IDENTIFIKASI SATUAN PANAS (HEAT UNIT) DAN SUHU DASAR PADA SETIAP TAHAPAN KEHIDUPAN Aedes aegypti (DIPTERA : CULICIDAE) Moh. Anwarul Fu ad B

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI SATUAN PANAS (HEAT UNIT) DAN SUHU DASAR PADA SETIAP TAHAPAN KEHIDUPAN Aedes aegypti (DIPTERA : CULICIDAE) Moh. Anwarul Fu ad B"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI SATUAN PANAS (HEAT UNIT) DAN SUHU DASAR PADA SETIAP TAHAPAN KEHIDUPAN Aedes aegypti (DIPTERA : CULICIDAE) Moh. Anwarul Fu ad B FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN MOH. ANWARUL FU AD. Identifikasi Satuan Panas (Heat Unit) dan Suhu Dasar Pada Setiap Tahapan Kehidupan Aedes aegypti (Diptera : Culicidae). Dibimbing oleh Upik Kesumawati H, dan Rini Hidayati. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi satuan panas, suhu dasar dari tiap - tiap tahapan kehidupan nyamuk Aedes aegypti. Penelitian dilakukan di insektarium Entomologi, dengan suhu dalam insektarium dan luar insektarium (lingkungan), suhu ruang di dalam rumah dan lemari berpendingin di Muara, Ciapus Bogor. Pengamatan dilakukan setiap 6-12 jam sekali. Stadium larva (instar 1 - instar 4) dipelihara dalam nampan berisi media air pelet ikan, hati ayam dan tanpa makanan. Stadium pupa dan dewasa dimasukkan ke dalam kandang nyamuk. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA dan menurut rumus WMO (1981). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa panjang periode dari stadium telur hingga dewasa, untuk suhu dalam insektarium dengan media pelet adalah 7 ± 0,40 hari, hati ayam 6,5 ± 0,37 hari dan tanpa makanan 20,25 ± 1,77 hari. Adapun di luar insektarium pada media pelet adalah 9 ± 2,88 hari, hati ayam 8,5 ± 2,70 hari dan tanpa makanan 26,5 ± 8,55 hari. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa heat unit pada stadium pradewasa adalah 155 derajat hari dengan suhu dasar 17 0 C, sedangkan pada nyamuk dewasa (imago) adalah 224 derajat hari dengan suhu dasar 15 0 C. Data heat unit dan suhu dasar Ae. aegypti sangat penting di antaranya untuk penyusunan strategi kegiatan program pengendalian vektor penyakit demam berdarah dengue. Kata kunci : Aedes aegypti, panjang periode, suhu dasar, heat unit ABSTRACT This research was aimed to identify the heat unit and base temperature of the life cycle stages of Aedes aegypti. The research was done at insectarium of Entomology laboratory, with indoor and outdoor temperatures, in room temperature of housing complex and inside refrigerator in Muara, Ciapus Bogor. The observation was carried out every 6-12 hours. The larvae stages (the first - the fourth instars) were reared on several trays of water media with fish food, chicken liver and without food or enrichment. The pupal stages and adult were put in the mosquito cages. Data were analysed using ANOVA and following the formula of WMO (1981). The result showed that the length of period from larvae stages to adult of Ae. aegypti kept in indoor temperature on water media with fish food was 7 ± 0,40 days, chicken liver 6,5 ± 0,37 days, and without food or enrichment 20,25 ± 1,77 days. Whereas those were kept in outdoor temperatures were 9 ± 2,88 days on water media with fish food, 8,5 ± 2,70 days on chicken liver and 26,5 ± 8,55 days on water media without food. The result of calculation showed that the heat unit

3 for before adult stage was 155 degree days with the base temperature 17 0 C, whereas the adult stage was 224 degree days with the base temperature 15 0 C. Data of heat unit and base tempeture of Ae. aegypti was important to know as the base information in planing the control of vector of dengue haemorrhagic fever. Keyword : Aedes aegypti, length of period, base temperature, heat unit

4 IDENTIFIKASI SATUAN PANAS (HEAT UNIT) DAN SUHU DASAR PADA SETIAP TAHAPAN KEHIDUPAN Aedes aegypti (DIPTERA : CULICIDAE) Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Oleh: Moh. Anwarul Fu ad B FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 Judul Nama NRP : Identifikasi Satuan Panas (Heat Unit) dan Suhu Dasar Pada Setiap Tahapan Kehidupan Aedes aegypti (Diptera : Culicidae) : Moh. Anwarul Fu ad : B Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. drh. Upik Kesumawati H, MS Ir. Rini Hidayati, MS NIP NIP Mengetahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. Nastiti Kusumorini NIP Tanggal Lulus :

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul Identifikasi Satuan Panas (Heat Unit) dan Suhu Dasar Pada Setiap Tahapan Kehidupan Aedes aegypti (Diptera : Culicidae) adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi. Bogor, Juni 2008 Moh. Anwarul Fu ad NRP B

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 21 April Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Nurfaqih dan Ibu Hj. Sholehah. Pendidikan formal dimulai dari TK Sedan I pada tahun ajaran dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Sedan I pada tahun Pada tahun 1999 penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri I Sedan sampai tahun Setelah lulus SLTP penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri I Rembang dan lulus tahun Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis turut aktif pada berbagai organisasi kemahasiswaan di IPB maupun diluar IPB, diantarnya Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas (Ornith), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI), dan Kepala Departemen Olah Raga Seni dan Budaya BEM KM FKH IPB periode Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, antara lain kepanitian Seminar Nasional Kecukupan Daging Menjelang Lebaran Tahun 2006 dan Swasembada Daging 2010 sebagai anggota bidang logistik, Asisten Dosen Histologi dan Asisten Praktikum Ektoparasit FKH IPB [Asisten Luar Biasa], dan sebagai Supervisor Eradikasi Penyakit Filariasis di Kabupaten Bogor, Kepanitiaan Olimpiade Mahasiswa IPB, dan berbagai kepanitiaan lain. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi yang berjudul Identifikasi Satuan Panas (Heat Unit) dan Suhu Dasar Pada Setiap Tahapan Kehidupan Aedes aegypti (Diptera : Culicidae) sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

8 KATA PENGANTAR Segala Puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Satuan Panas (Heat Unit) Pada Setiap Tahapan Kehidupan Aedes aegypti (Diptera : Culicidae). Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Dengan segala keikhlasan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati H, MS, dan Ibu Ir. Rini Hidayati, MS, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan, beliau adalah sumber inspirasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. drh. Ahmad Arief Amin, MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. drh. Harsoyo Singgih, Ibu Dr. drh. Gunandini Dwijayanti, MS, Ibu Dr. drh. Susi Soviana, MS, Bapak Dr. drh. Fx. Koesharto, Bapak Dr. drh. Adi winarto, Ibu Dr. drh. Tutik Wresdyati, Bapak drh. Ketut Mudite Adnyane, M.Si, Ibu Dr. drh. Dwi Kesuma Sari sebagai Dosen Histologi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Keluarga tercinta, Ayahanda tercinta H. Nurfaqih (Alm) semoga ayah selalu bahagia disisi-nya amiin.., Ibunda Hj. Sholehah, kakak-kakakku Sri wahyuni, Sri Wardoyo, Mutakhiroh, Mutmainnah, serta my girl friends Aka Pravita Septiana yang telah memberikan dorongan baik berupa doa, motivasi dan materi. 5. Mas Sugi, Bapak Opik, Bapak Heri, Bapak Yunus, Bapak Maman atas bantuan yang diberikan sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar. 6. Sahabat - sahabatku FKH 41 (Satrio, Sugi, Agus, Dani, Andro, Muhan, Kukuh, Faisal, Nanang, Bama, Budi, Dwimas, Sunu, Fikri, dll) untuk kebersamaan dan bantuan yang telah diberikan, kakak-kakaku FKH 40 (Mas Wanta, Mas Brian, dll), serta adik-adikku FKH 42 dan FKH 43 atas

9 persahabatan, motivasi, dan bantuan yang diberikan selama penulis mengerjakan penelitian dan penulisan skripsi ini. 7. Sahabat sekaligus saudaraku C2 133 (Prima, Galih, Anto) yang menjadi keluarga pertamaku saat mengawali studi di IPB. 8. Warga Wisma Persia, ex-griya Sakinah, Mas Wiwid, Mas Pegi, Mas Nurman, Gading, Ni am, Tito, Dude, Arif, Sirkis, Tyas, teman-teman satu angkatan HKRB (Himpunan Mahasiswa Keluarga Rembang-Bogor), dan keluarga besar HKRB yang selalu ada untuk penulis. 9. Semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan penelitian dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu - persatu. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan. Bogor, Juli 2008 Moh. Anwarul Fu ad

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...xii DAFTAR GAMBAR...xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv 1 PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Bionomik nyamuk Aedes aegypti Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti Penyebaran geografis Morfologi nyamuk Aedes aegypti Siklus hidup Aedes aegypti Habitat dan perilaku hidup Epidemiologi penyakit demam berdarah dengue (DBD) Teori suhu dasar dan satuan panas (heat unit) MATERI DAN METODE Waktu dan tempat Nyamuk uji Metode penelitian Pengamatan terhadap perkembangan Aedes aegypti Pengamatan stadium telur Pengamatan stadium larva Pengamatan stadium pupa Pengamatan stadium dewasa (imago) Analisis data HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran stadium larva Panjang periode setiap stadium Pengaruh makanan larva terhadap panjang periode...21

11 4.2.2 Pengaruh lokasi (suhu) terhadap panjang periode Heat unit dan suhu dasar pada setiap stadium KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...31 DAFTAR PUSTAKA...32 LAMPIRAN...35

12 DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1 Ciri - ciri spesifik pada setiap instar (Chandler & Read, 1961) Rata - rata (± standar deviasi) hasil pengukuran larva Ae. aegypti dari L1 - L4 yang dipelihara dengan makanan pelet pada kisaran suhu C Panjang periode (median) masing - masing stadium Ae. aegypti yang dipelihara pada berbagai media pada suhu dalam insektarium (ruangan) Panjang periode (median) masing - masing stadium Ae. aegypti yang dipelihara pada berbagai media pada suhu luar insektarium (lingkungan) Median periode perkembangan (hari) Ae. aegypti dari telur - dewasa pada suhu dan makanan yang berbeda Perhitungan panjang periode (hari) pada stadium pradewasa hingga dewasa berdasarkan rumus garis exponensial Hasil perhitungan heat unit suhu dasar larva instar 1- dewasa (imago) Perhitungan heat unit dengan iterasi suhu dasar pada stadium dewasa nyamuk Ae. aegypti...29

13 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1 Nyamuk Aedes aegypti Larva dan pupa (ekslosi) Aedes aegypti Pupa dan larva Aedes aegypti Siklus hidup Aedes aegypti Histogram pertumbuhan tiap instar larva dengan perlakuan makanan pelet Perlakuan makanan dan lokasi (suhu) yang berbeda Pengaruh suhu (temperatur) terhadap lamanya waktu perubahan dari stadium L1 - L3 nyamuk Ae. aegypti pada berbagai suhu media Pengaruh suhu (temperature) terhadap lamanya waktu perubahan dari stadium L4 - dewasa nyamuk Ae. aegypti pada berbagai suhu media...25

14 DAFTAR LAMPIRAN No Teks Halaman 1 Tabel jumlah larva - dewasa nyamuk Aedes aegypti di dalam ruangan insektarium Tabel jumlah larva - dewasa nyamuk Aedes aegypti di luar ruangan insektarium Tabel perhitungan pajang periode setiap stadium Tabel daftar suhu pada setiap perlakuan Analisis ANOVA Tabel perhitungan heat unit dan suhu dasar pada setiap stadium (median) Tabel perhitungan heat unit dan suhu dasar pada stadium dewasa (emergence - mati) data modus dan mean...50

15 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini musibah demam berdarah dengue (DBD) di tanah air telah mencengangkan semua pihak. Banyaknya jumlah korban yang berjatuhan membuat publik tersadarkan betapa penyakit infeksius yang tergolong tua ini masih dan bahkan kian membahayakan. Penyakit ini ditularkan oleh Aedes aegypti yang merupakan vektor utama. Fluktuasi penyakit DBD antara lain dipengaruhi oleh berbagai faktor cuaca dan iklim. Mangunjaya (2003) mengungkapkan kemungkinan keterkaitan DBD dengan pemanasan global. Perubahan iklim global tidak terjadi seketika, walaupun laju perubahan lebih cepat dibandingkan dengan perubahan iklim secara alami, tetapi perubahan terjadi dalam periode dekadal, sehingga masalah perubahan iklim masih menjadi hal yang menimbulkan pro-kontra. Perubahan konsentrasi gas rumah kaca global ini juga berpengaruh pada kenaikan suhu regional, di Indonesia perubahan terjadi secara perlahan - lahan kurang lebih 0,03 derajat celcius per tahun. Jika ditinjau dalam periode puluhan tahun (dibandingkan dengan puluhan juta tahun usia bumi kita) maka perubahan ini cukup besar, apalagi jika kenaikan suhu menyertai kejadian iklim ekstrim. Banyak sekali perdebatan yang mengecam mengenai buruknya perilaku masyarakat perkotaan yang diduga sebagai penyebab wabah terjangkitnya demam berdarah. Satu di antaranya adalah kelalaian warga untuk melakukan dan memperhatikan program 3 M, yaitu menutup, menguras dan mengubur sarang yang dianggap sumber nyamuk. Dengan upaya 3M tersebut diharapkan siklus hidup nyamuk penular demam berdarah Aedes aegypti akan terputus, karena telur tidak menetas atau stadium pradewasa tidak dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa. Cara fisik upaya terpadu harus segera dilakukan sebelum wabah datang, dengan cara fisik 3 M (menutup, menguras dan mengubur) hingga dengan cara mekanik penyemprotan dan seterusnya. Perang melawan wabah ini memang merupakan cara pembasmian yang baik untuk memberantas musuh epidemi penyakit warga perkotaan tersebut, sebab nyamuk berkembang biak dengan

16 bertelur setelah melakukan perkawinan. Perkawinannya terjadi antara satu hingga dua hari setelah keluar dari pupa. Dalam periode itulah nyamuk betina memerlukan proses pematangan telur, ahli biologi menyebut periode ini disebut siklus gonotropik, karena itu diperlukan darah sebagai sumber proteinnya (Anonimus 2000b). Pada Aedes aegypti, siklus gonotropik diperlukan waktu kurang lebih dua atau tiga hari. Jika nyamuk bertelur dengan menghisap darah, Aedes aegypti akan sangat produktif menghasilkan telur yaitu antara butir. Perkembangan nyamuk Aedes aegypti dari telur sampai dewasa sangat tergantung terhadap suhu lingkungan, karena semakin panas suhu lingkungan maka pertumbuhannya akan semakin meningkat pula. Oleh karena itu diperlukan kontrol fisik maupun biologis untuk mengendalikanya. Secara statistik perubahan iklim adalah perubahan unsur - unsurnya yang mempunyai kecenderungan naik atau turun secara nyata yang menyertai keragaman harian, musiman maupun siklus. Fenomena iklim ini harus dipelajari dari data pada periode pengamatan iklim yang panjang. Kendala ketersediaan data iklim dalam periode yang panjang inilah yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya identifikasi perubahan iklim sulit dilakukan. Penelitian perkembangan tahapan kehidupan Aedes aegypti secara umum sudah dilakukan, tetapi nilai satuan panas dalam satu siklus kehidupan nyamuk belum pernah diteliti. Data ini sangat diperlukan apabila ingin melakukan analisis fenomena iklim khususnya suhu dikaitkan dengan prediksi kecepatan pertumbuhan populasi nyamuk Aedes aegypti dan musim penularan penyakit demam berdarah. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan : 1 Panjang periode setiap stadium yang dipengaruhi oleh makanan larva, 2 Panjang periode setiap stadium yang dipengaruhi oleh lokasi (suhu), dan 3 Heat unit dan suhu dasar pada setiap stadium Aedes aegypti. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi data dasar informasi untuk menghitung pengaruh cuaca dan iklim terhadap peningkatan jumlah populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu daerah.

17 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk termasuk kedalam ordo Diptera. Ordo Diptera terdiri dari 80 spesies yang tergolong kedalam 140 famili. Ordo ini termasuk juga dalam fillum Arthropoda. Ordo Diptera mempunyai dua pasang sayap, Karena Diptera berasal dari kata di artinya dua dan pteron yang artinya sayap, tetapi pada sayap posterior telah berubah bentuk dan berfungsi sebagai alat keseimbangan yang disebut halter, mata majemuk (compound eyes) dan umumnya memiliki tiga mata tunggal (ocelli), bermetamorfosis lengkap atau sempurna, mulut berfungsi sebagai penusuk untuk menghisap darah inangnya. Tahapan perkembangan terdiri dari empat tahap (stadium) yaitu telur, larva, pupa dan dewasa (Freeman 1973). Ordo Diptera dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok subordo yaitu Nematocera, Brachycera dan Cylorrhapha (Freeman 1973). Pada subordo Nematocera yang mempunyai ciri utama yaitu : nyamuk dewasa bertubuh kecil, larva dan pupa hidup di air (akuatik), mempunyai antena berbentuk filiform (panjang antena melebihi ukuran panjang kepala dan toraks) terdiri dari 8 ruas dengan ukuran hampir sama, kecuali ruas pertama dan kedua yang dekat dengan kepala dan toraks, dan jumlah palpi maksila terdiri dari 4 sampai 5 ruas. 2.2 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti Menurut Service (1986) nyamuk Aedes aegypti dan diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Fillum : Invertebrata Kelas : Insecta Ordo : Diptera Sub ordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamili : Culicinae Genus : Aedes Spesies : Aedes aegypti

18 Nyamuk Aedes aegypti termasuk kedalam famili Culicidae. Famili Culicidae tersebar luas dari kutub sampai ke daerah tropika dan mempunyai 3 sub famili yang penting dalam bidang kesehatan yaitu : Toxorhynchitinae, Culicinae (misalnya : Aedes aegypti), Anophelinae. 2.3 Penyebaran Geografis Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di dunia, terutama di daerah yang terletak di antara 40 0 LU dan 40 0 LS dengan suhu udara antara 8 0 C C (Soedarta 1990). Aedes aegyti berasal dari Afrika dan telah menyebar ke berbagai penjuru dunia dengan mengikuti mobilitas manusia melalui kapal, kereta, pesawat ataupun mobil. Habitat utamanya yaitu di daerah tropik dan subtropik bersama dengan manusia dan setiap tahunnya dapat bermigrasi mengikuti pergerakan manusia (Chandler & Read 1961). 2.4 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti Secara umum, bentuk dan ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti memiliki kesamaan dengan Aedes albopictus (Gambar 1). Perbedaannya terletak jelas warna putih yang terdapat pada skutum, dimana pada nyamuk Aedes aegypti terdapat warna putih keperakan berupa garis melengkung pada kedua sisi skutumnya sedangkan pada Aedes albopictus warna keperakan terdapat di bagian tengah skutum (Yap & Chong 1995). Gambar 1 Nyamuk Aedes aegypti dari sisi lateral tubuh (Anonimus 1998) Nyamuk dari genus Aedes mempunyai ciri-ciri umum, badan berukuran kecil yaitu sekitar 3-4 mm tanpa panjang kaki (Anonimus 2000b) dengan warna

19 dasar hitam dan khas ditandai belang putih keperakan. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik perak. Oksiput bersisik lebar dan berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah basal sedangkan pada anterior dan tengah bersisik putih memanjang. Tibia seluruhnya berwarna hitam. Tarsi belakang mempunyai lingkaran berwarna putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih. Sayap terlihat sempit dan berwarna hitam kecuali pada bagian dasar dari sayap (Service 1971). Kepala Aedes agak membulat, hampir seluruhnya diliputi oleh sepasang mata majemuk. Antara nyamuk jantan dan nyamuk betina dapat dibedakan dari bentuk antena dan panjang probosis. Antena pada nyamuk jantan memiliki bulu yang disebut antena plumose dan palpusnya sama panjangnya dengan probosis. Antena pada nyamuk betina mempunyai sedikit bulu yang disebut antena pilose dengan panjang palpus seperempat dari panjang probosisnya (Soulsby 1968; Noble & Noble 1976). Pada nyamuk betina, bagian probosis lebih panjang dan kokoh, hal ini disesuaikan dengan kegunaanya untuk menusuk dan menghisap darah sedangkan pada jantan probosis lebih pendek, karena pada nyamuk jantan tidak menghisap darah. Bila dilihat dari ukurannya maka dapat terlihat bahwa nyamuk jantan berukuran lebih kecil dan ramping dibandingkan nyamuk betina. Telur biasanya diletakkan dalam air atau didekat air, baik itu air hujan, air kolam atau berbagai benda yang dapat menjadi tempat penampung air terutama air hujan. Faktor yang menentukan menetas atau tidaknya telur dipengaruhi oleh temperatur air, sifat alami mikroflora di dalamnya, ada tidaknya zat pembusuk dalam air dan kadar keasaman atau kebasaan air (Soulsby 1968). Nyamuk Aedes aegypti mempunyai siklus bertelur yang teratur yaitu pada sore hari. Cahaya menjadi faktor kontrol yang utama, tetapi apabila keadaan cahaya yang tidak konstan menyebabkan siklus oviposisi menjadi tidak teratur (Wigglesworth 1972). Pada beberapa kasus, telur dapat bertahan hidup selama kurang lebih 3 bulan pada kondisi lingkungan yang kering, namun jika ada air maka sebagian besar dari telur akan segera menetas tetapi beberapa dari telur akan tetap dorman dan menetas jika 2 sampai 3 kali sudah terkena air (Kettle 1984).

20 Pada keadaan lingkungan yang normal telur akan menetas setelah 1,26 hari menjadi larva (Reiter 1980). Reaksi telur menetas disebabkan karena rangsangan dan central nervous system dari larva didalam telur. Penetasan mungkin juga disebabkan oleh telur yang mengumpul berdesak - desakan (Wigglesworth 1972). Stadium larva dari nyamuk Aedes aegypti terdapat di dalam berbagai tempat aquatik yang mengandung air jernih seperti dalam bak mandi. Larva menjadi sangat aktif, yaitu membuat gerakan ke atas dan ke bawah, jika air terguncang. Jika sedang istirahat larva akan diam dan tubuhnya membentuk sudut terhadap permukaan air (Soedarta 1990). Larva mempunyai kepala yang terbentuk dengan baik dan abdomen yang terdiri dari 8 segmen serta rongga dada yang terpisah (Gambar 2 A dan B). Kepala mempunyai sepasang mata majemuk, antena berambut, beberapa buah rambut dengan mulut terdiri dari masticatory (mandibula) yang dikelilingi oleh bagian yang berbentuk seperti sikat yang berfungsi untuk menghasilkan aliran air sehingga dapat membawa makanan ke dalam mulut (Soulsby 1968). (A) Gambar 2 A : Larva Aedes aegypti (Anonimus 2000a), B : Pupa Aedes aegypti yang sedang Ekslosi (Anonimus 2000b) Larva nyamuk Aedes aegypti membutuhkan waktu 3-20 hari untuk melewati empat tahapan instar tergantung pada temperatur dan kondisi lingkungan yang lain (Williams 1978). Pada stadium larva banyak dipengaruhi oleh suhu dan makanan. Menurut De Meillon et al. (1989) stadium larva berkisar antara 4-8 hari pada suhu 28 0 C bagi larva yang dipelihara dengan diberi pakan ekstrak hati, ragi dan vitamin B komplek. Sedangkan menurut French et al. (1984) stadium larva berkisar 7 hari pada suhu 27 0 C. Larva Aedes aegypti yang dibiakkan pada suhu diatas 30 0 C akan mati bila suhu turun menjadi dibawah -0,5 0 C dalam waktu (B)

21 17 jam namun larva akan bertahap hidup jika suhu 24 jam sebelumnya antara C (Bursell 1964 dalam Romoser 1970). Stadium pupa adalah stadium lanjutan dari stadium larva yang merupakan stadium yang terakhir di dalam air. Selama fase ini pupa tidak makan (puasa) dan biasannya dijumpai pada permukaan air (Gambar 3). Bentuk tubuh pupa bengkok dengan kepala yang besar (Bahang 1978). Pupa bernafas pada permukaan air dengan melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada toraks (Borror et al. 1971). Gambar 3. Pupa dan Larva Aedes aegypti (Anonimus 2000c) 2.5 Siklus Hidup Aedes aegypti Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari empat tahap (stadium), (Gambar 4), yaitu : telur - larva (larva instar1, 2, 3 dan 4) - pupa - dewasa (imago) (Mattingly 1973). Nyamuk betina dapat bertelur sampai sekitar butir dalam satu kali bertelur setelah 3 hari menghisap darah. Menurut Rahmawati (2004) Aedes aegypti mampu bertelur sebanyak 86 butir setelah 2 hari menghisap darah. Pada kondisi normal setelah menghisap darah nyamuk betina akan menghisap darah lagi sampai selesai meletakkan satu kelompok telur. Pada beberapa jenis Aedes bersifat univoltine yaitu hanya mampu menghasilkan satu generasi tiap tahun (Williams et al. 1978). Di daerah tropis, telur akan menetas dua sampai empat hari setelah oviposisi. Menurut Bahang (1978) telur akan menetas dalam waktu 1-48 jam pada suhu C. Telur nyamuk Aedes aegypti memerlukan beberapa hari untuk berkembang embrio yaitu sekitar 2-3 hari dan kemudian menetas beberapa menit setelah diletakkan di

22 bawah permukaan air (Chandler & Read 1961). Namun pada daerah bersuhu dingin, telur tersebut akan menetas tidak sampai satu atau dua minggu. Menurut Chanon & Potnam (1934) dalam Christopher (1960) pada kodisi optimum telur tersebut dapat disimpan selama enam bulan dengan angka kematian yang rendah sedangkan bila disimpan selama satu tahun atau lebih maka daya tetas telur akan berkurang hingga mencapai 5 %. Telur sangat sensitif terhadap temperatur yang rendah dan sering tidak dapat hidup jika dipelihara di bawah suhu 10 0 C, tetapi sangat rentan terhadap kekeringan (Cheng 1974). Gambar 4 Siklus hidup Aedes aegypti (Anonimus 1998) Pada suhu yang panas di daerah tropis, perkembangan telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu sekitar 7-10 hari, sedangkan perkembangan larva (L1 L2 L3 L4) membutuhkan waktu sekitar 4-5 hari. Namun, pada umumnya perkembangan larva secara lengkap membutuhkan waktu selama hari (Service 1986). Larva telah dilengkapi dengan insang dan bernafas ke permukaan air. Larva bernafas ke permukaan air dengan menggunakan suatu tabung udara yang disebut sifon (Baerg 1974). Sifon pada Aedes biasanya khas karena berukuran pendek (Kettle 1984). Sifon berasal dari bagian dorsal segmen

23 abdominal kedelapan dan mengelilingi stigmata (Soulsby 1968). Menurut Bahang (1978) di Kuala Lumpur, stadium larva Aedes aegypti dapat membutuhkan waktu sekitar 6-8 hari. Stadium pupa berlangsung singkat yaitu selama jam (Bahang 1978). Stadium pupa yang berlangsung pada daerah tropis hanya memerlukan waktu sekitar 2-3 hari sedangkan di daerah yang bersuhu lebih rendah (di bawah 10 0 C) maka lamanya stadium pupa dapat diperpanjang sampai 10 hari (Service 1986). Menurut Rahmawati (2004) pupa yang berukuran besar memiliki panjang 4,1500 ± 0,2415 mm dengan diameter kepala 1,4500 ± 0,3869 mm dan pupa kecil dengan panjang 3,3000 ± 0,2582 mm dan diameter 1,0300 ± 0,1767 mm. Sebanyak 92 % pupa yang berukuran besar kemudian akan menjadi nyamuk betina dewasa dan 92 % pupa berukuran kecil menjadi nyamuk jantan dewasa. Pada waktu menetas kulit pupa akan tersobek (ekslosi) oleh gelembung udara dan oleh kegiatan bentuk dewasa yang berusaha untuk membebaskan diri. Setelah jam muncul lebih dahulu meskipun demikian pada akhirnya perbandingan jantan dan betina yang keluar akan sama yaitu 1 : 1 (Afandi 2001). Pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti sangat terpengaruh oleh lingkungan sekitar sehingga semakin tinggi suhu lingkungan maka populasi nyamuk akan meningkat pula. Suhu optimum yang baik dan efektif untuk pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti berkisar C (Harwoord & James 1979). Nyamuk dewasa jantan pada umumnya mampu bertahan hidup selama 6 sampai 7 hari sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu di alam (Freeman 1973). 2.6 Habitat dan Perilaku Hidup Habitat yang baik untuk perkembangan nyamuk Aedes aegypti, misalnya pada air yang menggenang, empang, kolam, bak mandi, parit, kubangan (Horsfall 1955). Mewabahnya demam berdarah berkait erat dengan dengan meledaknya populasi nyamuk setelah turun hujan, sebab tingkat curah hujan yang tinggi turut memicu bertambahnya tempat perindukan nyamuk. Karakter nyamuk Aedes yang menyukai bertelur di air bersih dan tergenang memang menjadi salah satu pemicu. Semula, Aedes aegypti biasanya hanya bertelur di bak - bak mandi (dimana ada air bersih yang lama tidak dikuras), namun ketika hujan tiba, tempat bersarang mereka bisa berpindah ke tempat - tempat saluran air (got) yang airnya telah

24 berganti akibat siraman hujan atau cekungan yang menampung air bersih (Depkes 2006). Oleh karena itu ahli lingkungan menyimpulkan, perubahan iklim ternyata ikut menimbulkan peningkatan penyakit menular. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH 2002) mensinyalir laporan Asian Development Bank (ADB) bahwa perubahan iklim akan meningkatkan penderita demam berdarah. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai pancaran sinar matahari sehingga lebih suka bersembunyi di tempat gelap di dalam rumah ataupun di sela - sela pakaian manusia. Dalam kondisi seperti inilah nyamuk ini bertelur. Genangan dari air hujan dan potongan bambu juga dapat menjadi tempat berkembang biak nyamuk (Service 1986). Stadium larva juga banyak dijumpai di tempat - tempat penyimpanan air bersih seperti drum, tempayan, gentong ataupun bak mandi yang terdapat di dalam atau di luar rumah. Akibat konsentrasi karbon yang tinggi di atmosfer pada kasus demam berdarah meningkat empat kali lipat, dari enam jiwa menjadi 26 per orang. Perubahan iklim global terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO 2 ), metan (CH 4 ), dan nitrous oksida (N 2 O), akibat pembakaran bahan bakar dari fosil, penggundulan hutan dan praktik pertanian. Perubahan iklim ini biasaya ditandai dengan melimpahnya hujan di atas rata - rata pada saat musim hujan dan kering yang berkepanjangan pada musim kemarau (KLH 2002). Penelitian yang pernah dilakukan di kawasan iklim sedang (temperate), pemanasan global bukan saja meningkatkan sebaran nyamuk, tapi juga mereduksi ukuran larva dan ukuran dewasanya, akibatnya nyamuk dengan perawakan dewasa yang kecil akan menggigit lebih sering untuk mengembangkan telurnya. Selain itu temperatur yang hangat dapat membangkitkan pemakanan dua kali (double feeding) yang dapat meningkatkan kesempatan penularan yang lebih banyak (KLH 2002). 2.7 Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue Penyakit demam berdarah dengue atau sering disingkat DBD, merupakan penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk vektor Aedes. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda Borne Viruses (Arbovirosis), yang termasuk ke dalam famili Flaviviridae, dengan genusnya adalah flavivirus. Virus

25 ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus dengue. Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak adalah tipe 2 dan tipe 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Satler et al. 1994). Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah pada peningkatan kompetensi vektor, yaitu kemampuan nyamuk menyebarkan virus. Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam mengisap darah, berulang kali menusukkan probosisnya, namun tidak berhasil mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin besar (Baerg 1974). Wabah DBD pertama kali terjadi pada tahun 1780-an secara bersamaan di Asia, Afrika dan Amerika utara, penyakit ini kemudian terkenal dan dinamai pada Wabah besar global dimulai di Asia Tenggara pada 1950-an dan hingga 1975 demam berdarah ini telah menjadi penyebab kematian utama di antaranya yang terjadi pada anak - anak di daerah tersebut (Womack 1993). Vektor utama penular penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti yang berkembangbiak di lingkungan permukiman di perkotaan. Vektor keduanya adalah Aedes albopictus, yang juga berkembangbiak di lingkungan permukiman, tetapi banyak ditemukan di daerah semi urban (Soulsby 1968). Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif jika di dalam tubuhnya telah membawa virus dengue. Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah. Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit DBD karena vektor dari virus tersebut tersebar luas baik di rumah maupun tempat - tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya lancar (Depkes 2003).

26 2.8 Teori Suhu Dasar dan Satuan Panas (Heat Unit) Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini dapat diproyeksikan sebagai model perubahan secara global atau menyeluruh. Menurut Epstein (1998) keterkaitan antara perubahan iklim dengan kecepatan penyebaran penyakit saat ini, terutama penyakit yang disebarkan oleh vektor nyamuk, misalnya demam berdarah dengue (DBD). Dari berbagai literatur menyebutkan bahwa meskipun perubahan iklim global dapat mempengaruhi dinamika transmisi penyakit, tetapi faktor iklim tidak berpengaruh secara linear (Focks et al. 1993). Ini berarti iklim bukan faktor utama dari kejadian penyakit demam berdarah. Adanya kecenderungan semakin meningkatnya tingkat kejadian penyakit DBD, telah menarik perhatian banyak pihak untuk segera menangani dan mengantisipasi masalah ini. Dalam sistem ini informasi prakiraan cuaca atau iklim dijadikan sebagai salah satu masukan (input) untuk menduga tingkat resiko kejadian penyakit DBD pada suatu musim. Upaya ini diperkirakan akan efektif karena ditemui adanya keeratan hubungan antara kejadian penyakit DBD dengan keadaan cuaca beberapa periode sebelum periode kejadian (Epstein 1998). Transmisi penyakit DBD sangat dipengaruhi oleh populasi dari vektor utamanya, yaitu Ae. aegypti. Oleh karena itu perhitungan satuan panas (degree days) dan suhu dasar dari vektor tersebut sangat penting. Derajat hari (degree days) sering juga disebut satuan atau indeks panas (heat unit atau heat index) menghubungkan perkembangan tanaman, serangga dan organisme penyakit dengan suhu udara lingkungan. Suhu dasar didefinisikan sebagai titik kritis (suhu minimum) suatu mahluk hidup masih dapat tumbuh pada tahap perkembangan (Christopher 1960). Suhu dasar tergantung dari spesies. Derajat Hari (DH) dihitung dengan cara mengurangkan suhu dasar dari suhu rataan harian. Penjumlahan DH dalam satu periode dapat dihubungkan dengan penyelesaian satu tahapan perkembangan tanaman, serangga dan organisme penyakit. Di bawah suhu dasar perkembangan akan berkurang atau berhenti. Sebagai contoh, tanaman-tanaman musim dingin mempunyai suhu dasar 5 0 C, tanaman-tanaman musim hangat (jagung manis, kacang hijau) mempunyai suhu dasar 10 0 C, dan tanaman-tanaman musim panas (kapas, okra) mempunyai suhu dasar 15 0 C (WMO 2006).

27 3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan di perumahan Muara Ciapus Bogor pada bulan Oktober - Januari Nyamuk Uji Nyamuk uji yang digunakan adalah nyamuk Aedes aegypti dewasa (strain Cikarawang), yang dipelihara di laboratorium (insektari) di FKH IPB. 3.3 Metode Penelitian Pada penelitian ini dilakukan pembiakan telur nyamuk Aedes aegypti sampai tumbuh dewasa. Untuk menghindari kesalahan dalam pemilihan telur nyamuk Aedes aegypti dengan nyamuk yang lain, maka sebelumnya dilakukan peneluran dari nyamuk Aedes aegypti dewasa, karena pada nyamuk dewasa lebih mudah dibedakan dengan nyamuk yang lain, misalnya Aedes albopictus. Setelah nyamuk bertelur maka baru dimulai pengukuran suhu. Penelitian pada stadium larva diberikan tiga perlakuan yang berbeda dan perlakuan suhu pada empat lokasi dengan suhu yang berbeda, kemudian dilakukan perhitungan heat unit dan suhu dasar. Untuk lebih terperincinya sebagai berikut : 1. Perlakuan pemberian makanan yang berbeda : a. Makanan pelet ikan, b. Makanan hati ayam yang direbus, dan c. Tanpa diberikan makanan. 2. Perlakuan suhu pada empat lokasi yang berbeda : a. Suhu di dalam ruangan insektarium, b. Suhu di luar insektarium, c. Suhu Muara Ciapus Bogor, dan d. Lemari berpendingin.

28 3. Perhitungan heat unit dan suhu dasar Nilai heat unit diperoleh dari pengurangan suhu lingkungan (Ta) dengan suhu dasar (Tb), kemudian dikalikan dengan jumlah hari yang diperlukan nyamuk Ae. aegypti untuk menyelesaikan satu tahapan pertumbuhan, sehingga diperoleh simpangan baku atau standar deviasi satuan panas terkecil. Suhu dasar diperoleh dari proses iterasi (percobaan yang diulang-ulang) dari berbagai suhu yang dicobakan. Pengukuran suhu lingkungan dilakukan setiap 12 jam sekali, tetapi pada stadium telur dilakukan setiap 6 jam sekali karena perubahan stadium telur ke larva cukup singkat. Setelah dewasa nyamuk diberikan pakan gula 10% (sumber glukosa) yang ditambahkan calsidol (vitamin B12) sebanyak 4-5 tetes, kemudian dimasukkan dalam botol kecil dan disumbat dengan kapas. Nyamuk Aedes aegypti akan menghisap glukosa lewat kapas tersebut. 3.4 Pengamatan Terhadap Perkembangan Aedes aegypti Pengamatan Stadium Telur Pengamatan telur dilakukan setelah proses peneluran (oviposisi). Dalam hitungan hari proses oviposisi berlangsung kurang lebih selama 3-4 hari setelah nyamuk menghisap darah marmut. Untuk tempat bertelur nyamuk, yaitu disediakan gelas plastik kecil yang diberikan air kira - kira ¾ tinggi gelas tersebut. Kemudian disediakan kertas saring yang telah diberi ukuran dan dimasukkan ke dalam air pada gelas plastik tersebut, tetapi kertas saring tidak boleh semuanya tenggelam hanya ¾ yang ditenggelamkan. Telur - telur nyamuk akan diletakkan dikertas saring pada garis kotak - kotak berukuran 1 x 1 cm. Kertas saring diberi garis kotak - kotak bermaksud untuk mempermudah penghitungan jumlah telur dengan menggunakan mikroskop pada setiap kotak. Telur Aedes aegypti biasanya diletakkan terpisah satu persatu berbeda dengan Culex sp. yang diletakkan secara berkelompok. Telur Aedes aegypti akan menetas kurang lebih 1,26 hari (Chandler & Read 1961). Pengamatan dilakukan pada suhu yang berbeda, yaitu dalam suhu kamar, suhu lingkungan, suhu Muara dan lemari berpendingin.

29 Cara kerja dalam tahap pengamatan telur, yaitu telur yang akan ditetaskan dari tempat peneluran (rearing), kemudian ditaruh di dalam nampan yang berisi air beserta kertas saring tempat nyamuk meletakkan telur. Telur yang telah dipindahkan kemudian dihitung jumlahnya. Selanjutnya dipisahkan telur yang baik dengan yang jelek. Dalam penelitian ini dibutuhkan telur kurang lebih 300 butir telur yang baik, tetapi untuk menghindari kegagalan dalam penetasan maka di butuhkan 500 butir telur. Pada stadium telur, telur tersebut tidak membutuhkan makanan Pengamatan Stadium Larva Tahapan kedua setelah stadium telur adalah fase larva. Pada larva Aedes aegypti akan mengalami empat kali moulting, yaitu larva instar 1, instar 2, instar 3, dan instar 4 (Tabel 1). Perubahan larva instar satu ke tahapan selanjutnya dengan cara moulting, yaitu dengan cara melepaskan kulit bagian luar (cangkang). Pada tahapan larva pengamatan dilakukan dengan suhu yang berbeda, suhu kamar dan suhu lingkungan, serta pengukuran suhu yang diberikan perlakuan tanpa makanan di perumahan Ciapus Bogor. Perbedaan suhu ini akan memberikan gambaran tingkat kecepatan siklus nyamuk yang berbeda pula. Pada suhu di dalam insektarium akan lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan suhu di luar insektarium.

30 Tabel 1. Ciri-ciri Spesifik Pada Setiap Instar (Chandler & Read 1961) : No Stadium Ciri-ciri Khusus 1. Instar 1 Dalam waktu 2,64 hari, mempunyai ciri bulu-bulu protoraks berjumlah 5 pasang, sisik-sisik sisir, gigi pekten dan bulu-bulu sifon belum terlihat dengan jelas. 2. Instar 2 Dalam waktu 1,46 hari, mempunyai bulu-bulu protoraks berjumlah 7 pasang, sisik-sisik sisir, gigi pekten dan bulu-bulu sifon belum terlihat dengan jelas. 3. Instar 3 Dalam waktu 1,72 hari, mempunyai bulu-bulu kepala, bulu-bulu protoraks 7 pasang, sisik-sisik sisir, gigi pekten dan bulu-bulu sifon terlihat jelas dengan mikroskop. 4. Instar 4 Dalam waktu 6,16 hari, mempunyai bulu-bulu kepala bulu-bulu protoraks, sisik-sisik sisir, gigi pekten dan bulu-bulu sifon terlihat jelas sekali dengan mikroskop. Ciri-ciri khusus tersebut merupakan dasar pegangan dalam membedakan antara larva instar yang satu dengan yang lainnya. Cara pengamatan pada stadium larva, yaitu telur yang telah menetas menjadi larva dipisahkan ke tempat yang lain, kemudian diberikan tiga perlakuan yang berbeda, stadium larva biasanya aktif bergerak karena mempunyai pedal dan biasanya muncul kepermukaan karena pada tahap ini membutuhkan O 2 yang cukup untuk metabolisme tubuhnya dengan alat pernafasan yang disebut sifon. Setiap perlakuan pada lokasi yang berbeda dilakukan pencatatan suhu yang telah terbaca pada termometer (pengukur suhu). Pancatatan suhu dilakukan setiap 12 jam sekali, sehingga diharapkan diperoleh data yang akurat setiap perlakuan pada masing - masing lokasi yang berbeda.

31 3.4.3 Pengamatan Stadium Pupa Stadium pupa relatif pendek karena hanya berlangsung selama 1,33 hari dan mempunyai ciri : terompet (sifon) sebagai alat pernafasan, dayung (pedal) sebagai alat gerak (Chandler & Read 1961). Seperti stadium larva, pada stadium pupa juga dilakukan pencatatan suhu setiap 12 jam sekali pada setiap perlakuan pada tempat yang berbeda, yaitu suhu ruang (kamar) dan suhu luar (lingkungan). Ukuran kepala pupa lebih besar dari ukuran tubuhnya, biasanya kurang aktif bergerak, dan tidak begitu membutuhkan makanan Pengamatan Stadium Dewasa (Imago) Pengamatan pada stadium dewasa dimulai setelah stadium pupa selesai. Nyamuk dewasa dipindahkan dalam kandang nyamuk berukuran 40 x 40 cm yang berjumlah 6 buah, dengan perlakuan 3 buah kandang dalam suhu kamar dan yang lainnya pada suhu lingkungan. Dalam setiap kandang diisi 50 ekor nyamuk. Alat pencatat suhu diletakkan pada setiap kandang. Nyamuk dewasa akan memperoleh makanan dari gula (sumber glukosa) yang ditaruh dalam botol kecil. Botol tersebut ditutup dengan kapas supaya memudahkan nyamuk dalam menghisapnya. Untuk menjaga metabolisme tubuh nyamuk sebaiknya setiap 3-4 hari sekali nyamuk - nyamuk tersebut diberikan darah marmut, dengan cara memfiksirnya dalam kandang jepit, kemudian dimasukkan ke dalam kandang nyamuk. Suhu dicatat setiap 12 jam sekali dan dilakukan sampai jumlah populasi nyamuk berkurang. Jumlah nyamuk yang mati setiap harinya, diamati. 3.5 Analisis Data Hasil pengukuran morfologi pada setiap instar larva dan panjang periode larva hingga dewasa ditabulasi, dianalisis dengan ANOVA dan apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan analisis Duncan (α = 0,05). Penentuan heat unit dilakukan dengan rumus DH atau derajat hari (WMO 1981) berikut ini : HU = n(ta-tb), di mana HU : Heat unit atau satuan panas (derajat hari) n : Jumlah hari (hasil pengamatan) yang diperlukan untuk menyelesaikan satu tahap pertumbuhan atau perkembangan nyamuk

32 T a T b : Suhu lingkungan (hasil pengamatan) : Suhu dasar Suhu dasar didapatkan dari proses iterasi perhitungan dengan berbagai nilai suhu dasar yang dicobakan, sehingga mendapatkan nilai standar deviasi (simpangan baku) satuan panas minimum.

33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi pupa dan nyamuk dewasa (imago) yang dapat terbang bebas dan menggigit (Service 1986). Stadium L1 - L4 teramati dengan struktur tubuh yang sangat kecil, tetapi cukup jelas apabila dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Rata - rata hasil pengukuran terhadap masing - masing instar larva (n = 15 ekor) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata - rata (± standar deviasi) hasil pengukuran larva Ae. aegypti dari L1 - L4 yang dipelihara dengan makanan pelet pada kisaran suhu C Parameter Pertumbuhan Larva Instar Panjang tubuh (mm) Panjang sifon (mm) Diameter kepala (mm) Instar 1 1,88 ± 0,12 0,37 ± 0,14 0,33 ± 0,15 Instar 2 2,51 ± 0,12 0,43 ± 0,08 0,50 ± 0,07 Instar 3 3,74 ± 0,10 0,51 ± 0,08 0,74 ± 0,13 Instar 4 4,48 ± 0,12 0,56 ± 0,10 0,65 ± 0,09 Menurut Christopher (1960) panjang tubuh instar 1, 2, 3 dan 4 masing- masing secara berurutan adalah 1,50-1,63 mm, 2,60-2,68 mm, 3,77-4,15 mm dan 4,49-7,05 mm. Panjang sifon adalah 0,11-0,32 mm, 0,38-0,43mm, 0,53-0,56 mm, 0,69-0,82 mm, dan diameter kepala adalah 0,22-0,47 mm, 0,54-0,58 mm, 0,74-0,76 mm, 0,89-0,97 mm. Hasil pengukuran parameter pertumbuhan dalam penelitian ini secara umum tidak menunjukkan perbedaan secara nyata dengan Christopher (1960) (P 0,05), (Lampiran 5). Demikian pula ukuran diameter kepala dan panjang sifon. Pengukuran terhadap panjang tubuh (toraks - segmen delapan), panjang sifon (ujung sifon - segmen delapan) dan dimeter kepala (garis tengah kepala) hanya dilakukan dengan media pelet karena secara teknis mudah dilakukan dan akan terlihat pola pertumbuhan yang baik dan tidak terlalu cepat (Tabel 2).

34 Ukuran larva (mm) Pengukuran pada stadium larva instar 1 dan instar 4, bila dibandingkan dengan Christopher (1960), panjang kepala dan diameter kepala tidak terdapat perbedaan yang nyata (P 0,05), tetapi dengan ukuran parameter pertumbuhan yang terbesar. Kemungkinan karena adanya pola adaptasi dari stadium larva Instar 1 yang baik, selain itu dapat pula dipengaruhi oleh suhu, sifat kimia (ph), kelembaban dan bahan makanan yang berada dalam air yang cukup untuk pertumbuhan larva. Kandungan zat organik pada makanan berpengaruh terhadap percepatan pertumbuhan larva Ae. aegypti (Christopher 1960). Pertumbuhan nyamuk Ae. aegypti pada stadium larva instar 2 untuk ukuran panjang tubuh dan panjang sifon tidak perbedaan secara nyata (P 0.05), tetapi ukuran diameter kepala lebih pendek. Pada stadium larva instar 3, ukuran dari parameter sama dengan Christopher (1960), tetapi terdapat perbedaan yang nyata (P 0,05), yaitu pada ukuran panjang sifon (Tabel 2). Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh kandungan zat makanan, suhu, kebiasaan, perilaku makan larva dan formulasi (khususnya tingkat pengendapan atau sedimentasi) serta adanya predator di daerah makan larva (larval feeding zone) (Reiter 1980). Panjang tubuh Panjang sifon Diameter kepala L1 L2 L3 L4 Larva Instar Gambar 5. Histogram pertumbuhan tiap stadium larva dengan perlakuan makanan pelet Pertumbuhan nyamuk pada stadium larva pada suhu rata - rata C tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P 0,05) dengan Christopher (1960), (Gambar 5). Berdasarkan grafik diatas, perlakuan dengan pakan pelet untuk parameter panjang tubuh lebih cepat dibandingkan dengan parameter yang lain. Hal ini dapat digunakan untuk membedakan antara L1, L2, L3 dan L4 secara langsung tanpa menggunakan mikroskop atau loop (kaca pembesar), akan tetapi

35 membutuhkan ketelitian. Zat - zat organik maupun nonorganik yang terdapat pada makanan pelet mempunyai tingkat energi yang sedang. 4.2 Panjang Periode Setiap Stadium Pengaruh Makanan Larva Terhadap Panjang Periode Setiap Stadium Periode panjang waktu yang diperlukan mulai telur menetas hingga menjadi dewasa dengan makanan yang berbeda disajikan pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Panjang periode (median) masing-masing stadium Ae. aegypti yang dipelihara pada berbagai media pada suhu dalam insektarium (ruangan) Media Media Stadium/ Media Pelet Hati ayam direbus Tanpa makanan Instar (hari) (hari) (hari) Telur 0,50 0, L1 1,50 1,50 3,25 L2 1,00 1,00 5,00 L3 1,00 1,00 4,15 L4 1,50 1,50 5,10 Pupa (Pupa - Emergence) 1,50 1,00 6,25 Total 7 ± 0,40 a 6,5 ± 0,37 a 20,25 ± 1,77 b Dewasa (Emergence Mati) 12,50 12,25 16,25 Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P 0,05) Tabel 4. Panjang periode (median) masing-masing stadium Ae. aegypti yang dipelihara pada berbagai media pada suhu luar insektarium (lingkungan) Media Media Stadium/ Media Pelet Hati ayam direbus Tanpa makanan Instar (hari) (hari) (hari) Telur 1,00 1,00 1,00 L1 1,50 1,50 2,75 L2 1,00 1,00 5,75 L3 1,25 1,25 6,00 L4 1,75 1,75 5,00 Pupa (Pupa - Emergence) 2,50 2,00 6,00 Total 9 ± 2,88 a 8,5 ± 2,70 a 26,5 ± 8,55 b Dewasa (Emergence Mati) 11,50 11,50 16,50 Keterangan : Huruf dengan superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P 0,05)

36 Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa panjang periode pradewasa Ae. aegypti pada media makanan pelet dan hati ayam dengan media tanpa makanan berbeda secara nyata (P 0,05). Tetapi antara media makanan pelet dengan hati ayam tidak berbeda secara nyata (P 0,05). Panjang periode dari stadium telur hingga muncul menjadi dewasa (emergence) di dalam insektarium dengan media pelet adalah 7 ± 0,40 hari, hati ayam 6,5 ± 0,37 hari dan tanpa makanan 20,25 ± 1,77 hari. Sedangkan di luar insektarium dengan media pelet adalah 9 ± 2,88 hari, hati ayam 8,5 ± 2,70 hari dan tanpa makanan 26,5 ± 8,55 hari. Tingkat pertumbuhan larva dengan diberikan perlakuan dengan hati ayam lebih cepat dibandingan dengan perlakuan yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kandungan nutrisi dan energi pada tiap - tiap makanan berbeda. Hati ayam yang direbus mempunyai tingkat energi yang tertinggi, karena mempunyai kandungan utama protein yang tinggi dan merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan, selain itu juga tempat penyimpanan glukosa dalam bentuk glikogen (Winarno 1997). Oleh karena itu diberikan pada stadium larva, maka akan sangat berpengaruh terhadap panjang periode pada setiap stadium, sedangkan larva yang diberikan makanan pelet ikan (tingkat energi sedang) dan tanpa makanan (tingkat energi terendah). Pelet ikan sendiri mengandung banyak karbohidrat dan rendah kandungan proteinnya (Gambar 6). Perlakuan tanpa makanan menunjukkan tingkat pertumbuhan yang paling lambat dibandingkan dengan perlakuan makanan hati ayam yang direbus dan makanan pelet ikan. Hal ini disebabkan karena perlakuan tanpa makanan mempunyai kandungan nutrisi dan energi yang terendah. Sehingga panjang periode hidup dari satu stadium ke stadium berikutnya berlangsung lebih lama.

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian 3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti 2.2 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti  2.2 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk termasuk kedalam ordo Diptera. Ordo Diptera terdiri dari 80 spesies yang tergolong kedalam 140 famili. Ordo ini termasuk juga dalam fillum Arthropoda.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. ,

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. , 5 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. Nyamuk masuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres),

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE

6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE 6. KEBUTUHAN SATUAN PANAS UNTUK FASE PERKEMBANGAN PADA NYAMUK Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) DAN PERIODE INKUBASI EKSTRINSIK VIRUS DENGUE 6.1. PENDAHULUAN Sebelum menularkan virus Dengue, nyamuk Aedes

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk Nyamuk merupakan serangga yang memiliki tubuh berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian

Lebih terperinci

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Upik Kesumawati Hadi *) Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013) II. TELH PUSTK Nyamuk edes spp. dewasa morfologi ukuran tubuh yang lebih kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Aedes aegypti Nyamuk Ae. aegypti termasuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dan masuk ke dalam subordo Nematocera. Menurut Sembel (2009) Ae. aegypti dan Ae. albopictus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Nyamuk Aedes Sp Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya relatif optimum, yakni senantiasa lembab sehingga sangat memungkinkan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes sp 1. Klasifikasi Nyamuk Aedes sp Nyamuk Aedes sp secara umum mempunyai klasifikasi (Womack, 1993), sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Genus Upagenus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi yang dilakukan dalam penelitian serta sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM AEDES AEGYPTI DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

BAB II TINJAUAN UMUM AEDES AEGYPTI DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) BAB II TINJAUAN UMUM AEDES AEGYPTI DAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 2.1 Aedes aegypti Mengetahui sifat dan perilaku dari faktor utama penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), yakni Aedes aegypti,

Lebih terperinci

Global Warming. Kelompok 10

Global Warming. Kelompok 10 Global Warming Kelompok 10 Apa itu Global Warming Global warming adalah fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (green house effect) yang disebabkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Telur Nyamuk Aedes aegypti yang telah diberikan pakan darah akan menghasilkan sejumlah telur. Telur-telur tersebut dihitung dan disimpan menurut siklus gonotrofik. Jumlah

Lebih terperinci

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM 4.1. PENDAHULUAN 4.1.1. Latar Belakang DBD termasuk salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus sebagai patogen dan

Lebih terperinci

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 penciuman, dan alat indera yang sensitif untuk memilih air yang disukainya (Gunandini dan Gionar 1999). Selain air bersih ternyata air tercemar juga dapat menjadi tempat perindukan dan berkembang biak

Lebih terperinci

TABEL HIDUP NYAMUK VEKTOR MALARIA Anopheles subpictus Grassi DI LABORATORIUM.

TABEL HIDUP NYAMUK VEKTOR MALARIA Anopheles subpictus Grassi DI LABORATORIUM. TABEL HIDUP NYAMUK VEKTOR MALARIA Anopheles subpictus Grassi DI LABORATORIUM Nur Rahma 1, Syahribulan 2, Isra Wahid 3 1,2 Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin 3 Jurusan Parasitologi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Demam Berdarah Dengue a. Definisi Demam berdarah dengue merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue terdiri

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu penyakitnya yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) yang masih menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang. dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nyamuk merupakan salah satu golongan serangga yang dapat menimbulkan masalah pada manusia karena berperan sebagai vektor penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Sebagai Vektor Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik, tubuh yang langsing dan enam kaki panjang. Antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae yang mempunyai empat serotipe,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Demam Berdarah Dengue a. Definisi DBD adalah demam virus akut yang disebabkan oleh nyamuk Aedes, tidak menular langsung dari orang ke orang dan gejala berkisar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Culex sp Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB II TINJAUAN DEMAM BERDARAH DENGUE BAB II TINJAUAN DEMAM BERDARAH DENGUE 2.1 Sejarah Demam Berdarah Dengue Penyakit demam berdarah dengue pertama kali di temukan di Filiphina pada tahun 1953 dan menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel

BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk untuk bahan uji dalam penelitian ini berasal dari telur Aedes aegypti yang diperoleh dari wilayah Jakarta Timur yang memiliki kasus demam berdarah tertinggi.

Lebih terperinci

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota.

Penyakit DBD merupakan masalah serius di Provinsi Jawa Tengah, daerah yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD yaitu 35 Kabupaten/Kota. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah sub tropis dan tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. jumlah tempat perindukan nyamuk yang mempengaruhi populasi larva Aedes

BAB III METODE PENELITIAN. jumlah tempat perindukan nyamuk yang mempengaruhi populasi larva Aedes 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2012 sampai April 2012. Pengambilan sampel dilakukan pada musim hujan, yaitu pada bulan Februari sampai bulan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Morfologi Telur Anopheles Culex Aedes Berbentuk perahu dengan pelampung di kedua sisinya Lonjong seperti peluru senapan Lonjong seperti

Lebih terperinci

Pasal 3 Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

Pasal 3 Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti 1. Klasifikasi Aedes aegypti Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Philum : Arthropoda Sub Philum : Mandibulata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Iklim tropis menyebabkan adanya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk seperti malaria

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Tahun

1. PENDAHULUAN Tahun IR per 100000 pddk Kab/Kota Terjangkit 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit deman berdarah (DBD) berkembang menjadi masalah kesehatan yang serius di dunia, terutama di Indonesia. Di Indonesia dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1993), klasifikasi sirih (Piper bettle L.) adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tjitrosoepomo (1993), klasifikasi sirih (Piper bettle L.) adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sirih (Piper bettle L.) 1. Klasifikasi Sirih (Piper bettle L.) Menurut Tjitrosoepomo (1993), klasifikasi sirih (Piper bettle L.) adalah sebagai berikut : Regnum Divisio Sub Divisio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemiologi perubahan vektor penyakit merupakan ancaman bagi kesehatan manusia, salah satunya adalah demam berdarah dengue (DBD). Dengue hemorraghic fever (DHF) atau

Lebih terperinci

BAB IV PENGGUNAAN METODE SEMI-PARAMETRIK PADA KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PULAU JAWA DAN SUMATERA

BAB IV PENGGUNAAN METODE SEMI-PARAMETRIK PADA KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PULAU JAWA DAN SUMATERA BAB IV PENGGUNAAN METODE SEMI-PARAMETRIK PADA KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PULAU JAWA DAN SUMATERA Untuk melengkapi pembahasan mengenai metode semi-parametrik, pada bab ini akan membahas contoh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aedes sp Kedudukan nyamuk Aedes sp dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Super Class Class Sub Class Ordo Sub Ordo Family Sub

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Nyamuk Dalam daur kehidupan nyamuk mengalami proses metamorfosis sempurna, yaitu perubahan bentuk tubuh yang melewati tahap telur, larva, pupa, dan imago atau

Lebih terperinci

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id Parasitologi Kesehatan Masyarakat KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit Mapping KBM 8 2 Tujuan Pembelajaran Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa mampu menggunakan pemahaman tentang parasit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akibat virus yang ditularkan oleh vektor nyamuk dan menyebar dengan cepat. Data menunjukkan peningkatan 30 kali lipat dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. musim hujan dan musim kemarau. Salah satu jenis penyakit yang sering

BAB I PENDAHULUAN. musim hujan dan musim kemarau. Salah satu jenis penyakit yang sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Salah satu jenis penyakit yang sering muncul pada musim hujan ini antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Larva Aedes aegypti 1. Klasifikasi Aedes aegypti Klasifikasi nyamuk Ae. aegypti adalah sebagai berikut (Srisasi Gandahusada, dkk, 2000:217): Divisi : Arthropoda Classis : Insecta

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vektor Aedes aegypti merupakan vektor utama Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia sedangkan Aedes albopictus adalah vektor sekunder. Aedes sp. berwarna hitam dan belang-belang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aedes sp Nyamuk Aedes sp tersebar di seluruh dunia dan diperkirakan mencapai 950 spesies. Nyamuk ini dapat menyebabkan gangguan gigitan yang serius terhadap manusia dan binatang,

Lebih terperinci

SebaranJentik Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor

SebaranJentik Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor SebaranJentik Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor Upik K. Hadi, E. Agustina & Singgih H. Sigit ABSTRAK Satu di antara pengetahuan yang harus dikuasai dalam upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan family Flaviviridae. DBD

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue, gejalanya adalah demam tinggi, disertai sakit kepala, mual, muntah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit DBD banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sejenis nyamuk yang biasanya ditemui di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sejenis nyamuk yang biasanya ditemui di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aedes aegypti merupakan sejenis nyamuk yang biasanya ditemui di kawasan tropis. Aedes aegypti adalah salah satu spesies vektor nyamuk yang paling penting di dunia karena

Lebih terperinci

JENIS DAN FLUKTUASI NYAMUK SERTA PENGARUH ANTINYAMUK

JENIS DAN FLUKTUASI NYAMUK SERTA PENGARUH ANTINYAMUK JENIS DAN FLUKTUASI NYAMUK SERTA PENGARUH ANTINYAMUK Liquid Vaporizer TERHADAP NYAMUK YANG MENGHISAP DARAH PADA MALAM HARI DI DESA BABAKAN KECAMATAN DARMAGA MOCHAMAD DWI SATRIYO B04104075 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular disebabkab oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah satunya adalah musim penghujan. Pada setiap musim penghujan datang akan mengakibatkan banyak genangan

Lebih terperinci

II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD

II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD 8 II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD 3.1 Penyebaran Virus DBD DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Penyebaran virus demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk. Nyamuk Aedes

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dangue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypty. Diantara kota di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit, menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit, menurut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk 1. Nyamuk sebagai vektor Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit, menurut klasifikasinya nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae dan Anophelinae.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya ini cenderung menurun bersamaan dengan terus membaiknya

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya ini cenderung menurun bersamaan dengan terus membaiknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insiden Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia dari waktu ke waktu terus bertambah, namun demikian jumlah korban jiwa akibat serangan penyakit berbahaya ini cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia UKDW

BAB I PENDAHULUAN. utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan. salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan. salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan semakin luas daerah penyebarannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam berdarah dengue (DBD), merupakan penyakit yang masih sering

I. PENDAHULUAN. Demam berdarah dengue (DBD), merupakan penyakit yang masih sering I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam berdarah dengue (DBD), merupakan penyakit yang masih sering terjadi di berbagai daerah. Hal ini dikarenakan nyamuk penular dan virus penyebab penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam berdarah dengue menjadi masalah kesehatan yang sangat serius di Indonesia. Kejadian demam berdarah tidak kunjung berhenti walaupun telah banyak program dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR SOSIODEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN TERHADAP KEPADATAN POPULASI LARVA NYAMUK Aedes aegypti DI DESA BENCULUK, KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI

PENGARUH FAKTOR SOSIODEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN TERHADAP KEPADATAN POPULASI LARVA NYAMUK Aedes aegypti DI DESA BENCULUK, KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI PENGARUH FAKTOR SOSIODEMOGRAFI DAN LINGKUNGAN TERHADAP KEPADATAN POPULASI LARVA NYAMUK Aedes aegypti DI DESA BENCULUK, KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI oleh Dian Prima Agustina NIM 070210103079 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Jumlah penderita DBD cenderung meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA kaki) 6) Arthropoda dibagi menjadi 4 klas, dari klas klas tersebut terdapat klas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Nyamuk Arthropoda adalah binatang invertebrata; bersel banyak; bersegmen segmen;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Epidemiologi DBD Infeksi virus Dengue di Indonesia sejak abad ke- 18. Infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai demam lima hari (vijfdaagse koorts), atau

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Capung

TINJAUAN PUSTAKA. Capung TINJAUAN PUSTAKA Capung Klasifikasi Capung termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, klas Insecta, dan ordo Odonata. Ordo Odonata dibagi ke dalam dua subordo yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. Identifikasi Nyamuk 16 Identifikasi Nyamuk HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis nyamuk yang ditemukan pada penangkapan nyamuk berumpan orang dan nyamuk istirahat adalah Ae. aegypti, Ae. albopictus, Culex, dan Armigeres. Jenis nyamuk

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan UKDW. data dari World Health Organization (WHO) bahwa dalam 50 tahun terakhir ini

BAB I. Pendahuluan UKDW. data dari World Health Organization (WHO) bahwa dalam 50 tahun terakhir ini BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di negara - negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari World Health

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes agypti yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes agypti yang 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Nyamuk sebagai vektor penyakit 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD atau DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) adalah penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes agypti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Chikungunya merupakan suatu penyakit dimana keberadaannya sudah ada sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut sejarah, diduga penyakit

Lebih terperinci

PERANCANGAN PENGUSIR NYAMUK ELEKTRONIK SEBAGAI ALTERNATIF PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH

PERANCANGAN PENGUSIR NYAMUK ELEKTRONIK SEBAGAI ALTERNATIF PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH PKMT-1-3-1 PERANCANGAN PENGUSIR NYAMUK ELEKTRONIK SEBAGAI ALTERNATIF PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH Sopan Indragandi, Ahmad Muqorobin, Aprillia Kasih Ugiyatri, Irianto Iska Jurusan Fisika, Universitas Bengkulu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan aegypti dan albopictus. [1] Nyamuk ini bersifat

Lebih terperinci

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa, PLEASE READ!!!! Sumber: http://bhell.multiply.com/reviews/item/13 Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Albopictus yang mengandung virus dengue dapat menyebabkan demam berdarah dengue (DBD) yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Koentjaraningrat (1994:7) bahwa Metode adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja untuk dapat memahami

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

IR n = 0, ,157*CH3 n-2 0,052*CH3 n-4 + 0,066*CH3 n-5 + 0,826*TR2 n-2-0,387*tx2 n-2 0,492* n-2.

IR n = 0, ,157*CH3 n-2 0,052*CH3 n-4 + 0,066*CH3 n-5 + 0,826*TR2 n-2-0,387*tx2 n-2 0,492* n-2. 9. PEMBAHASAN UMUM Iklim merupakan komponen lingkungan yang berfluktuasi besar baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Pengamatan, pencatatan dan pengarsipan hasil pencatatan, serta prediksi unsur-unsurnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 KAJIAN TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK Aedes DI GAMPOENG ULEE TUY KECAMATAN DARUL IMARAH ACEH BESAR Elita Agustina 1) dan Kartini 2) 1) Program Studi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh vektor masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam Berdarah Dengue

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Virus dengue merupakan Anthropode-Borne Virus (Arbovirus) keluarga Flaviviridae 1, virus ini dapat menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), yang dapat berakibat

Lebih terperinci