LAPORAN KEGIATAN PENYIDIKAN PENYAKIT RABIES DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES DI WILAYAH KERJA BPPV REGIONAL II BUKITTINGGI TAHUN 2013

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN KEGIATAN PENYIDIKAN PENYAKIT RABIES DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES DI WILAYAH KERJA BPPV REGIONAL II BUKITTINGGI TAHUN 2013"

Transkripsi

1 LAPORAN KEGIATAN PENYIDIKAN PENYAKIT RABIES DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES DI WILAYAH KERJA BPPV REGIONAL II BUKITTINGGI TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Rabies adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini menginfeksi hewan domestik dan liar. Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan apabila tidak sempat atau terlambat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang mengharukan. Lebih dari orang meninggal karena rabies setiap tahunnya dan 95 % dari kematian tersebut terjadi di Asia dan Afrika. Menurut World Health Organization (WHO), rabies terjadi di lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka (Bingham, 2005; Kang et al., 2007). Kasus klinis rabies pada hewan maupun manusia selalu berakhir dengan kematian. Penyakit Rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang yang terpapar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya 1

2 postexposure treatment. Disamping itu, kerugian akibat pembatalan kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata penting di dunia, seperti Bali. Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar disebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar kebeberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953,Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005, Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun Kemudian Pulau Bali dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Propinsi Riau tahun 2009 (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006; Kepmentan, 2008) Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Upaya untuk mengendalikan 2

3 rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di daerah-daerah tertentu, kasus rabies bahkan semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang tidak memadai. Cakupan vaksinasi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian suatu penyakit, disamping kualitas vaksin, teknik aplikasi dan waktu pelaksanaan vaksinasi (Rahman dan Maharis, 2008; Touihri et al.,2011). penanganan vaksin yang tidak baik (misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi), salah aplikasi dapat menyebabkan vaksin yang diberikan tidak mampu lagi memberikan protektivitas pada anjing yang divaksin. Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan surveilans serologis untuk deteksi antibodi pasca vaksinasi, Deteksi antibodi rabies sangat penting dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksin rabies. Jenis vaksin tampaknya menghasilkan respon imun yang berbeda. Hasil penelitian Minke et al. (2009) menunjukkan bahwa vaksin Rabisin menginduksi respon kebal tertinggi pada hari 14 setelah vaksinasi yaitu 87%. Vaksin yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan menginduksi kekebalan yang lebih seragam yang mencapai 100% (Minke et al. 2009). Penelitian yang dilakukan di Nigeria (Ohore et al. 2007) menunjukkan bahwa titer antibodi tertinggi dicapai antara 3 sampai 6 bulan pasca vaksinasi (PV) dan terendah antara 9 sampai 12 bulan PV. Wilayah kerja BPPV Regional II termasuk daerah endemis rabies, namun beberapa kepulauan (Kepulauan Mentawai dan Kepulauan Riau) yang berada diwilayah kerja BPPV Regional II dinyatakan bebas rabies secara historis. Dalam rangka pengendalian dan penanganan penyakit rabies perlu dilakukan koordinasi lintas sektoral, yang mana oleh pemerintah pusat telah dilakukan rapat koordinasi 3

4 yang diikuti Menko Kesra, Menkes dan Mentan maka, dibahas beberapa langkah langkah percepatan pengendalian dan penanganan penyakit Rabies. Mengingat arti penting penyakit ini berdasarkan aspek sosial-ekonomi dan aspek kesehatan masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam memberantas Rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kesehatan manusia dan mencegah penyebarannya pada hewan domestik dan satwa liar. Dalam mencapai tujuan itu Pemerintah mengatur dengan melaksanakan strategi dibawah ini (Departemen Pertanian, 2007): Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular Rabies diwilayah/daerah untuk mencegah penyebaran penyakit Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus Rabies yang paling berbahaya. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara didaerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan menguangi kontak terhadap manusia. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit; dan Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait. Dalam upaya mendukung program diatas, sesuai dengan tupoksi balai, Balai Veteriner Bukittinggi tiap tahun rutin melaksanakan program monitoring rabies di wilayah kerja Reg II, demikian juga untuk tahun

5 1.1 Tujuan Monitoring rabies dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemberantasan rabies melalui program vaksinasi rabies dan mendeteksi keberadaan virus rabies di suatu daerah baik pada daerah endemis maupun daerah yang bebas secara historis Manfaat Tersedianya data laboratoris yang dapat dipakai sebagai dasar untuk tindakan pengendalian rabies, diharapkan rencana Indonesia bebas rabies tahun 2020 dapat tercapai. Dengan bebasnya Indonesia dari rabies akan menimbulkan rasa aman masyarakat, untuk daerah-daerah wisata rasa aman ini akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian Sasaran Sasaran dari kegiatan monitoring rabies (monitoring aktif dan pasif), monitoring pasif berupa sampel dari HPR yang diterima balai, sedangkan untuk monitoring rabies aktif adalah HPR terutama anjing yang ada di daerah yang dikunjungi. Pemilihan daerah berdasarkan pada tingginya kasus rabies sepanjang tahun 2012 yang didiagnosa Balai Veteriner Bukittinggi, Laboratorium tipe B Jambi, dan Pekanbaru atau permintaan Dinas setempat. Dan daerah kepulauan yang secara historis bebas rabies (Propinsi Kepulauan Riau) 5

6 BAB. II MATERI DAN METODE 2.1. Materi Serum darah anjing atau hewan yang peka lainnya. Bahan pemeriksaan berupa Kit Elisa antibody Rabies Produksi Pusvetma Surabaya dan Kit Elisa Biorad. Selain serum, materi yang digunakan dalam monitoring rabies adalah otak HPR yang akan diperiksa dengan metoda Seller dan FAT 2.2. Metode Metode pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan antibody rabies secara Elisa menggunakan KIT komersial. KIT yang digunakan adalah KIT Platelia II dari Biorad dan Kit Elisa antibody Rabies Produksi Pusvetma Surabaya. Dan deteksi antigen dengan metode uji Seller dan FAT. Prosedur uji ELISA KIT Platelia II KIT Rabies Bio-Rad Mikroplate dikeluarkan dari kemasan, kemudian serum sampel, serum kontrol positif (R4a 0,5EU) dan kontrol negatif (R3) diencerkan dengan perbandingan 1: 100 dalam larutan pengencer (R6). Sedangkan serum kontrol positif standar (R4b), diencerkan 1:100 (sebagai S6 dengan titer 4EU) dalam larutan pengencer (R6), selanjutnya dari S6 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500μl S6 ditambah 500μl R6) menjadi S5 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi S4(1EU), S3(0,5EU), S2(0,25EU) dan S1 (0,125EU). Kemudian masing-masing serum sampel dan serum kontrol, dimasukkan 100 μl ke dalam sumuran mikroplate. Mikroplate ditutup dan 6

7 diinkubasikan pada suhu 37 C selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl conjugate yang telah diencerkan pada semua lubang. Tutup mikroplate dan diinkubasikan 1 jam pada suhu 37 C. Mikroplate dicuci sebanyak 5 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl substrat pada semua sumuran, dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit dalam kondisi gelap. Kemudian ditambahkan 100 μl stop solution pada semua sumuran. Setelah 30 menit, dilakukan pembacaan optical density pada panjang gelombang 450 nm sampai 620 nm. Penghitungan dilakukan ke dalam EU dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer 0,5 EU atau lebih dianggap protektif. Prosedur uji ELISA Kit Rabies Pusvetma Surabaya Serum sampel di inaktivasi dengan memanaskan dalam penangas air dengan suhu 56ºC selama 30 menit, kemudian diencerkan 1:100 dengan menambahkan 2,5 μl sampel serum dengan 247,5 μl PBST. Selanjutnya diencerkan serum kontrol positif 1:100 yakni 10 ul Kontrol Positif (sebagai K4 dengan titer 4 EU) dalam 990 ul PBST, selanjutnya dari K4 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500μl K4 ditambah 500μl PBST) menjadi K2 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi K1(1EU), K0,5(0,5EU), K0,25(0,25EU) dan K0,125 (0,125EU ). Kontrol negatif diencerkan dengan pengenceran 1 : 100 dengan mengambil 2,5 ul kontrol negatif ditambahkan 247,5 ul PBST, demikian juga dengan kontrol ST 1 EU diencerkan dengan pengenceran 1 : 100. Serum sampel dan kontrol dimasukkan pada sumuran mikroplate masingmasing 100 μl dan sumuran H11 dan H12 tanpa serum, tetapi dimasukkan 100 ul 7

8 PBST sebagai blank. Kemudian mikroplate ditutup dengan plastik penutup dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 60 menit. Selanjutnya cairan serum pada mikroplate uji dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak 4-5 kali. Cairan pencuci yang tersisa dalam jumlah kecil dalam mikroplat dikeringkan dengan cara membalikkan mikroplat di atas kertas tissue tebal. Kemudian tambahkan konjugat yang telah diencerkan( x) sebanyak 100 μl per sumuran. Mikroplat ditutup kembali dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 60 menit. Selanjutnya cairan dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak 4-5 kali dan ditambahkan substrat sebanyak 100 μl pada setiap sumuran. Plate diinkubasikan pada suhu kamar, dalam kondisi gelap selama 10 menit. Terakhir ditambahkan 100μl stop solution pada setiap sumuran. Pembacaan densitas optik (OD = Optical Density) pada pembaca (Reader) dengan panjang gelombang 405nm. Selanjutnya dihitung Equivalent Unit (EU) dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer serum 0,5 EU atau lebih dianggap protektif. Prosedur uji Seller Material segar atau material dalam pengawet 50% gliserin, dicuci beberapa kali dalam larutan PBS ph 7,4, disiapkan untuk pembuatan preparat uji Pembuatan preparat/film (Metode Rolling), Material dipotong agar terbentuk bola dengan diameter 5 mm.dengan tusuk gigi, material ditusuk dan dibuat preparat dengan cara mengguling-gulingkan diatas kaca preparat. Dalam keadaan masih basah, preparat direndam ke dalam bak yang berisi pewarna Seller s selama beberapa detik, tergantung ketebalan preparat. Preparat dibilas dengan 8

9 menggunakan air kran. Setelah bersih, preparat dibiarkan kering di udara terbuka. Preparat ditetesi minyak emersi untuk selanjutnya diperiksa dibawah mikroskop cahaya pada perbesaran 400 X dan 1000 X. Hasil positif jika ada Negri Bodi berbentuk bulat, oval, memanjang atau segi tiga dan lain-lain, berukuran antara 0,24-27,0 m, bewarna merah magenta. Hasil negatif tidak ditemukan adanya Negri Bodi dalam bidang pandang mikroskop. Prosedur uji FAT (Fluorescent Antibody Test) Material segar atau dalam pengawet 50 % gliserin garam dicuci dulu beberapa kali dengan PBS, kemudian dibuat preparat tempel sentuh atau preparat ulas tergantung kondisi sampelnya. Preparat uji dikeringkan pada udara terbuka, kemudian preparat difiksasi dalam aceton 15 0 C sampai 20 0 C selama 2-4 jam. Setelah fiksasi, preparat uji dikeringkan pada udara terbuka, kemudian diteteskan konjugat secukupnya, kemudian diinkubasikan pada ruang lembab pada suhu 37 ºC selama 30 menit. Selanjutnya preparat dicuci 2 X dengan cara merendam ke dalam bak pencuci yang berisi larutan PBS ph 7,4 dengan menggunakan Coplin Jar masing-masing selama 10 menit. Preparat dikeringkan di udara terbuka dengan posisi tegak. Preparat diberi 1 tetes 50% gliserin-buffer (ph 7,6) dan tutup dengan cover slip.preparat diperiksa menggunakan mikroskop ultra-violet pada perbesaran 200 dan 400 kali. Hasil positif akan memberikan warna flourecent hijau apel atau berstruktur hijau-kuning dengan ukuran bervariasi dari berupa pasir/debu sampai berupa bentuk negri body. Hasil negatif tidak memberikan warna flourecent, demikian juga contoh uji yang tidak mengandung antigen Rabies. 9

10 BAB.III HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan monitoring rabies dilakukan secara aktif dan pasif. Pada monitoring aktif pengambilan sampel untuk pemeriksaan rabies dilakukan oleh tim Bvet langsung ke beberapa kabupaten/kota yang berada diwilayah kerja Bvet Bukittinggi. Dilapangan pengambilan sampel berkoordinasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau yang membawahinya. Dalam perencanaan pada setiap kab/kota akan diambil serum postvaksinasi rabies untuk uji serologis yang dimaksutkan untuk mengetahui protektifitas vaksinasi yang sudah dilakukan dilapangan, dan sampel otak untuk identifiakasi virus. Tetapi dalam pelaksanaan monitoring yang bisa diambil hanya serum postvaksinasi kecuali dari Kabupaten Pasaman dikoleksi 4 sampel otak, daerah lainnya perlu koordinasi yang lebih baik dengan pihak kab/kota, dan mungkin kedepannya perlu disiapkan dana untuk membeli sampel otak yang dibutuhkan. Tabel 1. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 di Propinsi Sumbar No Kab/Kota Total Serum 1 Agam Kota 54 3 Bukittinggi 29 4 Payakumbuh 36 5 Tanah Datar 44 6 Padang 15 7 Padang Panjang 27 8 Pasaman 65 9 Solok 52 Total

11 Pengambilan sampel dilakukan di beberapa kab/kota Propinsi diwilayah kerja Bvet Bukittinggi, Dari Propinsi Sumatera Barat (tabel 1) total sampel yang diambil sebanyak 359 sampel berasal dari: Kabupaten Agam sebanyak 37 serum posvaksinasi, Kabupaten 50 Kota dikoleksi sebanyak 54 serum postvaksinasi, dari Kota Bukittinggi sebanyak 29 serum postvaksinasi, dari kota Payakumbuh berhasil dikoleksi 36 sampel serum postvaksinasi, 44 sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kabupaten Tanah Datar, 15 sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kota Padang, dari Kota Padang Panjang berhasil diambil sebanyak 27 sampel serum postvaksinasi, dari Kabupaten Pasaman, 65 sampel serum postvaksinasi, 52 sampel serum postvaksinasi dari Kota Solok. Tabel 2. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 di Propinsi Riau No Kab/Kota Total Serum 1 Kampar 45 2 Pekanbaru 20 3 Siak 20 4 Dumai 59 5 Bengkalis 1 Total 145 Dari Propinsi Riau total sampel yang diperoleh sebanyak 145 serum, berasal dari : Kabupaten Kampar sebanyak 45 sampel serum postvaksinasi. Dari Kota Pekanbaru barhasil dkoleksil sebanyak 20 sampel serum postvaksinasi, 20 sampel serum postvaksinasi dari Kabupaten Siak, 59 sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kabupaten Dumai dan 1 sampel dari Kabupaten Bengkalis (tabel 2) Tabel 3. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 di Propinsi Jambi No Kab/Kota Total Serum 1 Kerinci 59 Total 59 11

12 Sedangkan untuk Propinsi Jambi sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kabuapten Kerinci sebanyak 59 sampel serum postvaksinasi (tabel 3). Dan untuk Propinsi Kepulauan Riau tidak dilakukan pengambilan sampel serum postvaksinasi tapi karena tujuan surveilan dilakukan untuk membuktikan bahwa daerah Kepulauan Riau yang secara historis bebas rabies memang masih bebas rabies, direncanakan pengambilan sampel otak anjing sebanyak 20 sampel dari beberapa kab/kota di Kepulauan Riau, namun dalam pelaksanaannya hanya berhasil dikoleksi 3 sampel otak dari kabupaten Lingga dan 1 sampel otak dari Kabupaten Bintan. Ada beberapa kendala dalam koleksi sampel otak dilapangan, karena untuk pengambilan sampel otak hewannya mati, sehingga ini perlu koordinasi yang lebih baik dengan pihak keswan kab/kota, waktu pengambilan sampel disamakan dengan jadwal eliminasi yang biasanya dilakukan oleh keswan kab/kota. Atau Bvet menyediakan anggaran untuk membeli otak HPR. Grafiks 1. Hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies Prop. Sumbar Total Serum Seroprotektif 12

13 Hasil serologis 359 serum postvaksinasi dari Propinsi Sumatera Barat hanya 33,4 % (120 serum) yang protektif. Pada grafiks 1 dapat dilihat hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies dari beberapa kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Barat. Di Kabupaten Agam dari 37 serum yang diperiksa 9 serum (24 %) protektif, Kabupaten 50 Kota dari 54 serum yang diperiksa 29 serum (53,7%) protektif. Kota Bukittinggi dari 29 serum yang diperiksa 3 serum (10,4 %) protektif. Kota Payakumbuh dari 36 serum yang diperiksa 9 serum (25%) protektif. Kabupaten Tanah datar dari 44 serum yang diperiksa 2 serum (4,5%) protektif. Kota Padang dari 15 serum yang diperiksa 5 serum (33,3 %) protektif. Kota Padang Panjang dari 27 serum yang diperiksa 6 serum (22,2 %) protektif. Kabupaten Pasaman dari 65 serum yang diperiksa 22 serum (33,9%) protektif. Kota Solok dari 52 serum yangn diperiksa 35 serum (67,3%) protektif. Secara umum prosentase protektifitas vaksinasi di Propinsi Sumatera Barat berdasarkan uji serologis dengan metode uji ELISA masih rendah yaitu dibawah 50%, kecuali Kabupaten 50 Kota dan Kota Solok menunjukkan hasil protektifitas lebih dari 50 %. Dalam hal ini Kabupaten 50 Kota melakukan vaksinasi 2 kali dengan selang waktu 1 bulan dari vaksinasi 1 Grafiks 2. Hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies Prop. Riau 13

14 Kampar Pekanbaru Siak Dumai Bengkalis Total Serum Seroprotektif Hasil pemeriksaan serum yang berasal dari Propinsi Riau dari 145 serum yang diperiksa 60 % (87 serum ) protektif. Grafiks 2 menggambarkan hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi di beberapa kabupaten/kota di Propinsi Sebanyak 20 serum yang di periksa dari Kota Pekanbaru, 3 serum (15%) protektif. Sebanyak 20 serum yang diperiksa dari Kabupaten Siak, 11 serum (55%) protektif. Sebanyak 59 serum yang diperiksa dari Kota Dumai, 47 serum (79,7%) protektif. Sedangkan 1 sampel yang diperiksa dari Kabupaten Bengkalis, hasilnya protektif. Secara keseluruhan prosentase protektifitas vaksinasi di Propinsi Riau lebih baik yaitu 60 %. Dari grafik 3 dapat dilihat di Propinsi Jambi, monitoring rabies secara aktif hanya dilakukan pada Kabupaten Kerinci, dimana dari 59 serum yang diperiksa 20 serum (33,9%) protektif. Prosentase protektif masih rendah dibawah 50 %. Sementara syarat minimal untuk melindungi suatu populasi dari penyakit menular paling tidak 70 persen populasi menngandung antibodi protektif. Grafik 3. Hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies Prop. Jambi 14

15 Rendahnya protektifitas vaksinasi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain mungkin handling vaksin yang tidak baik misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi karena sarana penyimpanan vaksin dibanyak daerah sangat minim, atau jika sudah ada sarana penyimpan vaksin yang memenuhi syarat tapi kenyataannya di daerah sering terjadi pemadaman aliran listrik dan daerah tidak punya genset sehingga akan dapat mempengaruhi potensi vaksin yang digunakan,kemungkinan aplikasi vaksin yang tidak tepat, dan anjing dalam masa inkubasi. Selain itu keberhasilan suatu vaksinasi ditentukan juga oleh kualitas vaksin, teknik aplikasi dan ketepatan waktu pelaksanaan vaksinasi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi potensi atau kualitas suatu vaksin di antaranya waktu kedaluarsa, penanganan rantai dingin vaksin mulai dari produsen sampai konsumen, faktor stabilitas dan penyimpanan yang tidak sesuai dengan rekomendasi produsen. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut, apakah hal ini disebabkan oleh rantai dingin yang tidak terpenuhi dalam penanganan vaksin di lapangan, ataukah adanya kesalahan dalam aplikasi, waktu vaksinasi yang kurang tepat, atau 15

16 mungkin data vaksinasi yang kurang akurat, misalnya anjing yang sebenarnya belum divaksin tetapi dilaporkan sudah divaksinasi. Atau perlu dipertimbangkan menggunakan vaksin rabies yang berbeda dengan vaksin rabies yang dipakai sebelumnya. Tabel 4. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 No Propinsi Kab/Kota Otak Negatif 1 Kepulauan Riau Lingga Bintan 1 1 Total Sumatera barat Pasaman 4 4 Total 4 4 Hasil identifikasi virus rabies pada sampel otak yang berasal dari Kepulauan Riau adalah negatif. Kepulauan Riau secara historis bebas rabies, memang seharusnya tidak ditemukan virus rabies, tetapi untuk pembuktian lebih lanjut perlu dilakukan surveillans yang lebih sesuai dengan kaidah epidemiologi untuk daerah bebas. Hasil identifikasi virus rabies pada sampel otak HPR yang berasal dari Pasaman Propinsi Sumatera Barat adalah negatif, tetapi bukan berarti daerah tersebut sudah bebas rabies, masih perlu surveillans lanjutan yanng sesuai dengan kaidah epidemiologi untuk menyatakan suatu daerah bebas dari rabies. Sedangkan untuk monitoring pasif, sampel untuk pemeriksaan berasal dari kiriman dinas yang membawahi fungsi keswan di kab/kot, Puskeswan dan masyarakat perorangan. Pada tabel 4 dan 5 dibawah dapat dilihat jumlah dan asal sampel monitoring pasif yang diterima dan diuji di BVET Bukittinggi 16

17 Tabel 5. Jumlah sampel monitoring pasif rabies 2013 dari Propinsi Sumbar No Kab/Kota Total Serum Otak 1 Damasraya Kota 33 3 Kota Solok 16 4 Agam 35 5 Tanah datar 10 6 Padang Panjang 2 7 Padang Pariaman 5 8 Pesisir selatan 6 9 Bukittinggi 8 10 Sawah Lunto 3 11 Payakumbuh 9 12 Padang 3 14 Pasaman barat 1 Total Tabel 6. Jumlah sampel monitoring pasif rabies 2013 dari Propinsi Jambi No Kab/Kota Otak Positif 1 Tanjung Jabung Timur Sungai penuh 2 2 Total 3 3 Dari tabel 5 dan 6 diatas dapat dilihat, sebagian besar sampel yang diterima Bvet Bukittinggi merupakan kiriman dari beberapa kab/kota di Propinsi Sumatera Barat, hanya 3 sampel yang dikirimkan dari Propinsi Jambi. Hal ini berkaitan dengan lokasi Bvet yang terletak di Baso, Bukittinggi yang berada di Propinsi Sumatera Barat. Jadi untuk daerah Sumatera Barat mungkin tidak terlalu jauh untuk datang ke Bvet Bukittinggi mengantarkan sampel secara langsung, tapi untuk propinsi lain diwilayah kerja Bvet mungkin lebih sulit karena lokasinya yang lebih jauh dari Bvet. Biasanya untuk daerah yang jauh, laboratorium propinsi mampu melakukan uji untuk identifikasi rabies didaerah masing-masing. Untuk menjaga kualitas uji, biasanya mereka mengirimkan staf laboratorium mereka untuk datang training di Bvet Bukittinggi secara berkala. 17

18 Pada grafiks 4 dapat dilihat gambaran kasus rabies di Propinsi Sumatera Barat. Pada Bulan Januari 13 sampel yang diperiksa 10 (77%) positif rabies. Bulan Februari dari 15 sampel yang diperiksa 14 sampel (93,3%) positif rabies. Bulan Maret dari 9 sampel yang diperiksa 9 sampel (100%) positif rabies. Bulan April dari 11 sampel yang diperiksa 8 sampel (73%) positif rabies. Pada Bulan Mei dari 18 sampel yang diperiksa 11 sampel (61,1%) positif rabies. Di Bulan Juni dari 5 sampel yang diperiksa 3 sampel (60%) positif rabies. Di Bulan Juli dari 9 sampel yang diperiksa 7 sampel (77,8%). Di Bulan Agustus dari 11 sampel yang diperiksa 7 sampel (63,3%). Di Bulan September dari 11 sampel yang diperiksa 4 sampel (36,4%). Positif rabies. Di Bulan Oktober dari 11 sampel yang diperiksa 10 sampel (90,9%) positif rabies. Di Bulan November dari 6 sampel yang diperiksa semuanya (100%) positif rabies. Di Bulan Desember dari 3 sampel yang diperiksa semua (100%) positif rabies. Hal ini menunjukkan masih tingginya kasus rabies yang terjadi di Propinsi Sumatera Barat, dan kasus terjadi sepanjang tahun serta hampir disemua wilayah kab/kota di Propinsi sumatera Barat (lampiran 22) kecuali di daerah Kepulauan Mentawai yang secara historis adalah daerah bebas rabies. Untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai perlu surveillan untuk pembuktian daerah bebas rabies dan komitment bersama untuk mempertahankan daerah tersebut tetap bebas rabies. 18

19 Grafiks 4. Kasus rabies Tahun 2013 di Prop. Sumbar berdasarkan pengujian lab Demikian juga dari 3 sampel yang dikirimkan oleh Propinsi Jambi semuanya positif rabies (tabel 6), ini menunjukkan bahwa Propinsi Jambi masih terpapar virus rabies. Di Propinsi Riau juga masih terjadi kasus gigitan HPR yaitu dari 381 gigitan 30 % positif rabies (tabel 7). Hal ini menunjukkan masih tingginya kasus rabies di 3 Propinsi yang termasuk wilayah kerja Bvet Bukittinggi (Propinsi Sumbar, Propinsi Riau dan Propinsi Jambi). Untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies Tahun 2020 benar-benar diperlukan kerja keras dan nyata dari semua pihak. 19

20 Tabel 7. Data Rabies Propinsi Riau Kab/Kota HPR Menggigit Positif Negatif Lysis SKB Bebas Observasi Pekanbaru Kampar Rohil Rohul Inhu Inhil Bengkalis Dumai Siak Kuansing Pelalawan Meranti Total (30%) Data. Drh Ali Saukhan, Propinsi Riau Untuk mencapai Indonesia bebas rabies Tahun 2020 Direktorat Kesehatan Hewan membuat road map pembebasan rabies, dengan kegiatan pokok : 1. Mempertahankan daerah bebas melalui kegiatan : Kontrol lalu lintas HPR khususnya anjing, peningkatan kapasitas surveillans untuk deteksi penyakit, respon cepat terhadap dugaan kasus rabies, kontrol populasi, koordinasi dan kolaborasi lintas sektoral dan pencegahan didaerah resiko tinggi. 2. Membebaskan daerah tertular melalui kegiatan : Vaksinasi massal, kontrol lalu lintas HPR khususnya anjing, peningkatan kapasitas surveilans (termasuk deteksi dini), peningkatan kapasitas 20

21 pengendalian dan penanggulangan (harus ada respon cepat juga), kontrol populasi dan koordinasi dan kolaborasi antar sektoral. Program yang dicanangkan untuk mencapai Indonesia bebas rabies Tahun 2020 akan berhasil jika dilakukan dengan gerakan nyata serta komitment dan kolaborasi yang kuat intra dan antar sektoral. Serta meningkatkan peran dan kesadaran masyarakat tentang bahaya rabies dan pentingnya program pemerintah dalam upaya pembebasan wilayah Indonesia dari rabies. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan kegiaatan KIE, serta perlu undangundang tentang HPR disertai dengan penegakan hukum serta sanksi-sanksinya jika terjadi pelanggaran. 21

22 BAB.IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 KESIMPULAN 1. Dari 145 serum posvaksinasi asal Propinsi Riau yang diperiksa 60 % (87 serum ) protektif. 2. Hasil serologis 359 serum postvaksinasi dari Propinsi Sumatera Barat hanya 33,4 % (120 serum) yang protektif 3. Dari 59 serum postvaksinasi asal Propinsi Jambi yang diperiksa 20 serum (33,9%) protektif. 4. Hasil identifikasi virus Propinsi Sumatera barat dari 131 sampel yang diperiksa 92 (70 %) positif rabies, hal ini menunjukkan masih tingginya kasus rabies yang terjadi di Propinsi Sumatera Barat, dan kasus terjadi sepanjang tahun Demikian juga dari 3 sampel yang dikirimkan oleh Propinsi Jambi semuanya positif rabies (100%), ini menunjukkan bahwa Propinsi Jambi masih terpapar virus rabies. 6. Di Propinsi Riau dari 381 kasus gigitan, 114 positif rabies (30%). 4.2 SARAN 1. Masih perlu ditingkatkan pelaksanaan program vaksinasi 2. Penggunaan vaksin yang bermutu dan aplikasi vaksin yang sesuai standart 3. Perlu ditingkat pengawasan lalu lintas HPR 22

23 4. Perlu ditingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya rabies dan pentingnya peran masyarakat dalam membantu program pemerintah untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies Perlu ditingkat koordinasi dan kolaborasi intra dan antar sektoral. 6. Program kontrol populasi HPR perlu dilakukan terutama pada daerahdaerah dengan kasus gigitan HPR tinggi atau pada daerah-daerah yang secara historis bebas rabies. 23

24 DAFTAR PUSTAKA Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih Penyakit rabies diindonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa. 15(4 ) : Bingham J Canine Rabies Ecology in Southern Africa. Emerging Infectious Diseasses. 11(9) : Diakses Maret Direktorat Kesehatan Hewan Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu.Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan. Kang B., J.S.Oh, C.S.Lee, B.K.Park, Y.N.Park, K.S.Hong, K.G.Lee, B.K.Cho, and D.S.Song Evaluation of Rapid Immunodiagnostic Test kit for Rabies Virus. Journal of Virology Methods.145(2007): Minke.J.M., J.Bauvet, F.Cliquet, M.Wasniewski, A.L.Gulot, L.Lemaiter, C.Cariou, V.Cozette, L.Vergne dan P.M.Guigal Comparison of Antibody Responses After vaccination with two inactivated rabies vaccines. Short communication. Vet.Microbiology. 133 (2009) : Rahman A. dan R. Maharis Analisis Keberhasilan Vaksin Oral Rabies Sebagai Perbandingan Pengendalian Rabies di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan.13 (2008). Touihri L., I. Zaouia, K.Elhili, K.Dellagi, and C.Bahloul Evaluation of Mass Vaccination Campaign Coverage Against Rabies in Dogs in Tunisia. Zoonoses and Public Health, 58: Doi: /j

Penyidikan dan Pengujian Penyakit Rabies di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2015

Penyidikan dan Pengujian Penyakit Rabies di Wilayah Kerja Balai Veteriner Bukittinggi Tahun 2015 Penyidikan dan Pengujian Penyakit Rabies LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN NO. 561/2015 KEMENTERIAN PERTANIAN BALAI VETERINER BUKITTINGGI Penyidikan dan Pengujian Penyakit Rabies di Wilayah Kerja Balai Veteriner

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA N I KETUT DIARMITA DIREKTUR KESEHATAN HEWAN BOGOR,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

Serosurveilens Pascavaksinasi Rabies Tahun 2014 Di Wilayah Kerja UPT Veteriner Nusa Tenggara Timur

Serosurveilens Pascavaksinasi Rabies Tahun 2014 Di Wilayah Kerja UPT Veteriner Nusa Tenggara Timur Jurnal Kajian Veteriner Vol. 2 No. 2 : 119-126 ISSN : 2356-4113 Serosurveilens Pascavaksinasi Rabies Tahun 2014 Di Wilayah Kerja UPT Veteriner Nusa Tenggara Timur Feny A.L. Bili Unit Pelaksana Teknis Daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

ISSN situasi. diindonesia

ISSN situasi. diindonesia ISSN 2442-7659 situasi diindonesia PENDAHULUAN Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut, merupakan suatu penyakit infeksi akut susunan syaraf pusat yang dapat menyerang mamalia termasuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN BARAT Menimbang : a. bahwa Rabies adalah merupakan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Workshop Pengendalian dan Penanggulangan Bahaya Penyakit Rabies Banda Aceh,

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92 Darmawan, Dyah Estikoma dan Rosmalina Sari Dewi D Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran antibodi hasil vaksinasi Rabivet Supra

Lebih terperinci

SURVEILLANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DALAM RANGKA PENANGANAN DAN PENGENDALIAN WABAH VIRUS FLU BURUNG

SURVEILLANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DALAM RANGKA PENANGANAN DAN PENGENDALIAN WABAH VIRUS FLU BURUNG No. 524 214 LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN KEMENTERIAN PERTANIAN BALAI VETERINER BUKITTINGGI SURVEILLANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DALAM RANGKA PENANGANAN DAN PENGENDALIAN WABAH VIRUS FLU BURUNG Kementerian

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU Menimbang : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Menimbang PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS FAISAL ZAKARIA, DINI W. YUDIANINGTYAS dan GDE KERTAYADNYA Balai Besar Veteriner Maros ABSTRAK Diagnosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Penyakit

Lebih terperinci

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAYAKUMBUH,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 007 sampai dengan Juni 008 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta dan

Lebih terperinci

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1 STATUS VAKSINASI RABIES PADA ANJING DI KOTA MAKASSAR RABIES VACCINATION STATUS OF DOGS IN MAKASSAR Sri UtamP, Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1 IBaIai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Makassar lbagian Kesmavet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Konsep kesehatan

Lebih terperinci

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES 1 WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN, Menimbang

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN 2014 PENDAHULUAN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta

BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit campak merupakan penyebab kematian pada anak-anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta orang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa rabies merupakan penyakit menular yang dapat menyerang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Pemeliharaan ayam penelitian, aplikasi ekstrak temulawak dan vaksinasi AI dilakukan di kandang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit zoonosa yang sangat fatal. Penyakit ini menginfeksi saluran pernapasan unggas dan juga mamalia. Penyebab penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit zoonotik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa akhir-akhir ini penyakit campak merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara kita yakni dengan dilaporkannya kejadian wabah penyakit campak

Lebih terperinci

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, Menimbang

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit rabies atau anjing gila adalah suatu penyakit yang sangat ditakuti dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini ditularkan dari hewan yang sudah terkena virus

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PANGAN SEGAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM, PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM, Menimbang: bahwa untuk melindungi masyarakat terhadap rabies

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit malaria umumnya menyerang daerah tropis (Cina daerah Mekong, Srilangka, India, Indonesia, Filipina) dan subtropis (Korea Selatan, Mediternia Timur, Turki

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

Peran FAO sebagai Badan Internasional dalam Mendukung Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies di Indonesia (Bali dan Flores)

Peran FAO sebagai Badan Internasional dalam Mendukung Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies di Indonesia (Bali dan Flores) FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases Peran FAO sebagai Badan Internasional dalam Mendukung Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK, LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 24 SERI E. 24 ================================================================ PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 14 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus. BAB I PENDAHULUAN 1.4 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk keperedaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus aedes

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/241/2016 TENTANG DATA PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT PER AKHIR DESEMBER TAHUN 2015

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/241/2016 TENTANG DATA PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT PER AKHIR DESEMBER TAHUN 2015 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/241/2016 TENTANG DATA PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT PER AKHIR DESEMBER TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

MEKANISME ALUR LAYANAN KARANTINA

MEKANISME ALUR LAYANAN KARANTINA MEKANISME ALUR LAYANAN KARANTINA PERSYARATAN DAN PROSEDUR ANTAR AREA KELUAR MP HPHK KATEGORI RESIKO TINGGI PERSYARATAN DAN PROSEDUR KELUAR Media Pembawa : DOC (ayam bibit) Negara / Daerah Tujuan : Sulawesi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Epidemiologi Penyakit Campak di Indonesia Tahun 2004-2008 5.1.1 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Umur Gambaran penyakit campak berdasarkan variabel umur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Responden Profil masyarakat pemelihara anjing pemburu maupun masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu yang digambarkan dalam penelitian ini meliputi agama, umur,dan pendidikan

Lebih terperinci

Gambaran Diagnosis Malaria pada Dua Laboratorium Swasta di Kota Padang Periode Desember 2013 Februari 2014

Gambaran Diagnosis Malaria pada Dua Laboratorium Swasta di Kota Padang Periode Desember 2013 Februari 2014 872 Artikel Penelitian Gambaran Diagnosis Malaria pada Dua Laboratorium Swasta di Kota Padang Periode Desember 2013 Februari 2014 Hans Everald 1, Nurhayati 2, Elizabeth Bahar 3 Abstrak Pengobatan malaria

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a.bahwa penyakit rabies merupakan penyakit

Lebih terperinci

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali)

Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali) Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali (The Distribution of Ages on Victims of Rabies in Bali) Calvin Iffandi 1, Sri Kayati Widyastuti 3, I Wayan Batan 1* 1 Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di seluruh Kalimantan. Instansi-instansi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penanggulangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Di daerah endemis, puncak kejadian leptospirosis

Lebih terperinci

DAFTAR PENERIMA SURAT Kelompok II

DAFTAR PENERIMA SURAT Kelompok II DAFTAR PENERIMA SURAT Kelompok II Lampiran I Surat No. B.41/S.KT.03/2018 Tanggal: 19 Februari 2018 Kementerian/Lembaga 1. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman 2. Sekretaris Kementerian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap ketahanan nasional, resiko Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) pada ibu

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap ketahanan nasional, resiko Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) pada ibu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria sebagai salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, berdampak kepada penurunan kualitas sumber daya manusia yang dapat menimbulkan

Lebih terperinci

Monitoring dan Surveilans Brucellosis Tahun 2015

Monitoring dan Surveilans Brucellosis Tahun 2015 LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN NO. 556/2015 KEMENTERIAN PERTANIAN BALAI VETERINER BUKITTINGGI Monitoring dan Surveilans Brucellosis BALAI VETERINER BUKITTINGGI DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 06 TAHUN 2006 Menimbang Mengingat TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN MENULAR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1991 (KESEHATAN. Wabah. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447) PERATURAN

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di berbagai negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World Malaria Report 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan Indonesia sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk mendapatkan sumber daya tersebut, pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

LAPORAN RAPAT KOORDINASI KESEHATAN HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER SE WILAYAH PELAYANAN BALAI VETERINER LAMPUNG TAHUN 2015

LAPORAN RAPAT KOORDINASI KESEHATAN HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER SE WILAYAH PELAYANAN BALAI VETERINER LAMPUNG TAHUN 2015 LAPORAN RAPAT KOORDINASI KESEHATAN HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER SE WILAYAH PELAYANAN BALAI VETERINER LAMPUNG TAHUN 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan,

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit berbasis lingkungan merupakan penyakit yang proses kejadiannya atau fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan, berakar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang ditularkan kepada manusia dan menyerang susunan saraf pusat. Penyakit ini mendapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang World Malaria Report (2011) menyebutkan bahwa malaria terjadi di 106 negara bahkan 3,3 milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko tertular malaria. Jumlah kasus

Lebih terperinci

(Rp.) , ,04

(Rp.) , ,04 LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN APBD PROVINSI SUMATERA BARAT BELANJA LANGSUNG URUSAN : PILIHAN ( PERTANIAN ) KEADAAN S/D AKHIR BULAN : DESEMBER 2015 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 159/Kpts/OT.220/3/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 159/Kpts/OT.220/3/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 159/Kpts/OT.220/3/2004 TENTANG TATA HUBUNGAN TEKNIS FUNGSIONAL PEMERIKSAAN, PENGAMATAN DAN PERLAKUAN PENYAKIT HEWAN KARANTINA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penanggulangan wabah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. global. Penyakit AIDS bukanlah jenis penyakit baru dalam dunia kesehatan, namun

BAB I PENDAHULUAN. global. Penyakit AIDS bukanlah jenis penyakit baru dalam dunia kesehatan, namun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang biasa disingkat AIDS adalah sebuah masalah besar bagi dunia kesehatan yang sedang dihadapi masyarakat global.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami dua musim setiap tahun, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering terjadinya banjir di beberapa daerah.

Lebih terperinci

LAPORAN PEMBINAAN DAN BIMBINGAN TEKNIS PUSKESWAN

LAPORAN PEMBINAAN DAN BIMBINGAN TEKNIS PUSKESWAN LAPORAN PEMBINAAN DAN BIMBINGAN TEKNIS PUSKESWAN KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI VETERINER LAMPUNG 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang

Lebih terperinci

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO NO JENIS MEDIA PEMBAWA PEMERIKSAAN DOKUMEN TINDAKAN KARANTINA HEWAN PEMERIKSAAN TEKNIS MASA KARANTINA KETERANGAN 1. HPR 14 hari Bagi HPR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merebaknya kasus flu burung di dunia khususnya Indonesia beberapa tahun terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi masalah kesehatan

Lebih terperinci

LAPORAN PERTEMUAN JEJARING LABORATORIOUM DAN PUSKESWAN

LAPORAN PERTEMUAN JEJARING LABORATORIOUM DAN PUSKESWAN LAPORAN PERTEMUAN JEJARING LABORATORIOUM DAN PUSKESWAN KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI VETERINER LAMPUNG 2014 0 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan ditularkan oleh gigitan nyamuk Ae. aegypti ini menjadi penyakit tular virus

BAB I PENDAHULUAN. dan ditularkan oleh gigitan nyamuk Ae. aegypti ini menjadi penyakit tular virus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) saat ini masih menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat global. Penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh gigitan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular merupakan penyakit yang ditularkan melalui berbagai media. Penyakit menular menjadi masalah kesehatan yang besar hampir di semua negara berkembang

Lebih terperinci

B. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Barat

B. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Barat LAMPIRAN UNDANGAN (PEMERINTAH DAERAH) A. Sekretaris Daerah Provinsi Wilayah Barat 1. Sekretaris Daerah Provinsi Aceh 2. Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara 3. Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA Drg. Vensya Sitohang, M. Epid Direktur P2PTVZ, Ditjen P2P, Kementerian Kesehatan Bincang-bincang tentang PP NO 3 Tahun 2017 Jakarta, 24 Februari 2017 ZOONOSIS

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 No. 29/05/Th. XX, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI SUMATERA BARAT Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi

Lebih terperinci