UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA HUBUNGAN DOSIS DAN RETENSI PADA TERAPI RUMATAN METADON MULTIEPISODE DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA DAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI (Analisis Data Rekam Medik Tahun ) TESIS Helsy Pahlemy NPM FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2010

2 i HUBUNGAN DOSIS DAN RETENSI PADA TERAPI RUMATAN METADON MULTIEPISODE DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA DAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI (Analisis Data Rekam Medik Tahun ) TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Helsy Pahlemy NPM FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN DEPARTEMEN FARMASI FMIPA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK JULI 2010

3 ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Helsy Pahlemy NPM : Tanda Tangan : Tanggal : 16 Juli 2010

4

5 iv KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah swt, karena hanya atas rahman dan rahim-nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini diselenggarakan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Magister Ilmu Kefarmasian pada Departemen Farmasi Univerersitas Indonesia. Saya menyadari tanpa bantuan serta bimbingan semua pihak, sejak masa perkuliahan hingga penyusunan tesis ini, tidak lah bisa saya menyelesaikan penulisan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dra. Retno MSc, Phd dan dr. P. Sandy Noveria, MKK selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam rangka penyusunan tesisi ini; 2. Dra. Azizahwati MS.Apt dan Dr. Asliati Asril SpKJ selaku penguji yang telah memberikan kontribusi terhadap perbaikan tesis ini; 3. Pihak Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati khususnya instalasi rawat jalan metadon yang telah memberikan kesempatan untuk memperoleh data yang saya perlukan; 4. Kementrian Kesehatan khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan serta yang memberikan izin serta dukungan sejak awal hingga akhir masa perkuliahan 5. Suamiku tercinta, anak-anakku tersayang Miskawaih dan Adley yang terus memberikan doa, semangat dan pengertian yang besar; 6. Mama dan Papa yang doa, kasih sayang, semangat serta cintanya memberikan inspirasi bagi semua anak-anaknya; 7. Uda serta adik-adik yang memberikan doa, dukungan,dan bantuan yang memperlancar penyelesaian tesis ini; 8. Semua sahabat : Siti Mariam, Siti Fauziyah, Maya, Ilan yang telah banyak membantu memberikan kontribusi, dukungan serta semangat sejak awal hingga akhir perkuliahan

6 v 9. Semua sahabat di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan atas dukungan dan doanya; 10. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu; Akhir kata, saya berharap semoga Allah swt berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Smeoga tesis ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu. Depok, 16 Juli 2010 Penulis

7

8 vii ABSTRAK Program Studi : Ilmu Kefarmasian Judul : Hubungan antara Dosis dan Retensi pada Terapi Rumatan Metadon Faktor yang mempengaruhi retensi terapi rumatan metadon telah diketahui, namun demikian penelitian yang ada masih terbatas pada dosis rumatan dan dosis terbesar serta pada satu episode perawatan. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara retensi dengan berbagai pengukuran dosis dan perawatan berulang (multiepisode) terapi rumatan metadon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara waktu berada dalam terapi dan dosis yang diberikan pada terapi rumatan metadon. Penelitian dilakukan secara retrospektif cross sectional terhadap data sekunder berupa data rekam medik pasien ketergantungan opioid yang mendapat terapi rumatan metadon antara tahun pada Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Penelitian ini melibatkan 231 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan dosis awal rata-rata Dosis awal rata-rata = 24,61 mg (kisaran mg); dosis 2 minggu terapi rata-rata = 47,26 mg (kisaran mg), dosis rumatan terkecil rata-rata= 57,82 mg (kisaran mg), dosis rumatan terbesar rata-rata = 78,45 mg (kisaran mg), dosis rumatan rata-rata= 68,38 mg (kisaran 22,5-165 mg). Nilai retensi 46,8%. Dosis rumatan terbesar menujukkan hubungan bermakna (P= 0,000). Dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan rata-rata menunjukkan hasil tidak bermakna dengan nilai P berturut-turut adalah (P = 0,221; P= 0,774; P = 0,895; P= 0,103). Usia, riwayat terapi, riwayat dosis terlewat, dan interaksi obat tidak mempengaruhi retensi. Hubungan dosis dan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode: tidak terdapat hubungan antara dosis dan rumatan baik pada episode pertama maupun pada episode kedua. Penelitian ini menyimpulkan semakin besar dosis metadon semakin besar retensi pada terapi rumatan metadon. Kata kunci: metadon, dosis, retensi, multiepisode, terapi rumatan metadon XIII+p.125

9 viii ABSTRACT Program Title : Pharmacy : Relationship between Dose and Retention on Methadone Maintenance Therapy Multiepisode on Ketergantungan Obat Hospital, Jakarta and Fatmawati Central General Hospital, Jakarta (Medical Record Data Analysis in ) Factors affecting the retention of methadone maintenance therapy has been known, however, there is still limited research on the maintenance dose and the highest doses and in one episode of treatment. For that needed research that explores the relationship between the retention of the various dose measurement and treatment of recurrent (multiepisode) methadone maintenance therapy. This study aimed to determine the relationship between retention and the measurement doses given on methadone maintenance therapy. This study was a retrospective cross sectional on opioid dependence s patient medical records who received methadone maintenance therapy between the years This study involved 231 patients in Ketergantungan Obat Hospital and Fatmawati Hospital Jakarta who entered the inclusion criteria. Results showed that patients got methadone dose: average initial dose = mg (range mg); two weeks dose mean = mg (range mg); lowest maintenance dose mean = mg (range mg); highest maintenance dose mean = mg (range mg), the average maintenance dose = mg (range mg). The retention rate = 46.8%. The highest maintenance dose showed a significant correlation with retention (P = 0.000). Initial dose, 2 weeks dose, the lowest maintenance dose, the average maintenance dose showed no significant results with retention. Age, history of therapy, history of missed doses, and drug interactions did not affect retention. Relation dose and retention in patients undergoing multiepisode: there was no correlation between dose and retention in the first episode and the second episode. This study concluded that there is a positive significant relation between the highest maintenance dose of methadone and retention on methadone maintenance therapy. Key words: methadone, dosage, retention multiepisode therapy, methadone maintenance XIII+p.125

10 ix DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1.2 Perumusan Masalah Tujuan Penelitian. 1.4 Manfaat Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Terapi Ketergantungan Opioid Neurobiologi Penyalahgunaan Obat. 2.3 Terapi Rumatan Metadon 2.4 Metadon Retensi 3. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian 3.2 Tempat dan Jadwal Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian 3.4 Landasan Teori Kerangka Konsep dan Hipotesis Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. 3.7 Analisis Data 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Karekteristik Pasien. 4.2 Deskripsi Reaksi Obat TIdak Diinginkan 4.3 Deskripsi Dosis Metadon Retensi 4.5 Hubungan antara Dosis Awal, Dosis 2 Minggu, Dosis Rumatan Terkecil, Dosis Rumatan Terbesar dan Dosis Rumatan Rata-Rata dengan Retensi. 4.6 Hubungan antara Umur, Riwayat Terapi, Riwayat Dosis Terlewat dan Interaksi Obat dengan Retensi. 4.7 Hubungan antara Dosis dan Retensi Pada Multi Episode 4.8 Keterbatasan Penelitian

11 x 5. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR REFERENSI 61 63

12 xi DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Kerja Reseptor Opioid... Karakteristik sampel. Persentase Pasien Yang Mengalami Keluhan... Deskripsi Keluhan Putus Obat dan Efek Samping... Deskriptif dosis metadon. Analisis Korelasi Berbagai Pengukuran Dosis dan Retensi... Analisa Korelasi Umur, Riwayat Terapi, Riwayat Dosis Terlewat dan Interaksi Obat dengan Retensi... Karakteristika terapi Analisa Hubungan Dosis Awal, Dosis 2 Minggu, Dosis Rumatan Terkecil, Dosis Rumatan Terbesar dan Dosis Rumatan Rata-Rata dan Retensi Terapi Multiepisode

13 xii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 4.1 Kondisi awal: Produksi normal nordrenalin... Penghambatan akut enzim: Produksi NA rendah... Penghambatan opioid kronik menyebabkan peningkatan ektifitas enzim: kadar NA normal Penghentian heroin menyebabkan peningkatan camp akibat hilangnya penghambatan: NA sangat meningkat... Kadar plasma selama 3 hari pemberian Grafik fungsi survival pasien terapi metadon

14 xiii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Alur Penelitian. Lembar Pengumpul Data... Rekapitulasi Data Pasien Rumatan Metadon... Frekuensi Distribusi Dosis Awal Metadon... Frekuensi Distribusi Dosis Metadon 2 minggu... Frekuensi Interaksi Obat... Interaksi Obat Pada Terapi Rumatan Metadon... Profil Metadon... Analisa Statistik Data Hasil Penelitian Pasien Rumatan Metadon. Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

15 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah besar yang menjadi persoalan global dan meningkat secara cepat dan signifikan lonjakannya di Asia, termasuk Indonesia adalah penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) dan penularan HIV/AIDS. Jumlah pengguna NAPZA di Indonesia terus meningkat hingga pada tahun 2008 sudah mencapai 3.6 juta orang (Badan Narkotika Nasional, 2009). Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menyebutkan penularan HIV tertinggi terjadi pada pengguna NAPZA suntik/penasun yaitu 52.18% (Departemen Kesehatan, 2009). Heroin merupakan psikoaktif yang paling banyak digunakan dengan cara injeksi di Asia, meskipun penggunaan amfetamin juga meningkat beberapa tahun ini (WHO,2008). Penyalahgunaan opiat merupakan persoalan utama dunia dalam terapi penyalahgunaan, diestimasi terdapat juta orang berusia tahun diseluruh dunia yang menggunakan opiat dan sekitar juta adalah penduduk Asia timur dan Tenggara. Di Indonesia, prevalensi pengguna heroin berusia tahun adalah 0.16 % (UNDOC,2009) atau lebih dari orang. Tingkat mortalitas pengguna heroin dalam kisaran 1-2% per tahun akibat overdosis, penyakit akibat penggunaan obat dan kematian akibat kekerasan (ASEAN-USAIN, 2007). Kematian prematur karena masalah kriminal untuk mendukung kebiasaan menggunakan heroin; ketidak jelasan pada dosis, kemurnian, dan bahkan identitas heroin yang digunakan; dan infeksi serius akibat obat yang tidak steril dan penggunaan jarum suntik bersamaan. Penggunan heroin umumnya mengalami infeksi bakteri yang menyebabkan abses kulit; endokarditis, infeksi paru khususnya tuberkulosis dan infeksi virus yang menyebabkan hepatitis C dan sindrom penurunan sistem kekebalan tubuh (Acquired Immune Dediciency Syndrome) (O Brien, 2006).

16 2 Terapi ketergantungan opioid terdiri atas intervensi farmakologi dan psikosoial yang bertujuan mengurangi atau menghentikan penggunaan opioid, mencegah bahaya penggunaan opioid dan meningkatkan kualitas kesehatan dan fungsi sosial pasien (WHO, 2009). Terapi rumatan metadon diketahui paling bermanfaat dan cost effective untuk menangani ketergantungan opioid serta mengurangi bahaya akibat penggunaannya (WHO, 2008). Terapi Rumatan Metadon mengurangi mortalitas, tingkat reinkarserasi (Kate A Dole, 2005), biaya sosial akibat tingkat kriminalitas (Marsch et al, 1988) dan penyebaran penyakit seperti infeksi HIV (Novick et al, 1990). Mengingat penularan HIV/AIDS terbesar adalah melalui penularan jarum suntik, maka pelayanan program terapi rumatan metadon di Indonesia dilakukan sebagai salah satu kegiatan Harm Reduction untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. (Depkes, 2007). Tujuan pemberian metadon diawal masa induksi adalah mengurangi tanda dan gejala putus obat pada pasien dan memastikan keamanannya dengan meterkecilkan risiko yang timbul (Edwards-S.H., et al, 2003). Penelitian ini bermaksud juga mempelajari prevalensi dan profil keluhan yang timbul pada masa induksi terapi rumatan metadon. Konsensus NIH (National Institutes of Health) mengenai terapi yang efektif untuk ketergantunganan opiat menyatakan dosis metadon 60 mg setiap hari dapat mencapai tujuan terapi yaitu abstinen dari opiat (NIH, 1997). Toleransi silang terhadap heroin meningkat sebagai fungsi dari peningkatan dosis metadon dan menyebabkan penghambatan efek eforia. Dosis metadon harian 60 mg atau lebih memadai untuk mendapatkan tingkat toleransi terhadap efek heroin pada mayoritas individu (Edwards-Sue Henry, 2003). Hubungan antara dosis metadon dan retensi diteliti oleh Liu et. al (2009) yang menemukan dosis metadon yang lebih tinggi dapat mencapai retensi yang lebih lama dan terdapat hubungan positif antara dosis metadon dan retensi pasien. Prosentase retensi pasien pada beberapa kisaran dosis dipelajari oleh D Ippoliti et.al (1998) yang meneliti 1503 pasien dan menemukan bahwa pasien yang menerima dosis 60mg/hari dan gram berada dalam terapi berturut-turut sebanyak 70% dan 50%. Dickinson et al,

17 3 (2006) meneliti hubungan antara dosis dengan metadon dan menemukan bahwa dosis metadon yang lebih tinggi terkait dengan peningkatan retensi pasien pada terapi rumatan metadon. Dosis maksimum metadon yang diberikan berhubungan secara bermakna dengan retensi pasien, yaitu sebesar 14%. Sebagian besar penelitian metadon berfokus pada satu episode terapi, seringkali terapi tersebut berdurasi pendek dan pada beberapa kasus hal itu menggambarkan hanya sebagian kecil perjalanan terapi. James Bell, Tracy Burrell, Devon Indig, Stuart Gilmour (2005) menemukan tingginya turn over pasien pada terapi rumatan metadon. Hampir dua pertiga pasien meninggalkan terapi dalam 1 tahun dan dua per tiga dari yang meninggalkan terapi mengalami multipel episode. Strike C.J. et al (2005) menemukan episode terapi berulang memiliki durasi terapi lebih singkat dibandingkan episode awal, karenanya usaha untuk mempertahankan pasien dalam terapi perlu dilakukan pada terapi pertama. Penelitian di RSKO Jakarta mengenai prediktor retensi selama 1 tahun atau lebih pada bermacam variabel yaitu usia, dosis metadon, jenis kelamin, pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan dan status pernikahan. Hasilnya menunjukkan dosis dan usia adalah prediktor retensi 1 tahun atau lebih pada terapi rumatan metadon (Nuryalis, 2008). Melanjutkan penelitian tersebut, penelitian ini bermaksud menelaah hubungan antara dosis dan retensi tidak hanya pada episode perawatan pertama, tetapi juga pada episode selanjutnya. Selain itu, hubungan antara usia, riwayat terapi, faktor kepatuhan dalam hal ini diamati melalui kejadian dosis terlewat, serta interaksi obat yang digunakan secara bersamaan yang ingin diketahui dalam penelitian ini. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian mengenai hubungan berbagai pengukuran dosis metadon dan retensi pada pasien yang mengalami perawatan berulang (multiepisode) belum dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) Jakarta. Informasi mengenai hubungan antara retensi dan dosis metadon diperlukan untuk mengetahui

18 4 seberapa besar dosis yang diberikan pada pasien mempengaruhi besarnya retensi dan apakah pemberian dosis metadon yang lebih besar akan mendapatkan retensi yang lebih lama. Berikut adalah permasalah secara rinci: a. Berapa dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata metadon yang diterima pasien pada terapi rumatan metadon? b. Berapa retensi yang dicapai pasien pada terapi rumatan metadon? c. Bagaimana hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi? d. Bagaimana hubungan antara umur, dosis terlewat dan riwayat terapi dan interaksi obat dengan retensi pada terapi rumatan metadon? e. Bagaimana hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi pada pasien yang mengalami perawatan multiepisode? 1.3 Tujuan Penelitian: Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi pada terapi rumatan metadon Tujuan Khusus a. Mengetahui dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata yang diterima pasien pada terapi rumatan metadon. b. Mengetahui retensi yang dicapai pasien terapi rumatan metadon. c. Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi.

19 5 d. Mengetahui hubungan umur, dosis terlewat dan riwayat terapi dan interaksi obat terhadap retensi. e. Mengetahui hubungan antara dosis awal, dosis 2 minggu, dosis rumatan terkecil, dosis rumatan terbesar dan dosis rumatan rata-rata dengan retensi pada pasien yang mengalami multiepisode 1.4 Manfaat Penelitian a. Informasi mengenai dosis metadon dan retensi dapat menjadi dasar evaluasi kesuaian dosis untuk meningkatkan efektifitas terapi. Data mengenai keluhan pasien pada periode waktu tertentu merupakan pertimbangan bagi petugas untuk melakukan titrasi dosis. b. Besaran retensi dapat menjadi informasi capaian efektifitas terapi rumatan metadon. c. Informasi mengenai hubungan berbagai pengukuran dosis dengan retensi menjadi pertimbangan bagi penetapan dosis yang paling mempengaruhi efektifitas terapi d. Pengetahuan faktor lain yang mempengaruhi retensi menjadi perhatian untuk meningkatkan efektifitas terapi rumatan metadon e. Gambaran kejadian multipel episode dan hubungannya dengan retensi dapat menjadi dasar bagi pendekatan yang tepat terutama terhadap keberlanjutan terapi rumatan metadon. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Ketergantungan Opioid Terapi ketergantungan opioid merupakan serangkaian intervensi farmakologi dan psikososial yang bertujuan mengurangi atau menghentikan bahaya akibat penggunaan opioid, mencegah bahaya akibat penggunaan

20 6 opiod dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan pasien (WHO, 2009). Prototipe opiat, yaitu morfin dan kodein berasal dari getah buah Papaver somniferum. Obat semi sintetik yang dihasilkan dari morfin adalah hidromofron, diasetilmorfin (heroin) dan oksikodon. Opioid sintetik termasuk meperidin, propoksifen, difenoksilat, fentanil, buprenorfin, tramadol, metadon dan pantazosin (Kasper et al, 2005). Istilah opioid meliputi keseluruhan senyawa yang memiliki hubungan dengan opium, suatu produk alami yang dihasilkan dari poppy (Brunton L dan Keith L Parker, 2006). Secara umum, terdapat dua pendekatan farmakologikal terapi ketergantungan opioid yaitu berdasarkan detoksifikasi dan terapi putus obat serta terapi rumatan agonis (WHO, 2009) Detoksifikasi dan penanganan medik putus obat Detoksifikasi meliputi proses pembersihan tubuh dari obat yang sering disertai putus obat (NIDA, 2009). Tujuan detoksifikasi adalah menyediakan terapi yang mengurangi gejala putus obat dengan aman dan nyaman dari perubahan mood akibat penggunaan NAPZA (Wodak Alex, 2001). Detoksifikasi umumnya dianggap sebagai tahap awal terapi karena didesain untuk menangani efek psikologis yang akut dan berbahaya akibat penghentian penggunaan obat (NIDA, 2009). Putus obat opioid terjadi puncaknya pada 2-3 hari setelah penghentian penggunaan. Simptom fisik umumnya hilang dalam 5-10 hari, walaupun simptom psikologikal dapat berlangsung hingga beberapa minggu atau beberapa bulan. Berikut adalah kriteria Diagnostik Putus Opioid berdasarkan International Classification Disease X (ICD X) a. Salah satu dari yang tersebut di bawah ini : 1) berhenti atau mengurangi penggunaan opioida yang berat dan lama (beberapa minggu atau lebih). 2) pemberian suatu antagonis opioida sesudah periode penggunaan opioid.

21 7 b. Tiga atau lebih dari yang tersebut di bawah ini, terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa hari sesudah kriteria a : 1) perasaan disforik 2) mual atau muntah 3) nyeri otot 4) lakrimasi atau rinore 5) pupil melebar, piloereksi, atau berkeringat 6) diare 7) menguap berkali-kali 8) demam 9) insomnia c. Gejala-gejala pada kriteria b secara klinis menyebabkan tekanan batin yang jelas atau hendaya (disfungsi) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. d. Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan karena kondisi medik umum dan tidak disebabkan karena gangguan jiwa lain. Relaps setelah detoksifikasi adalah hal yang umum. Pada kejadian relaps sebaiknya diberikan pengulangan detoksifikasi atau ditinjau pilihan terapi yang lain (Wodak, Alex, 2001). Walaupun terdapat manfaat pada kesehatan pasien setelah detoksifikasi, belum ada bukti bahwa detoksifikasi menyebabkan abstinen yang lama atau secara bermakna meningkatkan kesehatan dan fungsi dalam jangka panjang pada mayoritas pengguna opioid (NSW MMT Clinical Practice Guideline, 1999) Terapi Rumatan Terapi rumatan memiliki pendekatan jangka panjang yang memberikan kesempatan pada pasien jarak bagi diri mereka sendiri dengan gaya hidup menggunakan obat serta kembali memasuki kehidupan sosial yang normal. Melalui pengontrolan craving dan penggunaan opioid, terapi ini memungkinkan terjadi pemulihan kondisi medik secara perlahan (ASEAN- USAID, 2007).

22 8 Terapi substitusi Opioid merupakan bentuk intervensi yang efektif, evidence-based, sangat direkomendasikan oleh WHO dan Badan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mencegah penyebaran HIV dan menangani ketergantungan opioid. Intervensi yang diberikan meliputi pemberian opioid dengan durasi kerja panjang pada pasien ketergantungan opioid, biasanya melalui rute pemberian non-parenteral, untuk tujuan terapetik mencegah atau secara substansial mengurangi injeksi opioid terlarang seperti heroin. (WHO, 2008). Terapi rumatan substitusi lebih efektif dibandingkan terapi putus obat atau terapi antagonis dalam menurunkan penggunaan NAPZA dan mempertahankan pasien dalam terapi karena menurunkan penggunaan opioid terlarang lebih besar dan retensi yang lebih lama (WHO, 2008). Obat yang digunakan pada terapi rumatan opioid: Metadon Metadon, suatu agonis opioid sintetik yang memiliki durasi kerja panjang, biasanya diberikan secara oral sebagai larutan dapat diberikan satu kali sehari dan menggantikan kebutuhan heroin yang multipel pemberian seharinya. Metadon menstabilkan gaya hidup pecandu, mengurangi perilaku kriminal dan juga mengurangi penggunaan jarum secara bersamaan dan perilaku yang menyebabkan transmisi HIV dan penyakit lain. Terapi rumatan metadon diketahui menyebabkan efek samping yang rendah dan secara substansial meningkatkan kesehatan. Buprenorfin Buprenorfin merupakan agonis parsial opioid µ yang aktifitasnya lebih rendah dibandingkan metadon. Buprenorfin tidak diserap dengan baik melalui oral, karenanya rute pemberiannya adalah sublingual. Dengan peningkatan dosis buprenorfin, efek yang diberikan plateau. Karena bersifat parsial agonis, dapat muncul efek ceiling dimana pada dosis yang lebih tinggi buprenorfin tidak memberikan efek tambahan, sehingga memiliki margin keamanan yang lebih luas. Buprenorphine dikombinasi dengan nalokson dengan rasio 4:1 (Subxone) untuk menghilangkan kekhawatiran tablet sublingual dilarutkan

23 9 dan disuntikkan oleh para pecandu. Nalokson adalah antagonis opioid yang sedikit diserap melalui sublingual dan oral tetapi diserap dengan baik secara intravena. Akibatnya, pecandu opioid yang menginjeksi buprenorfin/nalokson akan mengalami sidnrom putus obat karena terokupasinya reseptor opioid µ oleh nalokson. Efektifitas Buprenorfin serupa dengan metadon pada dosis yang adekuat dalam mengurangi penggunaan opioid dan meningkatakan fungsi psikososial, akan tetapi buprenorfin yang lebih mahal dibandingkan metadon dan dikhawatirkan mempengaruhi capaian retensi. Jika digunakan sebagai terapi substitusi pada wanita hamil memberikan insiden sindrom putus lebih rendah pada neonatal. 2.2 Neurobiologi penyalahgunaan Obat Definisi Ketergantungan dan Adiksi Ketergantungan fisik merupakan kondisi adaptasi yang dimanifestasikan sebagai sindrom putus obat yang spesifik kelompok obat, yang terjadi melalui penghentian obat secara tiba-tiba, penurunan dosis secara dengan cepat, penurunan kadar obat dalam darah dan atau pemberian suatu antagonis. Adiksi merupakan penyakit primer, kronik, neurobiologi yang dipengaruhi perkembangan dan manifestasinya oleh faktor genetik, psikososial dan lingkungan. Pada paparan berulang, obat adiktif menginduksi perubahan adaptif seperti toleransi (misalnya peningkatan dosis untuk mempertahankan efek). Ketika NAPZA tidak lagi tersedia, maka gejala putus obat muncul. Ketika terjadi sindrom putus obat, maka ketika itu ditetapkan terjadi ketergantungan. Adiksi terjadi ketika ditemukan penggunaan obat yang kompulsif, berulang, relaps meskipun terdapat konsekuensi negatif, dipicu oleh craving yang terjadi sebagai respon pemicu (Luscher C., 2007) Ketergantungan: Toleransi dan Putus Obat Setelah paparan kronik oleh zat adiktif, otak menunjukkan tanda adaptasi. Sehingga diperlukan peningkatan dosis secara progresif untuk

24 10 menjaga efek tetap muncul. Fenomena ini dikenal sebagai toleransi, hal ini dapat menjadi masalah serius karena meningkatnya efek samping, misalnya depresi pernafasan dan dapat menyebabkan kefatalan akibat overdosis. Toleransi terhadap opioid dapat terjadi akibat berkurangnya konsentrasi obat atau durasi kerja yang singkat pada sistem target (toleransi farmakokinetik). Dapat juga terjadi akibat berubahnya fungsi reseptor opioid (toleransi farmakodinamik). Fosforilasi reseptor dapat menyebabkan internalisasi reseptor sehingga menginduksi terjadinya toleransi. (Luscher C., 2007) Fenomena Farmakologi Toleransi; walaupun penyalahgunaan obat dan adiksi merupakan kondisi kompleks yang terkait dengan banyak variabel, terdapat sejumlah fenomena farmakologi. Pertama, adalah perubahan pada cara tubuh merespon obat pada pemberian berulang. Toleransi merupakan respon paling umum terhadap pemberian berulang, dapat dinyatakan sebagai berkurangnya respon terhadap obat setelah pemberian berulang. Pada kurva hubungan efek dengan dosis ketika pemberian suatu obat, pada pemberian berulang, kurva bergeser kearah kanan (toleransi). Akibatnya diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk menghasilkan efek yang sama dengan efek yang muncul ketika pemberian obat pertama kali (Brunton LL., and Keith Parker, 2006). Sensitisasi; pada obat stimulan seperti kokain atau amfetamin, terjadi kebalikan toleran, yang disebut sensitisasi. Terjadi peningkatan respon setelah pemberian berulang suatu obat. Pada sensitisasi, kurva dosis- efek bergeser kearah kiri. Untuk mengatasi sensitisasi diperlukan interval pemberian dosis yang lebih lama. Toleransi silang terjadi pada pemberian berulang suatu obat yang menyebabkan toleransi tidak hanya obat tersebut tapi juga pada obat lain yang sama struktur dan mekanisme kerjanya (Brunton LL., and Keith Parker, 2006).

25 Neurobiologi Ketergantungan Opioid Toleransi, ketergantungan dan adiksi opioid merupakan manifestasi perubahan otak yang timbul akibat penyalahgunaan opioid kronik. Pengguna opioid dalam proses pemulihan bekerja mengatasi efek perubahan otak tersebut. Pengobatan seperti metadon, buprenorfin bekerja pada struktur otak yang sama dan memiliki efek protektif atau perbaikan. Meskipun obat tersebut efektif, untuk hasil optimal perlu diberikan bersamaan dengan terapi psikososial yang sesuai (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). Lokus sereleus (LS) adalah area otak yang terlibat pada terjadinya ketergantungan opioid dan putus obat. Gambar dibawah ini menunjukkan bagaimana opioid mempengaruhi proses pada LS yang mengontrol pelepasan noradrenalin (NA), suatu bahan kimia yang menstimulasi kesadaran, tonus otot dan pernafasan selain fungsi lainnya. Pada kondisi normal (Gambar 2.1), bahan opioid alami yang dihasilkan tubuh berikatan dengan reseptor opioid pada permukaan syaraf. Ikatan tersebut mengaktifasi enzim yang mengubah adenosin triposfat (ATP) menjadi siklik adenosin monoposfat (camp), yang selanjutnya memicu pelepasan NA. Sebelum dimulai penyalahgunaan opioid, neuron menghasilkan cukup NA untuk memelihara tingkat normal kesadaran, tonus otot dan respirasi. Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). Gambar 2.1 Kondisi awal: Produksi normal Noradrenalin Ketika heroin atau opioid lain berikatan dengan reseptor opioid µ, terjadi penghambatan enzim yang mengubah ATP menjadi camp. Akibatnya

26 12 semakin sedikit camp yang dihasilkan, semakin sedikit NA yang dilepaskan. Kesadaran, tonus otot, dan pernafasan menjadi tertekan, sehingga muncul efek opioid akut seperti nafas dalam. Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). Gambar 2.2 Penghambatan akut enzim; produksi NA rendah abnormal Pada penggunaan heroin berulang, syaraf meningkatkan suplai enzim dan molekul ATP. Dengan bahan baku yang bertambah, syaraf dapat menghasilkan camp yang cukup untuk mengatasi efek penghambatan obat dan melepaskan NA dalam jumlah normal meskipun menggunakan heroin. Pada tahap ini, individu tidak lagi mengalami intensitas efek opioid yang sama dengan efek ketika pertama kali menggunakan. Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). Gambar 2.3 Penghambatan opioid kronik menyebabkan peningkatan aktifitas enzim: kadar NA normal Ketika heroin dihentikan setelah penyalahgunaan yang kronik, pengaruh penghambatan obat menjadi hilang. Suplai enzim dan ATP tinggi, sehingga syaraf menghasilkan kadar camp yang tinggi dan menyebabkan

27 13 pelepasan NA dalam jumlah banyak. Pasien merasakan gejala putus obat cemas, kramp otot, menggigil dan lainnya. Syaraf akan kembali pada kondisi dasar (gambar 2.1) dalam beberapa hari atau beberapa minggu (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). Sumber: (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). Gambar 2.4 Penghentian heroin menyebabkan peningkatan camp akibat hilangnya penghambatan; NA sangat meningkat Bagian otak lain selain LS yang berkontribusi terhadap timbulnya gejala putus obat adalah system reward mesolimbik. Sistem ini menghasilkan tanda pada bagian otak yang disebut ventral tegmental area (VTA) yang menyebabkan pelepasan dopamin (DA) pada nucleus akumben (NAc). Pelepasan dopamain ini ke NAc menyebabkan perasaan senang. Toleransi opioid mengurangi pelepasan dopamin VTA ke NAc dapat mencegah pasien merasakan kesenangan dari kegiatan reward yang normal seperti makan, perubahan ini pada VTA dan system reward DA merupakan system otak yang penting yang mendasari craving dan penggunaan obat yang kompulsif. Bagian otak lain yang mengatur ingatan atau memori yang mengubungkan perasaan senang dengan kondisi lingkungan. Memori ini, disebut hubungan terkondisi, sering menyebabkan craving ketika pasien kembali berhubungan dengan orang, tempat, atau sesuatu dan hal itu akan mendorong pasien menggunakan NAPZA meskipun banyak halangan. Pada awal masa ketergantungan, stimulasi opioid pada system reward otak merupakan alasan utama menggunakan opioid berulang, penggunaan opioid secara kompulsif dilakukan oleh dorongan mendapatkan rasa senang.

28 14 Peningkatan kompulsi ini terkait dengan toleransi dan ketergantungan (Kosten T.R and Tonu P. George, 2002). 2.3 Terapi Rumatan Metadon Prinsip Terapi Rumatan Metadon Metadon menghilangkan persoalan terkait ketergantungan opioid karena karakteristik farmakologikanya memungkinkan pasien berfungsi secara normal. Pemberian yang teratur metadon dengan dosis yang konsisten memberikan kondisi stabil dan hubungan terapetik antara pasien membantu reintegrasi sosial dan akses terhadap pelayanan kesehatan (NSW, 1999). Metadon memiliki karakteristik farmakologi yang menguntungkan, yaitu (NSW. MMT Clinical Practice Guideline, 1999): Absorbsi yang baik secara oral tanpa menimbulkan intoksikasi cepat Bersifat toleransi silang dengan heroin, menghilangkan putus heroin dan mengurangi penggunaan heroin Memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga pemberian dosis tunggal mampu memelihara kadar dalam darah Tujuan terapi rumatan adalah (WHO, 2009) Mengurangi atau menghentikan penggunaan opioid Mengurangi atau menghentikan injeksi dan risiko transmisi bloodborne virus Mengurangi risiko over dosis Mengurangi aktifitas kriminal Meningkatkan kesehatan psikologis dan fisik Optimalisasi Manfaat Terapi Rumatan Metadon Manfaat terapi rumatan metadon akan optimal jika program mudah diakses, memasuki terapi yang tepat dan lamanya retensi terapi. Faktor yang meterbesarkan partisipasi program metadon adalah (NSW MMT Clinical Practice Guideline, 1999): a. Waktu dalam terapi ; Semakin lama terapi, semakin besar kecenderungan peningkatan outcome terapi. Orang yang drop out dari

29 15 terapi, khususnya pada tahun pertama, cenderung memiliki laju relaps yang tinggi. b. Dosis metadon; Dosis metadon yang lebih tinggi (60 mg atau lebih) terkait dengan rendahnya penggunaan opioid dan retensi yang lebih lama c. Kualitas Hubungan terapetik; Program yang lebih efektif ditemukan pada pasien yang memiliki hubungan yang baik dengan petugas kesehatan yang terkait, selain itu staf yang berorientasi terapi rumatan dibandingkan abstinen terkait dengan outcome terapi yang lebih baik. d. Pelayanan medis dan konseling; Beberapa penelitian menunjukkan penyediaan perawatan kesehatan yang adekuat dan pelayanan konseling pada pasien menyebabkan retensi dan outcome yang lebih baik Kriteria Terapi Rumatan Metadon Karakteristik pengguna NAPZA adalah terdapat pola maladaptif penggunaan obat yang diindikasikan melalui timbulnya konsekuensi buruk akibat penggunaan NAPZA yang berulang. Misalnya gagal memenuhi kewajiban di tempat kerja, sekolah, atau rumah tangga; penggunaan berulang pada situasi yang membahayakan fisik, misalnya berkendaraan dalam pengaruh obat, persoalan hukum, persoalan sosial dan interpersonal disebabkan oleh penggunaan opioid berlebihan seperti adu argumentasi dan perkelahian (Dypiro, 2003). Untuk memenuhi kategori dalam diagnosis ketergantungan obat, paling tidak tiga dari kriteria berikut harus ada selama periode 12 bulan, sesuai Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder 4th ed. Text Revision (DSM-IV-TR): a. Toleransi b. Putus obat, diindikasikan sebagai munculnya tanda gejala putus obat atau penggunaan obat yang sama atau serupa untuk menghilangkan atau menghindari gejala putus obat c. Obat digunakan dalam jumlah besar atau periode yang lebih lama dari yang diindikasikan

30 16 d. Keinginan yang persisten atau usaha yang gagal untuk menghentikan atau mengontrol penggunaan obat e. Menghabiskan waktu untuk kegiatan mendapatkan, menggunakan, atau pulih dari efek nya f. Kegiatan sosial, pekerjaan atau rekreasional terhenti atau berkurang akibat penggunaan obat g. Obat digunakan kontinyu meskipun mengetahui terdapat persoalan persisten atau berulang pada fisik, atau psikologi disebabkan atau diperberat oleh obat yang digunakan. Selanjutnya, untuk mengikuti PTRM, pasien harus memenuhi kriteria berikut: a. Kriteria Inklusi; Memenuhi kriteria ICD-X untuk ketergantungan opioid. 1. Usia yang direkomendasikan: 18 tahun atau lebih. Klien yang berusia kurang dari 18 tahun harus mendapat second opinion dari profesional medis lain. 2. Ketergantungan opioida (dalam jangka waktu 12 bulan terakhir). 3. Sudah pernah mencoba berhenti menggunakan opioid terkecil satu kali. b. Kriteria Eksklusi 1. Pasien dengan penyakit fisik berat. Hal ini perlu pertimbangan khusus yakni meminta pendapat banding profesi medik terkait. 2. Psikosis yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk menentukan langkah terapi. 3. Retardasi Mental yang jelas, perlu pertimbangan psikiater untuk menentukan langkah terapi. Program Terapi Metadon tidak diberikan pada pasien dalam keadaan overdosis atau intoksikasi opiat. Penilaian terhadap pasien tersebut dapat dilakukan sesudah pasien tidak dalam keadaan overdosis atau intoksikasi Pemberian Dosis Awal Metadon Dosis awal yang dianjurkan adalah mg untuk tiga hari pertama. Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg. Pasien harus diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk

31 17 memantau tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan (Depkes. 2006). Diperlukan keseimbangan antara menghilangkan simptom putus obat dan menghindari terjadinya toksisitas dan kematian selama fase induksi. Tujuannya adalah meterkecilkan simptom dan tanda putus oabt dan meterkecilkan risiko sedasi dan toksisitas (Edwards- S.H. et al, 2003). Metadon berbentuk cair digunakan di Indonesia, kemudian diencerkan sampai menjadi 100cc. Pasien harus hadir setiap hari di klinik. Metadon akan diberikan oleh asisten apoteker atau perawat yang diberi wewenang oleh dokter. Pasien harus segera menelan metadon tersebut di hadapan petugas PTRM. Petugas PTRM akan memberikan segelas air minum. Setelah diminum, petugas akan meminta pasien menyebutkan namanya atau mengatakan sesuatu yang lain untuk memastikan bahwa metadon telah ditelan. Pasien harus menandatangani buku yang tersedia, sebagai bukti bahwa ia telah menerima dosis metadon hari itu (Depkes 2006) Fase Stabilisasi Terapi Rumatan Metadon Fase stabilisasi bertujuan untuk menaikkan perlahan-lahan dosis dari dosis awal sehingga memasuki fase rumatan. Pada fase ini risiko intoksikasi dan overdosis cukup tinggi pada hari pertama. Peningkatan dosis harus dilakukan secara gradual, mengingat dibutuhkan waktu 5-7 hari untuk mencapai kadar serum steady state setelah setiap penambahan dosis. Dosis yang direkomendasikan digunakan dalam fase stabilisasi adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Apabila pasien masih menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan. (Depkes, 2006). `

32 Fase Rumatan Terapi Rumatan Metadon Dosis rumatan rata-rata adalah mg per hari. Dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial (Depkes, 2006). Pada fase ini, sebagian besar pasien telah secara substansial mengurangi penggunaan heroinm sudah memiliki toleransi terhadap metadon dan sebagian besar tidak lagi mengalami putus zat sepanjang hari. Mungkin pasien meminta peningkatan dosis akibat mengalami putus zat episodik, craving, atau relaps menggunakan heroin Kriteria Penambahan Dosis Beberapa kriteria penambahan dosis adalah sebagai berikut: a. adanya tanda dan gejala putus opiat (obyektif dan subyektif); b. jumlah dan/atau frekuensi penggunaan opiat tidak berkurang/ masih menggunakan heroin; c. craving tetap masih ada. Prinsip terapi pada PTRM adalah start low go slow aim high, artinya memulai dosis yang rendah adalah aman, peningkatan dosis perlahan adalah aman, dan dosis rumatan yang tinggi adalah lebih efektif (Depkes, 2006) Pedoman Penyesuaian Dosis Dari berbagai laporan diketahui bahwa umumnya overdosis metadon terjadi akibat pemberian dosis yang terlalu agresif selama dua minggu pertama terapi. Penyebab utama adalah kombinasi antara overestimasi toleransi dan underestimasi akumulasi obat. Setelah fase stabilisasi, overdosis terjadi umumnya akibat interkasi obat khususnya dengan hipdotik dan atau sedatif. a. Fase stabilisasi awal (0-2 minggu) Metadon memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang bermakna selama fase stabilisasi awal. Karena waktu paruhnya yang panjang, kadar plasma

33 19 meningkat hingga lima hari pada dosis yang sama. Karenanya, dosis yang adekuat pada hari pertama dapat bersifat toksik pada hari ketiga atau kelima. Edukasi pasien: dijelaskan faktor risiko dan tanda overdosis pada pasien dan keluarganya dan dinasehati untuk mencari pertolongan medis segera jika pasien menunjukkan tanda toksisitas. b. Fase stabilisasi akhir (2-6 minggu) Selama fase stabilisasi akhir, pasien hanya mengalami putus obat parsial. Penyesuaian dosis sebaiknya dilakukan tidak lebih dari setiap tiga atau empat hari. Penyesuaian dosis biasanya antara 5-10 mg, tergantung keparahan, onset dan durasi simptom putus obat. c. Fase rumatan (lebih dari 6 minggu) Pada periode ini, sebagian besar pasien telah mengurangi penggunaan opioid, memiliki toleransi yang lebih besar pada metadon, tidak lagi mengalami putus obat. Mereka terkadang menginginkan kenaikan dosis karena simptom putus obat subyektif, craving opioid atau relaps. (The College Physicians and Surgeon Ontario, 2005). 2.4 Metadon Fisikokimia Metadon merupakan basa yang larut dalam lemak dengan pka 9.0, karenanya terionisasi lengkap pada ph 7,4 (>90%). Diberikan dalam bentuk garam klorida yang larut baik dalam air (DJ. Birkett, 1989). Metadon dipasarkan dihampir seluruh dunia dalam campuran rasemik yaitu campuran 50:50 dua enansiomer yang disebut (R) atau levo atau l- metadon dan (S) atau dextro atau d-metadon. Secara in vitro, diketahui bahwa konsentrasi (R)- metadon yang diperlukan untuk menghambat ikatan nalokson pada otak tikus 10 kali lebih kecil dibandingkan (S) metadon. Pada manusia, (R) MET memiliki potensi analgesik sekitar 50 kali dibandingkan bentuk (S) (Eap CB, Jean-Jacques Deglon, Pierre Baumann, 1999).

34 Farmakokinetika Secara umum kadar dalam darah meningkat sekitar 1 7,5 jam setelah pemberian metadon secara oral dan selanjutnya mulai turun. Onset efek terjadi sekitar 30 menit 1 jam setelah pemberian. Waktu paruh pemberian dosis tunggal metadon adalah jam dengan nilai tengah 15 jam. Pada dosis berulang, waktu paruh metadon melebar menjadi 13 hingga 47 jam dengan nilai tengah 24 jam. Memanjangnya waktu paruh berkontribusi pada kadar metadon dalam darah terus yang naik selama minggu pertama pemberian dan menurun relatif lambat diantara waktu pemberian. Sumber: (Edwards-Sue Henry, 2003). Gambar 2.1 Kadar metadon plasma selama 3 hari pemberian Metadon mencapai kondisi steady state didalam tubuh (ketika laju eliminasi obat sebanding dengan laju pemberian) setelah 4-5 kali waktu paruh atau sekitar 3-10 hari. Ketika stabilisasi tercapai, variasi konsentrasi dalam darah relatif kecil dan tercapai penekanan gejala putus obat dengan baik. Adanya fluktuasi konsentrasi metadon memunculkan putus obat diantara waktu pemberian metadon Absorpsi Metadon diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna dan rute lainnya dan mengalami hanya sedikit metabolisme lintas pertama hati. Setelah pemberian oral (pada terapi ketergantungan heroin) absorbsi metadon rasemik terjadi

35 21 secara cepat dan bioavailabilitas oral antara % (Lacy, Charles.F et al, 2008). Laju absorbsi metadon dipengaruhi oleh P-glikoprotein intestinal (P-gp). P-gp berperan dalam fenomena resistensi terhadap obat ; yang dikeluarkan dari sel oleh unit membrane P-gp. Fungsi fisiologi P-gp meliputi mencegah absorbsi bahan toksik melalui permukaan internal dan eksternal, dan membantu eliminasinya. Pada kasus metadon, P-gp mentransfernya keluar epitel intestinal, masuk ke usus besar. Pada individu yang memiliki P-gp tinggi, jumlah obat yang diabsorbsi menurun. (Vendramin A, Anella M. Sciacchitano, 2009). Penghalang terhadap akses ke sirkulas sistemik meliputi absorpsi dari lumen gastrointestinal melewati mukosa intestinal, metabolisme oleh isoform di mukosa gastrointestinal (khususnya CYP3A4) dan metabolisme lintas pertama oleh hati (DJ. Birkett, 1999). Bersihan intrinsik metadon oleh enzim CYP3A4 di saluran gastrointestinal cukup rendah sehingga ekstraksi obat yang melampaui mukosa intestinal dan melewati liver sangat rendah. Secara keseluruhan, tidak terlihat kecenderungan perubahan sistematik yang bermakna dalam jumlah absorbsi metadon dari saluran gastrointersinal. a. Distribusi Metadon memiliki laju distribusi ke jaringan yang tinggi, tersebar ke darah dan jaringan otak dalam jumlah kecil, dan terdapat dalam konsentrasi besar di ginjal, limfa, liver dan paru. Selama kehamilan, metadon tersebar ke plasenta, sehingga konsentrasi pada cairan amniotik serupa dengan plasma ibu. Volume distribusi pada kondisi steady state 1 8 L/kg. Ikatan protein plasma asam α-1 glikoprotein sedang (0,9; fraksi tidak terikat 0,1) dan variasi nilai tersebut terkait dengan jumlah dan konsentrasi α-1 glikoprotein serta adanya obat kompetitif. Akan tetapi, konsentrasi obat bebas pada steady state tidak akan dipengaruhi oleh derajat ikatan protein. Derajat ikatan protein mempengaruhi volume distribusi dan selanjutnya waktu paruh eliminasi

36 22 dengan perubahan laju akumulasi pada steady state dan derajat fluktuasi konsentrasi obat (DJ Birkett, 1999) Metabolisme Metadon dimetabolisme diliver melalui N-demetilasi menjadi produk metabolit yang tidak stabil yang mengalami siklisasi menjadi 2-etil 5-metil- 3,3,difenilpirolidin (EMDP) dan 2-etil-1,5-dimetil-3,3 difenilpirolidin (EDDP). Metabolit tersebut dan obat utuh mengalami parahidroksilasi dan selanjutnya berkonjugasi dengan asam glukuronat. Ketiganya diekskresi diempedu dan merupakan produk ekskresi utama. Produk metabolit lainnya metadol dan normetadon memiliki aktifitas farmakologi yang serupa dengan metadon tetapi terdapat pada konsentrasi kecil. (Jenkis, Edward. J.C, 1998). Sumber: Jenkis, Edward. J.C, 1998 Metabolisme metadon melibatkan sistem sitokrom P450 (CYP450) sebagian besar melalui isoform CYP3A4, yang terutama terdapat di usus besar dan liver. Isoform lainnya yaitu CYP2B6 dan CYP2C19 berperan juga dalam proses tersebut menjadi bentuk tidak aktif (Lacy, Charles F. et al, 2008) Eliminasi Bersihan Metadon sebagian melalui ginjal dan sebagian lagi hepatik. Sebesar kurang dari 10% diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin. Karena sifatnya yang lipofilik dan basa, perubahan ph berpengaruh pada laju ekskresi metadon; pada ph lebih dari 6, ekskresi melalui ginjal menurun hingga 4% dari jumlah total. Ketika ph kurang dari 6, laju ekskresi

37 23 meningkat hingga lebih besar 30%, pada kondisi ph tetap, variasi antar individu pada bersihan ginjal sebesar 27% (Vendramin A, Anella M. Sciacchitano, 2009). Jalur metabolik utama yaitu demetilasi menjadi EEDP merupakan 40-60% bersihan total. Ini berarti, faktor yang mengubah jumlah atau aktifitas CYP3A4, khususnya di liver, memiliki pengaruh yang bermakna terhadap bersihan metadon dan karenanya konsentrasi pada steady state. Penghambatan lengkap terhadap CYP3A4 dapat menyebabkan berkurangnya setengah bersihan metadon, dan meningkatan aktifitas CYP3A4 akan meningkatkan sekitar 50% bersihan metadon (DJ Birkitt, 1989) Farmakodinamik Metadon berikatan dengan reseptor Mu (μ), Kappa (κ), and Delta (δ) yang berbeda afinitas dan efeknya (tabel 2.1). Reseptor opioid terdapat dalam konsentrasi yang berbeda pada daerah yang berbeda di system syaraf. Beberapa reseptor yang terlibat menginduksi analgesia terdapat pada periaquductal gray, reseptor yang bertanggung jawab terhadap efek penguatan terdapat pada ventral tegmental area (VTA) dan nukleus akumben. Terdapat reseptor opiat pada lokus sereleus yang berperan penting pada pengendalian aktifitas otonom; aktivasinya menyebabkan penghambatan firing sereleus. Setelah putus obat terdapat peningkatan firing lokus sereleus yang menyebabkan munculnya hiperaktifitas otonom pada putus opiat (Zevin Shoshana and Benowitz Neal L, 1998). Kerja Tabel 2.1 Kerja Reseptor Opioid Reseptor Opioid µ κ δ Analgesia (supraspinal) Sedasi Depresi pernafasan Hipotermia Efek penguatan Eforia Miosis Penurunan motilitas sal cerna Analgesia (spinal) Sedasi Disforia Analgesia Depresi pernafasan Efek penguatan

38 24 Ligan endogen Mual dan muntah Retensi urin Diuresis Mual dan muntah Endomorfin dinorfin Enkefalin β- endorfin β- endorfin Sumber: White, J.M. (1999) Kemampuan opioid menginduksi analgesia dimediasi oleh aktivasi reseptor μ pada supraspinal dan aktivasi reseptor κ pada spinal cord. Efek opioid lain yang berhubungan dengan stimulasi reseptor μ adalah eforia, miosis, depresi pernafasan dan penurunan motilitas saluran cerna. Reseptor μ opioid juga meningkatkan kadar dopamin mesolimbik, mengganggu proses pembelajaran dan memori, memfasilitasi potensiasi jangka panjang dan menghambat motilitas kantung kemih dan dieresis. Sebaliknya stimulasi reseptor κ sering dikaitkan dengan disforia (Ghodse, Hamid, 2002). Aktivasi reseptor μ dan κ memiliki kerja seluler serupa sebagai berikut: Menghambat aktifitas adenilat siklase dan produksi camp melalui mekanisme yang dimediasi protein G 1 Meningkatkan masuknya K + yang menghipolarisasi syaraf Menekan masuknya Ca 2+ yang menurunkan jumlah Ca 2+ intrasel dan menghambat pelepasan transmisi melalui reseptor opioid yang berlokasi di ujung presinap (Carruthers et al, 2000). Selain bekerja pada reseptor opioid, metadon juga berperan sebagai antagonis reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat) non kompetetif dan menghambat ambilan kembali serotonin. Reseptor NMDA dan sistem serotonergik berperan penting dalam mengatur pernafasan, dan terdapat potensi perubahan fungsi pernafasan sebagai akibat modulasi oleh metadon. Pada dosis normal, kerja metadon pada pernafasan diakibatkan oleh aktifitas reseptor opioid (White, J.M, 2002) Reaksi Tidak Diinginkan Selama pemberian jangka panjang, efek yang tidak diinginkan berkurang setelah beberapa minggu, walaupun demikian, konstipasi dan berkeringat mungkin akan menetap. Reaksi yang tidak diinginkan akibat penggunaan

PTRM PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON PUSKESMAS BANGUNTAPAN II

PTRM PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON PUSKESMAS BANGUNTAPAN II PTRM PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON PUSKESMAS BANGUNTAPAN II Latar Belakang Gangguan addiksi merupakan suatu brain disease sehingga memerlukan penanganan yang komprehensif, dan berproses, karena suggest

Lebih terperinci

Methadon sejak 1972 disetujui FDA telah terbukti secara klinis mengurangi jumlah orang kecanduan opiat dengan efek samping jangka panjang terbatas

Methadon sejak 1972 disetujui FDA telah terbukti secara klinis mengurangi jumlah orang kecanduan opiat dengan efek samping jangka panjang terbatas Methadone dan Suboxone Methadone pertama kali digunakan dan dipasarkan pada tahun 1939 di di Jerman sebagai obat penghilang rasa sakit yang efektif. Pada awal 1950-an, penggunaan metadon mulai di di Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) sudah menjadi masalah di tingkat nasional, regional maupun global. Hasil dari laporan perkembangan situasi

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

GAMBARAN DOSIS TERAPI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUD GUNUNG JATI KOTA CIREBON

GAMBARAN DOSIS TERAPI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUD GUNUNG JATI KOTA CIREBON 45 GAMBARAN DOSIS TERAPI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUD GUNUNG JATI KOTA CIREBON DESCRIPTION 0F THERAPY DOSAGES FOR THE PATIENT OF METHADONE TREATMENT PROGRAM IN RSUD GUNUNG JATI CIREBON

Lebih terperinci

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1501, 2016 KEMENKES. Terapi Buprenorfina. Penyelenggaraan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN TERAPI BUPRENORFINA

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI NIKOTIN DAN PRINSIP ADIKSI

FARMAKOLOGI NIKOTIN DAN PRINSIP ADIKSI 1 FARMAKOLOGI NIKOTIN DAN PRINSIP ADIKSI Modul 2 Tobacco Education Program Peran Apoteker dalam Pengendalian Tembakau Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada This presentation was adapted from Rx for

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 pasal 46 dan 47 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BNN dan Puslitkes UI pada 10 kota besar di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus penyakit HIV/AIDS masih merupakan masalah di DKI Jakarta, dimana strategi penanggulangan laju peningkatan penyakit ini belum mampu mengatasi problem secara komprehensive.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia 14 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi ini semakin banyak masalah yang dihadapi oleh negara, baik negara maju maupun negara berkembang, tak terkecuali dengan negara kita. Salah satu

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010 I. INFORMASI WAWANCARA 1. Nomor Urut Responden... 2. Nama Responden...

Lebih terperinci

Gambaran dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Retensi Pasien Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Puskesmas Kecamatan Tebet

Gambaran dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Retensi Pasien Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Puskesmas Kecamatan Tebet Gambaran dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Retensi Pasien Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) di Puskesmas Kecamatan Tebet Tri Rahayu, Syahrizal Syarif Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Lampiran 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengguna Narkoba Suntik Pengguna narkoba suntik (penasun) atau Injecting Drug User (IDU) adalah individu yang menggunakan obat terlarang atau narkotika dengan cara

Lebih terperinci

ABSTRAK KUALITAS HIDUP KLIEN TERAPI METADON DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH

ABSTRAK KUALITAS HIDUP KLIEN TERAPI METADON DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH ABSTRAK KUALITAS HIDUP KLIEN TERAPI METADON DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH Latar Belakang: Kualitas merupakan indikator penting dari keberhasilan sebuah terapi. Program terapi metadon adalah salah satu pilihan

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

ANALGETIKA. Non-Steroidal Antiinflamatory Drugs (OAINS/Obat Antiinflamasi Non-Steroid) Analgetika opioid. Analgetika opioid

ANALGETIKA. Non-Steroidal Antiinflamatory Drugs (OAINS/Obat Antiinflamasi Non-Steroid) Analgetika opioid. Analgetika opioid ANALGETIKA Analgetika dikelompokkan menjadi 2 : Analgetika opioid NSAID/Non Non-Steroidal Antiinflamatory Drugs (OAINS/Obat Antiinflamasi Non-Steroid) Analgetika opioid Mengurangi nyeri dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

OBAT ANALGETIK, ANTIPIRETIK dan ANTIINFLAMASI

OBAT ANALGETIK, ANTIPIRETIK dan ANTIINFLAMASI OBAT ANALGETIK, ANTIPIRETIK dan ANTIINFLAMASI Oleh dr. Agung Biworo, M.Kes Untuk mahasiswa Prodi Ilmu Keperawatan FK Unlam ANALGETIKA Analgetika dikelompokkan menjadi 2 : Analgetika opioid NSAID/Non Non-Steroidal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat merupakan hak azazi manusia yang harus di lindungi seperti yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat merupakan hak azazi manusia yang harus di lindungi seperti yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat merupakan hak azazi manusia yang harus di lindungi seperti yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk hak azazi manusia (Declaration

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 57 TAHUN 2013 enkes/s TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADONA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 57 TAHUN 2013 enkes/s TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADONA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2013 enkes/s TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADONA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona

Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona 616.979 2 Ind p PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 57 TAHUN 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013 DAFTAR ISI PERATURAN MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.825, 2011 KEMENTERIAN KESEHATAN. Rehabilitasi Medis. Penyalahgunaan Narkotika. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2415/MENKES/PER/XII/2011 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh dunia, dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbidilitas. WHO telah

Lebih terperinci

Karakteristik Terapi Adiksi yang Efektif, NIDA (National Institute on Drug Abuse, 1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut:

Karakteristik Terapi Adiksi yang Efektif, NIDA (National Institute on Drug Abuse, 1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut: Terapi dan Upaya Pemulihan Gangguan Zat Jenis Stimulan Karakteristik Terapi Adiksi yang Efektif, NIDA (National Institute on Drug Abuse, 1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut: 1. Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Parasetamol merupakan obat penurun panas dan pereda nyeri yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Metabolit Fenasetin ini diklaim sebagai zat antinyeri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

ANALGETIKA. dr. Agung Biworo, M.Kes

ANALGETIKA. dr. Agung Biworo, M.Kes ANALGETIKA dr. Agung Biworo, M.Kes Analgetika dikelompokkan menjadi 2 : Analgetika opioid NSAID/Non Non-Steroidal Antiinflamatory Drugs (OAINS/Obat Antiinflamasi Non-Steroid) Analgetika opioid Mengurangi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Interaksi Obat Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai dilakukan secara rutin dengan metode yang sistematis. Hal ini juga didukung oleh perkembangan yang

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER Tujuan Terapi Ketergantungan Narkotika Abstinensia: Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal. Sebagian besar pasien ketergantungan narkotika tidak mampu atau kurang termotivasi

Lebih terperinci

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu : Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat

Lebih terperinci

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER Tujuan Terapi Ketergantungan Narkotika Abstinensia: Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal. Sebagian besar pasien ketergantungan narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri. Nyeri menjadi penyebab angka kesakitan yang tinggi di seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. nyeri. Nyeri menjadi penyebab angka kesakitan yang tinggi di seluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu alasan utama pasien datang ke layanan kesehatan adalah karena nyeri. Nyeri menjadi penyebab angka kesakitan yang tinggi di seluruh dunia. Prevalensi nyeri

Lebih terperinci

INTISARI. Ari Aulia Rahman 1 ; Yugo Susanto 2 ; Rachmawati 3

INTISARI. Ari Aulia Rahman 1 ; Yugo Susanto 2 ; Rachmawati 3 INTISARI GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUANG DAHLIA (PARU) DENGAN DIAGNOSIS TB PARU DENGAN ATAU TANPA GEJALA HEMAPTO DI RSUD ULIN BANJARMASIN PADA TAHUN 2013 Ari Aulia Rahman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia hingga saat ini. TB menjadi penyakit infeksi penyebab kematian terbesar kedua di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada program pengalihan narkoba, yaitu program yang mengganti heroin yang. dipakai oleh pecandu dengan obat lain yang lebih aman.

BAB I PENDAHULUAN. pada program pengalihan narkoba, yaitu program yang mengganti heroin yang. dipakai oleh pecandu dengan obat lain yang lebih aman. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terapi rumatan metadon adalah sebuah terapi dimana terdapat substitusi yang mengantikan narkotika jenis heroin yang menggunakan jarum suntik yang berbentuk cair yang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS POTENSIAL KATEGORI DOSIS PADA PASIEN DI INSTALASI RAWAT JALAN POLI ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO PERIODE JANUARI JUNI 2007 SKRIPSI Oleh : TRI HANDAYANI

Lebih terperinci

Indonesia Nomor 5211); 8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit; 9.

Indonesia Nomor 5211); 8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit; 9. Yang Telah Diputus Oleh Pengadilan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit HIV & AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital dalam tubuh. Ginjal berfungsi

Lebih terperinci

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ BIPOLAR oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ Definisi Bipolar Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai

Lebih terperinci

PENGANTAR FARMAKOLOGI

PENGANTAR FARMAKOLOGI PENGANTAR FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI : PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - DIAGNOSIS - PENGOBATAN GEJALA PENYAKIT FARMAKOTERAPI : CABANG ILMU PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - PENGOBATAN FARMAKOLOGI KLINIK : CABANG

Lebih terperinci

PENGANTAR TOKSIKOLOGI INDUSTRI Pengertian Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh merugikan suatu zat/bahan kimia pada organisme hidup atau ilmu tentang racun. Bahan toksik atau racun adalah

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi Keperawatan Pengantar Farmakologi Keperawatan dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses

Lebih terperinci

RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH

RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH Latar Belakang Kehamilan merupakan st proses luar biasa, dimana ibu bertanggung jawab untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) 2.1.1 Pengertian PTRM Metadon pertama kali dikembangkan di Jerman pada akhir tahun 1937. Metadon adalah suatu agonis opioid sintetik yang

Lebih terperinci

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker. BAB 1 PENDAHULUAN Pemberian obat oral telah menjadi salah satu yang paling cocok dan diterima secara luas oleh pasien untuk terapi pemberian obat. tetapi, terdapat beberapa kondisi fisiologis pada saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah menjadi permasalahan dunia yang tidak mengenal batas Negara, juga menjadi bahaya global yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang terutama disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, sebagian kecil oleh bakteri Mycobacterium africanum dan Mycobacterium

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : HAPSARI MIFTAKHUR ROHMAH K 100 050 252 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ Gangguan Bipolar Febrilla Dejaneira Adi Nugraha Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ Epidemiologi Gangguan Bipolar I Mulai dikenali masa remaja atau dewasa muda Ditandai oleh satu atau lebih episode

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN RESPON IMUNOLOGI EMPAT KOMBINASI ANTIRETROVIRAL BERDASARKAN KENAIKAN JUMLAH CD4 DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR PERIODE MARET 2006-MARET 2010 TESIS SITI MARIAM

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 494/MENKES/SK/VII/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 494/MENKES/SK/VII/2006 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 494/MENKES/SK/VII/2006 TENTANG PENETAPAN RUMAH SAKIT DAN SATELIT UJI COBA PELAYANAN TERAPI RUMATAN METADON SERTA PEDOMAN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1103, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Terapi. Rumatan Metadona. Program. Pedoman. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2013 enkes/tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 1 Rute pemberian obat Untuk memperoleh efek yang cepat obat biasanya diberikan secara

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara 45% hingga 88% (Wing et al, 2012), sementara prevalensi merokok

BAB I PENDAHULUAN. antara 45% hingga 88% (Wing et al, 2012), sementara prevalensi merokok 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan merokok pada pasien skizofrenia merupakan masalah yang sering terjadi. Pervalensi merokok pada pasien skizofrenia diperkirakan antara 45% hingga 88%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SKIZOFRENIA Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik dengan penyebab yang belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pikiran, mood dan perilaku. 10 Skizofrenia

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi dr H M Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepatuhan 2.1.1 Pengertian Kepatuhan Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Menurut Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini di dunia kafein banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein terdapat dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asam format yang terakumulasi inilah yang menyebabkan toksik. 2. Manifestasi klinis yang paling umum yaitu pada organ mata, sistem

BAB I PENDAHULUAN. Asam format yang terakumulasi inilah yang menyebabkan toksik. 2. Manifestasi klinis yang paling umum yaitu pada organ mata, sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Metanol adalah senyawa alkohol paling sederhana yang didalam tubuh akan di metabolisme menjadi formaldehida kemudian menjadi asam format. 1 Asam format yang terakumulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit kedua terbanyak setelah stroke (Blum, 2003). Epilepsi disebabkan oleh berbagai etiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman. Pada umumnya nyeri berkaitan dengan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Fraktur merupakan kondisi ketika tulang mendapat tekanan yang melebihi kekuatan dari tulang tersebut sehingga menyebabkan terjadinya patah tulang (Atlas of pathophysiology,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

Lebih terperinci

Oleh : MASYKUR KHAIR. Definisi

Oleh : MASYKUR KHAIR. Definisi Oleh : MASYKUR KHAIR Definisi Konsep aspek ketergantungan : perilaku dan fisik. Perilaku : menekankan pada aktivitas mencari zat dan bukti terkait tentang pola penggunaan patologis. Fisik : Efek fisiologis

Lebih terperinci

Penggunaan Obat pada Anak FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Penggunaan Obat pada Anak. Alfi Yasmina. Dosis: berdasarkan usia, BB, LPT

Penggunaan Obat pada Anak FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Penggunaan Obat pada Anak. Alfi Yasmina. Dosis: berdasarkan usia, BB, LPT FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS Alfi Yasmina Dipengaruhi oleh Fungsi biotransformasi hati Fungsi ekskresi ginjal Kapasitas pengikatan protein Sawar darah-otak, sawar kulit Sensitivitas reseptor obat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN SARANA PELAYANAN REHABILITASI PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN

Lebih terperinci

INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA

INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA INTISARI KESESUAIAN DOSIS CEFADROXIL SIRUP DAN AMOKSISILIN SIRUP PADA RESEP PASIEN ANAK DI DEPO UMUM RAWAT JALAN RSUD RATU ZALECHA MARTAPURA Mega Lestari 1 ; Amaliyah Wahyuni, S.Si., Apt 2 ; Noor Hafizah,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hancurnya kehidupan rumah tangga serta penderitaan dan kesengsaraan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. hancurnya kehidupan rumah tangga serta penderitaan dan kesengsaraan yang Lampiran 4 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia masih menjadi permasalahan nasional yang tidak kunjung tuntas bahkan semakin memprihatinkan dan mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan. HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2013 menjelaskan HIV atau Human Immunodefisiensi Virus merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Menurut Center

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

ISU KONTEMPORER DALAM FARMAKOLOGI KEPERAWATAN

ISU KONTEMPORER DALAM FARMAKOLOGI KEPERAWATAN ISU KONTEMPORER DALAM FARMAKOLOGI KEPERAWATAN Isu Kontemporer Imunisasi Penyalahgunaan obat dan alkohol Penggunaan obat pada kelompok khusus (anak, bumil, busu, lansia) Pengembangan obat 1 IMUNISASI Definisi:

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS Alfi Yasmina Penggunaan Obat pada Anak Dipengaruhi oleh Fungsi biotransformasi hati Fungsi ekskresi ginjal Kapasitas pengikatan protein Sawar darah-otak, sawar kulit

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Alfi Yasmina

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Alfi Yasmina FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS Alfi Yasmina Penggunaan Obat pada Anak Dipengaruhi oleh Fungsi biotransformasi hati Fungsi ekskresi ginjal Kapasitas pengikatan protein Sawar darah-otak, sawar kulit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB I PENDAHULUAN Penyalahgunaan napza semakin marak terjadi, dan generasi muda menjadi sasaran yang paling potensial. Penyalahgunaan Napza merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik, berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Drug Related Problems (DRPs) merupakan penyebab kurangnya kualitas pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, dengan berat 1.200-1.500 gram. Pada orang dewasa ± 1/50 dari berat badannya sedangkan pada bayi ± 1/18 dari berat

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) agitasi didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri merupakan masalah yang paling sering menyebabkan pasien mencari perawatan ke rumah sakit. Nyeri tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia, nyeri tidak membeda-bedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengendalian dan pencegahan infeksi HIV/AIDS bagi pengguna

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengendalian dan pencegahan infeksi HIV/AIDS bagi pengguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI, 2013) Program Terapi Rumatan Metadon atau yang disingkat PTRM adalah rangkaian kegiatan terapi yang

Lebih terperinci

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH Disusun: Apriana Rohman S 07023232 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2011 A. LATAR BELAKANG Farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Pengambilan data yang dilakukan secara retrospektif melalui seluruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Asia saat ini terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti peningkatan konsumsi kalori, lemak, garam;

Lebih terperinci