MEKANISME PENGELOLAAN DAN PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEKANISME PENGELOLAAN DAN PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

Transkripsi

1 MEKANISME PENGELOLAAN DAN PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. PENDAHULUAN Dalam upaya pencapaian tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945, Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional. Untuk menunjang kondisi ekonomi Indonesia membutuhkan sumber pembiayaan selain penerimaan dari sektor perpajakan. Potensi penerimaan negara yang dapat diharapkan dan paling menjanjikan dapat menutup sumber pembiayaan tersebut adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasal 23 A perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang. Oleh karena itu, penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan, yang menempatkan beban kepada rakyat juga harus didasarkan pada undang-undang. PNBP merupakan penerimaan negara (pusat) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 dan pengaturan tarifnya diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada masing-masing kementerian/lembaga, sedangkan penerimaan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Perda yang berlaku pada masing-masing daerah/provinsi. Sesuai dengan amanat UU yaitu apabila suatu jenis pungutan tertentu yang semula penerimaan negara (pusat) kemudian diubah menjadi penerimaan daerah, maka hal tersebut harus diamanatkan oleh Undang-Undang. Pada Prinsipnya pemungutan penerimaan negara dan penerimaan daerah diatur dengan ketentuan perundang-undangan tersendiri. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 1

2 Dalam ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis retribusi daerah dapat ditambah sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Adanya peluang untuk menambah jenis Retribusi dengan Peraturan Pemerintah dimaksudkan untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan kepada daerah yang juga diatur dengan Peraturan Pemerintah yang juga bertujuan untuk menambah sumber pendapatan bagi pemerintah daerah dalam rangka mendanai fungsi pelayanan dan perizinan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) merupakan salah satu bentuk adanya penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan kepada daerah, yang bertujuan untuk menambah sumber pendapatan bagi pemerintah daerah dalam rangka mendanai fungsi pelayanan dan perizinan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pungutan perpanjangan IMTA sebelumnya merupakan PNBP berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sampai dengan 31 Desember Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 perpanjangan IMTA ditetapkan sebagai Retribusi dan pemberlakukannya dimulai sejak tanggal 1 Januari 2013 untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk mempersiapkan kebijakan daerah dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pemungutan retribusi perpanjangan IMTA. Besarnya tarif retribusi perpanjangan IMTA ditetapkan dengan Perda dan paling tinggi sebesar tarif penerbitan IMTA yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian di bidang ketenagakerjaan. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan yang pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP mencakup segala penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan. PNBP mempunyai potensi penerimaan yang cukup besar, karena jenis dan besarannya yang cukup menjanjikan. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, arah dan tujuan perumusan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 adalah : 1. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber PNBP dan ketertiban administrasi pengelolaan PNBP serta penyetoran PNBP ke Kas Negara; Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 2

3 2. lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatankegiatan yang menghasilkan PNBP; 3. menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia; 4. menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran negara, serta peningkatan pengawasan 1. Sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 ditetapkan, banyak instansi pemerintah yang enggan untuk melaporkan dan menyetor PNBP ke Kas Negara, artinya adanya ketidakpatuhan instansi pemerintah tersebut dalam menyelenggarakan pengelolaan PNBP yang baik. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997, penertiban dan penegakan hukum dalam pengelolaan PNBP dapat dilaksanakan, karena di dalam undang-undang tersebut diatur konsep hukuman (punishment) yang cukup tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh wajib bayar dan pejabat pengelola PNBP. Hukuman tersebut dapat berupa hukuman administrasi berupa pengenaan denda dan juga sanksi pidana penjara. Pengaruh hukuman dalam pengelolaan PNBP ini membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap ketertiban dan kepatuhan instansi pemerintah dalam melaporkan dan menyetorkan PNBP. Penegakan hukum dalam pengelolaan PNBP yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tidak serta merta diterima oleh semua instansi pemerintah. Beberapa instansi pemerintah resisten dan berusaha bertahan dengan pola lama yang sarat dengan moral hazard. Kondisi ini menghasilkan bentuk kompromi dalam pengelolaan PNBP yang dinamakan earmarked. Dalam konsep Earmarked PNBP, instansi pemerintah diberikan kewenangan untuk dapat menggunakan PNBP yang dipungut/dihasilkannya, untuk membiayai kegiatan tertentu dengan persetujuan Menteri Keuangan. Penulisan kajian mengenai Pengelolaan dan Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; e. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak; 1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 3

4 f. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu; g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara; dan h. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara (MPN). II. PERMASALAHAN Berdasarkan hal-hal tersebut, maka beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan hukum ini adalah: a. Bagaimana definisi, jenis dan tarif PNBP berdasarkan peraturan perundang-undangan? b. Bagaimana mekanisme pengelolaan dan penatausahaan PNBP berdasarkan peraturan perundang-undangan? III. PEMBAHASAN A. Definisi, Jenis dan Tarif PNBP Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan 2. Antara lain sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya. Berdasarkan sumber penerimaannya dapat dikelompokkan menjadi 3 : 1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; 2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; 3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; 4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah; 5. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan berasal dari pengenaan denda administrasi; 6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah; dan 7. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. PNBP dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu 4 : 1. Penerimaan sumber daya alam, terdiri atas pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) migas yang diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas kerjasama pengelolaan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Tahun Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 4

5 sektor hulu migas dan SDA non-migas yang diperoleh dari hasil pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi. 2. Pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang merupakan imbalan kepada pemerintah pusat selaku pemegang saham BUMN (return on equity) yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba bersih (pay-out ratio). Pendapatan ini diklasifikasikan ke dalam kelompok perbankan dan nonperbankan. 3. PNBP lainnya, meliputi berbagai jenis pendapatan yang dipungut oleh Kementerian/Lembaga atas produk layanan yang diberikan kepada masyarakat. Pungutan dilakukan oleh instansi pemerintah atas dasar Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada Kementerian/Lembaga tertentu. Termasuk di dalam kelompok ini adalah pendapatan atas pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan surat nikah sebagaimana contoh. Pungutan yang dilakukan oleh Kementerian instansi pemerintah tersebut dilakukan atas dasar Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada Kementerian/Lembaga (K/L) tertentu. Tidak kurang dari sepuluh ribu jenis dan tarif PNBP yang dikenakan secara sah oleh instansi pemerintah. 4. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), yang diperoleh atas produk layanan instansi pemerintah yang diberikan kepada masyarakat. Bedanya, pendapatan yang diperoleh melalui mekanisme BLU ini dapat langsung digunakan oleh instansi yang bersangkutan. Jenis dan tarif PNBP BLU tidak ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah melainkan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, setiap K/L yang mempunyai PNBP harus memiliki peraturan perundangan (minimal Peraturan Pemerintah/PP) tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L. PP tersebut digunakan sebagai dasar pemungutan atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat 5. PNBP yang dikelola oleh K/L dapat dikelompok menjadi 2 (dua), yaitu 6 : 1. PNBP Umum Setiap kementerian negara/lembaga pada dasarnya mempunyai PNBP yang bersifat umum yaitu PNBP yang tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. PNBP umum merupakan PNBP yang berlaku umum di semua kementerian negara/lembaga. PNBP Umum sesuai PP Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP antara lain: a. Penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara; 5 Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. 6 ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/modul.../ Modul pengelolaan PNBP, hal.6-7. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 5

6 b. Penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan negara; c. Penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro); d. Penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan); e. Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah; f. Penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang; dan g. Penerimaan pengembalian belanja tahun anggaran lalu. 2. PNBP Fungsional Selain PNBP Umum terdapat PNBP di kementerian/lembaga yaitu PNBP yang bersifat fungsional. PNBP yang bersifat fungsional yaitu penerimaan yang berasal dari hasil pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan fungsional tersebut terdapat pada sebagian besar kementerian negara/lembaga, namun macam dan ragamnya berbeda antara satu kementerian negara/lembaga dengan kementerian negara/lembaga lainnya, tergantung kepada jasa pelayanan yang diberikan oleh masing-masing kementerian negara/ lembaga. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa kelompok PNBP meliputi jenis-jenis penerimaan sebagai berikut: a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah; e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah; dan g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Jenis PNBP Fungsional yang berlaku pada setiap K/L berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 1997 sebagai berikut 7 : a. PNBP pada Departemen Luar Negeri: 1) Penerimaan dari pemberian surat perjalanan Republik Indonesia; dan 2) Penerimaan dari jasa pengurusan dokumen kanselerai. b. PNBP pada Departemen Pertahanan dan Keamanan: 7 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 6

7 1) Penerimaan dari pemberian Surat Izin Mengemudi (SIM); 2) Penerimaan dari pemberian Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK); 3) Penerimaan dari pemberian Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK); 4) Penerimaan dari pemberian Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) baru; dan 5) Penerimaan dari pelayanan kesehatan. c. PNBP pada Departemen Kehakiman: 1) Penerimaan denda administrasi; 2) Penerimaan dari pelayanan jasa hukum; 3) Penerimaan dari penggunaan jasa tenaga narapidana dan hasil penjualan barang keterampilannya; 4) Penerimaan dari pendaftaran ciptaan; 5) Penerimaan dari permintaan hak paten; 6) Penerimaan dari pemberian merek; 7) Penerimaan dari keimigrasian; 8) Penerimaan balai harta peninggalan; dan 9) Penerimaan pengadilan. d. PNBP pada Departemen Penerangan: 1) Penerimaan dari siaran iklan; 2) Penerimaan dari siaran iklan spot Radio Republik Indonesia (RRI); 3) Penerimaan dari penyelenggaraan sensor film, video tape, kaset, film reklame komersial dan non komersial; dan 4) Penerimaan dari pembuatan film untuk instansi pemerintah dan penyewaan peralatan perfilman. e. PNBP pada Departemen Keuangan: 1) Penerimaan denda administrasi atas keterlambatan penyampaian laporan perusahaan di bidang pasar modal; 2) Penerimaan denda administrasi yang dikenakan pada pihak yang melanggar peraturan perundang undangan di bidang pasar modal; 3) Penerimaan Bea Lelang; 4) Penerimaan dari biaya administrasi lelang swasta; 5) Penerimaan dari Bea Lelang Batal; 6) Penerimaan dari biaya administrasi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); 7) Penerimaan dari penjualan saham bagian Pemerintah; 8) Penerimaan dari bagian Pemerintah atas laba BUMN; Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 7

8 9) Penerimaan dari selisih lebih karena perubahan harga jual yang ditetapkan Pemerintah atas persediaan gula pasir di gudang-gudang Badan Urusan Logistik (Bulog) dan gudang dari pabrik gula, dan persediaan pupuk di semua gudang Pupuk Sriwijaya (Pusri); 10) Penerimaan dari denda keterlambatan penyampaian laporan oleh Perusahaan Pembiayaan; 11) Penerimaan dari denda tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi bagi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan; 12) Penerimaan dari denda tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan bagi perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan; 13) Penerimaan dari denda keterlambatan penyampaian laporan bagi Dana Pensiun; 14) Penerimaan kembali pinjaman yang disalurkan oleh Pemerintah; 15) Penerimaan dari laba bersih minyak; 16) Penerimaan bagian Pemerintah dari annual fee PT. Inalum; dan 17) Penerimaan dari pungutan ekspor. f. PNBP pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan: 1) Penerimaan dari biaya pengujian mutu barang dan sertifikasi mutu barang. 2) Penerimaan dari biaya jasa pelatihan; 3) Penerimaan dari pendaftaran perusahaan; 4) Penerimaan dari penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA); 5) Penerimaan dari jasa pengujian/pemeriksaan tembakau; 6) Penerimaan dari jasa pembinaan petani tembakau oleh pabrikan rokok; 7) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan; 8) Penerimaan dari jasa pembinaan industri kecil; 9) Penerimaan dari jasa pelayanan teknis; 10) Penerimaan dari pengaturan tata niaga cengkeh; dan 11) Penerimaan dari jasa tera/tera ulang. g. PNBP pada Departemen Pertanian: 1) Penerimaan dari pungutan pengusahaan perikanan; 2) Penerimaan dari pungutan hasil perikanan; Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 8

9 3) Penerimaan dari pungutan perikanan atas penggunaan kapal perikanan berbendera asing dengan cara sewa untuk menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia; 4) Penerimaan dari pungutan perikanan yang berasal dari hasil penangkapan atau pembudidayaan; 5) Penerimaan dari hasil pembibitan ternak dan hijauan makanan ternak; 6) Penerimaan dari penetapan pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan; 7) Penerimaan dari pendapatan perubahan harga hasil produksi pusat veterinaria; 8) Penerimaan dari penjualan hasil pendidikan dan pelatihan, balai benih ikan dan udang; 9) Penerimaan dari penjualan embrio ternak untuk bibit; 10) Penerimaan dari penjualan obat hewan, vaksin dan semen beku; 11) Penerimaan dari jasa tambah labuh; 12) Penerimaan dari jasa pengadaan es; 13) Penerimaan dari jasa pengadaan air sumur dan air minum; 14) Penerimaan dari jasa penyewaan fasilitas; 15) Penerimaan dari jasa karantina tumbuhan, ikan dan hewan; 16) Penerimaan dari jasa pelayanan diagnosa penyakit hewan; 17) Penerimaan dari jasa pemeriksaan lapangan dan pengujian benih tanaman pangan; 18) Penerimaan dari jasa pelayanan teknologi, penelitian dan pengembangan; 19) Penerimaan dari redistribusi ternak pemerintah; dan 20) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan pertanian. h. PNBP pada Departemen Pertambangan dan Energi: 1) Penerimaan dari jasa teknologi di bidang pertambangan umum; 2) Penerimaan dari jasa penelitian/pengembangan dan jasa penerapan teknologi pada puslitbang teknologi minyak dan gas bumi; 3) Penerimaan dari iuran tetap/landrent; 4) Penerimaan dari iuran eksplorasi/iuran eksploitasi/royalti; 5) Penerimaan dari perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara; dan 6) Penerimaan dari jasa teknologi geologi tata lingkungan. i. PNBP pada Departemen Kehutanan: 1) Penerimaan dari Iuran Hasil Hutan (IHH); 2) Penerimaan dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH); 3) Penerimaan dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (IHPHTI); 4) Penerimaan dari Iuran Hak Pengusaha Hutan (IHPH) Bambu; Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 9

10 5) Penerimaan dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) Tanaman Rotan; 6) Penerimaan dari pengusahaan pariwisata alam; 7) Penerimaan dari pungutan masuk hutan wisata, taman nasional, tanam hutan raya dan taman wisata laut; 8) Penerimaan dari Iuran menangkap/mengambil dan mengangkut satwa liar dan tumbuhan alam yang tidak dilindungi Undang-undang serta jarahan satwa baru; 9) Penerimaan dari Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan (DPEH); 10) Penerimaan dari Denda post audit dan tata usaha iuran hasil hutan; dan 11) Penerimaan dari pengambilan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi undang-undang dari alam maupun dari hasil penangkaran. j. PNBP pada Departemen Pekerjaan Umum: 1) Penerimaan dari jasa penyewaan peralatan dan jasa perbengkelan; 2) Penerimaan dari jasa laboratorium; 3) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan dan latihan; 4) Penerimaan dari jasa pembuatan peta citra dari data media satelit; 5) Penerimaan dari jasa penyelidikan geoteknik; 6) Penerimaan dari jasa saran teknis dan pemeriksaan laboratorium; dan 7) Penerimaan dari jasa pengkajian mutu komponen. k. PNBP pada Departemen Perhubungan: 1) Penerimaan dari pemberian surat izin mengemudi; 2) Penerimaan dari jasa pelabuhan penyeberangan laut, selat dan teluk; 3) Penerimaan dari jasa terminal dan fasilitas sandar kapal penyeberangan sungai dan danau; 4) Penerimaan dari jasa kepelabuhan untuk kapal pelayaran dalam negeri dan luar negeri pada pelabuhan Unit Pelaksana Teknis (UPT) kantor pelabuhan; 5) Penerimaan dari jasa dermaga dan penumpukan di pelabuhan unit pelaksana teknis (UPT) kantor pelabuhan; 6) Penerimaan dari penyewaan tanah pelabuhan di pelabuhan UPT kantor pelabuhan; 7) Penerimaan dari Jasa Pelayanan Penerbangan (JP2) untuk penerbangan internasional; 8) Penerimaan dari Jasa Pelayanan Penumpang Pesawat Udara (JP3U) pada bandar udara untuk angkutan udara luar negeri; 9) Penerimaan dari Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (JP4U) penerbangan internasional; Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 10

11 10) Penerimaan dari jasa pemeriksaan kesehatan; 11) Penerimaan dari pemberian dokumen penerbangan; 12) Penerimaan dari jasa pelayanan meteorologi dan geofisika dan penyewaan peralatan; dan 13) Penerimaan dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan dan Latihan (SPPL). l. PNBP pada Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi: 1) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan pariwisata; 2) Penerimaan dari uang ujian perwira radio elektronika dan operator radio; 3) Penerimaan dari pemberian izin usaha jasa titipan; 4) Penerimaan dari pemberian izin amatir radio; 5) Penerimaan dari pemberian izin antene parabola penerima siaran televisi; 6) Penerimaan dari pemberian izin Komunikasi Radio antar Penduduk (KRAP); 7) Penerimaan dari pemberian hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi radio konsesi; 8) Penerimaan dari pemberian izin hak penyelenggaraan (BHP) jasa telekomunikasi; dan 9) Penerimaan dari jasa penyelenggaraan/pengawasan ujian amatir. m. PNBP pada Departemen Tenaga Kerja: 1) Penerimaan dari pembinaan tenaga kerja Indonesia dalam rangka pengembangan program Antar Kerja Antar Negara (AKAN); 2) Penerimaan dari jasa latihan kerja dan kursus latihan kerja (BLK/KLK); 3) Penerimaan dari pungutan Tenaga kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP); dan 4) Penerimaan dari pendayagunaan fasilitas hiperkes dan keselamatan kerja. n. PNBP pada Departemen Pendidikan Nasional: 1) Penerimaan dari penyelenggaraan pendidikan; 2) Penerimaan karcis tanda masuk museum; 3) Penerimaan dari kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; 4) Penerimaan dari hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; dan 5) Penerimaan dari sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga pemerintahan, atau lembaga non pemerintah. o. PNBP pada Departemen Kesehatan: 1) Penerimaan dari pemberian izin peredaran makanan dan minuman; 2) Penerimaan dari pemberian izin peredaran minuman keras; Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 11

12 3) Penerimaan dari pemberian izin pelayanan kesehatan oleh swasta; 4) Penerimaan dari pemberian izin mendirikan rumah sakit oleh swasta; 5) Penerimaan dari jasa pendidikan tenaga kesehatan; 6) Penerimaan dari jasa pemeriksaan laboratorium; 7) Penerimaan dari jasa pemeriksaan air secara kimia lengkap; 8) Penerimaan dari jasa Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4); 9) Penerimaan dari jasa Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM); 10) Penerimaan dari jasa pemeriksaan obat, minuman, makanan, kosmetika, dan alat-alat kesehatan; 11) Penerimaan dari uji pemeriksaan spesimen; dan 12) Penerimaan dari jasa pelayanan rumah sakit. p. PNBP pada Departemen Agama: 1) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan; 2) Penerimaan dari peradilan agama; dan 3) Penerimaan dari pencatatan nikah dan rujuk. q. PNBP pada Departemen Sosial: 1) Penerimaan Pendidikan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung; 2) Penerimaan dari izin pengumpulan uang dan barang; 3) Penerimaan dari izin penyelenggaraan undian; dan 4) Penerimaan hibah yang merupakan hak Pemerintah. r. PNBP pada Kejaksaan Agung: 1) Penerimaan dari penjualan barang rampasan; 2) Penerimaan dari penjualan hasil sitaan/rampasan; 3) Penerimaan dari ganti rugi dan tindak pidana korupsi; 4) Penerimaan biaya perkara; 5) Penerimaan lain-lain, berupa uang temuan, hasil lelang barang temuan dan hasil penjualan barang bukti yang tidak diambil oleh yang berhak; dan 6) Penerimaan denda. s. PNBP pada Lembaga Administrasi Negara: Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan. t. PNBP pada Badan Pusat Statistik: Penerimaan dari penjualan publikasi statistik. u. PNBP pada Badan Tenaga Atom Nasional: 1) Penerimaan dari hak dan perizinan penggunaan (kalibrasi); 2) Penerimaan dari jasa analisa (tenaga/pekerjaan); dan Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 12

13 3) Penerimaan dari penerbitan Sertifikat Bekas Radiasi Komoditi Ekspor/Impor. v. PNBP pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional: Penerimaan dari pelayanan jasa pemotretan jarak jauh. w. PNBP pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 1) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pendidikan dan latihan; 2) Penerimaan dari penjualan hasil penelitian; 3) Penerimaan dari jasa penyewaan fasilitas; dan 4) Penerimaan dari penyelenggaraan jasa analisa, penelitian dan pengembangan jasa konsultasi,pelayanan informasi, jasa rekayasa, jasa kalibrasi dan metrologi, dan jasa tenaga ahli. x. PNBP pada Arsip Nasional: Penerimaan dari pelayanan jasa kearsipan. y. PNBP pada Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional: Penerimaan dari penjualan hasil survey dan pemetaan. z. PNBP pada Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi: Penerimaan dari penyelenggaraan jasa pengkajian, penelitian dan pengembangan, dan pelayanan jasa teknologi. aa. PNBP pada Badan Pertanahan Nasional: 1) Penerimaan dari pengukuran dan pemetaan; 2) Penerimaan dari pemeriksaan tanah; 3) Penerimaan dari konsolidasi tanah secara swadaya; 4) Penerimaan dari redistribusi tanah secara swadaya; dan 5) Penerimaan dari ijin lokasi. PP Nomor 22 Tahun 1997 mengenai jenis PNBP pada K/L sampai dengan saat ini masih berlaku dan belum dilakukan perubahan, dan masih menggunakan nomenklatur Departemen, sementara Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, mengubah semua bentuk Departemen, Kantor Menteri Negara dan Kantor Menteri Koordinator menjadi Kementerian Negara. Dalam hal terdapat PNBP pada K/L tidak tercantum dalam Lampiran PP Nomor 22 Tahun 1997, maka pengaturannya ditetapkan dalam PP tersendiri tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak bahwa setiap K/L yang mempunyai PNBP harus memiliki peraturan perundangan yang ditetapkan dalam undang-undang atau PP tentang jenis dan tarif PNBP Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 13

14 yang berlaku pada masing-masing K/L. PP tersebut digunakan sebagai dasar pemungutan atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Adapun PP tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berlaku pada K/L dan KMK tentang Ijin Penggunaan PNBP yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan KMK berdasarkan database Direktorat PNBP per tanggal 5 Juni 2014 sebagai berikut : REGULASI BA KEMENTERIAN/LEMBAGA JENIS DAN TARIF IJIN PENGGUNAAN PP KMK 004 Badan Pemeriksa Keuangan PP No.76 Tahun 2013 KMK No.219/KMK.02/ Mahkamah Agung PP No.53 Tahun Sekretariat Negara PP No.39 Tahun 2011 KMK No.3/KMK.02/ Kementerian Dalam Negeri PP No.64 Tahun 2013 KMK No.270/KMK.02/ Kementerian Luar Negeri PP No.33 Tahun 2002 KMK No.405/KMK.02/ Kementerian Pertahanan PP No.57 Tahun 2013 PP No.17 Tahun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia PP No.38 Tahun 2009 Surat Menteri Keuangan No.S-178/MK.01/2000 KMK No.43/KMK.02/2013 KMK No.10/KMK.02/2012 KMK No.407/2010 KMK No.416/ Kementerian Keuangan PP No.1 Tahun Kementerian Pertanian PP No.48 Tahun 2012 KMK No.420/KMK.02/2013 KMK No.421/KMK.02/2013 KMK No.422/KMK.02/2013 KMK No.423/KMK.02/2013 KMK No.424/KMK.02/2013 KMK No.425/KMK.02/2013 KMK No.426/KMK.02/ Kementerian Perindustrian PP No.47 Tahun 2011 KMK No.317/KMK.02/2013 Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 14

15 REGULASI BA KEMENTERIAN/LEMBAGA JENIS DAN TARIF IJIN PENGGUNAAN PP KMK KMK No.318/KMK.02/2013 KMK No.561/KMK.06/2003 KMK No.198/ Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral PP No.9 Tahun 2012 KMK No.317/KMK.06/2001 KMK No.938/KMK.02/2006 PMK No.56/PMK.02/2007 KMK No.60/KMK.02/ Kementerian Perhubungan PP No.6 Tahun 2009 Surat Menteri Keuangan No.S-606/MK.017/2000 PP No.74 Tahun 2013 KMK No.302/KMK.06/2001 KMK No.20/KMK.06/2012 KMK No.307/2001 KMK No.308/2001 KMK No.309/KMK.06/2001 KMK No.518/KMK.06/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan KMK No.115/KMK.06/ Kementerian Kesehatan PP No.21 Tahun 2013 KMK No.243/KMK.06/2002 KMK No.358/KMK.06/2002 KMK No.22/KMK.06/2003 KMK No.343/KMK.02/2007 KMK No.503/KMK.02/2009 KMK No.1/KMK.02/2010 KMK No.114/KMK.02/2011 KMK No.459/KMK.02/2013 KMK No.47/KMK.02/ Kementerian Agama PP No.47 Tahun 2004 KMK No.338/KMK.06/2003 Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 15

16 REGULASI BA KEMENTERIAN/LEMBAGA JENIS DAN TARIF IJIN PENGGUNAAN PP KMK KMK No.115/KMK.06/ Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi PP No.65 Tahun 2012 KMK No.290/KMK.02/ Kementerian Sosial PP No.3 Tahun 2012 KMK No.380/KMK.02/ Kementerian Kehutanan PP No.12 Tahun 2014 KMK No.368/KMK.06/2001 PP No.2 Tahun 2008 PP No.35 Tahun Kementerian Kelautan dan Perikanan PP No.58 Tahun 2002 KMK No.187/KMK.02/2007 PP No.19 Tahun 2006 KMK No.74/KMK.02/ Kementerian Pekerjaan Umum PP No.38 Tahun 2012 KMK No.164/KMK.06/2003 KMK No.470/KMK.06/ Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif PP No.41 Tahun 2010 KMK No.475/KMK.06/ Kementerian Riset dan Teknologi PP No.13 Tahun 2014 KMK No.375/KMK.02/ Kementerian Lingkungan Hidup PP No.52 Tahun 2008 KMK No.115/KMK.02/ Badan Pusat Statistik PP No.54 Tahun 2009 KMK No.493/KMK.02/ Badan Pertanahan Nasional PP No.13 Tahun 2010 KMK No.237/KMK.02/ Perpustakaan Nasional PP No.75 Tahun 2013 KMK No.181/KMK.02/ Kementerian Komunikasi dan Informatika PP No.7 Tahun 2009 KMK No.96/KMK.02/2011 PP No.76 Tahun 2010 KMK No.97/KMK.02/2011 KMK No.335/KMK.02/2011 KMK No.174/KMK.02/ Kepolisian Republik Indonesia PP No.50 Tahun 2010 KMK No.342/KMK.02/ Badan Pengawas Obat dan Makanan PP No.48 Tahun 2010 KMK No.189/KMK.02/ Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika PP No.24 Tahun 2008 KMK No.352/KMK.02/2008 PP No.19 Tahun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia PP No.106 Tahun 2012 KMK No.381/KMK.02/2008 Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 16

17 REGULASI BA KEMENTERIAN/LEMBAGA JENIS DAN TARIF IJIN PENGGUNAAN PP KMK 080 Badan Tenaga Nuklir Nasional PP No.29 Tahun 2011 KMK No.236/KMK.02/ Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi PP No.36 Tahun 2008 KMK No.351/KMK.02/ Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional PP No.21 Tahun 2003 KMK No.109/KMK.06/ Badan Informasi Geospasial PP No.57 Tahun 2007 KMK No.188KMK.02/ Badan Standarisasi Nasional PP No.62 Tahun 2007 KMK No.209/KMK.02/ Badan Pengawas Tenaga Nuklir PP No.27 Tahun 2009 KMK No.242/KMK.06/ Lembaga Administrasi Negara PP No.73 Tahun 2009 KMK No.140/KMK.02/ Arsip Nasional PP No.42 Tahun 2005 KMK No.928/KMK.02/ Badan Kepegawaian Negara PP No.11 Tahun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan PP No.20 Tahun 2014 KMK No.298/KMK.02/ Kementerian Perdagangan PP No.45 Tahun 2012 KMK No.360/KMK.02/2013 KMK No.361/KMK.02/2013 KMK No.362/KMK.02/2013 KMK No.363/KMK.02/2013 KMK No.364/KMK.02/2013 KMK No.365/KMK.02/2013 KMK No.366/KMK.02/2013 KMK No.367/KMK.02/2013 KMK No.368/KMK.02/2013 KMK No.369/KMK.02/2013 KMK No.370/KMK.02/ Kementerian Pemuda dan Olahraga PP No.39 Tahun 2009 Keterangan: - Sumber :Database dari Direktorat PNBP per tanggal 5 Juni 2014 Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 17

18 Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dengan memperhatikan 8 : 1. Dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya; 2. Biaya Penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP bersangkutan; dan 3. Aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Adapun proses penetapan tarif dan jenis PNBP pada K/L secara umum dapat diuraikan sebagai berikut 9 : 1. Pimpinan K/L (instansi pemerintah) menyampaikan usulan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada K/L yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan. 2. Selanjutnya usulan besaran tarif tersebut dibahas oleh Kementerian Keuangan bersama dengan K/L yang bersangkutan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Sekretariat Negara untuk mendapatkan justifikasi atas tarif yang diusulkan. Selain itu, pembahasan juga bertujuan untuk mempelajari dampak atas pengenaan tarif tersebut terhadap K/L dan masyarakat serta memastikan pelayanan (jenis PNBP) yang diberikan merupakan kewenangan K/L yang bersangkutan. 3. Jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada K/L hasil pembahasan, disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui surat Menteri Keuangan. 4. Kementerian Hukum dan HAM melakukan harmonisasi dan pembulatan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dimaksud, untuk selanjutnya disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk diproses lebih lanjut. 5. Menteri Keuangan menyampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi PP. 6. Setelah PP ditetapkan dan diundangkan, K/L wajib memungut dan menyetorkan PNBP yang diperolehnya ke Kas Negara sesuai dengan tarif dalam PP. 8 9 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/modul.../ Modul pengelolaan PNBP, hal Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 18

19 Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan RPP jenis dan tarif atas jenis PNBP 10 : 1. Jenis kegiatan atau pelayanan yang menghasilkan PNBP merupakan kewenangan dari K/L yang bersangkutan. 2. Jenis dan tarif atas jenis PNBP yang diusulkan dalam RPP adalah jenis PNBP Fungsional. Untuk jenis PNBP Umum, seperti PNBP dari pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) tidak dimasukkan dalam usulan RPP. 3. Ketepatan atas besaran tarif dan satuan atas jenis PNBP yang diusulkan berdasarkan pendekatan biaya dalam penetapannya, sesuai dengan karakteristik jenis layanan dan kondisi masyarakat (wajib bayar) yang akan menggunakan layanan pemerintah tersebut. Menteri Keuangan telah menerbitkan Surat Nomor S-420/MK.02/2011 tanggal 25 Juli 2011 yang pada intinya meminta masing-masing K/L untuk melakukan inventarisasi jenis PNBP terkait pemanfaatan BMN dalam usulan revisi PP atau dalam PP tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L. Selanjutnya, berdasarkan hasil inventarisasi, masing-masing K/L diminta agar mengusulkan pengaturan pemanfaatan aset sesuai PP Nomor 6 Tahun 2006 dan PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan BMN dan mengusulkan revisi PP atau RPP tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP K/L yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan h%202014/paparan%20pengelolaan%20pnbp.pdf, hal.11. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 19

20 Tarif PNBP dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Tarif Cost Minus Tarif PNBP yang dikenakan kepada masyarakat adalah nol (gratis) atau lebih rendah dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan layanan (baik layanan dalam bentuk barang, jasa atau administratif) yang disediakan pemerintah. Pengenaan tarif dengan pendekatan ini umumnya diberikan pada pelayanan publik yang merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat, antara lain pendidikan dan kesehatan. 2. Tarif Cost Recovery Penentuan tarif PNBP dengan menyamakan antara tarif dengan biaya penyelenggaraan layanan (baik layanan dalam bentuk barang, jasa atau administratif) yang disediakan pemerintah. Pengenaan tarif seperti ini umumnya dikenakan atas layanan publik yang bukan merupakan kebutuhan dasar masyarakat, antara lain laboratorium uji mutu dan gedung/balai pertemuan. 3. Tarif Cost Plus Tarif PNBP ditetapkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan layanan (baik layanan dalam bentuk barang, jasa atau administratif) yang disediakan pemerintah. Pengenaan tarif seperti ini umumnya dikenakan atas jasa pengaturan dan pelayanan publik tertentu dimana masyarakat memperoleh manfaat yang besar dari layanan yang diberikan dan/atau untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam, contoh di bidang pertambangan umum dan kehutanan. Berdasarkan jenis penetapannya, tarif PNBP ditetapkan berdasarkan: 1. Tarif spesifik tarif PNBP ditetapkan dalam bentuk satuan mata uang tertentu. 2. Tarif advalorem tarif PNBP ditetapkan dalam bentuk persentase dari suatu perhitungan tertentu B. Mekanisme Pengelolaan dan Penatausahaan PNBP Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan peraturan pelaksanaannya menyatakan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara 11. Selain itu, seluruh PNBP dikelola dalam Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 12. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. 12 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. 13 Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 20

21 Penerimaan K/L maupun Satuan Kerja Perangkat Daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran 14. Setiap K/L yang mempunyai PNBP baik PNBP Umum maupun PNBP Fungsional wajib melaksanakan penatausahaan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya. Penatausahaan PNBP meliputi : 1. Tata cara pemungutan dan pencatatan PNBP disetorkan ke rekening Kas Negara pada Bank/Pos Persepsi yang telah ditunjuk Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) sebagai Bank Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi mitra kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), dengan menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). SSBP merupakan dokumen sumber dalam penyetoran dan pencatatan penerimaan PNBP. Dalam hal di suatu tempat tertentu tidak tersedia layanan Bank/Pos Persepsi, penyetoran ke Kas Negara dapat dilakukan melalui Bandahara Penerimaan, dimana Bendahara Penerimaan berkewajiban melakukan penyetoran secepatnya ke Kas Negara. Bendahara Penerimaan dapat membuka rekening penerimaan pada Bank Umum setelah mendapat persetujuan BUN dan berkewajiban untuk melakukan penyetoran ke Rekening Kas Negara setiap akhir hari kerja saat PNBP diterima 15, kecuali dalam hal PNBP diterima pada hari libur/hari yang diliburkan atau tidak terdapat Bank/Pos Persepsi yang tidak se-kota dengan Bendahara Penerimaan/ Bendahara Penerimaan Pembantu, penyetoran ke PNBP ke Kas Negara dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya 16. Dalam kondisi gerografis satuan kerja yang tidak memungkinkan melakukan penyetoran setiap hari dan/atau jarak tempuh antara lokasi Bank/Pos Persepsi dengan tempat/kedudukan Bendahara Penerimaan melampaui waktu 2 jam dan/atau biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran PNBP lebih besar daripada PNBP yang diperoleh maka penyetoran ke Kas Negara dapat dilakukan secara berkala 17. Permohonan untuk melakukan penyetoran secara berkala dengan cara 18 : a. Kepala satuan kerja dapat mengajukan permohonan untuk melakukan penyetoran secara berkala atas PNBP yang diterima kepada Kepala Kantor Wilayah 14 Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 15 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan. 16 Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan. 17 Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan. 18 Pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 21

22 Direktorat Jenderal Perbendaharaan disertai dengan penjelasan perlunya penyetoran PNBP dilakukan secara berkala. b. Permohonan paling sedikit dilengkapi dengan: 1) Alamat satuan kerja dan alamat Bank/Pos Persepsi tempat penyetoran PNBP satuan kerja yang bersangkutan; 2) Penjelasan mengenai jarak tempuh, kondisi geografis, dan biaya yang dibutuhkan untuk penyetoran; 3) Data jumlah realisasi PNBP, tanggal penerimaan, dan tanggal penyetoran dalam tahun berjalan dan satu tahun sebelumnya; dan 4) Usulan periode penyetoran PNBP secara berkala yang akan dilakukan oleh satuan kerja. Penyetoran secara berkala atas PNBP yang diterima oleh Bendahara Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu harus mendapatkan izin dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Izin penyetoran secara berkala dapat diberikan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan diberikan dengan ketentuan paling sedikit dilakukan penyetoran satu kali dalam satu minggu 19. Satuan kerja penerima PNBP menerima SSBP baik yang berasal dari Wajib Pajak atau melalui potongan Surat Perintah Membayar (SPM) maupun dari setoran Bendahara Penerimaan. Satuan kerja melakukan pencatatan melalui Sistem Akuntansi Instansi (SAI). Pencatatan dilakukan sesuai petunjuk yang ada pada aplikasi SAI. 2. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran PNBP Apabila terdapat kelebihan setor dan/atau kesalahan penyetoran maupun kelebihan/kesalahan pemotongan dalam SPM, Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP kepada Pimpinan Instansi Pemerintah dengan menyertakan dokumen pendukung yang sah dan lengkap sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-53/PB/2012 tentang Petunjuk Teknis Pengembalian Penerimaan Negara Pada Tahun Anggaran Berjalan Melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-36/PB/2013 tentang Petunjuk Teknis Pengembalian Penerimaan Negara Pada Tahun Anggaran Berjalan Melalui Rekening Kas Umum Negara. 19 Pasal 6 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 22

23 3. Tata cara koreksi/perbaikan pembukuan terhadap PNBP yang telah disetor ke Kas Negara, dapat dilakukan perbaikan/koreksi. Koreksi/perbaikan PNBP tersebut dilakukan atas 20 : a. Kesalahan kode Akun (Mata Anggaran Penerimaan); b. Kesalahan kode unit organisasi; c. Kesalahan fungsi, subfungsi, dan program; dan d. Kesalahan lain yang tidak mempengaruhi kas. Permintaan koreksi/perbaikan terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diajukan oleh Satuan Kerja/Kementerian Negara/Lembaga penerima PNBP, Bank/Pos Persepsi, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan/KPPN atau Direktorat Jenderal Anggaran kepada KPPN. Berdasarkan permintaan koreksi/perbaikan tersebut, Kepala Seksi Persepsi/ Bendahara Umum KPPN menerbitkan Nota Penyesuaian untuk mendapatkan persetujuan Kepala KPPN. Nota Penyesuaian yang telah mendapat persetujuan Kepala KPPN berfungsi sebagai dokumen sumber transaksi koreksi/perbaikan. Selanjutnya, petugas Supervisor/ Operator Seksi Persepsi/Bendahara Umum melakukan perbaikan data. KPPN mengirim hasil perbaikan kepada satuan kerja penerima PNBP. Permintaan perbaikan/koreksi PNBP yang diajukan oleh Wajib Bayar/Wajib Setor wajib dilakukan melalui satuan kerja penerima PNBP, untuk selanjutnya satuan kerja mengajukan permintaan perbaikan/koreksi ke KPPN. 4. Rekonsiliasi. Bendahara Penerima harus menatausahakan dokumen sumber penerimaan yang digunakan sebagai dasar pencatatan penerimaan negara dalam rangka penatausahaan pendapatan negara pada kantor/satuan kerja di lingkungan K/L. Seluruh dokumen sumber penerimaan negara dinyatakan sah setelah mendapat Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP)/Nomor Penerimaan Potongan (NPP). Satuan kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyampaikan pertanggungjawaban Penerimaan Negara. yang berupa berupa Laporan Realisasi Anggaran yang dihasilkan melalui SAI 21. Dengan demikian, satuan kerja PNBP harus melakukan rekonsiliasi PNBP dengan Bendahara Umum Negara/KPPN. Sebagian dana dari suatu PNBP dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut dengan tetap ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/modul.../ Modul pengelolaan PNBP. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 23

24 memenuhi ketentuan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara dan seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN 22. Besarnya bagian dana PNBP yang dapat digunakan, ditetapkan oleh Menteri Keuangan 23. Kegiatan tertentu tersebut meliputi bidang-bidang kegiatan 24 : 1. penelitian dan pengembangan teknologi; 2. pelayanan kesehatan; 3. pendidikan dan pelatihan; 4. penegakan hukum; 5. pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan 6. pelestarian sumber daya alam. Instansi/satuan kerja dapat menggunakan sebagian dana PNBP setelah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan. 25 Permohonan penggunaan PNBP diajukan oleh Pimpinan K/L yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan. Permohonan penggunaan PNBP paling sedikit dilengkapi dengan 26 : 1. Tujuan penggunaan dana PNBP; 2. Rincian kegiatan pokok Instansi dan kegiatan yang akan dibiayai PNBP; 3. Jenis PNBP beserta tarif yang berlaku; dan 4. Laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan, serta perkiraan 2 (dua) tahun mendatang. Selanjutnya rencana penggunaan PNBP diteliti dan dibahas oleh Kementerian Keuangan bersama-sama K/L dan dilakukan analisis atas kelayakan penggunaan PNBP yang bersangkutan sebelum ditetapkan Menteri Keuangan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. 23 Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. 24 Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. 25 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. 26 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. 27 Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 24

25 Dana PNBP dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan tertentu pada satuan kerja bersangkutan dalam rangka pembiayaan 28 : 1. Operasional dana pemeliharaan; dan/atau 2. Investasi, termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. IV. PENUTUP PNBP sebagai salah satu jenis penerimaan negara dari dalam negeri, memang harus mendapat perhatian kita bersama. Usaha-usaha untuk meningkatkan PNBP ini harus terus digalakkan. PNBP mempunyai arti dan peran yang sangat penting dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional. Oleh karenanya, diperlukan langkah-langkah pengadministrasian yang efisien agar penerimaan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan peraturan pelaksanaannya menyatakan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara dan pengelolaannya dilakukan melalui Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan demikian, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. Penerimaan K/L dan Satuan Kerja Perangkat Daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran. Setiap satuan kerja K/L yang mempunyai PNBP baik PNBP Umum maupun PNBP Fungsional wajib melaksanakan penatausahaan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya. 28 Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 25

26 DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Tahun Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak oleh Bendahara Penerimaan. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara. Internet ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/modul.../ Modul pengelolaan PNBP. PMK%2007%20th%202014/PAPARAN%20PENGELOLAAN%20PNBP.pdf. Tulisan Hukum Seksi Informasi Hukum 26

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK LAMPIRAN IIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TANGGAL 7 JULI 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (1) JENIS- YANG BERLAKU PADA DEPARTEMEN LUAR NEGERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PRESIDEN, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai penetapan jenis dan penyetoran Penerimaan

Lebih terperinci

PP 22/1997, JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

PP 22/1997, JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK Copyright (C) 2000 BPHN PP 22/1997, JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK *35252 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 22 TAHUN 1997 (22/1997) TENTANG JENIS DAN PENYETORAN PENERIMAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: PP 52-1998 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) PERATURAN

Lebih terperinci

PENATAUSAHAAN PNBP PADA SATUAN KERJA

PENATAUSAHAAN PNBP PADA SATUAN KERJA BAB IV PENATAUSAHAAN PNBP PADA SATUAN KERJA A. KEWAJIBAN SATUAN KERJA DALAM PENATAUSAHAAN PNBP Setiap kementerian negara/lembaga wajib melaksanakan penatausahaan dan akuntansi piutang PNBP yang menjadi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Pengertian Sistem menurut para ahli meliputi: sub sistem/bagian/komponen apapun baik phisik ataupun non phisik yang

BAB II DASAR TEORI. Pengertian Sistem menurut para ahli meliputi: sub sistem/bagian/komponen apapun baik phisik ataupun non phisik yang BAB II DASAR TEORI A. Sistem Akuntansi 1. Pengertian Sistem Pengertian Sistem menurut para ahli meliputi: Menurut Mulyadi (2016: 1) Sistem pada dasarnya adalah sekelompok unsur yang erat berhubungan satu

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN DIREKTORAT PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DISAMPAIKAN DALAM KEGIATAN SOSIALISASI PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99/PMK.06/2006 TENTANG MODUL PENERIMAAN NEGARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99/PMK.06/2006 TENTANG MODUL PENERIMAAN NEGARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99/PMK.06/2006 TENTANG MODUL PENERIMAAN NEGARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan tugas dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

SIARAN PERS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

SIARAN PERS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SIARAN PERS Terjadi Peningkatan Kualitas dalam Penyajian Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga LKPP 2009 Wajar Dengan Pengecualian Jakarta, Selasa (1 Juni 2009) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) I. Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur

Lebih terperinci

TABEL 2 RINGKASAN APBN, (miliar rupiah)

TABEL 2 RINGKASAN APBN, (miliar rupiah) 2 A. Pendapatan Negara dan Hibah 995.271,5 1.210.599,7 1.338.109,6 1.438.891,1 1.635.378,5 1.762.296,0 I. Pendapatan Dalam Negeri 992.248,5 1.205.345,7 1.332.322,9 1.432.058,6 1.633.053,4 1.758.864,2 1.

Lebih terperinci

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright 2002 BPHN UU 20/1997, PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK *9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penerimaan Negara Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.17 tahun 2003, penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Penerimaan negara berasal dari penerimaan

Lebih terperinci

I. UMUM. Saldo...

I. UMUM. Saldo... PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2010 I. UMUM Dalam rangka mendukung

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.912, 2011 KEMENTERIAN SOSIAL. PNBP. Pedoman Pengelolaan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 183 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : dan.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1994/1995.........

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN

DATA POKOK APBN DATA POKOK - DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan...... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995...... 2 Tabel 3 : Penerimaan

Lebih terperinci

-2- Operasional, (v) Laporan Arus Kas, (vi) Laporan Perubahan Ekuitas, dan (vii) Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Realisasi APBN menggambarkan p

-2- Operasional, (v) Laporan Arus Kas, (vi) Laporan Perubahan Ekuitas, dan (vii) Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Realisasi APBN menggambarkan p TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN. APBN. Tahun 2016. Pertanggungjawaban. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 191) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN IMPLEMENTASI SEGMEN AKUN PNBP BARU DALAM BAS

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN IMPLEMENTASI SEGMEN AKUN PNBP BARU DALAM BAS KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN IMPLEMENTASI SEGMEN AKUN PNBP BARU DALAM BAS 18 Oktober 2017 2016 LATAR BELAKANG Perubahan Segmen Akun PNBP dalam BAS 1. Latar belakang

Lebih terperinci

REKAPITULASI TARGET PNBP KEMENTERIAN/LEMBAGA TA

REKAPITULASI TARGET PNBP KEMENTERIAN/LEMBAGA TA REKAPITULASI TARGET PNBP KEMENTERIAN/LEMBAGA TA 2009-2012 BA KEMENTERIAN/LEMBAGA APBN TA 2009 APBN-P TA 2009 APBN TA 2010 APBN-P TA 2010 APBN TA 2011 APBN-P TA 2011 APBN 2012 001 Majelis Permusyawaratan

Lebih terperinci

LAPORAN ARUS KAS PER AKUN TINGKAT KPPN UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR TANGGAL 31 OKTOBER 2016

LAPORAN ARUS KAS PER AKUN TINGKAT KPPN UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR TANGGAL 31 OKTOBER 2016 : 1 dari 6 ARUS KAS DARI AKTIVITAS OPERASI PENERIMAAN PERPAJAKAN 0 1.848.011.772.885 PENDAPATAN PAJAK DALAM NEGERI 0 1.654.384.494.099 Pendapatan Pajak Penghasilan 0 1.127.441.984.762 Pendapatan PPh Non-Migas

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5341 KEUANGAN NEGARA. Pertanggungjawaban. APBN 2011. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 178) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGHEMATAN ANGGARAN JILID II

PENGHEMATAN ANGGARAN JILID II PENGHEMATAN ANGGARAN JILID II http://www.republika.co.id Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan Belanja Kementerian/Lembaga

Lebih terperinci

LAPORAN ARUS KAS PER AKUN TINGKAT KPPN UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR TANGGAL 31 AGUSTUS 2014

LAPORAN ARUS KAS PER AKUN TINGKAT KPPN UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR TANGGAL 31 AGUSTUS 2014 :1dari7 ARUS KAS DARI AKTIVITAS OPERASI PENERIMAAN PERPAJAKAN 5.644.068.867.747 45.877.488.391.459 PENERIMAAN PAJAK DALAM NEGERI 5.494.297.193.642 44.808.150.010.185 Penerimaan Pajak Penghasilan 1.511.215.537.074

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. untuk mengatur dan mengontrol semua aktivitas yang terjadi pada perusahaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. untuk mengatur dan mengontrol semua aktivitas yang terjadi pada perusahaan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Prosedur Dalam melakukan suatu kegiatan, organisasi memerlukan suatu acuan untuk mengatur dan mengontrol semua aktivitas yang terjadi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG BIDANG KEUANGAN NEGARA YANG SEDANG DIBAHAS PEMERINTAH DENGAN DPR RI TAHUN 2016

RANCANGAN UNDANG UNDANG BIDANG KEUANGAN NEGARA YANG SEDANG DIBAHAS PEMERINTAH DENGAN DPR RI TAHUN 2016 RANCANGAN UNDANG UNDANG BIDANG KEUANGAN NEGARA YANG SEDANG DIBAHAS PEMERINTAH DENGAN DPR RI TAHUN 2016 NO RANCANGAN UNDANG-UNDANG 1. Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan 2. 3.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan yang penting terhadap tercapainya target APBN yang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan yang penting terhadap tercapainya target APBN yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu unsur penerimaan negara yang masuk di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Lebih terperinci

2013, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA. BAB I KETENTUAN UMU

2013, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA. BAB I KETENTUAN UMU No.103, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN NEGARA. Pelaksanaan. APBN. Tata Cara. (Penjelesan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008 I. UMUM Dalam rangka mendukung

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 I. UMUM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG LANGKAH-LANGKAH PENGHEMATAN BELANJA KEMENTERIAN/LEMBAGA DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN

Lebih terperinci

Himpunan Peraturan PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) KEJAKSAAN RI

Himpunan Peraturan PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) KEJAKSAAN RI Himpunan Peraturan PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) KEJAKSAAN RI BIRO KEUANGAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 KATA PENGANTAR Buku Himpunan Peraturan Pengelolaan Penerimaan

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN-P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2007 DAN APBN-P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P 2007 DAN -P 2008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 :, 2007 dan 2008......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1994/1995 2008...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan,

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN-P 2006 DAN APBN 2007 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN-P 2006 DAN APBN 2007 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK -P DAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : -.......... 1 Tabel 2 : Penerimaan Dalam Negeri, 1989/1990...... 2 Tabel 3 : Penerimaan Perpajakan, 1989/1990...... 3 Tabel

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 I. UMUM Perhitungan Anggaran Negara Tahun Anggaran 1999/2000 setelah diperiksa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 234/PMK.05/2011 TENTANG SISTEM AKUNTANSI TRANSAKSI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 234/PMK.05/2011 TENTANG SISTEM AKUNTANSI TRANSAKSI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 of 15 12/22/2015 3:54 PM MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 234/PMK.05/2011 TENTANG SISTEM AKUNTANSI TRANSAKSI KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LAPORAN ARUS KAS PER AKUN TINGKAT KPPN UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR TANGGAL 10 OKTOBER 2014

LAPORAN ARUS KAS PER AKUN TINGKAT KPPN UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR TANGGAL 10 OKTOBER 2014 : 1 dari 8 ARUS KAS DARI AKTIVITAS OPERASI ARUS KAS MASUK PENERIMAAN PERPAJAKAN 0 53.188.123.798.044 PENDAPATAN PAJAK DALAM NEGERI 0 51.968.659.990.500 Pendapatan Pajak Penghasilan 0 10.773.122.129.634

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2000 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2000 UMUM Anggaran

Lebih terperinci

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI PERATURAN SEKRETARIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI NOMOR : 02/PER/SM/IV/2010

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI PERATURAN SEKRETARIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI NOMOR : 02/PER/SM/IV/2010 KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI PERATURAN SEKRETARIS KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI NOMOR : 02/PER/SM/IV/2010 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN RISET

Lebih terperinci

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 183 TAHUN 2011 TENTANG

MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 183 TAHUN 2011 TENTANG SALINAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 183 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UU 3/1996, PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96

UU 3/1996, PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 UU 3/1996, PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 3 TAHUN 1996 (3/1996) Tanggal: 2 APRIL 1996 (JAKARTA) Tentang: PERUBAHAN

Lebih terperinci

PAGU RKAKL/DIPA DAN REALISASI TA 2013 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PAGU RKAKL/DIPA DAN REALISASI TA 2013 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PAGU RKAKL/DIPA DAN REALISASI TA 2013 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 51 BELANJA PEGAWAI 52 BELANJA BARANG 53 BELANJA MODAL 57 BELANJA BANTUAN SOSIAL KEMENTERIAN/LEMBAGA, UNIT PAGU REALISASI PAGU

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1995 TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1994/1995 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Oleh : Subdit Analisis Hukum, Ditama Binbangkum

Oleh : Subdit Analisis Hukum, Ditama Binbangkum PENGATURAN MENGENAI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DALAM BIDANG PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA Oleh : Subdit Analisis Hukum, Ditama Binbangkum A. Latar Belakang Pembangunan yang dilaksanakan dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2000 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1998/1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2000 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1998/1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2000 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1998/1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 126 /PMK.07/2010 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 126 /PMK.07/2010 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 126 /PMK.07/2010 TENTANG PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

RINCIAN ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2009 MENURUT BAGIAN ANGGARAN, UNIT ORGANISASI DAN JENIS BELANJA ( DALAM RIBUAN RUPIAH ) Halaman : 1

RINCIAN ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2009 MENURUT BAGIAN ANGGARAN, UNIT ORGANISASI DAN JENIS BELANJA ( DALAM RIBUAN RUPIAH ) Halaman : 1 RINCIAN ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2009 MENURUT BAGIAN ANGGARAN, UNIT ORGANISASI DAN JENIS Halaman : 1 001 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 21.106.197 281.961.663 34.630.463 0 337.698.323 10.833.500

Lebih terperinci

UU 14/2003, PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001

UU 14/2003, PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 Copyright (C) 2000 BPHN UU 14/2003, PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 *13950 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 14 TAHUN 2003 (14/2003) TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel 4 : Belanja

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG LANGKAH-LANGKAH PENGHEMATAN DAN PEMOTONGAN BELANJA KEMENTERIAN/LEMBAGA DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

SALINAN NO : 14 / LD/2009

SALINAN NO : 14 / LD/2009 SALINAN NO : 14 / LD/2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 SERI : D.8 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATAKERJA DINAS DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 2010 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005 2010.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005 2010..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1995 TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1994/95

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1995 TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1994/95 UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1995 TENTANG TAMBAHAN DAN PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1994/95 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2001 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

UU 11/1997, PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1996/1997

UU 11/1997, PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1996/1997 UU 11/1997, PERUBAHAN ATAS ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1996/1997 Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 11 TAHUN 1997 (11/1997) Tanggal: 1 MEI 1997 (JAKARTA) Tentang: PERUBAHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 2001 (17/2001) TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 2001 (17/2001) TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 2001 (17/2001) TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel 4 : Belanja

Lebih terperinci

2016, No Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

2016, No Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.577, 2016 KEMENSOS. PNBP. Pengelolaan. Juknis. Pencabutan. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGELOLAAN PENERIMAAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN II RINCIAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

LAMPIRAN II RINCIAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK LAMPIRAN II RINCIAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (Dalam Ribuan Rupiah) 421 PENERIMAAN SUMBER DAYA ALAM 254.270.471.590 PENERIMAAN SDA MIGAS 224.263.060.000 42111 Pendapatan Minyak Bumi 170.342.270.000

Lebih terperinci

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 32 TAHUN 1999 (32/1999) Tanggal: 23 AGUSTUS 1999 (JAKARTA)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 32 TAHUN 1999 (32/1999) Tanggal: 23 AGUSTUS 1999 (JAKARTA) UU 32/1999, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1998/1999 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1998 Oleh:

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DEPARTEMEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan

Lebih terperinci

Perhubungan Udara perlu dibuat petunjuk teknis sebagai

Perhubungan Udara perlu dibuat petunjuk teknis sebagai KEMENTERIANPERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor: KP 173 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG

Lebih terperinci

RINCIAN ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2007 MENURUT BAGIAN ANGGARAN, UNIT ORGANISASI DAN JENIS BELANJA ( DALAM RIBUAN RUPIAH )

RINCIAN ANGGARAN BELANJA PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2007 MENURUT BAGIAN ANGGARAN, UNIT ORGANISASI DAN JENIS BELANJA ( DALAM RIBUAN RUPIAH ) RINCIAN ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2007 MENURUT BAGIAN ANGGARAN, UNIT ORGANISASI DAN JENIS Halaman : 1 001 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 81.406.623 88.821.300 25.893.402 0 196.121.325 14.349.217

Lebih terperinci

Kebijakan PNBP KL dan Temuan-Temuan Pelaksanaan PNBP yang Tidak Optimal

Kebijakan PNBP KL dan Temuan-Temuan Pelaksanaan PNBP yang Tidak Optimal Kebijakan PNBP KL dan Temuan-Temuan Pelaksanaan PNBP yang Tidak Optimal Direktorat Jenderal Anggaran Jakarta, Mei 2018 Perkembangan Realisasi PNBP 351,80 354,75 398,59 255,63 262,35 311,23 275,40 PNBP

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 213/PMK.04/2008

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 213/PMK.04/2008 SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 213/PMK.04/2008 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA DALAM RANGKA IMPOR, PENERIMAAN NEGARA DALAM RANGKA EKSPOR, PENERIMAAN NEGARA ATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DATA POKOK APBN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DATA POKOK APBN 2005 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Asumsi Ekonomi Makro, 2005.. 1 Tabel 2 : Ringkasan APBN, 2005..... 2 Tabel 3 : Pendapatan Negara, 2005. 3 Tabel

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 20165 TENTANG PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PADA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1999/2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002

NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP ; PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN CILACAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 2002 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSTANSI VERTIKAL DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1997 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1997 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1997 TENTANG PERHITUNGAN ANGGARAN NEGARA TAHUN ANGGARAN 1995/96 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Perhitungan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.563, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. PNBP. Kegiatan Panas Bumi. Konservasi Energi. Penerimaan. Penyetoran. Pemungutan. Pengenaan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA

Lebih terperinci

KEPALA DINAS BIDANG PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN BIDANG TANAMAN PANGAN BIDANG TANAMAN HORTIKULTURA BIDANG PETERNAKAN

KEPALA DINAS BIDANG PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN BIDANG TANAMAN PANGAN BIDANG TANAMAN HORTIKULTURA BIDANG PETERNAKAN DINAS PERTANIAN KEPEG DAN KEU TANAMAN PANGAN TANAMAN HORTIKULTURA PETERNAKAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN SARANA PRASARANA TANAMAN PANGAN SARANA PRASARANA TANAMAN HORTIKULTURA SARANA PRASARANA

Lebih terperinci

No Pemerintahan (SAP) berbasis akrual dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis ak

No Pemerintahan (SAP) berbasis akrual dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis ak TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5930 KEUANGAN. APBN. 2015. Pertanggungjawaban. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia 2016 Nomor 189). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

TATACARA PELAKSANAAN SEWA BARANG MILIK NEGARA

TATACARA PELAKSANAAN SEWA BARANG MILIK NEGARA Slide 1 PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 33/PMK.06/2012 TATACARA PELAKSANAAN SEWA BARANG MILIK NEGARA DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA AGENDA Ketentuan Umum.

Lebih terperinci