampai sejauh mana data-data sekunder ini dapat digunakan, untuk itu keuntungan dan kerugian penelitian sekunder berikut harus diketahui. Metodologi umum dalam penelitian sekunder a. Mencari dan mengumpulkan data. b. Membuat agar unit pengukuran yang digunakan dapat dibandingkan (comparable). c. Mengevaluasi data/ dokumen. d. Menentukan kelengkapan data. e. Melakukan analisa data. Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan. kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi. Dokumen dapat dibedakan menjadi dokumen primer, jika dokumen ini ditulis oleh orang yang langsung mengalami suatu peristiwa; dan dokumen sekunder, jika peristiwa dilaporkan kepada orang lain yang selanjutnya ditulis oleh orang ini. Dokumen dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case records) dalam pekerjaan sosial, dan dokumen lainnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dokumen-dokumen ini ditulis tidak untuk tujuan penelitian sehingga penggunaannya memerlukan kecermatan. 26 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

35 Kegiatan studi literatur mengacu sumber-sumber yang meliputi : a. Inventarisasi landasan hukum, peraturan dan perundang undangan serta kebijakan dan strategi Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat; b. Data terkait dengan kondisi/situasi dan permasalahanpermasalahan yang terjadi di lapangan yang terkait dengan Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat ; c. Data mengenai kondisi yang ada terkait dengan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat; d. Kondisi yang terjadi di lapnagan tentang Pola P4T terhadap Tanah Adat/Ulayat saat ini; e. Data dan informasi mengenai aspek teknologis, administratif pertanahan, sosiologis dan ekonomis, terkait dengan Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat yang dilaksanakan saat ini. Hasil deskripsi ringkas dari studi data sekunder tersebut selanjutnya diasistensikan untuk mendapat masukan dari pengguna jasa guna penyempurnaan langkah kerja lebih lanjut. Setelah dibahas dibuatlah superimpossed untuk masing-masing permasalahan yang dihadapi guna dilakukan verifikasi lapangan dengan penelitian primer (survai primer). Hasil dari penelitian sekunder yang masih berupa data akan dituangkan dalam laporan antara. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 27

36 2. Metodologi Pengumpulan Data Primer Survey akan dilakukan guna pengumpulan data dikakukan dengan cara wawancara ataupun kuesioner dengan nara sumber dari masyarakat, instansi pemerintahan terkait dan juga dari kalangan akademisi. Adapun kuesioner yang disebarkan untuk mendapatkan data lapangan yang memadai menggunakan beberapa model yaitu berupa pertanayaan yang akan dianalisis secara kualitatif dan juga kuantitatif. Secara rinci kedua jenis kuesioner tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Kuesioner Kajian Dengan Analisis Kuantitatif Tabel. Matrik Pengumpulan Data No Rumusan Masalah Pengembangan Indikator Variabel Paremeter Ukur 1 Bagaimana karakteristik P4T tanah adat/ulayat dari aspek Penguasaan/ pemilikan, penggunaan/ pemanfaatan dan jenis hak atas tanah? Delineasi Wilayah penguasaan pengguanan geografis Administrasi) A. Karakteristik P4T A-1. Penguasaan pemilikan? Tanah adat/ulayat Indidualisasi Penuh/Utuh Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu,, sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu,, sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan Campuran Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek, Waktu,, sistem sewa, bagi hasil, garapan Peralihan/ Jual Beli, program pertanahan 28 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

37 2 Kontribusi P4T masyarakat adat/ulayat thd kesejahteraan? A-2 Penggunaan pemanfaatan? Individualisasi Penuh/Utuh Campuran Mayoritas jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb) Mayoritas jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb), Mayoritas jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah (Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb) Asset tanah Penguasaan Sistem sewa, bagi hasil, garapan, jual beli Pemilikan Individu, Kolektif/ Bersama, Campuran Penggunaan Permukiman, sawah, tanah kering, kebun Pemanfaatan Permukiman, sawah, tanah kering, kebun Akses Sosekbud Jalan penghubung Kondisi jalan penghubung (jalan rusak, baik, dsb) Pemasaran Pemasaran melalui koperasi, kelompok masyarakat, tengkulak, dsb. Perbankan Terdapat bank yang menyalurkan kredit di pedesaan (BPR, BRI, dsb) Produksi Produksi pemanfaatan tanah adat bagi masyarakat (padi, polowijo, karet, dsb) 3 Rumusan pola P4T yang efektif dan ideal Akses Kelembagaan Organisasi usaha Organisasi usaha meliputi (Koperasi, UKM, dsb) Efektif Peraturan Peraturan yang ada telah dilaksanakan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 29

38 Pelaksanaan Pelaksanaan peraturan sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam ketentuan yang berlaku Ideal Rumusan Rumusan memenuhi kaidah pembuatan peraturan yang baik Perlindungan Melindungi kepentingan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan PETUNJUK PENGISIAN Mohon Bapak/Ibu/Saudara untuk memberikan tanda silang (X) pada kolom yang telah disediakan sesuai dengan pendapat atau pilihan Bapak/Ibu/Sdr. Keterangan Pilihan Jawaban 1 = STS (Sangat tidak Setuju) 3 = CS (Cukup Setuju) 5 = SS (Sangat Setuju) 2 = TS (Tidak Setuju) 4 = S (Setuju) 30 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

39 No A PERNYATAAN MENGENAI FAKTOR FAKTOR YANG MENENTUKAN PERCEPATAN PENDAFTARAN DAN SERTIPIKASI TANAH PERTAMA KALI Item-Item Pernyataan Yang Mempercepat Karakteristik P4T Penguasaan/pemilikan Tanah adat/ulayat (individu, utuh/kolektif, campuran). Pola penguasaan/ pemilikan tanah adat/ ulayat saat ini lebih mengaraah kepada individualisasi. Pola penguasaan/ pemilikan tanah adat/ ulayat saat ini lebih mengarah kepada kolektif/ bersama secara utuh? Pola penguasaan/ pemilikan tanah adat/ ulayat lebih mengarah kepada pola penguasaan yang bersifat campuran. Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemilikan yang bersifat individual dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan. Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemilikan yang bersifat utuh (kolektif/bersama) dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan. PILIHAN JAWABAN STS TS CS S SS Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 31

40 B. 5. Tata cara perolehan hak dan kewajiban Subyek penguasaan/pemilikan yang bersifat campuran dapat melalui sistem sewa, bagi hasil, garapan, Jual Beli, program pertanahan. Mayoritas jenis p e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah yang bersifat individual untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb. Mayoritas jenis p e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah yang bersifat utuh/ kolektif/bersama untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb. Mayoritas jenis p e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah yang bersifat campuran untuk Permukiman, Sawah, Tanah kering, kebun, dsb. Kontribusi P4T Masyarakat Adat/Ulayat Terhadap Kesejahteraan Aset Tanah, Akses Sosekbud, Akases Kelembagaan terhadap kesejahteraan Kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh Aset tanah yang dapat berupa sistem sewa, bagi hasil, garapan, jual beli STS TS CS S SS Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

41 C. Kontribusi P4T terhadap k e s e j a h t a e r a a n masyarakat ditentukan oleh kepemilikan tanah adat/ulayat yang bersifat Individu, Kolektif/ Bersama, Campuran. P e n g g u n a a n / pemanfaatan tanah adat/ulayat terhadap k e s e j a h t e r a a n masyarakat dapat berupa Permukiman, sawah, tanah kering, kebun. Akses sosekbud terhadap kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh faktor jalan penghubung, pemasaran, perbankan dan produksi. Akses sosekbud terhadap kesejahteraan masyarakat juga ditentukan oleh faktorfaktor selain faktor jalan penghubung, pemasaran, perbankan dan produksi. Akses kelembagaan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat berupa koperasi, UKM dan organisasi usaha lainnya RUMUSAN POLA P4T YANG EFEKTIF DAN IDEAL STS TS CS S SS Efektif Peraturan yang ada terkait dengan Pola P4T telah memadai dan telah dilaksanakan dengan baik Pelaksanaan peraturan yang berkaitan dengan pola P4T tidak terjadi penyimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 33

42 STS TS CS S SS Ideal Peraturan tentang Pola P4T memenuhi kaidah pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik Peraturan perundangundangan tentang Pola P4T mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya b. Kuesioner Dengan Metode Analisis Kualitatif Format metode kuesioner dengan metode analisis kualitatif dalam penelitian pola penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat, dapat diuraikan sesuai format sebagai berikut: DAFTAR PERTANYAAN 1. Identitas a. Nama : b. Jenis Kelamin : c. Pekerjaan : d. Umur : 34 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

43 e. Instansi : f. Alamat : 2. Daftar Pertanyaan : a. Apakah yang Bapak/Ibu/saudara ketahui tentang hak atas tanah ulayat? b. Permasalahan apa yang berkaitan dengan masalah hak atas tanah ulayat yang sering kali terjadi? Apakah karena pola penguasaan, penggunaan, pemilikan ataukah pemanfaatan atas tanah ulayat? c. Terhadap pilihan jawaban pada poin b yang dipilih jelaskan alasan mengapa di Provinsi Bapak/Ibu/saudara permasalahan tanah ulayat disebabkan oleh salah satu faktor tersebut di atas?... Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 35

44 d. Diantara keempat permasalahan yang sering muncul mengenai tanah ulayat di daerah Bapak/Ibu/saudara. Mana permasalahan yang sering kali terjadi, apakah mengenai pola penguasaan, penggunaan, pemilikan ataukah pemanfaatan atas tanah ulayat? Jawaban dapat disusun berdasarkan skala yang sering muncul dengan disertai apa penyebabnya? e. Apakah masalah tanah ulayat di Provinsi/Kabupaten di wilayah kerja Bapak/Ibu terkait dengan beberapa faktor di bawah ini seperti: masalah ketimpangan yang meliputi faktor: a) Fisik (lereng, tanah, bahan tambang, hutan, perkebunan) b) Sosial (infrastruktur pendidikan, sanitasi, jalan, listrik, akses ke pemerintahan) c) Ekonomi (pemasaran, perbankan, sarana transportasi) 36 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

45 d) Faktor lainnya f. Bagaimanakah interaksi antar wilayah yang mempengaruhi masalah tanah ulayat di wilayah kerja institusi Bapak/Ibu/saudara, apakah disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini: a) Masyarakat (profesi, pendidikan, kepadatan kep. endudukan) b) Komoditas (infrastruktur penyuluhan, inovasi teknologi) c) Ekologi (sumber air bersih, bencana alam, bahan bakar) d) Faktor-faktor lainnya g. Apakah terdapat konflik/masalah tanah ulayat di wilayah kerja Bapak/Ibu/saudara?... Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 37

46 h. Apakah tanah ulayat yang menjadi faktor penyebab konflik/aset yang dikuasai/dimiliki terkait dengan halhal dibawah ini seperti: a) Tanah (luas, lokasi, kesuburan, status dll) b) Sosial-ekonomi (tenaga kerja,pendidikan, pekerjaan, pendapatan dlll,) c) Sosial Budaya (interaksi masyarakat, organisasi dll) i. Apakah tanah ulayat yang dijadikan sebagai obyek konflik merupakan tanah yang diperoleh/dimanfaatkan untuk kepentingan di bawah ini atau lainnya : a) Kepemerintahan b) Aksesibilitas, jalan dsb c) Sarana Pendidikan d) Sarana Produksi, Inovasi Teknologi dan Pemasaran e) Sarana Perbankan 38 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

47 f) Lainnya j. Masalah/konflik tanah ulayat apakah yang sangat urgen sekali untuk segera diselesaikan dan sebaliknya masalah/ konflik tanah apakah yang tidak terlalu penting untuk segera diselesaikan? k. Bagaimanakah cara masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan masalah tanah ulayat? Apakah melalui cara musyawarah untuk mufakat, mediasi ataukah melalui pengadilan? Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 39

48 l. Bagaimanakah peran tokoh masyarakat/adat dalam menyelesaikan konflik penguasaan, pengelolaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah ulayat yang terjadi di wilayah kerja institusi Bapak/Ibu? m. Bagaimanakah peran Pemerintah Daerah di dalam menyelesaikan konflik penataan dan pemanfaatan tanah ulayat yang terjadi di wilayah kerja Bapak/Ibu? n. Apakah terdapat Perda yang mengatur tentang tanah ulayat di Provinsi atau Kabupaten yang dijadikan landasan dalam pengelolaan, penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah ulayat? Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

49 o. Bagaimanakah sebaiknya kebijakan yang seharusnya diambil oleh Pemerintah baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap masalah yang berkaitan dengan tanah ulayat? Responden dan Nara Sumber Responden yang akan diambil dalam survey adalah masyarakat, instansi pemerintahan terkait dan stake holder terkait, dimana sample akan diambil baik dari pusat maupun dari daerah yang telah ditentukan. Dimana daerah yang akan diambil samplenya adalah : Provinsi Sumatera Barat; Provinsi sumatera Selatan; Provinsi Kalimantan Barat; Provinsi Bali; Provinsi Nusat tenggara Timur; Provinsi Papua. Penentuan kota definitif akan didiskusikan lebih lanjut dengan pengguna jasa, dimana usulan awal dari konsultan adalah mengusulkan lokasi-lokasi. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 41

50 D. Analisa Data Analisis data sekunder dilakukan terhadap peraturan perundangundangan yang mempunyai korelasi dengan penguasaan, penggunaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah adat/ulayat. Dengan demikian akan dapat diketahui sinkronisasi dan kontradiksi terhadap peraturan yang terkait dengan tanah adat/ulayat dan bagaimana aplikasinya di lapangan. Sedangkan untuk data primer yang telah terkumpul melalui observasi dan wawancara yang mendalam itu disaring terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis akan dianalisis dengan menggunakan untuk mendiskripsikan terhadap masalah yang diteliti. Selanjutnya terhadap data sekunder dan primer, juga dilakukan analisa data secara deskriptif evaluatif dari studi kebijakan/peraturan dan hasil survey serta masukan atau pendapat pakar instansi terkait dengan Pola Penguasaan, Penggunaan, Pemilikan Dan Pemanfaatan Tanah Adat/Ulayat. Hasil analisis data tersebut dibahas dengan bantuan teori-teori yang relevan untuk mengantar pada kegiatan penyusunan model kebijakan yang efektif. 42 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

51 Bab Empat GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran umum lokasi penelitian ini dengan mengacu kepada ruang lingkup kegiatan penelitian ini yang dapat dibedakan kedalam materi penelitian dan wilayah penelitian yang dijadikan sebagai sampel terutama daerah-daerah yang masih aksis dalam kaitannya dengan masalah tanah adat/ulayat. 1. Materi Kegiatan Penelitian Materi kegiatan difokuskan pada eksplorasi mengenai keberadaan pola P4T terhadap tanah adat/ulayat dan kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat, serta mengkaji bahan-bahan untuk menyusun rumusan konsep pengembangan kebijakan pola P4T yang lebih efektif dan ideal pada masa depan. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 43

52 2. Wilayah Penelitian Wilayah penelitian difokuskan di 6 (enam) daerah/provinsi sebagai sampel yang mempunyai masyarakat hukum adat/ulayat cukup kuat yang dipilih secara purposive random sampling, yaitu Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Sumatera Selatan (Sumsel), Kalimantan Barat (Kalbar), Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Provinsi Papua. 1. Sumatera Selatan Lambang Bersatu Teguh Peta Lokasi Sumatera Selatan Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Palembang Gubernur Alex Noerdin Luas km² Penduduk Kepadatan Kabupaten 11 Kota 4 Kecamatan 147 Kelurahan/Desa 2693 Suku Melayu (31%), Jawa (27%), Komering (6%), Banyuasin (3%), Sunda (2%) [1] Agama Islam (96%), Kristen (1,7%), Buddha (1,8%), Lain-lain (0,5%) Bahasa Bahasa Indonesia Zona waktu WIB 44 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

53 Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di utara, provinsi Kep. Bangka-Belitung di timur, provinsi Lampung di selatan, dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Selain itu ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena sempat menjadi ibu kota dari Kerajaan Sriwijaya. Di samping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam, dll. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes, dan tempoyak. a. Sejarah Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika. Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 45

54 tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China. Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan. Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya. b. Kabupaten dan Kota No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Banyuasin Pangkalan Balai 2 Kabupaten Empat Lawang Tebing Tinggi 3 Kabupaten Lahat Lahat 4 Kabupaten Muara Enim Muara Enim 5 Kabupaten Musi Banyuasin Sekayu 6 Kabupaten Musi Rawas Muara Beliti Baru 7 Kabupaten Ogan Ilir Indralaya 8 Kabupaten Ogan Komering Ilir Kota Kayu Agung 9 Kabupaten Ogan Komering Ulu Baturaja 10 Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Muaradua 11 Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Martapura 12 Kota Lubuklinggau - 13 Kota Pagar Alam - 14 Kota Palembang - 15 Kota Prabumulih - 46 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

55 c. Profil Provinsi Sumatera Selatan Sumatera Selatan terletak antar 1-4 derajat LS dan derajat BT. Wilayahnya berbatasan dengan Prop. Jambi di sebelah utara, Prop. Lampung di sebelah Selatan, Prop. Bangka Belitung di sebelah Timur dan Prop. Bengkulu di sebelah Barat. Sumatera Selatan mempunyai luas wilayah Km2( Ha). terdiri dari 10 kabupaten dan 4 Kota, dengan jumlah penduduk sebesar 6,6 juta jiwa. Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani (perkebunan manupun tanaman bahan makanan). Tabel Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Sumatera Selatan No Kota/ Kabupaten Luas (ha) Penduduk 1 Palembang Prabumulih Pagaralam Lubuklinggau Musi Banyuasin Banyuasin Ogan Komering Ilir (OKI) 8 Ogan Ilir * * 9 Ogan Komering Ulu (OKU) 10 OKU Timur * * 11 OKU Selatan * * 12 Musi Rawas Muara Enim Lahat Jumlah Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 47

56 Tingkat kesejahteraan penduduk yang tercermin melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tercatat sebesar 66,00 atau berada pada rangking 16 dari seluruh Provinsi di Indonesia. IPM tertinggi terdapat di Kota Palembang, yaitu sebesar 71,20 dan terendah di Kabupaten Musi Rawas, sebesar 62,00. Dari sisi ketenagakerjaan, sebagian besar penduduk Sumsel (63,53 persen) bekerja di sektor pertanian, terutama sub sektor tanaman bahan makanan dan sub sektor perkebunan. Sementara itu, angka pengangguran berada pada kisaran 9-10 persen. 2. Kalimantan Barat Lambang Akcaya (Bahasa Indonesia: Tak Kunjung Binasa ) Peta Lokasi Sumatera Selatan Koordinat Dasar hukum Tanggal penting 1 Januari 1957 (hari jadi) Ibu kota Pontianak Gubernur Drs. Cornelis MH Luas km² Penduduk (sensus 2004) Kepadatan Kabupaten 10 Kota 2 Kecamatan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

57 Kelurahan/Desa 1445 Suku Dayak (35%) Sambas (12%), Tionghoa (9%), Jawa (9%), Kendayan (8%), Melayu (8%) [1] Agama Islam (57,6%), Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), lainlain (1,7%) Bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Dayak, Bahasa melayu, Bahasa Tionghoa Zona waktu WIB Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan Pontianak. Secara geografis, Provinsi Kalimantan Barat terletak di antara 108º BT hingga 114º BT, dan antara 2º6 LU hingga 3º5 LS. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah km² (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki propinsi Seribu Sungai. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar merupakan perairan laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Riau. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus tahun 2000 berjumlah jiwa (1,85% penduduk Indonesia). Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 49

58 a. Sejarah Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Westerafdeeling Van Borneo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen. Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. b. Kondisi Alam Iklim di kalimantan barat beriklim tropik basah, curah hujan merata sepanjang tahun dengan puncak hujan terjadi pada bulan Januari dan Oktober suhu udara rata-rata antara 26,0 s/d 27,0.kelembapan rata-tara antara 80% s/d 90% c. Sosial Kemasyarakatan 50 Suku Bangsa Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

59 Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Suku bangsa mayoritasnya yaitu Dayak,Melayu dan Tionghoa, yang jumlahnya melebihi 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, dan lain-lain yang jumlahnya dibawah 10%. Suku Dayak : (1) Rumpun Iban, (2) Rumpun Darat, (3) Rumpun Ot Danum, (4) Rumpun Punan, (5) Rumpun Apo Kayan, terdiri atas : 1. Suku Iban 2. Suku Bidayuh 3. Suku Seberuang 4. Suku Mualang 5. Suku Kanayatn 6. Suku Mali 7. Suku Sekujam 8. Suku Sekubang 9. Suku Kantuk 10. Suku Ketungau 11. Suku Desa 12. Suku Hovongan 13. Suku Uheng Kereho 14. Suku Babak 15. Suku Badat Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 51

60 16. Suku Barai 17. Suku Bangau 18. Suku Bukat 19. Suku Galik 20. Suku Gun 21. Suku Jangkang 22. Suku Kalis 23. Suku Kayan 24. Suku Kayanan 25. Suku Kede 26. Suku Keramai 27. Suku Klemantan 28. Suku Pos 29. Suku Punti 30. Suku Randuk 31. Suku Ribun 32. Suku Cempedek 33. Suku Dalam 34. Suku Darok 35. Suku Kopak 36. Suku Koyon 37. Suku Lara 38. Suku Senunang 39. Suku Sisang 40. Suku Sintang 52 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

61 41. Suku Suhaid 42. Suku Sungkung 43. Suku Limbai 44. Suku Maloh 45. Suku Mayau 46. Suku Mentebak 47. Suku Menyangka 48. Suku Sanggau 49. Suku Sani 50. Suku Sekajang 51. Suku Selayang 52. Suku Selimpat 53. Suku Dusun 54. Suku Embaloh 55. Suku Empayuh 56. Suku Engkarong 57. Suku Ensanang 58. Suku Menyanya 59. Suku Merau 60. Suku Muara 61. Suku Muduh 62. Suku Muluk 63. Suku Ngabang 64. Suku Ngalampan 65. Suku Ngamukit 66. Suku Nganayat Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 53

62 67. Suku Panu 68. Suku Pengkedang 69. Suku Pompang 70. Suku Senangkan 71. Suku Suruh 72. Suku Tabuas 73. Suku Taman 74. Suku Tingui Melayu lokal/senganan dan suku lainnya 1. Suku Melayu 2. Suku Sambas 3. Suku Banjar 4. Suku Pesaguan 5. Suku Bugis 6. Suku Jawa 7. Suku Madura 8. Suku Minang 9. Suku Batak 10. dan lain-lain Tionghoa 1. Hakka 2. Tiochiu 3. dan lain-lain 54 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

63 d. Bahasa Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat pula bahasa-bahasa daerah yang juga banyak dipakai seperti Bahasa Melayu, beragam jenis Bahasa Dayak, Menurut penelitian Institut Dayakologi terdapat 188 dialek yang dituturkan oleh suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka. Bahasa Melayu di kalbar terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, Bahasa Melayu Sanggau dan Bahasa Melayu Sambas. Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang hampir mirip dengan bahas Melayu Malaysia dan Melayu Riau. e. Agama Mayoritas penduduk Kalimantan Barat memeluk agama Islam (57,6%),Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), dan lain-lain (1,7%). f. Pendidikan Perguruan Tinggi/Universitas di Kalimantan Barat 1. Universitas Tanjungpura 2. Politeknik Negeri Pontianak 3. STAIN Pontianak Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 55

64 4. STMIK Pontianak 5. Politeknik Kesehatan 6. STKIP-PGRI Pontianak 7. Universitas Muhammadiyah 8. ASMI Pontianak 9. ABA Pontianak 10. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Dharma 11. Akademi Sekretari dan Manajemen Widya Dharma 12. Akademi Bahasa Asing Widya Dharma 13. Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Widya Dharma 14. Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ) 15. STIE Pontianak 16. Universitas Pancabakti 17. STIH Singkawang 18. Universitas Kapuas, Sintang 19. Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka g. Pemerintahan Ibu kota Kalimantan Barat adalah kota Pontianak h. Kabupaten dan Kota No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Bengkayang Bengkayang 2 Kabupaten Kapuas Hulu Putussibau 3 Kabupaten Kayong Utara Sukadana 4 Kabupaten Ketapang Ketapang 56 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

65 5 Kabupaten Kubu Raya Sungai Raya 6 Kabupaten Landak Ngabang 7 Kabupaten Melawi Nanga Pinoh 8 Kabupaten Pontianak Mempawah 9 Kabupaten Sambas Sambas 10 Kabupaten Sanggau Batang Tarang 11 Kabupaten Sekadau Sekadau 12 Kabupaten Sintang Sintang 13 Kota Pontianak - 14 Kota Singkawang - 3. Nusa Tenggara Timur Lambang Peta Lokasi Sumatera Selatan Koordinat Dasar hukum UU 64/1958 Tanggal penting Ibu kota Kupang Gubernur Frans Lebu Raya Luas ,10 km² Penduduk (2007) Kepadatan 87 Kabupaten 15 Kota 1 Kecamatan 186 Kelurahan/Desa Suku Atoni atau Dawan (21%), Manggarai (15%), Sumba (13%), Lamaholot (5%), Belu (6%), Rote (5%), Lio (4%) [1] Agama Katolik (53,9%), Protestan (33,8%), Islam (8,8%), Lainnya (3,5%) Bahasa Bahasa Indonesia Zona waktu WITA Lagu daerah Moree Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 57

66 Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau, antara lain Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Rote, Sabu, Adonara, Solor, Komodo dan Palue. Ibu kotanya terletak di Kupang, Timor Barat. Provinsi ini terdiri dari kurang lebih 550 pulau; tiga pulau utama di NTT adalah Flores, Sumba, dan Timor Barat. Provinsi ini menempati bagian barat pulau Timor. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas provinsi Indonesia yang ke-27, yaitu Timor Timur, yang merdeka menjadi negara Timor Leste pada tahun a. Arti lambang Berbentuk perisai dengan sudut lima dengan maksud, selain melambangkan makna perlindungan rakyat juga melambangkan Pancasila. Dalam perisai terberkas: bintang, komodo, padi dan kapas, tombak dan pohon Beringin. Bintang melambangkan keagungan Tuhan yang Maha Esa, komodo (buaya darat) satu-satunya reptil prasejarah yang hingga kini masih lestari. Binatang purba ini merupakan reptil raksasa yang oleh dunia dinyatakan dilindungi karena jenis hewan ini hanya terdapat di NTT, tepatnya di pulau komodo. Banyak wisatawan dari seluruh dunia datang ke pulau ini hanya untuk melihat komodo. Padi-kapas melambangkan kemakmuran. Tombak melambangkan keagungan dan kejayaan. Sedangkan pohon beringin melambangkan persatuan dan kesatuan yang tetap terpelihara. Hari terbentuknya provinsi NTT dilukiskan melalui jumlah padi (14) dan tahun 1958 tertera langsung pada sudut bawah lambang. 58 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

67 b. Pemerintahan Kabupaten dan Kota No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Kupang Kupang 2 Kabupaten Timor Tengah Selatan Soe 3 Kabupaten Timor Tengah Utara Kefamenanu 4 Kabupaten Belu Atambua 5 Kabupaten Alor Kalabahi 6 Kabupaten Flores Timur Larantuka 7 Kabupaten Sikka Maumere 8 Kabupaten Ende Ende 9 Kabupaten Ngada Bajawa 10 Kabupaten Manggarai Ruteng 11 Kabupaten Sumba Timur Waingapu 12 Kabupaten Sumba Barat Waikabubak 13 Kabupaten Lembata Lewoleba 14 Kabupaten Rote Ndao Baa 15 Kabupaten Manggarai Barat Labuan Bajo 16 Kabupaten Nagekeo Mbay 17 Kabupaten Sumba Tengah Waibakul 18 Kabupaten Sumba Barat Daya Tambolaka 19 Kabupaten Manggarai Timur Borong 20 Kabupaten Sabu Raijua Seba 21 Kota Kupang Kupang PROFIL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 59

68 c. Letak dan Luas Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan katulistiwa pada posisi 8 12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. d. Batas-batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores Sebelah Selatan dengan Samudera Hindia Sebelah Timur dengan Negara Timor Leste Sebelah Barat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat. NTT merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 566 pulau, 246 pulau diantaranya sudah mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama. Diantara 246 pulau yang sudah bernama terdapat 4 pulau besar: Flores, Sumba, Timor dan Alor (FLOBAMORA) dan pulau-pulau kecil antara lain: Adonara, Babi, Lomblen, Pamana Besar, Panga Batang, Parmahan, Rusah, Samhila, Solor (masuk wilayah Kabupaten Flotim/ Lembata), Pulau Batang, Kisu, Lapang, Pura, Rusa, Trweng (Kabupaten Alor), Pulau Dana, Doo, Landu Manifon, Manuk, Pamana, Raijna, Rote, Sarvu, Semau (Kabupaten Kupang/ Rote Ndao), Pulau Loren, Komodo, Rinca, Sebabi Sebayur Kecil, Sebayur Besar Serayu Besar (Wilayah Kabupaten Manggarai), Pulau Untelue (Kabupaten Ngada), Pulau 60 Halura (Kabupaten Sumba Timur, dll. Dari seluruh Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

69 pulau yang ada, 46 pulau telah berpenghuni sedangkan sisanya belum berpenghuni. Terdapat tiga pulau besar, yaitu pulau Flores, Sumba dan Timor, selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang letaknya tersebar, komoditas yang dimiliki sangat terbatas dan sangat dipengaruhi oleh iklim. Luas wilayah daratan ,9 km2 atau 2,49% luas Indonesia dan luas wilayah perairan ± km2 diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Secara rinci luas wilayah menurut Kabupaten/ Kota adalah sebagai berikut: Hampir semua pulau di wilayah NTT terdiri dari pegunungan dan perbukitan kapur. Dari sejumlah gunung yang ada terdapat gunung berapi yang masih aktif. Di pulau Flores, Sumba dan Timor terdapat kawasan padang rumput (savana) dan stepa yang luas. Pada beberapa kawasan padang rumput tersebut dipotong oleh aliran sungai-sungai. d. Jumlah Penduduk Berikut ini adalah daftar jumlah penduduk yang ada pada masing-masing kabupaten/ kota seluruh NTT berdasrkan hasil registrasi penduduk tahun 1999 yaitu : KABUPATEN/ KOTA Jumlah (orang) - Sumba Barat Sumba Timur Kupang TTS Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 61

70 - TTU Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Kota Kupang Rote Ndao Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur KABUPATEN e. Kondisi Iklim Wilayah Nusa Tenggara Timur beriklim kering yang dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai dengan Nopember) sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai dengan April). Suhu udara rata-rata 27,6 C, suhu maksimum rata-rata 290 C, dan suhu minimum rata-rata 26,1 C. f. Keadaan Tanah Apabila dilihat dari topografinya, maka wilayah NTT dapat dibagi atas 5 bagian besar, yaitu : Agak berombak dengan kemiringan 3-16 %. Agak bergelombang dengan kemiringan %. Bergelombang dengan kemiringan %. Berbukuti-bukit bergunung dengan kemiringan lebih besar dari 50 %. Dataran banjir dengan kemiringan 0-30 %. 62 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

71 Keadaan topografi demikian mempunyai pengaruh pula terhadap pola kehidupan penduduk, antara lain pola pemukiman digunung-gunung, sehingga terdapat variasi adat dan tipologi kehidupan yang sangat besar antara suatu daerah dengan daerah lainnya. 4. Sumatera Barat Lambang Tuah Sakato (Bahasa Minangkabau: Seia Sekata) Koordinat Dasar hukum Tanggal penting Ibu kota Gubernur Luas 0 U-102 LS, BT Padang Gamawan Fauzi Wakil: Marlis Rahman ,30 km² Peta Lokasi Sumatera Selatan Perairan 2,59% Penduduk (2002) Kepadatan 104/km² Kabupaten 12 Kota 7 Kecamatan 147 Kelurahan/Desa 877 Suku Minangkabau (88%), Batak (4%), Jawa (4%), Mentawai (1%) [1] Agama Islam (98%), Kristen (1,6%), Hindu (0,0032%), Buddha (0,26%) Bahasa Bahasa Minangkabau, Bahasa Melayu/ Bahasa Indonesia Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 63

72 Zona waktu Lagu daerah WIB Ayam Den Lapeh, Kampuang Nan Jauah di Mato, Kambanglah Bungo, Minangkabau, Bareh Solok, Tinggalah Kampuang. Sumatera Barat adalah sebuah provinsi yang terletak di pulau Sumatra, Indonesia. Provinsi ini adalah provinsi terluas kesebelas di Indonesia. a. Kondisi dan sumber daya alam Geografi Danau Maninjau, salah satu danau di Sumatera Barat Sumatera Barat berada di bagian barat tengah pulau Sumatera dengan luas ,30 km². Provinsi ini memiliki dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk Bukit Barisan yang membentang dari barat laut ke tenggara. Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Garis pantai Sumatera Barat seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km. Danau yang berada di Sumatera Barat adalah Maninjau (99,5 km²), Singkarak (130,1 km²), 64 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

73 Diatas (31,5 km²), Dibawah (Dibaruh) (14,0 km²), Talang (5,0 km²). Beberapa sungai besar di pulau Sumatera berhulu di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau dan Jambi. Sungai-sungai yang bermuara di pantai barat pendekpendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan. Gunung-gunung di Sumatera Barat adalah Marapi (2.891 m), Sago (2.271 m), Singgalang (2.877 m), Tandikat (2.438 m), Talakmau (2.912 m), Talang (2.572 m). b. Keanekaragaman hayati Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati. Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan alami dan dilindungi. Dalam hutan tropis di Sumatera Barat dapat dijumpai berbagai spesies langka, misalnya: Rafflesia arnoldii (bunga terbesar di dunia), Harimau Sumatra, siamang, tapir, rusa, beruang, dan berbagai jenis burung dan kupu-kupu.=poiu. Terdapat dua Taman Nasional di provinsi ini: Taman Nasional Siberut yang terdapat di Pulau Siberut (Kabupaten Mentawai) dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman Nasional terakhir ini wilayahnya membentang di empat Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 65

74 provinsi: Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatra Selatan. Selain kedua Taman Nasional tersebut masih ada beberapa cagar alam lainnya, yaitu Cagar Alam Rimbo Panti, Cagar Alam Lembah Anai, Cagar Alam Batang Palupuh, Cagar Alam Lembah Harau, Taman Raya Bung Hatta, dan Cagar Alam Beringin Sakti. c. Sumber daya alam Batubara, Batu besi, Batu galena, Timah hitam, Seng, Manganase, Emas, Batu kapur (Semen), Kelapa sawit, Perikanan, Kakao. d. Suku bangsa Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku Minangkabau. Di daerah Pasaman selain suku Minang berdiam pula suku Batak Mandailing. Suku Mentawai terdapat di Kepulauan Mentawai. e. Bahasa Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah bahasa daerah yaitu Bahasa Minangkabau yang memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan dan dialek Payakumbuh. Di daerah Pasaman yang berbatasan dengan Sumatera Utara, dituturkan juga Bahasa Batak dialek Mandailing, yang biasanya digunakan suku Batak Mandailing. Sementara itu di daerah Mentawai 66 yang berupa kepulauan dan terletak beberapa puluh Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

75 kilometer lepas pantai Sumatra Barat, bahasa yang digunakan adalah Bahasa Mentawai. f. Agama Mayoritas penduduk Sumatra Barat beragama Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen di Kepulauan Mentawai, serta Hindu dan Buddha yang pada umumnya adalah para pendatang. g. Pemerintahan Daftar kabupaten dan kota No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Agam Lubuk Basung 2 Kabupaten Dharmasraya Pulau Punjung 3 Kabupaten Kepulauan Mentawai Tuapejat 4 Kabupaten Lima Puluh Kota Sarilamak 5 Kabupaten Padang Pariaman Parit Malintang 6 Kabupaten Pasaman Lubuk Sikaping 7 Kabupaten Pasaman Barat Simpang Empat 8 Kabupaten Pesisir Selatan Painan 9 Kabupaten Sijunjung Muaro Sijunjung 10 Kabupaten Solok Arosuka 11 Kabupaten Solok Selatan Padang Aro, Solok Selatan 12 Kabupaten Tanah Datar Batusangkar 13 Kota Bukittinggi - 14 Kota Padang - 15 Kota Padangpanjang - 16 Kota Pariaman - 17 Kota Payakumbuh - 18 Kota Sawahlunto - 19 Kota Solok - Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 67

76 PROFIL PROVINSI SUMATERA BARAT Provinsi Sumatera Barat secara geografis terletak antara 0,45 LU dan 3,30 LS serta antara 98,36 dan 101,53 BT. Daerah ini diapit oleh Samudera Indonesia serta empat provinsi lain, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi dan Bengkulu. Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 7 kota dengan luas daratan sekitar ,64 km2. Jumlah penduduk Propinsi Sumatera Barat pada tahun 2004 sebanyak jiwa. Berdasarkan data Kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Barat, jumlah penduduk terbanyak terdapat di kota Padang, yaitu jiwa dan terendah di kota Padang Panjang, yaitu jiwa. Masyarakat Sumatera Barat sebagian besar terdiri dari suku Minangkabau dan penyandang budaya serta adat Minangkabau. Dalam bidang budaya, sinergi antara nilainilai adat dan agama, serta dengan nilai-nilai modern yang universal yang dilandasi oleh ilmu dan teknologi yang dikenal dengan ungkapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Motto Sumatera Barat adalah Tuah Sakato yang berarti sepakat untuk melaksanakan hasil mufakat/musyawarah. 68 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

77 5. Provinsi Bali Lambang Bali Dwipa Jaya (Bahasa Kawi: Pulau Bali Jaya ) Peta Lokasi Koordinat {{{koordinat}}} Dasar hukum {{{dasar hukum}}} Tanggal penting 14 Agustus 1959 (hari jadi) Ibu kota Denpasar (dahulu Singaraja) Gubernur Komjen Pol (Purn) I Made Mangku Pastika ( ) Luas km² Penduduk (+/-) Kepadatan 800 /km² Kabupaten 8 Kota 1 Kecamatan {{{kecamatan}}} Kelurahan/Desa {{{kelurahan}}} Suku Bali (89%), Jawa (7%), Baliaga (1%), Madura (1%) [1] Agama Hindu (92,3%), Islam (5,7%), Lainnya (2%) Bahasa Bahasa Bali, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Sasak, Bahasa Madura, dll. Zona waktu WITA Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu provinsi Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal sebagai Pulau Dewata. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 69

78 a. Geografi Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di Lintang Selatan dan Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai. Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas ha, lahan curam (15-40%) seluas ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur. Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah 70 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

79 beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan. b. Sejarah Sawah di sekitar puri Gunung Kawi, Tampaksiring, Bali. Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya orang-orang Hindu dari India pada 100 SM. Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India, yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 71

80 Majapahit ( AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis, dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen, yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur, dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan, yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah. Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II, dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk 72 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

81 pasukan Bali pejuang kemerdekaan. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang. Pada 20 November 1940, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya, dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir. Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia. Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia. Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 73

82 di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum. [2] Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing, dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini. c. Demografi Lahan sawah di Bali Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha. Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah Bahasa Indonesia, Bali, dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di sektor pariwisata. 74 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

83 Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas pemakaiannya di Bali, dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem catur warna dalam agama Hindu Dharma; meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat Bali, yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, seringkali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai. d. Transportasi Bali tidak memiliki jaringan rel kereta api namun jaringan jalan yang sangat baik tersedia khususnya ke daerah-daerah tujuan wisatawan. Sebagian besar penduduk memiliki kendaraan pribadi dan memilih menggunakannya karena moda transportasi umum tidak tersedia dengan baik, kecuali taksi. Jenis kendaraan umum di Bali antara lain: Dokar, kendaraan dengan menggunakan kuda sebagai penarik Ojek, taksi sepeda motor Bemo, melayani dalam dan antarkota Taksi Bus, melayani hubungan antarkota, pedesaan, dan antarprovinsi. Bali terhubung dengan Pulau Jawa dengan layanan kapal feri yang menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk dengan Pelabuhan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 75

84 Ketapang di Kabupaten Banyuwangi, yang lama tempuhnya sekitar 30 hingga 45 menit. Penyeberangan ke Pulau Lombok melalui Pelabuhan Padang Bay menuju Pelabuhan Lembar, yang memakan waktu sekitar empat jam. Transportasi udara dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai, dengan destinasi ke sejumlah kota besar di Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, serta Jepang. Landas pacu dan pesawat terbang yang datang dan pergi bisa terlihat dengan jelas dari pantai. e. Pemerintahan Peta topografi Pulau Bali Daftar kabupaten dan kota di Bali No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Badung Badung 2 Kabupaten Bangli Bangli 3 Kabupaten Buleleng Singaraja 4 Kabupaten Gianyar Gianyar 5 Kabupaten Jembrana Negara 6 Kabupaten Karangasem Karangasem 7 Kabupaten Klungkung Klungkung 8 Kabupaten Tabanan Tabanan 9 Kota Denpasar - 76 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

85 6. Papua Lambang Peta Lokasi Peta Lokasi Koordinat Dasar hukum Tanggal penting 1 Mei 1963 (direbut dari Belanda) Ibu kota Jayapura Gubernur Barnabas Suebu Luas ,4 km² (setelah pembentukan Papua Barat) Penduduk 2,93 Juta (2002) Kepadatan 800/km² Kabupaten 27 Kota 2 Kecamatan 214 Kelurahan/Desa Suku Papua (52%), Non Papua/Pendatang (48%) (2002) Papua: Suku Aitinyo, Suku Aefak, Suku Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku Ayamaru, Suku Mandacan, Suku Biak, Suku Serui Agama Bahasa Zona waktu Non-Papua/Pendatang: Suku Jawa, Suku Makassar, Suku Batak, Suku Manado Protestan (51,2%), Katolik (25,42%), Islam (23%), Budha (0,13%), Hindu (0,25%), lain-lain (1%) Bahasa Indonesia, dan 268 Bahasa Daerah WIT Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 77

86 Papua adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli. 78 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

87 a. Pemerintahan Kabupaten dan Kota No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Asmat Agats 2 Kabupaten Biak Numfor Biak 3 Kabupaten Boven Digoel Tanah Merah 4 Kabupaten Deiyai Tigi 5 Kabupaten Dogiyai Kigamani 6 Kabupaten Intan Jaya Sugapa 7 Kabupaten Jayapura Sentani 8 Kabupaten Jayawijaya Wamena 9 Kabupaten Keerom Waris 10 Kabupaten Kepulauan Yapen Serui 11 Kabupaten Lanny Jaya Tiom 12 Kabupaten Mamberamo Raya Burmeso 13 Kabupaten Mamberamo Tengah Kobakma 14 Kabupaten Mappi Kepi 15 Kabupaten Merauke Merauke 16 Kabupaten Mimika Timika 17 Kabupaten Nabire Nabire 18 Kabupaten Nduga Kenyam 19 Kabupaten Paniai Enarotali 20 Kabupaten Pegunungan Bintang Oksibil 21 Kabupaten Puncak Ilaga 22 Kabupaten Puncak Jaya Kotamulia 23 Kabupaten Sarmi Sarmi 24 Kabupaten Supiori Sorendiweri 25 Kabupaten Tolikara Karubaga 26 Kabupaten Waropen Botawa 27 Kabupaten Yahukimo Sumohai 28 Kabupaten Yalimo Elelim 29 Kota Jayapura - UU RI Tahun 2008 Nomor 6 adalah dasar hukum pembentukan Kabupaten Nduga di Provinsi Papua, saat ini tidak terdapat jurisdiksi Kabupaten Nduga Tengah. [1] Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 79

88 b. Geografi Luas wilayah Luas km² Iklim Curah hujan mm Suhu udara C Kelembapan 80% Batas Wilayah Utara Samudera Pasifik Selatan Samudera Indonesia, Australia Barat Papua Barat, Kepulauan Maluku Timur Papua Nugini c. Kelompok suku asli di Papua Peta menunjukkan kota-kota penting di Irjabar dan Papua Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain: 80 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

89 Ansus Amungme Asmat Ayamaru, mendiami daerah Sorong Bauzi Biak Dani Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari Iha Kamoro Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai Meyakh, mendiami Kota Manokwari Moskona, mendiami daerah Merdei Nafri Sentani, mendiami sekitar danau Sentani Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw Waropen Wamesa Muyu Tobati Enggros Korowai Fuyu Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 81

90 PROFIL PROVINSI PAPUA Setelah penyerahan kekuasaan dari UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) kepada Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dan sebagai hasil pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 1969 maka Irian Barat ditetapkan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan maka oleh Pemerintah Pusat, daerah Irian Jaya disejajarkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Pada tahun 1999 dikeluarkanlah UU No 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang kemudian menuai kontroversi karena dirasa tumpang tindih dengan UU No 1 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Menurut UU tersebut maka kedua propinsi baru itu diresmikan pada tanggal 12 Oktober Namun pembentukan propinsi baru tersebut tidak segera terealisir dan tertunda.pada tahun 2003 gaung pembentukan propinsi tersebut mulai terdengar lagi. Dan setelah 3 tahun 3 bulan dan 13 hari dikeluarkanlah Inpres No 1 tahun 2003, tepatnya pada tanggal 6 Februari 2003, mengenai aktifnya kembali Propinsi Irian Jaya Barat yang pemerintahannya dibantu oleh Tim Fasilitasi Pemkab Manokwari dan Tim Asistensi Pusat yang diketuai langsung oleh Mendagri. Pembentukan propinsi baru tersebut menuai protes dari pihak eksekutif 82 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

91 dan legislatif Propinsi Papua yang ada sekarang. Sehingga di masyarakat pun timbul kebingungan mengenai kesimpang siuran pemerintahan tersebut. Pada tanggal 14 Juli 2003 pemerintahan di Propinsi Irian Jaya Barat resmi berjalan dengan dibentuknya Muspida yang resmi berdasarkan Keputusan Provinsi Irian Jaya Barat Nomor SK Selanjutnya perkembangan terakhir menunjukkan fakta bahwa Propinsi Irian Jaya Barat semakin ditetapkan eksistensinya dengan pelaksanaan pilkada Gubernur Irjabar, dan terpilih sebagai Gubernur definitif yaitu Brigjen Mar (Purn) Abraham Atururi dan sebagai Wakil Gubernur adalah Rahimin Katjong. Wilayah Kerja KBI Jayapura meliputi seluruh wilayah Papua, yang terbagi atas 2 Provinsi dan 29 Kabupaten/Kota yang masuk ke dalam 2 Provinsi tersebut. Kedua provinsi tersebut adalah Provinsi Papua dengan ibu kota Jayapura dan Provinsi Irian Jaya Barat dengan ibu kota Manokwari. Wilayah Kerja KBI Jayapura, yaitu meliputi Papua dengan luas wilayah sebesar 42,2juta Ha, dengan penduduk berjumlah 2,469juta jiwa (BPS, 2003). Wilayah yang terbesar adalah Kabupaten Merauke dengan luas 4,4juta Ha dan yang terkecil adalah Kabupaten Supiori dengan luas 77ribu Ha. Sementara wilayah yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah wilayah Kota Jayapura yaitu sejumlah 185ribu jiwa, dan yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Supiori yaitu sebesar 12ribu jiwa. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 83

92 Kabupaten/ Kota Jumlah Kecamatan Kabupaten Luas (Ha) Jumlah Penduduk (jiwa) 1. Merauke 10 4,397, , Jayawijaya 15 1,268, , Jayapura 11 1,530, , Paniai 11 1,421, , Puncak Jaya 6 1,085,205 89, Nabire 10 1,631, , Fak-fak 9 900,975 56, Mimika 12 2,003, , Sorong 12 1,623,533 70, Manokwari 11 1,419, , Yapen Waropen 5 313,072 62, Biak Numfor , , Boven Digoel 6 2,847,068 38, Mappi 6 2,763,235 68, Asmat 7 1,897,616 67, Yahukimo 3 1,577, , Pegunungan Bintang 6 1,690,840 53, Tolikara 4 881,634 53, Sarmi 8 2,590,173 43, Keerom 5 936,453 44, Kaimana 7 1,904,070 31, Sorong Selatan 10 1,326,543 52, Raja Ampat 7 881,953 29, Teluk Bintuni 8 1,866,344 38, Teluk Wondama 7 531,405 29, Waropen 3 2,462,832 23, Supiori - 77,456 12,119 Kota 71. Jayapura 4 94, , Sorong 4 38, ,239 Jumlah ,198,100 2,469,785 d. Geografi Papua merupakan wilayah paling Timur di Indonesia, dengan Jayapura sebagai ibukotanya. Pada bagian utara 84 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

93 berbatasan dengan Samudera Pasifik, bagian selatan dengan laut Arafura dan Samudera Indonesia dan pada bagian timur berbatasan dengan negara Papua Nugini. Daerah-daerah di wilayah Papua secara geografis berbeda satu dengan lainnya. Pegunungan kapur yang tinggi berrelief curam, membentang di sebagian besar wilayah Papua, dengan ketinggian mencapai 3000 meter diatas permukaan laut. Deretan pegunungan tersebut diapit oleh daerah aluvial landai, yang terletak disisi utara (dataran Mamberamo), di bagian selatan (kawasan Asmat) serta dataran rendah Inanwatan di bagian barat. Sementara puncak tertinggi pegunungan yang terdapat di Papua terletak di bagian timur, bernama Puncak Jaya. Dengan ketinggian 4884 meter,puncak Jaya (Cartenz Pyramid) merupakan puncak tertinggi di Asia Tenggara, didampingi oleh Puncak Trikora (4750 m), Mandala (4760 m) dan Yamin (4595 m). f. Iklim Sebagai sebuah pulau besar dengan topografi berbukitbukit dan bergunung-gunung dan pengaruh letak geografis dan anatomis, menyebabkan Papua memiliki iklim yang bervariasi di tiap daerah meskipun secara umum beriklim tropis. Sepanjang daerah pegunungan hujan turun hampir sepanjang tahun dan di bagian belahan utara, musim hujan pada umumnya lebih panjang daripada musim kemarau. Sedangkan pada bagian tenggara musim kemarau berlangsung lebih panjang. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 85

94 B. Hasil Analisis Berdasarkan Data Sekunder Diluar Lokasi Studi Hasil penelitian sementara ini belum berdasarkan analisis terhadap kuesioner yang telah dibagikan baik yang dengan menggunakan metode analisis kualitatif maupun yang dengan menggunakan metode analisis kuantitatif. Oleh sebab itu dalam hasil penelitian sementara didasarkan pada beberapa Peraturan Daerah yang mengatur tentang masyarakat adat dan juga tanah ulayat. Analisis terhadap Perda ini secara lebih lengkap akan dikemukakan pada laporan akhir penelitian ini. Masyarakat Hukum adat yang tersebar di wilayah Indonesia mencapai kelompok. Dari jumlah tersebut, yang baru terdata oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebanyak 6300 kelompok di wilayah Aceh, 700 kelompok di wilayah Sumatera dan 1000 kelompok di wilayah Bali. 1 Sebagai contoh, berikut ini dapat dikemukakan tiga Masyarakat Hukum Adat yang telah disahkan dengan Peraturan Daerah (Perda) atau Keputusan Bupati, yaitu Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Kampar Riau No. 12 tahun 1999 tentang Hak tanah layat, Peraturan daerah (Perda) No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy di Wilayah Banten, dan Keputusan Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin. 2 1 S. James Anaya. Indigenous Peoples in International Law, (New York: Oxford University Press, 1994), hlm Herman Slaats, Erman Rajagukguk, Nurul Ilmiyah, Akhmad Safik, Masalah Tanah Di Indonesia Dari Masa Ke Masa, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

95 1. Pengaturan Hak Masyarakat Adat Kampar Perlindungan masyarakat adat di Kabupaten Kampar Riau dapat dilihat dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 g Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Riau No. 12 Tahun Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat menyatakan, bahwa Masyarakat Adat adalah suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memiliki harta ulayat secara turun-temurun di daerah, berbentuk persukuan, nagari, perbatinan, desa, kepenghuluan dan kampung. Selanjutnya Pasal 1 h menyatakan, bahwa Hak Tanah Ulayat merupakan salah satu harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang mencakup suatu kesatuan wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liar diatasnya. Sedangka Pasal 2 menyebutkan, bahwa: 1) Hak Tanah Ulayat dan Hak-Hak serupa dari masyarakat Hukum Adat sepanjang hak serupa menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa menurut ketentuan Hukum Adat yang berlaku di setiap tempat. 2) Fungsi Hak Tanah Ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota persekutuan dan masyarakat yang bersifat sosial dan ekonomis. Selanjutnya Pasal menyatakan sesuai dengan maksu Pasal 2 Peraturan Daerah ini, dapat dilakukan sebagai berikut: a. Agar Tanah Ulayat menjadi produktif dapat diberikan hak pola kemitraan pada Pihak Ketiga b. Untuk memenuhi maksud ayat (1) pasal ini dilakukan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 87

96 musyawarah pemangku adat setempat dan anggota persekutuan masyarakat adat sesuai dengan ketentuan Hukum Adat setempat. c. Kesepakatan kedua belah pihak dibuat di hadapan Pejabat yang berwenang untuk melakukan perjanjian-perjanjian sebagaimana dimaksud pada point a di atas. d. Perbuatan berupa mentelantarkan atau tidak memanfaatkan Hak Tanah Ulayat berturut-turut selama 3 (tiga) tahun yang dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana tercantum pada pasal ini, dikenakan sanksi adat berdasarkan Hukum Adat yang berlaku berupa pencabutan hak untuk penggunaan atau pemanfaatan Hak Tanah Ulayat dan dapat diberikan sanksi tambahan sesuai dengan Ketentuan Adat yang berlaku. Selanjutnya Pasal 4 menyatakan bahwa Pemangku Adat memegang atau menguasai Tanah Ulayat tidak dapat mengalihkan atau melepaskan haknya kepada pihak lain kecuali telah ditentukan bersama berdasarkan musyawarah persekutuan adat sesuai adat istiadat setempat. Pasal 5 menjelaskan bahwa: 1) Kerapatan Adat merupakan satu-satunya lembaga permusyawaratan tertinggi yang mengatur tentang penggunaan dan atau pemanfaatan serta pemindahan kepemilikan Tanah Ulayat. 2) Ketetapan Kerapatan Adat merupakan suatu hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota Kerapatan Adat. 3) Ketetapan Kerapatan adat sebagaimana tersebut pada ayat (2) merupakan suatu ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat adat. 88 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

97 Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan daerah ini menyatakan Hak Penguasaan Tanah Ulayat dibuat atas nam Gelar pemangku Adat yang berhak untuk itu sesuai dengan ketentuan Hukum Adat setempat. Ayat (2) menyebutkan sertifikasi Hak Kepemilikan Tanah Ulayat diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya ayat (1) menjelaskan tentang larangan untuk memindahkan hak kepemilikan Tanah Ulayat kecuali untuk kepentingan: a. Pembangunan Daerah b. Kehendak bersama seluruh warga masyarakat adat berdasarkan ketentuan Hukum Adat yang berlaku. Ayat (2) menyebutkan pengecualian sebagaimana tersebut pada ayat (1), harus berdasarkan ketetapan Kerapatan Adat. Pasal 10 menyebutkan fungsi Penghulu Suku adalah: a. Membantu Pemerintah dalam bidang kemasyarakatan b. Mengurus, mengatur urusan dalam Hukum Adat c. Mengurus mengatur ketentuan dalam Hukum Adat, terhadap hal-hal yang menyangkut tanah ulayat dalam persekutuan, guna kepentingan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara adat. d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan tanah ulayat untuk kesejahteraan anggota persekutuan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan wewenang Penghulu Suku adalah: Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 89

98 a. Mengatur dan menetapkan pembagian Tanah Ulayat untuk anggota persekutuan melalui musyawarah b. Memberikan rekomendasi tertulis dalam hal adanya pengalihan atau pelepasan Hak Ulayat kepada pihak ketiga berupa Hak Guna Usaha atau hak pakai sesuai ketentuan adat setempat. Bagi pemegang Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, jika sampai jangka waktunya, maka hak tanah tersebut kembali kepada Hak Tanah Ulayat dan penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala badan pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat, Pasal 4 ayat (2). Pengalihan atau Pelepasan Hak Tanah Ulayat kepada anggota persekutuan adat tetap memberlakukan ketentuan Hukum adat setempat. c. Memberikan sanksi secara adat berupa pencabutan hak menggarap, bila ternyata tanah tersebut ditelantarkan berturutturut selama 3 (tiga) tahun oleh anggota persekutuan. d. Mendaftarkan Tanah Ulayat yang masih ada di kantor Pertanahan Kabupaten Kampar. Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) menyatakan, bahwa pada saat mulai berlakunya Peraturan daerah ini, terhadap seluruh Tanah Ulayat yang dalam proses pengalihan kepemilikannya, akan ditertibkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Hukum adat yang berlaku. Ayat (2) menjelaskan, bahwa penerbitan sebagaimana tercantum pada ayat (1), akan diselesaikan paling lambat selama 90 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

99 3(tiga) tahun terhitung semenjak diberlakukannya Peraturan Daerah ini, yang meliputi kegiatan-kegiatan: a. Inventarisasi Tanah Ulayat masing-masing masyarakat adat di daerah b. Sertifikat dan atau pemutihan kepemilikan Tanah Ulayat tersebut. 2. Pengaturan Masyarakat Adat Baduy Perlindungan masyarakat lokal menurut Hukum Sdat Baduy diwilayah Banten sudah diakui keberadaannya yang diatur dalam Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Pasal 1 menyebutkan apa yang dimaksud Hak Ulayat, Tanah Ulayat, Masyarakat Baduy, yaitu: Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut Hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum adat tertentu. Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Lebak yang mempunyai Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 91

100 ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum. Pasal 2 menyebutkan Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupate Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi dan dituangkan dalam Beriota Acara sebagai landasan penetapan keputusan Bupati. Selanjutnya Pasal 4 menjelaskan, bahwa segala peruntukan lahan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat baduy. Pasal 5 menyebutkan, bahwa Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang: a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang_undang Pokok agraria; b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku. Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan, bahwa Desa Kanekes sebagai wilayah pemukiman masyarakat Baduy memiliki batas-batas Desa sebagai berikut: a. Utara: 1) Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar. 2) Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar. 3) Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar 92 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

101 b. Barat: 1) Desa Parakanbeusi Kecamatan Bojongmanik. 2) Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik. 3) Desa Karangnunggal Kecamatan Bojongmanik. c. Selatan: 1) Desa Cikate Kecamatan Cikaju d. Timur: 1) Desa Karangcombang Kecamatan Muncang 2) Desa Cilebang Kecamatan Muncang Pasal 7 menyebutkan wilayah Masyarakat Baduy yang berlokasi di Desa Kanekes memiliki batas-batas alam sebagai berikut: a. Utara: Kali Ciujung b. Selatan: Kali Cidikit c. Barat: Kali Cibarani; d. Timur: Kali Cisimeut. Kemudian Pasal 9 mengatur tentang Ketentuan Pidana. Ayat (1) menyatakan setiap Masyarakat Luar Baduy yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan menggunakan lahan hak ulayat Masyarakat Baduy diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp ,- (lima juta rupiah). Ayat (2) menyatakan, bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Selanjutnya Pasal 11 menyatakan dalam rangka menghindari perselisihan dan kesimpangsiuran hak ulayat Masyarakat baduy Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 93

102 dari kepentingan perorangan serta sebagai wujud pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat, maka upaya persertifikatan wilayah Baduy tidak diperkenankan. 3. Pengaturan Masyarakat Adat Merangin Perlindungan masyarakat lokal di Kabupaten Merangin tentang Hutan Adat dan Masyarakat adat diatur dalam Keputusan Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin, yang antara lain memutuskan: Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Desa Guguk dengan luas 690 Ha yang terletak antara 120 o BT-120 o BT dan 02 o LS-02 o LS mulai dari Titik satu di Muara Sungai Tai dengan titik koordinat (02 o S, 102 o BT) ke Titik Dua di Muara Sungai Nilo dengan titik koordinat (02 o LS, 102 o BT) terus menelusuri Sungai Nilo ke Titik Tiga Muara Sungai Jambun Jalan Logging dengan titik koordinat (02 o LS, 102 o BT) terus mengikuti jalan ke Logging kearah Barat sampai ke titik Empat di Kilometer 68 Jalan Logging dengan titik koordinat (02 o LS, 102 o BT) terus ke Titik Lima di Telun Muara Sungai Keleman dengan titik koordinat (02 o LS, 102 o BT) terus ke Titik Enam di Sungai Tai bercabang dua titik koordinat (02 o LS, 102 o BT) ditarik sejajar dengan Sungai Tai bercabang dua berjarak meter dari pinggir Sungai Tai sampai bertemu kembali ke Titik Satu dengan koordinat (02 o LS, 102 o 06 LS, 102 o BT). 94 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

103 Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk sebagaimana dimaksud dikelola oleh Masyarakat Adat Desa Guguk dengan ketentuan Hukum Adat yang berlaku di Desa Guguk dan telah dituangkan dalam Piagam Kesepakatan pemeliharaan dan Pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk Kecamatan sungai Manau Kabupaten Merangin sebagaimana terlampir dalam keputusan ini dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam pengelolaan Hutan adat Desa Guguk sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola yang ditetapkan dengan Keputusan Bersama Lembaga Adat Desa Guguk, BPD dan Kepala Desa Guguk. Pengelola wajib melaporkan pengelolaan Hutan Adat sebagaimana dimaksud di atas kepada Bupati Merangin melalui Camat Kecamatan Sungai Manau setiap tahunnya dengan tembusan kepada Dinas Kehutanan dan pengembangan Sumberdaya Hayati Kabupaten Merangin sebagai instansi yang melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan Hutan Adat Desa Guguk. Apabila Pengelolaan Hutan Adat Guguk menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku ataupun bertentangan dengan kepentingan nasional serta menyimpang dari Piagam Kesekapatan sebagaimana dimaksud di atas maka keputusan ini dapat dibatalkan. Keberadaan masyarakat adat dalam Peraturan daerah (Perda) menjadi sangat penting karena Pasal 203 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara implisit menyebutkan, bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat diakui bila telah ditetapkan oleh Peraturan daerah. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 95

104 Apabila tidak ditetapkan dengan Peraturan daerah, maka mereka hanya berstatus sebagai masyarakat Hukum Adat secara sosial dan tidak memiliki kedudukan secara hukum. 3 Di Sumatera Barat (Indonesia Bagian Barat), Rancangan Peraturan Daerah provinsi mengenai pemanfaatan tanah ulayat memunculkan kekhawatiran masyarakat. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Sumatera Barat, Peraturan daerah itu nanti akan menghilangkan tanah-tanah ulayat yang sekarang ini dikuasai oleh masyarakat adat. Menurut Pemerintah Daerah Sumatera Barat, banyak investor ingin menanam modalnya dibidang perkebunan. Namun mereka ragu-ragu karena ketidakpastian pengaturan tanah ulayat dan cara mendapatkan tanah ulayat tersebut. 4 Sampai saat ini semenjak di undangkannya Peraturan Menteri graria tersebut, baru empat kabupaten yang telah mengeluarkan produk hukum Perda tentang Hak Ulayat Empat kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Lebak (Banten) dengan Perda Nomor 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Surat Keputusan Bupati Bungo (Jambi) Nomor 1249 tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, Surat Keputusan Bupati Merangin (Jambi) Nomor 287 tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang Sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan Perda Kabupaten Kampar (Riau) Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat. Sedangkan sejumlah daerah lain pernah merencanakan atau 3 Herman Slaats, dkk, Op Cit., hlm Raperda Tanah Ulayat Cemaskan Masyarakat asli, Media Indonesia, 7 Februari 2003, dalam Herman Slaats, dkk, Ibid., hlm Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

105 sedang melangsungkan inisiatif serupa, Propinsi Sumatera Barat sempat menggodok Raperda tentang Pengaturan Pemanfaatan Tanah Ulayat, Kabupaten Jayapura (Papua) pernah merancang peraturan daerah tentang Perlindungan Terhadap Tanah-Tanah Ulayat Masyarakat Kabupaten Jayapura. Kabupatan Pasir dan Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) masing-masing dalam proses penyusunan raperda dan identifikasi hak ulayat. Seluruh perda yang telah diundangkan dan sedang dalam pembahasan tersebut, menempatkan Permenag/Kepala BPN No. 5/1999 sebagai dasar hukum. Pengorganisiran analisa ini tidak dibuat mengikuti kerangka yang dimiliki oleh Raperda Hak Ulayat ini. Pembahasan akan dilakukan dengan memilih sejumlah topik yang dianggap penting berkenaan dengan substansi dan teknik perancangannya. Berikut ulasan terhadap beberapa topik yang dianggap penting. Sebagai contoh analisa adalah Raperda Kabupaten Pasir tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pada bagian menimbang huruf c dari raperda hak ulayat ini mengatur mengenai seluk beluk hak ulayat defenisi, kriteria, cara mendapatkannya. Pengaturan mengenai hal-hal itu kemudian difungsikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah tanah ulayat. Namun, kesan seperti itu langsung sirna ketika pasal 10 dan 11 raperda ini mengatakan bahwa di wilayah pemerintahan Kabupayen Pasir tidak ada masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Bukankah Bagian Menimbang huruf c raperda ini mengatakan bahwa pengaturan mengenai tanah ulayat (salah satunya mengenai kriteria) hanyalah sebagai pedoman? Seharusnya, kalau ia hanya berfungsi sebagai pedoman maka tidak boleh sekaligus berfungsi sebagai peraturan yang menetapkan atau Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 97

106 imperatif. Andai raperda ini diposisikan sebagai pedoman, maka urusan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan imperatif diserahkan pada pengaturan lebih lanjut dari raperda ini. Pengaturan lebih lanjutnya bisa dilakukan oleh perda lain atau oleh Keputusan Bupati. Dengan memilih sifat yang demikian, sebenarnya raperda ini sudah menyimpang dari Permenang/Kepala BPN No. 5/199. Kenapa demikian? Karena dengan tegas Permenag ini mengatakan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat serta pencatatan keberadaan tanah ulayat, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (pasal 6). Bila menggunakan tafsir gramatikal maka sangat jelas bahwa Permenag ini memandatkan kepada Pemda untuk membuat pengaturan lebih lanjut mengenai dua hal di atas di dalam perda. Perda tersebut akan menjadi landasan yuridis bagi kegiatan penelitian dan penentuan hak ulayat. Mandat semacam itu memang masuk akal karena Permenag ini tidak mengatur lebih rinci mengenai penelitian dan penentuan (prosedur/mekanisme penelitian, mekanisme penyampaian keberatan, dll). Fungsinya hanya sebagai pedoman. Dengan menyebutkan kriteria hak ulayat dan batasan pemberlakukannya maka pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan adalah bagaimana caranya menentukan (prosedur/mekanisme): apakah kelompok masyarakat tertentu memang memiliki atau tidak memiliki hak ulayat karena memenuhi atau tidak memenuhi kriteria tertentu. Sebagai pedoman, Permenag ini telah merumuskan hal-hal yang subtantif dan untuk menjalankannya yang diperlukan adalah peraturan pelaksana (perda) yang mengatur hal-hal prosedural. 98 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

107 Sementara itu, raperda hak ulayat secara sepihak telah memutuskan bahwa di Kabupaten Pasir tidak satupun kelompok masyarakat dan lembaga adat yang memenuhi kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayat tanpa mengajukan argumen. Apa dasar yang digunakan oleh raperda ini untuk sampai pada kesimpulan semacam itu? Kuat dugaan bahwa yang dijadikan dasar adalah penelitian yang dilakukan oleh Tim Universitas Hasanudin pada tahun Tapi, bagaimana orang mengetahui hasil penelitian tersebut bila ia tidak merupakan bagian yang integral dari raperda ini. Bila penelitian tersebut menjadi dasar, bagaimana status hukumnya? Apakah penelitian itu menjadi mengikat semua orang yang ada di Kabupaten Pasir atau hanya salah satu rujukan? Lagipula, mengapa penelitian itu dikatakan diselenggarakan oleh Universitas Hasanudin? Bukankah menurut Permenag penelitian dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan pihak lain, bukan justru sebaliknya? Tapi sulit juga untuk menyimpulkan bahwa keputusan untuk mengatakan bahwa di Pasir tidak ada mayarakat hukum adat dan hak ulayat didasarkan pada hasil penelitian tersebut. Kesimpulan seperti itu didapat ketika raperda ini mengatakan bahwa di Pasir tidak ada kelompok masyarakat dan lembaga adat karena tidak memenuhi kriteria masyarakat hukum adat dan hak ulayat (pasal 10 dan pasal 11), bukan karena penelitian membuktikan demikian. Jadi, bila dianalogkan dengan proses pemeriksaan sebuah perkara/ kasus di pengadilan maka raperda ini mengadili bahwa di Pasir dinyatakan tidak ada masyarakat hukum adat dan hak ulayat tanpa proses/tahapan pembuktian. Dengan kata lain, Raperda ini mendengar dirinya sendiri lalu membuat keputusan. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 99

108 Memilih gaya yang demikian membuat raperda ini bisa dikategorikan menyimpangi prinsip hak untuk mengidentifikasi diri sendiri (right to self-identification), yang dikenal dalam hukum internasional. Misalnya dalam Framework Convention on National Minorities (pasal 3) dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (pasal 27). Hak ini bisa bisa dimiliki oleh perorangan maupun kelompok. Bagi perorangan, diberikan hak untuk menentukan apakah dirinya bagian dari masyarakat adat atau tidak. Sedangkan untuk kelompok diberi hak untuk memelihara identitasnya termasuk identitas kebiasaan, tradisi, bahasa dan agama. Di dalam Kovenan Hak- Hak Sipil dalam Politik ditekankan bahwa penentuan keberadaan sebuah kelompok didasarkan atas kriteria obyektif dan hak untuk mengidentifikasi diri sendiri, bukan diserahkan kepada negara. 5 Bila merujuk pada kerangka normatif semacam itu maka apa yang dilakukan oleh pemda dan tim peneliti dari Universitas Hasanudin adalah sebuah kekeliruan besar. Pertama, bukan mereka yang seharusnya melakukan identifikasi melainkan masyarakat adat, dengan menggunakan kriteria yang dirumuskan dalam Permenag/Kepala BPN No. 5/1999. Kedua, siapa yang ditemui oleh Tim Peneliti Unhas di lapangan? Apakah orang atau kelompok yang tepat, ataukah justru orang atau kelompok yang keliru? Kalau yang ditemui adalah orang dan kelompok yang tepat, mengapa tiga organisasi yang relatif reprentatif mewakili masyarakat adat di Pasir justru bereaksi dengan kehadiran raperda ini? Tanggal 31 Juli 2000 Bupati Pasir mengesahkan Perda Kabupaten Pasir Nomor 3 tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan 5 Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Pasal 3 dan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

109 dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, yang kemudian diundangkan pada tanggal 8 Agustus Sebagai bagian dari 13 paket Perda mengenai Pemerintahan Desa 6, perda ini mengakui bahwa di Pasir ada lembaga adat, wilayah adat, hukum adat dan adat istiadat. Dengan asumsi seperti itu, perda ini kemudian mengatur bagaimana kedudukan dan fungsi lembaga adat, hak dan kewajibannya, sumber kekayaannya dan bagaimana ia diberdayakan, dilestarikan, dikembangkan, dilindungi dan dipelihara. Kendati mengatur hal yang relevan dengan materi muatan raperda hak ulayat, anehnya perda No. 3/2000 ini tidak dijadikan sebagai salah satu dasar hukum oleh raperda tersebut. Mengapa demikian? Agak sukar menemukan penjelasan logis dari tindakan ini. Apakah lembaga adat dan adat istiadat sesuatu yang berbeda dan terpisah dengan masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Apa bedanya istilah wilayah adat yang disebutkan dalam Perda No. 3/2000 dengan istilah wilayah yang disebutkan dalam Raperda Hak Ulayat 7? Bagaimana mungkin pengakuan keberadaan lembaga adat dan adat istiadat bisa berbeda dan terpisah dengan pengakuan masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Bukankah lembaga adat justru menjadi salah satu unsur pemenuh dari masyarakat hukum adat dan hak ulayat? Penggunaan syarat kumulatif agaknya menjadi alat penjelas yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Raperda ini dengan tegas mengatakan bahwa pemenuhan unsur masyarakat hukum adat dan kriteria hak ulayat harus secara kumulatif. Artinya, seluruh unsur dan kriteria 6 Akibat UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (pasal..) dan Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001 tentang Pedoman Pengaturan Mengenai Pemerintahan Desa, banyak sekali Kabupaten yang berbondong-bondong membuat paket perda mengenai pemerintahan desa, yang jumlahnya berkisar antara 10 sampai 13 buah. Redaksi perda-perda yang mengatur hal itu sangat mirip satu sama lain untuk setiap kabupaten. Rupanya inilah yang memicu gelombang baru penyeragaman pemerintahan lokal pasca UU No. 5/1979, sekalipun di beberapa tempat digunakan istilah yang berbeda. 7 Dalam Perda No. 3/2000 wilayah adat didefenisikan sebagai wilayah kesatuan budaya setempat adat istiadat itu tumbuh, hidup dan berkembang sehingga menjadi penyanggah adat istiadat yang bersangkutan. Sedangkan istilah wilayah dalam raperda hak ulayat dipakai sebagai salah satu unsur masyarakat hukum adat (pasal 3 ayat 1d). Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 101

110 tersebut harus dipenuhi dengan sekaligus atau keseluruhan. Sekalipun sebuah kelompok masyarakat memiliki lembaga adat atau wilayah adat, namun tidak otomatis menjadi masyarakat hukum adat bila tidak memiliki hukum adat dan kekayaan. Begitu juga sebaliknya, memiliki hukum adat dan kekayaan belum bisa digolongkan sebagai masyarakat hukum adat bila tidak memiliki lembaga adat dan wilayah adat. Karena raperda ini tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat di Pasir, dengan sendirinya tidak ada hak ulayat di Pasir. Kenapa? Raperda ini kelihatan cukup cerdik dalam soal ini. Dikatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum hak ulayat (pasal 6). Kalimat ini seolaholah mengatakan bahwa masyarakat hukum adat bukanlah satu-satunya subyek hukum hak ulayat, tapi juga bisa kelompok masyarakat yang lain. Benarkan demikian? Tafsir semacam itu bisa dianggap keliru dengan dua alasan, yakni: Pertama, raperda ini dengan tegas mengatakan bahwa hak ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat hukum adat (pasal 1 angka 7). Kedua, bila mengacu pada kriteria yang digunakan (pasal 7 ayat 1) maka yang dimungkinkan memiliki hak ulayat hanyalah masyarakat hukum adat karena persyaratan terikat oleh tatanan hukum adat (kriteria a dan c). Kriteria semacam itu hanya bisa dipenuhi oleh masyarakat hukum adat. Jadi, baik dilihat dari sisi defenisi dan kriteria, yang berhak menjadi subyek hukum hak ulayat hanyalah masyarakat hukum adat. Jadi karena satusatunya subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat adat dan di Pasir tidak ada masyarakat hukum adat maka tidak ada hak ulayat di Pasir. Tidak perlu susah-susah untuk memeriksa apakah masih ada hak ulayat di Pasir yang memenuhi kriteria karena subyek hukumnya sendiri tidak ada. Cara berfikir semacam ini bisa dilihat dengan telanjang dalam pasal 11 raperda hak ulayat. 102 Masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum hak ulayat, dinyatakan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

111 sudah tidak ada lagi sebagaimana dimaksud pada pasal 10 Peraturan Daerah ini, maka hak ulayat atas tanah, hutan dan perairan sebagai obyek, dinyatakan sudah tidak ada lagi. Dengan tidak mencantumkan Perda No. 3/2000 sebagai dasar hukum, raperda hak ulayat seolah-olah punya anggapan tidak memiliki hubungan dengannya. Namun hal itu bisa saja dilihat sebagai kekeliruan. Mengapa? Pertama, sejumlah istilah digunakan baik oleh raperda hak ulayat dan Perda No. 3/2000. Misalnya, istilah lembaga adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat. Kedua, dua-duanya memiliki cakupan atau obyek pengaturan yang sama. Oleh sebab itu, raperda hak ulayat mutlak menjadikan perda No. 3/2000 sebagai dasar hukum. Dengan logika itulah bisa dikatakan bahwa raperda hak ulayat memang bertentangan (kontradiktif) dengan perda No. 3/2000 seperti yang dinyatakan dalam Pernyataan Sikap Bersama tentang Raperda Kabupaten Pasir Mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kenapa dikatakan bertentangan? Pertama, pendefinisian istilah lembaga adat. Dalam Perda No. 3/2000 lembaga adat didefenisikan sebagai organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan bebagai permasalahan kahidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Sedangkan raperda hak ulayat mendefenisikannya sebagai lembaga yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat untuk melakukan kegiatan pelestarian adat istiadat, diakui dan dikukuhkan oleh Pemerintah Kabupaten. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 103

112 Definisi yang dirumuskan oleh raperda hak ulayat mengerdilkan sosok lembaga adat. Pertama, mendefenisikannya sebatas lembaga, bukan organisasi kemasyarakatan. Kedua, menyempitkan kewenangan lembaga adat sebatas melakukan pelestarian adat istiadat. Dan ketiga, meletakan posisi lembaga adat subordinat di hadapan pemerintah daerah karena terlebih dahulu harus mendapatkan pengakuan. Sebenarnya, lembaga adat menurut perda No. 3/2000 hampir serupa dengan masyarakat hukum adat yang dibayangkan oleh raperda hak ulayat. Itu sebabnya, raperda hak ulayat menggunakan kata kelompok masyarakat dan lembaga adat pada posisi yang sejajar (pasal 10). Ukuran bahwa lembaga adat nyaris serupa dengan masyarakat hukum adat didasari oleh alasan bahwa unsur-unsur lembaga adat hampir mirip dengan unsur masyarakat hukum adat. Menurut perda No. 3/2000 lembaga adat memiliki: (1) sumber kekayaan (pasal 14 ayat 1): (2) memiliki wilayah adat (pasal 1 angka 10); dan (3) memiliki tugas dan kewenangan untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan (pasal 1 angka 10, pasal 6 ayat 2a, pasal 7 ayat 1c). Sedangkan menurut raperda hak ulayat unsur masyarakat hukum adat adalah: (1) adanya kelompok masyarakat yang memiliki integritas, teratur dan bertindak sebagai kesatuan yang terikat dan tunduk pada tatanan hukum adatnya; (2) adanya struktur pemerintahan sendiri yang memiliki kewenangan untuk mengadakan aturan-aturan yang diakui dan diataati oleh warganya; (3) adanya kekayaan yang terpisah dengan kekayaan masing-masing warganya; dan (4) adanya wilayah. Kedua, berbeda dengan raperda hak ulayat, perda No. 3/2000 justru mengakui adanya masyarakat hukum adat. Pasal 13 ayat (1) perda No. 3/2000 berbunyi: Penetapan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat secara 104 tumurun-temurun mempunyai batas-batas yang jelas dan pasti, diakui Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

113 oleh pemerintah dan dapat digunakan oleh masyarakat sesuai adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku. Maksud senada bisa didapatkan dalam pasal 1 angka 10 yang mengatakan bahwa lembaga adat tumbuh dan berkembang di dalam sejarah perkembangan masyarakat hukum adat tertentu. Dengan redaksi semacam itu, karena perda No. 3/2000 mengakui lembaga adat, maka dengan sendirinya Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Pasir telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat lewat perda tersebut. Jadi bisa disimpulkan bahwa dengan mengusulkan raperda hak ulayat artinya pemda Pasir menganulir kebijakannya terdahulu yang mengakui adanya masyarakat hukum adat di Pasir. Barangkali, diantara sekian produk hukum daerah yang mencoba melaksanakan lebih lanjut Permenag/Kepala BPN No. 5/1999, hanya raperda hak ulayat yang difungsikan untuk mendeklarasikan tiadanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Berbeda dengan raperda hak ulayat, inisiatif-inisiatif yang berlangsung di Kabupaten Lebak, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin justru mengakui masih adanya masyarakat hukum adat atau hak ulayat di daerah masing-masing. Begitu juga dengan Kabupaten Kampar, kendati mencoba mengendalikan hak tanah ulayat dan pemangku adat, tapi tetap masih mengakui adanya tanah ulayat di Kabupaten Kampar. Begitu juga dengan inisiatif di Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Jayapura, yang masih dalam status rancangan, samasama mengakui kebaradaan masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Untuk memudahkan, perbedaan masing-masing Perda, Keputusan Bupati dan rancangan Perda tersebut akan dperlihatkan dalam bentuk tabel. Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 105

114 Tabel 1. Perbandingan Inisiatif Kebijakan Pengakuan Hak Ulayat Rauang Lingkup Pengaturan Materi Pokok yang Diatur Raperda Perda Lebak Perda Kampar SK Bupati Pasir 1 Bungo dan Merangin Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat Kriteria masyarakat hukum adat, subyek hak ulayat, kriteria dan obyek hak ulayat, penentuan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat Hak Ulayat Penetapan wilayah hak ulayat, bidang-bidang tanah yang dikecualikan dari hak ulayat, batas-batas hak ulayat masyarakat Baduy, ketentuan pidana, ketentuan penyidikan, larangan pensertifikatan hak ulayat masyarakat Baduy Hak tanah Ulayat Hak Tanah Ulayat (fungsi, larangan dalam penggunaan), Tata cara pemilikan dan penggunaan tanah ulayat, kerapatan adat, pemilikan tanah ulayat, pengawasan, tugas, wewenang dan fungsi kepala penghulu, mandat pembentukan Badan Penyelesaian Permasalahan dan Pemutihan Tanah Ulayat Daerah Raperda Sumatera Barat 2 Raperda Jayapura Hutan Adat Tanah Ulayat Tanah Ulayat, Tanah Adat Pengakuan terhadap hutan adat, batas, batas hutan adat, penggunaan hukum adat untuk mengelola hutan adat, kewajiban untuk melaporkan Klasifikasi dan Kewenangan Penguasaan Tanah Ulayat, Kedudukan dan Fungsi Tanah Ulayat, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah Ulayat, Pendaftaran Tanah Ulayat, Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat, Penguasaan Kembali oleh Negara terhadap Tanah yang telah Berakhir masa berlaku hak atas tanahnya Pelepasan Tanah Ulayat, Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Kegiatan Usaha, Kewajiban Bagi Perusahaan untuk Memberikan Kompensasi, Ganti Rugia atas Tanam- Tanaman, Kewajiban Membayar Pajak, Kenetuan Peralihan Mengakui Hak Ulayat/Tdk Mengakui Hak Ulayat Tidak Mengakui adanya masyarakat hukum adat dan hak ulayat di Pasir Mengakui keberadaan hak ulayat Masyarakat Baduy Mengakui Adanya Tanah Hak Ulayat Kampar Mengakui Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat Mengakui adanya Tanah Ulayat di Sumbar Mengakui adanya Hak Ulayat di Kabupaten Jayapura Sumber: Perpustakaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 2006 Di Kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar) sejak November 2003 sampai saat ini tengah dilakukan proses identifikasi terhadap lima kampung 8 yang berada di Kabupaten tersebut dalam rangka pengakuan hak ulayat/hak-hak adat lainnya. Identifikasi dilakukan oleh sejumlah LSM lokal yakni Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Yayasan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Kalbar dan PPSDAK. Tim identifikasi hanya bertugas melengkapi dan mengklarifikasi datadata mengenai lima kampung tersebut, yang sebelumnya sudah dikumpulkan. Identifikasi dilakukan dengan metode menggelar diskusi kampung dan wawancara. Seluruh biaya penyelenggaraan 8 Kelima kampung tersebut adalah Sei-Utik, Pulan, Ungak, Langan dan Sei-Tebelian. 106 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

115 identifikasi ditanggung oleh pemda Kapuas Hulu yang diambil dari pos APBD. Menurut rencana, setelah identifikasi akan dibentuk sebuah tim verifikasi yang bertugas memverifikasi data yang didapatkan dari kegiatan identifikasi. Tim verfikasi akan beranggotakan unsur akademisi, pemda dan LSM. Hasil tim verifikasi akan dipergunakan sebagai dasar ntuk mengeluarkan pengakuan terhadap lima kampung tersebut, lewat peraturan daerah. Selain bermasalah dari segi proses, raperda hak ulayat juga memiliki sejumlah catatan negatif dari sisi substansi. Materi raperda ini menyalahi tuntutan yang dikehendaki oleh Permenag/Kepala BPN No. 5/1999. Tanpa mengatur atau tanpa terlebih dahulu menerbitkan ketentuan atau perda yang mengatur mengenai prosedur penelitian dan penentuan hak ulayat, raperda ini langsung menyimpulkan bahwa di Kabupaten Pasir tidak terdapat masyarakat hukum adat dan hak ulayat, berdasarkan kriteria yang dibuatnya. Raperda hak ulayat juga menabrak perda No. 3/2000 yang nyatanyata memiliki materi pengaturan yang relevan dengannya. Bukan hanya menabrak, raperda hak ulayat justru menegasikan keberadaan perda No. 3/2000 karena tidak mencantumkannya sebagai dasar hukum. Selain melakukan penyempitan defenisi, raperda hak ulayat juga bersebarangan dengan perda No. 3/2000 karena tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat, sementara perda No. 3/2000 mengakuinya. Bila dibandingkan dengan inisiatif kebijakan di daerah lain, raperda hak ulayat memilih jalan yang berbeda. Bila inisiatif kebijakan lain mengenai hak ulayat dilandasi oleh semangat untuk mengakui keberadaan hak ulayat, raperda hak ulayat memilih jalan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 107

116 sebaliknya. Tidak salah rasanya bila Pernyataan Sikap Bersama menganggap raperda ini melawan semangat yang dipunyai UUD 1945 hasil amandemen dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sekedar menggenapi, raperda ini juga melakukan hal serupa terhadap Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan P 108 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

117 Bab Lima HASIL OLAHAN DATA SEMENTARA YANG SUDAH SELESAI DIOLAH Berikut disampaikan contoh olahan data berdasarkan penelitian lapangan yang sudah diselesaikan. Hasil ini masih belum final karena masih terdapat beberapa data kuesioner yang diolah secara kuantitatif dan juga data hasil wawancara yang diolah secara kualitatif. Namun demikian yang disampaikan dalam draft laporan akhir ini masih merupakan salah satu contoh hasil olahan sementara. Sedangkan olahan data secara keseluruhan akan diselesaikan sebelum akan dilaksanakannya FGD untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyelesaian laporan akhir yang sudah final. A. Analisis Sementara di Lokasi Pontianak KARAKTERISTIK P4T Pola Penguasaan Tanah Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 109

118 Berdasarkan hasil analisis [tabel frekuensi] terlihat bahwa lebih dari 50 responden setuju bahwa pola penguasaan tanah adat belakangan ini lebih mengarah pada individualisasi. Sementara hanya 27% yang tidak setuju dengan argumen sebaliknya. Meskipun demikian lebih dari 60 persen responden kasus Pontianak juga menyatakan bahwa pola penguasaan tanah adat saat ini masih mengarah pada pola kolektif. Hanya 20% responden yang menyatakan tidak setuju bila pola penguasaan tanah adat saat ini mengarah pada pola kolektif. Frequency Table penguasaan tanah individualisasi Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

119 penguasaan tanah secara utuh Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total penguasaan tanah campuran Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 111

120 Tatacara Perolehan Tanah Mayoritas responden pada dasarnya setuju bahwa tata cara perolah tanah baik itu yang bersifat individu, kolektif, maupun campuran dapat dilakukan melalui sistem-sistem yang berlaku yaitu dengan sewa, bagi hasil, jual beli, garapan maupun program pertanahan. Lebih dari 68% responden setuju bahwa pola penguasaan tanah adat secara individu dapat dilakukan dengan system transaksi tanah yang umum. Sedangkan 59% responden setuju untuk tanah yang dikuasai secara kolektif. Sementara itu 100% responden juga setuju bahwa tata cara perolehan tanah yang bersifat campuran dapat dilakukan dengan system sewa, garapan, bagi hasil, jual beli, dan program pertanahan. 112 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

121 Frequency Table tata cara penguasaan tanah individu dapat melalui sistem Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain cukup setuju setuju sangat setuju Total tata cara penguasaan tanah kolektif dapat melalui sistem Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 113

122 tata cara penguasaan tanah campuran dapat melalui sistem Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

123 Mayoritas Penggunaan Tanah Sebagian besar responden juga setuju bahwa mayoritas penggunaan lahan baik itu yang bersifat individual, kolektif, maupun, campuran banyak digunakan untuk pemukiman, sawah, tanah, tanah kering, maupun kebun. Frequency Table mayoritas penggunaan tanah individu untuk pemukiman dll Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 115

124 mayoritas penggunaan tanah kolektif untuk pemukiman dll Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain cukup setuju setuju sangat setuju Total mayoritas penggunaan tanah campuran untuk pemukiman dll Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid abstain cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

125 KONTRIBUSI P4T Jenis Aset dan Pola Pemilikan Tanah dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagian besar responden setuju bahwa jenis aset dan pola pemilikan tanah juga akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Lebih dari 86% responden studi kasus Pontianak menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat dapat ditentukan oleh jenis aset tanah yang dimilikinya. Frequency Table Kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masy ditentukan oleh jenis aset tanah Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju Setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 117

126 kontribusi P4T terhadap kesejahteraan masy ditentukan jenis kepemilikan Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju Setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

127 Faktor Jalan Penghubung, Produksi, Bank, dan Pemasaran, dan Faktor Lain yang mempengaruhi Akses Sosekbud terhadap Kesejahteraan Masyarakat Hampir seluruh responden setuju bahwa berbagai faktor-faktor seperti jalan penghubung, produksi, bank, dan pemasaran, maupun berbagai faktor lan akan mempengaruhi akses sosial, ekonomi, budaya terhadap kesejahteraan masyarakat. Frequency Table faktor prod, pasar, bank mempengaruhi akses sosbud terhadap kesejahteraan masy Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 119

128 faktor selain prod, pasar, bank mempengaruhi akses sosbud terhadap kesejahteraan masy Cumulative Percent Frequency Percent Valid Percent Valid cukup setuju setuju sangat setuju Total EFEKTIVITAS DAN IDEAL Dapat terlihat pada tabel, bahwa mayoritas responden Pontianak setuju bahwa peraturan yang ada saat ini telah cukup memadai dan dilaksanakan dengan baik dan tanpa penyimpangan. Responden juga setuju bila aturan-aturan P4T telah dianggap cukup memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. 120 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

129 Frequency Table aturan efektif Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total pelaksanaan efektif Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid tidak setuju cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) 121

130 ideal rumusan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid cukup setuju setuju sangat setuju Total Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)

FUNGSI SOSIAL TANAH. Agus Surono

FUNGSI SOSIAL TANAH. Agus Surono FUNGSI SOSIAL TANAH Agus Surono UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2013 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Agus Surono FUNGSI SOSIAL TANAH Agus Surono Cet. 1 - Jakarta : Fakultas

Lebih terperinci

NSPK SEKTOR KEHUTANAN. Agus Surono

NSPK SEKTOR KEHUTANAN. Agus Surono NSPK SEKTOR KEHUTANAN Agus Surono UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2013 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Agus Surono NSPK SEKTOR KEHUTANAN Agus Surono Cet. 1 - Jakarta

Lebih terperinci

HUKUM AGRARIA NASIONAL

HUKUM AGRARIA NASIONAL HUKUM AGRARIA NASIONAL Oleh : Hj. Yeyet Solihat, SH. MKn. Abstrak Hukum adat dijadikan dasar karena merupakan hukum yang asli yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Hukum adat ini masih harus

Lebih terperinci

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK)

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK) HAK PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Indra Lorenly

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM GUNAWAN SASMITA DIREKTUR LANDREFORM ALIANSI PETANI INDONESIA JAKARTA 10 DESEMBER 2007 LANDASAN FILOSOFI TANAH KARUNIA TUHAN

Lebih terperinci

PEMPURNAAN UUPA SEBAGAI PERATURAN POKOK AGRARIA

PEMPURNAAN UUPA SEBAGAI PERATURAN POKOK AGRARIA BADAN PERTANAHAN NASIONAL KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI JAWA TIMUR PEMPURNAAN UUPA SEBAGAI PERATURAN POKOK AGRARIA DR YAGUS SUYADI, SH, MSi ISSUE UTAMA MASALAH AGRARIA TERDAPAT KETIMPANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan,

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata

Lebih terperinci

Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan

Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan Agus Surono UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2008 Perpustakaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

2 UUPA harus memberikan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya m

2 UUPA harus memberikan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya m BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi masyarakat Indonesia, tanah merupakan modal yang paling utama dalam kehidupan sehari-hari, yaitu untuk berkebun, berladang, maupun bertani. Berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting baik untuk kehidupan maupun untuk tempat peristirahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat di pisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang pertanahan, maka sasaran pembangunan di bidang pertanahan adalah terwujudnya. 4. Tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. bidang pertanahan, maka sasaran pembangunan di bidang pertanahan adalah terwujudnya. 4. Tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Patut diketahui bahwa, di dalam era pembangunan dewasa ini, khususnya di bidang pertanahan, maka sasaran pembangunan di bidang pertanahan adalah terwujudnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia adalah negara yang susunan kehidupan rakyat dan perekonomiannya masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin tidak ada habisnya, mengenai masalah ini dapat dilihat dari pemberitaan media masa seperti

Lebih terperinci

BAB I PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA

BAB I PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA BAB I PERKEMBANGAN POLITIK DAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA Perkembangan Hukum (agraria) yang berlaku di suatu negara, tidak dapat dilepaskan dari politik agraria yang diberlakukan dan atau dianut oleh Pemerintah

Lebih terperinci

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL DI KABUPATEN KAMPAR PROPINSI RIAU TESIS Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S2 Program Studi Magister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar di Negara Republik Indonesia. Seiring perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah

Lebih terperinci

Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. manusia, hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan. Fungsi tanah begitu penting dan

Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. manusia, hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan. Fungsi tanah begitu penting dan 1 A. Latar belakang masalah Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan manusia, hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan. Fungsi tanah begitu penting dan mempunyai arti sendiri, sebab tanah

Lebih terperinci

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,

Lebih terperinci

ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PENGELOLAAN ASET TANAH INSTANSI PEMERINTAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA

ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PENGELOLAAN ASET TANAH INSTANSI PEMERINTAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PENGELOLAAN ASET TANAH INSTANSI PEMERINTAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas -tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi kehidupan manusia. Ketergantungan manusia pada tanah, baik untuk kebutuhan tempat pemukiman maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang

Lebih terperinci

BANK TANAH: ANTARA CITA-CITA DAN UTOPIA CUT LINA MUTIA

BANK TANAH: ANTARA CITA-CITA DAN UTOPIA CUT LINA MUTIA BANK TANAH: ANTARA CITA-CITA DAN UTOPIA Oleh: CUT LINA MUTIA Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Tanah merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia. Tidak hanya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM AGRARIA

BAB I PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM AGRARIA BAB I PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM AGRARIA Perkembangan sejarah hukum agraria di Indonesia, dapat dilihat dalam 4 (empat) tahapan, yaitu tahap Indonesia sebelum merdeka (masa kolonial), tahap Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Baik sebagai sumber penghidupan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan paling utama. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak

BAB I PENDAHULUAN. penting dan paling utama. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia, tanah merupakan faktor yang sangat penting dan paling utama. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya begitu pula

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya begitu pula BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya begitu pula ruang angkasa adalah merupakan suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang relevan sebelumnya Salah satu Penelitian yang relevan sebelumnya mengkaji tentang Upaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam menyelesaikan masalah tanah, dapat

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Vol. 5 No. 2 Maret 2001, Lembaga Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikuasai atau dimiliki oleh orang perorangan, kelompok orang termasuk

BAB I PENDAHULUAN. dikuasai atau dimiliki oleh orang perorangan, kelompok orang termasuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak baik yang telah dikuasai atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN

ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN BAB II ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN A. Penguasaan Negara Atas Kekayaan Alam yang Terkandung di Bawah Tanah 1. Pengertian

Lebih terperinci

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, dimana didalam negara kesatuan dibagi menjadi 2 bentuk, yang pertama adalah negara kesatuan dengan sistem sentralisasi

Lebih terperinci

Konstitusionalisme SDA Migas. Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Konstitusionalisme SDA Migas. Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Konstitusionalisme SDA Migas Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Karakter Konstitusi Indonesia Meninggalkan ciri usang singkat dan jelas Berisi tidak saja sistem

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (UUPA) adalah hukum agraria penjajahan yang mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN (UUPA) adalah hukum agraria penjajahan yang mempunyai sifat 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Agraria yang berlaku sebelum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA) adalah hukum agraria penjajahan yang mempunyai sifat dualisme akibat dari politik-hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanahan Nasional juga mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pertanahan Nasional juga mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus.

BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA. tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus. 19 BAB II PENGATURAN TANAH TERLANTAR MENURUT HUKUM AGRARIA A. Pengertian Tanah Terlantar Tanah terlantar, terdiri dari dua (2) kata yaitu tanah dan terlantar. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu badan hukum ataupun Pemerintah pasti melibatkan soal tanah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu badan hukum ataupun Pemerintah pasti melibatkan soal tanah, oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, karena setiap kegiatan yang dilakukan baik perseorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40.

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) mengatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang dengan gugusan ribuan pulau dan jutaan manusia yang ada di dalamnya. Secara wilayah daratan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup baik manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Manusia hidup dan tinggal diatas tanah dan memanfaatkan tanah

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK Agus Sekarmadji Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: agussekarmadji_unair@yahoo.com Abstract Land Law in Indonesia does not clearly specify the political

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat hidupnya. Secara kosmologis, tanah adalah tempat

Lebih terperinci

LAND REFORM INDONESIA

LAND REFORM INDONESIA LAND REFORM INDONESIA Oleh: NADYA SUCIANTI Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti dan kedudukan yang sangat penting di

Lebih terperinci

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum LAPORAN HASIL PENELITIAN KELOMPOK TENTANG BENTUK PENGHORMATAN DAN PENGAKUAN NEGARA TERHADAP KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BESERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam. pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Secara

BAB IV PENUTUP. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam. pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Secara BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsepsi keadilan mengenai penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keadilan sosial. Landasan konstitusional

Lebih terperinci

IMPLIKASI PENCABUTAN HAK ATAS TANAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA. Istiana Heriani*

IMPLIKASI PENCABUTAN HAK ATAS TANAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.64 No.2 April 2015 halaman 14-20 14 IMPLIKASI PENCABUTAN HAK ATAS TANAH TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA Istiana Heriani* ABSTRAK Kepemilikan hak atas tanah merupakan hak dasar yang

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Kebutuhan akan tanah semakin hari semakin meningkat,

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Kebutuhan akan tanah semakin hari semakin meningkat, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena manusia dan tanah memiliki hubungan yang sangat erat, terlebih lagi bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu kehidupan masyarakat Indonesia yang tata kehidupannya masih bercorak agraris dan sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangan terhadap hubungan hukum antara manusia dengan tanah di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. tangan terhadap hubungan hukum antara manusia dengan tanah di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut MHA) di Indonesia merupakan kesatuan kemasyarakatan yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air, dan ruang angkasa demikian pula yang terkandung di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air, dan ruang angkasa demikian pula yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, dan ruang angkasa demikian pula yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu

Lebih terperinci

PENGATURAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA,

PENGATURAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA, PENGATURAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA, Antara yang Tersurat dan Tersirat Kajian Kritis Undang-undang Terkait Penataan Ruang Dan Sumber Daya Alam IPB International Convention center (IICC) 12 September

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

JURNAL LOGIKA, Volume XII, No 3 Tahun 2014 ISSN : ASPEK HUKUM PERIZINAN DI BIDANG BANGUNAN

JURNAL LOGIKA, Volume XII, No 3 Tahun 2014 ISSN : ASPEK HUKUM PERIZINAN DI BIDANG BANGUNAN ASPEK HUKUM PERIZINAN DI BIDANG BANGUNAN Nining Suningrat (Universitas Swadaya Gunung Jati) Abstrak Aspek hukum perizinan dibidang bangunan sangatlah penting, karena sebelum melakukan proyek pembangunan

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29 Juli 2008 Pukul : 08.30 WIB Tempat : Balai Petitih Kantor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Manusia sebagai makhluk sosial,

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan warga Negara. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi

BAB I PENDAHULUAN. tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup. Hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prasarana penunjang kehidupan manusia yang semakin meningkat. Tolak ukur kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. prasarana penunjang kehidupan manusia yang semakin meningkat. Tolak ukur kemajuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan zaman serta pertumbuhan laju penduduk mendorong terjadinya pembangunan yang sangat pesat, baik pemabangunan yang ada di daerah maupun pembangunan

Lebih terperinci

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Reformasi Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pendukung Lainnya Oleh M. Noor Marzuki Direktur Pengadaan Tanah Wilayah I Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan sebagai ukuran bagi berlaku atau tidaknya peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh :

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh : PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial

KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) alam memiliki nilai sosial KONFLIK PERTANAHAN (AGRARIA) 1. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. 2. Kebijakan pembangunan pertanahan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS JAMINAN SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DI ATAS HAK PENGELOLAAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS JAMINAN SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DI ATAS HAK PENGELOLAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS JAMINAN SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DI ATAS HAK PENGELOLAAN Rangga Dwi Prasetya Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Narotama Surabaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan Desa Caturharjo Kecamatan Pandak) Oleh : M. ADI WIBOWO No. Mhs : 04410590 Program

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment) DESENTRALISASI PENYELENGGARA PENANAMAN MODAL (SUATU TINJAUAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL) (The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25

Lebih terperinci

PELAKSANAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH PERTANIAN KARENA JUAL BELI DI KECAMATAN GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN

PELAKSANAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH PERTANIAN KARENA JUAL BELI DI KECAMATAN GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN PELAKSANAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH PERTANIAN KARENA JUAL BELI DI KECAMATAN GEMOLONG KABUPATEN SRAGEN Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah diperlukan manusia sebagai ruang gerak dan sumber kehidupan. Sebagai ruang gerak, tanah memberikan

Lebih terperinci