PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK
|
|
- Sucianty Irawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan di laboratorium dan hasil pengamatan di lapangan. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup keilmuan parasitologi yang dilaksanakan pada anak usia balita di Puskesmas Blimbimng Malang. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji laboratorium, observasi, dan wawancara secara langsung. Metode pengambilan data adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data penelitian, dalam hal ini termasuk cara pengumpulan spesimen dan metode pemeriksaan. Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di Puskesmas Blimbimng Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu melakukan pengarahan kepada orang tua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan. Metode Pemeriksaan parasitologi pada spesimen tinja dilakukan baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis meliputi pengamatan bau, warna dan konsistensi tinja. Pemeriksaan makroskopis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan dalam waktu tertentu spesimen akan mengalami perubahan yang bisa mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa infeksi soil transmitted helminths pada kelompok anak balita di Puskesmas Blimbing Malang menunjukkan semua hasil negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak. PENDAHULUAN Penyakit infeksi kecacingan masih banyak terjadi di masyarakat terutama di daerah tropik dan subtropik, termasuk di Indonesia. Infeksi ini diakibatkan oleh kelompok cacing soil transmitted helminths (STH), yaitu kelompok cacing yang penularannya melalui tanah. Infeksi yang sering terjadi di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan ini, dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita, anak ataupun orang dewasa, namun infeksi paling banyak terjadi pada anak usia balita karena pada usia tersebut anak paling sering kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja. Individu dengan infeksi ringan cenderung mempunyai gejala ringan atau bahkan tanpa gejala sedangkan infeksi berat dan lama sering menunjukkan keluhan dan tanda klinis serta menimbulkan komplikasi. (Ideham, et al, 2007). Oleh sebab itu, penderita penyakit kecacingan, seringkali baru menyadari bahwa dirinya menderita penyakit kecacingan pada kondisi yang sudah kronis. ( pelita/message/4586). Pada kondisi infeksi berat dan kronis, dapat terjadi diare terus menerus, malnutrisi dan anemia, pada akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh, kecerdasan (intelegensia), serta gizi buruk. Hal ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia tiap individu juga menurun. (Sumanto, 2008). Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar orang menderita infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris lumbricoides, 46 juta oleh Trichuris trichiura dan 151 juta oleh cacing tambang (Monstresor et al, 1998). Cacing yang ditularkan melalui tanah yang prevalensinya cukup tinggi di Indonesia 69
2 adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang. Sedangkan Strongyloides stercoralis prevalensinya sangat rendah. Hasil survey Subdit diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 Sekolah Dasar (SD) di 10 provinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2% - 90,3%. (Depkes R.I, 2004). Spesies cacing yang termasuk dalam kelompok soil transmitted helminth (STH) ialah Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), serta Strongyloides stercoralis (cacing benang). (Sutanto, et al, 2008). Tinggi rendahnya infeksi kecacingan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi, ada atau tidak ada dan perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi cacing. Pencemaran tanah dengan tinja merupakan media penularan yang baik bagi penularan soil transmitted helminths (STH). Telur yang dibuahi akan berkembang dengan cepat pada keadaan lingkungan yang menguntungkan dan menajdi telur yang infektif dalam waktu beberapa minggu. Infeksi pada manusia terjadi melalui tangan yang tercemar telur cacing yang infektif, lalu masuk ke mulut bersama makanan atau larva menembus kulit pada infeksi cacing tambang. (Ulukanligil et al, 2001). Faktor kebersihan pribadi juga merupakan salah satu hal penting, karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi / pencemaran tanah oleh telur ataupun larva cacing atau sebaliknya akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Perilaku yang dapat membantu pencegahan kecacingan adalah memelihara kebersihan kuku tangan dan kaki serta kebersihan sesudah buang air besar. (Maharani, 2005). Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dikemukakan suatu rumusan masalah yaitu, Berapa prevalensi infeksi kecacingan pada anak balita di Puskesmas Blimbing Malang? Tinjauan Pustaka Nematoda Nematoda berasal dari filum nemathelminthes. Nemathelminthes (cacing gilig) mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, filariform, bilateral simetrik dengan ukuran 2 mm 30 cm. Cacing dari filum ini memiliki rongga tubuh serta alat pencernaan yang lengkap, tetapi tidak dilengkapi sistem saraf dan sistem ekskresi yang sempurna. Tubuhnya tidak bersegmen tetapi disertai kutikulum yang menutupi seluruh tubuhnya. Nematoda bereproduksi dengan cara uniseksual. (Soedarto, 2008). Nematoda memiliki daur hidup dan habitat yang berbeda dalam tubuh manusia, di usus, jaringan atau organ manusia. (Gandahusada, 1998). Tiap spesies nematoda juga mempunyai cara penularan atau transmisi yang berbeda, seperti per - oral (memakan makanan yang terinfeksi telur berembrio atau kista berisi larva), subkutan (larva yang menembus kulit), serta hewan perantara (arthropoda). Cacing dari kelas nematoda paling banyak mengakibatkan soil transmitted helminthiasis, yaitu infeksi yang disebabkan oleh penularan cacing melalui media tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris trichiura, dan Strongyloides stercoralis. (Onggowaluyo, 2002). Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kelompok cacing nematoda yang hidup di usus mempunyai tingkat penularan yang tinggi melalui media tanah atau yang biasa disebut soil transmitted helminths, baik secara per - oral maupun secara subkutan. Bahkan ada cacing nematoda yang transmisinya secara autoinfeksi, seperti Strongyloides stercoralis. Adanya autoinfeksi bisa menyebabkan penderita terkena infeksi menahun. (Prasetyo, 2002; Soedarto, 2008). Akan tetapi tidak semua cacing nematoda yang hidup di usus merupakan kelompok soil transmitted helminths, seperti Trichinella spiralis dan Enterobius vermicularis. Sedangkan mekanisme penularan cacing nematoda yang hidup di jaringan atau organ cenderung melalui hewan perantara (arthropoda), seperti Aedes culex, Anopheles, dan Mansonia. (Prasetyo, 2002). 70
3 Tinggi rendahnya infeksi kecacingan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi, ada atau tidak ada, aspek ekonomi, tingkat pengetahuan, dan perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi cacing. (Maharani, 2005). Soil Transmitted Helminths Soil transmitted helminths merupakan kelompok cacing yang menyebabkan infeksi kecacingan melalui media tanah. Sebagian besar nematoda merupakan soil transmitted helminths. Penyebab soil transmitted helminths yang paling sering di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. (Gandahusada, 1998; Margono, 2003). Tanah yang lembab dan suhu optimum merupakan kondisi yang baik bagi kelompok cacing ini untuk berkembang biak. (Ideham, et al, 2007). Pada suhu C, telur Ascaris lumbricoides akan matang dalam waktu kurang dari 3 minggu pada tanah dengan kelembaban tinggi. Pada suhu C, telur Ancylostoma duodenale dan Necator americanus akan menetas dalam waktu kurang dari 2 hari dan akan menjadi larva rhabditiform, kemudian pada hari ke 5-8 larva rhabditiform akan menjadi larva filariform pada tanah yang berpasir. Pada suhu 30 C, telur Trichuris trichiura akan matang dalam waktu 3-6 minggu pada tanah liat yang lembab. Sedangkan, pada suhu C, larva filariform Strongyloides stercoralis akan terbentuk dalam waktu kurang dari 2 hari di tanah yang berpasir dan siklus bentuk bebas ada di tanah liat. (Sutanto, et al, 2008). Tingginya prevalensi infeksi kecacingan atau soil transmitted helminthiasis di beberapa negara, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya letak geografis suatu wilayah, kondisi iklim tropis atau subtropis, tingkat kelembaban yang tinggi, serta aspek ekonomi sosial yang tergolong rendah, seperti di Indonesia. Oleh karena itu, tingkat prevalensi soil transmitted helminthiasis di Indonesia sangat tinggi, terutama pada anak usia balita. Hal ini dikarenakan anak usia balita paling sering kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi parasit. (Onggowaluyo, 2002). Kelompok Cacing Soil Transmitted Helminths 1 Ascaris lumbricoidess Ascaris lumbricoides atau cacing gelang merupakan nematoda yang habitatnya di lumen usus halus manusia. Memiliki masa hidup sekitar bulan. Merupakan salah satu nematoda yang transmisinya melalui media tanah. (Soedomo, 2008). Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut askariasis. (Onggowaluyo, 2002). Selain askariasis, larva Ascaris lumbricoides juga bisa menyebabkan Loeffler Syndrome di paru. (Gandahusada, 1998). 1) Epidemiologi Ascaris lumbricoides bersifat kosmopolit, yang artinya bisa hidup hampir di semua tempat. Parasit ini merupakan salah satu penyebab soil transmitted helminths yang paling banyak di Indonesia. Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar orang menderita soil transmitted helminthiasis, dan diantaranya lebih dari 250 juta orang menderita askariasis. (Depkes R.I, 2004). Penderita askariasis paling banyak adalah anak usia balita, hal ini dikarenakan anak usia balita paling sering melakukan kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja. (Onggowaluyo, 2002). Parasit ini dapat berkembang dengan baik di daerah yang panas dan lembab. (Ideham, et al, 2007). 71
4 2) Morfologi dan Daur Hidup Telur Ascaris lumbricoides yang sudah dibuahi (fertilized) berbentuk bulat agak oval dengan ukuran 45 x 60 µm, memiliki kulit ganda dengan batas yang jelas. Kulit luar kasar, berwarna coklat, dan kadang tertutup tonjolan kecil (corticated). Kulit dalam yang halus, tebal dan tidak berwarna, berisi suatu masa tunggal, bulat, bergranula, tidak berwarna dan terletak di tengah. Telur Ascaris lumbricoides yang belum dibuahi (unfertilized) berbentuk oval dengan ukuran 40 x 90 µm, memiliki kulit ganda dengan batas yang tidak nyata, kulit luar berwarna coklat dan kadang disertai tonjolan seperti bergelombang (corticated). Kulit dalam agak tipis dan tidak berwarna, berisi butiran bulat besar yang tampak membias. Lapisan albumin pada telur Ascaris lumbricoides kadang tampak seperti tonjolan bergelombang, tetapi kadang tidak dapat dilihat karena sudah tidak memiliki lapisan albumin (decorticated). (Bruckner, 1996; Prasetyo, 1996). Morfologi cacing dewasa mirip dengan cacing tanah, dengan kedua ujung tubuh membulat. Tubuh berwarna kuning kecoklatan, mempunyai kutikulum yang halus dengan garis halus. Cacing dewasa memiliki 3 bibir, satu di bagian dorsal, dan yang lain di bagian subventral. Cacing betina memiliki ukuran cm, dengan bentuk tubuh yang lurus, dan membulat. Sedangkan cacing jantan memiliki ukuran lebih kecil dari cacing betina, yaitu cm, dengan kedua ujung posterior runcing dan memiliki 2 spikulum yang melengkung, dengan panjang 2 mm. (Prasetyo, 2002). Telur Ascaris lumbricoides yang sudah dibuahi dapat berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang sesuai, yaitu tanah liat yang lembab dan suhu 25 30º C. Telur akan berubah menjadi bentuk yang infektif, yaitu telur yang mengandung embrio atau larva dalam waktu 3 minggu. (Soedarto, 2008). Bila bentuk infektif ini tertelan manusia, maka akan menetas di dalam usus menjadi larva. Larva kemudian menembus dinding usus halus, lalu terbawa aliran darah menuju jantung, paru, dan alveolus (lung migration). Lung migration terjadi dalam kurun waktu hari. Larva kemudian akan menuju faring melalui trakea yang merangsang timbulnya batuk. Pada saat batuk, larva akan tertelan ke dalam esofagus, dan kembali menuju usus halus. Di usus halus, larva kemudian berkembang menjadi cacing dewasa. (Samad, 2009). Selain bermigrasi ke paru, kadang cacing dewasa juga bermigrasi ke anus, mulut, dan hidung. (Onggowaluyo, 2002). 3) Patologi dan Gejala Klinis Cacing Ascaris lumbricoides dewasa seringkali menimbulkan gejala yang ringan, atau bahkan tanpa gejala. Kadang penderita hanya mengalami gangguan ringan seperti dispepsia, yaitu rasa mual pada perut, diare, serta konstipasi. Lung migration kadang bisa menyebabkan Loeffler Syndrome, yaitu penderita mengalami batuk darah, demam, dan peningkatan jumlah eosinofil dalam tubuh (eosinofilia), dimana kondisi ini sering disalah-artikan sebagai TBC. (Gandahusada, 1998). Gejala yang lebih berat biasanya disebabkan oleh larva. Larva ini hidup dengan menyerap sari makanan pada tubuh inang, sehingga menyebabkan penderita mengalami malabsorbsi, yaitu suatu keadaan dimana kemampuan usus untuk menyerap sari makanan menjadi berkurang. Infeksi ini dapat menjadi lebih berat bila terjadi obstruksi usus (ileus). (Ideham, et al, 2007). Migrasi cacing dewasa ke organ tubuh, seperti hidung, anus, dan mulut juga bisa menimbulkan kelainan yang serius. (Onggowaluyo, 2002). Ringannya gejala menyebabkan penderita baru menyadari bahwa dirinya menderita penyakit kecacingan pada kondisi yang sudah kronis dan berat. ( Pada kondisi infeksi kronis dan berat dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh, kecerdasan (intelegensia), serta gizi buruk. (Sumanto, 2008). 72
5 4) Diagnosis Diagnosis askariasis berdasarkan pemeriksaan parasitologi, baik secara makroskopik maupun secara mikroskopik. Bila pada spesimen yang diperiksa ditemukan bentuk diagnostik dari Ascaris lumbricoides, maka dapat disimpulkan bahwa pasien menderita askariasis. Pemeriksaan imunologi dan radiologi juga bisa digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis askariasis. ( Brown Harold W, 1979). Tabel 1. Pemeriksaan parasitologi Ascaris lumbricoides (Prasetyo, 2002) No Bahan Pemeriksaan Bentuk Diagnostik Telur Larva Cacing dewasa 1. Pemeriksaan tinja 2. Pemeriksaan cairan empedu 3. Pemeriksaan bahan muntahan 4. Pemeriksaan biopsi jaringan paru 5. Pemeriksaan sputum 5) Pencegahan dan Pengobatan Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor yang dapat menyebabkan infeksi kecacingan, melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Pendidikan kesehatan pada penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan penyebaran dan pemberantasan askariasis. Pengobatan bisa dilakukan dengan memberi obat cacing seperti mebendazol, piperasin, levamizol, pirantel pamoat, dan albendazol pada penderita. (Onggowaluyo, 2002). Pengobatan massal juga perlu dilakukan, terutama di daerah endemik, sehingga dapat memutus siklus hidup cacing ini. (Soedarto, 2008). 2 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale Necator americanus dan Ancylostoma duodenale merupakan soil transmitted helminths yang habitatnya di mukosa usus halus. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis. (Onggowaluyo, 2002). Selain nekatoriasis dan ankilostomiasis, cacing ini juga bisa menyebabkan kardiomegali, pneumositis, dan AKB (Gandahusada, 1998). 1) Epidemiologi Cacing ini bersifat kosmopolit, yang artinya bisa hidup hampir di semua tempat, sama seperti Ascaris lumbricoides. Kedua cacing ini paling banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Cacing ini bisa tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, seperti daerah perkebunan dan pertambangan. Oleh karena cacing ini sering mengakibatkan infeksi pada pekerja tambang, maka cacing ini juga disebut cacing tambang (hookworm). (Onggowaluyo, 2002). Merupakan penyebab soil transmitted helminthiasis paling tinggi setelah Ascaris lumbricoides. (Depkes R.I, 2004). 2) Morfologi dan Daur Hidup Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale mempunyai bentuk yang hampir sama, sehingga sulit dibedakan secara mikroskopik. Telur kedua cacing tambang ini mempunyai ukuran µm, berbentuk oval dengan kedua kutub agak mendatar. Kulit telur ini sangat tipis, hanya tampak sebagai garis hitam. Bagian dalam berwarna abu abu, berisi 4 16 blastomer, tergantung tingkat maturitasnya. (Prasetyo, 2002). Cacing tambang mempunyai 2 stadium larva, yaitu larva rhabditiform dan larva filariform. Pada stadium larva rhabditiform, kedua cacing tambang ini memiliki bentuk tubuh yang hampir sama, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan pada stadium filariform terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. 73
6 Tabel 2. Perbedaan larva rhabditiform & larva filariform Larva rhabditiform Larva filariform Necator americanus Ancylostoma duodenale Gemuk Langsing Langsing Panjang 250 µm Panjang 600 µm Panjang 600 µm Rongga mulut panjang Rongga mulut panjang Rongga mulut panjang Tidak infektif Infektif Infektif Bulbus esofagus Tombak esofagus menonjol, sering terbuka Tombak esofagus tidak menonjol, sering tertutup - Ujung posterior lancip Ujung posterior tumpul - Diselubungi sheat yang bergaris melintang Diselubungi sheat tanpa garis melintang (polos) (Prasetyo, 2002) Pada fase dewasa, Necator americanus memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan huruf S, rongga mulut yang disertai plat pemotong, serta tidak ada spinal kaudal pada ekor cacing betina. Sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan huruf C, rongga mulut yang disertai gigi, serta adanya spinal kaudal pada ekor cacing betina. (Prasetyo, 2002). Telur cacing tambang dapat berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah liat dengan kelembaban tinggi dan dengan suhu 25 30º C. Pada kondisi lingkungan seperti ini, telur akan menetas menjadi larva rhabditiform dalam waku kurang dari 2 hari, kemudian pada hari ke 5-8 larva rhabditiform akan berubah menjadi bentuk yang infektif, yaitu larva filariform pada tanah yang berpasir. Larva filariform bisa bertahan hidup di tanah dalam waktu 3 4 minggu. (Gandahusada, 1998). Larva filariform menginfeksi manusia melalui media tanah secara per - oral dan subkutan, berbeda dengan Ascaris lumbricoides yang menginfeksi manusia hanya secara per - oral. Setelah masuk ke dalam kulit, larva ini akan terbawa aliran darah menuju paru, kemudian larva akan menuju faring melalui trakea. Setelah di dalam faring, larva akan tertelan ke dalam usus. (Prasetyo, 2002). Larva kemudian akan melekat pada mukosa usus halus dengan menggunakan plat pemotong ataupun gigi dan menghisap darah dari tubuh inang. Sedangkan bila larva filariform Ancylostoma duodenale masuk melalui tubuh secara per - oral, maka larva filariform bisa langsung melekat pada mukosa usus halus tanpa melalui peredaran darah, paru, trakea, serta faring. (Onggowaluyo, 2002). 3) Patologi dan Gejala Klinis Gejala klinis bisa ditimbulkan oleh larva maupun cacing dewasa, semakin banyak jumlah larva yang masuk ke dalam tubuh, maka semakin berat pula gejala yang ditimbulkan. Bila larva masuk ke dalam tubuh secara subkutan, maka bisa menimbulkan rasa gatal. Rasa gatal ini bisa menyebabkan infeksi sekunder bila lesi meluas dan menjadi terbuka, yang disebut ground itch. (Soedarto, 2008). Selain ground itch, cacing tambang juga bisa menyebabkan pneumositis dan nekrosis jaringan usus. Pneumositis diakibatkan oleh lung migration yang dilakukan oleh larva cacing tambang. Lung migration kadang juga bisa menyebabkan reaksi alergi yang ringan. Sedangkan nekrosis jaringan usus diakibatkan oleh larva yang melekat pada mukosa usus halus penderita, sehingga menyebabkan perdarahan terus menerus. Larva ini hidup di dalam usus dengan cara menghisap darah dari tubuh inang, yang mengakibatkan penderita mengalami AKB (anemia kurang besi). Penderita akan tampak pucat karena mengalami penurunan kadar hemoglobin. (Gandahusada, 1998). Pada infeksi akut sering disertai dengan gejala sakit perut, muntah, serta diare dengan tinja berwarna merah pekat 74
7 akibat banyak darah yang keluar, dapat dijumpai eosinofilia perifer. (Ideham, et al, 2007; Gandahusada, 1998) 4). Diagnosis Diagnosis nekatoriais dan ankilostomiasis berdasarkan pemeriksaan parasitologi secara mikroskopik. Bila pada spesimen yang diperiksa ditemukan bentuk diagnostik dari cacing tambang, maka dapat disimpulkan bahwa penderita terinfeksi cacing tambang. Pada pemeriksaan parasitologi cacing tambang perlu diperhatikan cara penanganan spesimen. Spesimen tinja harus diperiksa dalam waktu 24 jam, agar telur tidak menetas menjadi larva rhabditiform. Spesimen lebih baik diperiksa pada sediaan basah, karena pewarnaan bisa berpengaruh pada hasil pemeriksaan. (Onggowaluyo, 2002). Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan lebih memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan. Pembuatan jamban serta pemakaian alas kaki bisa mencegah terjadinya infeksi akibat cacing tambang. Penyuluhan juga perlu dilakukan untuk menambah pengetahuan masyarakat sehingga bisa mencegah terjadinya penyebaran infeksi cacing tambang. Pengobatan bisa ditujukan untuk mengatasi anemia maupun memberantas cacing dalam tubuh. Beberapa obat yang bisa diberikan pada penderita adalah mebendazol, albendazol, dan juga levamisol. Sedangkan untuk terapi anemia bisa digunakan folic acid dan preparat besi. (Soedarto, 2008). 3 Trichuris trichiura Trichuris trichiura merupakan soil transmitted helminth yang habitatnya di mukosa usus besar manusia. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut trikuriasis. (Onggowaluyo, 2002). Infeksi cacing ini sering terjadi bersamaan dengan infeksi Ascaris lumbricoides. Selain menyebabkan trikuriasis, cacing ini juga bisa mengakibatkan perdarahan dan anemia. (Gandahusada, 1998). 1) Epidemiologi Trichuris trichiura bersifat kosmopolit, yaitu tersebar hampir di semua tempat, terutama di daerah yang panas dan lembab. Frekuensi penyebaran tertinggi terjadi di daerah tropis, dengan hujan lebat serta banyak kontaminasi tinja. Frekuensi infeksi cacing cambuk relatif tinggi, tetapi biasanya bersifat ringan. Infeksi ini sering terjadi bersamaan dengan infeksi Ascaris lumbricoides. Anak usia balita lebih rentan terkena infeksi dibandingkan orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak usia balita lebih sering melakukan kontak dengan tanah yang tercemar tinja. (Brown Harold W, 1979). 2) Morfologi dan Daur Hidup Telur Trichuris trichiura berbentuk seperti tempayan dengan ukuran 50 µm x 32 µm. Memiliki 2 lapisan kulit, yaitu kulit tebal dan tipis yang berwarna oranye. Pada tiap kutub dilengkapi tutup (plug) yang transparan. Berisi masa bergranula yang seragam dengan warna kekuningan. (Prasetyo, 2002). Cacing Trichuris trichiura dewasa memiliki bentuk seperti cambuk. Bagian anterior merupakan 3/5 bagian tubuhnya, berbentuk lonjong seperti rambut. Sedangkan 2/5 bagian tubuh merupakan bagian posterior yang lebih tebal. Cacing jantan memiliki panjang 3-4 cm, dengan bagian kaudal yang melengkung ke arah ventral. Memiliki spikulum retraktil yang dilingkupi oleh selubung. Sedangkan cacing betina memiliki panjang 4 5 cm, dengan bagian kaudal yang membulat dan tumpul seperti tanda koma. (Prasetyo, 2002; Gandahusada, 1998). Telur Trichuris trichiura yang sudah dibuahi akan berkembang menjadi telur yang mengandung embrio atau larva dalam waktu 3 6 minggu. Telur bisa berkembang jika berada pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah lembab dengan suhu 30 C. Bila telur yang berisi larva tertelan oleh manusia, maka telur akan menetas menjadi larva di dalam usus halus. larva yang telah berkembang menjadi cacing dewasa akan masuk ke 75
8 daerah kolon, terutama daerah sekum. Cacing ini tidak mempunyai siklus paru (lung migration). (Gandahusada, 1998). Cacing ini mempunyai masa hidup 4-6 tahun, tetapi dapat juga terjadi infeksi yang menetap pada tubuh penderita hingga 8 tahun. (Ideham, et al, 2007). 3) Patologi dan Gejala Klinis Gejala klinis yang diakibatkan oleh cacing ini bisa bersifat berat maupun ringan, atau bahkan tanpa gejala, sesuai jumlah cacing yang menginfeksi. Cacing ini melekat pada mukosa usus besar dan hidup dengan cara menghisap darah dari tubuh inang, sehingga menimbulkan perdarahan pada tempat perlekatan. Perdarahan yang terjadi terus menerus bisa mengakibatkan anemia pada penderita dengan kadar hemoglobin kurang dari 5 g/dl. Pada infeksi berat, cacing kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolaps akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. (Soedarto, 2008). 4) Diagnosis Diagnosis trikuriasis berdasarkan pada pemeriksaan parasitologi, baik secara makroskopis maupun secara mikroskopik. Pada pemeriksaan secara makroskopis, dapat ditemukan adanya cacing dewasa pada spesimen mukosa dan prolapsus rektum. Sedangkan pada pemeriksaan secara mikroskopis, dapat ditemukan bentuk telur yang khas pada spesimen tinja. (Prasetyo, 2002). Pada infeksi ringan, perlu dilakukan berbagai cara konsentrasi. (Harold, 1979). Tabel 3. Pemeriksaan parasitologi cacing Trichuris trichiura (Prasetyo, 2002) No Bahan Pemeriksaan Bentuk Diagnostik Telur Cacing dewasa 1. Pemeriksaan tinja 2. Pemeriksaan mukosa rektum 3. Pemeriksaan prolapsus rektum (Prasetyo, 2002) 5). Pencegahan dan Pengobatan Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya memberikan penyuluhan, terutama pada anak usia balita, tentang sanitasi dan higiene seperti membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air. Pembuatan jamban juga turut serta dalam upaya mencegah terjadinya soil transmitted helminthiasis. Pengobatan pada penderita trikuriasis bisa dilakukan dengan memberi kombinasi pirantel pamoat dan oksantel pamoat secara bersamaan dengan dosis pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan dan oksantel pamoat mg/kg berat badan. (Soedarto, 2008). 4 Strongyloides stercoralis Strongyloides stercoralis merupakan cacing nematoda yang penularannya melalui media tanah secara subkutan. Selain itu cacing ini juga bisa menyebabkan autoinfeksi. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut strongiloidiasis. (Gandahusada, 1998; Onggowaluyo, 2002). Infeksi cacing ini juga bisa menyebabkan kematian akibat kerusakan otak, kegagalan pernafasan, dan peritonitis. (Bruckner, 1996). 1) Epidemiologi Penyebaran infeksi cacing Strongyloides stercoralis sering ditemukan bersamaan dengan infeksi cacing tambang, hanya saja frekuensinya lebih rendah di daerah beriklim sedang. Cacing ini sering terdapat di daerah beriklim tropis dan subtropis, terutama di daerah dengan sanitasi yang buruk. (Brown Harold W, 1979; Ideham, et al, 2007). 76
9 2) Morfologi dan Daur Hidup Larva rhabditiform Strongyloides stercoralis berukuran µm, memiliki mulut yang pendek dengan dua pembesaran esofagus. Larva filariform memiliki ukuran yang lebih panjang, yaitu sekitar 700 µm, dengan bentuk tubuh yang langsing tidak berselubung, bermulut pendek, memiliki esofagus silindris serta ekor yang bercabang. (Soedarto, 2008; Prasetyo, 2002). Cacing dewasa Strongyloides stercoralis memiliki 2 bentuk, yaitu bentuk parasitik dan bentuk bebas. Cacing yang parasitik berukuran sekitar 2,2 mm, berbentuk seperti benang halus, tidak berwarna dan semi transparan. Cacing ini juga dilengkapi dengan sepasang uterus dan memiliki sistem reproduksi partenogenesis. (Prasetyo, 2002; Gandahusada, 1998). Sedangkan cacing dewasa yang hidup bebas (free living) berukuran lebih pendek daripada cacing yang parasitik, memiliki esofagus yang mirip dengan esofagus pada stadium larva rhabditiform, cacing jantan memiliki ekor yang bengkok dan dilengkapi dengan spikulum. (Prasetyo, 2002). 3) Patologi dan Gejala Klinis Gejala klinis bisa bersifat ringan, sedang ataupun berat, tergantung jumlah cacing. Bila larva yang masuk ke dalam kulit dalam jumlah besar, maka akan menimbulkan rasa gatal, atau bahkan dapat menyebabkan kelainan kulit, yaitu creeping eruption. Infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Infeksi sedang sering menimbulkan rasa mual, muntah, diare dan juga konstipasi. Infeksi yang lebih berat terjadi dalam jangka waktu yang panjang. (Gandahusada, 1998). Pada saat tertentu, dimana penderita mengalami penurunan imunitas dan keseimbangan, maka infeksi akan semakin meluas yang ditandai dengan peningkatan produksi larva di dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan peritonitis, kerusakan otak, dan juga kegagalan pernafasan yang bisa mengakibatkan kematian. (Soedarto, 2008; Bruckner, 1996). 4) Diagnosis Diagnosis strongiloidiasis berdasarkan pada pemeriksaan parasitologi, secara mikroskopik. Pemeriksaan secara mikroskopik lebih baik menggunakan metode konsentrasi atau metode biakan (Harada Mori), karena pada metode langsung jarang ditemukan adanya bentuk diagnostik pada spesimen. Telur cacing lebih sering ditemukan pada infeksi ringan, sedangkan pada infeksi berat kadang hanya bisa ditemukan larvarhabditiform maupun larva filariform. (Onggowaluyo, 2002). Tabel 4. Pemeriksaan parasitologi Strongyloides stercoralis. (Prasetyo, 2002) No Bahan Pemeriksaan Bentuk Diagnostik Telur Larva Cacing Rhabditiform Filariform dewasa 1. Pemeriksaan tinja 2. Pemeriksaan biakan free living 3. Pemeriksaan perianal 4. Pemeriksaan cairan duodenum 5) Pencegahan dan Pengobatan Upaya pencegahan lebih sulit dilakukan dibandingkan pencegahan terhadap infeksi cacing tambang. Hal ini dikarenakan adanya hewan sebagai hospes reservoir, selain itu terjadinya autoinfeksi serta siklus hidup bebas di tanah menyebabkan sulitnya pemberantasan penyakit ini. (Soedarto, 2008). Meskipun demikian, penyebaran infeksi ini bisa diminimalkan dengan membiasakan diri memakai alas kaki serta menghindari defekasi di sembarang tempat. (Onggowaluyo, 2002). Pengobatan sendiri dapat 77
10 dilakukan dengan memberikan tiabendazol dengan dosis 25 mg/kg berat badan setiap hari, yang terbagi dalam 3 dosis dan diberikan selama 3 hari. Selain itu albendazol juga dapat diberikan pada penderita dengan dosis tunggal 400 mg. (Soedarto, 2008). 5. Faktor Penyebab 1) Faktor Usia Faktor usia sangat berpengaruh terhadap tingginya prevalensi infeksi kecacingan. Pada umumnya, anak usia balita lebih rentan terkena infeksi kecacingan daripada orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak usia balita paling sering melakukan kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja. (Onggowaluyo, 2002). Minimnya pengawasan orang tua juga turut berperan dalam penularan infeksi kecacingan, terkadang orang tua tidak membiasakan anak untuk memakai alas kaki, sehingga anak rawan terkena infeksi kecacingan. 2) Faktor Lingkungan Keadaan lingkungan juga bisa berpengaruh terhadap penularan infeksi kecacingan, baik lingkungan rumah maupun lingkungan luar. Ada tidaknya sumber air bersih dan jamban yang memenuhi syarat kesehatan juga turut menjadi tolak ukur. Lingkungan dengan sanitasi yang baik dapat mencegah terjadinya penularan infeksi kecacingan. 3) Faktor Kebersihan Diri Kebersihan diri merupakan hal yang sangat penting yang harus diperhatikan. Usaha untuk senantiasa menjaga kebersihan diri merupakan usaha untuk melindungi, memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan manusia, sehingga tidak sampai menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Kebersihan diri sendiri meliputi kebersihan kulit, seperti mandi minimal 2x sehari, mandi dengan menggunakan sabun, serta menjaga kebersihan pakaian. Selain itu, tiap individu harus membiasakan diri untuk melakukan kebiasaan baik, seperti : 1. Menghindari kontak langsung dengan tanah, membiasakan diri untuk memakai alas kaki. 2. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah buang air. 3. Mencuci kaki dan tangan sebelum tidur. 4. Memotong kuku secara teratur. 5. Mencuci buah dan sayur yang tidak dimasak dengan air hangat. Kebersihan diri sangat berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan, artinya bila melakukan upaya untuk menjaga kebersihan diri, maka harus didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, seperti saat mencuci tangan sebelum makan, maka dibutuhkan air yang bersih, yang tentunya harus berasal dari sumber air yang bersih dan memenuhi syarat kesehatan. ( Chapter%20II.pdf). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan di laboratorium dan hasil pengamatan di lapangan. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup keilmuan parasitologi yang dilaksanakan pada anak usia balita di Puskesmas Blimbimng Malang. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji laboratorium, observasi, dan wawancara secara langsung. Metode pengambilan data adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data penelitian, dalam hal ini termasuk cara pengumpulan spesimen dan metode pemeriksaan. 78
11 Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di Puskesmas Blimbimng Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu melakukan pengarahan kepada orang tua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan. Metode Pemeriksaan parasitologi pada spesimen tinja dilakukan baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis meliputi pengamatan bau, warna dan konsistensi tinja. Pemeriksaan makroskopis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan dalam waktu tertentu spesimen akan mengalami perubahan yang bisa mempengaruhi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari 3 cara, yaitu : 1. Cara Langsung. 2. Cara Konsentrasi. a) Metode Endapan. b) Metode Apung. c) Metode Biakan (Harada Mori). 3. Cara Pengenceran. (Prasetyo, 2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemeriksaan Dari total 60 wadah penampung tinja yang dibagikan, didapatkan 24 sampel tinja untuk pemeriksaan laboratorium, dengan rincian sebagai berikut : Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Laki-laki 5 21% Perempuan 19 79% Total % Dari tabel di atas, diketahui bahwa dari 24 sampel yang terkumpul didapatkan 5 sampel dari anak laki laki, dan 19 sampel dari anak perempuan. Gambar. Diagram Sampel Pemeriksaan 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Laki-Laki Perempuan Setelah dilakukan pemeriksaan parasitologi di laboratorium, didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium 79
12 Hasil Frekuensi Persentase (%) Positif 0 0 Negatif % Total % Sumberf: Data diolah Dari tabel hasil pemeriksaan laboratorium diatas, dapat diketahui bahwa semua sampel menunjukkan hasil yang negatif. Pembahasan Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di Puskesmas Blimbing Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu melakukan pengarahan kepada orangtua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan. Setelah pengarahan, kami membagikan beberapa pot sampel kepada orang tua balita, yang akan kami ambil secara berkala. Setelah didapatkan sampel pemeriksaan, kami membawa sampel tersebut ke laboratorium Parasitologi Akademi Analis Kesehatan Malang untuk dilakukan pemeriksaan makroskopis dan juga mikroskopis. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Blimbing Malang, kami mendapatkan 24 sampel tinja dari 60 pot sampel yang dibagikan, dengan rincian 19 sampel anak perempuan dan 5 sampel anak laki laki. Dari 24 sampel tersebut, semuanya memberikan hasil yang negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak. Lingkungan yang bersih, dimana tersedia sumber air bersih dan jamban yang memenuhi syarat kesehatan, baik di lingkungan rumah, lingkungan bermain, maupun lingkungan sekolah bisa meminimalkan risiko penularan penyakit kecacingan. Kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak, juga turut berperan dalam menekan angka penularan kecacingan. Orang tua berperan aktif dalam mencegah penularan penyakit kecacingan, seperti mencegah anak untuk melakukan kontak langsung dengan tanah, membiasakan anak untuk selalu memakai alas kaki serta mengajarkan anak untuk melakukan kebiasaan baik seperti : 1. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi minimal 2x sekali, mandi dengan menggunakan sabun, serta menjaga kebersihan pakaian. 2. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah buang air. 3. Mencuci kaki dan tangan sebelum tidur. 4. Memotong kuku secara teratur. 5. Mencuci buah dan sayur yang tidak dimasak dengan air hangat. Dengan membiasakan diri untuk selalu hidup bersih, secara tidak langsung bisa meningkatkan derajat kesehatan manusia sehingga tidak sampai menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa infeksi soil transmitted helminths pada kelompok anak balita di Puskesmas Blimbing Malang menunjukkan semua hasil negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak. Saran - Memberikan penyuluhan secara intensif pada orang tua agar lebih memperhatikan lingkungan bermain anak. 80
13 - Mencuci sayur dan buah yang tidak dimasak dengan air hangat. - Senantiasa menjaga kebersihan kulit, seperti mandi minimal 3x sehari, mandi dengan menggunakan sabun, serta menjaga kebersihan pakaian. - Menghindari kontak secara langsung dengan tanah, membiasakan diri untuk memakai alas kaki. - Senantiasa memotong kuku secara teratur. - Senantiasa membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah buang air. - Membiasakan diri untuk mencuci kaki dan tangan sebelum tidur. - Memberikan obat cacing secara berkala kepada anak, yaitu setiap 6 bulan sekali. DAFTAR PUSTAKA Anonim Klasifikasi Soil Transmitted Helminths. Diunduh dari Anonim Gambar Telur dan Cacing Dewasa Soil Transmitted Helminths. Diunduh dari Brown H. W Basic Clinical Parasitology. Mereidith Corporation. Departemen Kesehatan RI Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacingan. Gandahusada S, et al Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Gracia LS, Bruckner Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Ideham B dan Pusarawati S Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga University Press. Institute of Tropical Disease Airlangga University Hookworm Microscopy Finding. Diunduh dari Frames/GL/Hookworm/body _Hookworm_mic1. htm. Laboratory identification of parasite of public health concern Parasite of The Intestinal Tract. Maharani A Infeksi Nematoda Usus pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Karang Mulya 02 Kecamatan Pegandon Kabupatan Kendal. In : Samad H. Hubungan Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung. Margono S S Impotan Human Helminthiasis in Indonesia. In : Crompton DWT, Montressor A, Neisheim Mc, Savioli L, eds. Controlling Disease Due to Helminth Infections. WHO. Geneva. Notoatmodjo, S Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Onggowaluyo J S Parasitologi Medik I Helminthologi. Jakarta : EGC. Prasetyo R H Pengantar Praktikum Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga University Press. 81
14 Samad H Hubungan Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Soedarto Parasitologi Klinik. Jakarta : Sagung Seto. Soedomo M Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia. Jakarta : Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska. Sumanto D Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Sutanto I, et al Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Tembung Kecamatan Medan Tembung. E journal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Ulukanligil M, et al Environmental Pollution with Soil Transmitted Helminths in Salinurfa.Turkey Mem Inst. Ozwaaldo Cruz, Rio de Janeiro. 82
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan
Lebih terperinciPada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan
sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak
Lebih terperincixvii Universitas Sumatera Utara
xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan
Lebih terperinciUniversitas Sumatera Utara
2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang 70 80%. Air sangat penting bagi kehidupan jasad renik ataupun kehidupan pada umumnya,
Lebih terperinciPENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id
PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH) (Freeman et al, 2015).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Tambang dan Cacing Gelang 1. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Batasan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus kedua parasit ini di
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor meningkatnya kejadian infeksi adalah kebiasaan hidup yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang higinis adalah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kecacingan Menurut asal katanya helminth berasal dari kata Yunani yang berarti cacing. Cacing merupakan hewan yang terdiri dari banyak sel yang membangun suatu jaringan
Lebih terperinciCONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER
PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi masalah tingginya prevalensi penyakit infeksi, terutama yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya
Lebih terperinciBAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)
BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
17 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Kecacingan oleh STH ini ditularkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak Sekolah Dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Kecacingan 2.1.1 Definisi Kecacingan Helmintiasis (kecacingan) menurut WHO adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Soil Transmitted Helminths (STH) Keberadan dan penyebaran suatu parasit di suatu daerah tergantung pada berbagai hal, yaitu adanya hospes yang peka, dan terdapatnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing golongan nematoda usus yang penularannya melalui tanah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan tanah untuk proses
Lebih terperinciMAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI
MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun
20 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminthiasis Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun yang tersering penyebarannya di seluruh dunia adalah cacing gelang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Helminthiasis Nematoda mempunyai jumlah spesies terbanyak di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat,daur hidup dan hubungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit parasit baik yang disebabkan oleh cacing, protozoa, maupun serangga parasitik pada manusia banyak terdapat di negara berkembang dan beriklim tropis,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing tularan tanah merupakan cacing yang paling sering menginfeksi manusia, biasanya hidup di dalam saluran pencernaan manusia (WHO, 2011). Spesies cacing tularan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Yang Siklus Hidupnya Melalui Tanah 1. klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes dan mempunyai kelas Nematoda, sedangkan superfamili
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Soil Transmitted Helminths STH (Soil Transmitted Helminths) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.
Lebih terperinciCACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)
CACING TAMBANG Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) PROGRAM STUDY D-IV ANALIS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2015/2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang bersifat kronis yang ditularkan melalui tanah dan menyerang sekitar 2 milyar penduduk di dunia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminth 1. Klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies mempunyai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis cacing Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negaranegara dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat dengan higiene
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan
Lebih terperinciEfektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur
Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Julia Suwandi, Susy Tjahjani, Meilinah Hidayat Bagian Parasitologi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan sejumlah spesies cacing parasit kelas Nematoda yang dapat menginfeksi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan 1. Definisi Kecacingan secara umum merupakan infeksi cacing (Soil transmitted helminthiasis) yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara tropis yang sedang berkembang seperti Indonesia, masih banyak penyakit yang masih menjadi permasalahan di dunia kesehatan, salah satunya adalah infeksi
Lebih terperinciPREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI
PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: KHOIRUN NISA NIM. 031610101084 FAKULTAS KEDOKTERAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang prevalensinya sangat tinggi di Indonesia, terutama cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Higiene Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helmithiasis) disebut juga penyakit infeksi kecacingan STH, masih merupakan problema kesehatan
Lebih terperinci2. Strongyloides stercoralis
NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem
Lebih terperinciPREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN
ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah45 PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN Oleh : Ersandhi Resnhaleksmana Dosen
Lebih terperinciGambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014
Al-Sihah : Public Health Science Journal 12-18 Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014 Azriful 1, Tri Hardiyanti Rahmawan 2 1
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths (STH) Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini, 2009). Cacing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global, khususnya di negara-negara berkembang pada daerah tropis dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah atau Soil- Transmitted Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health Oganization
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Kecacingan Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO) adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari cacing gelang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi cacing usus terutama yang ditularkan melalui tanah atau disebut soil-transmitted helmint infections merupakan salah satu infeksi paling umum di seluruh
Lebih terperinciPemeriksaan Kualitatif Infestasi Soil Transmitted Helminthes pada Anak SD di Daerah Pesisir Sungai Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau
Pemeriksaan Kualitatif Infestasi Soil Transmitted Helminthes pada Anak SD di Daerah Pesisir Sungai Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar, Riau Lilly Haslinda, Esy Maryanti, Suri Dwi Lesmana, Mislindawati Abstrak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Soil Transmitted Helminths (STHs) Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan nematoda usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang tersebar luas didaerah tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 lebih dari
Lebih terperinciUJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI
UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral
Lebih terperinciDistribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi
Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan (Ascariasis dan Trichuriasis) 1. Definisi Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris lumbricoides dalam tubuh manusia. Spesies cacing yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Infeksi Kecacingan a. Pengertian Infeksi Kecacingan Infeksi kecacingan adalah masuknya suatu bibit penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme (cacing)
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Usus Cacing usus yang dimaksud di sini adalah beberapa jenis nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Terdapat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit infeksikecacingan yang ditularkan melalui tanah(soil transmitted
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Nematoda Usus (Soil Transmited Helminth) Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar penularannya melalui tanah maka di golongkan dalam
Lebih terperinciPREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG
MKM Vol. 03 No. 02 Desember 2008 PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG Jansen Loudwik Lalandos 1, Dyah Gita Rambu Kareri 2 Abstract: Kualitas
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths (STH) Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %. Kejadian kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN INFEKSI CACING USUS YANG DITRANSMISIKAN MELALUI TANAH (SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS) DENGAN PENDAPATAN KELUARGA PADA SISWA SDN 09 PAGI PASEBAN TAHUN 2010 SKRIPSI ARINI PUTRIHERYANTI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Soil-transmitted helminthiasis merupakan. kejadian infeksi satu atau lebih dari 4 spesies cacing
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Soil-transmitted helminthiasis merupakan kejadian infeksi satu atau lebih dari 4 spesies cacing parasit usus, antara lain Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang, terutama di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan permasalahan yang banyak ditemukan di masyarakat namun kurang mendapat perhatian. Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kebijakan pembangunan kesehatan telah ditetapkan beberapa program dan salah satu program yang mendukung bidang kesehatan ialah program upaya kesehatan masyarakat.
Lebih terperinciPARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS
PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian
Lebih terperinciFREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN
FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN Fitria Nelda Zulita, Gustina Indriati dan Armein Lusi Program Studi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi cacing atau kecacingan merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang utama di negara miskin atau negara berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada
Lebih terperinciUJI PAPARAN TELUR CACING TAMBANG PADA TANAH HALAMAN RUMAH (Studi Populasi di RT.05 RW.III Rimbulor Desa Rejosari, Karangawen, Demak)
UJI PAPARAN TELUR CACING TAMBANG PADA TANAH HALAMAN RUMAH (Studi Populasi di RT.05 RW.III Rimbulor Desa Rejosari, Karangawen, Demak) Didik Sumanto* * Laboratorium Parasitologi Fakultas Ilmu Keperawatan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa cacingan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Kecacingan Infeksi cacingan adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman atau melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa Indonesia
Lebih terperinci