PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON"

Transkripsi

1 84 PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 85 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Bogor, Agustus 2008 Muhammad M. Banapon C

3 86 Abstract Muhammad M Banapon C Assessment Economy of Marine Tourism in Morotai Island, North Halmahera District of North Molucas Province. Supervised by Tridoyo Kusumastanto, Sapta Nirwandar, and Luky Adrianto. The aims of this research are: (1) to know carrying capacity of Morotai Island for coastal and marine tourism development, (2) to estimate the economic value marine coastal and tourism in Morotai Island,(3) to understand the dynamic model behavior of marine tourism in Morotai Island. In order to achieve such objectives, ecological carrying capacity model, TCM and CVM model and system dynamic model were used. Result of this research show that the total economic value for tourism is Rp ,05 per year, total willingness to pay (WTP) for tourism is Rp ,29 per year, and maximal carrying capacity for tourist is per person per day. Beside that, tourist factor, environment factor, and investment factor have high interaction on marine tourism development in Morotai Island. Key Words: Carrying Capacity, Economic Assessment, Development Police, Marine Tourism.

4 87 RINGKASAN Muhammad M Banapon C Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Provinsi Utara Maluku Utara. Dibimbing oleh Tridoyo Kusumastanto, Sapta Nirwandar, dan Luky Adrianto. Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati sumberdaya pesisir, laut dan Pulau-pulau Kecil (PPK) merupakan modal pembangunan yang sangat potensial. Provinsi Maluku Utara (Malut) sebagai daerah kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 500 buah yang telah berpenghuni 64 buah. Kabupaten Halmahera Utara sebagai bagian wilayah Provinsi Malut yang memiliki pulau kurang-lebih 76 buah, dengan 57 buah pulau telah bernama dan 19 buah pulau belum bernama. Salah satu pulau yang memiliki nilai sejarah dunia adalah Pulau Morotai yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang memungkinkan untuk pengembangan wisata bahari, karena memiliki nilai sejarah yang tinggi dan keanekaragaman hayati yang potensial untuk dikembangkan. Agar pengembangan wisata bahari dapat dilaksanakan dengan optimal dan lestari, maka kajian yang meliputi analisis daya dukung fisik, ekonomi dan kebijakan pengembangan sangat diperlukan. Kajian tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam membangun wisata bahari yang berkelanjutan di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Tujuan dari penelitian adalah: Mengetahui daya dukung Pulau Morotai untuk wisata bahari; Mengestimasi nilai ekonomi Pulau Morotai untuk wisata bahari; Merumuskan kebijakan pengembangan wisata bahari Pulau Morotai. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Dari 100 orang responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, 52 persen mengaku belum puas atas ketersediaan sarana transportasi menuju Pulau Morotai. Khusus di Kecamatan Morotai Selatan terdapat tujuh buah landasan pacu bandara bekas PD II, namun hanya satu buah yang berfungsi. Landasan ini hanya mampu mengakses daerah-daerah tertentu saja. Diketahui luas area pantai Pulau Morotai m 2. Menurut Yulianda (2007), luas area yang dibutuhkan 1 orang untuk rekreasi pantai adalah 50m2, dan total waktu yang digunakan oleh wisatawan untuk wisata pantai sebanyak 6 jam, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk berwisata adalah 3 jam perhari. Dengan demikian, rata-rata waktu yang dibutuhkan wisatawan untuk kegiatan wisata pantai di Pulau Morotai sebanyak 2 jam perhari. Sehingga diketahui daya dukung wisatawan untuk wisata pantai di Pulau Morotai maksimal hanya bisa menampung sebanyak orang perhari. Manfaat ekonomi kawasan Pulau Morotai untuk wisata diketahui melalui besarnya pengeluaran wisatawan yang datang. Adapun jenis biaya yang dikeluarkan, antara lain biaya transportasi, konsumsi, akomodasi, belanja souvenir dan biaya lainnya. Semua biaya ini dihitung dari semenjak wisatawan berangkat dari daerah asal hingga di kawasan Pulau Morotai. Dari kegiatan-kegiatan ini menimbulkan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wisatawan yang menjadi benefit dari kawasan wisata Pulau Morotai setelah dihitung melalui prosedur perhitungan valuasi manfaat tidak langsung. Metode yang digunakan untuk menduga nilai sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market goods) adalah dengan menggunakan metode

5 biaya perjalanan/tcm. Metode ini memiliki asumsi dasar bahwa setiap individu baik aktual maupun potensial, bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan manfaat tertentu tanpa harus membayar nilai masuk (no entrey fee). Manfaat langsung yang bersifat tidak ekstraktif seperti dari wisata rekreasi pantai, diving, snorkling, wisata sejarah, wisata budaya, diperoleh melalui besaran pengeluaran para wisatawan yang mendatangi kawasan konservasi. Dalam fungsi permintaan yang digunakan dalam penelitian ini, pengeluaran wisatawan dipengaruhi oleh biaya perjalanan, pendapatan, pendidikan, umur dan jarak. Dalam regresi ini, total pengeluaran wisatawan merupakan variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen seperti, biaya transportasi, pendapatan, pendidikan, umur, dan jarak. Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka surplus konsumen perindividu adalah Rp ,6. Dengan total kunjungan pada tahun 2007 sebesar ,0 orang per tahun, maka diperoleh total konsumen surplus untuk wisata bahari Pulau Morotai sebesar Rp ,1 pertahun. Fungsi WTP individu dari responden yang berwisata ke Pulau Morotai diperoleh dengan memasukkan koefisien hasil regresi ke dalam fungsi WTP. Variabel-variabel yang mempengaruhi WTP wisatawan antara lain pendidikan, pendapatan dan umur. Dengan memasukkan nilai rata-rata individu parameter ke dalam fungsi WTP, maka diperoleh nilai WTP individu sebesar Rp ,9 perorang. Dengan demikian total nilai wisata bahari Pulau Morotai adalah sebesar Rp ,3 pertahun dengan asumsi total kunjungan sebesar ,0 orang Rendahnya nilai ekonomi wisata bahari dengan menggunakan metode TCM disebabkan karena tingkat kunjungan dari wisatawan ke Pulau Morotai masih tergolong kecil. Tinggi rendahnya nilai ekonomi dari suatu kawasan wisata dipengaruhi olah jumlah wisatawan yang datang berkunjung untuk menikmati keindahan sumberdaya tersebut. Hal ini terkait dengan tingkat kepuasan yang diperoleh wisatawan di kawasan tersebut. Sehingga nilai tersebut dicerminkan dari seberapa besar wisatawan mau mengeluarkan biaya untuk memperoleh kepuasan tersebut. Tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan wisata Pulau Morotai berkaitan dengan seberapa sering seorang wisatawan berkunjung ke lokasi tersebut. Hal ini juga mencerminkan tingkat kepuasan dan tingkat kesukaan wisatawan terhadap lokasi wisata tersebut. Fungsi permintaan wisatawan di kawasan wisata Pulau Morotai diperoleh dengan meregresikan variabel terikat jumlah kunjungan terhadap variabel bebas yang terdiri dari biaya perjalanan, pendapatan, umur dan jarak. Dari hasil analisis TCM dari responden yang telah melakukan perjalanan ke Pulau Morotai dan hasil analisis CVM dari responden tentang preferensi terhadap pengembangan wisata bahari Pulau Morotai. Maka dapat dikatakan bahwa kawasan wisata Pulau Morotai layak secara ekonomi untuk dapat dikembangkan. Diketahui nilai ekonomi dari kawasan tersebut sebesar Rp ,1 per tahun. Sedangkan nilai ekonomi pada pendugaan konsumen surplus yaitu sebesar Rp. 1,765.60,0 per orang per tahun. Begitu juga dengan nilai WTP dari responden, setelah di uji dengan metode CVM diperoleh nilai WTP wisatawan Rp ,9 perorang pertahun. Nilai total WTP dari terhadap rencana pengembangan kawasan wisata Pulau 88

6 89 Morotai yaitu sebesar Rp ,3 pertahun. Dengan demikian secara ekonomi Pulau Morotai sangat layak untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. Keberlanjutan arus jasa wisata bahari yang dihasilkan di Pulau Morotai dalam model minimal, akan sangat tergantung pada tiga komponen yaitu kondisi lingkungan (Environment), tingkat investasi (Capital) yang ditanamkan, dan kegiatan wisata itu sendiri (Tourism). Setiap turis yang datang ke Pulau Morotai karena ada daya tarik (Attractive factor) seperti keindahan alam bawah laut, maupun keindahan wilayah pesisir untuk berwisata. Kesadaran dan kepedulian wisatawan pada lingkungan dan sumberdaya alam sangat mempengaruhi besarnya nilai WTP yang diberikan. Besar kecilnya nilai WTP yang diberikan menunjukkan tingkat preferensi dan kepedulian wisatawan terhadap perlunya pemeliharaan lingkungan dan sumberdaya alam yang menjadi obyek wisata di Pulau Morotai. Dalam rangka rencana pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai, maka ketiga faktor di atas harus diperhitungkan. Dari hubungan causal loop antar ketiga variabel tersebut. Misalnya jika tingkat investasi tinggi maka tingkat kunjungan wisatawan juga akan tinggi, karena fasilitas yang dibutuhkan oleh para wisatawan bisa disediakan oleh pihak investor, begitu juga sebaliknya. Dalam domain ekonomi, asumsi dasar yang digunakan adalah ekonomi sektor wisata bahari dalam konteks pengembangan PPK. Dalam sektor wisata bahari, grossoutput dari kegiatan ini didekati dari faktor jumlah turis dan harga per turis. Karena fokus studi ini adalah kegiatan wisata bahari, maka dinamika sektor ekonomi lain merupakan dependent variable terhadap sektor wisata bahari. Diketahui investasi awal di sektor wisata bahari di Pulau Morotai sebesar Rp miliar pertahun, keseluruhan investasi ini berasal dari pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara. Investasi swasta belum masuk karena merupakan kawasan yang baru mulai dikembangkan. Prasarana dan Sarana yang menunjang perkembangan wisata ini juga masih terbatas. Sehingga pihak swasta belum tertarik untuk melakukan investasi. Berdasarkan teori ekonomi, investasi pada suatu sektor akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga pinjaman. Makin rendah tingkat suku bunga pinjaman maka makin tinggi kecenderungan investasi. Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila tingkat kunjungan wisata mengalami peningkatan yang drastis. Maka akan terjadi penurunan kualitas lingkungan di sekitar kawasan wisata Pulau Morotai yang dapat berdampak pada investasi sektor wisata akan terus mengalami penurunan. Jika investasi ditingkatkan, maka akan berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisata, sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan akan semakin menurun, sehingga peningkatan investasi harus sesuai dengan daya dukung Pulau Morotai. Kata kunci: Daya Dukung, Penilaian Ekonomi, Kebijakan Pembangunan, Wisata Bahari.

7 90 Hak Cipta Milik Muhammad M. Banapon, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 91 PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

9 92 Judul Tesis : Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara Nama : Muhammad M. Banapon NRP : C Disetujui, Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,Ms Ketua Dr. Sapta Nirwandar Anggota Dr.Ir. Luky Adrianto,MSc. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Dekan, Sekolah Pascasarjana IPB Prof.Dr.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,MS Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro,MS Tanggal Ujian: 25 Agustus 2008 Tanggal Lulus:

10 93 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga penelitian dengan Judul: 'Penilaian Ekonomi Wisata Bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara', dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS; dan Bapak Dr. Sapta Nirwandar; serta Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc, selaku Komisi Pembimbing, serta seluruh Staf Pengajar Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS., selaku ketua program studi serta seluruh Staf Pengajar Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (PS-ESK) yang telah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk menimba ilmu serta memberi pencerahan pengetahuan selama masa perkuliahan. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan di PS-ESK, Rizal Baktiar, Suhana, Abdurrahim Lestaluhu, Ovi Oktawati serta seluruh rekan-rekan dari Forum ESK-IPB. Ucapan terma kasih, penulis haturkan kepada, Kakak, Adik serta seluruh keluarga atas dukungan moril, materil dan spirituil kepada penulis selama ini, apa yang telah diberikan pada penulis selama ini mungkin tidak akan mampu terbalas. Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat diaplikasikan bagi kemaslahatan hidup dimasa yang akan datang. Amin. Bogor, Agustus 2008 Penulis, Muhammad M. Banapon

11 94 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Waigoiyofa Sanana Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara pada Tanggal 25 Maret 1969 sebagai anak ke 8 dari Mahmud Banapon (almarhum) dan Hawa Fokatea (almarhuma). Penulis menyelesaikan pedidikan di sekolah dasar negeri Waigoiyofa Sanana tahun 1983, sekolah SMP Alhilaal Sanana Kabupaten Kepulauan Sula tahun 1986, sekolah menengah atas pada SMA Negeri I Ternate Provinsi Maluku Utara tahun 1989, dan menyelesaikan sekolah Strata I di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia Makassar Provinsi Sulawesi Selatan tahun Pada tahun 2004 penulis melanjutkan kuliah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor/IPB Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika/ESK. Pada Tahun 2002 penulis diterima bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Budidaya Perairan Universitas Khairun (UNKHAIR) Ternate Provinsi Maluku Utara sampai sekarang.

12 95 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iii I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Valuasi Ekonomi Sumberdaya PPK Permintaan dan Penawaran Wisata Batasan dan Karakteristik PPK Daya Dukung Wisata Bahari PPK Pengelolaaan Sumberdaya PPK Pengembangan Wisata Bahari Berkelanjutan Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Jenis Data Metode Analisis Daya Dukung Wisata Bahari Biaya Perjalanan/TCM Metode Kontingensi/CVM Analisis Dinamik Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari Batasan Penelitian V. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Batas Administrasi Kondisi Fisik Wilayah Iklim Ekosistem Terumbu Karang Kependudukan, Sosial, dan Ekonomi Jumlah Penduduk Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk... 39

13 Potensi Daerah Perikanan Peternakan Tanaman Pangan Perkebunan Kehutanan Industri dan Pertambangan Perdagangan dan Jasa Fasilitas Pelayanan Umum Sarana Pendidikan Sarana Kesehatan Transportasi VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Wisata Bahari di Pulau Morotai Karakteristik Responden A. Tingkat Pendidikan B. Tingkat Pendapatan C. Tingkat Pengeluaran D. Persepsi Terhadap Wisata Bahari Daya Dukung Kawasan Wisata Bahari Nilai Ekonomi Wisata Bahari A.Pendekatan TCM A.1. Pendugaan Fungsi Permintaan A.2. Pendugaan Nilai Ekonomi Total B. Pendekatan CVM B.1. Pendugaan Fungsi WTP B.2. Nilai Ekonomi Total Wisata Bahari Simulasi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari A. Domain Wisatawan (Tourist) B. Domain Kapital (Capital) C. Domain Lingkungan (Environmental) D. Model Lengkap VII. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 97 DAFTAR TABEL Halaman 1. Keterbatasan Ekonomi PPK terkait dengan Ukuran Fisik Keterbatasan Ekonomi PPK terkait dengan Tingkat Insularitas Matriks Data dan Jenis Data Parameter Pemodelan Turis di Pulau Morotai Persentase Tutupan Karang Hidup Persentase Tutupan Karang dan Komunitas Karang Jumlah Penduduk Pulau Morotai Menurut Kecamatan Tingkat Pendidikan, Sekolah, Siswa, Mahasiswa, Guru, Dosen Prasarana dan Sarana Kesehatan Jarak dan Lama Waktu Tempuh Frekuensi Penerbangan Pesawat Udara Tingkat Pendidikan Responden Biaya Perjalanan Wisatawan Komponen Perhitungan DDK Wisata Pulau Morotai Koefisien Nilai Ekonomi Pulau Morotai Koefisien WTP untuk Wisata Pulau Morotai Perbandingan Nilai Ekonomi dari TCM dengan CVM Proyeksi Perkembangan Pariwisata Indonesia

15 98 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Konsep Suplay-Demand Konvensional Model Ekonomi yang Menentukan Daya Dukung Biofisik dan Daya Dukung Sosial Hubungan Antara Turis dan Penduduk Lokal Kerangka Berkelanjutan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK Kerangka Wisata Pantai dan Laut Kerangka Pendekatan Studi Minimal Model Tourism Tingkat Pendidikan Responden Tingkat Pendapatan Responden Pengeluaran Wisatawan Berdasarkan Daerah Asal Pengeluaran Wisatawan Ke Pulau Morotai Persepsi Wisatawan Terhadap Fasilitas Jalan Faktor yang Mempengaruhi Daya Tarik Kesan Wisatawan Terhadap Obyek Wisata Simulasi Pemodelan Wisata Bahari di Pulau Morotai Hasil Simulasi Perilaku Tourism, Environment and Capital pada Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Morotai... 66

16 99 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian Pulau Morotai Data TCM Wisatawan Data CVM Wisatawan Peta Potensi Wisata Bahari Provinsi Maluku Utara Foto Kawasan Wisata Pantai Pulau Morotai Koefisien Regresi Travel Cost Method Koefisien Regresi WTP Wisata Bahari... 83

17 This document was created with Win2PDF available at The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

18 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKP-RI) berjumlah kurang lebih buah. Data Citra Landsat juga menduga jumlah pula-pulau kecil (PPK) di Indonesia lebih dari buah. Akan tetapi sampai saat ini baru sekitar pulau yang telah dimanfaatkan, meskipun pengelolaannya masih belum optimal. Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan PPK antara lain karena biaya transportasi yang sangat mahal dari satu daerah ke daerah lainnya, sehingga sudah pasti membutuhkan dana yang besar dalam pengelolaannya (Pratikto et al 2005). Pemanfaatan secara langsung maupun tidak langsung seperti penangkapan ikan, wisata bahari maupun pengambilan karang telah dilakukan dengan tanpa memperhatikan daya dukung maupun nilai ekologis serta nilai ekonomi dari ekosistem. Fungsi ekosistem yang ada di wilayah pesisir sebagai bio-filter alami yang sangat kaya dan bernilai dalam mempertahankan kualitas ekosistem pesisir dan PPK, belum diperhitungkan sebagai aset. Pesisir dan PPK tersebut memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar karena didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non-hayati yang bernilai tinggi seperti terumbu karang, ekosistem mangrove, estuaria, padang lamun, mineral, minyak bumi, harta karun, dan lain sebagainya. Sumberdaya alam tersebut telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan bagi masyarakat terutama dari sektor perikanan, pertambangan, dan perhubungan laut yang dapat menunjang pembangunan ekonomi, serta jasa-jasa lingkungan lainnya seperti pariwisata, khususnya yang tergolong sebagai ekowisata atau wisata yang berbasis pada kualitas ekosistem. Sumberdaya alam untuk keperluan wisata sering dipersepsikan sebagai wahana untuk meningkatkan pendapatan negara, khususnya perolehan devisa. Sehingga pengembangan lebih bersifat ekonomi-sentris dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Tolok ukur keberhasilan pembangunan pariwisata untuk memperoleh devisa antara lain adalah jumlah kunjungan, pengeluaran dan lama kunjungan wisatawan mancanegara adalah dari segi pencapaian target: (1) jumlah

19 2 kunjungan wisatawan macanegara; (2) pengeluaran wisatawan mancanegara (foreign tourist expenditures); (3) lamanya wisatawan mancanegara tinggal (foreign tourist length of stay) (Depbudpar 2004). Menurut Nirwandar (2006) bahwa tingkat kunjungan wisatawan internasional tahun 2004 mencapai 763 juta orang, dengan pengeluaran US$ 623 miliar, diperkirakan pada tahun 2010 jumlah wisatawan 1,00 miliar orang, dan pada tahun 2020 sebanyak 1,56 miliar orang. Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia tahun 2005 mencapai orang. Devisa yang diperoleh dari kunjungan wisatawan sebesar USD 4,526 miliar. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan wisata nusantara berjumlah 109,9 juta orang. Pengeluaran wisatawan nusantara mencapai Rp 86,6 triliun. Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 2007 jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia mencapai orang, dengan devisa yang diperoleh sebesar USD 5.3 miliar. Jumlah wisatawan nusantara yang melakukan perjalanan wisata mencapai 219,8 juta trips, dengan pengeluaran mencapai Rp 79,9 triliun (Nirwandar 2008). Berdasarkan hal tersebut, pariwisata bagi negara tertentu ditetapkan sebagai leading sector perkembangan ekonominya, seperti Inggris, Perancis dan Jepang. Demikian juga di beberapa Negara Asia, seperti Arab Saudi, China, Thailand, Malaysia, dan Uni Emirat Arab telah mengembangkan pariwisata sebagai salah satu motor pembangunan ekonominya. Apabila dibandingkan dengan negara-negara pesisir di kawasan Asia Timur, devisa Indonesia dari sektor pariwisata pada tahun 2004 sebesar USD 4,978 juta, lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mampu menghasilkan devisa sebesar USD 8,198 juta. Masih jauh dibandingkan China (USD 25,973 juta) atau Jepang (USD 11,202 juta) (Chua 2006 dalam Adrianto 2007). Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati sumberdaya pesisir, laut dan PPK, termasuk di Provinsi Maluku Utara yang merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 500 buah yang telah berpenghuni 64 buah. Sedangkan Kabupaten Halmahera Utara memiliki jumlah pulau kurang-lebih 76 buah, dengan 57 buah pulau telah bernama dan 19 buah pulau belum bernama, yang terdiri dari Pulau Morotai dan PPK lainnya memiliki potensi sumberdaya

20 3 pesisir dan laut yang dimungkinkan untuk pengembangan wisata bahari karena memiliki alokasi sumberdaya untuk dikembangkan dengan jumlah turis yang optimal. Agar pengembangan wisata bahari dapat dilaksanakan dengan optimal dan lestari, maka kajian yang meliputi analisis daya dukung fisik dan ekonomi serta ekologi sangat diperlukan. Kajian tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam membangun wisata bahari yang berkelanjutan di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara Perumusan Masalah PPK memiliki potensi untuk dikembangkan karena mempunyai sumberdaya yang cukup, salah satunya adalah potensi wisata bahari. Oleh karena itu Pulau Morotai yang memiliki daya tarik wisata bahari diharapkan dapat dikembangkan secara optimal. Namun sampai saat ini masih terdapat berbagai keterbatasan sarana dan prasarana pendukung untuk dijadikan sebagai daerah tujuan wisata di Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Untuk itu, maka dilakukan penelitian awal tentang daya dukung fisik dan ekonomi untuk mengetahui secara jelas tentang strategi pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai, Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara Indonesia. Dalam rencana pembangunan dewasa ini khususnya di bidang pariwisata, maka salah satu yang menjadi unggulan adalah wisata bahari, hal ini di karenakan wilayah Indonesia memiliki luas lautan lebih besar dari daratan serta memiliki ribuan PPK yang memiliki keanekaragaman hayati laut sehingga menjadi daya tarik untuk pengembangan wisata bahari. Namun untuk membangun PPK membutuhkan keberpihakan semua pihak, karena memiliki konsekuensi yang tinggi, terutama anggaran yang dibutuhkan cukup besar untuk pengembangan suatau kawasan PPK menjadi sentra ekonomi. Namun dalam berbagai pemahaman dan pengalaman bahwa pengembangan suatu kawasan PPK menjadi daerah tujuan wisata memiliki multiplier effect yang tinggi sehingga daerah tersebut bisa lebih berkembang dengan cepat dan pesat. Hal inilah yang mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Provinsi Maluku Utara, akan mencoba untuk

21 4 mengembangkan Pulau Morotai untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata baru di Kawasan Timur Indonesia. Karena juga memiliki nilai sejarah yang tinggi, selain kondisi alamnya yang mendukung sebagai wisata alam serta budaya masyarakat yang dapat dikembangkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berapa besar kemampuan Daya Dukung Kawasan Pulau Morotai? 2. Berapa besar Nilai Ekonomi Pulau Morotai untuk wisata bahari? 3. Bagaimana Kebijakan Pengembangan wisata bahari Pulau Morotai? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah: 1. Mengetahui daya dukung Pulau Morotai untuk wisata bahari. 2. Mengestimasi nilai ekonomi Pulau Morotai untuk wisata bahari. 3. Merumuskan kebijakan pengembangan wisata bahari Pulau Morotai Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Menghasilkan informasi tentang potensi wisata bahari Pulau Morotai Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. 2. Memberikan arah bagi pengambil kebijakan di Kabupaten Halmahera Utara untuk menentukan prioritas pengembangan wisata bahari di Pulau Morotai sesuai daya dukung. 3. Bahan acuan bagi pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara dan Provinsi Maluku Utara dalam menyusun program pengembangan wisata bahari Pulau Morotai.

22 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Valuasi Ekonomi Sumber Daya PPK Untuk Wisata Bahari Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preference of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (comsumers surplus/cs) dan surplus oleh produsen (produsen surplus/ps) (Grigalunas and Conger 1995; Freeman III 2003 dalam Adrianto 2006). Konsep valuasi ekonomi konvensional mendefinisikan nilai ekonomi sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai-nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non-pemanfaatan (non-use value). Menurut Fauzi (2000) secara umum, memang sulit mengukur dengan pasti konsep use value dan non-use value, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi atau ketepatan dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam. Salah satu kesulitan dalam mengukur nilai dari barang atau jasa yang dihasilkan sumberdaya alam adalah terdapat barang atau jasa dari sumberdaya alam yang tidak memiliki harga pasar dan tidak dapat diobservasi, sehingga nilai riel-nya tidak dapat di ukur dengan baik. Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus/cs dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, produser surplus/ps terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. Nilai ekonomi suatu komoditas (goods) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai berapa yang harus dibayar dibanding berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdaya eksis dan menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka kemampuan membayar /willingness to pay merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa memasalahkan apakah

23 6 kita secara nyata melakukan proses pembayaran/payment atau tidak (Barbier et al 1997 dalam Adrianto 2006). Tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu mengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi (economic effisiency) dari berbagai pemanfaatan (competing uses) yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada di kawasan PPK. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut. Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam konteks nilai manfaat masyarakat bersih tidak dipertimbangkan dalam term economic efficiency. Oleh karena itu, faktor distribusi kesejahteraan (walfare distribution) menjadi salah satu isu penting dalam valuasi ekonomi yang lebih adil seperti yang dianut dalam ecological economicst (Adrianto 2006). Garrod dan Willis (1999) membagi valuasi ekonomi dalam dua metode, yaitu Revealed Preference dan Expressed/State preference. Releaved Preference adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willingness to pay/wtp terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik valuasi yang termasuk dalam releaved preference adalah, (a) Travel Cost Method/TCM yang diperkenalkan oleh Hotelling (1941) yang selanjutnya dikembangkan oleh Wood dan Trice (1958); dan (b) Hedonic Price Method/HPM yang didasarkan pada teori atribut yang dikembangkan oleh Lancaster (1966) dalam Fauzi (2000). Sedangkan Expressed atau State Preference adalah teknik valuasi ekonomi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar/wtp diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method/CVM atau Metode Valuasi Kontingensi. CVM adalah metode teknik survei untuk menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan terhadap komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market). Metode Biaya Perjalanan/TCM boleh dikatakan sebagai metode yang pertama kali digunakan untuk menduga nilai ekonomi sebuah komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market goods). Metode ini beranjak pada asumsi

24 7 dasar bahwa setiap individu baik aktual maupun potensial bersedia mengunjungi sebuah daerah untuk mendapatkan manfaat tertentu tanpa harus membayar biaya masuk (no entry fee). Namun demikian, walaupun asumsinya tidak ada biaya masuk, namun secara aktual ditemukan pengunjung yang berasal dari lokasi yang jauh dari obyek yang dikunjungi. Dalam konteks ini terdapat perbedaan harga yang harus dibayar antar pengunjung untuk mendapatkan manfaat yang sama. Kondisi ini dalam teori ekonomi dianggap sebagai representasi dari permintaan (demand) pengunjung (konsumen) terhadap manfaat tersebut (Adrianto 2006). Metode ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat dari, (a) perubahan biaya akses/tiket masuk di suatu tempat rekreasi; (b) penambahan tempat rekreasi baru; (c) perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi; (d) penutupan tempat rekreasi yang ada. Tujuan dasar dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam melalui proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut (Fauzi 2004). Pada umumnya ada dua teknik sederhana yang sering digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu (a) pendekatan sederhana melalui zonasi; dan (b) pendekatan individual. TCM berdasarkan pendekatan individu menggunakan data yang sebagian besarnya berasal dari kegiatan survey lapangan. Asumsi dasar yang digunakan dalam TCM agar penilaian sumberdaya alam tidak bias, atara lain (a) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (b) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (c) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (Fauzi 2004). Menurut FAO (2000), penilaian berdasarkan preferensi/cvm adalah sebuah metode yang digunakan untuk melihat atau mengukur seberapa besar nilai suatu barang berdasarkan estimasi seseorang. CVM juga dapat diumpamakan sebagai suatu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai yang diberikan seseorang untuk memperoleh suatu barang/wtp dan seberapa besar nilai yang diinginkan untuk melepaskan suatu barang (willingness to accept/wta).

25 8 CVM digunakan pada kondisi dimana masyarakat tidak mempunyai preferensi terhadap suatu barang yang langsung diperjualbelikan di pasar. Pendekatan CVM dilakukan untuk mengukur preferensi masyarakat dengan cara wawancara langsung tentang seberapa besar mereka membayar/wtp untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih atau menerima kompensasi/wta bilamana mereka harus kehilangan nuansa atau kualitas lingkungan yang baik, Barton (1994) dalam Adrianto (2006). Selanjutnya dinyatakan bahwa metode CVM secara umum lebih memberikan penekanan terhadap nilai pentingnya suatu barang dibandingkan dengan nilai barang yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mengeliminasi beberapa pilihan kebijakan dan menawarkan informasi penting dalam penentuan keputusan. Dengan demikian dalam perencanaan pengembangan daerah tujuan wisata, maka salah satu yang harus dilakukan sebagai analisis awal untuk melihat efisiensi ekonominya adalah dengan melakukan penilaian ekonomi dengan beberapa metode yang umumnya digunakan selama ini untuk menilai kelayakan atau kemungkinan pengembangan daerah tujuan wisata dimaksud Permintaan dan Penawaran Wisata Untuk merencanakan suatu pengelolaan areal rekreasi atau pariwisata dapat dilakukan dengan analisis terhadap permintaan dan penawaran wisata (Gold 1980). Sediaan rekreasi merupakan gambaran tentang ruang, fasilitas dan pelayanan, sedangkan permintaan rekreasi merupakan gambaran tentang kegiatan dan perilaku rekreasi. Douglass (1982) mendefinisikan permintaan rekreasi sebagai jumlah kesempatan rekreasi yang diinginkan masyarakat. Permintaan rekreasi terdiri dari pemanfaatan aktual dari fasilitas yang tersedia dan permintaan yang tersembunyi karena tidak terlihat fasilitas yang tidak memadai. Di samping dua tipe permintaan tersebut, Gold (1980) menyebutkan adanya tipe permintaan yang tidak disebutkan Douglass terakhir, yakni permintaan yang timbul akibat adanya perubahan, misalnya karena adanya promosi. Tipe ini disebut permintaan terdorong. Sedangkan menurut Yoeti (1990) ciri permintaan wisata adalah (1) terkonsentrasi menurut musim dan daerah tujuan tertentu; (2) elastisitasnya tinggi; dan (3) berubah-ubah sesuai dengan motivasi masing-masing individu.

26 9 Banyak faktor yang mempengaruhi permintaan wisata. Faktor yang utama adalah jumlah penduduk, waktu luang, pendapatan perkapita dan transportasi. Clawson dan Knetsch (1966) dan Gold (1980) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi terhadap permintaan rekreasi harian, mingguan, musiman, bahkan tahunan adalah (1) faktor yang berhubungan dengan pengguna potensial adalah jumlah penduduk sekitar, kepadatan penduduk, karakteristik kependudukan, pendapatan, waktu luang, tingkat pengalaman berekreasi, tingkat kesadaran keperluan rekreasi dan tingkat pengalaman berekreasi, tingkat kesadaran dari perilaku yang dilarang; (2) faktor yang berhubungan dengan tempat rekreasi adalah daya tarik obyek rekreasi, intensitas pengolahan tempat rekreasi, alternatif tapak yang tersedia, daya dukung dan kemampuan desain tempat rekreasi, iklim mikro, karakteristik alam dan fisik areal rekreasi; (3) faktor yang berhubungan dengan pengguna potensial dan tempat rekreasi adalah waktu perjalanan dan jarak, kenyamanan perjalanan, biaya, informasi, status areal rekreasi dan pengaturan pengawasan yang dilakukan. Penawaran wisata adalah meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Penawaran ini terdiri dari unsur-unsur daya tarik alam, barang dan jasa hasil ciptaan manusia yang dapat mendorong orang untuk berwisata. Hal ini sesuai dengan pendapat Gold (1980) yang menyatakan bahwa sediaan rekreasi adalah jumlah dan kualitas dari sumberdaya rekreasi yang tersedia untuk penggunaan pada waktu tertentu. Dalam konteks permintaan dan penawaran wisata bahari/pantai, konsep yang digunakan adalah permintaan dan penawaran yang memperhatikan daya dukung lingkungan. Gambar berikut menyajikan konsep permintaan dan penawaran yang konvensional (Gambar 1) dan berbasis daya dukung (Gambar 2).

27 10 Price a Suply= Marginal Cost p Konsumen surplus b Produsen surplus Demand= Marginal Benefit c q Quantity Gambar 1 Konsep supply-demand konvensional (Constanza et al.1997 dalam Adrianto 2006). Permitaan terhadap suatu komoditas timbul dari kemauan dan kemampuan dalam membeli komoditas tersebut. Teori permintaan mengatakan bahwa jumlah yang diminta (quantity demanded) dari suatu komoditas dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut, pendapatan konsumen, harga komoditas lain yang berkaitan (substitusi atau komplemen) dan selera konsumen (Kusumastanto 1997). Selanjutnya, hukum permintaan (low of demand) menyatakan bahwa kualitas produk yang diminta akan menurun apabila harga meningkat. Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan wisata menurut Yoeti (1990) adalah (1) pendapatan; (2) harga; (3) struktur keluarga; (4) kualitas obyek wisata sangat mempengaruhi apakah jasa tersebut akan dibeli orang atau tidak; (5) perubahan cuaca; dan (6) hari libur. Sedangkan menurut Douglass (1970) dalam Wardani (2007) bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, keuangan atau tingkat pendapatan, dan komunikasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Penawaran wisata yang unsur-unsurnya terdiri dari ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) dapat mempengaruhi dalam permintaan wisata alam terbuka.

28 11 Y (Income perhead/comsumption perhead) Ys U=f(N) Yb N B Min N S Min Gambar 2. Model Ekonomi yang Menentukan Daya Dukung Biofisik dan Daya Dukung Sosial (Adrianto 2006) Dari Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa Y merupakan jumlah populasi N dengan fungsi Y=f(N). Fungsi tersebut menggambarkan hubungan teoritis secara umum antara pendapatan, konsumsi perkepala dengan populasi berdasarkan asumsi produktivitas dan pendapatan atau konsumsi dari populasi manusia meningkat dengan pertumbuhan pada populasi rendah. Tetapi kadangkadang menurun dengan peningkatan jumlah populasi karena adanya hambatan ekonomi. Yb menggambarkan pendapatan, konsumsi yang mana sesuai dengan daya dukung biofisikal (kb) pada level minimum digambarkan lebih kecil atau sama dengan pendapatan, konsumsi dibandingkan dengan Ys. Pendapatan, konsumsi berhubungan dengan daya dukung sosial (Ks). Yb lebih kecil atau sama dengan Ys (Yb < = Ys). Jika Ys meningkat maksimal jumlah populasi atas daya dukung menurun atau sama dengan. N B Max N S Max N Population Size 2.3. Batasan dan Karakteristik PPK Menurut Perpes Nomor 78 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 1b, bahwa Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 yang memiliki titik-titik dasar koordinasi geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Sedangkan menurut UU-RI nomor 27 tahun 2007 pasal 1 ayat 3, bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan km 2 (dua ribu

29 12 kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Batasan PPK juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas kurang lebih atau sama dengan km2 dengan jumlah penduduk jiwa sampai jiwa (Beller et al 1990 dalam Retraubun 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa (1) secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular; (2) memiliki sejumlah biota endemik dan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi; (3) daerah tangkapan (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sedimen akan langsung masuk ke dalam laut; dan (4) kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat PPK bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Menurut Hein (1990), karakteristik khusus PPK khususnya yang terkait dengan ukuran luas lahan (smallness) dan insularitas (insularity) dapat secara bersama-sama memiliki efek terhadap kebijakan ekonomi pembangunan wilayah PPK. Terkait dengan karakteristik ukuran luas fisik, PPK memiliki peluang ekonomi yang terbatas khususnya ketika berbicara soal skala ekonomi (economics of scale). Agar kegiatan ekonomi di PPK mendapatkan skalanya yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi diperlukan, walaupun tergantung pula kepada infrastruktur yang ada di PPK tersebut (Hein, 1990). Selain itu, karena karakteristiknya yang kecil secara fisik, maka kegiatan ekonomi yang mungkin adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi. Dengan kata lain, kegiatan ekonomi di PPK memerlukan tingkat spesialisasi yang lebih tinggi dibanding wilayah lain yang lebih besar. Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi untuk PPK berefek positif khususnya yang terkait dengan konsep skala ekonomi. Dengan keanekaragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau kecil maka semakin meningkat pula tingkat ketahanan ekonomi dari pulau tersebut dari faktor eksternal sepanjang pengelolaan kegiatan ekonomi tersebut memperhitungkan pula tingkat daya dukung pulau secara umum (Hein, 1990; McKee and Tisdell, 1990). Beberapa hal lain yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik (smallness) disajikan pada Tabel 1 berikut.

30 13 Tabel 1. Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan Ukuran Fisik (Smallness) No Keterbatasan 1. Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor yang tinggi 2. Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau. 3. Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau. 4. Ketergantungan terhadap produk2 dengan tingkat spesialisasi tinggi 5. Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal 6. Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi 7. Terbatasnya kompetisi lokal 8. Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Briguglio (1995); (Cross and Nutley, 1999); Adrianto (2004) Karakteristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas. PPK memiliki tingkat insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa. Terkait dengan persoalan transportasi, terdapat tendensi adanya sistem monopoli dan oligopoli di wilayah PPK (Hein, 1990; McKee and Tisdell, 1990). Hal ini terkait dengan industri perdagangan di mana karena terbatasnya pilihan terhadap suplier sehingga cenderung menjadi monopoli. Tabel 2, menyajikan karakteristik PPK dilihat dari sifat insularitas seperti yang disampaikan oleh Briguglio (1995). Tabel 2. Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan Tingkat Insularitas. No Keterbatasan 1. Biaya transportasi per unit produk 2 Ketidakpastian suplai 3 Volume stok yang besar 4 Ketergantungan terhadap produk2 dengan tingkat spesialisasi tinggi 5 Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal 6 Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi 7 Terbatasnya kompetisi local 8 Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Briguglio (1995); (Cross and Nutley, 1999); Adrianto (2004)

31 14 Karakteristik lain adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam (natural desasters) seperti angin topan, gempa bumi, dan banjir (Briguglio 1995; Adrianto and Matsuda 2002). Dalam kacamata ekonomi, dampak bencana alam terhadap ekonomi PPK tidak jarang sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko di PPK menjadi tinggi pula. Dalam rangka pengembangan wisata bahari di PPK, pemerintah harus memperhatikan berbagai karakteristik dan dinamika masyarakat lokal serta berbagai faktor lainnya, sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan yang dapat mempengaruhi pengelolaan wisata bahari. Menurut Kusumastanto (1997), masyarakat pesisir memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan beberapa kelompok masyarakat industri atau kelompok masyarakat lainnya. Perbedaan ini disebabkan keterkaitan yang sangat erat terhadap karakteristik ekonomi pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi maupun latar belakang budaya. Selanjutnya menurut Adiwibowo (1995) bahwa masyarakat pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang kehidupan segenap anggota-anggotanya tergantung sebagian atau sepenuhnya pada kelimpahan sumberdaya pesisir dan lautan. Oleh karena itu dalam perencanaan pengelolaan PPK harus selalu memperhatikan karakteristik PPK yang sudah tentu sangat kompleks, baik dari sisi ekosistem maupun sosial budaya masyarakatnya Daya Dukung Wisata Bahari PPK Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, daya dukung wilayah pesisir dan PPK dapat ditentukan dengan cara analisis, yaitu (1) kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah PPK dalam memproduksi sumberdaya alam dan jasa lingkungan; dan (2) kondisi ekonomi dan sosial-budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah PPK tersebut atau yang tinggal di luar wilayah PPK, tetapi berpengaruh terhadap wilayah tersebut (Dahuri 1993).

32 15 Selanjutnya dikatakan bahwa, tahapan untuk menentukan daya dukung wilayah PPK yang ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut (1) menetapkan batas-batas, vertikal dan horizontal terhadap garis pantai, wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan; (2) menghitung luasan wilayah pesisir yang akan dikelola; (3) mengalokasikan (melakukan zonasi) wilayah pesisir tersebut menjadi tiga zona utama meliputi, zona preservasi, zona konservasi, dan zona pemanfaatan ; (4) menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan; (5) melakukan penghitungan tentang potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assesment sumberdaya perikanan, hutan mangrove, melakukan pengkajian sumberdaya air tawar, melakukan pengkajian kapasitas asimilasi, serta permintaan internal dan eksternal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan Sejalan dengan pengelompokan tipe kajian daya dukung lingkungan diatas, dalam konteks daya dukung lingkungan PPK, beberapa konsep pengertian mengenai daya dukung yang digunakan adalah sebagai berikut (KLH dan FPIK IPB 2002), (1) Daya Dukung, tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan; (2) Daya Dukung Ekologis, tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis; (3) Daya Dukung Fisik, jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik; (4) Daya Dukung Sosial, tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan; (5) Daya Dukung Ekonomi, tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Choy dan Heillbronn (1997) merumuskan lima faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu (1) Lingkungan, ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum tercemar; (2)

33 16 Masyarakat, ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada masyarakat; (3) Pendidikan dan Pengalaman, ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki; (4). Berkelanjutan, ekowisata dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang; (5) Manajemen, ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasi mendatang. Khususnya bagi daerah wisata pesisir menurut Clark (1992), berbagai permasalahan yang umumnya terjadi sebagai akibat pengembangan pariwisata antara lain (1) penurunan sumberdaya alamiah, (a) erosi pantai, (b) konversi hutan bakau untuk tata guna lahan lainnya, (c) pengreklamasian wilayah pantai, (d) penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit/racun, (e) tangkap lebih dan (e) eksploitasi lebih terhadap hutan bakau; (2) polusi, (a) sumber-sumber industri/sampah, (b) sumber domestik/sampah rumah tangga dan sampah keras, (c) sumber-sumber dari pertanian/aliran atas bahan-bahan pestisida dan pupuk, dan (d) sumber-sumber lain penggalian/penambangan; (3) konflik penggunaan lahan, (a) tidak adanya akses kearah pantai sebagai akibat padatnya pemukiman pada daerah tersebut, (b) tidak bisa dipergunakan daerah pantai akibat polusi yang sangat tinggi, dan (c) konservasi dan preservasi terhadap hutan bakau versus konversi sumberdaya yang sama untuk dijadikan tambak ikan/udang atau reklamasi menjadi daerah pemukiman atau untuk tujuan komersial lainnya; (4) pengrusakan kehidupan dan kepemilikan akibat bencana alam, (a) banjir yang diakibatkan oleh badai, (b) gempa bumi, (c) angin topan cyclone, dan (d) tsunami. Ancaman kerusakan lingkungan akibat kegiatan wisata mengancam di beberapa daerah. Sedangkan untuk sektor pariwisata, masalah lingkungan menjadi bagian yang sangat berpengaruh signifikan dari produk yang ditawarkan oleh suatu negara. Suatu strategi kesuksesan pariwisata adalah dengan memaksimumkan manfaat sumberdaya untuk pembangunan tanpa mengabaikan kelestarian sumberdaya alam dan budaya setempat. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan hubungan daya dukung dari wisatawan.

PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON

PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON 84 PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 85 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Valuasi Ekonomi Sumber Daya PPK Untuk Wisata Bahari

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Valuasi Ekonomi Sumber Daya PPK Untuk Wisata Bahari 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Valuasi Ekonomi Sumber Daya PPK Untuk Wisata Bahari Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preference of consumers)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990, yang dimaksud pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata,

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Menurut Yoeti (2006) pariwisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dari satu tempat ke tempat lain yang sifatnya sementara dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Potensi Wisata Bahari di Kawasan Pulau Morotai Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata serta potensi yang dapat dikembangkan. Obyek

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa produk jasa lingkungan yang manfaatnya secara langsung bisa di rasakan

BAB I PENDAHULUAN. berupa produk jasa lingkungan yang manfaatnya secara langsung bisa di rasakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam dengan berbagai manfaat baik manfaat yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung berupa produk jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain

BAB I PENDAHULUAN. sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor yang perkembangannya memicu sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain menghasilkan produk-produk yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udara bersih dan pemandangan alam yang indah. Memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan seperti hutan lindung sebagai

BAB I PENDAHULUAN. udara bersih dan pemandangan alam yang indah. Memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan seperti hutan lindung sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam dengan beragam manfaat, berupa manfaat yang bersifat langsung maupun manfaat tidak langsung. Produk hutan yang dapat dinikmati secara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30

I. PENDAHULUAN. pulau mencapai pulau yang terdiri dari lima kepulauan besar dan 30 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang melimpah dengan jumlah total pulau mencapai 17.508 pulau

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21 perhatian terhadap pariwisata sudah sangat meluas, hal ini terjadi karena pariwisata mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara-negara

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pariwisata di Indonesia merupakan salah satu penggerak perekonomian nasional yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional di masa kini dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar, 34 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai kurang lebih 91.524 km, dan luas perairan laut

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Travel Cost Method (TCM) Pertemuan 10 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN 2015/2016

Travel Cost Method (TCM) Pertemuan 10 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN 2015/2016 Travel Cost Method (TCM) Pertemuan 10 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN 2015/2016 HISTORY OF TCM TCM metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Pasar Wisata Alam Langkah awal dalam melakukan analisis pengembangan wisata alam berkelanjutan adalah analisis pasar wisata alam yaitu analisis penawaran,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI

TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN FONDASI VALUASI EKONOMI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan devisa, membuka lapangan kerja sekaligus kesempatan berusaha. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C

VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C251020241 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

Penentuan Nilai Ekonomi Wisata

Penentuan Nilai Ekonomi Wisata Penentuan Nilai Ekonomi Wisata BAGIAN EKONOMI LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN FEM IPB Pendahuluan (1) Pendahuluan (2) Pendahuluan (3) TCM metode yang tertua untuk pengukuran nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas. memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas. memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya. Lautan merupakan barang sumber daya milik

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI

ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber daya alam. Berada pada daerah beriklim tropis menjadikan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengakuan berbagai organisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis yang dikaji dalam penelitian ini ditekankan pada obyek dan daya tarik wisata, penilaian manfaat wisata alam, serta prospek

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi bangsa Indonesia, namun migas itu sendiri sifat nya tidak dapat diperbaharui, sehingga ketergantungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berusaha, memperluas kesempatan kerja, dan lain sebagainya (Yoeti, 2004).

I. PENDAHULUAN. berusaha, memperluas kesempatan kerja, dan lain sebagainya (Yoeti, 2004). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keragaman kekayaan sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, seperti potensi alam, keindahan alam, flora dan fauna memiliki daya tarik untuk dikunjungi oleh wisatawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keanekaragaman budaya dan kesenian yang berbeda-beda di masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. dengan keanekaragaman budaya dan kesenian yang berbeda-beda di masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keindahan luar biasa dengan keanekaragaman budaya dan kesenian yang berbeda-beda di masing-masing daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal tropis yang paling kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

BAB VI VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA CIKOROMOY DENGAN TRAVEL COST METHOD

BAB VI VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA CIKOROMOY DENGAN TRAVEL COST METHOD 92 BAB VI VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA CIKOROMOY DENGAN TRAVEL COST METHOD Sumber daya alam dan lingkungan tidak hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga mempunyai nilai ekologis dan nilai sosial. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Cilacap merupakan kota yang terletak di sebelah selatan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Cilacap merupakan kota yang terletak di sebelah selatan dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Cilacap merupakan kota yang terletak di sebelah selatan dari Kabupaten Cilacap. Kota Cilacap memiliki morfologi berupa dataran rendah. Secara administratif

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method) sebesar

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost Method) sebesar BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. nilai ekonomi Objek Wisata Budaya Dusun Sasak Sade dengan menggunakan pendekatan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Objek dan Daya Tarik Wisata

III. KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Objek dan Daya Tarik Wisata III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis yang dikaji dalam penelitian ini ditekankan pada objek dan daya tarik wisata, teknik pengukuran manfaat wisata alam dan

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF EKOWISATA INDONESIA: PERJALANAN DAN TANTANGAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF EKOWISATA INDONESIA: PERJALANAN DAN TANTANGAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 06 I 29 September 2016 USAID LESTARI EKOWISATA INDONESIA: PERJALANAN DAN TANTANGAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Menurut Organisasi Pariwisata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Nilai Wisata dan Willingness To Pay Bermacam-macam teknik penilaian dapat digunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Konsep dasar

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April Mei 2013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Bab ini menguraikan isu-isu strategis yang dihadapi oleh Kabupaten Bintan. Isu-isu strategis ini berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pokok yang dihadapi, pemanfaatan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove (bakau) merupakan suatu bentuk ekosistem yang mempunyai keragamanan potensi serta memberikan manfaat bagi kehidupan manusia baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Hari Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi penelitian ditentukan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA SKRIPSI MUHAMMAD SALIM R H34076107 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kepariwisataan pada umumnya diarahkan sebagai sektor potensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan daerah, memberdayakan perekonomian

Lebih terperinci