BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH"

Transkripsi

1 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III 3.1 Umum BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH Dalam periode , realisasi pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen, didukung dengan peningkatan penerimaan dalam negeri dan hibah yang masing-masing tumbuh rata-rata 14,4 persen dan 6,3 persen. Penerimaan dalam negeri terutama berasal dari penerimaan perpajakan yang memberikan kontribusi rata-rata 68,9 persen dengan pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) memberikan kontribusi rata-rata 31,1 persen dengan pertumbuhan rata-rata 11,5 persen. Meningkatnya realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan ekonomi baik global maupun nasional, dan juga keberhasilan dari pelaksanaan kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah. Kebijakan Pemerintah di bidang pendapatan negara dan hibah diarahkan untuk mendukung kebijakan fiskal yang berkesinambungan melalui upaya optimalisasi pendapatan negara dan hibah, khususnya penerimaan dalam negeri. Hal ini sesuai dengan peran pendapatan negara dan hibah sebagai sumber pendanaan program-program pembangunan. Sebagai kontributor utama bagi penerimaan dalam negeri, penerimaan perpajakan diupayakan secara optimal melalui tiga kebijakan utama, yaitu: (1) reformasi di bidang administrasi; (2) reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan; dan (3) reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi. Ketiga kebijakan tersebut secara umum berlaku baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Di bidang PNBP, kebijakan yang telah diambil Pemerintah dalam rangka optimalisasi adalah (1) meningkatkan produksi sumber daya alam (SDA); (2) peninjauan dan penyempurnaan peraturan di bidang PNBP; (3) meningkatkan pengawasan PNBP; dan (4) meningkatkan kinerja BUMN. Pada tahun 2010, perekonomian dunia mulai pulih dari krisis. Kondisi tersebut berimbas pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 persen, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada realisasi pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp992,4 triliun atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun Penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp990,5 triliun atau meningkat 16,9 persen, dengan perincian penerimaan perpajakan Rp743,3 triliun atau meningkat 19,9 persen dan PNBP Rp247,2 triliun atau meningkat 8,8 persen. Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun dengan peningkatan sebesar 13,8 persen. Dalam tahun 2010, kebijakan pendapatan negara dan hibah tetap diarahkan untuk optimalisasi penerimaan dalam negeri. Di bidang perpajakan, selain melakukan kebijakan yang bersifat reguler seperti reformasi di bidang administrasi, peraturan perundang-undangan dan pengawasan serta penggalian potensi, Pemerintah melakukan upaya tambahan (extra effort) baik di bidang pajak maupun di bidang kepabeanan dan cukai. Extra effort tersebut antara lain dilakukan melalui peningkatan efisiensi pemeriksaan dan penagihan pajak, serta peningkatan pengawasan atas peredaran barang kena cukai ilegal. Di bidang PNBP, kebijakan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-1

2 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah yang dilakukan Pemerintah untuk mengamankan target PNBP tahun 2010 adalah optimalisasi penerimaan SDA terutama dari migas, peningkatan kinerja BUMN, serta optimalisasi PNBP kementerian/lembaga (K/L). Memasuki tahun 2011, kondisi perekonomian Indonesia diharapkan jauh lebih baik daripada tahun Pertumbuhan ekonomi ditargetkan akan mencapai 6,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan realisasi Indikator-indikator ekonomi makro lainnya juga diperkirakan akan cukup stabil. Berdasarkan asumsi tersebut, pendapatan negara dan hibah dalam tahun 2011 direncanakan sebesar Rp1.086,4 triliun, dengan perincian penerimaan dalam negeri sebesar Rp1.082,6 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Penerimaan dalam negeri akan berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp839,5 triliun, dan PNBP sebesar Rp243,1 triliun. Dalam rangka mencapai target penerimaan negara pada tahun 2011, Pemerintah akan menjalankan berbagai kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP. Pokok-pokok kebijakan perpajakan secara umum adalah melanjutkan dan mempertajam kebijakan-kebijakan tahun sebelumnya. Di bidang perpajakan, kebijakan antara lain akan difokuskan pada (1) penggalian potensi perpajakan; (2) peningkatan kualitas pemeriksaan pajak; (3) penyempurnaan mekanisme atas keberatan dan banding dalam proses pengadilan pajak; (4) peningkatan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai; (5) perbaikan sistem informasi; dan (6) konsistensi pelaksanaan road map cukai hasil tembakau. Selain itu, dalam rangka memperbaiki sistem administrasi perpajakan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan pengalihan BPHTB serta PBB perdesaan dan perkotaan dari pusat ke daerah. Untuk BPHTB, pengalihan dilakukan pada tahun 2011, sedangkan untuk PBB, pengalihan dimungkinkan dilakukan mulai tahun 2010 berdasarkan kesiapan masing-masing daerah. Tenggat waktu yang diberikan kepada daerah untuk mempersiapkan pengalihan PBB tersebut adalah sampai dengan tahun Di bidang PNBP, kebijakan yang dilakukan untuk mencapai target 2011 adalah (1) optimalisasi lifting/produksi minyak mentah dan gas bumi, serta komoditi tambang dan mineral guna mendukung pencapaian penerimaan SDA; (2) penyesuaian pay-out ratio dividen dari laba BUMN; (3) penyelesaian audit keuangan BUMN secara lebih awal guna memantau perkembangan rugi/laba BUMN; (4) penarikan dividen interim dengan tetap memperhatikan cash flow BUMN; (5) intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP K/L, antara lain dengan melakukan review jenis dan tarif PNBP K/L; dan (6) perbaikan administrasi pelaporan keuangan K/L. 3.2 Perkembangan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun dan Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2010 Pendapatan negara dan hibah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dalam periode Pertumbuhan rata-rata yang terjadi dalam periode tersebut adalah 14,4 persen, yaitu dari Rp495,2 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp848,8 triliun pada tahun Kondisi perekonomian yang cukup kondusif dalam periode menjadi faktor utama yang mendorong meningkatnya pendapatan negara khususnya penerimaan dalam negeri, meskipun sempat terjadi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 sampai dengan Dalam periode tersebut, penerimaan dalam negeri meningkat dari Rp493,9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp847,1 triliun pada tahun Hal ini berarti terjadi pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Selain faktor kestabilan ekonomi, penerapan berbagai III-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

3 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP juga menjadi salah satu faktor pendukung tingginya realisasi penerimaan dalam negeri. Sementara itu, penerimaan hibah pada periode mengalami pertumbuhan rata-rata 6,3 persen, yaitu dari Rp1,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun Terus membaiknya kondisi perekonomian pada tahun 2010 menyebabkan Pemerintah optimis dapat mencapai target pendapatan negara dan hibah. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan dalam negeri ditargetkan mencapai Rp990,5 triliun, atau meningkat 16,9 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun Sedangkan hibah diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun atau 13,8 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Dengan demikian, dalam APBN-P tahun 2010, pendapatan negara dan hibah ditargetkan mencapai Rp992,4 triliun, atau 16,9 persen lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun Perkembangan pendapatan negara dan hibah dalam periode dapat dilihat pada Tabel III.1. TABEL III.1 PERKEMBANGAN PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH, (triliun rupiah) Uraian APBN-P Pendapatan Negara dan Hibah 495,2 638,0 707,8 981,6 848,8 992,4 I. Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5 1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2 II. Hibah 1,3 1,8 1,7 2,3 1,7 1,9 Sumber: Kementerian Keuangan Penerimaan Dalam Negeri Dalam periode , penerimaan dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 14,4 persen. Sebagai komponen utama, penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen, sedangkan PNBP tumbuh rata-rata 11,5 persen. Beberapa indikator makroekonomi yang berpengaruh pada meningkatnya penerimaan dalam negeri dalam periode tersebut adalah (1) tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat, yaitu dari 5,7 persen pada tahun 2005, menjadi 6,0 persen pada tahun 2008, meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009; (2) perkembangan ICP yang cenderung meningkat dari USD51,8 per barel pada tahun 2005 hingga mencapai USD96,8 per barel pada tahun 2008, dan USD61,6 per barel pada tahun 2009; dan (3) fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat mengalami depresiasi pada periode tahun Selain itu, keberhasilan penerapan kebijakan perpajakan dan PNBP juga turut mendorong peningkatan penerimaan dalam negeri. Memasuki tahun 2010, kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan mampu mencapai pertumbuhan 5,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan pencapaian tahun 2009 yang hanya mencapai 4,5 persen. Berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tersebut, dan juga didukung oleh tingginya perkiraan ICP yang mencapai USD80 per barel, penerimaan dalam negeri ditargetkan sebesar Rp990,5 triliun dalam APBN-P tahun 2010, Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-3

4 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp743,3 triliun dan PNBP Rp247,2 triliun. Jumlah tersebut berarti 16,9 persen lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya. Perkembangan penerimaan dalam negeri pada periode dapat dilihat pada Tabel III.2. TABEL III.2 PERKEMBANGAN PENERIMAAN DALAM NEGERI, (triliun rupiah) Uraian APBN-P Penerimaan Dalam Negeri 493,9 636,2 706,1 979,3 847,1 990,5 1. Penerimaan Perpajakan 347,0 409,2 491,0 658,7 619,9 743,3 a. Pajak Dalam Negeri 331,8 396,0 470,1 622,4 601,3 720,8 i. Pajak penghasilan 175,5 208,8 238,4 327,5 317,6 362,2 1. Migas 35,1 43,2 44,0 77,0 50,0 55,4 2. Nonmigas 140,4 165,6 194,4 250,5 267,6 306,8 ii. Pajak pertambahan nilai 101,3 123,0 154,5 209,6 193,1 263,0 iii. Pajak Bumi dan Bangunan 16,2 20,9 23,7 25,4 24,3 25,3 iv. BPHTB 3,4 3,2 6,0 5,6 6,5 7,2 v. Cukai 33,3 37,8 44,7 51,3 56,7 59,3 vi. Pajak lainnya 2,1 2,3 2,7 3,0 3,1 3,8 b. Pajak Perdagangan Internasional 15,2 13,2 20,9 36,3 18,7 22,6 i. Bea masuk 14,9 12,1 16,7 22,8 18,1 17,1 ii. Bea keluar 0,3 1,1 4,2 13,6 0,6 5,5 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 146,9 227,0 215,1 320,6 227,2 247,2 a. Penerimaan SDA 110,5 167,5 132,9 224,5 139,0 164,7 i. Migas 103,8 158,1 124,8 211,6 125,8 151,7 ii. Non Migas 6,7 9,4 8,1 12,8 13,2 13,0 b. Bagian Laba BUMN 12,8 23,0 23,2 29,1 26,0 29,5 c. PNBP Lainnya 23,6 36,5 56,9 63,3 53,8 43,5 d. Pendapatan BLU 0,0 0,0 2,1 3,7 8,4 9,5 Sumber : Kementerian Keuangan Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan mengalami pertumbuhan rata-rata 15,6 persen dalam periode Beberapa faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perpajakan adalah terciptanya kondisi fundamental makroekonomi yang cukup stabil dan pelaksanaan kebijakan modernisasi perpajakan, kepabeanan dan cukai. Dilihat dari sumbernya, penerimaan perpajakan dapat dikategorikan ke dalam penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak dalam negeri terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), cukai dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Dalam periode , penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen, sedangkan pajak perdagangan internasional tumbuh rata-rata 5,2 persen. Selanjutnya, penerimaan perpajakan mampu memberikan kontribusi yang dominan terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 2005, kontribusi penerimaan perpajakan adalah 70,3 persen menjadi 64,3 persen pada tahun 2006, kemudian 69,5 persen pada tahun 2007 menjadi 67,3 persen pada tahun 2008, dan selanjutnya menjadi 73,2 persen pada tahun Semakin tingginya kontribusi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan bahwa peranan penerimaan perpajakan menjadi sangat strategis sebagai sumber pendanaan III-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

5

6 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah teknologi informasi dan komunikasi. Program utama dari kegiatan ini dikemas dalam Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR), yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, dan melaksanakan good governance melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak. Reformasi di bidang peraturan dan perundang-undangan dilakukan melalui amendemen tiga undang-undang perpajakan, yaitu: (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-undang; (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tarif PPh badan mengalami penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun Selain itu, pemberian diskon atas tarif PPh badan 5 persen lebih rendah dari tarif normal tetap diberikan kepada perusahaan-perusahaan masuk bursa yang minimal 40 persen sahamnya dikuasai oleh publik. Reformasi di bidang pengawasan dan penggalian potensi dilakukan melalui pembangunan suatu metode pengawasan dan penggalian potensi penerimaan pajak yang terstruktur, terukur, sistematis, standar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut dikembangkan sejak awal tahun 2007 mencakup kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan membayar pajak (tax compliance), Pemerintah mencanangkan program sunset policy pada tahun 2008, dan diperpanjang hingga Februari Program sunset policy ini mengatur tentang penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain bertujuan meningkatkan tax compliance, program ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi hasil kegiatan penggalian potensi melalui kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking. Sementara itu, dalam rangka mengoptimalkan penerimaan negara, Pemerintah telah dan akan tetap melanjutkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, program ekstensifikasi pada tahun 2010 dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu: (1) pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara Pemerintah dengan sasaran karyawan yang meliputi pemegang saham atau pemilik perusahaan, komisaris, direksi, staf, pekerja serta pegawai negeri sipil dan pejabat negara; (2) pendekatan berbasis properti dengan sasaran orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, dan perumahan; dan (3) pendekatan berbasis profesi dengan sasaran dokter, artis, pengacara, notaris, akuntan, dan profesi lainnya. Sejauh ini kegiatan ekstensifikasi perpajakan dinilai cukup berhasil. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah wajib pajak dari 3,5 juta pada tahun 2005 menjadi 14,1 juta pada April Sedangkan program intensifikasi atau penggalian potensi perpajakan dari wajib pajak yang telah terdaftar dilaksanakan melalui III-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

7 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III (1) kegiatan mapping dan benchmarking; (2) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Madya; (3) pemantapan profil seluruh wajib pajak KPP Large Tax Office (LTO) dan Khusus; (4) pemantapan profil 500 wajib pajak KPP Pratama; (5) pembuatan profil high rise building; (6) pengawasan intensif dari PPh Pasal 25 retailer; dan (7) pengawasan intensif wajib pajak orang pribadi potensial. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan suatu metode penggalian potensi dan pengawasan penerimaan pajak yang terstruktur, sistematis, terukur, dan saling terkait, yang telah dikembangkan sejak tahun Untuk menindaklanjuti program sunset policy, Pemerintah melakukan kegiatan yang menitikberatkan pada law enforcement dan pembinaan kepada wajib pajak. Kegiatan law enforcement dilakukan melalui penagihan, pemeriksaan, dan penyidikan. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dengan membangun komunikasi kepada setiap wajib pajak melalui pendidikan perpajakan (tax education), menjaga hubungan dengan wajib pajak (maintenance), dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan, tanpa mengesampingkan fungsi utama kepabeanan cukai sebagai regulator dalam rangka melancarkan arus barang dari transaksi perdagangan internasional (trade facilitation) dan melindungi masyarakat dari ekses negatif dari masuknya barang-barang pembatasan dan larangan serta narkotika (community protection). Dalam hal ini, Pemerintah akan terus melanjutkan program reformasi melalui pembentukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Madya, serta melakukan program intensifikasi melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi, peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang, dan optimalisasi sarana operasi seperti kapal patroli, mesin sinar X, dan mesin sinar gamma. Selanjutnya, untuk menjamin penegakan hukum (law enforcement) di bidang kepabeanan dan cukai, Pemerintah meningkatkan fungsi pengawasan dan audit. Peningkatan pengawasan dilakukan antara lain dengan (1) mengembangkan manajemen risiko kepabeanan dan cukai; (2) membangun sistem dokumentasi pelanggaran kepabeanan dan cukai; (3) melaksanakan pemberantasan penggunaan pita cukai palsu; (4) melaksanakan pemberantasan peredaran rokok ilegal; dan (5) melaksanakan pemberantasan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Sedangkan peningkatan audit dilakukan antara lain melalui (1) pembuatan dokumentasi sistem informasi perencanaan audit; (2) penyusunan database profil dan objek audit; (3) monitoring pelaksanaan audit; serta (4) penyempurnaan aplikasi sistem audit. Khusus di bidang kepabeanan, langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan antara lain (1) pengembangan otomasi sistem pelayanan kepabeanan dan cukai; (2) pemberian fasilitas/kemudahan dalam pelayanan kepabeanan (Pre Entry Classification, Customs Advice, dan Pre-Notification); (3) pemberian fasilitas terhadap industri substitusi impor dan industri orientasi ekspor; (4) pembentukan kantor pelayanan utama dan KPPBC Madya; (5) peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor; (6) mendukung kerjasama perdagangan internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral; (7) penerapan National Single Windows (NSW) dan portal Indonesia National Single Windows (INSW); (8) peningkatan pelayanan kepabeanan melalui jalur mitra utama (MITA) dan jalur prioritas; (9) penegakan hukum di bidang kepabeanan melalui risk management, risk assesment, profiling, dan targeting; dan (10) meningkatkan kepatuhan pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi kewajibannya. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-7

8 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Khusus di bidang cukai, sesuai dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan maupun sistem prosedur di bidang cukai dilakukan secara bertahap sehingga dapat memberikan perlindungan atas kesehatan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan faktor daya serap tenaga kerja. Upaya yang dilakukan antara lain melalui (1) penyempurnaan ketentuan mengenai perizinan di bidang cukai; (2) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; (3) peningkatan pelayanan di bidang cukai; (4) peningkatan pengawasan di bidang cukai; (5) peningkatan pemahaman ketentuan di bidang cukai (sosialisasi); (6) penerapan kode etik (reward and punishment); dan (7) peningkatan security feature pita cukai untuk menghilangkan praktek pemalsuan cukai. Selanjutnya pada tahun 2010, beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka optimalisasi penerimaan cukai antara lain (1) peningkatan tarif cukai hasil tembakau berkisar antara 9,6 persen sampai dengan 21,0 persen sesuai dengan jenis hasil tembakau, yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret putih mesin (SPM); (2) perubahan ketentuan mengenai perizinan; (3) penyederhanaan golongan pengusaha dan tarif cukai; serta (4) peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethil alkohol (MMEA) rata-rata sebesar 228,1 persen untuk MMEA dalam negeri dan 110,5 persen untuk MMEA impor. Selain itu, Pemerintah juga melakukan peningkatan pengawasan, antara lain melalui: (1) peningkatan operasi pasar; (2) pemeriksaan lokasi pabrik; (3) peningkatan security features pita cukai; dan (4) peningkatan pengawasan peredaran MMEA impor Pajak Dalam Negeri Dalam periode , penerimaan pajak dalam negeri mengalami pertumbuhan ratarata 16,0 persen, yaitu dari Rp331,8 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp601,3 triliun pada tahun Pertumbuhan rata-rata tertinggi terjadi pada pos penerimaan PPh nonmigas serta PPN dan PPnBM yang mencapai 17,5 persen. Sementara itu, cukai sebagai penerimaan ketiga terbesar setelah PPh serta PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14,3 persen. Kontributor utama dalam penerimaan pajak dalam negeri adalah PPh yang memberikan kontribusi rata-rata 52,4 persen. Sedangkan kontributor terbesar kedua dan ketiga adalah PPN dan PPnBM serta cukai, yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata 32,1 persen dan 9,3 persen. Pertumbuhan dan kontribusi rata-rata dari masingmasing jenis pajak dalam kategori pajak dalam negeri dapat dilihat pada Grafik III.2 dan Grafik III.3. GRAFIK III.2 PERTUMBUHAN PENERIMAAN PERPAJAKAN DALAM NEGERI, ,0 87,0 persen (y-o-y) (20) (40) 53,2 45,4 35,7 28,8 25,6 22,9 18,0 21,5 17,4 1,9 PPh Migas -35,0 Sumber : Kementerian Keuangan PPh Non Migas 6,8-1,2-7,9 37,8 28,6 13,7 6,9-4,3 17,6-7,2-6,4 16,0 18,3 19,7 14,0 13,6 14,7 11,6 10,7 9,5 10,8 2,7 PPN PBB BPHTB Cukai Pajak Lainnya III-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

9 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan pajak dalam negeri ditargetkan mencapai Rp720,8 triliun. Apabila dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak dalam negeri tahun 2009, target tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp119,5 triliun atau 19,9 persen. Peningkatan terjadi pada seluruh pos penerimaan dalam negeri, terutama PPN dan PPnBM yang meningkat 36,2 persen dan BPHTB yang GRAFIK III.3 KONTRIBUSI RATA-RATA PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI, PBB 4,7% BPHTB 1,0% PPh Non-Migas 42,1% PPh Migas 10,3% meningkat 10,7 persen. Membaiknya kondisi perekonomian baik secara global maupun domestik yang berimbas pada meningkatnya volume perdagangan dunia menjadi faktor utama meningkatnya penerimaan pajak dalam negeri, khususnya penerimaan PPN dan PPnBM impor. Selain itu, relatif tingginya ICP yang diperkirakan mencapai USD80 per barel pada tahun 2010 dibandingkan dengan ICP tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (Desember November) juga menjadi salah satu pemicu meningkatnya penerimaan pajak migas. Pajak Penghasilan (PPh) Pajak penghasilan (PPh) mengalami pertumbuhan rata-rata 16,0 persen dalam periode Dalam periode tersebut, nominal penerimaan PPh meningkat dari Rp175,5 triliun menjadi Rp317,6 triliun. Dilihat dari komposisinya, penerimaan PPh migas memberikan kontribusi rata-rata sebesar 19,7 persen, sedangkan PPh nonmigas 80,3 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, PPh diperkirakan mencapai Rp362,2 triliun, yang terdiri atas penerimaan PPh migas Rp55,4 triliun (15,3 persen) dan PPh nonmigas Rp306,8 triliun (84,7 persen). Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp317,6 triliun, terjadi peningkatan sebesar Rp44,6 triliun atau 14,0 persen. Penerimaan PPh migas selama tahun mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 9,2 persen. Dilihat dari komponen pendukungnya, penerimaan PPh minyak bumi tumbuh rata-rata 18,6 persen dan PPh gas bumi tumbuh rata-rata 5,2 persen. Perkembangan realisasi penerimaan PPh migas yang cenderung meningkat tersebut sesuai dengan perkembangan ICP yang menunjukkan adanya tren kenaikan, meskipun lifting mengalami fluktuasi. Dalam APBN-P tahun 2010, realisasi penerimaan PPh migas diperkirakan mencapai Rp55,4 triliun, dengan kontribusi dari PPh minyak bumi sebesar Rp22,6 triliun (40,7 persen) dan PPh gas bumi Rp32,8 triliun (59,3 persen). Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya, terjadi peningkatan sebesar Rp5,3 triliun atau 10,7 persen. Penerimaan PPh migas tahun dapat dilihat pada Grafik III.4. Penyebab utama peningkatan penerimaan PPh migas tersebut adalah lebih tingginya ICP pada tahun 2010 yang diperkirakan mencapai USD80 per barel dibandingkan dengan ICP pada tahun 2009 yang mencapai USD58,5 per barel (Desember November), dan lebih tingginya lifting minyak PPN 32,1% Sumber : Kementerian Keuangan Cukai 9,3% Pajak Lainnya 0,6% Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-9

10 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah bumi tahun 2010 yang diperkirakan sebesar 965 MBCD dibandingkan dengan lifting pada tahun 2009 yang mencapai 944 MBCD. Perkembangan realisasi PPh migas dapat dilihat pada Tabel III.3. Dalam periode , realisasi penerimaan PPh nonmigas mengalami pertumbuhan ratarata 17,5 persen, yaitu dari Rp140,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp267,6 triliun pada tahun Pertumbuhan tersebut terutama didukung dari penerimaan PPh pasal 25/29 badan yang tumbuh rata-rata 23,7 persen dan memberikan kontribusi rata-rata 41,0 persen dalam periode tersebut. 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 GRAFIK III.4 PENERIMAAN PPh MIGAS, triliun Rp 0,0 PPh Gas Alam Sumber : Kementerian Keuangan PPh Minyak Bumi 31,7 32,8 18,4 22, APBN-P 2010 TABEL III.3 PERKEMBANGAN PPh MIGAS, (triliun rupiah) Uraian APBN-P PPh Minyak Bumi 9,3 26,4 14,7 34,0 16,3 37,0 29,6 38,5 18,4 36,7 22,6 40,7 PPh Gas Bumi 25,8 73,6 28,5 66,0 27,3 62,0 47,4 61,5 31,7 63,3 32,8 59,3 PPh Migas Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,4 1,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 35,1 100,0 43,2 100,0 44,0 100,0 77,0 100,0 50,0 100,0 55,4 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPh nonmigas diperkirakan mencapai Rp306,8 triliun. Hal ini berarti terjadi peningkatan 14,7 persen bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Penerimaan PPh nonmigas tahun dapat dilihat dalam Grafik III.5. Selain faktor ekonomi, peningkatan penerimaan PPh nonmigas terutama disebabkan oleh upaya perbaikan administrasi perpajakan dan dilakukannya extra effort sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun tarif PPh pasal 25/29 badan mengalami penurunan dari 28 persen pada tahun 2009 menjadi 25 persen pada tahun 2010, dan juga pemberian diskon 5 persen bagi perusahaan masuk bursa yang 40 persen sahamnya dikuasai publik, PPh pasal 25/29 badan masih merupakan kontributor utama bagi penerimaan PPh nonmigas dengan kontribusi sebesar 41,0 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2009, PPh pasal 25/29 badan triliun Rp 120,3 126,7 tahun 2010 meningkat 5,3 persen. Perkembangan penerimaan PPh nonmigas per pasal dalam periode dapat dilihat padatabel III ,0 270,0 220,0 170,0 120,0 70,0 20,0-30,0 GRAFIK III.5 PENERIMAAN PPh NONMIGAS, Lainnya PPh Pasal 21 61,3 33,8 52,1 Sumber : Kementerian Keuangan 76,5 42,1 61, APBN-P 2010 PPh Final dan Fiskal PPh Pasal 25/29 Badan III-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

11 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III TABEL III.4 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS, (triliun rupiah) Uraian APBN-P PPh Pasal 21 9,3 26,4 31,6 19,1 39,4 20,3 51,7 20,7 52,1 19,5 61,6 20,1 PPh Pasal 22 25,8 73,6 4,0 2,4 4,0 2,0 5,0 2,0 4,4 1,6 5,4 1,8 PPh Pasal 22 Impor 13,5 9,3 13,1 7,9 16,6 8,6 25,1 10,0 19,2 7,2 23,9 7,8 PPh Pasal 23 13,0 8,9 15,4 9,3 15,7 8,1 18,1 7,2 16,0 6,0 20,0 6,5 PPh Pasal 25/29 Pribadi 1,6 1,1 1,8 1,1 1,6 0,8 3,6 1,4 3,3 1,3 4,3 1,4 PPh Pasal 25/29 Badan 51,4 35,4 65,1 39,3 80,8 41,6 106,4 42,6 120,3 45,0 126,7 41,3 PPh Pasal 26 8,9 6,1 10,5 6,4 14,6 7,5 14,9 6,0 18,4 6,9 22,9 7,5 PPh Final dan Fiskal 21,9 15,1 24,1 14,6 21,6 11,1 25,2 10,1 33,8 12,6 42,1 13,7 PPh Non Migas Lainnya -0,1-0,04 0,04 0,02 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,0 0,00 0,0 Sumber : Kementerian Keuangan 145,3 175,8 165,6 100,0 194,4 100,0 249,8 100,0 267,6 100,0 306,8 100,0 Selama periode , realisasi penerimaan PPh nonmigas didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, sektor industri pengolahan, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor utama dengan rata-rata kontribusi masing-masing sebesar 28,9 persen, 25,1 persen dan 9,9 persen. Pertumbuhan rata-rata dalam kurun waktu untuk sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan adalah 17,3 persen, untuk sektor industri pengolahan 16,6 persen, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,0 persen. Perkembangan PPh nonmigas sektoral dapat dilihat dalam Tabel III.5. Uraian TABEL III.5 PERKEMBANGAN PPh NONMIGAS SEKTORAL, (triliun rupiah) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 2,5 2,1 2,8 2,0 4,7 2,6 9,9 4,3 10,5 4,3 9,3 3,6 Pertambangan Migas 9,9 8,1 12,1 8,3 14,0 7,8 17,9 7,8 8,5 3,5 8,2 3,2 Pertambangan Bukan Migas 5,6 4,5 6,2 4,3 10,5 5,8 11,7 5,1 17,8 7,3 14,0 5,4 Penggalian 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 0,5 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1 Industri Pengolahan 33,9 27,7 34,7 24,0 41,9 23,3 56,6 24,7 62,7 25,7 77,8 30,0 Listrik, Gas, dan Air Bersih 3,0 2,4 5,7 3,9 4,7 2,6 5,3 2,3 5,4 2,2 8,3 3,2 Konstruksi 2,5 2,0 3,1 2,1 4,8 2,7 5,4 2,3 6,7 2,8 7,7 3,0 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 11,1 9,1 13,5 9,3 16,9 9,4 24,3 10,6 27,1 11,1 31,5 12,2 Pengangkutan dan Komunikasi 11,3 9,3 14,7 10,2 16,3 9,1 20,1 8,8 16,8 6,9 17,4 6,7 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 35,7 29,2 44,3 30,6 54,8 30,5 60,5 26,4 67,6 27,7 61,6 23,8 Jasa Lainnya 6,7 5,5 7,6 5,2 10,7 5,9 12,3 5,4 17,8 7,3 20,3 7,8 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,1 0,1 0,1 0,0 0,2 0,1 4,5 2,0 2,4 1,0 2,4 0,9 122,4 100,0 145,0 100,0 179,7 100,0 229,1 100,0 243,6 100,0 258,9 100,0 * Belum memperhitungkan penerimaan PPh valas dan BUN, transaksi yang offline, serta restitusi. Perk. Tahun 2010 sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar Rp6,0 triliun atau 8,9 persen sehingga mencapai Rp61,6 triliun. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh turunnya suku bunga Bank Indonesia yang mengakibatkan net interest margin (NIM) bank mengalami penurunan. Rata-rata suku bunga untuk semester I tahun 2010 adalah 6,5 persen, atau menurun jika dibandingkan dengan rata-rata suku bunga pada semester I tahun 2009 sebesar 7,75 persen. Sementara itu, pada tahun 2010, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp77,8 triliun, meningkat sebesar Rp17,8 triliun atau 29,7 persen bila dibandingkan dengan nilainya pada tahun Kenaikan ini terutama didukung oleh pertumbuhan sektor industri Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-11

12 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar Rp4,9 triliun atau 18,5 persen dibandingkan tahun 2009 sehingga mencapai Rp31,5 triliun. PPN dan PPnBM Penerimaaan PPN dan PPnBM selama periode mengalami pertumbuhan ratarata 17,5 persen. Secara komposisi, PPN dan PPnBM dalam negeri tumbuh rata-rata 23,8 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan PPN dan PPnBM impor yang tumbuh ratarata 8,8 persen dalam periode tersebut. Dari sisi besarnya kontribusi, PPN dan PPnBM dalam negeri mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 61,1 persen dari total penerimaan PPN dan PPnBM, sedangkan PPN dan PPnBM impor memberikan kontribusi rata-rata 38,9 persen. Dalam APBN-P tahun 2010, penerimaan PPN dan PPnBM ditargetkan sebesar Rp263,0 triliun, yang terdiri dari atas PPN dan PPnBM dalam negeri Rp163,0 triliun (63,1 persen) dan PPN dan PPnBM impor Rp99,7 triliun (37,9 persen). Perkembangan PPN dan PPnBM dalam periode dapat dilihat dalam Tabel III.6. Uraian TABEL III.6 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, (triliun rupiah) APBN-P a. PPN 94,0 92,8 118,2 96,1 147,4 95,4 198,2 94,5 184,2 95,4 253,4 96,4 PPN DN 48,8 48,1 74,8 60,8 93,3 60,3 116,7 55,7 120,4 62,4 156,4 59,5 PPN Impor 44,9 44,3 43,1 35,0 53,9 34,9 81,1 38,7 63,4 32,9 96,7 36,8 PPN Lainnya 0,3 0,3 0,3 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,3 0,1 0,3 0,1 b. PPnBM 7,3 7,2 4,8 3,9 7,1 4,6 11,5 5,5 8,9 4,6 9,5 3,6 PPnBM DN 4,9 4,8 3,1 2,5 4,7 3,0 7,5 3,6 6,1 3,2 6,6 2,5 PPnBM Impor 2,4 2,4 1,7 1,4 2,4 1,6 4,0 1,9 2,8 1,5 3,0 1,1 PPnBM Lainnya 0,0 0,0 0,002 0,002 0,021 0,01 0,012 0,01 0,015 0,01 0,01 0,004 (a+b) 101,3 100,0 123,0 100,0 154,5 100,0 209,6 100,0 193,1 100,0 263,0 100,0 Sumber : Kementerian Keuangan Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, target pada tahun 2010 tersebut meningkat Rp69,9 triliun atau 36,2 persen. Peningkatan terutama terjadi pada PPN dan PPnBM impor dengan pertumbuhan 50,4 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara umum, peningkatan PPN dan PPnBM impor tersebut sejalan dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, yang berimbas pada meningkatnya kegiatan ekspor-impor Indonesia. Di sisi lain, penerimaan PPN dan PPnBM dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 28,8 persen, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang mengakibatkan melemahnya pertumbuhan PPN dan PPnBM dalam negeri ini adalah rendahnya konsumsi Pemerintah yang pada kuartal I 2010 yang mengalami penurunan sebesar 8,8 persen (y-o-y). Pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi konsumsi Pemerintah cukup tinggi sebagai akibat dilaksanakannya kegiatan Pemilu. Perkembangan PPN dan PPnBM serta nilai impor dalam periode dapat dilihat pada Grafik III.6 dan penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2010 dapat dilihat pada Grafik III.7. III-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

13 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III triliun Rp GRAFIK III.6 PERKEMBANGAN PPN DAN PPnBM, PPN & PPnBM DN PPN & PPnBM Impor Nilai Impor Sumber: Kementerian Keuangan juta US$ triliunrp GRAFIK III.7 PENERIMAAN PPN DAN PPnBM, PPN 9,5 184,2 PPnBM 9,5 253, APBN-P Sumber: Kementerian Keuangan 2010 Secara umum, realisasi PPN secara sektoral dapat digolongkan ke dalam 12 sektor. Dalam periode , sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar, dengan rata-rata 38,8 persen. Dua kontributor utama lainnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan yang masingmasing memberikan kontribusi rata-rata 19,8 persen dan 6,6 persen. Dalam tahun 2010, diperkirakan sektor industri pengolahan menjadi kontributor utama dengan kontribusi sebesar 51,1 persen, disusul kemudian oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 22,7 persen, dan sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan dengan kontribusi sebesar 5,8 persen. Sebagian besar dari realisasi PPN merupakan PPN DN. Dalam periode , PPN DN mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 62,4 persen. Tiga sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan PPN DN adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Kontribusi rata-rata dari ketiga sektor tersebut masing-masing sebesar 31,6 persen, 17,9 persen, dan 11,8 persen dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing 28,3 persen, 22,0 persen dan 7,5 persen. Dalam tahun 2010, sebagian besar penerimaan PPN DN diperkirakan masih berasal dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi, dengan kontribusi masing-masing mencapai 44,2 persen, 18,4 persen dan 8,2 persen. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2009, tiga sektor tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan. Sektor industri pengolahan naik Rp17,1 triliun atau 34,1 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran naik Rp4,5 triliun atau 19,1 persen, dan sektor pengangkutan dan komunikasi naik Rp2,7 triliun atau 27,8 persen. Kenaikan ini sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian dalam negeri. Perkembangan penerimaan PPN DN secara sektoral dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.7. Dalam periode , penerimaan PPN impor didukung oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas yang masing-masing memberikan kontribusi rata-rata sebesar 50,7 persen, 23,1 persen, dan 19,1 persen. Pertumbuhan rata-rata dari ketiga sektor tersebut adalah sebesar 16,0 persen, 22,6 persen, dan negatif 48,8 persen. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-13

14 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah Uraian TABEL III.7 PERKEMBANGAN PPN DALAM NEGERI SEKTORAL, (triliun rupiah) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 1,6 2,8 1,8 2,2 2,0 2,0 3,1 2,7 3,5 2,8 3,3 2,2 Pertambangan Migas 2,9 5,2 16,8 21,0 14,6 14,5 17,0 15,1 3,9 3,1 2,8 1,9 Pertambangan Bukan Migas 0,8 1,4 1,3 1,6 1,8 1,8 1,4 1,2 1,9 1,5 2,1 1,4 Penggalian 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,1 Industri Pengolahan 18,5 33,2 22,3 27,9 28,6 28,4 32,2 28,6 50,2 39,9 67,3 44,2 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,4 0,8 0,6 0,7 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,6 0,9 0,6 Konstruksi 4,3 7,7 6,2 7,8 12,0 11,9 11,3 10,1 12,4 9,8 12,1 7,9 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 10,6 19,0 12,8 16,0 17,9 17,8 20,3 18,0 23,5 18,7 28,0 18,4 Pengangkutan dan Komunikasi 6,1 10,9 6,6 8,2 8,1 8,1 8,8 7,8 9,7 7,7 12,4 8,2 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 7,7 13,7 8,4 10,6 10,8 10,8 9,4 8,3 10,4 8,2 12,1 7,9 Jasa Lainnya 1,3 2,4 1,6 2,0 2,3 2,2 2,6 2,3 3,0 2,4 3,8 2,5 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 1,5 2,7 1,5 1,9 1,9 1,9 5,9 5,3 6,5 5,2 7,3 4,8 55,8 100,0 79,9 100,0 100,6 100,0 112,8 100,0 125,7 100,0 152,3 100,0 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi. Sumber : Kementerian Keuangan Pada tahun 2010, PPN impor diperkirakan akan tetap didukung oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertambangan migas. Sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran tersebut diperkirakan akan mengalami kenaikan masing-masing 47,3 persen dan 54,1 persen. Dengan demikian, sektor industri pengolahan diperkirakan akan mencapai Rp59,2 triliun dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran diperkirakan mencapai Rp28,2 triliun. Secara umum, peningkatan penerimaan di kedua sektor tersebut didukung oleh meningkatnya kinerja impor. Di sisi lain, sektor pertambangan migas diperkirakan akan mengalami penurunan sehingga mencapai Rp0,6 triliun pada akhir tahun Pertumbuhan negatif penerimaan sektor pertambangan migas menurut data modul penerimaan negara (MPN) disebabkan karena penerimaan tercatat hanya dalam bentuk rupiah, penerimaan ini belum termasuk penerimaan dalam bentuk mata uang asing. Apabila digabungkan dengan penerimaan mata uang asing terdapat pertumbuhan positif sebesar 69,1 persen. Perkembangan penerimaan PPN impor secara sektoral tahun dapat dilihat secara rinci pada Tabel III.8. Perk. Uraian TABEL III.8 PERKEMBANGAN PPN IMPOR SEKTORAL, (triliun rupiah) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 0,4 0,5 Pertambangan Migas 11,4 25,3 9,9 23,4 11,9 22,0 19,3 23,5 0,8 1,2 0,6 0,6 Pertambangan Bukan Migas 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,3 0,5 0,7 0,5 0,7 1,9 2,0 Penggalian 0,1 0,3 0,1 0,1 0,0 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 0,0 0,0 Industri Pengolahan 22,2 49,1 20,0 47,3 26,4 48,8 37,0 45,2 40,2 63,1 59,2 62,3 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,2 0,3 0,2 0,5 0,1 0,2 0,2 0,2 0,2 0,4 0,2 0,3 Konstruksi 0,5 1,2 0,4 0,9 0,5 0,9 1,3 1,6 1,0 1,5 0,9 1,0 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8,1 17,9 9,0 21,4 12,4 23,0 20,1 24,5 18,3 28,7 28,2 29,7 Pengangkutan dan Komunikasi 1,9 4,1 2,0 4,7 1,8 3,3 2,4 3,0 1,5 2,3 1,2 1,3 Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 0,4 1,0 0,4 0,9 0,4 0,8 0,7 0,9 1,0 1,6 2,2 2,3 Jasa Lainnya 0,1 0,2 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 Kegiatan yang Belum Jelas Batasannya 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 45,2 100,0 42,3 100,0 54,0 100,0 82,0 100,0 63,6 100,0 95,0 100,0 * Belum memperhitungkan PPN dari transaksi pembelian yang dilakukan K/L, transaksi yang offline, dan restitusi. Sumber : Kementerian Keuangan Real Perk. PBB dan BPHTB Realisasi PBB dan BPHTB masing-masing mengalami pertumbuhan rata-rata 10,6 persen dan 17,2 persen dalam periode Rata-rata kontribusi PBB terhadap penerimaan pajak dalam negeri adalah sebesar 4,7 persen, sedangkan BPHTB sebesar 1,0 persen. III-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

15 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III BOKS III.1 AMENDEMEN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM NOMOR 42 TAHUN 2009 LATAR BELAKANG 1. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis. 2. Perkembangan transaksi bisnis yang mengikuti kemajuan teknologi serta perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa, memerlukan penyerderhanaan sistem PPN. DASAR HUKUM 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Undang-undang Nomor 62 Tahun 2009 tentang KUP. 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. UU Nomor 18 Tahun KEBIJAKAN Pemerintah melakukan amendemen atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagai bentuk penyederhanaan sistem perpajakan dan kepastian hukum. TUJUAN 1. Dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, 2. Menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana. POKOK-POKOK PERUBAHAN UU PPN DAN PPnBM Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun Istilah baru dalam objek pajak Tidak diatur. Ekspor BKP Tidak Berwujud dan Ekspor JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%. 2. Penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan Dikenakan PPN terbatas pada penyerahan aktiva yang PPN terutang pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan. PPN dikenakan atas penyerahan seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3. Penyerahan dan bukan penyerahan BKP a. Pembiayaan syariah Dikenakan PPN pada setiap transaksi penyerahan. Dikenakan PPN, penyerahannya dianggap langsung. b. Dalam rangka restrukturisasi Dikenakan PPN. Tidak dikenakan PPN, syarat semua perusahaan terdaftar sebagai PKP. c. Persediaan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan Terbatas pada aktiva yang PPN pada saat perolehannya telah dibayar dan dapat dikreditkan. Seluruh aktiva, kecuali aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-15

16 Bab III Pendapatan Negara dan Hibah 4. NonBKP dan nonjkp (pasal 4a) Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun 2009 a. Daging, telur, susu, sayursayuran, dan buah-buahan Dibebaskan dari pengenaan PPN, melalui Peraturan Pemerintah tentang BKP Strategis. Dibebaskan dari pengenaan PPN. b. Barang hasil pertambangan Dikenakan PPN, kecuali pasir dan kerikil (Psl 4A (2) huruf a). Tidak dikenakan PPN. c. Jasa keuangan PPN tidak dikenakan atas jasa perbankan. (Psl 4A (3) huruf d). PPN tidak dikenakan atas jasa keuangan (menghimpun, menempatkan, dan meminjam dana; pembiayaan; penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai; penjaminan). d. Jasa tertentu PPN dikenakan atas jasa: penyediaan parkir; telepon umum (koin); pengiriman uang dengan wesel pos; serta jasa boga/catering. Menjadi tidak dikenakan PPN. 5. Barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN 6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Sebelumnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ditetapkan langsung di dalam penjelasan Undang-Undang (Pasal 4A). PKP bertambah: 1. Eksportir JKP, 2. Eksportir BKP tidak berwujud. 7. Retur atas penyerahan JKP Tidak diatur. PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan dapat dikurangkan. 8. a. Kriteria BKP mewah (1) Bukan kebutuhan pokok; (2) Dikonsumsi masyarakat tertentu; (3) Dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi; (4) Menunjukkan status; (5) Merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban. Kriteria nomor 5 dihapus. b. Tarif PPnBM Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 75%. Tarif paling rendah 10% dan Paling Tinggi 200%. 9. Restitusi a. Saat Pengajuan Restitusi (Pasal 9 (4a), (4b)) Seluruh PKP dapat melakukan restitusi pada setiap masa pajak (Psl 9 (4)). Hanya PKP tertentu, yaitu PKP: (1) Eksportir; (2) Dengan penyerahan kepada Pemungut PPN; (3) Mendapat fasilitas tidak dipungut PPN; (4) Belum berproduksi. Restitusi PKP lain pada akhir tahun buku. (Psl 9 (4a)) b. Pengembalian Pendahuluan Hanya diberikan kepada WP Patuh dan WP dengan Persyaratan Tertentu. 1. Mengatur pengembalian pendahuluan bagi PKP Eksportir, PKP dengan penyerahan kepada Pemungut PPN, dan PKP yang mendapat fasilitas tidak dipungut PPN, yang berisiko rendah. 2. Sanksi bunga 2% per bulan paling lama 24 bulan, bila terbit SKPKB. c. Restitusi untuk Turis Asing Tidak diatur. PPN atas barang bawaan dapat direstitusi melalui bandara tertentu, dengan syarat tertentu. 10. Deemed Pajak Masukan 11. Pengkreditan Pajak Masukan (PM) a. PM yang boleh dikreditkan oleh PKP yang belum berproduksi 1. Hanya mengatur untuk PKP yang menggunakan norma PPh. 2. Deemed PM bagi PKP kegiatan tertentu belum diatur. Seluruh PM (Pasal 9 (2a)). Berlaku bagi PKP baik orang pribadi maupun badan yang: 1. Memiliki omzet tertentu; dan 2. Melakukan kegiatan tertentu. Terbatas PM yang berasal dari perolehan dan/atau impor barang modal. Dalam hal PKP gagal berproduksi, maka PM yang telah dikreditkan dan telah direstitusi harus dibayar kembali. b. Pengkreditan PM atas BKP yang dialihkan dalam rangka restrukturisasi Tidak diatur (pada perubahan kedua UU PPN, ketentuan ini dihapus). Menghidupkan kembali rumusan Pasal 9 ayat (14) yaitu dalam hal restrukturisasi, maka PM atas BKP yang dialihkan yang belum dikreditkan dapat dikreditkan oleh PKP. III-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011

17 Pendapatan Negara dan Hibah Bab III Uraian UU No 12 Tahun 2000 UU No 42 Tahun Pemusatan tempat PPN WP mengajukan permohonan, pemberian ijin berdasarkan pemeriksaan. Cukup dengan pemberitahuan oleh WP, pemeriksaan dilakukan kemudian dalam hal diperlukan. 13. Faktur Pajak (FP) a. Saat Pembuatan FP Paling lama akhir bulan berikutnya atau pada saat pembayaran (Peraturan Dirjen Pajak). Diatur dalam Undang-Undang (Psl 13 (1a)) yaitu saat penyerahan atau pada saat pembayaran. b. Jenis FP Jenis FP yaitu Standar dan Sederhana. Hanya ada istilah Faktur Pajak. c. Sanksi atas pelanggaran syarat formal FP PKP akan dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memenuhi syarat formal FP, antara lain: (1) Identitas pembeli; atau (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan (Pasal 13 ayat (5)). PKP tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan FP yang tidak memuat: (1) Identitas pembeli; atau (2) Identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang eceran. FP tersebut tidak dikategorikan sebagai FP cacat, namun FP tidak dapat dikreditkan oleh pembelinya. d. Syarat formal & material Diatur dalam penjelasan Pasal 13 ayat (5)). Diatur dalam batang tubuh yaitu Pasal 13 ayat (9). 14. a. Saat penyetoran PPN b. Saat pelaporan PPN Paling lama pada tanggal 15 setelah berakhirnya Masa Pajak. Paling lama pada tanggal 20 setelah berakhirnya Masa Pajak. Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa. 15. Fasilitas perpajakan (pasal 16b) Belum ada dasar hukum untuk pemberian fasilitas kegiatan-kegiatan tertentu. Memberikan dasar hukum atas pemberian fasilitas sebagai berikut: 1. Perwakilan negara asing dibebaskan PPN dan PPnBM; 2. Proyek Pemerintah yang dibiayai hibah LN tidak dipungut PPN dan PPnBM; 3. Impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan tidak dipungut PPN dan PPn BM; 4. Fasilitas PPN bagi kegiatan penanggulangan bencana alam nasional; 5. Pembebasan PPN bagi listrik & air; 6. Menjamin tersedianya angkutan umum di udara; 7. Bebas PPN bagi penyerahan perak sebagai bahan baku kerajinan. 16. Tanggung renteng Tidak lagi diatur dalam UU KUP dan UU PPN. Diatur kembali dalam UU PPN. Faktor utama yang mendorong terjadinya peningkatan penerimaan PBB adalah naiknya nilai jual objek pajak (NJOP) dari tahun ke tahun dan perluasan objek PBB. Faktor yang mempengaruhi NJOP adalah harga pasar properti baik tanah maupun bangunan. Khusus untuk PBB sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, kenaikan NJOP juga dipengaruhi oleh nilai produksinya. Meningkatnya penerimaan PBB terutama didukung oleh PBB pertambangan yang dalam periode mengalami peningkatan ratarata sebesar 22,3 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya penerimaan PBB pertambangan antara lain ICP yang cenderung naik dan jumlah areal pertambangan yang terus bertambah. Sementara itu, peningkatan penerimaan BPHTB terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan. Sebagaimana diketahui, kegiatan usaha di bidang properti sempat mengalami booming pada periode , meskipun agak melemah pada tahun 2008 dan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 III-17

BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH Pendapatan Negara dan Hibah Bab III BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 3.1 Umum Perkembangan realisasi pendapatan negara dan hibah dalam periode 2005-2008 menunjukkan adanya tren kenaikan dengan rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang. Pembayar pajak tidak mendapat

Lebih terperinci

BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH Pendapatan Negara dan Hibah 2009 Bab III 3.1 Umum BAB III PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH Dalam periode 2005 2007, realisasi pendapatan negara dan hibah menunjukkan perkembangan yang pesat, yaitu dengan pertumbuhan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009. 1 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal dan implementasi perencanaan pembangunan setiap tahun. Strategi dan pengelolaan

Lebih terperinci

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA NOTA KEUANGAN DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA Daftar Isi DAFTAR ISI Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik... Daftar Boks... BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-146/PJ./2006 TENTANG BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN

Lebih terperinci

BAB II PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH RAPBN-P 2008

BAB II PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH RAPBN-P 2008 Pendapatan Negara dan Hibah BAB II PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 2.1. Pendahuluan Dengan mengevaluasi pelaksanaan APBN-P 2007 serta memantau pelaksanaan APBN pada awal tahun 2008, pendapatan negara dan hibah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Definisi pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut: Pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang berada di wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta jiwa 1. Sedangkan usia produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Karena pajak mempunyai fungsi sebagai budgetair yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Karena pajak mempunyai fungsi sebagai budgetair yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting selain penerimaan bukan pajak. Pembayaran pajak sangat penting bagi negara untuk pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr. BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar - dasar Perpajakan Indonesia II.1.1 Definisi dan Unsur Pajak Dibawah ini terdapat beberapa definisi-definisi dan unsur pajak yang terangkum tentang pajak yang dikemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara, terutama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara, terutama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara, terutama di Indonesia memerlukan dana yang jumlahnya setiap tahun semakin meningkat. Perkembangan perekonomian global,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan sebesar 6,0%.

Lebih terperinci

REALISASI PENDAPATAN NEGARA SEMESTER I 2012

REALISASI PENDAPATAN NEGARA SEMESTER I 2012 REALISASI PENDAPATAN NEGARA SEMESTER I 2012 Penerimaan Perpajakan Dalam Semester I Tahun 2012 Realisasi penerimaan perpajakan sampai dengan semester I 2012 mencapai Rp456.774,0 miliar, atau 44,9 persen

Lebih terperinci

Bab 3. Penjelasan Mengenai Ketentuan Sunset Policy Berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Bab 3. Penjelasan Mengenai Ketentuan Sunset Policy Berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 32 Bab 3 Penjelasan Mengenai Ketentuan Sunset Policy Berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 3.1 Pengertian Istilah Sunset Policy Direktorat Jenderal Pajak mengkampanyekan

Lebih terperinci

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

Perpajakan 2 PPN & PPnBM Perpajakan 2 PPN & PPnBM 18 Februari 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Karakteristik PPN 1. Pajak tidak langsung Beban pajak dipikul oleh konsumen akhir. Pengusaha akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan tugas di daerah, dibentuk beberapa kantor Inspektorat Daerah Pajak (ITDA) yaitu di Jakarta dan beberapa daerah

Lebih terperinci

SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK

SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK SKEMA KEMUNGKINAN PENGEMBALIAN PAJAK Berdasarkan litelatur perpajakan dan KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN yang saya baca, kemungkinan pengembalian pajak lebih banyak diberikan kepada wajib pajak secara perorangan

Lebih terperinci

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) 139 BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PENGERTIAN Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pelunasan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi pembelian barang atau perolehan jasa dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting selain penerimaan bukan pajak. Pembayaran pajak sangat penting bagi negara untuk pelaksanaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009 Disusun oleh : SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009 Oktober 2009 begawan5060@gmail.com begawan5060 1 Pasal 1 Pengertian 1 Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak II.1.1 Definisi Pajak dan Ciri Ciri Pajak Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Anggaran Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Anggaran Penerimaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan agar tercapai kemakmuran dan kesejahteraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 Menimbang : a. TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

Pengertian. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kelebihan PPN 30/04/2011

Pengertian. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kelebihan PPN 30/04/2011 Pajak Pertambahan Nilai (PPn) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila membahas pengertian pajak, banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya berasal dari penerimaan pajak.

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya berasal dari penerimaan pajak. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemandirian suatu negara tidak terlepas dari tingkat pendapatannya yang baik. Pendapatan negara bersumber dari danaeksternal maupun internal. Dana eksternal diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4.

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini sedang mengalami permasalahan di berbagai sektor, salah satunya adalah sektor ekonomi. Inflasi yang cenderung mengalami peningkatan, naiknya harga

Lebih terperinci

UU NO 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA UU PPN 1984 DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 2010

UU NO 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA UU PPN 1984 DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 2010 UU NO 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA UU PPN 1984 DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 2010 UU NO 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA UU PPN 1984 Oleh: Bambang Kesit Accounting Department, UII Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman, di antaranya dengan. mengembangkan e-government sebagai trend global birokrasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman, di antaranya dengan. mengembangkan e-government sebagai trend global birokrasi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya kehidupan tidak pernah lepas dari sebuah tuntutan akan perkembangan. Hal ini dibuktikan dengan perubahan dari zaman ke zaman. Sudah selayaknya dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran rakyat, penetapan APBN sendiri dilakukan setelah ada pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran rakyat, penetapan APBN sendiri dilakukan setelah ada pembahasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur pengeluaran

Lebih terperinci

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2013

EVALUASI PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2013 EVALUASI PENERIMAAN PAJAK TAHUN 2013 DISKUSI PUBLIK Jakarta, 19 Desember 2013 WIKO SAPUTRA Peneliti Kebijakan Ekonomi dan Publik PERKUMPULAN PRAKARSA PENDAHULUAN Penerimaan pajak berkontribusi sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maju dan sejahtera. Dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. maju dan sejahtera. Dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang secara terus menerus melakukan pembangunan untuk dapat menjadi negara yang maju dan sejahtera. Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang ada di Asia Tenggara.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang ada di Asia Tenggara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara berkembang yang ada di Asia Tenggara. Salah satu tujuan nasional negara Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib

BAB I PENDAHULUAN. dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 30 SEPTEMBER 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/ Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/2014-00 Apa yang dimaksud Emas Perhiasan? Emas perhiasan adalah perhiasan dalam bentuk apapun yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendapatan negara memiliki dua komponen yakni penerimaan dalam negeri dan hibah. Sebagaimana tercantum di dalam Nota Keuangan 0 pendapatan negara selain menjadi sumber pembiayaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1.1 Definisi Pajak Dalam Suandy (2011:5) Pajak di definisikan sebagai pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang dan jasa

Lebih terperinci

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali Topik 4 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Sub Topik 1. UU PPN 2. Pengertian dalam

Lebih terperinci

FORMULIR 2 RENCANA KERJA KEMENTRIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2017 1. Kementrian/Lembaga : KEMENTERIAN KEUANGAN 2. Sasaran Strategis K/L : 1.Terjaganya Kesinambungan Fiskal 3. Program : Program

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Materi: 2 & 3 KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Afifudin, SE., M.SA., Ak. (Fakultas Ekonomi-Akuntansi Unisma) Jl. MT. Haryono 193 Telp. 0341-571996, Fax. 0341-552229 E-mail: afifudin26@gmail.com atau

Lebih terperinci

pemungutan pajak dimana wajib pajak menghitung sendiri pajak terutangnya serta secara mandiri menyetorkan ke bank atau kantor pos dan melaporkannya

pemungutan pajak dimana wajib pajak menghitung sendiri pajak terutangnya serta secara mandiri menyetorkan ke bank atau kantor pos dan melaporkannya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penerimaan negara dapat dilihat dari dua sektor, yaitu sektor

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penerimaan negara dapat dilihat dari dua sektor, yaitu sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber penerimaan negara dapat dilihat dari dua sektor, yaitu sektor migas dan sektor non migas. Salah satu penerimaan negara yang bersumber dari sektor non migas adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 110, 2005 APBN. Pendapatan. Pajak. Bantuan. Hibah. Belanja Negara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti bahwa pada pendapatan negara sebesar Rp Triliun bersumber

BAB I PENDAHULUAN. terbukti bahwa pada pendapatan negara sebesar Rp Triliun bersumber digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan pendapatan negara terbesar yang digunakan untuk pembangunan di dalam negara dan membiayai pengeluaran negara. Hal ini terbukti bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH...

TINJAUAN MATA KULIAH... iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... ix MODUL 1: PEMANFAATAN ATAS BKP TIDAK BERWUJUD DAN JKP DARI LUAR DAERAH PABEAN DAN PPN ATAS OBJEK PASAL 16C DAN PASAL 16D 1.1 Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan

Lebih terperinci

KINERJA PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN PERTIMBANGAN APBN-P 2010

KINERJA PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN PERTIMBANGAN APBN-P 2010 KINERJA PENERIMAAN PERPAJAKAN DAN PERTIMBANGAN APBN-P 2010 Latar Belakang Masalah Komponen perpajakan merupakan penyumbang terbesar pendapatan negara. Dalam tiga tahun terakhir total penerimaan perpajakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negeri berasal dari penjualan migas dan nonmigas serta pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

BAB I PENDAHULUAN. negeri berasal dari penjualan migas dan nonmigas serta pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1.Landasan Teori 2.1.1. Definisi Pajak Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu wujudkan masyarakat adil dan makmur kita perlu melaksanakan pembangunan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Umum... 1.2 Realisasi Semester I Tahun 2013... 1.2.1 Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Semester

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA OBJEK PPN a. PENYERAHAN BKP DAN JKP DI DALAM DAERAH PABEAN YANG DILAKUKAN OLEH PENGUSAHA; b. IMPOR BKP; c. PEMANFAATAN BKP TIDAK BERWUJUD DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SAMPAI DENGAN 31 AGUSTUS 2009 I. ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam UU APBN 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional adalah kegiatan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka pemerintah perlu

Lebih terperinci

C. PKP Rekanan PKP Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN

C. PKP Rekanan PKP Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-382/PJ/2002 Tanggal : 13 Agustus 2002 A. Singkatan 1. APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2. APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Mekanisme Pemungutan PPh Ps. 22, PPN, dan Bea Masuk Atas Impor BKP PT. Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry merupakan perusahaan yang bergerak di bidang

Lebih terperinci

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh Triwulan I - 2015 LAPORAN LIAISON Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas, tercermin dari penjualan domestik pada triwulan I-2015 yang menurun dibandingkan periode

Lebih terperinci

PENERIMAAN PERPAJAKAN SEKTOR EKONOMI TRADABLE DAN NON TRADABLE

PENERIMAAN PERPAJAKAN SEKTOR EKONOMI TRADABLE DAN NON TRADABLE PENERIMAAN PERPAJAKAN SEKTOR EKONOMI TRADABLE DAN NON TRADABLE Abstrak Laju pertumbuhan sektor non-tradable lebih tinggi dari pada sektor tradable dan kontribusi penerimaan pajak terbesar pada sektor non-tradable,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan, yakni pada tahun 2015 besarnya belanja negara sebesar

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan, yakni pada tahun 2015 besarnya belanja negara sebesar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Untuk mensukseskan pembangunan nasional, peranan penerimaan dalam negeri sangat penting dan mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Pembangunan tidak akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) adalah untuk pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang dimaksud adalah penciptaan akselerasi

Lebih terperinci

TABEL KODE AKUN PAJAK DAN KODE JENIS SETORAN

TABEL KODE AKUN PAJAK DAN KODE JENIS SETORAN LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 38 /PJ/2009, TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PAJAK TABEL AKUN PAJAK DAN 1. Kode Akun Pajak 411121 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 21 100 Masa PPh Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makalah Pemeriksaan Pajak Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Makalah Pemeriksaan Pajak Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan

Lebih terperinci

FAKTUR PAJAK STANDAR

FAKTUR PAJAK STANDAR FAKTUR PAJAK STANDAR Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak : Pengusaha Kena Pajak : Alamat : NPWP : Tanggal Pengukuhan PKP : Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak : Alamat : NPWP : NPPKP : No.

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa

Lebih terperinci

B. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013

B. Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2013 EVALUASI RENDAHNYA REALISASI PENDAPATAN NEGARA TAHUN 2013 Abstrak Penerimaan Negara merupakan pemasukan yang diperoleh Negara dan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah. Penerimaan pajak memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. KETERANGAN PERS Pokok-Pokok UU APBN-P 2016 dan Pengampunan Pajak

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. KETERANGAN PERS Pokok-Pokok UU APBN-P 2016 dan Pengampunan Pajak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA GEDUNG DJUANDA I, JALAN DR. WAHIDIN NOMOR I, JAKARTA 10710, KOTAK POS 21 TELEPON (021) 3449230 (20 saluran) FAKSIMILE (021) 3500847; SITUS www.kemenkeu.go.id KETERANGAN

Lebih terperinci

PAKET KEBIJAKAN EKONOMI XI

PAKET KEBIJAKAN EKONOMI XI PAKET KEBIJAKAN EKONOMI XI Pemerintahan Presiden Joko Widodo terus berusaha mempercepat laju roda perekonomian nasonal. Di tengah perekonomian global yang masih lesu, Indonesia terus berusaha meningkatkan

Lebih terperinci

Paket Kebijakan Ekonomi XI: Meningkatkan Daya Saing Nasional Dalam Pertarungan Ekonomi Global

Paket Kebijakan Ekonomi XI: Meningkatkan Daya Saing Nasional Dalam Pertarungan Ekonomi Global Paket Kebijakan Ekonomi XI: Meningkatkan Daya Saing Nasional Dalam Pertarungan Ekonomi Global Pemerintahan Presiden Joko Widodo terus berusaha mempercepat laju roda perekonomian nasonal. Di tengah perekonomian

Lebih terperinci

Evaluasi Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai di PT IO

Evaluasi Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai di PT IO Evaluasi Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai di PT IO ABSTRAK Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor perusahaan ke sektor publik. Salah satu pajak yang sangat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB VII PERANCANGAN PROGRAM

BAB VII PERANCANGAN PROGRAM BAB VII PERANCANGAN PROGRAM Mardiasmo dan Makhfatih (2000) mengatakan bahwa potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat

Lebih terperinci

Strategi & Tantangan Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016

Strategi & Tantangan Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016 KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PA JAK Strategi & Tantangan Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016 Seminar Nasional Optimalisasi Penerimaan Pajak : Strategi & Tantangan Auditorium BRI, Gedung

Lebih terperinci

RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA

RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA 1. Pembayaran atau Penyetoran Pajak yang Terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa yang Dilakukan Setelah Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran atau Penyetoran Pajak

Lebih terperinci

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Subject 3 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Presented By : Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Subjects

Lebih terperinci

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009 PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009 UU No 8 Th 1983 stdtd UU No 18 Th 2000 UU No 42 Tahun 2009 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi saat ini di negara

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi saat ini di negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi saat ini di negara Indonesia dan semakin bertambahnya jumlah penduduk bangsa Indonesia maka, harus diiringi dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Monica (2013), menyatakan bahwa dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Monica (2013), menyatakan bahwa dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia hingga saat ini masih menjadi negara yang sedang berkembang dan tidak henti-hentinya melakukan upaya pembangunan di segala bidang yang bertujuan

Lebih terperinci

PERTEMUAN 12 By Ely Suhayati SE MSi Ak. PPN DAN PPnBM

PERTEMUAN 12 By Ely Suhayati SE MSi Ak. PPN DAN PPnBM PERTEMUAN 12 By Ely Suhayati SE MSi Ak PPN DAN PPnBM PAJAK ATAS NILAI TAMBAH PPN yang ditetapkan dengan UU no.18 tahun 2000 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (Value Added) yang

Lebih terperinci

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai Berbagi informasi terkini bersama teman-teman Anda Jakarta Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH Objek Pemungutan PPN dan PPn BM 1. Penyerahan BKP dan atau JKP oleh PKP Rekanan 2. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah Pabean di

Lebih terperinci

Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP

Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2018 TENTANG TEMPAT PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN/ATAU TEMPAT PELAPORAN USAHA PENGUSAHA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2018 TENTANG TEMPAT PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN/ATAU TEMPAT PELAPORAN USAHA PENGUSAHA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2018 TENTANG TEMPAT PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN/ATAU TEMPAT PELAPORAN USAHA PENGUSAHA KENA PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK DI LINGKUNGAN KANTOR WILAYAH

Lebih terperinci

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara

Keuangan Negara dan Perpajakan. Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara Keuangan Negara dan Perpajakan Avni Prasetia Putri Fadhil Aryo Bimo Nurul Salsabila Roma Shendry Agatha Tasya Joesiwara SUMBER-SUMBER PENERIMAAN NEGARA SUMBER PENERIMAAN Pajak Retribusi Keuntungan BUMN/BUMD

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG 26 Maret 2010 PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 14/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Subject 3. Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Subject 3 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa & Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Presented By : Nyoman Darmayasa Bali State Polytechnic 2012 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Subjects

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Oleh Ruly Wiliandri

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Oleh Ruly Wiliandri Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Oleh Ruly Wiliandri Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994, dan UU No. 16 Tahun 2000 dan yang terakhir diatur dalam UU No. 28 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu sumber utama penerimaan pemerintah di beberapa negara pada

BAB I PENDAHULUAN. salah satu sumber utama penerimaan pemerintah di beberapa negara pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sektor terpenting dalam pembangunan dan merupakan salah satu sumber utama penerimaan pemerintah di beberapa negara pada umumnya, tanpa pajak

Lebih terperinci