Oleh: Dian N. Puji Simatupang, S.H., M.H 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh: Dian N. Puji Simatupang, S.H., M.H 1"

Transkripsi

1 HAKIKAT KEUANGAN NEGARA DALAM BANK INDONESIA DAN GAGASAN ARSITEKTUR KEUANGAN PUBLIK SEBAGAI KONSEP PENGATURAN KEUANGAN YANG BERBASISKAN PADA PRINSIP BADAN HUKUM Oleh: Dian N. Puji Simatupang, S.H., M.H 1 A. PENDAHULUAN 1. Peran Strategis Bank Indonesia Eksistensi bank sentral di suatu negara yang diatur dalam konstitusi pada dasarnya menunjukkan pentingnya tugas otoritas di bidang moneter dan dan fungsi lainnnya dari bank sentral. Sebagai institusi yang mempunyai wewenang untuk mengelola moneter itulah, bank sentral wajar jika diberikan kedudukan yang independen guna menjaga kredibilitasnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar kebijakannya tidak dipengaruhi oleh institusi lainnya, agar fungsinya dapat dijalankan sebagaimana mestinya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. 1 Sekretaris Bidang Kajian Keuangan Publik Center for Law and Good Governance Studies FHUI Dengan demikian, tidak ada kepentingan apapun yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan moneter yang diambil bank sentral atau kebijakan pemerintah/lembaga negara lainnya tidak dapat mempengaruhi tugas bank sentral. Di Indonesia, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 (UU BI) Bank Indonesia berperan sebagai bank sentral yang mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal 8 UU BI). Apabila dilihat dari kedudukannya di UUD 1945 Amandemen ke IV dan UU BI, Bank Indonesia setara dengan lembaga negara dan berstatus badan hukum publik. Dalam kedudukannya sebagai bank sentral, Bank Indonesia harus BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

2 melepaskan fungsi komersialnya seperti pelayanan jasa perbankan. Dilepaskannya pelayanan jasa perbankan Bank Indonesia dimaksudkan agar bank sentral dapat berkonsentrasi pada upaya menjaga stabilitas moneter dan memperkuat cadangan devisa negara. Dengan dasar pemahaman tersebut, kebijakan dan tindakan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan penguatan ekonomi nasional. Dengan kata lain, kebijakan dan tindakan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sama sekali tidak dapat dikatagorikan sebagai tindakan komersial atau upaya memperoleh laba sebagai layaknya subyek pajak. Apabila mendasarkan pada Pasal 8 UU BI, ketiga tugas Bank Indonesia tersebut harus dijalankan dan dilakukan dengan proses dan mekanisme yang tersistem serta terbebas dari pengaruh manapun. Tugas sedemikian strategis dan penting tersebut selayaknya dilakukan secara independen karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan nasional yang akan sangat mempengaruhi sistem perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh sebab itu, kebijakan dan tujuan Bank Indonesia yang diarahkan pada penguatan sektor moneter membutuhkan konsentrasi yang tinggi agar stabilitas ekonomi yang bertumpu pada fundamental moneter yang sehat tetap terjaga. Oleh sebab itu, Pemerintah dan lembaga negara manapun tidak dapat mendistigmasi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan untuk mencapai tujuannya, dengan kebijakan yang dibentuk oleh Bank Indonesia itu sendiri. Misalnya, Pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang cenderung memperlemah tujuan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya, yang pada dasarnya juga merupakan sebagian tugas negara. Dalam konteks ini, semua lembaga negara perlu mendudukkan kebijakan Bank Indonesia yang dijalankannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, kebijakan lembaga negara dan peraturan perundang-undangan tidak dapat mengesampingkan kebijakan dan peraturan perundangundangan yang memungkinkan Bank Indonesia untuk secara konsisten dan konsentrasi mencapai tujuannya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dengan pemahaman tersebut, jelas menegaskan Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan bidang moneter tidak dilaksanakan menurut kehendak dan pertimbangan diri BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 35 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

3 sendiri. Akan tetapi, segala tindakan dan kebijakan dalam urusan ini bersandarkan pada pertimbangan makro-ekonomi. Dengan demikian, independensi dalam menjalankan kebijakan tersebut sangat penting bagi Bank Indonesia untuk memulihkan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini mengingat Bank Indonesia diberikan tugas yang tidak ringan dalam menjaga stabilitas makro perekonomian nasional. 2. Kedudukan Keuangan Negara dalam Bank Indonesia Sementara itu, kedudukan keuangan dalam Bank Indonesia tetap merupakan keuangan negara. Konsepsi ini dapat dilihat dari kedudukan keuangan negara dalam Bank Indonesia yang modalnya berasal dari negara. Namun, berdasarkan aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya, ada perbedaan mendasar pada risiko yang ditanamkan oleh negara dalam Bank Indonesia. Dengan pembedaan ini, dapat terlihat kedudukan keuangan negara dalam permodalan Bank Indonesia yang digunakan untuk menghadapi risiko yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Perlu dipahami penanaman modal negara mengandung makna pemerintah menyisihkan kekayaan negara untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Konsekuensi logis adanya modal negara pada Bank Indonesia, pemerintah sebagai representasi negara harus ikut menjaga agar Bank Indonesia tetap mempunyai struktur modal yang kuat dan didukung dengan cadangan umum yang mampu menanggung risiko yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam menanggung risiko tersebut, posisi Bank Indonesia harus kuat dalam menjaga cadangan umumnya, sehingga menjadi kewajiban pemerintah dalam turut menjaga posisi cadangan umum Bank Indonesia tetap pada upayanya menjaga kestabilan perekonomian secara keseluruhan. Dalam hal ini, pemerintah saat berhadapan dengan Bank Indonesia harus memposisikan diri sebagai badan hukum publik yang harus mendukung Bank Indonesia dalam menanggung risiko yang kemungkinan terjadi dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenang Bank Indonesia tidak akan dapat optimal dan maksimal dijalankan oleh Bank Indonesia, jika pemerintah mengesampingkan prinsip pembedaan mendasar antara BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 36 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

4 Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dengan bank umum sebagai badan hukum privat. Sebagai konsekuensi logis dari adanya pembedaan tersebut, proses penanaman modal tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang antara pemerintah dan DPR dalam rangka mewujudkan Bank Indonesia yang kuat dalam menjalankan fungsinya. Dalam proses penanaman modal tersebut, pemerintah menyatakan persetujuannya untuk melakukan kewajiban yang tertera dalam Pasal 6 UU BI tersebut. Dengan ketentuan jika modal Bank Indonesia berkurang, ada penegasan pemerintah harus segera menutup kekurangan tersebut sesuai dengan jumlah kekurangan yang ada, setelah mendapatkan persetujuan DPR. Dibebankannya tanggung jawab pemenuhan modal Bank Indonesia dan penutupan kekurangan modal Bank Indonesia kepada pemerintah disebabkan kewenangan pengelolaan keuangan negara berada pada pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh sebab kewenangan itulah, tindakan menutup kekurangan modal Bank Indonesia maupun menerima kelebihan surplus kegiatan Bank Indonesia harus dipandang sebagai bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, kewenangan itu berada pada lingkup kewenangan publik serta diambil berdasarkan pertimbangan agar pemenuhan kecukupan dana modal Bank Indonesia dari kewajiban moneter tetap tercapai. Oleh sebab itu, menjadi sangat jelas pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai representasi negara agar mewujudkan Bank Indonesia yang kuat. Dengan mendasarkan pada pentingnya kekuatan kecukupan dana tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 62 ayat (4) UU BI 2. Penetapan tidak kena pajak terhadap surplus Bank Indonesia selain merupakan salah satu bentuk kebijakan jaminan pemerintah dan DPR sebagai garansi politik (political guarantee) agar Bank Indonesia dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik. Hal ini secara integral merupakan fungsi dan tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam menjamin integritas Bank Indonesia dalam menjaga perekonomian nasional. 2 Dalam Pasal II ayat (4) UU BI diatur bahwa sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan Undang-Undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 37 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

5 3. Bank Indonesia sebagai Badan Hukum Publik Dalam tatanan hukum saat ini, terdapat dua jenis badan hukum, ditinjau dari sudut hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai subyek hukum, yaitu badan hukum publik dan badan hukum perdata. Badan hukum publik dalam melakukan haknya mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan publik yang dapat mengikat umum. Sementara itu, badan hukum perdata tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan seperti itu. Meski tidak dinyatakan atau tidak ada aturan tertulisnya, negara dikatagorikan sebagai badan hukum publik dengan mensandarkan pada konstitusi. 3 Sebagai badan hukum publik secara derivatif, negara dapat mendirikan badan hukum publik lain maupun badan hukum perdata. UU BI, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan dalam Pasal 23D UUD 1945, menetapkan Bank Indonesia sebagai badan hukum (publik) (Pasal 4 ayat (3)). Dalam hal ini, negara melalui konstitusi memberikan dasar bagi pembentukan badan hukum publik yang mempunyai kewenangan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. 3 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum (Jakaerta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonsia, 2005), hal Ada dua pengertian yang terkandung dari penetapan Bank Indonesia sebagai badan hukum publik, yaitu, pertama, Bank Indonesia mempunyai kewenangan penuh di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan, dan untuk melaksanakan kewenangannya tersebut Bank Indonesia dapat membentuk peraturan yang mengikat umum. Kedua, sebagai badan hukum, Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pembahasan mengenai hubungan Bank Indonesia dan pemerintah setelah berlakunya UU BI tidak lagi menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian dari lembaga yang setingkat dengan departemen pemerintahan. Kedudukannya sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU BI. Campur tangan yang dimaksud dalam UU BI adalah sebatas pada pengangkatan dan pemilihan anggota Dewan Gubernur yang membutuhkan peran presiden dan DPR. Mengenai hubungan dengan pemerintah, Bank Indonesia berposisi sebagai pemegang kas pemerintah. Dalam hal ini Bank BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 38 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

6 Indonesia menatausahakan rekening yang dimiliki oleh pemerintah. Di samping itu, Bank Indonesia untuk dan atas nama pemerintah menerima pinjaman luar negeri. Penerimaan pinjaman luar negeri dilakukan Bank Indonesia dengan konsekuensi Bank Indonesia menatausahakan dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban pemerintah tersebut. Hal ini dilakukan berdasarkan perjanjian yang telah dilakukan pemerintah dan pemberi pinjaman. Dalam hal kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, khususnya perbankan dan keuangan yang terkait erat dengan tugas Bank Indonesia, pemerintah harus mengundang Bank Indonesia pada saat sidang kabinet yang mengambil kebijakan tersebut. Kehadiran Gubernur Bank Indonesia dalam sidang kabinet bukan berarti masuknya kembali posisi Gubernur Bank Indonesia dalam kabinet pemerintahan. Akan tetapi, lebih bersifat konsultatif di mana Gubernur Bank Indonesia diberikan kesempatan memberikan pandangan dan pendapat mengenai kebijakan perekonomian yang akan diambil pemerintah, yang akan terkait erat dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Selanjutnya, dalam hal pengajuan Rancangan APBN, Bank Indonesia juga memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah. Pemerintah harus memperhatikan sungguh-sungguh pertimbangan Bank Indonesia yang biasanya dirumuskan dalam berbagai analisis moneter guna mendukung pelaksanaan APBN. Pemberian pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan Rancangan APBN merupakan bagian yang penting dalam rangka pelaksanaan APBN jika disahkan DPR. Sementara itu, dalam hal penerbitan surat utang negara, Pemerintah juga harus berkonsultasi dahulu dengan Bank Indonesia. Konsultasi ini diperlukan agar, penerbitan surat utang negara tepat waktu dan tidak berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan penjualan surat utang tersebut dapat dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan pemerintah. 4 Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pendapat Bank Indonesia, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas moneter Indonesia. Berdasarkan UU BI tersebut dapat terlihat hubungan Bank Indonesia 4 Lihat UU No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara Pasal 6 dan Penjelasannya. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 39 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

7 dan Pemerintah lebih bersifat konsultatif, dan tidak bersifat subordinatif. Hal demikian menunjukkan independensi Bank Indonesia dalam dua hal pokok, yaitu pertama, bank sentral harus bebas untuk memutuskan cara mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kedua, keputusan yang diambil itu harus merupakan hal yang sulit bagi bagian dari pemerintahan untuk mempengaruhinya. 5 Dengan dasar hubungan dengan Pemerintah yang bersifat konsultatif, Bank Indonesia akan terlepas dari kontrol dan pengaruh lembaga lain yang berupaya menekannya dalam pengambilan keputusan. Namun, sifat independensi tersebut tidak melepaskan tanggung jawab Bank Indonesia dalam menjalankan kinerjanya kepada DPR. Hakikat yang diperoleh dari independensi Bank Indonesia adalah dimilikinya kekuatan, kedaulatan, dan kekuasaan untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. B. PEMBAHASAN 1. Sifat Hukum Keuangan dalam Bank Indonesia Sebagai badan hukum, Bank Indonesia mempunyai kekayaan sendiri. Berdasarkan Pasal 6 UU BI, modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp ,00 (dua triliun rupiah). Modal tersebut harus ditambah, sehingga menjadi paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh kewajiban moneter, 6 dengan dana yang berasal dari cadangan umum atau dari hasil revaluasi aset. Modal Bank Indonesia tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan yang diperoleh dari penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun Sebagai kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN, terjadi pengalihan keuangan negara ke Bank Indonesia selaku badan hukum publik. Dengan demikian, kekayaan negara tersebut tidak lagi menjadi 5 Hal ini merupakan pendapat yang dikemukakan Alan S. Blinder dalam Central Banking in Theory and Practice (USA: The MIT Press, 1988), p Pengertian kewajiban moneter (menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2)) adalah kewajiban Bank Indonesia kepada masyarakat, Bank dan Pemerintah yang terdiri dari uang kartal yang diedarkan, saldo kredit rekening milik Bank, milik Pemerintah, dan milik pihak lain sepert simpanan pegawai yang tercatat di Bank Indonesia serta surat utang yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 40 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

8 kewenangan negara 7 untuk mengelolanya (dengan kata lain tidak lagi termasuk dalam APBN), tetapi sudah menjadi kekayaan Bank Indonesia dan menjadi kewenangan Bank Indonesia untuk mengelolanya. Sebagai contoh, apabila Bank Indonesia melakukan pinjaman untuk memperkuat posisi neraca pembayaran, kewajiban pengembalian utang tersebut menjadi tanggung jawab Bank Indonesia. Baik cadangan umum maupun cadangan tujuan berasal dari sebagian surplus Bank Indonesia. Adapun yang membedakannya hanyalah tujuan penggunaannya. Cadangan umum dipergunakan untuk menambah modal atau menutup defisit Bank Indonesia. Sementara itu, cadangan tujuan dipergunakan, antara lain, untuk biaya penggantian dan atau pembaruan harta tetap, pengadaan perlengkapan yang diperlukan, dan pengembangan organisasi dan sumber daya manusia dalam melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta penyertaan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang dimasukkan sebagai 7 Lihat Indonesia (c), Undang-undang tentang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, LN No. 47 Tahun 2003, TLN No. 4286, ps. 6. Berdasarkan pasal ini, kewenangan pengelolaan keuangan negara berada di tangan Presiden selaku kepala pemerintahan yang sehari-harinya dikuasakan kepada Menteri Keuangan, menteri/pimpinan lembaga, atau diserahkan kepada kepala daerah. cadangan tujuan adalah sebesar 30% (sepanjang tidak terjadi penyusutan modal (kurang dari yang ditetapkan). Sementara itu, sisanya digunakan secara bertahap untuk menambah cadangan umum. Apabila masih terdapat sisa lebih baru diserahkan kepada pemerintah. 8 Berarti surplus Bank Indonesia dimanfaatkan sebagai cadangan untuk menutup defisit Bank Indonesia, bukan merupakan surplus yang menambah kekayaan atau menambah kemampuan ekonomis maupun memupuk laba Bank Indonesia. Dengan demikian, dilihat dari fungsinya, secara yuridis dan makroekonomi, Bank Indonesia sama halnya dengan negara tepat dikatagorikan sebagai badan hukum nirlaba di mana surplus yang diperoleh tidak digunakan untuk menambah kemampuan ekonomi. Akan tetapi, semata-mata digunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara dan dalam rangka mencapai, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU BI. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development) serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. 8 Pembagian surplus diatur dalam Pasal 62 UU BI. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 41 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

9 Jika dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya modal Bank Indonesia mengalami penyusutan kurang dari yang ditetapkan, penutupan penyusutan modal tersebut harus dilakukan melalui surplus tahun berjalan. Apabila cara tersebut belum juga dapat menutup penyusutan, Pemerintah wajib menutupnya setelah mendapat persetujuan DPR. Hal ini mengingat defisit keuangan Bank Indonesia yang berkelanjutan akan berdampak signifikan terhadap perekonomian negara. Oleh karena itu baik Bank Indonesia maupun Pemerintah mempunyai kewajiban bersama yang bersifat komplementer untuk menjaga agar keuangan Bank Indonesia tidak mengalami defisit. Kewajiban pemerintah tersebut menunjukkan bahwa negara bertanggung jawab terhadap berkurangnya modal yang dialami Bank Indonesia sebagai akibat pelaksanaan sebagian fungsi negara dalam bidang moneter. Namun, di dalam UU BI, pengaturan bahwa surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan tidak diatur secara tegas. Hal ini berarti ada indikasi yang mengarah pada kemungkinan pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia. Asumsi yang dapat diajukan adalah karena Bank Indonesia mendapatkan surplus dari kegiatannya. Bahkan pihak pemerintah mendapatkan bunga dan/atau jasa giro atas dana yang disimpan pada Bank Indonesia. 9 Dengan demikian, Negara sebagai badan hukum publik pun wajar jika dijadikan objek pajak, meski merupakan pendapatan negara/daerah. Padahal surplus Bank Indonesia hanya merupakan dampak ikutan dari kegiatan Bank Indonesia dalam rangka menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 10 Pada dasarnya, wacana pembebanan pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia lebih merupakan upaya dari tindakan yang harus dilakukan Pemerintah agar defisit APBN dapat dikurangi. Dalam kebijakan tersebut, ada dua pertimbangan yang menjadikan surplus Bank Indonesia dijadikan obyek pajak penghasilan, yaitu pertama, jumlah kelebihan (surplus) dalam hasil kegiatan Bank Indonesia kemungkinan besar dapat mengurangi secara siginifikan defisit APBN; dan kedua, Pemerintah dihadapkan pada keinginan untuk mewujudkan skema kebijakan perpajakan yang tidak ada lagi obyek pajak yang digratiskan (free rider problem), yang pada prinsipnya agar menguntungkan kemampuan 9 Lihat Indonesia (d), Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 1 Tahun 2004, LN No. 5 Tahun 2004, TLN No. 4355, ps. 23. dan Indonesia (b), op.cit., ps. 52 ayat (2). 10 Ibid., ps. 25 ayat (1). BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 42 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

10 negara dalam memajak, yang ternyata justru sebaliknya. Upaya tersebut dilakukan Pemerintah (Departemen Keuangan) dalam perubahan konsep obyek perpajakan melalui perubahan UU Perpajakan. Proses tersebut diikuti dengan pengklasifikasian obyek pajak penghasilan yang ditentukan dalam rancangan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal ini, penilaian surplus hasil kegiatan Bank Indonesia yang diklasifikasikan sebagai obyek pajak perlu penelaahan yang mendalam mengingat statusnya sebagai badan hukum publik yang dikecualikan sebagai subjek pajak. Secara yuridis, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak dapat dikatagorikan sebagai obyek pajak mengingat surplus tersebut bukan dimaksudkan sebagai tambahan kemampuan ekonomis Bank Indonesia. Hal demikian disebabkan surplus tersebut digunakan untuk 30 persen untuk cadangan tujuan dan sisanya dipupuk sebagai cadangan umum dalam rangka menjaga fungsi dan wewenang Bank Indonesia. Dengan demikian, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia pada hakikatnya termasuk ke dalam keuangan negara yang menurut Pasal 2 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai, penerimaan negara. Surplus Bank Indonesia merupakan bagian yang akan menjadi penerimaan negara, jika jumlahnya telah melebihi modal cadangan umum Bank Indonesia. Dengan demikian, pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia akan lebih menjadi tekanan terhadap keuangan negara, khususnya dalam menjalankan kepentingan umum dibandingkan sebagai stimulasi fiskal dalam APBN. Dengan dasar demikian, pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia yang juga merupakan keuangan negara dapat dikatagorikan sebagai biaya administrasi (administrative price) terhadap keuangan negara, khususnya dalam melaksanakan kepentingan umum yang dijalankan Bank Indonesia. Secara teoritis, pengenaan pajak terhadap keuangan negara yang ditujukan kepentingan umum misalnya surplus Bank Indonesia hanya melahirkan pajak bayangan (shadow taxes) yang kemungkinan pemanfaatannya kembali untuk kepentingan umum sangat diragukan optimalisasinya. Dengan kata lain, pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia sebagai bagian dari keuangan negara yang berupa pendapatan negara cenderung kontraproduktif terhadap kebijakan fiskal secara menyeluruh, mengingat tujuan akhir kebijakan fiskal pada BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 43 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

11 dasarnya untuk meningkatkan kemampuan negara dalam membangun dan mengusahakan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan uraian tersebut, hakikat keuangan dalam Bank Indonesia tetap merupakan keuangan negara yang diarahkan untuk penyelenggaraan kepentingan umum. Pemerintah (Departemen Keuangan) perlu memberikan kepastian hukum terhadap kemampuan memajak agar tidak menganggu komponen keuangan negara lain di dalamnya. Kekeliruan memahami surplus Bank Indonesia sebagai bagian integral keuangan negara akan mengakibatkan konsep keuangan negara tidak mempunyai bentuk hukum yang pasti. Padahal, dengan adanya ketentuan yang pasti mengenai surplus Bank Indonesia sebagai bagian dari keuangan negara dan dikecualikan dalam pengenaan pajak penghasilan, akan mampu mempengaruhi jaminan keamanan (safety guarantee) dalam sistem perekonomian dan perbankan nasional. Dengan demikian, peranan surplus Bank Indonesia tidak saja mempunyai pengertian normatifyuridis dengan cara memberikan dukungan terhadap tugas dan wewenang Bank Indonesia, tetapi juga mengandung pengertian sosialekonomis. Dalam pengertian ini titik berat peranan surplus Bank Indonesia lebih ditekankan kepada kemanfaatan yang dikembalikan untuk tujuan lain yang sebesarbesarnya untuk perekonomian nasional dalam koridor upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitannya dengan rekening pemerintah di Bank Indonesia yang memperoleh bunga, sebenarnya mengindikasikan Bank Indonesia bukanlah subyek pajak. Asumsi pertama adalah Bank Indonesia telah memberikan penghasilan berupa penerimaan yang dimasukkan dalam APBN kepada pemerintah dalam bentuk bunga. Hal ini pada dasarnya sudah tepat mengindikasikan Bank Indonesia bukan sebagai subyek pajak, karena bunga yang diperoleh maupun pajak adalah penerimaan negara. Dengan demikian, jika pemerintah sudah memperoleh bunga, tidak dapat lagi dikenakan pajak. Hal ini disebabkan untuk satu lembaga tidak dapat dikenakan kewajiban ganda (bunga dan pajak) yang hanya memberatkan kegiatan usahanya. Asumsi kedua, Bank Indonesia sebagai lembaga nonprofit telah memberikan keuntungan bagi negara, sehingga negara tidak sepatutnya mengenakan pajak terhadap lembaga tersebut. 2. Gagasan Arsitektur Keuangan Publik Mendeskripsikan keuangan publik di Indonesia membutuhkan konsep arsitektur yang mengandung BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 44 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

12 kepastian hukum dan penghormatan terhadap doktrin badan hukum. Oleh sebab itu, mendesain arsitektur keuangan publik memerlukan analisis hukum yang mengandung prinsip kehatihatian yang luar biasa, terutama agar negara tidak melalaikan kewajibannya, warga masyarakat tidak dirugikan haknya, serta badan hukum tidak diingkari kedudukannya. Namun, peraturan perundangundangan dan kebijakan yang mengatur keuangan publik di Indonesia cenderung mengabaikan doktrin badan hukum. Akibatnya, konsep keuangan publik menjadi tidak rasional karena peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan publik tidak sejalan dengan teori hukum yang seharusnya. Bahkan, yang sangat memprihatinkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan keuangan publik tidak mampu mendukung praktik badan hukum untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Dalam konteks seperti itu, tidak diragukan lagi irasionalitas dalam pengaturan keuangan publik dalam praktiknya akan merugikan kedudukan hukum setiap badan hukum. Hal demikian terjadi karena tidak ada batas-batas untuk menentukan keuangan publik tersebut apakah termasuk keuangan negara, keuangan daerah, keuangan badan usaha milik negara, keuangan badan usaha milik daerah atau keuangan swasta. Ketidakmampuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan publik untuk menentukan garis batas kepunyaannya (domain limitative) merupakan pertanda reinkarnasi manajemen keuangan publik tradisional yang bercirikan rentang kendali yang luas diterapkan di Indonesia. Padahal, sejak abad ke- 19, kepunyaan badan hukum memiliki ketegasan batasan apakah termasuk kepunyaan publik (domain public) atau kepunyaan privat (domain prive). Keduanya tidak mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sama, baik dalam tata kelola dan tata tanggung jawabnya. Prinsip ini sejalan dengan doktrin badan hukum yang mensyaratkan kekayaan/keuangan yang terpisah, sehingga badan hukum tersebut absah sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Dengan demikian, sangat jelas dari perspektif hukum, arsitektur keuangan publik harus sejalan dengan doktrin badan hukum. Kekayaan badan hukum yang lain tidak dapat diklasifikasikan atau bagian dari milik badan hukum lainnya. Oleh sebab itu, dalam mendesain arsitektur keuangan publik, keterkaitan antara teori BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 45 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

13 hukum dan hukum positif merupakan keterkaitan yang bersifat dialikatis. Hal demikian disebabkan teori hukum yang merupakan teori gejala hukum positif (positieve rechtsverschijnsel) dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dikesampingkan. Hal ini berarti, desain arsitektur keuangan publik, khususnya pengaturan keuangan dalam bank BUMN hendaknya tidak dipandang dari segi hukum positif saja, tetapi juga dipandang dari segi teori hukumnya. Dalam ilmu hukum, ada dua jenis badan hukum dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya, yaitu: 1. badan hukum publik (personne morale) yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (misalnya UU Perpajakan) dan yang tidak mengikat umum (misalnya UU APBN); 2. badan hukum privat (personne juridique) yang tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat umum. Dengan pembedaan tersebut, negara dan daerah merupakan badan hukum publik karena memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan publik. Sementara itu, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan badan hukum privat karena tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan kebijakan publik. Setiap badan hukum tersebut harus memiliki persyaratan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, yaitu (1) memiliki kekayaan/keuangan terpisah, (2) memiliki tujuan tertentu, dan (3) memiliki kepentingan tertentu. Dengan persyaratan tersebut, badan hukum memiliki kekayaan/keuangan yang dipisahkan, sehingga status hukum kekayaan/keuangannya tersebut menjadi milik badan hukum itu sendiri dan tidak dapat dikatagorikan sebagai bagian atau milik badan hukum yang lain. Dengan demikian, menjadi sangat berbahaya dan berisiko yang besar jika ada yang menyatakan keuangan publik sebagai keuangan negara. Maksudnya, keuangan publik yang ditujukan pada keuangan negara itu sendiri, keuangan daerah, keuangan badan usaha milik negara, dan keuangan badan usaha milik daerah dinyatakan sebagai keuangan negara. Apabila suatu negara mendesain konsep keuangan publiknya sebagai keuangan negara, secara hukum negara wajib menanggung risiko apapun yang terjadi dalam badan hukum itu. Selain itu, jika keuangan publik dinyatakan sebagai keuangan negara, pengaturan tata kelola dan tata tanggung jawabnya harus BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 46 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

14 sesuai dengan aturan keuangan negara. Kondisi itu yang terjadi di Indonesia dewasa ini sejalan dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003). Dalam Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 dinyatakan: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi: a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. penerimaan negara; d. pengeluaran negara; e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan demikian, secara prinsip UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak membedakan status hukum kekayaan/keuangan dalam suatu badan hukum, apakah itu milik negara, milik daerah, milik badan usaha milik negara, milik badan usaha milik daerah, atau milik swasta atau perseorangan. Pada dasarnya, Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 menyalahi doktrin badan hukum dalam arsitektur keuangan publik yang tegas membedakan kekayaan/keuangan milik setiap badan hukum yang terpisah. Dalam perspektif hukum, keuangan/kepunyaan negara adalah yang ditentukan sebagai milik negara dan disediakan (oleh negara) untuk dipakai kepentingan pelayanan publik fungsi pemerintahan dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik. Namun, negara sebagai badan hukum publik dapat berkedudukan sebagai hukum privat yang tunduk pada ketentuan hukum perdata. Hal ini terjadi pada saat negara memiliki sahamnya di suatu perusahaan, khususnya dalam badan usaha milik negara. Dalam BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 47 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

15 perusahaan tersebut, negara berkedudukan sama dengan pemilik saham lainnya, dan tidak dapat mengeluarkan kebijakan yang bersifat publik dalam perusahaan tersebut. Dengan demikian, hukum telah menentukan pembedaan kedudukan negara sebagai badan hukum publik yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik dan negara sebagai badan hukum privat yang tunduk pada ketentuan hukum privat. Negara tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan wewenang yang bersifat publik dalam pengelolaan perusahaan negara yang tata kelola dan tata tanggung jawabnya tunduk pada ketentuan privat. Pembedaan ini merupakan konsep hukum modern yang sangat membedakan imunitas publik dan imunitas privat dengan maksud menjelaskan batasbatas keuangan/kekayaan yang dimiliki setiap badan hukum. Contoh konkret adanya pembedaan yang tegas dalam arsitektur keuangan publik adalah dalam pendirian perseroan terbatas, pemerintah tidak dapat bertindak menggunakan kekuasaan dan kewenangan publiknya untuk mengatur dan mengelola perseroan. Hal demikian disebabkan keikutsertaan pemerintah dalam perseroan bertindak sebagai badan hukum privat, sehingga tanggung jawab dalam pengelolaannya pun tidak dapat dibebankan pada pemerintah sebagai badan hukum publik. Misalnya, beban pertanggungjawaban perseroan yang sahamnya antara lain dimiliki negara, yang menyebabkan kerugian pada pihak lain tidak dapat dibebankan kepada pemerintah sebagai badan hukum publik. Akan tetapi, dibebankan kepada perseroan untuk menjalankan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan: "Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut." Apabila tanggung jawab untuk mengganti rugi tersebut dibebankan kepada pemerintah sebagai badan hukum publik dikhawatirkan pelayanan publik dalam menjalankan fungsi pemerintahan akan terganggu. Demikian pula apabila pembedaan kedudukan hukum (recht positie) pemerintah dalam perseroan terbatas tidak dilakukan, selain kemandirian perseroan terbatas sebagai salah satu unsur good corporate governance tidak terpenuhi, intervensi pemerintah sebagai badan hukum publik dapat menimbulkan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 48 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

16 ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan campur tangan pemerintah yang terlalu dalam dan kepentingan pemerintah sebagai penguasa cenderung akan mengabaikan pemegang saham lain, kreditor, dan pihak lain yang terkait serta kepentingan perseroan itu sendiri. keuangannya yang merupakan keuangan publik. Sebagai bagian dari negara sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia dilihat dari fungsinya, secara yuridis dan makroekonomi, Bank Indonesia sama halnya dengan negara tepat dikatagorikan sebagai badan hukum nirlaba. C. PENUTUP Tulisan ini pada prinsipnya menunjukkan sudah saatnya Indonesia memiliki aristektur keuangan publik untuk merefleksikan penghormatan terhadap badan hukum, baik badan hukum publik maupun badan hukum privat. Disamping itu, terwujudnya arsitektur keuangan publik menunjukkan sensitivitas negara dalam menjaga posisi setiap masing-masing badan hukum dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Negara tidak mungkin dibebani risiko atau beban apapun yang terjadi dalam badan hukum yang lain, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, perlu ada konstruksi yuridis yang tepat untuk memahami status hukum keuangan setiap badan hukum dalam bentuk arsitektur keuangan publik. Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara telah menempatkan posisinya yang khas dalam tata kelola dan tata tanggung jawab BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 49 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerapan dana yang dilakukan bank-bank yang ada di seluruh Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. penyerapan dana yang dilakukan bank-bank yang ada di seluruh Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1997 ketika terjadi krisis, Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga yang mengawasi sektor keuangan tidak mampu menahan laju krisis, sehingga terjadi kehancuran

Lebih terperinci

Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM

Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Sistem keuangan adalah suatu sistem yg dibentuk oleh lembaga-2 yg mempunyai kompetensi yg berkaitan dengan seluk-beluk di bidang keuangan. Sistem keuangan (financial system) merupakan satu kesatuan sistem

Lebih terperinci

Otoritas Moneter di Indonesia

Otoritas Moneter di Indonesia OTORITAS MONETER Otoritas Moneter di Indonesia Menurut UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mempunyai tujuan agar otoritas moneter dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif

Lebih terperinci

- 2 - Hal ini dirasakan sangatlah terbatas dan belum mencakup fungsi the Lender of the Last Resort yang dapat digunakan dalam kondisi darurat atau

- 2 - Hal ini dirasakan sangatlah terbatas dan belum mencakup fungsi the Lender of the Last Resort yang dapat digunakan dalam kondisi darurat atau PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UMUM Kesinambungan pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

&DIKTI. Keuangan Negara DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS

&DIKTI. Keuangan Negara DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS UU &DIKTI Keuangan DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS Keuangan Di dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 perumusan tentang keuangan adalah: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN KONFLIK KEWENANGAN DALAM PEMERIKSAAN TERHADAP DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA PERSEROAN TERBATAS DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN

BAB I PENDAHULUAN KONFLIK KEWENANGAN DALAM PEMERIKSAAN TERHADAP DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA PERSEROAN TERBATAS DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN BAB I PENDAHULUAN KONFLIK KEWENANGAN DALAM PEMERIKSAAN TERHADAP DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN DAN UNDANG-UNDANG BADAN USAHA MILIK NEGARA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum yang berbeda dengan negara sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 22 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RGS Mitra 1 of 22 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RGS Mitra 1 of 22 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XI/2013 Tentang Pengelolaan Kekayaan Dari Suatu Perguruan Tinggi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XI/2013 Tentang Pengelolaan Kekayaan Dari Suatu Perguruan Tinggi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XI/2013 Tentang Pengelolaan Kekayaan Dari Suatu Perguruan Tinggi I. PEMOHON Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah

Lebih terperinci

Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara

Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara Uji Materiil Undang-Undang Keuangan Negara nasional.sindonews.com Perdebatan tentang Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan aset BUMN 1 menjadi bagian dari kekayaan negara masih terus bergulir.

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM SISTEM KEUANGAN NEGARA. Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998

BAB II KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM SISTEM KEUANGAN NEGARA. Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 BAB II KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM SISTEM KEUANGAN NEGARA A. Pengertian Bank Indonesia Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998, bank adalah badan usaha yang

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA

PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA Efraim Jordi Kastanya 1306450071 HUKUM ANGGARAN DAN KEUANGAN PUBLIK KELAS REGULER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2016 DAFTAR ISI Daftar Isi... 2 BAB I Pembahasan

Lebih terperinci

SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN PEMERINTAH PUSAT. Created By: Ilma Rafika Andhianty Nur Pratiwi

SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN PEMERINTAH PUSAT. Created By: Ilma Rafika Andhianty Nur Pratiwi SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN PEMERINTAH PUSAT Created By: Ilma Rafika Andhianty Nur Pratiwi Pengertian Keuangan Negara Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk

Lebih terperinci

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TENTANG PENGELOLAAN, PENATAUSAHAAN, SERTA PENCATATAN ASET DAN KEWAJIBAN D

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TENTANG PENGELOLAAN, PENATAUSAHAAN, SERTA PENCATATAN ASET DAN KEWAJIBAN D BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.579, 2017 LPS. Program Restrukturisasi Perbankan. Pengelolaan, Penatausahaan, serta Pencatatan Aset dan Kewajiban. (Penjelasan Dalam Tambahan Berita Negara Republik

Lebih terperinci

PENYERTAAN MODAL NEGARA

PENYERTAAN MODAL NEGARA PENYERTAAN MODAL NEGARA A. PENGERTIAN PENYERTAAN MODAL Definisi secara umum penyertaan modal yaitu suatu usaha untuk memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan, dengan melakukan setoran modal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perbankan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

Bab 2. Otoritas Moneter dan Kebijakan Moneter

Bab 2. Otoritas Moneter dan Kebijakan Moneter A. OTORITAS MONETER DI INDONESIA Otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu negara dan memiliki hak untuk menetapkan suku bunga

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2009 Ekonomi. Lembaga. Pembiayaan. Ekspor. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN

Lebih terperinci

KAJIAN PENDALAMAN. Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018

KAJIAN PENDALAMAN. Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 KAJIAN PENDALAMAN Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 Tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menjadi sarana dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yaitu kebijakan

I. PENDAHULUAN. yang menjadi sarana dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yaitu kebijakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu penunjang perekonomian di Indonesia adalah lembaga perbankan (bank) yang memiliki peran besar dalam menjalankan kebijaksanaan perekonomian. Untuk mencapai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk kepentingan negara

Lebih terperinci

MANAJEMEN KEUANGAN BANDI. 11/26/2013 Bandi, 2013 MKN

MANAJEMEN KEUANGAN BANDI. 11/26/2013 Bandi, 2013 MKN MANAJEMEN KEUANGAN NEGARA BANDI 11/26/2013 Bandi, 2013 MKN 1 MANAJEMEN KEUANGAN NEGARA Dalam pengelolaan keuangan negara(mkn), fungsi 1. Perencanaan Planning: UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengelolaan keuangan negara digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bank Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa pengertian bank telah dikemukakan baik oleh para ahli maupun menurut ketentuan undang-undang,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya 1. Pendahuluan - Pengantar - Tujuan - Definisi 2. Ketentuan Pengelolaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK Menimbang: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia 120 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Dari seluruh penjelasan dan uraian yang diberikan pada bab-bab sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini challenge globalisasi meruntuhkan filosofi bangsa Indonesia terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini telah diramalkan oleh P. Berger bahwa badai globalisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.III/No. 2/Apr-Jun/2015

Lex Privatum, Vol.III/No. 2/Apr-Jun/2015 TINJUAN YURIDIS INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL 1 Oleh: Lucky P. Rantung 2 ABSTRAK Landasan hukum perbankan utama di Indonesia dan juga merupakan Landasan Konstitusionalnya menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 8/1/PBI/2006 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 8/1/PBI/2006 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 8/1/PBI/2006 TENTANG FASILITAS PEMBIAYAAN DARURAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank dapat mengalami kesulitan likuiditas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA OLEH MUSA MUJADDID IMADUDDIN 19010110 Pendahuluan Pemerintah Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis dalam penyelenggaraan negaranya. Kekuasaan

Lebih terperinci

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN BANK & LEMBAGA KEUANGAN 1. Berbeda dengan Undang undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN BANK & LEMBAGA KEUANGAN 1. Berbeda dengan Undang undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN BANK & LEMBAGA KEUANGAN 1 V. BANK SENTRAL (BANK INDONESIA) A. Tujuan Bank Indonesia Berbeda dengan Undang undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang tidak merumuskan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1966 TENTANG KEANGGOTAAN KEMBALI REPUBLIK INDONESIA DALAM DANA MONETER INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Draft 10042014 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2013 TENTANG PENJAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran

ekonomi Kelas X BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN KTSP & K-13 A. Pengertian Bank Sentral Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X ekonomi BANK SENTRAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami fungsi serta peranan

Lebih terperinci

BADAN SUPERVISI BANK INDONESIA

BADAN SUPERVISI BANK INDONESIA BADAN SUPERVISI BANK INDONESIA Badan baru yang membantu Komisi XI DPR-RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia Oleh : Agus Santoso, SH, LL.M 1 dan Hernowo Koentoadji,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2005

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2005 - 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang: Mengingat: a. bahwa untuk mendorong

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP TIGA UNDANG- UNDANG TERKAIT DENGAN KEUANGAN NEGARA

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP TIGA UNDANG- UNDANG TERKAIT DENGAN KEUANGAN NEGARA TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP TIGA UNDANG- UNDANG TERKAIT DENGAN KEUANGAN NEGARA (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1966 TENTANG KEANGGOTAAN KEMBALI REPUBLIK INDONESIA DALAM DANA MONETER INTERNASIONAL

Lebih terperinci

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Ekonomi Bisnis dan Financial

Ekonomi Bisnis dan Financial Tugas Kuliah Matrikulasi Ekonomi Bisnis dan Financial Dosen : Dr. Prihantoro, Msc Rangkuman Jurnal/Makalah Judul Makalah : Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara Penulis Makalah : Suminto,

Lebih terperinci

SISTEM PEREKONOMIAN PASAR MODAL

SISTEM PEREKONOMIAN PASAR MODAL SISTEM PEREKONOMIAN FISKAL MONETER KEUANGAN RIIL DEPKEU BANK INDONESIA PASAR MODAL PASAR UANG CORPORATE BANK RETAIL LKBB MICRO TUJUAN BANK INDONESIA Tentang Bank Indonesia Tujuan Mencapai dan memelihara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA. EKONOMI. Jaminan Sosial. Kesehatan. Aset. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5482)

LEMBARAN NEGARA. EKONOMI. Jaminan Sosial. Kesehatan. Aset. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5482) No.239, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Jaminan Sosial. Kesehatan. Aset. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5482) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

-32- RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

-32- RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK -32- DRAFT RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK I. UMUM Pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perlambatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Tidak banyak yang memahami fungsi dan tujuan keberadaan Bank Indonesia dalam perekonomian nasional. Bank Indonesia seringkali dilihat sebagai bank umum yang bertugas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk kepentingan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.24, 2016 KEUANGAN OJK. BPR. Badan Kredit Desa. Transformasi. Status. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5847) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

TUGAS-TUGAS BANK INDONESIA. Mulyati, SE., M.T.I.

TUGAS-TUGAS BANK INDONESIA. Mulyati, SE., M.T.I. TUGAS-TUGAS BANK INDONESIA Mulyati, SE., M.T.I. Pendahuluan Fungsi utama Bank Sentral adalah mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan keuangan di suatu negara secara luas, baik dalam maupun luar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengelolaan keuangan negara digunakan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016 TUGAS BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL DI INDONESIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2009 1 Oleh: Nanda Ch. A. Patimbano 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA

NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara

Lebih terperinci

BAB I. KETENTUAN UMUM

BAB I. KETENTUAN UMUM BAB I. KETENTUAN UMUM 1 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG KEPADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM KABUPATEN KETAPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH *

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * Saat ini, peraturan perundangundangan yang berlaku dalam pengurusan piutang negara dan piutang

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang

2 menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang No.361, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Transaksi. Bursa. Penjamin. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5635) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG. Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26/POJK.04/2014 TENTANG Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

PERBANDINGAN BANK INDONESIA DENGAN BANK NEGARA LAIN DI ASEAN

PERBANDINGAN BANK INDONESIA DENGAN BANK NEGARA LAIN DI ASEAN PERBANDINGAN BANK INDONESIA DENGAN BANK NEGARA LAIN DI ASEAN I. BANK INDONESIA a. Sejarah Bank Indonesia Pada 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank sirkulasi yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia telah menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia telah menimbulkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara pada mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5899 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan

Lebih terperinci