Bab 5 KINERJA SEKTOR PERIKANAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 5 KINERJA SEKTOR PERIKANAN"

Transkripsi

1 Bab 5 KINERJA SEKTOR PERIKANAN 5.1 Kinerja Sektor Perikanan Nasional dalam Penerapan Perikanan Berkelanjutan Perikanan Tangkap Kegiatan perikanan tangkap masih memegang peranan yang sangat strategis dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi produksi perikanan tangkap yang mencapai angka 5,71 juta ton atau sekitar 37,60 persen dari total produksi perikanan secara nasional yang mencapai angka 15,51 juta ton pada tahun Produksi perikanan tangkap tersebut berasal dari kegiatan penangkapan di laut sebesar 5,44 juta ton (93,25%) dan kegiatan penangkapan di perairan umum sebesar 0,39 juta ton (6,75%). Secara keseluruhan, nilai produksi perikanan tangkap tersebut mencapai angka Rp 79,4 trilyun pada tahun Disadari juga walaupun terjadi peningkatan produksi hasil tangkapan, namun pembangunan perikanan tangkap tetap masih banyak menghadapi kendala. Kendala yang dimaksud, diantaranya adalah kondisi ketersediaan sumberdaya ikan yang semakin terbatas, bahkan di beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Kemudian, masih maraknya kegiatan pencurian ikan oleh kapal perikanan asing dan bentuk pelanggaran lain yang tergolong pada IUU-fishing. Sementara, upaya melakukan usaha penangkapan ikan di laut bebas (high sea), masih sangat terbatas sebagai akibat terbatasnya kemampuan armada perikanan yang dimiliki oleh nelayan Indonesia. Secara umum perkembangan kondisi perikanan tangkap nasional dapat digambarkan dari status perkembangan nelayannya, armada penangkapan ikannya, dan alat tangkapnya. Informasi mengenai kecenderungan jumlah nelayan dalam dekade terakhir (periode tahun ) dapat dilihat pada Tabel 5.1. Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat kecenderungan menurunnya jumlah nelayan perikanan tangkap di laut. Sementara, jumlah nelayan tangkap di perairan umum relatif cenderung agak berfluktuasi. Namun, secara Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-1

2 keseluruhan jumlah nelayan perikanan cenderung menurun dalam dekade terakhir tersebut, dengan laju rata-rata sekitar - 3,21 %. Tabel 5.1 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap, (orang) Tahun Perikanan Laut Perikanan Perairan Umum Total Sumber: Statistik Perikanan Tangkap, KKP (2014) Kembali kepada fakta kecenderungan penurunan jumlah nelayan perikanan tangkap di laut tersebut. Pertanyaan yang relevan adalah apakah jumlah nelayan yang bekerja di perairan laut saat ini sudah terlalu banyak?. Fenomena ini, tentu memiliki banyak makna, dapat menguntungkan atau juga merugikan bagi Pemerintah Indonesia. Untuk memahami jawaban atas pertanyaan krusial ini, perlu mencermati data mengenai kecenderungan armada kapal ikan di perairan laut pada periode yang sama. Data perkembangan armada kapal ikan nasional dalam dekade terakhir (periode tahun ) disajikan pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 Perkembangan Jumlah Kapal Ikan Nasional Periode Tahun Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-2

3 Grafik pada Gambar 5.1 tersebut menunjukkan bahwa dalam periode secara keseluruhan populasi armada kapal ikan cenderung meningkat, dengan laju rata-rata sebesar 1,69%. Dari ketiga jenis armada, populasi armada kapal motor dan motor tempel secara konsisten meningkat dari waktu ke waktu, sedangkan populasi armada perahu tanpa motor menunjukkan kecenderungan penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa armada kapal motor dan motor tempel yang menggunakan tenaga kerja relatif kurang intensif bila dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja di armada perahu tanpa motor. Hal ini berati telah mulai terjadi modernisasi dalam usaha perikanan tangkap dan cenderung menggunakan alat-alat bantu untuk mengoperasikannya, sehingga kebutuhan penggunaan tenaga kerja semakin berkurang. Karena, memang sesungguhnya karakteristik usaha perikanan tangkap yang efisien dan menguntungkan adalah yang bersifat padat modal. Namun demikian, bila modernisasi armada perikanan tangkap tidak dilakukan dan dikendalikan dengan baik, tentu juga akan membawa dampak negatif, mengingat sebagian wilayah perairan laut nasional sudah ada yang mengalami fenomena overfishing. Tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan yang intensif atau melalui pengembangan modernisasi armada kapal ikan tanpa kontrol tentu akan makin memperburuk masalah overfishing di perairan-perairan laut yang telah mengalami degradasi stok ikan. Selanjutnya, hal ini akan menimbulkan dampak semakin memburuknya usaha perikanan tangkap nasional, yang pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan pada masyarakat perikanan Indonesia. Produksi perikanan tangkap berasal dari penangkapan di laut dan penangkapan di perairan umum. Selama dekade terakhir (periode tahun ), volume produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata sebesar 3,35 % per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2003 menjadi ton pada tahun 2012 (Gambar 5.2). Volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode tersebut meningkat rata-rata sebesar 2,67% per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2003 menjadi ton pada tahun Sementara volume produksi perikanan tangkap di perairan umum mengalami peningkatan rata-rata sebesar 34,79% per tahun yaitu pada tahun 2003 sebanyak ton menjadi ton pada tahun 2012 (Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2012, 2014). Kemudian, walaupun dalam kurun waktu tersebut, tingkat produksi perikanan laut tangkap cenderung naik dari tahun ke tahun, namun, perlu juga diperhatikan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia cenedrung tidak menyebar Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-3

4 merata atau berimbang. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada umumnya penangkapan ikan nasional terkonsentrasi di wilayah perairan pantai, utamanya pantai di daerah-daerah yang padat penduduk, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Dari generasi ke generasi, sebagian besar nelayan-nelayan yang ada di negeri ini menangkap ikan di kedua daerah pantai ini tanpa terkontrol. Sebagai akibatnya, di kedua perairan tersebut kini sedang mengalami fenomena overfishing. Gambar 5.2 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap Nasional Periode Tahun Terjadinya fenomena overfishing tidak hanya mengancam kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga menggrogoti kemampuan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Sehingga, fenomena overfishing selalu diikuti dengan terjadinya fenomena pemiskinan pada masyarakat yang mengantungkan kehidupannya pada sumberdaya ikan. Berbagai studi telah melaporkan bahwa terjadinya fenomena pemiskinan pada komunitas-komunitas nelayan di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Oleh karena itu, suatu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah mengendalikan masalah overfishing di berbagai perairan pantai di Indonesia, utamanya Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa. Selanjutnya, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap (perikanan laut dan perikanan perairan umum) dalam periode dapat dlihat pada Gambar 5.3. Berdasarkan gambar tersebut, nilai produksi perikanan tangkap Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-4

5 secara nasional menunjukkan adanya peningkatan nilai produksi perikanan tangkap selama periode yang sama, dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 19,4%. Gambar 5.3 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Nasional Periode Tahun Tampaknya, fenomena kecenderungan nilai produksi tersebut di atas berkorelasi secara positif dengan fenomena total produksi perikanan tangkap pada periode yang sama, seperti ditunjukkan oleh data pada Gambar 5.2. Namun, laju peningkatan nilai produksi lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya, yang berarti harga komoditas ikan di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal ini mungkin disebabkan adanya laju inflasi atau/dan juga kemungkinan karena adanya perbaikan penanganan kualitas atau mutu ikan yang dapat meningkatkan nilai jualnya. Bila melihat laju rataan inflasi periode , yakni sebesar 7,06% (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 16,05%, maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Indonesia, bukan karena faktor inflasi semata, tetapi juga karena telah terjadi perbaikan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan yang menghasilkan nilai tambah produk perikanan tangkap. Fakta kondisi eksisting perikanan tangkap seperti tersebut diatas tentunya mengindikasikan apakah kinerja perikanan tangkap Indonesia sudah berkelanjutan. Penilaian kinerja perikanan tangkap berkelanjutan umumnya dapat dilihat dari 3 (tiga) Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-5

6 aspek utamanya, yaitu: aspek ekonomi, aspek ekologi/lingkungan, dan aspek sosial. Penjabaran penilaian kinerja perikanan tangkap nasional dari setiap aspek utama tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut: 1) Aspek Ekonomi Kegiatan perikanan tangkap masih memegang peranan yang sangat strategis dan dominan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi produksi perikanan tangkap yang mencapai angka 5,71 juta ton atau sekitar 37,60% dari total produksi perikanan secara nasional yang mencapai angka 15,51 juta ton pada tahun Produksi perikanan tangkap tersebut berasal dari kegiatan penangkapan di laut sebesar 5,44 juta ton (93,25%) dan kegiatan penangkapan di perairan umum sebesar 0,39 juta ton (6,75%). Secara keseluruhan, nilai produksi perikanan tangkap tersebut mencapai angka Rp 79,4 triliun pada tahun Disadari juga walaupun terjadi peningkatan produksi hasil tangkapan, namun pembangunan perikanan tangkap tetap masih banyak menghadapi permasalahan terkait dengan keberlanjutan, diantaranya adalah kondisi sumber daya ikan yang semakin menurun yang ditunjukkan dengan nilai produktivitas yang mulai cenderung menurun dalam dua tahun terakhir, yakni dari 9,19 ton/tahun/kapal pada tahun 2011 menjadi 8,81 ton/tahun/kapal pada tahun 2012, dan bahkan di beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing) yang ditandai dengan semakin kecilnya ukuran ikan yang dominan tertangkap. Selain itu, kegiatan pencurian ikan oleh kapal ikan asing dan bentuk pelanggaran lain yang tergolong pada IUU-fishing juga masih marak. Kemudian, walaupun jumlah nelayan dalam dekade terakhir (periode tahun ) secara umum cenderung menurun dengan laju rata-rata sekitar - 3,21%, namun, pendapatan nelayan rata-rata secara nasional juga belum mencerminkan pendapatan yang layak. Pada tahun 2012, dengan asumsi 60% nilai produksi yang dihasilkan adalah untuk biaya produksi dan 40% merupakan pendapatan nelayan, maka rata-rata nilai pendapatan nelayan adalah sebesar Rp per nelayan per tahun atau Rp per nelayan per tahun. Bila pendapatan rataan nelayan tersebut dibandingkanrataan upah minimum regional (UMR) nasional tahun 2012, yakni sebesar Rp , maka jelas pendapatan rataan nelayan Indonesia masih berada dibawah UMR. Berdasarkan hal ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan perikanan nasional ditinjau dari aspek ekonomi belum berkelanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-6

7 2) Aspek Ekologi Komisi nasional pengkajian stok ikan telah menetapkan bahwa secara nasional potensi penangkapan ikan laut yang lestari (maximum sustainable yield, MSY) di perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.45/MEN/2012 tentang Estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaanperikanan negara republik indonesia). Kemudian, dengan pendekatan ke hati-hatian, ditetapkan pula jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan per tahun yang melebihi angka JTB, apalagi MSY, tentu akan mengancam kelestarian sumber daya ikan yang ada. Oleh karena itu, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang melebihi angka 5,12 juta ton per tahun merupakan indikasi bahwa pengelolaan perikanan menuju ketidak-berlanjutan. Sebab, tindakan seperti itu justru akan menghancurkan potensi sumber daya ikan laut itu sendiri di masa depan, sehingga generasi mendatang tidak dapat memanfaatkannya untuk mendukung kehidupan mereka. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap, ditunjukkan bahwa pada tahun 2011 total produksi perikanan tangkap di perairan laut nasional sebesar 5,34 juta ton, sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat produksi tersebut sudah sekitar 0,23 juta ton diatas nilai JTB. Demikian pula, pada tahun 2012 juga sudah melebihi nilai JTB sebesar 0,32 juta ton. Hal ini tentu sudah menjadi warning bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mengelola perikanan tangkap nasionalnya, karena sudah melewati nilai batas JTB yang merupakan nilai pendekatan ke hati-hatian dalam pengelolaan sumberdaya ikan nasional. Berdasarkan fakta ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan perikanan nasional ditinjau dari aspek ekologi juga belum berkelanjutan. Beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Selain itu dari para pelaku usaha diketahui bahwa ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Hal ini menjadi indikasi bahwa kegiatan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia belum berkelanjutan sehingga membutuhkan strategi dan kebijakan yang lebih baik untuk mengatasinya. 3) Aspek Sosial Telah diketahui bahwa pada umumnya penangkapan ikan nasional terkonsentrasi di perairan pantai, utamanya pantai di daerah-daerah yang padat penduduk, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Fenomena ini dapat ditunjukkan secara Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-7

8 kasar dengan struktur kapal penangkap ikan nasional didominasi oleh ukuran kapal 5 GT kebawah (89% pada tahun 2012). Dari generasi ke generasi, sebagian besar nelayan-nelayan yang ada di negeri ini menangkap ikan terkonsentrasi hanya di wilayah perairan pantai tanpa terkendali dengan baik. Sebagai akibatnya, di beberapa perairan laut tersebut, utamanya yang pesisirnya padat penduduknya, kini sedang mengalami fenomena overfishing. Terjadinya fenomena overfishing tidak hanya mengancam kelestarian sumberdaya ikan, tetapi juga menimbulkan konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Timbulnya konflik sosial tersebut, kini cenderung semakin nyata dan terbuka. Hal ini terjadi karena adanya persaingan yang semakin ketat dengan sifat pemanfaatan sumberdaya ikan di laut yang masih common property dan cenderung belum ada pembatasan penangkapan (open access), serta implementasi era otonomi daerah yang salah tafsir. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan secara umum bahwa pembangunan perikanan tangkap nasional ditinjau dari aspek sosial juga belum menunjukkan keberlanjutan yang signifikan. Konflik sosial antar nelayan juga terjadi akibat aspek kewilayahan/daerah maupun aspek sarana usaha (ukuran kapal dan alat tangkap). Hal ini dapat terjadi akibat kesenjangan antar nelayan. Sehingga perlu adanya regulasi pemerintah yang baik untuk menyelesaikan konflik terutama yang berhubungan dengan kewilayahan Perikanan Budidaya Produksi perikanan budidaya berasal dari usaha budidaya laut, budidaya tambak, budidaya kolam, budidaya keramba, budidaya jaring apung, budidaya sawah dan budidaya laut. Luas lahan perikanan budidaya menurut jenis budidaya dari tahun 2008 sampai dengan 2012 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 5.2 Luas lahan perikanan budidaya menurut jenis budidaya, (Ha) Jenis Budidaya Budidaya Laut Budidaya Tambak Budidaya Kolam Budidaya Keramba Budidaya Jaring Apung Budidaya Sawah Jumlah Total Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-8

9 Perikanan budidaya merupakan sektor yang pertumbuhannya masih dapat terus dipacu, mengingat pemanfaatan potensi yang ada masih rendah dibanding luas lahan yang tersedia. Potensi lahan budidaya di Indonesia diperkirakan mencapai Ha (Pusdatin KKP, 2011) sedangkan total pemakaian baru mencapai Ha (Statistik Perikanan Budidaya, 2012). Kondisi eksisting pemanfaatan potensi kolam tercatat sebesar 22,6%, sawah 7,5% sedangkan pemanfaatan perairan umum untuk keramba maupun KJA baru 1,1%. Tingkat pemanfaatan lahan untuk budidaya perairan payau mencapai 36%, sedangkan budidaya laut baru mencapai tingkat pemanfaatan 1,1%. Penyediaan lahan untuk areal budidaya dapat dilakukan melalui pencetakan lahan baru atau dengan memanfaatkan lahan budidaya yang iddle. Pembuatan wadah budidaya baru atau pemanfaatan lahan iddle untuk kegiatan budidaya harus dirancang berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui studi kelayakan. Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2012sebesar 9,45 juta ton, atau 61,92% dari produksi perikanan nasional yang diprediksi sebesar 15,26 Juta ton. Komposisi produksi perikanan budidaya menurut jenis usaha adalah budidaya air tawar: 2,07 juta ton, budidaya air payau: 1,79 juta ton, dan budidaya laut (termasuk rumput laut) sebesar 5,59 juta ton. Tabel 5.3 Produksi ikan berdasarkan komoditas di Indonesia tahun No. KOMODITAS Produksi (Ton) TAHUN TOTAL Udang Windu Vanamei Lainnya Kerapu Kakap Bandeng Patin Nila Ikan Mas Lele Gurame Rumput L Kekerangan Kepiting Lainnya Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013) Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-9

10 Selama periode 2008 sampai dengan 2012 jumlah pembudidaya secara total mengalami kenaikan sebesar 38%. Persentase kenaikan terbesar jumlah pembudidaya adalah sebesar 150% di jenis usaha budidaya laut. Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya tahun selengkapnya disajikan pada Tabel berikut. Tabel 5.4 Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya (Satuan: Orang) Jenis % Jumlah Total Laut Tambak Kolam Keramba KJA Sawah Sumber: Diolah dari Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, 2013 Besarnya skala usaha perikanan budidaya dapat dibagi menjadi kategori besarnya usaha dan kategori penerapan teknologi yang digunakan. Kategori besarnya usaha berhubungan dengan luas areal yang dipergunakan sedangkan kategori penerapan teknologi didasarkan pada siatem teknologi intensif, semi intensif serta teknologi sederhana (tradisional). Pembudidaya ikan di Indonesia didominasi oleh pembudidaya skala kecil. Usaha budidaya ikan skala kecil untuk usaha budidaya ikan laut adalah luas lahan <50 m2, budidaya tambak <1 Ha, kolam <0,1 Ha, budidaya keramba dan KJA<50 m2 serta usaha Mina Padi sebesar 0,5 Ha per RTP Budidaya dengan penerapan teknologi sederhana. Tabel berikut ini menyajikan skala usaha perikanan budidaya berdasarkan kategori besarnya usaha. Tabel 5.5 Skala usaha perikanan budidaya berdasarkan kategori besarnya usaha Jenis Budidaya Budidaya Laut < 50 m m2 Kategori Besarnya Usaha m m2 >500 m2 Budidaya Tambak < 1 Ha 1-2 Ha 2-5 Ha 5-10 Ha > 10 Ha Budidaya Kolam < 0,1 Ha.0,1-0,3 0,5-1 0,3-0,5 Ha Ha Ha >1 Ha Budiaya Keramba < 50 m m2 m m2 >500 m2 Budidaya Jaring Apung < 50 m m2 m m2 >500 m2 Budidaya Mina Padi < 0,5 0,5-1 Ha Ha 1-2 Ha 2-3 Ha > 3 Ha Sumber: Diolah dari Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, 2013 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-10

11 Keragaan input perikanan budidaya antara lain meliputi keragaan lokasi budidaya, fasilitas produksi, induk, benih, pakan, pupuk, obat-obatan, pestisida, peralatan akuakultur, tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan teknologi perikanan budidaya dapat dibagi menjadi teknologi budidaya intensif, semi intensif serta teknologi sederhana (tradisional). Perbedaan sistem teknologi tersebut terutama pada jumlah padat penebaran benih, jumlah pakan buatan serta sistem manajemen air dan wadah budidaya. Tabel 5.6 Kebutuhan Pakan Menurut Komoditas Utama (ton) No Rincian % 1. Udang , ,93 2. Nila ,09 3. Patin Lele ,1 5. Mas ,6 6. Gurame ,9 7 Kakap ,12 8. Kerapu , Bandeng , Lainnya ,72 JUMLAH ,63 Sumber: Direktorat Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya, 2015 Penyebaran BBI di Indonesia saat ini masih tidak merata dan terpusat di Jawa, sedangkan potensi perikanan budidaya berada di luar Jawa. Untuk saluran irigasi, hanya ha (26%) dari tambak eksisting yang telah ditata saluran irigasinya, selebihnya kondisinya masih memprihatinkan. Pengembangan infrastruktur pendukung perikanan lainnya seperti pembangunan jalan produksi, saluran air, dan jalan penghubung antara kawasan produksi dengan kawasan pengolahan-pemasaran memerlukan penataan ulang, terutama terkait dengan rencana peningkatan produksi perikanan budidaya yang cukup tinggi. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-11

12 Tabel 5.7 Data umum Laboratrium lingkup UPT, Ditjen Perikanan Budidaya NO LABORATORIUM TERAKREDITASI NO DALAM PROSES TERAKREDITASI 1 BBPBAT - SUKABUMI 1 BPBAP UJUNG BATTEE - ACEH 2 BBPBAP - JEPARA 2 BPBAT TATELU - SULUT 3 BBPBL - LAMPUNG 3 BPBAL LOMBOK - NTB 4 BPBAP - SITUBONDO 4 BPBAL AMBON 5 BBAT - MANDIANGIN 5 BLUPPB KARAWANG 6 BPBAL - BATAM 6 BROODSTOCK CENTRE KARANGASEM 7 BPBAP - TAKALAR 7 LPPIL SERANG 8 BPBAT - JAMBI Sumber: Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya, 2013 Komoditas utama perikanan budidaya terdiri dari udang, ikan kerapu, rumput laut, ikan nila, ikan mas, ikan bandeng, ikan kakap, ikan patin, ikan lele, serta ikan gurame. Sebanyak 7 komoditi mdngalami kenaikan nilai produksi dari tahun , sedangkan komoditi lainnya mengalami penurunan nilai produksi. Nilai produksi total ikan berdasarkan komoditi budidaya tahun disajikan pada Gambar berikut. Gambar 5.4 Nilai produksi perikanan budidaya berdasarkan komoditi (x Rp.1000,-) Kenaikan nilai produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya berturutturut adalah budidaya kolam sebesar 303%, KJA (288%), keramba (237%), budidaya laut (189%), mina padi (91%) serta budidaya tambak (65%). Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-12

13 Berdasarkan fakta kondisi eksisting perikanan budidaya seperti tersebut dapat disarikan penilaian keberlanjutan dari kinerja perikanan budidaya nasional dilihat dari aspek ekonomi, aspek ekologi/lingkungan, dan aspek sosial, yakni sebagai berikut: 1) Aspek Ekonomi Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2012 sebesar 9,45 juta ton, atau 61,92% dari produksi perikanan nasional sebesar 15,26 juta ton. Komposisi produksi perikanan budidaya menurut jenis usaha adalah budidaya air tawar: 2,07 juta ton, budidaya air payau: 1,79 juta ton, dan budidaya laut (termasuk rumput laut) sebesar 5,59 juta ton. Produksi perikanan budidaya tertinggi pada tahun 2012 diraih oleh Provinsi Sulawesi Selatan kemudian berturut-turut diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Sulawesi Tengah. Provinsi Papua, Provinsi Bangka Belitung serta DKI Jakarta merupakan Provinsi dengan jumlah produksi perikanan budidaya paling sedikit. Kenaikan nilai total produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya dari tahun 2007 sampai dengan 2011 sebesar 138%. Kenaikan nilai produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya yang terbesar dari tahun 2007 sampai dengan 2011 berturut-turut adalah budidaya kolam sebesar 303%, KJA (288%), keramba (237%), budidaya laut (189%), mina padi (91%) serta budidaya tambak (65%). Secara keseluruhan, nilai produksi perikanan budidaya pada tahun 2007 sebesar Rp ,- tahun 2008 Rp ,- tahun 2009 sebesar Rp ,- tahun 2010 sebesar Rp ,- serta tahun 2011 sebesar Rp ,- Jumlah RTP Pembudidaya selama kurun waktu mengalami kenaikan sebesar 18% atau rata-rata per tahun naik 4,4%. Jumlah RTP Pembudidaya pada tahun 2007 sebesar RTP dan pada tahun 2011 jumlahnya mencapai RTP. Satu-satunya RTP Pembudidaya yang mengalami penurunan adalah RTP Pembudidaya Sawah yaitu sebesar -6% selama kurun waktu 2007 sampai dengan Jumlah RTP pembudidaya tahun 2012 berdasarkan sebaran pulau didominasi oleh Pulau Jawa sebesar 52%, diikuti berturut-turut oleh Sumatera (21%), Sulawesi (13%), Kalimantan (7%), Bali-Nusa Tenggara (5%) serta Maluku-Papua sebesar 2%. Sebaran jumlah RTP pembudidaya ikan berdasarkan pulau memperlihatkan bahwa RTP pembudidaya ikan terbanyak adalah RTP Budidaya Kolam di Pulau Jawa, sedangkan RTP Mina Padi di Maluku-Papua merupakan jumlah RTP terkecil. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-13

14 Meskipun pada umumnya budidaya ikan hanya sebagai mata pencaharian sampingan, namun berdasarkan hasil penelitian pendapatan dari usaha budidaya ikan masih merupakan penyumbang terbesar bagi pendapatan keluarga pembudidaya ikan. Menurut KKP dan BPS (2011) usaha budidaya ikan memberikan kontribusi sebesar 64% sampai dengan 89% terhadap pendapatan keluarga. Keluarga pembudidaya ikan akan memperoleh pendapatan dari usaha budidaya pada saat panen. Masa panen tersebut bergantung kepada jenis ikan yang dibudidayakan serta pola tanam yang diaplikasikan. Pada tahun 2012, dengan asumsi nilai produksi yang dihasilkan oleh pembudidaya ikan skala kecil sebagian besar adalah untuk biaya produksi, maka ratarata nilai pendapatan adalah sekitar Rp per pembudidaya skala kecil per tahun atau sekitar Rp per pembudidaya skala kecil per tahun. Bila pendapatan rataan pembudidaya skala kecil tersebut dibandingkan rataan upah minimum regional (UMR) nasional tahun 2012, yakni sebesar Rp , maka pendapatan rataan pembudidaya skala kecil Indonesia masih berada dibawah UMR. Berdasarkan hal ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan perikanan budidaya skala kecil secara nasional ditinjau dari aspek ekonomi belum berkelanjutan. 2) Aspek Ekologi Peningkatan produksi budidaya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi media (air), kualitas benih dan kualitas pakan. Pakan merupakan faktor produksi yang menjadi komponen biaya terbesar dalam suatu usaha budidaya ikan. Budidaya perairan memperkaya lingkungan dengan buangan pakan termetabolisir dan yang tidak termakan. Sampai batas tertentu buangan pakan termetabolit tersebut bermanfaat karena meningkatkan produksi ikan, apabila melebihi jumlah tersebut, zat tersebut pada akhirnya menjadi pencemar. Bahan-bahan yang memperkaya atau mencemari akibat budidaya terutama fosfor dan nitrogen yang dikandung pakan. Jumlah fosfor dan nitrogen dalam pakan tergantung kualitas pakan, biasanya masing-masing sebesar 12 dan 55 kg/ton pakan. Ikan akan mengasimilasi sebagian zat hara tersebut (masing-masing sekitar 5 kg dan 14 kg, pada konversi pakan 2) dan sisanya masuk ke lingkungan sebagai buangan metabolit dan pakan yang tidak dimakan. Zat hara utama yang memperkaya atau mencemari lingkungan air tawar adalah fosfor, sedangkan untuk air laut adalah N. Jumlah produksi yang dapat ditolerir oleh lingkungan tertentu dapat ditentukan berdasarkan jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan ikan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-14

15 Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam aspek lingkungan budidaya adalah keberadaan Invasive Aquatic Species (IAS). IAS merupakan spesies yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari luar habitat alaminya. IAS mampu hidup dan bereproduksi pada habitat barunya dan kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas, ekosistem, perikanan, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan manusia pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik. IAS bisa mengancam ekosistem karena bersifat kompetitor, predator, patogen dan parasit. Selain itu, IAS mampu merambah semua bagian ekosistem alami atau asli dan menyebabkan punahnya spesies-spesies asli. 3) Aspek Sosial Pembudidaya ikan di Indonesia masih didominasi oleh pembudidaya skala kecil. Usaha budidaya ikan skala kecil untuk usaha budidaya ikan laut adalah luas lahan <50 m2, budidaya tambak <1 Ha, kolam <0,1 Ha, budidaya keramba dan KJA<50 m2 serta usaha Mina Padi sebesar 0,5 Ha per RTP Budidaya dengan penerapan teknologi sederhana. Peningkatan produktivitas budidaya melalui perbaikan teknologi dan perubahan sistem budidaya dari sistem tradisional atau semi intensive membutuhkan perubahan perilaku pembudidaya dan perubahan penguasaan teknologi budidaya. Kebanyakan pembudidaya ikan skala kecil tidak mudah untuk menerima perubahan tersebut sehingga kalau perubahan tersebut tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Teknologi yang digunakan oleh sebagian besar pembudidaya ikan terutama skala kecil masih sederhana. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan, modal, dan akses terhadap teknologi. Kondisi ini menyebabkan usaha budidaya yang dilakukan kurang optimal atau memiliki produktivitas yang rendah. Hal yang lebih krusial pada perubahan sistem budidaya usaha budidaya ikan, dimana komponen benih, pakan dan obat-obatan merupakan komponen yang cukup besar proporsinya pada biaya keseluruhan dan mempunyai laju peningkatan indeks harga yang terbesar dari komponen lainnya maka pada saat sistem budidaya berubah menjadi sistem intensive, dapat menimbulkan pengaruh berganda (double impact) pada kebutuhan biaya produksi. Apabila tidak dipersiapkan dengan baik, perubahan tersebut bisa menimbulkan masalah sosial pada pembudidaya ikan skala kecil. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-15

16 Kondisi Sektor Perikanan Tangkap di Lokasi Survei Sumatera Barat Produksi perikanan tangkap di Sumatera Barat berasal dari penangkapan di laut dan penangkapan di perairan umum. Selama lima terakhir (periode tahun ), volume produksi perikanan tangkap secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 1,57% per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun 2012 (Tabel 5.8). Untuk, volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 1,37% per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun Sementara, volume produksi perikanan tangkap di perairan umum malah mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi perikanan lautnya, yakni rata-rata sebesar 5,67% per tahun dari ton pada tahun 2003 menjadi ton pada tahun Tabel 5.8 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Barat Periode Tahun (unit: ton) Produksi Ikan Tahun Perkembangan Perairan ,37 0,48 laut Perairan ,67 16,33 Umum Total ,57 1,17 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Kemudian, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap dalam periode dapat dlihat pada Tabel 5.9. Berdasarkan tabel tersebut, nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Barat menunjukkan adanya peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 7,51%. Fenomena kecenderungan nilai produksi ini berkorelasi secara positif dengan fenomena kecenderungan total produksinya pada periode yang sama. Namun, laju peningkatan nilai produksi lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya, yang berarti harga komoditas ikan di Sumatera Barat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh 2 kemungkinan, yakni kemungkinan pertama adanya laju inflasi atau kemungkinan kedua adanya peningkatan nilai tambah hasil tangkapan akibat adanya perbaikan penanganan atau pengolahannya. Namun, bila melihat laju rataan inflasi nasional periode , yakni sebesar 5,78% Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-16

17 Nilai Produksi Ikan (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 6,94%, maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi Sumatera Barat, hampir seluruhnya (97%) disebabkan oleh faktor inflasi. Dengan demikian, belum ada perbaikan yang signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya. Tabel 5.9 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Barat Periode Tahun (unit: dalam ribuan Rupiah) Tahun Perkembangan Perairan laut ,19 2,71 Perairan ,75 27,14 Umum Total ,51 3,23 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Selanjutnya, status perkembangan nelayan, armada penangkapan ikan, dan alat tangkapnya di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir ( ) dapat dilihat pada Tabel 5.10 sampai Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 5 tahun terakhir terdapat kecenderungan jumlah nelayan yang meningkat, rata-rata sebesar 4,49% per tahun. Kemudian, secara keseluruhan jumlah kapal penangkap ikan juga menunjukkan kecenderungan meningkat dalam periode walaupun dengan laju yang relatif kecil, yakni laju rata-rata sebesar 1,34% per tahun. Sementara itu, perkembangan jumlah alat penangkapan ikan justru menunjukkan kecenderungan penurunan, yakni dengan laju rata-rata sebesar -7,80% per tahun. Penyumbang kontribusi penurunan adalah pada perkembangan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan pada perairan umum. Tabel 5.10 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Barat periode tahun (unit: orang) Nelayan Tahun Perkembangan Perairan laut ,60 19,47 Perairan ,10 30,49 Umum Total ,49 22,28 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-17

18 Tabel 5.11 Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Sumatera Barat periode tahun (unit: kapal) Kapal Ikan Tahun Perkembangan Perairan ,67 13,57 laut Perairan ,65-10,80 Umum Total ,34 7,82 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Tabel 5.12 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Sumatera Barat periode tahun (unit: alat) Alat Tahun Perkembangan Penangkap Ikan Perairan ,38 2,70 laut Perairan ,46 11,02 Umum Total ,80 6,63 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Berdasarkan perkembangan data aktivitas perikanan tangkap data diatas, maka dapat menilai secara kasar kondisi keberlanjutannya di Provinsi Sumatera Barat dilihat dari aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, dan aspek sosial. Untuk aspek ekonomi, dapat diindikasikan dengan perkembangan produktivitas nelayannya. Perkembangan nelayan di provinsi ini secara umum dalam 5 tahun terakhir (periode tahun ) cenderung meningkat (4,49% per tahun), namun, lajunya lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksi perikanan tangkap (1,57% per tahun), sehingga produktivitas nelayan Sumatera Barat secara rata-rata dapat dinyatakan menurun sebesar -2,48% per tahun (Gambar 5.5). Jadi, dengan asumsi harga ikan yang tidak berubah secara signifikan, maka secara kasar dapat dinyatakan bahwa aktivitas perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Barat ditinjau dari aspek ekonomi belum berkelanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-18

19 Gambar 5.5 Perkembangan Produktivitas Nelayan Sumatera Barat Periode Kemudian, Gambar 5.6 memperlihatkan kecenderungan secara umum tentang produktivitas kapal yang sedikit meningkat, dengan laju rata-rata sebesar 0,22% per tahun. Walaupun demikian, kecenderungan peningkatan produktivitas kapal secara keseluruhan tersebut tidak terjadi pada produktivitas kapal ikan yang beroperasi di perairan laut. Produktivitas kapal ikan di perairan laut justru menunjukkan penurunan dengan laju rata-rata sebesar -0,69% per tahun, bahkan di dua tahun terakhir (2011 ke 2012), penurunannya agak tajam, yakni sebesar -11,2%. Berdasarkan fakta ini, secara kasar perairan laut Sumatera Barat mulai mengindikasikan terjadinya gejala overfishing, sehingga pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Barat ditinjau dari aspek ekologi juga belum dapat dinyatakan berkelanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-19

20 Gambar 5.6 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Sumaetra Barat Periode Selanjutnya, berdasar Gambar 5.5 dan Gambar 5.6, utamanya untuk perairan laut Sumatera Barat, secara kasar mulai berpotensi cukup tinggi untuk timbulnya konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena semakin tingginya persaingan usaha penangkapan ikan di perairan laut Sumatera Barat yang diindikasikan dengan menurunnya nilai produktivitas nelayan dan produktivitas kapal ikannya, terlebih lagi ditambah dengan sifat pemanfaatan sumber daya ikan di provinsi ini yang masih bersifat common property dengan belum ada pembatasan penangkapan yang tegas (open access). Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan secara kasar bahwa pembangunan perikanan tangkap di Sumatera Barat ditinjau dari aspek sosial juga belum menunjukkan keberlanjutan yang signifikan Kalimantan Barat Produksi perikanan tangkap di Kalimantan Barat selama lima terakhir (periode tahun ), secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 8,70% per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun 2012 (Tabel 5.13). Untuk, volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 7,69% per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun Demikian juga dengan volume produksi perikanan tangkap di perairan umum malah mengalami peningkatan yang lebih tinggi Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-20

21 dibandingkan dengan produksi perikanan lautnya, yakni rata-rata sebesar 9,04% per tahun dari ton pada tahun 2003 menjadi ton pada tahun Tabel 5.13 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun (unit: ton) Produksi Ikan Tahun Perkembangan Perairan ,69 8,43 laut Perairan ,04 9,36 Umum Total ,70 8,52 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Kemudian, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap dalam periode dapat dlihat pada Tabel Berdasarkan tabel tersebut, nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 8,92%. Fenomena kecenderungan nilai produksi ini berkorelasi secara positif dengan fenomena kecenderungan total produksinya pada periode yang sama, dengan laju peningkatan nilai produksi sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya. Dengan demikian, harga komoditas ikan di Kalimantan Barat dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Namun, bila melihat laju rataan inflasi nasional periode , yakni sebesar 5,78% (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 0,22%, maka dapat dinyatakan secara umum bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi Kalimantan Barat, karena faktor inflasi. Dengan demikian, belum ada perbaikan yang signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-21

22 Tabel 5.14 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimantan Barat Periode Tahun (unit: dalam ribuan Rupiah) Nilai Tahun Perkembangan Produksi Ikan Perairan laut ,54 17,20 Perairan ,38 28,52 Umum Total ,92 18,89 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Selanjutnya, status perkembangan nelayan, armada penangkapan ikan, dan alat tangkapnya di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir ( ) dapat dilihat pada Tabel 5.15 sampai Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 5 tahun terakhir terdapat kecenderungan jumlah nelayan yang menurun secara keseluruhan, dengan rataan sebesar -0,04% per tahun. Kemudian, secara keseluruhan jumlah kapal penangkap ikan juga menunjukkan kecenderungan penurunan dalam periode dengan laju rata-rata sebesar -0,90% per tahun. Demikian pula dengan perkembangan jumlah alat penangkapan ikan, yang menunjukkan kecenderungan penurunan, yakni dengan laju rata-rata sebesar -4,71% per tahun. Tabel 5.15 Perkembangan Populasi Nelayan Perikanan Tangkap di Provinsi Kalimantan Barat periode tahun (unit: orang) Nelayan Tahun Perkembangan Perairan ,06-6,32 laut Perairan ,52-9,36 Umum Total ,04 10,85 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Tabel 5.16 Kapal Ikan Perkembangan Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Provinsi Kalimantan Barat periode tahun (unit: kapal) Tahun Perkembangan Perairan ,49-9,97 laut Perairan ,04-19,83 Umum Total ,90-12,91 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-22

23 Tabel 5.17 Perkembangan Jumlah Alat Penangkapan Ikan di Provinsi Kalimantan Barat periode tahun (unit: alat) Alat Tahun Perkembangan Penangkap Ikan Perairan ,45 6,74 laut Perairan ,30-13,19 Umum Total ,71 5,59 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Berdasarkan perkembangan data aktivitas perikanan tangkap data diatas, maka dapat menilai secara kasar kondisi keberlanjutannya di Provinsi Kalimantan Barat dilihat dari aspek ekonomi, ekologi/lingkungan, dan aspek sosial. Untuk aspek ekonomi, dapat diindikasikan dengan perkembangan produktivitas nelayannya. Perkembangan nelayan di provinsi ini yang secara umum dalam 5 tahun terakhir (periode tahun ) cenderung agak menurun (-0,04% per tahun), sementara laju rataan produksi perikanan tangkapnya mengalami peningkatan yang cukup besar, yakni 8,70% per tahun, sehingga produktivitas nelayan Kalimantan Barat secara ratarata dapat dinyatakan meningkat sebesar 8,75% per tahun (Gambar 5.7). Dengan melihat laju inflasi nasional sebesar 5,78% per tahun selama periode , maka dapat dinyatakan bahwa laju peningkatan harga ikan lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan inflasi, sehingga diperkirakan pendapatan nelayan Kalimantan Barat meningkat selama periode. Oleh karena itu, secara kasar dapat dinyatakan bahwa aktivitas perikanan tangkap di Provinsi Kalimantan Barat ditinjau dari aspek ekonomi menunjukkan keberlanjutan. Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-23

24 Gambar 5.7 Perkembangan Produktivitas Nelayan Kalimantan Barat Periode Kemudian, Gambar 5.8 memperlihatkan kecenderungan secara umum tentang produktivitas kapal yang juga meningkat, dengan laju rata-rata sebesar 9,96% per tahun. Dengan demikian, berdasarkan data tersebut, secara kasar perairan laut Kalimantan Barat tidak mengindikasikan terjadinya gejala overfishing, sehingga pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Kalimantan Barat ditinjau dari aspek ekologi juga dapat dinyatakan tidak mengganggu kelestarian atau menunjukkan keberlanjutan. Gambar 5.8 Perkembangan Produktivitas Kapal Ikan di Kalimantan Barat Periode Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-24

25 Selanjutnya, berdasar Gambar 5.7 dan Gambar 5.8, perairan Kalimantan Barat, secara kasar menunjukkan masih menguntungkan dan produktif, sehingga tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial secara horisontal antar masyarakat nelayan itu sendiri. Namun bila hal ini tidak ditata dengan baik dan tegas, utamanya dalam hal pembatasan penangkapan yang sesuai daya dukung, maka peluang terjadinya konflik juga masih mungkin terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut, dalam periode dapat dinyatakan secara kasar bahwa pembangunan perikanan tangkap di Kalimantan Barat ditinjau dari aspek sosial juga sudah menunjukkan keberlanjutan Jawa Tengah Kontribusi produksi perikanan tangkap di Jawa Tengah, sebagian besar atau lebih dari 90% berasal dari produksi hasil penangkapan di laut. Selama lima terakhir (periode tahun ), volume produksi perikanan tangkap secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 10,85% per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun 2012 (Tabel 5.18). Untuk, volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 10,17% per tahun, yaitu dari ton pada tahun 2008 menjadi ton pada tahun Sementara, volume produksi perikanan tangkap di perairan umum juga mengalami peningkatan, walaupun jauh dibawah laju peningkatan produksi perikanan lautnya, yakni rata-rata sebesar 2,94% per tahun dari ton pada tahun 2003 menjadi ton pada tahun Tabel 5.18 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Jawa Tengah Periode Tahun (unit: ton) Produksi Ikan Tahun Perkembangan Perairan ,17 1,81 laut Perairan ,94 2,01 Umum Total ,85 1,83 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Kemudian, mengenai data perkembangan nilai produksi perikanan tangkap dalam periode dapat dlihat pada Tabel Berdasarkan tabel tersebut, nilai produksi perikanan tangkap di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan adanya peningkatan dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 20,44%. Fenomena Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-25

26 kecenderungan nilai produksi ini berkorelasi secara positif dengan fenomena kecenderungan total produksinya pada periode yang sama. Namun, laju peningkatan nilai produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju peningkatan produksinya, yang berarti harga komoditas ikan di Jawa Tengah dari tahun ke tahun cenderung meningkat secara signifikan. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh 2 sebab, yakni kemungkinan pertama akibat adanya laju inflasi atau kemungkinan kedua akibat adanya peningkatan nilai tambah hasil tangkapan akibat adanya perbaikan penanganan atau pengolahannya. Namun, bila melihat laju rataan inflasi nasional periode , yakni sebesar 5,78% (Badan Pusat Statistik, 2013) dan membandingkannya dengan selisih antara laju rataan peningkatan nilai produksi dan laju rataan peningkatan produksi pada periode yang sama, yakni sebesar 9,59%, maka dapat dinyatakan bahwa peningkatan nilai hasil tangkapan atau harga ikan di Provinsi Jawa Tengah, tidak semata karena faktor inflasi, tetapi juga karena adanya peningkatan nilai tambah produk. Dengan demikian, telah ada upaya perbaikan yang signifikan dari para pelaku usaha perikanan tangkap di provinsi ini terkait dengan penanganan dan pengolahan hasil tangkapan guna meningkatkan nilai tambahnya. Tabel 5.19 Perkembangan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Jawa Tengah Periode Tahun (unit: dalam ribuan Rupiah) Nilai Tahun Perkembangan Produksi Ikan Perairan ,67 12,96 laut Perairan ,30 12,25 Umum Total ,44 12,88 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2014 Selanjutnya, status perkembangan nelayan, armada penangkapan ikan, dan alat tangkapnya di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir ( ) dapat dilihat pada Tabel 5.20 sampai Gugus data tersebut menggambarkan bahwa dalam 5 tahun terakhir terdapat kecenderungan jumlah nelayan yang meningkat, rata-rata sebesar 16,60% per tahun. Kemudian, secara keseluruhan jumlah kapal penangkap ikan juga menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam periode dengan laju rata-rata sebesar -5,26% per tahun. Namun, tidak demikian dengan perkembangan jumlah jumlah alat penangkapan ikan, dalam periode yang sama justru menunjukkan kecenderungan penurunan, yakni dengan laju rata-rata sebesar -13,45% per tahun, Bab 5 Kinerja Sektor Perikanan Page 5-26

rovinsi alam ngka 2011

rovinsi alam ngka 2011 Buku Statistik P D A rovinsi alam ngka 2011 Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012 1 2 DAFTAR ISI Daftar Isi... i Statistilk Provinsi Dalam Angka Provinsi Aceh... 1

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Dr. Ir. Sri Yanti JS. MPM

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Dr. Ir. Sri Yanti JS. MPM KATA PENGANTAR Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2 dan mempunyai potensi serta keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas keseluruhan sekitar ± 5,18 juta km 2, dari luasan tersebut dimana luas daratannya sekitar ± 1,9 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam produksi komoditi yang bersumber dari kekayaan alam terutama dalam sektor pertanian. Besarnya

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2 yang memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan

Lebih terperinci

EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA

EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA EVALUASI PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Kementerian Kelautan dan Perikanan mencanangkan suatu visi yaitu Indonesia sebagai penghasil Produk Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

I. PENDAHULUAN.  (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi] I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan merupakan sektor agribisnis yang hingga saat ini masih memberikan kontribusi yang cukup besar pada perekonomian Indonesia. Dari keseluruhan total ekspor produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 217 MOR SP DIPA-32.4-/217 DS21-98-8-666 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki luas sekitar enam juta mil persegi, 2/3 diantaranya berupa laut, dan 1/3 wilayahnya berupa daratan. Negara

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR 81/PER-DJPB/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/KEPMEN-KP/2013 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/KEPMEN-KP/2013 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/KEPMEN-KP/2013 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan ribuan pulau yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

Kebijakan Perikanan Budidaya. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Kebijakan Perikanan Budidaya. Riza Rahman Hakim, S.Pi Kebijakan Perikanan Budidaya Riza Rahman Hakim, S.Pi Reflection Pembangunan perikanan pada dasarnya dititikberatkan pada perikanan tangkap dan perikanan budidaya Pada dekade 80-an perikanan budidaya mulai

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. terhadap PDB Indonesia membuat sektor perikanan dijadikan penggerak utama (prime mover)

I PENDAHULUAN. terhadap PDB Indonesia membuat sektor perikanan dijadikan penggerak utama (prime mover) I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 95.181 km 1. Luas wilayah perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km 2 dan mendominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013 No. 33/07/31/Th.XVI, 1 Juli 2014 HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013 RATA-RATA PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN DI DKI JAKARTA TAHUN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari negara yang menjadi produsen utama akuakultur dunia. Sampai tahun 2009, Indonesia menempati urutan keempat terbesar sebagai produsen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau. Kenyataan ini memungkinkan timbulnya struktur kehidupan perairan yang memunculkan

Lebih terperinci

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

RILIS HASIL AWAL PSPK2011 RILIS HASIL AWAL PSPK2011 Kementerian Pertanian Badan Pusat Statistik Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR 226/PER-DJPB/2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS BANTUAN BENIH IKAN PADA DIREKTORAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan di Indonesia yakni sektor pertanian. Sektor pertanian. merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia karena

I. PENDAHULUAN. pembangunan di Indonesia yakni sektor pertanian. Sektor pertanian. merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia karena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi ekonomi yang cukup besar dengan berbagai sektor. Salah satu sektor yang menunjang pembangunan di Indonesia

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan adalah mengukur kualitas hidup, yang merefleksikan aspek ekonomi, sosial dan psikologis. Dalam aspek ekonomi, maka kemampuan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya kelautan merupakan salah satu aset yang penting dan memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara fisik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan terpenting ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai juga merupakan tanaman sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%)

I. PENDAHULUAN * 2009 ** Kenaikan ratarata(%) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan yang dikelilingi oleh perairan laut dan perairan tawar yang sangat luas, yaitu 5,8 juta km 2 atau meliputi sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

Lebih terperinci

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP Cilacap merupakan salah satu wilayah yang berpotensi maju dalam bidang pengolahan budi daya perairan. Memelihara dan menangkap hewan atau tumbuhan perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK

PENGERTIAN EKONOMI POLITIK PENGERTIAN EKONOMI POLITIK CAPORASO DAN LEVINE, 1992 :31 INTERELASI DIANTARA ASPEK, PROSES DAN INSTITUSI POLITIK DENGAN KEGIATAN EKONOMI (PRODUKSI, INVESTASI, PENCIPTAAN HARGA, PERDAGANGAN, KONSUMSI DAN

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Dengan panjang garis pantai sekitar 18.000 km dan jumlah pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam potensi. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah lautan dengan luas mencapai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

Tabel. Potensi Areal Budidaya Laut Untuk Komoditas Kerang Mutiara & Abalone, Kerang Darah dan Tiram Serta Teripang Per Kab/kota Se- NTB

Tabel. Potensi Areal Budidaya Laut Untuk Komoditas Kerang Mutiara & Abalone, Kerang Darah dan Tiram Serta Teripang Per Kab/kota Se- NTB DATA STATISTIK PERIKANAN BUDIDAYA 1. Sumberdaya Perikanan Budidaya Laut Potensi sumber daya perikanan budidaya laut diprioritaskan untuk pengembangan komoditas yang memiliki nilai ekonomis, peluang ketersediaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. global saat ini. Sektor ini bahkan berpeluang mengurangi dampak krisis karena masih

BAB 1 PENDAHULUAN. global saat ini. Sektor ini bahkan berpeluang mengurangi dampak krisis karena masih BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha perikanan budidaya dinilai tetap prospektif di tengah krisis keuangan global saat ini. Sektor ini bahkan berpeluang mengurangi dampak krisis karena masih berpotensi

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 dan Bisnis disektro Kelautan [10 Februari 2009].

I. PENDAHULUAN. 1  dan Bisnis disektro Kelautan [10 Februari 2009]. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas perairan laut, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar 5,8 juta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional karena. pembangunan ekonomi diharapkan dapat menjadi motor penggerak

BAB I PENDAHULUAN. telah mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional karena. pembangunan ekonomi diharapkan dapat menjadi motor penggerak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan masyarakat semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pembangunan Bangsa Indonesia bidang ekonomi telah mendapat prioritas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013 No.40/07/13/TH. XVII, 1 Juli 2014 HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013 RATA-RATA PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN DI SUMATERA BARAT 13,33

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari beberapa pulau besar antara lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Lebih terperinci

Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan

Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan Draft Rekomendasi Kebijakan Sasaran: Perikanan Budidaya Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perikanan Budidaya Melalui PUMP Perikanan Budidaya Sebagai Implementasi PNPM Mandiri Kelautan Dan Perikanan Seri

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

Oleh : Dr. Ir. Made L Nurdjana Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan

Oleh : Dr. Ir. Made L Nurdjana Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Oleh : Dr. Ir. Made L Nurdjana Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Disampaikan pada Seminar Nasional Feed The World, Jakarta Convention Center, 28 Januari 2010 1. TREND

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perikanan budidaya diyakini memiliki kemampuan untuk menciptakan peluang usaha guna mengurangi kemiskinan (pro-poor), menyerap tenaga kerja (pro-job) serta

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAHAN BAKU: URAT NADI INDUSTRI PENGOLAHAN PERIKANAN MIKRO KECIL DAN MENENGAH

BAHAN BAKU: URAT NADI INDUSTRI PENGOLAHAN PERIKANAN MIKRO KECIL DAN MENENGAH Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 3, Desember 2014: 187-191 ISSN : 2355-6226 BAHAN BAKU: URAT NADI INDUSTRI PENGOLAHAN PERIKANAN MIKRO KECIL DAN MENENGAH Yonvitner Departemen Manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk yang padat, setidaknya mampu mendorong perekonomian Indonesia secara cepat, ditambah lagi dengan sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti

Lebih terperinci

KAWASAN LUMBUNG IKAN NASIONAL MALUKU AKAN DI KEMBANGAKAN

KAWASAN LUMBUNG IKAN NASIONAL MALUKU AKAN DI KEMBANGAKAN KAWASAN LUMBUNG IKAN NASIONAL MALUKU AKAN DI KEMBANGAKAN Sejak digelarnya Sail Banda 2010, Pemerintah telah menetapkan Maluku sebagai lumbung ikan nasional. Maluku memiliki potensi produksi ikan tangkap

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/KEPMEN-KP/2015 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/KEPMEN-KP/2015 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/KEPMEN-KP/2015 TENTANG JEJARING PEMULIAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 BAB II PERENCANAAN KINERJA A. RENCANA KINERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2014 Perencanaan kinerja merupakan proses penyusunan rencana kinerja sebagai penjabaran dari sasaran dan program yang telah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat pada tahun 2010 terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah produksi perikanan laut di Provinsi Jambi sebesar 43.474,1.ton pada tahun 2015, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2

BAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai mencapai 104.000 km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2 (Pusat Data, Statistik dan

Lebih terperinci

C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN

C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN Yang dimaksud dengan urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI TERPADU PERIKANAN BUDIDAYA 2017 Banten, 7-10 Mei 2017

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI TERPADU PERIKANAN BUDIDAYA 2017 Banten, 7-10 Mei 2017 RUMUSAN RAPAT KOORDINASI TERPADU PERIKANAN BUDIDAYA 2017 Banten, 7-10 Mei 2017 Rapat Koordinasi Terpadu Perikananan Budidaya 2017 dilaksanakan pada tanggal 7-10 Mei 2017 di Grand Serpong Hotel, Kota Tangerang

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada 47 Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada Abstrak Berdasarkan data resmi BPS, produksi beras tahun 2005 sebesar 31.669.630 ton dan permintaan sebesar 31.653.336 ton, sehingga tahun 2005 terdapat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2004 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa potensi sumber daya ikan perlu dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi negara terutama negara yang bercorak agraris seperti Indonesia. Salah satu subsektor pertanian

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR 30/PER-DJPB/2018

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR 30/PER-DJPB/2018 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR 30/PER-DJPB/2018 T E N T A N G PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN BANTUAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

Budidaya ikan sistem karamba jaring apung di Waduk Kedungombo Kabupaten Boyolali. Sutini NIM K UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN

Budidaya ikan sistem karamba jaring apung di Waduk Kedungombo Kabupaten Boyolali. Sutini NIM K UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Budidaya ikan sistem karamba jaring apung di Waduk Kedungombo Kabupaten Boyolali Sutini NIM K.5404064 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci