Rasio Adenoid-Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Rasio Adenoid-Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid"

Transkripsi

1 Artikel Penelitian Rasio Adenoid-Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid Muhammad Arman Amar, Riskiana Djamin, Abdul Qadar Punagi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar Abstrak Pendahuluan: Hipertrofi adenoid telah banyak dilaporkan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya disfungsi tuba. Disfungsi tuba dapat menyebabkan perubahan tekanan telinga tengah yang berujung pada gangguan telinga tengah. Untuk mengetahui kelainan telinga tengah akibat hipertrofi adenoid dapat dilakukan pemeriksaan timpanometri. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut belum digunakan secara rutin karena harga yang relatif mahal. Oleh karena itu, ukuran hipertrofi adenoid ditentukan melalui pemeriksaan radiografi kepala true lateral dengan mengukur besarnya adenoid. Rasio adenoid-nasofaring sebagai prediktor gangguan telinga tengah belum pernah dilaporkan pada literatur. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara rasio adenoid - nasofaring berdasarkan radiografi kepala true lateral dengan gangguan telinga tengah pada penderita hipertrofi adenoid. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitis pada 40 penderita hipertrofi adenoid yang datang ke RS Wahidin Sudirohusodo dan RS Mitra Husada, Makassar, pada bulan Juli hingga November 2012, serta memenuhi kriteria inklusi. Hasil: Semakin besar rasio adenoid-nasofaring, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah. Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio adenoid-nasofaring dengan gangguan telinga tengah pada kedua kelompok usia 5,0-10,0 tahun dan 11,0-14,0 tahun dengan nilai koefisien korelasi parsial masing-masing kelompok usia yaitu 56,8% dan 64,1%. Rasio adenoid-nasofaring >0,71 terdapat pada 75,0% pasien yang mengalami gangguan telinga tengah dengan tipe B dan C. Kesimpulan: Rasio adenoid-nasofaring >0,71 dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menentukan gangguan telinga tengah. J Indon Med Assoc. 2013;63:21-6. Kata kunci: rasio adenoid-nasofaring, hipertrofi adenoid, radiografi kepala true lateral, timpanogram. Korespondensi: Muhammad Arman Amar, armanbola93@jmail.com 21

2 Adenoid-Nasopharyngeal Ratio and Middle Ear Disorder in Patients with Adenoid Hypertrophy Muhammad Arman Amar, Riskiana Djamin, Abdul Qadar Punagi Department of Otolaryngology-Head and Neck, Faculty of Medicine Universitas Hasanuddin Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar Abstract Introduction: Adenoid hypertrophy has been reported as one of the factors contributing to the dysfunction of the tube. Dysfunction of the tube causes alteration of middle ear pressure which may leads to disorder of the middle ear. Tympanometry can be used to examine the middle ear disorder caused by adenoid hypertrophy. Unfortunately, this examination is not routinely used in primary health care. Thus, true lateral radiographic head is preferable to tympanometry for measure the size of adenoid. Adenoid - nasopharynx ratio as the predictor of middle ear disorders had not been reported in literature. The aim of the study was to assess the relationship between adenoid rationasopharynx by true lateral radiographic head with middle ear disorders in patients with adenoid hypertrophy. Methods: This study is an analytic cross-sectional study in 40 patients with adenoid hypertrophy, who came to dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital and Mitra Husada Hospital, Makassar, on July until November 2012, and met the inclusion criteria. Results: The larger adenoid-nasopharynx ratio, the higher degree of disorder of the middle ear. There is significant difference between adenoid-nasopharynx ratio and the degree of disorder of the middle ear in both age groups from 5.0 to 10.0 years and from 11.0 to 14.0 years with the value of each partial correlation coefficient in each age group 56.8% and 64.1%. Adenoid-nasopharynx ratio >0.71 was founded in 75.0% of middle ear disorder with type B and C. Conclusion: Adenoid-nasopharynx ratio >0.71 can be used as a predictor in determining middle ear disorders. J Indon Med Assoc. 2013;63:21-6. Keywords: ratio of adenoid-nasopharynx, adenoid hypertrophy, true lateral radiographic head, tympanogram. Pendahuluan Adenoid adalah jaringan limfoepitelial berbentuk tringukugular yang terletak pada dinding posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang membentuk cincin Waldeyer. Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah sesuai dengan perkembangan usia. Menurut Havas, et al 1 pada 2002 adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring sebagai penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari kavum nasi ke orofaring akan mengalami penyempitan. Hipertrofi adenoid, terutama pada kanak-kanak, muncul sebagai respon multiantigen virus, bakteri, alergen, makanan, dan iritasi lingkungan. 1,2 Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan berdasarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Secara klinis dapat ditemukan tanda-tanda, seperti bernapas melalui mulut, sleep apnea, fasies adenoid, mengorok dan gangguan telinga tengah. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tahanan gerakan palatum mole sewaktu fonasi, sementara pemeriksaan rinoskopi posterior pada anak biasanya sulit dilakukan dan tidak dapat menentukan ukuran adenoid. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos true lateral. Pemeriksaan tersebut dianggap paling baik untuk mengetahui ukuran adenoid dan pengukuran hubungan ukuran adenoid dengan sumbatan jalan napas. 3,4 Menurut Austi, et al 5 salah satu efek hipertofi adenoid adalah terbatasnya gerakan torus tubarius ke arah posterior sehingga pembukaan muara tuba auditiva tidak adekuat. Tuohimaa, et al 6 pada 1987 mengemukakan bahwa perubahan patensi tuba auditiva oleh hipertofi adenoid disebabkan karena obstruksi mekanis pada lumen tuba dan penekanan pada pembuluh limfatik sekitar lumen tuba. Hal tersebut dapat berujung pada efusi di dalam telinga tengah. Akhirnya, terbentuk tekanan negatif akibat absorpsi O 2 dari udara yang terjebak dalam telinga tengah. 7 22

3 Diskusi kelainan telinga tengah akibat hipertrofi adenoid dapat dilakukan pemeriksaan timpanometri. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut belum digunakan secara rutin, terutama pada pusat pelayanan kesehatan di daerah karena harga yang relatif mahal. Meski demikian, ukuran hipertrofi adenoid ditentukan melalui pemeriksaan radiografi kepala true lateral dengan mengukur besarnya adenoid dan nasofaring, kemudian menghitung rasionya menurut teknik Fujioka 9. Sementara itu, kelainan telinga tengah ditentukan melalui pemeriksaan timpanometri yang dicatat dalam bentuk grafik timpanogram. 9 Terdapat tiga tipe timpanogram, yaitu tipe A untuk kondisi telinga tengah yang normal, serta tipe B dan tipe C untuk kondisi telinga tengah yang abnormal. 10 Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara rasio adenoid-nasofaring (A/N) berdasarkan radiografi kepala true lateral dengan tekanan telinga tengah. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana pengaruh usia dalam hubungan antara rasio A/N dengan gangguan telinga tengah dan menentukan apakah rasio A/N dapat dijadikan sebagai prediktor untuk menentukan gangguan telinga tengah. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitis yang dilakukan di RS dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Mitra Husada Makassar pada Juli 2012 hingga November Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode consecutive sampling dan didapatkan 40 sampel penelitian dari populasi usia 5-14 tahun yang memenuhi syarat inklusi. Kriteria inklusi adalah pasien usia 5-14 tahun dengan berbagai tanda hipertropi adenoid: mendengkur, sleep apnea, mouth breating, obstruksi nasi, rhinorrhea, tinitus, gangguan pendengaran, riwayat demam, dan odinofagi. Bagi setiap penderita yang menjadi sampel penelitian, dilakukan anamnesis dan informed concent dari penderita (orang tua), ditanyakan mengenai keluhan subjektif penderita yang meliputi hidung tersumbat, suara sengau, bernapas melalui mulut, mendengkur, sering pilek, demam, nyeri tenggorok yang berulang-ulang, nafsu makan kurang, pendengaran berkurang, konsentrasi belajar kurang, dan rasa lesu pada siang hari. Selanjutnya, pada pasien dilakukan pemeriksaan fisik berupa otoskopi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, dan faringoskopi. Pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk mengetahui keutuhan, warna, dan posisi membran timpani, serta untuk menaksir ukuran probe telinga yang akan digunakan dalam pemeriksaan timpanometri. Pemeriksaan rinoskopi anterior ditujukan untuk melihat fenomena palatum mole, ada/tidaknya sekret, ada/tidaknya deviasi septum, dan hipertrofi konka. Sementara itu, rinoskopi posterior dilakukan pada anak-anak yang kooperatif untuk melihat adanya pembesaran adenoid. Parameter pemeriksaan radiografi kepala true lateral adalah posisi pasien erect (kepala ekstensi dengan garis dari kraniomeatal membentuk sudut 15 o terhadap garis horizontal). Jarak tube cassette adalah sejauh 180 cm dan sentrasi sinar ±1 inci (2,5 cm) dibawah meatus akustikus ekstenus untuk memperlihatkan daerah nasofaring. Pajanan menggunakan 10 mas dan 70 kv. Untuk pemeriksaan timpanometri, petunjuk yang perlu disampaikan kepada pasien adalah mencegah gerakan kepala dan mulut seperti berbicara pada saat pemeriksaan, menginstruksikan untuk tidak menelan, mengunyah, dan menguap sebelum pemeriksaan dimulai, serta memberitahukan tentang pemasangan probe ke dalam liang telinga yang mungkin menimbulkan rasa sedikit tidak nyaman. Seluruh data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Metode analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil Distribusi sampel dilihat berdasarkan kategori rasio A/N hasil pengukuran pada radiografi kepala true lateral dan derajat gangguan telinga tengah. Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada 12,5% sampel tidak ditemukan pembesaran ade-noid dan 67,5% sampel mengalami pembesaran sedang tanpa obstruksi. Sebanyak 20% sampel mengalami pembesaran dengan obstruksi. Selanjutnya, berdasarkan hasil timpanogram telinga kiri dan kanan dibuat grading gangguan telinga tengah yang berkaitan dengan hipertrofi adenoid. Jika sampel tidak memiliki kelainan timpanogram pada kedua telinga (tipe A/ tipe A), maka sampel dinyatakan sebagai gangguan telinga tengah derajat 1. Jika salah satu telinga memiliki timpanogram tipe C (tipe A/tipe C) maka dinyatakan sebagai gangguan telinga tengah derajat 2. Jika kedua telinga memiliki timpanogram tipe C (tipe C/tipe C), maka dinyatakan sebagai gangguan telinga derajat 3. Jika salah satu telinga memiliki timpanogram tipe B (tipe B/tipe C), maka dinyatakan sebagai derajat 4 dan jika keduanya tipe B (tipe B/tipe B) dinyatakan sebagai derajat 5. Pada penelitian ini, didapatkan kebanyakan sampel mengalami gangguan telinga tengah derajat 1 (37,5%). Hasil uji korelasi Spearman antara usia dengan rasio A/ N dan derajat gangguan telinga tengah dapat dilihat pada tabel 2. Pada penelitian ini, terdapat korelasi linear negatif antara usia dengan rasio A/N pada kelompok usia 5,0-10,0 Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian Sebaran Umum Jumlah Sampel Rasio adenoid-nasofaring (A/N) A/N = 0,00-0,52 (tidak ada pembesaran) 5 (12,5%) A/N = 0,53-0,71 (pembesaran sedang tanpa 27 (67,5%) obstruksi) A/N > 0,71 (pembesaran +obstruksi) 8 (20,0%) Gangguan telinga tengah Tipe A/Tipe A (derajat 1) 15 (37,5%) Tipe A/Tipe C (derajat 2) 4 (10,0%) Tipe C/Tipe C (derajat 3) 9 (22,5%) Tipe B/Tipe C (derajat 4) 2 (5,0%) Tipe B/Tipe B (derajat 5) 10 (25,0%) 23

4 tahun, namun secara statistik tidak bermakna (p=0,418). Sebaliknya, pada kelompok usia 11,0-14,0 tahun terdapat korelasi linear positif antara usia dengan rasio A/N namun secara statistik tidak bermakna (p=0,210). Hal tersebut menunjukkan bahwa usia dapat menjadi faktor perancu hubungan antara rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah. Namun terdapat korelasi linear negatif antara usia dengan gangguan telinga tengah yang secara statistik bermakna (p=0,037) pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun. Pada kelompok usia 11,0-14,0 tahun, terdapat korelasi linear positif, makin tidak bermakna secara statistik (p=0,116). Selain dilakukan uji korelasi bivariat, dilakukan juga uji korelasi parsial dengan pengendalian usia, mengingat bahwa usia dapat menjadi faktor perancu hubungan rasio adenoidnasofaring dengan derajat gangguan telinga tengah. Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio A/N berkorelasi linier positif dengan derajat gangguan telinga tengah pada kedua kelompok usia, baik pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun maupun kelompok usia 11,0-14,0 tahun, yang secara statistik bermakna. Koefisien korelasi (r) parsial pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun (r=0,568) dan kelompok usia 11,0-14,0 (r=0,641) menunjukkan bahwa semakin besar rasio adenoid-nasofaring, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah. Untuk menilai apakah rasio A/N dapat digunakan sebagai prediktor adanya kelainan telinga tengah, dilakukan tabulasi silang antara klasifikasi rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah (Tabel 4). Jika rasio A/N <0,52, maka dari 5 orang yang ditemukan, tidak ada satupun (0,0%) yang mengalami gangguan telinga tengah. Dari 27 orang yang mempunyai rasio tipe A/tipe N antara 0,53 0,71, ditemukan 19 orang (70,4%) mengalami gangguan telinga tengah (5 orang tipe B/tipe B, 2 orang tipe C/tipe B, 8 orang tipe C/tipe Tabel 2. Variabel Korelasi Usia dengan Rasio Adenoid-Nasofaring dan derajat Gangguan Telinga Tengah Kelompok usia 5,0-10,0 tahun 11,0-14,0 tahun (n=28) (n=12) Rasio adenoid-nasofaring (A/N) r= -0,04 r= 0,257 (p=0,418) (p=0,210) Derajat kelainan telinga tengah r= -0,342 r=0,373 (p=0,037) (p=0,116) Tabel 3. Korelasi Rasio Adenoid-Nasofaring dengan Derajat Gangguan Telinga Tengah Usia 5,0-10,0 tahun Usia 11,0-14,0 tahun (n=28) (n=12) Korelasi Korelasi Korelasi Korelasi Bivariat Partial Bivariat Partial (pengenda- (pengendalian usia) lian usia) r=0,475 r=0,568 r=0,631 r=0,641 (p=0,005) (p=0,001) (p=0,014) (p=0,017) Tabel 4. Rasio adenoidnasofaring C, 4 orang tipe A/tipe B) dan 8 orang (29,6%) tidak mengalami gangguan telinga tengah (tipe A/tipe A). Dari 8 orang dengan rasio tipe A/tipe N >0,71, didapatkan sebanyak 75% diantaranya mengalami gangguan telinga tengah (5 orang tipe B/tipe B dan 1 orang tipe C/tipe C) dan hanya 2 orang (25,0%) yang tidak mengalami gangguan (tipea/tipea). Diskusi Nilai Prediksi Rasio Adenoid-Nasofaring terhadap Gangguan Telinga Tengah Gangguan Timpanogram Telinga Tengah Kiri-Kanan Tidak ada gangguan Ada gangguan A/A A/B C/C C/B B/B n=15 (n=4) (n=9) n=2 n=10 0,00-0,52 (n=5) ,53-0,71(n=27) >0,71 (n=8) Pada penelitian ini, kasus hipertrofi sedang obstruksi menempati urutan teratas (n=27-67,5%) berdasarkan rasio A/ N untuk kriteria Fujioka. Grimer, et al 11 pada 2005 menemukan bahwa adenoid yang relatif besar tidak perlu sampai menutup ostium tuba Eustachius untuk menimbulkan obstruksi tuba. Saat menelan, gerakan konstriksi faring dan elevasi palatum dapat mendorong adenoid yang besar hingga menekan permukaan posteromedial torus tubarius dari ostium tuba Eustachius ke arah anterior. Akibatnya, dilatasi ostium tuba terhambat oleh obstruksi temporer torus. Pengukuran rasio A/N memberikan informasi tentang ukuran adenoid atau derajat sumbatannya terhadap nasofaring. Namun demikian, pada pemeriksaan rasio A/N tidak dapat menggambarkan adanya disfungsi tuba diakibatkan oleh pembesaran adenoid. 12 Pada penelitian ini, jenis gangguan telinga tengah terbanyak berupa denyut 1 (tipe A/tipe A; 37,5%) dan denyut 5 (tipe D/tipe B; 25%). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menemukan kasus tipe C sebagai yang terbanyak. Hal tersebut disebabkan karena kriteria pemilihan kasus hipertofi adenoid pada penelitian tersebut adalah pembesaran adenoid yang telah menyebabkan obstruksi nasi, sedangkan kriteria pemilihan kasus pada penelitian ini tidak hanya keluhan obstruksi nasi, tetapi juga berdasarkan gejala dan tanda hipertrofi adenoid, terutama yang menyebabkan kelainan di telinga tengah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya gangguan telinga tengah yang berkorelasi linear negatif pada kelompok usia 5,0-10,0 tahun yang secara statistik bermakna. Penelitian yang dilakukan Tos 14 pada 1990 menemukan hipertrofi adenoid sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya otitis media serosa dan Luntz 15 pada 1990 menemukan bahwa angka kejadian efusi telinga tengah secara bermakna ditemukan lebih tinggi pada anak-anak usia 5-10 tahun 24

5 dibandingkan penderita yang lebih dewasa. Korelasi linear positif antara usia dengan derajat gangguan telinga tengah ditemukan pada kelompok usia tahun, sedangkan korelasi linear negatif ditemukan pada kelompok usia 5-10 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa derajat gangguan telinga tengah pada kelompok usia 5-10 tahun dapat berkurang seiring dengan bertambahnya usia penderita, sedangkan pada kelompok usia tahun justru cenderung semakin bertambah seiring bertambahnya usia. Hasil ini berbeda dengan hasil yang didapatkan Egeli, et al 16 pada 2003 bahwa pada usia 6-9 tahun lebih banyak terjadi efusi telinga tengah dan timpanometrinya tipe C. Sama halnya penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo, et al 17 pada 2009 yang menunjukkan bahwa kelainan telinga tengah pada usia >10 tahun lebih berat dibandingkan dengan usia <10 tahun. Dengan demikian usia dapat merancu hubungan antara rasio adenoid-nasofaring dengan derajat gangguan telinga tengah. Hipertrofi adenoid meningkat secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami regresi. 1,2 Hipertrofi adenoid yang terjadi pada usia tahun cenderung diakibatkan oleh infeksi yang berulang pada saluran napas atas sehingga mempengaruhi struktur di sekitar nasofaring termasuk tuba Eustachius. Selain usia, faktor perancu lain adalah arah pembesaran adenoid. Jika pembesaran ke arah lateral, maka dapat menyebabkan kelainan pada tuba Eustachius, sedangkan jika pembesaran adenoid ke arah anterior/koana, maka dapat menyebabkan obstruksi nasi. Pada penelitian ini didapatkan pula hubungan antara rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah. Semakin besar rasio A/N, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah. Rasio A/N >0,71 terdapat pada 75% sampel yang mengalami gangguan telinga tengah dengan tipe B dan C. Dapat disimpulkan, rasio A/N >0,71 dapat menyebabkan terjadinya gangguan telinga tengah. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Egeli, et al 16, pada 2003 pada 64 anak usia 6-9 tahun menemukan bahwa efusi telinga tengah dan timpanometri tipe C terjadi akibat hipertrofi adenoid yang menyebabkan disfungsi tuba Eustachius dengan rasio A/N lebih dari 0,71. Tekanan telinga tengah ditemukan lebih rendah pada anak dengan rasio A/N lebih dari 0,71 dibandingkan anak dengan rasio A/N kurang 0,71 yang secara statistik bermakna. Hal yang sama ditemukan oleh Prasetyo, et al 17 pada Dari 20 orang anak dengan hipertofi adenoid, terdapat 14 anak (70%) memiliki timpanogram tipe B atau tipe C, sedangkan 6 anak (30%) memiliki tipe A. Penemuan yang berbeda didapatkan Liu, et al. 18 pada 2004, yaitu tidak ditemukannya hubungan yang bermakna antara fungsi tuba Eustachius dengan rasio A/N. Namun demikian, pada penelitian ini didapatkan sampel dengan rasio A/N >0,71 yang tidak mengalami gangguan telinga tengah. Hal tersebut berhubungan dengan pembesaran adenoid terjadi ke arah anterior atau koana sehingga gejala yang paling menonjol adalah obstruksi nasi dan rhinorrhea. Kesimpulan Semakin tinggi rasio A/N, semakin tinggi derajat gangguan telinga tengah dengan koefisien korelasi r=0,568 dan r=0,641. Usia dapat menjadi faktor perancu hubungan antara rasio A/N dengan derajat gangguan telinga tengah. Rasio A/N >0,71 dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menentukan gangguan telinga tengah. Oleh karena itu, pada anak yang menderita hipertrofi adenoid, disarankan untuk dilakukan pengukuran rasio A/N berdasarkan radiografi kepala true lateral sebagai upaya deteksi dini adanya ganguan telinga tengah, terutama pada pusat pelayanan kesehatan yang belum memilki timpanometri. Ucapan Terima Kasih 1. Dr. dr. Ilham Patellongi, MS atas bimbingan statistiknya dalam penelitian. 2. Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, SpRad(K) atas bimbingannya dalam pemeriksaan radiologi. Daftar Pustaka 1. Havas T, Lowinger D. Obstructive adenoid tissue: an indication for powered-shaver adenoidectomy. Arch Otolaringol Head Neck Surg. 2002:128(7): Soepardi EA, Iskandar N. Hiperplasia adenoid. In: Soepardi EA, Iskandar NH, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok-kepala leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; p Ballenger JJ. Penyakit hidung, tenggorok, kepala dan leher jilid satu. 13 th ed. Jakarta: Binarupa Aksara; p John H, David C. Tonsils and adenoids. In: Scott-Brown WG, Kerr AG. Paediatric otolaryngology (Scott Brown s otolaryngology). 6 th ed. Oxford: Butterworth-Heinemann. p Austin DF. Adenoidectomy for secretory otitis media. Arch Otolaringol Head Neck Surg. 1989;115: Palva T, Ramsay H. Aeration of Prussak s space is independent of the supradiaphragmatic epitympanic compartments. Otol Neurol. 2007;28(2): Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media. ORL Indonesiana. 1985;16: Mutsushisa F, Lionel Y, Bertram G. Radiographic evaluation of adenoidal size in children: adenoidal-nasopharyngeal ratio. Am J Roentgenol. 1979;133: Jerger J. Clinical experience with impedance audiometry. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1970:92: Riedel CL, Wiley TL, Block MG. Tympanometric measures of eustachian tube function. J Speech Lang Hear Res. 1987; 30: Grimer JF, Poe DS. Update on Eustachius tube dysfunction and the patulous eustachius tube. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2005;13: Mlynarek A, Tewfik MA, Hagr A. Lateral neck radiography versus direct video rhinoscopy in assessing adenoid size. J Laryngol Otol. 2004;33(6): Alhady RA, Sharnoubi ME. Tympanometric findings in patients with adenoid hyperplasia, chronic sinusitis, and tonsillitis. J Laryngol Otol. 1984;98: Tos, M. Causes of smeeting otitis media. Danish approach to the treatment of secretory otitis media. Ann Oto Rhinol Laryngol. 1990;99(146): Luntz M, Sade J. Daily fluctuations of middle ear pressure in 25

6 atelectatic ear. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1990; 99: Egeli E, Oghan F, Ozturk O, Harputluoghu U, Yasici B. Measuring the correlation between adenoidal-nasopharyngeal rasio (AN rasio) and timpanogram in children. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2005;69: Prasetyo A. Hubungan antara rasio adenoid-nasofaring dengan timpanogram pada anak dengan adenotonilitis kronik [Thesis]. Semarang; Universitas Diponegoro; Liu Y, Sun Z, Li Z, Jiang W. Relationship between adenoids hypertrophy and secretory otitis media. Journal of Clinical Otorhinolaryngology. 2004;18(1):

HUBUNGAN ANTARA RASIO ADENOID NASOFARING BERDASARKAN RADIOGRAFI KEPALA TRUE LATERAL

HUBUNGAN ANTARA RASIO ADENOID NASOFARING BERDASARKAN RADIOGRAFI KEPALA TRUE LATERAL HUBUNGAN ANTARA RASIO ADENOID NASOFARING BERDASARKAN RADIOGRAFI KEPALA TRUE LATERAL DENGAN TEKANAN TELINGA TENGAH BERDASARKAN TIMPANOGRAM PADA PENDERITA HIPERTROFI ADENOID RELATIONSHIP BETWEEN THE ADENOID-NASOPHARYNGEAL

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius Laporan Penelitian Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius Tanty Tanagi Toluhula, Abdul Qadar Punagi, Muhammad Fadjar Perkasa Bagian

Lebih terperinci

Hubungan derajat adenoid menggunakan teknik nasoendoskopi dengan tekanan telingah tengah

Hubungan derajat adenoid menggunakan teknik nasoendoskopi dengan tekanan telingah tengah Laporan Penelitian Hubungan derajat adenoid menggunakan teknik nasoendoskopi dengan tekanan telingah tengah Rosmini, Rus Suheryanto, Hendradi Surjotomo Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA HIPERTROFI ADENOID DENGAN TERJADINYA OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN ANTARA HIPERTROFI ADENOID DENGAN TERJADINYA OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN ANTARA HIPERTROFI ADENOID DENGAN TERJADINYA OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran RIDHANI RAHMA VERDIANTI G0013201 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS RELATIONSHIP TYPE OF NASAL SEPTAL DEVIATION BY MLADINA WITH RHINOSINUSITIS AND FUNCTION

Lebih terperinci

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius Laporan Penelitian dengan disfungsi tuba Eustachius Sony Yudianto, Luh Made Ratnawati, Eka Putra Setiawan, Sari Wulan Dwi Sutanegara Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH KETINGGIAN TERHADAP KONDISI TELINGA TENGAH PADA PERJALANAN WISATA DENPASAR-KINTAMANI

PENGARUH KETINGGIAN TERHADAP KONDISI TELINGA TENGAH PADA PERJALANAN WISATA DENPASAR-KINTAMANI TESIS PENGARUH KETINGGIAN TERHADAP KONDISI TELINGA TENGAH PADA PERJALANAN WISATA DENPASAR-KINTAMANI I WAYAN SUWANDARA NIM 0814078202 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

Lebih terperinci

HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran FHANY G.L G0013095 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012. HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 Oleh: DENNY SUWANTO 090100132 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE Laporan Kasus Besar Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE 406117055 IDENTITAS PASIEN PEMERIKSAAN SUBJEKTIF AUTOANAMNESIS Rabu, 25 April jam 09.00 1. Keluhan Utama Benjolan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Karla Kalua G0011124 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Yang Diindikasikan Tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi

Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Yang Diindikasikan Tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi ARTIKEL ILMIAH Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Yang Diindikasikan Tonsilektomi Di RSUD Raden Mattaher Jambi disusun oleh: Rts. Vivit Sapitri G1A109040 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS

PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS PROBLEM BASED LEARNING SISTEM INDRA KHUSUS - Modul Presbikusis - Modul Serumen Obturans - Modul Rhinitis Alergi Diberikan Pada Mahasiswa Semester V Fakultas Kedokteran Unhas Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

Hubungan nilai tekanan telinga tengah dengan derajat barotrauma pada calon penerbang

Hubungan nilai tekanan telinga tengah dengan derajat barotrauma pada calon penerbang 1 Laporan Penelitian Hubungan nilai tekanan telinga tengah dengan derajat barotrauma pada calon penerbang Yupitri Pitoyo, Jenny Bashiruddin, Alfian Farid Hafil*, Hari Haksono**, Saptawati Bardosono***

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA Paula A. Tahtinen, et all PENDAHULUAN Otitis media akut (OMA) adalah penyakit infeksi bakteri yang paling banyak terjadi pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Insiden dan Patogenesis Adenotonsilitis Kronik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Insiden dan Patogenesis Adenotonsilitis Kronik 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Adenotonsilitis Kronik 2.1.1 Insiden dan Patogenesis Adenotonsilitis Kronik Radang kronik pada adenoid (tonsila nasofaringea) dan tonsil (tonsila palatina) masih menjadi problem

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

10 Bahadir O, Cavlan R, Bektas D, Bahadir A. Effects of adenoidectomy in children with symptoms of adenoidal hypertrophy. Arch Otorhinolaryngol 2006;

10 Bahadir O, Cavlan R, Bektas D, Bahadir A. Effects of adenoidectomy in children with symptoms of adenoidal hypertrophy. Arch Otorhinolaryngol 2006; 49 DAFTAR PUSTAKA 1 Suwento R. Epidemiologi penyakit THT di 7 popinsi. Kumpulan Makalah dan Pedoman Kesehatan Telinga. Lokakarya THT komunitas. Palembang. PIT PERHATI-KL. 2001:8-12 2 Bluestone CD, Klein

Lebih terperinci

Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might Induced C. albicans Infection

Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might Induced C. albicans Infection ORIGINAL ARTICLE Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might Induced C. albicans Infection Nadia Surjadi 1, Rahmi Amtha 2 1 Undergraduate Program, Faculty of Dentistry Trisakti University, Jakarta

Lebih terperinci

HUBUNGAN OBESITAS TERHADAP PENINGKATAN INDEKS RASIO KARDIOTORAKS LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN OBESITAS TERHADAP PENINGKATAN INDEKS RASIO KARDIOTORAKS LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH i HUBUNGAN OBESITAS TERHADAP PENINGKATAN INDEKS RASIO KARDIOTORAKS LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa Program Strata-1 Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Pharynx Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Pharynx terletak di belakang

Lebih terperinci

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI

RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI RITA ROGAYAH DEPT.PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FKUI TIDUR Tidur suatu periode istirahat bagi tubuh dan jiwa Tidur dibagi menjadi 2 fase : 1. Active sleep / rapid eye movement (REM) 2. Quid

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi bersifat observasional analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi bersifat observasional analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi bersifat observasional analitik dengan desain studi kasus kontrol (case control). B. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi pada tonsil atau yang biasanya dikenal masyarakat amandel merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak- anak usia 5 sampai 11 tahun. Data rekam medis RSUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab kecacatan dan peringkat kedua penyebab kematian di dunia. 1 Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK Yumeina Gagarani 1,M S Anam 2,Nahwa Arkhaesi 2 1 Mahasiswa Program Pendidikan S-1 Kedokteran Umum,

Lebih terperinci

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu 1 Sylvester B. Demmassabu 2 Ora I. Palandeng 2 Olivia C Pelealu 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian/SMF

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi Ilmu Gizi khususnya bidang antropometri dan Ilmu Kesehatan Anak, khususnya bidang respirologi. 4.2 Tempat dan

Lebih terperinci

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

HUBUNGAN DURASI PENYAKIT, UMUR, DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN DISTRES PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN DURASI PENYAKIT, UMUR, DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN DISTRES PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN DURASI PENYAKIT, UMUR, DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN DISTRES PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran GITA PUSPANINGRUM G0013103

Lebih terperinci

Pengaruh Pemakaian Pipa Nasogastrik pada Kejadian Otitis Media Efusi. The Effect of Using Nasogastric Tube on Incidence of Otitis Media with Effusion

Pengaruh Pemakaian Pipa Nasogastrik pada Kejadian Otitis Media Efusi. The Effect of Using Nasogastric Tube on Incidence of Otitis Media with Effusion Pengaruh Pemakaian Pipa Nasogastrik pada Kejadian Otitis Media Efusi Deden Kamaludin, Thaufiq S. Boesoirie, Bogi Soeseno, Bambang Purwanto Departemen Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok - Bedah Kepala

Lebih terperinci

Kualitas hidup anak dengan gangguan bernapas saat tidur pra dan pasca-adenoidektomi

Kualitas hidup anak dengan gangguan bernapas saat tidur pra dan pasca-adenoidektomi Laporan Penelitian Kualitas hidup anak dengan gangguan bernapas saat tidur pra dan pasca-adenoidektomi Anggraini Eka Wahyuni, Eka Putra Setiawan, Wayan Suardana, Arta Eka Putra Bagian Ilmu Kesehatan Telinga

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO 1 Kurniati Mappadang 2 Julied Dehoop 2 Steward K. Mengko 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah

Lebih terperinci

HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS

HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS RELATION DEGREE ANGLE DEVIASI SEPTUM NASI WITH CONCHA

Lebih terperinci

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012 1 Andre Ch. T. Palandeng 2 R. E. C. Tumbel 2 Julied Dehoop 1 Kandidat Skrispi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tonsillitis atau yang lebih dikenal masyarakat dengan amandel sering diderita anakanak. Kejadian tersebut sering membuat ibu-ibu merasa khawatir, karena banyak berita

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU Putri Ratriviandhani, 2016. Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr., Sp.P., FCCP Pembimbing II : Jo Suherman, dr.,

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN LAYANAN KESEHATAN DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS TB PARU DI BBKPM SURAKARTA SKRIPSI

HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN LAYANAN KESEHATAN DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS TB PARU DI BBKPM SURAKARTA SKRIPSI HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN LAYANAN KESEHATAN DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS TB PARU DI BBKPM SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Sarjana Kedokteran Faris Budiyanto G0012074

Lebih terperinci

HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B

HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ELSY NASIHA ALKASINA G0014082 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG Anita Mayasari 1, Setyoko 2, Andra Novitasari 3 1 Mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID 2.1. Pengertian Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di Copenhagen sebagai suatu kelainan dentofasial yang disebabkan oleh obstruksi

Lebih terperinci

Timpanogram pada Anak Usia 1-5 Tahun

Timpanogram pada Anak Usia 1-5 Tahun Timpanogram pada Anak Usia 1-5 Tahun 1 Desti Kusmardiani, 2 Wijana, 2 Shinta Fitri Boesoirie, 2 Sally Mahdiani 1 Program Pendidikan Dokter Spesialis FK UNPAD 2 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Lebih terperinci

Kualitas hidup lansia dengan gangguan pendengaran

Kualitas hidup lansia dengan gangguan pendengaran Laporan Penelitian Kualitas hidup lansia dengan gangguan pendengaran Riskiana Djamin Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO 42 ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. N DENGAN POST OPERASI TONSILEKTOMI DI BANGSAL ANGGREK RSUD SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Ahli Madya Keperawatan ( Di Susun

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN DISTRIBUSI PENDERITA TONSILEKTOMI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE TAHUN 2009

ABSTRAK GAMBARAN DISTRIBUSI PENDERITA TONSILEKTOMI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE TAHUN 2009 ABSTRAK GAMBARAN DISTRIBUSI PENDERITA TONSILEKTOMI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE TAHUN 2009 Rikha, 2010 Pembimbing I : dr. Freddy Tumewu A., MS Pembimbing II : dr. Evi Yuniawati,

Lebih terperinci

Pemeriksaan Pendengaran

Pemeriksaan Pendengaran Komang Shary K., NPM 1206238633 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia LTM Pemicu 4 Modul Penginderaan Pemeriksaan Pendengaran Pendahuluan Etiologi penurunan pendengaran dapat ditentukan melalui pemeriksaan

Lebih terperinci

PERBEDAAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA RETINOBLASTOMA STADIUM KLINIS INTRAOKULAR DAN INVASI LOKAL.

PERBEDAAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA RETINOBLASTOMA STADIUM KLINIS INTRAOKULAR DAN INVASI LOKAL. i PERBEDAAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA RETINOBLASTOMA STADIUM KLINIS INTRAOKULAR DAN INVASI LOKAL Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Kesehatan Mata

Lebih terperinci

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012-2014 Oleh : VERA ANGRAINI 120100290 FAKULTAS KEDOKTERAN UNUIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM

Lebih terperinci

Oleh: Esti Widiasari S

Oleh: Esti Widiasari S HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN INJEKSI DEPOT-MEDROXYPROGESTERONE ACETATE (DMPA) DENGAN KADAR ESTRADIOL PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERSENTASE BODY FAT

HUBUNGAN PERSENTASE BODY FAT ABSTRAK HUBUNGAN PERSENTASE BODY FAT (% BF) YANG DIUKUR DENGAN MENGGUNAKAN BOD POD DAN WAIST CIRCUMFERENCE (WC) SERTA CUT OFF POINT (COP) DAN ODDS RATIO (OR) COP WC PADA OBESITAS Dhaifina Alkatirie, 2010

Lebih terperinci

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta * ABSTRAK

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta *  ABSTRAK Hubungan Senam Lansia Terhadap Kualitas Tidur Pada Lansia Berdasarkan Skor Pittsburgh Sleep Quality Index di Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Luhur Bantul Yogyakarta RELATIONSHIP BETWEEN ELDERLY GYMNASTIC

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KELEMBABAN UDARA YANG TINGGI DENGAN RASIO FEV 1 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KELEMBABAN UDARA YANG TINGGI DENGAN RASIO FEV 1 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KELEMBABAN UDARA YANG TINGGI DENGAN RASIO FEV 1 SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran IVAN JAZID ADAM G.0009113 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Korelasi Pneumatisasi Mastoid dengan Derajat Destruksi Tulang Pada OMSK Disertai Acquired Cholesteatoma Secara CT-Scan

Korelasi Pneumatisasi Mastoid dengan Derajat Destruksi Tulang Pada OMSK Disertai Acquired Cholesteatoma Secara CT-Scan Korelasi Pneumatisasi Mastoid dengan Derajat Destruksi Tulang Pada OMSK Disertai Acquired Cholesteatoma Secara CT-Scan Correlation of the Mastoid Pneumatization and Bone Destruction in CSOM with Acquired

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga

BAB I PENDAHULUAN. Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media efusi (OME) merupakan salah satu penyakit telinga tengah yang biasanya terjadi pada anak. Pada populasi anak, OME dapat timbul sebagai suatu kelainan

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Karakteristik Penderita Otitis Media Akut pada Anak yang Berobat ke Instalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2009 Oleh: TAN HONG SIEW 070100322 FAKULTAS

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET HUBUNGAN ANTARA DERAJAT LOWER URINARY TRACT SYMPTOMS (LUTS) DENGAN DERAJAT DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA (BPH) DI RSUD MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN SATURASI OKSIGEN AWAL MASUK TERHADAP LUARAN PNEUMONIA PADA ANAK LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

Kata kunci: tonsilitis, ukuran tonsil, tonsilektomi, indikasi tonsilektomi,

Kata kunci: tonsilitis, ukuran tonsil, tonsilektomi, indikasi tonsilektomi, PROFIL PEMBESARAN TONSIL PADA PASIEN TONSILITIS KRONIS YANG MENJALANI TONSILEKTOMI DI RSUP SANGLAH PADA TAHUN 2013 Ni Made Putri Rahayu Srikandi, Sari Wulan Dwi Sutanegara, I Wayan Sucipta, Bagian/SMF

Lebih terperinci

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA D3 POLITEKNIK KESEHATAN GIGI MAKASSAR MENGENAI PROTEKSI RADIASI PADA FOTO ROENTGEN SKRIPSI

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA D3 POLITEKNIK KESEHATAN GIGI MAKASSAR MENGENAI PROTEKSI RADIASI PADA FOTO ROENTGEN SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA D3 POLITEKNIK KESEHATAN GIGI MAKASSAR MENGENAI PROTEKSI RADIASI PADA FOTO ROENTGEN SKRIPSI Wahyuni Sirajuddin J 111 08 113 UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian bidang Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Gizi, khususnya pengukuran status gizi antropometri. 4.2

Lebih terperinci

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani

Lebih terperinci

Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado

Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado 1 Anita R. Tangkelangi 2 Ronaldy E. C. Tumbel 2 Steward K. Mengko 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KADAR HBA1C DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA KADAR HBA1C DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN ANTARA KADAR HBA1C DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat

Lebih terperinci

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG YANG MENDAPAT PERAWATAN GIGI DAN TIDAK MENDAPAT PERAWATAN GIGI

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG YANG MENDAPAT PERAWATAN GIGI DAN TIDAK MENDAPAT PERAWATAN GIGI PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG YANG MENDAPAT PERAWATAN GIGI DAN TIDAK MENDAPAT PERAWATAN GIGI LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi

Lebih terperinci

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH Teuku Husni dan Amallia Pradista Abstrak. Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa

Lebih terperinci

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes

ABSTRAK. Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1: Penny Setyawati M, Dr, SpPK, MKes Pembimbing 2: Yenni Limyati, Dr, SSn,SpKFR,MKes ABSTRAK HUBUNGAN MIKROALBUMINURIA (MAU) DAN ESTIMATED GLOMERULAR FILTRATION RATE (egfr) SEBAGAI PREDIKTOR PENURUNAN FUNGSI GINJAL PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 Gea Nathali Halim, 2017, Pembimbing 1:

Lebih terperinci

Hubungan antara Kadar Anti Streptolisin-O dan Gejala Klinis pada Penderita Tonsilitis Kronis

Hubungan antara Kadar Anti Streptolisin-O dan Gejala Klinis pada Penderita Tonsilitis Kronis JURNAL KEDOKTERAN YARSI 18 (2) : 121-128 (2010) Hubungan antara Kadar Anti Streptolisin-O dan Gejala Klinis pada Penderita Tonsilitis Kronis The Relationship Between the Level of Anti Streptolysin-O and

Lebih terperinci

Laporan Operasi Tonsilektomi

Laporan Operasi Tonsilektomi Laporan Operasi Tonsilektomi Oleh: Ahmad Riza Faisal Herze 1110103000034 Pembimbing: dr. Heditya Damayanti, Sp.THT-KL KEPANITERAAN KLINIK THT RSUP FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH UNIVERSITAS ANDALAS HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH 1050310202 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN 66 Lampiran 1 STATUS PENELITIAN No. I. IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN Nama :... Tanggal lahir :... Jenis Kelamin :... Alamat :... Telepon :... No. M R :... Anak ke/dari :... Jumlah orang yang tinggal

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Bedah Kepala dan Leher subbagian Neuro-otologi. Perawatan Bayi Resiko Tinggi (PBRT) dan Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

BAB IV METODE PENELITIAN. Bedah Kepala dan Leher subbagian Neuro-otologi. Perawatan Bayi Resiko Tinggi (PBRT) dan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak subbagian Perinatologi dan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala

Lebih terperinci

HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN KEMAMPUAN BAHASA PADA ANAK SINDROM DOWN LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN KEMAMPUAN BAHASA PADA ANAK SINDROM DOWN LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN GANGGUAN PENDENGARAN DENGAN KEMAMPUAN BAHASA PADA ANAK SINDROM DOWN LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI JAJANAN TIDAK SEHAT DENGAN DERAJAT ASMA PADA ANAK USIA 3-12 TAHUN

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI JAJANAN TIDAK SEHAT DENGAN DERAJAT ASMA PADA ANAK USIA 3-12 TAHUN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI JAJANAN TIDAK SEHAT DENGAN DERAJAT ASMA PADA ANAK USIA 3-12 TAHUN Penelitian dilakukan di Fast Track RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014 OLEH: GUSTI AYU WIDIASTUTI NIM. 1202115020

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otitis media supuratif kronis (OMSK) merupakan peradangan dan infeksi kronis pada telinga tengah dan rongga mastoid yang ditandai dengan adanya sekret yang keluar terus

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : gingivitis kehamilan, indeks gingiva modifikasi, usia kehamilan, sosio- ekonomi, pola makan, oral hygiene

ABSTRAK. Kata kunci : gingivitis kehamilan, indeks gingiva modifikasi, usia kehamilan, sosio- ekonomi, pola makan, oral hygiene ABSTRAK Selama kehamilan terjadi perubahan hormon yang mengubah respon imun dan mediator respon inflamasi. Hal ini kemudian menyebabkan masalah dalam rongga mulut terutama gingivitis dan infeksi periodontal.

Lebih terperinci

Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013

Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013 436 Artikel Penelitian Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013 Ivan Maulana Fakh 1, Novialdi 2, Elmatris 3 Abstrak Tonsilitis Kronis merupakan

Lebih terperinci

Pahmi Budiman Saputra Basyir 1, Teti Madiadipoera 1, Lina Lasminingrum 1 1

Pahmi Budiman Saputra Basyir 1, Teti Madiadipoera 1, Lina Lasminingrum 1 1 Angka Kejadian dan Gambaran Rinitis Alergi dengan Komorbid Otitis Media di Poliklinik Rinologi Alergi Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Pahmi Budiman Saputra Basyir 1, Teti Madiadipoera

Lebih terperinci

HUBUNGAN CARA BAYAR, JARAK TEMPAT TINGGAL DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT RAWAT JALAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJD SURAKARTA TESIS

HUBUNGAN CARA BAYAR, JARAK TEMPAT TINGGAL DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT RAWAT JALAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJD SURAKARTA TESIS HUBUNGAN CARA BAYAR, JARAK TEMPAT TINGGAL DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT RAWAT JALAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJD SURAKARTA TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Manajemen Konsentrasi

Lebih terperinci

KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN

KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN Steve Kojongian, Olivia Pelealu, Ronaldy Tumbel Bagian SMF Telinga Hidung

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung BILATERAL RECURRENT NASAL POLYPS STADIUM 1 IN MEN WITH ALLERGIC RHINITIS Pratama M 1) 1) Medical Faculty of Lampung University Abstract Background. Nasal polyps are soft period that contains a lot of fluid

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 Jennifer Christy Kurniawan, 1210134 Pembimbing I : Dr. Hana Ratnawati, dr., M.Kes.,

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA WAJAH ADENOID YANG DISEBABKAN OLEH HIPERTROPI JARINGAN ADENOID

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA WAJAH ADENOID YANG DISEBABKAN OLEH HIPERTROPI JARINGAN ADENOID GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA WAJAH ADENOID YANG DISEBABKAN OLEH HIPERTROPI JARINGAN ADENOID SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci