KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES"

Transkripsi

1 Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES Oleh: Ferry Junigwan Murdiansyah Negara adalah leviathan. 1 Interaksi antarnegara di dalam konsepsi leviathan diibaratkan sebagai suatu interaksi pergumulan kekuasaan tiada akhir yang pada akhirnya menciptakan suatu konflik kepentingan yang tidak menentu yang dikenal dengan security dilemma. Tonggak sejarah kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dimulai ketika pada 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan Sputnik I, satelit pertama buatan manusia. Perkembangan kepentingan hegemoni antariksa yang besar dari kedua negara tersebut dan situasi perang dingin yang tidak menentu menciptakan kondisi security dilemma yang pada akhirnya mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk membentuk The United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pada 13 Desember 1958 melalui Resolusi 1348 (XIII) dan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) pada 1959 melalui Resolusi 1472 (XIV). Perbedaan keduanya adalah bahwa UNOOSA berfungsi sebagai kantor sekretariat bagi masalah eksplorasi dan eksploitasi antariksa, sedangkan UNCOPUOS berfungsi sebagai komite yang menangani masalah antariksa. Pembahasan lebih lanjut dalam artikel ini akan berfokus pada UNCOPUOS saja. Suatu terobosan pun diperkenalkan pada tahun 1970an melalui lima instrumen hukum internasional di bidang antariksa, yaitu: The Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space including the Moon and Other Celestial Bodies 1967 (Space Treaty), Agreement on the Rescue of Astrounauts, the Return of Astronouts and the Return of Object Launched into Outer Space 1968 (Astronouts Agreement), Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972 (Liability Convention), Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976 (Registration Convention), dan Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies 1984 (Moon Agreement). Space Treaty menjadi landasan hukum yang mengatur prinsip prinsip dasar dalam upaya ekplorasi dan eksploitasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai, sedangkan empat perjanjian lainnya merupakan penjabaran 1. Negara sebagai leviathan, menurut Thomas Hobbes adalah negara sebagai bentuk realisasi dari sesosok makhluk yang sangat mengerikan dengan kekuatan yang sangat besar dan memiliki kemampuan bertahan hidup untuk mempertahankan kepentingannya. 16

2 OPINIO JURIS Volume 01 Januari - Maret 2010 dari mandat yang terdapat di dalam Space Treaty. Pada awal pembentukannya, lima instrumen hukum antariksa ini, yang disebut sebagai rezim hukum antariksa klasik, 2 dianggap sekedar cukup saja untuk menjembatani kekosongan hukum di dalam kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun dengan pesatnya perkembangan teknologi antariksa, diperlukan suatu pengaturan/instrumen hukum antariksa yang komprehensif, detail, dan melindungi kepentingan space faring states dan non space faring states, serta memperhatikan aspek lingkungan haruslah dianggap sebagai suatu persyaratan dasar terbentuknya suatu rezim hukum antariksa modern. Penekanan pada aspek lingkungan menjadi penting dalam rezim hukum antariksa modern, mengingat secara alami negara sebagai leviathan akan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaannya untuk eksploitasi suatu bidang tertentu pada titik maksimal. Pada prinsipnya, negara leviathan lainpun akan melakukan hal yang sama, sehingga tanpa disadari chain of action and reaction akan terjadi yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Artikel inipun dibuat sebagai renungan sederhana atas dua pemasalahan yang ber-kohesi erat di balik jubah diskusi hukum antariksa modern antarnegara dewasa ini, yaitu: (i) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif space faring states dan celah hukumnya, dan (ii) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif Indonesia dan celah hukumnya. Rezim Hukum Antariksa Klasik dari Perspektif Space Faring States dan Celah Hukumnya Space faring states yang selangkah lebih unggul dalam penguasaan antariksa memiliki common syndrome yaitu kecanduan antariksa atau adanya ketergantungan dengan teknologi antariksa dan memiliki motivasi penguasaan antariksa secara dominan dan berlebihan. Berdasarkan berbagai kajian hukum antariksa di antara space faring states, terdapat 3 (tiga) inti masalah yang menjadi perhatian, yaitu: denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, wisata antariksa, dan mitigasi sampah antariksa (space debris). A. DENUKLIRISASI DAN PELARANGAN SENJATA ANTARIKSA I. Denuklirisasi dan Pelarangan Senjata Antariksa sebagai Suatu Masalah Internasional Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat secara diam - diam terus mengembangkan teknologi antariksanya dan secara bertahap melakukan perakitan senjata antariksa yang mampu menyerang aset antariksa negara lain baik di darat dan di antariksa, dan juga melakukan pengembangan teknologi senjata anti misil balistik demi keamanan nasionalnya. Berbagai pengembangan teknologi tersebut diprakarsai oleh Pemerintahan Bush yang berkeinginan untuk memperkuat profil militer antariksanya dengan United 2. Dipandang sebagai rezim hukum antariksa klasik karena ke-5 instrumen hukum antariksa ini, termasuk resolusi, protokol, guidelines maupun aturan hukum antariksa lainnya, pada proses terbentuknya/kelahiran tanpa memperhatikan kaidah dan kepentingan negara lain serta lingkungan secara bersama sama) 17

3 Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS States Space of Command Vision for 2020 dan United States Air Force 2025 Study. Hal tersebut dilaksanakan dengan memberikan rekomendasi untuk menguasai antariksa dalam berbagai aspek, yang meliputi perang melawan terorisme global pada akhir Pada 23 Mei 2009, Laura Grego, seorang peneliti dari Union of Concerned Scientist, membuat testimoni di hadapan Subcommittee on National Security and Foreign Affairs of the Committee on Oversight and Government Reform mengenai program antariksa Amerika Serikat yang bertujuan pada penguasaan dan hegemoni antariksa termasuk di dalamnya penciptaan senjata antariksa untuk melindungi aset antariksa mereka. Pihak dari pemerintah Amerika Serikat pada saat itu membantah testimoni tersebut, namun terdapat dua bukti konkrit yang mendukung testimoni dari Laura Grego, yaitu: a. Amerika Serikat pada Desember 2001 menarik diri dari Anti Ballistic Missiles Treaty (ABM) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet pada saat itu) pada 26 Mei 1972, sehingga dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat sekarang lebih mempunyai fleksibilitas dalam memproduksi senjata balistik di kemudian hari. b Rumsfeld Commission Report memberikan rekomendasi bahwa dalam rangka mencegah terjadinya Space Pearl Harbor maka kepentingan nasional Amerika Serikat adalah untuk menciptakan senjata antariksa yang berfungsi defensif dan ofensif. Upaya pengembangan senjata antariksa oleh Amerika Serikat ini tercium oleh negara lain yang langsung memperkenalkan instrumen hukum baru yang mengatur pelarangan senjata antariksa (Treaty on the Prevention of the Placement of Weapons in Outer Space and of the Threats or Use of Force Against Outer Space Objects atau yang biasa disebut Treaty PPWT). Respon lain terhadap masalah ini salah satunya adalah Rusia pada 2004 melakukan deklarasi bahwa negaranya tidak akan menjadi negara pertama yang akan menempatkan senjata di antariksa. Hal ini merupakan upaya politis pertama yang patut diteladani oleh negaranegara sebagai langkah awal pencegahan nuklirisasi dan penempatan senjata di antariksa. II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik Terdapat 2 (dua) pasal dalam Space Treaty yang sekiranya bersinggungan dengan isu ini, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9 Space Treaty. a. Pasal 4 Space Treaty States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth any objects carrying nuclear weapons or any other kind of weapons of mass destruction, install such weapons in outer space in any other manner The use of military personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be prohibited Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu: 18

4 OPINIO JURIS Volume 01 Januari - Maret 2010 a) Place in orbit around the earth: hanya mengatur senjata yang diletakkan di orbit bumi tanpa penjelasan lebih lanjut. Bagaimana dengan senjata pemusnah massal yang berada di bumi dan mempunyai kemampuan jangkau tembak antariksa? Bagaimana dengan guided missile yang dikendalikan oleh sistem kendali (bukan senjata) yang secara permanen berada di antariksa? Hal hal semacam ini belum tercakup di dalam definisi ini. b) Nuclear weapons dan weapons of mass distruction: - misil balistik seperti yang dikembangkan oleh Iran dan didemonstrasikan oleh Cina pada tahun 2007 yang ditembakkan keluar angkasa dan mampu menghancurkan satelit Cina tidak termasuk di dalam definisi ini. senjata yang mampu mengacaukan frekwensi gelombang radio satelit dan menyebabkan jamming pada satelit seperti yang dilakukan Irak pada awal 2000-an juga tidak termasuk dalam definisi ini. c) Scientific research: apa yang dimaksud dengan aktivitas personil militer untuk penelitian ilmiah disini? Kalimat ini sangatlah multitafsir. b. Pasal 9 Space Treaty State Parties to the Treaty shall pursue studies of them so as to avoid their harmful contamination and also adverse changes in the environment of the Earth resulting from the introduction of extraterrestrial matter, and when necessary, shall adopt appropriate measures for this purpose Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu: a) Harmful contamination and adverse changes in the environment of the earth: apa sebenarnya definisi dari kontaminasi berbahaya dan perubahan fatal dari lingkungan bumi? Apakah arti penggunaan bahan kimia, limbah antariksa, atau limbah beracun di antariksa juga diatur dalam pasal ini? Perubahan fatal terhadap titik jenuh Geo Stationary Orbit akibat penempatan satelit yang berlebihan tidak diatur dalam pasal ini. Kerusakan lingkungan antariksa akibat pengawasan dan manajemen sampah antariksa yang baik juga tidak diatur di dalam pasal ini. b) Approriate measures: kalimat ini ambigu dan multitafsir. Penulis berpendapat bahwa kalimat ini tidak menjelaskan bentuk tanggung jawab dari negara pemilik wahana antariksa dan seharusnya lebih diatur secara detil. Dari kajian singkat dua pasal tersebut di atas, nyata bahwa Space Treaty dalam 19

5 Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS isu ini memiliki celah hukum sebagai berikut: a) Space Treaty hanya mengatur prinsip dan norma dasar dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi antariksa. b) Space Treaty mengesampingkan kemungkinan digunakannya senjata dari bumi ke antariksa. c) Space Treaty belum mengisi kekosongan hukum yang ada dengan keluarnya Amerika Serikat dari Anti Ballistic Missile Treaty pada Hal mana, menjadi penting bagi kita semua untuk mempelajari draft Treaty PPWT berkenaan dengan penciptaan instrumen hukum baru dalam pelarangan senjata antariksa yang akan bersifat komplementer terhadap Space Treaty ataupun rezim antariksa klasik secara keseluruhan. III. Conference on Disarmament Conference on Disarmament (CD) merupakan suatu forum multilateral yang didirikan pada tahun 1979 oleh komunitas internasional untuk merundingkan berbagai upaya pengawasan persenjataan dan kesepakatan perlucutan senjata. CD bukanlah suatu badan resmi PBB. Keterkaitannya dengan PBB, adalah melalui penempatan seorang wakil Sekjen PBB yang juga bertugas sebagai Sekjen Konperensi ini. Saat ini, beranggotakan 65 negara, yang meliputi lima (5) negara pemilik senjata nuklir. Indonesia juga menjadi anggota CB. Salah satu catatan penting dalam aktivitas CD adalah pembahasan isu Prevention of An Arm Race in Outer Space (PAROS) pada tahun 2000 yang dipelopori oleh Cina dan Rusia, yang menganggap bahwa upaya penggunaan senjata nuklir dan space weapon memerlukan suatu diskursus tersendiri di dalam CD. Dalam hal ini, penulis memandang perlunya suatu political will dari negara - negara untuk menjadikan CD sebagai institusi resmi PBB dengan wewenang untuk melakukan pengawasan, pelarangan, pemberian sanksi bagi penggunaan senjata berbahaya, wewenang dalam isu denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, serta menentukan dan mengatur mekanisme kontrol terhadap keadaan lingkungan yang dimungkinkan mengalami dampak akibat aktivitas tersebut. Pada masa yang akan datang, diharapkan CD yang lebih ter-institusi dapat melakukan official synergy dengan UNCOPUOS demi terciptanya sistem hubungan kerja watchdog dan think thank yang ideal dalam upaya eksplorasi dan eksplorasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai. B. WISATA ANTARIKSA I. Industri Baru dalam Komersialisasi Antariksa Pada 28 April 2001, milyarder asal California, Amerika Serikat, Dennis Tito, membuat sejarah dengan menjadi turis antariksa pertama di dunia dengan menggunakan wahana antariksa Rusia, Soyuz yang melakukan wisata antariksa selama sebelas (11) hari menginap di International Space Station (ISS) dan kembali ke bumi dengan selamat. 20

6 OPINIO JURIS Volume 01 Januari - Maret 2010 Ekspedisi fenomenal Tito ini membuktikan bahwa kini antariksa merupakan tujuan wisata baru yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Wisata antariksa pada awalnya merupakan proyek pemerintah yang mulai ditawarkan pada masyarakat sipil pada tahun 2001 dengan biaya yang relatif mahal, sebagai perbandingan harga yang ditawarkan badan antariksa Rusia pada tahun tersebut adalah US$ 45 juta. Kini wacana tersebut mendapat tantangan dari operator swasta yang menawarkan harga yang jauh lebih menarik yaitu berkisar pada US$ (harga yang di tawarkan Virgin Galactic). Oleh karenanya, bisnis wisata antariksa kini mendapat pesaing kelas ekonomi yang lebih terjangkau. Melihat perkembangan yang ada, beberapa perusahaan pun berlomba - lomba untuk terlibat aktif di dalam peluang bisnis baru ini, seperti Virgin Galactic yang melakukan tandem usaha dengan European Auronautic Defence and Space Company untuk eksplorasi kemungkinan bisnis lebih jauh. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya ketika rezim antariksa klasik lahir. Wisata antariksa adalah fenomena baru yang layak mendapat perhatian lebih dalam dan serius. Peluang bisnis wisata antariksa bukanlah sesuatu yang risk-free melainkan penuh resiko bagi crew dan turis di pesawat antariksa itu sendiri, crew di space port tempat peluncuran wahana antariksa, maupun terhadap publik lainnya. Lebih jauh lagi, kemungkinan polusi, kemungkinan collision, masalah sertifikasi kelayakan penerbangan antariksa, dan masalah cuaca di orbit antariksa adalah masalah masalah yang memerlukan perhatian lebih dalam. Sehingga timbul suatu pertanyaan, apabila wisata antariksa di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim untuk dilakukan maka: (i) instrumen hukum apa yang akan mengaturnya, dan (ii) apakah akan ada organisasi internasional yang akan mengawasinya? II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik Di dalam rezim hukum antariksa klasik, pembahasan mengenai isu ini sama sekali belum tersentuh. Sehingga implikasinya adalah, akan sangat beresiko apabila wisata antariksa hanya dilakukan berdasarkan multi kontrak antara: (i) investor negara, (ii) negara operator wisata antariksa, (iii). operator wisata antariksa turis antariksa, (iv) operator antariksa perusahaan asuransi, dan sebagainya. Sehingga, diperlukan suatu rezim hukum antariksa modern yang juga membahas dan mengatur masalah ini. III. International Civil Aviation Organization (ICAO) untuk Wisata Antariksa? ICAO dibentuk pada Oktober 1947 dan diberi mandat untuk menjadi organisasi internasional yang berwenang mengenai segala sesuatu yang berurusan dengan penerbangan udara sipil, seperti: pengaturan frekwensi radio, pengaturan sistem komunikasi pilot dengan stasiun udara, penetapan prosedur dan mekanisme untuk kontrol penerbangan, dan sebagainya. Seiring dengan fenomena wisata antariksa ini, berkembang juga wacana untuk menjadikan 21

7 Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS ICAO sebagai organisasi yang juga akan melakukan kontrol dan berwenang terhadap penerbangan antariksa. Alasan perlunya perluasan mandat dan kewenangan ICAO sehubungan dengan wisata antariksa adalah bahwa baik penerbangan udara maupun penerbangan antariksa memiliki rutinitas, aktivitas dan mekanisme kontrol yang sama. Dimana kesemuanya itu menggunakan teknologi komunikasi dan remote sensing satelit. Oleh karenanya, sistem, prosedur, dan mekanisme penerbangan udara yang diatur dalam ICAO sekarang bisa diperluas mencakup penerbangan antariksa dengan sistem, prosedur, dan mekanisme yang kurang lebih sama. Berkaitan dengan wacana ini, penulis setuju dan memandang perlunya suatu organisasi inter-nasional baru yang akan mengatur hal tersebut, namun, apakah organisasi baru tersebut merupakan organisasi internasional yang terpisah dari ICAO atau hanya merupakan perluasan tugas dan mandat ICAO dilakukan penelitian lebih lanjut. C. MITIGASI SAMPAH ANTARIKSA Sampah antariksa merupakan common problems bagi space faring states dan non space faring states dan merupakan suatu ancaman terhadap keamanan antariksa. Benturan sampah antariksa sekecil apapun, akan dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan hancurnya suatu aset antariksa, seperti sampah antariksa dengan diameter sebesar 1 cm apabila bersinggungan dengan satelit pada kecepatan 80 mil per jam dapat menyebabkan kerusakan fatal pada satelit tersebut. Pada 2007, sub-komite ilmiah dan teknis dari UNCOPUOS telah mengadopsi UN Guideline on Space Debris Mitigation (Debris Guideline) yang mengatur prosedur prosedur yang dipandang dapat mengurangi jumlah sampah antariksa. Pada 31 Maret 2009, sub-komite hukum UNCOPUOS telah mengadakan sesi dengan salah satu pembahasannya adalah tentang Debris Guideline. Namun, sesi subkomite hukum UNCOPUOS tersebut belum menghasilkan komitmen baru dalam mitigasi sampah antariksa. Penulis berpendapat bahwa sesi pada level subkomite hukum UNCOPUOS yang membahas mengenai mitigasi sampah antariksa dan Debris Guideline harus terus ditingkatkan, hingga terciptanya suatu komitmen negara negara untuk membentuk intrumen hukum antariksa baru yang mengatur mengenai space debris. REZIM HUKUM ANTARIKSA KLASIK DARI PERSPEKTIF INDONESIA DAN CELAH HUKUMNYA Indonesia memandang hukum antariksa sebagai suatu kajian konseptual. Namun, penulis berpendapat bahwa terdapat tiga kajian konseptual yang belum diatur di dalam rezim hukum antariksa klasik. Tiga hal tersebut antara lain definisi dan delimitasi antariksa; hak berdaulat dan kedaulatan pada Geo Stationary Orbit dan pemisahan tanggung jawab dari definisi Launching State. 22

8 OPINIO JURIS Volume 01 Januari - Maret 2010 I. Definisi dan Delimitasi Antariksa Masalah definisi dan delimitasi antariksa sudah menjadi pembahasan sub komite hukum UNCOPUOS sejak 1966, berdasarkan proposal dari Perancis. Dalam proposal tersebut ditekankan pentingnya mengatur definisi dan batas terendah yang jelas dari antariksa, sehingga perbedaan antara ruang antariksa dengan ruang udara dapat terukur. Namun demikian, Amerika Serikat memandang masalah ini sebagai suatu hal yang tidak perlu menjadi bahan perbincangan. Hal inilah yang menjadi kendala mengapa tarik ulur kepentingan di dalam isu ini sangatlah panjang dan tidak menentu. Sejak disepakatinya Space Treaty hingga tahun artikel ini ditulis, masalah ini belum terselesaikan. Dengan demikian, definisi dan delimitasi antariksa merupakan suatu isu klasik yang telah larut selama hampir separuh abad lamanya. Dalam isu definisi dan delimitasi antariksa, Indonesia menggunakan pendekatan spasial (kewilayahan) dengan beberapa referensi teori spasial sebagai berikut: a) Batas kedaulatan negara berada pada lapisan atmosfir dimana komposisi gasnya membentuk lapisan - lapisan (layers), yaitu pada ketinggian 80 km di atas permukaan air laut. b) Batas kemampuan terbang pesawat udara yaitu km di atas permukaan air laut. c) Perigee terendah dari orbit satelit yaitu ketinggian antara km di atas permukaan air laut. d) Garis von Karman yang mengajukan batas terendah antariksa berada pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut. e) Teori penguasaan efektif yang menekankan kemampuan negara untuk melakukan pengawasan di dalam zona tersebut, yaitu 100 km di atas permukaan air laut. Berdasarkan kajian dan penelitian para ahli sebagaimana tertuang dalam laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, pendekatan teori spasial dalam menentukan definisi dan delimitasi antariksa bagi kepentingan nasional Indonesia adalah pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut. Sehingga, ruang dengan ketinggian di bawah 100 km permukaan air laut disebut dengan ruang udara dan tunduk kepada Chicago Convention 1944, sedangkan ruang di atas 100 km permukaan air laut disebut ruang antariksa dan tunduk kepada rezim hukum antariksa. Penulis berpendapat bahwa upaya definisi dan delimitasi antariksa haruslah terus diperjuangkan dalam pembahasan sub-komite hukum UNCOPUOS. Bila tercapainya kesepakatan dalam pembahasan mengenai isu ini, maka kepastian hukum di dalam ruang antariksa dapat tercipta. Oleh karenanya, akan membawa kepastian hukum lainnya bagi seluruh negara terutama non-space faring states, seperti Indonesia dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ruang antariksa-nya. 23

9 Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS II. Hak Berdaulat dan Kedaulatan pada Geo Stationary Orbit (GSO) a. Pengertian GSO GSO merupakan suatu orbit lingkaran yang terletak sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± km dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi, berupa cincin dengan diameter ± 150 km dan mempunyai ketebalan ± 70 km. Keistimewaan dari GSO adalah bahwa satelit yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai dengan rotasi bumi itu sendiri. Keistimewaan lain dari GSO adalah jika kita menempatkan sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya dengan lebar 17 saja akan dapat meliput sepertiga dari bagian bumi. Jalur GSO hanya terdapat di atas negara - negara khatulistiwa seperti Columbia, Congo, Equador, Kenya, Uganda, Zaire, Brazil, dan Indonesia. Indonesia adalah satu - satunya negara yang memiliki jalur GSO terpanjang diatas wilayah teritorialnya, yakni 13% dari panjang GSO seluruhnya atau sepanjang km. b. Arti Penting GSO Bagi Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang garis khatulistiwa dan merupakan negara khatulistiwa yang terpanjang. Secara geografis-strategis Indonesia merupakan negara yang mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada di atas wilayah Indonesia. Dengan memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit-satelit, maka kelangsungan dan keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin. c. Status Hukum GSO Secara yuridis, status GSO sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada pasal 33 (2) International Telecommunication Union (ITU) Convention 1973 sebagai berikut: A using frequency bands for space radio services members shall bear in mind that radio frequencies and the Geostationary satellites orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently and economically. Penjelasan di atas menegaskan bahwa GSO merupakan sumber daya alam yang amat terbatas baik dari panjang jalur tersebut namun dari keterbatasan satelit yang dapat ditempatkan pada GSO. Namun pada kenyataannya, jalur tersebut didominasi oleh negaranegara yang telah mempunyai kemampuan teknologi tinggi, negara berkembang khususnya negara - negara khatulistiwa yang berada di bawah jalur tersebut tidak mampu mengikutinya. d. Hak Berdaulat dalam GSO Dengan dikembangkannya prinsip first come first served oleh space faring states 24

10 OPINIO JURIS Volume 01 Januari - Maret 2010 dalam penguasaan GSO, telah membawa suasana competition serta mengakibatkan lahirnya technological appropriation. Hal ini menambah keadaan kelompok negara khatulistiwa semakin dirugikan. Kelompok negara khatulistiwa menginginkan adanya suatu pengaturan hukum international yang tidak merugikan posisi mereka dalam rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut. Pada awalnya, negara khatulistiwa tersebut mencoba untuk melakukan suatu klaim terhadap GSO yakni dengan dicetuskannya Deklarasi Bogota Namun, kelompok space faring states, terutama Amerika Serikat, dengan kemampuan teknologinya selalu menekankan efisiensi penggunaan GSO sebagai hal utama yang harus dicapai dalam penyelesaian masalah tersebut sebagai suatu pendekatan teknis, dan menghindari tercapainya suatu penyelesaian dalam kerangka hukum internasional. Oleh karena itu, dalam pembahasan sub-komite ilmiah dan teknik UNCOPUOS, Amerika Serikat selalu memberikan argumentasi teknis yang ditujukan untuk mendukung posisinya dalam subkomite hukum. Sebaliknya kelompok negara khatulistiwa yang pada umumnya belum memiliki satelit bumi, tidak mempunyai jalan lain kecuali menempuh jalan hukum serta menghindari perdebatan teknis. Kelompok negara ini pada prinsipnya memperjuangkan hak berdaulat penuh atas ruang antariksa di atas wilayahnya, dalam hal ini GSO. e. Kedaulatan dalam GSO Bentuk lain dari perjuangan Indonesia terhadap GSO adalah dengan dikeluarkannya national statement Indonesia pada sidang UNCOPUOS 1979 yang menuntut kedaulatan atas GSO. National Statement ini kemudian diterjemahkan menjadi Posisi Dasar RI 1979 atas GSO yang di dalamnya berisi tuntutan kedaulatan Indonesia atas GSO yang juga disertai dengan kompromi sebagai berikut: i) Pengakuan terhadap GSO sebagai sumber alam terbatas yang mempunyai ciri - ciri khusus; ii) Negara - negara khatulistiwa memiliki hak berdaulat (souvereign right) atas GSO di atas wilayahnya; iii) Hak-hak berdaulat tersebut hanya untuk tujuan-tujuan yang ditentukan (specified), antara lain: a) bagi kepentingan rakyat negaranegara khatulistiwa; b) pencegahan terjadinya titik jenuh (saturated) pada orbit GSO; c) pencegah akibat-akibat yang merugikan negara-negara khatulistiwa dikemudian hari. iv) Pada prinsipnya memberikan kebebasan terhadap satelit - satelit yang digunakan untuk kemanusiaan dan perdamaian. Dalam hal ini, Indonesia secara konsisten melakukan tuntutan yang sama sebagaimana tertuang di dalam national statement 2008 di hadapan sub-komite teknik dan ilmiah UNCOPUOS, agar negara-negara di khatulistiwa memiliki hak khusus dalam pemanfaatan GSO yang berada di atas ruang wilayahnya. 25

11 Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS f. Fondasi Hukum Nasional atas GSO Perjuangan diplomasi Indonesia atas GSO berlanjut dengan penguatan fondasi hukum yang memuat materi mengenai GSO sebagaimana tertuang dalam kebijakan nasional sebagai berikut: i) Pasal 30 Ayat 3, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan Negara sebagai berikut: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara bertugas: a) Selaku penegak kedaulatan negara di udara bertugas mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara nasional bersama-sama segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya; Penjelasan resmi pasal ini adalah: Yang dimaksud dengan tugas penegakan kedaulatan negara diartikan sama dengan penjelasan ayat (2) huruf a pasal ini bagi wilayah udara. Adapun pengertian dirgantara mencakup ruang udara dan antariksa termasuk Orbit Geostasioner yang merupakan sumber daya alam terbatas. ii. Pasal 7, Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi sebagai berikut : Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang terbatas dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah Penjelasan resmi pasal ini adalah: Ketentuan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mengawasi penggunaan dan pemanfaatan frekuensi radio dan orbit geo stasioner bagi penyelenggaraan telekomunikasi dalam negeri sesuai dengan alokasi yang telah ditentukan oleh organisasi telekomunikasi internasional yang mengikat pihak Indonesia. g. Kekosongan Hukum dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik Berkenaan Mengenai GSO Rezim hukum antariksa klasik, adalah suatu produk yang dibuat hanya untuk menjelaskan prinsip dan norma dasar mengenai eksplorasi dan eksploitasi antariksa, tanpa pengaturan khusus mengenai GSO, kedaulatan dan hak berdaulat atas GSO. Hal ini dipandang sebagai suatu kesengajaan yang dibuat oleh space faring states, demi kepentingan untuk eksploitasi GSO guna penempatan satelitnya, sementara negara khatulistiwa seperti Indonesia memperhatikan mengenai kemungkinan terjadinya saturasi di dalam eksploitasi tersebut yang secara nyata akan membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia, hendaknya terus melakukan kajian yang mendalam, sistematis dan terkoordinasi dengan baik dengan negara khatulisatiwa lainnya untuk 26

12 OPINIO JURIS Volume 01 Januari - Maret 2010 dapat melahirkan format baru yang dapat diajukan di dalam sidang khusus subkomite hukum UNCOPUOS berikutnya (2010), bersama - sama dengan isu lainnya, yaitu "definisi dan delimitasi antariksa". Apabila sinergi di dalam pembahasan dua topik ini berhasil, langkah terakhir bagi Indonesia adalah membuat suatu hukum nasional yang lebih tegas mengenai definisi dan delimitasi antariksa, GSO, serta hak berdaulat dan kedaulatan di dalamnya. III. Definisi Launching State di dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik Indonesia adalah negara yang memiliki aset dan nilai jual yang sangat tinggi untuk ikut meramaikan industri antariksa. Aset dan nilai jual tersebut adalah posisi Indonesia yang berlokasi langsung di bawah GSO dengan jalur terpanjang yaitu km. Hal ini berimplikasi pada setidak - tidaknya empat hal: a) Implikasi ekonomis dimana sesungguhnya Indonesia dapat menawarkan paket yang lebih terjangkau kepada negara-negara peluncur satelit apabila meluncurkan satelitnya dari spaceport yang dibangun di Indonesia dan disisi lainnya, Indonesia dapat mengambil keuntungan ekonomi dan pembangunan daerah yang akan dijadikan spaceport antariksa tersebut. b) Implikasi efisiensi, dimana negara peluncur satelit dapat merasa lebih secure apabila satelitnya di luncurkan dari spaceport Indonesia, karena satelit akan lebih mudah untuk berposisi di dalam GSO yang terletak langsung di atas wilayah Indonesia. c) Implikasi eksklusivitas, dimana Indonesia akan mendapatkan informasi dan teknologi antariksa yang lebih baik dibandingkan negara lain dengan tingginya frekwensi peluncuran satelit yang dilaksanakan di Indonesia. Kemungkinan diikutsertakannya Indonesia di dalam proyekproyek bergengsi seperti ISS pun akan semakin tinggi. d) Implikasi deterrence (daya tangkal), dimana dengan semakin aktifnya suatu negara terhadap aktivitas dan penguasaan teknologi antariksa, maka semakin dekat negara tersebut dengan kemampuan deterrence yang lebih besar terhadap negara lain. Namun Indonesia belum mengambil opsi tersebut 3 dikarenakan masih adanya suatu ganjalan yang terdapat di dalam rezim hukum antariksa klasik, yaitu disatukannya definisi negara yang meluncurkan satelit dengan negara yang menyediakan spaceport bagi pluncuran satelit sebagai launching state. Sebagai contoh, Pasal 7 dari Space Treaty mengatakan: each State Party to the Treaty that launches or procure the launching of an object into outer space and each State Party from whose territory or facility an object is launched, is internationally liable for damage to another State Party to the Treaty 3. Sementara Malaysia, Singapura, dan India melihat peluang ini dan sekarang sedang membangun spaceport di negaranya masing masing 27

13 Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS Sangatlah tidak wajar apabila negara pemilik satelit dan negara spaceport memiliki tanggung jawab yang sama apabila terjadi kerusakan yang timbul dari peluncuran satelit tersebut. Kondisinya akan sedikit berbeda apabila bentuk tanggung jawab antara negara pemilik satelit dan negara spaceport di pisahkan secara proporsional. Penulis memandang pasal karet di dalam rezim hukum antariksa klasik seperti ini harus segera diamandemen, agar sesuai dengan hakekat Pasal 1 Space Treaty, yaitu exploration and exploitation of outer space shall be carried out for the benefit and in the interest of all countries KESIMPULAN Perkembangan isu eksplorasi dan eksploitasi antariksa memiliki dua pendekatan yang berbeda antara space faring states dan non space faring states seperti Indonesia. Space faring states pada umumnya sudah melakukan pendekatan yang lebih berorientasi pada aplikasi teknis dan industrialisasi antariksa sementara Indonesia masih berorientasi pada perdebatan (atau boleh dikatakan perjuangan) konseptual. Namun demikian, terdapat satu benang merah yang dapat diambil dari perbedaan derajat kepentingan antara space faring states dan Indonesia. Kedua kelompok negara ini sama-sama membutuhkan suatu rezim hukum antariksa modern yang lebih baik, lebih komprehensif, dan lebih detail yang mengatur seluruh kepentingan yang ada di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa. Sehingga, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa kini saatnya membuat suatu rezim hukum antariksa modern yang bertumpu pada tiga (3) hal: a) amandemen atau penyempurnaan terhadap rezim hukum antariksa klasik yang sudah ada; b) perumusan instrumen - instrumen hukum antariksa baru yang mengatur elemen elemen yang dibahas di dalam artikel ini, dan c) penciptaan dua organisasi internasional baru sehingga dimasa yang akan datang, isu antariksa memiliki tiga pilar organisasi internasional, yaitu UNCOPUOUS sebagai think thank isu antariksa, satu organisasi yang berwenang mengatur mengenai komersialisasi dan industrialisasi antariksa (termasuk di dalamnya wisata antariksa, aplikasi google map dan navigator, dan sebagainya), dan organisasi internasional yang terakhir merupakan perwujudan institusional conference of disarmanment sebagai organisasi watchdog untuk mengatur mengenai aspek politik-keamanan di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa. SARAN Perbedaan pendekatan antara space faring states dan non space faring states perlu dijembatani, untuk mencegah suatu keterlambatan dalam membuat suatu aturan yang jelas dan tegas yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Ini adalah cermin untuk kita semua untuk mengupayakan suatu aturan hukum yang lebih jelas lagi di dalam upaya eksplorasi dan eksploitasi antariksa sebelum semuanya terlambat. 28

14 OPINIO JURIS Volume 01 Januari - Maret 2010 Ada dua kesalahan fatal yang memberikan kontribusi langsung terhadap terjadinya global warming. Pertama; tidak adanya komitmen dan aturan hukum yang jelas dalam eksploitasi sektor industri. Kedua; setmind yang salah yang dilakukan oleh negara - negara pada saat itu. Negara maju melakukan setmind bahwa demi kepentingan nasional masing-masing negara dalam melakukan eksploitasi industri yang dilakukan secara masif tanpa memperdulikan negara berkembang, lingkungan dan kaedah kaedah yang ada. Di lain pihak, negara berkembang memiliki setmind bahwa belum menjadi kepentingan nasionalnya untuk membicarakan eksploitasi industri secara terukur dan terencana. Global warming dan isu Kopenhagen adalah suatu momentum untuk dapat dijadikan cermin agar kesalahan yang sama tidak terulang dalam pembahasan isu antariksa, sehingga saran yang dapat diberikan guna pencapaian suatu rezim antariksa modern adalah: a) pembangunan kesadaran (awareness) yang berkelanjutan akan perlunya suatu rezim hukum antariksa yang lebih baik yang memenuhi kebutuhan - kebutuhan dan persoalan - persoalan antariksa yang berkembang pada masa sekarang harus terus ditingkatkan oleh semua negara termasuk Indonesia; dan b) Perubahan pola pikir (setmind) bahwa isu antariksa tidaklah merupakan isu sekelompok negara tertentu saja. Indonesia seharusnya bisa memposisikan diri sebagai negara yang memiliki kepentingan dan lingkungan yang strategis dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi antariksa pada masa yang akan datang. 29

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 133) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 SILABUS Mata Kuliah : Hukum Udara dan Ruang Angkasa Kode Mata Kuliah : HKIn 2086 SKS : 2 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati.

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati. TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN BENDA ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Waode Zessica Harta Setiati Dosen Pembimbing I Agus Pramono, Dosen Pembimbing II Soekotjo

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL. geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi

BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL. geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Negara Kolong Di ruang angkasa luar yang dijuga disebut antariksa terdapat orbit geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008. BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA Oleh : Dimitri Anggrea Noor I Ketut Sudiarta Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap Negara mempunyai kepentingan yang berbeda dalam mewujudkan tujuan nasionalnya. Oleh karena itu, dunia kini dihadapkan dengan berbagai pertentangan kepentingan

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA A. Pembagian Hukum Udara dan Ruang Angkasa Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu diteliti apa saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi ruang angkasa pada masa sekarang telah bergerak cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat ruang angkasa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1985 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TELEKOMUNIKASI INTERNASIONAL (INTERNATIONAL TELECOMMUNICATION CONVENTION NAIROBI, 1982) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN.

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN. KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN Oleh Dani Adi Wicaksana Ida Bagus Wyasa Putra Made Maharta Yasa Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO).

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). 8 BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). Penempatan satelit di wilayah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI 1 Introduksi: Isu proliferasi senjata nuklir merupaka salah satu isu yang menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pentingnya isu nuklir terlihat dari dibuatnya

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972

TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Oleh : SILWANUS ULI SIMAMORA Pembimbing I: Dr. Mexasasai Indra, SH.,M.H.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

GPS (Global Positioning Sistem)

GPS (Global Positioning Sistem) Global Positioning Sistem atau yang biasa disebut dengan GPS adalah suatu sistem yang berguna untuk menentukan letak suatu lokasi di permukaan bumi dengan koordinat lintang dan bujur dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten No.133, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5435) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT, PRODUCTION, STOCKPILING AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR DESTRUCTION

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010. BAB 4 KESIMPULAN Korea Utara sejak tahun 1950 telah menjadi ancaman utama bagi keamanan kawasan Asia Timur. Korea Utara telah mengancam Korea Selatan dengan invasinya. Kemudian Korea Utara dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jepang merupakan negara yang unik karena konsep pasifis dan anti militer yang dimilikinya walaupun memiliki potensi besar untuk memiliki militer yang kuat. Keunikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA E.... Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama kepada Hukum Internasional.

Lebih terperinci

URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK

URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK URGENSI DAN EFEKTIVITAS PENGATURAN PENCEGAHAN PENDANAAN PROLIFERASI SENJATA PEMUSNAH MASSAL DISAMPAIKAN OLEH: DR. DIAN EDIANA RAE WAKIL KEPALA PPATK INDONESIA, RESOLUSI DK PBB, DAN FATF RESOLUSI DK PBB

Lebih terperinci

2014, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of the State in the Exploration

2014, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of the State in the Exploration BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1013, 2014 KEMENKOMINFO. Frekuensi Radio. Dinas Satelit. Orbit Satelit. Spektrum. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2014

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT U M U M Spektrum frekuensi radio dan orbit satelit merupakan sumber

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1718 (2006), Rekomendasi 7 FATF (2016), dan PERATURAN BERSAMA PEMBEKUAN ASSET (2017)

RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1718 (2006), Rekomendasi 7 FATF (2016), dan PERATURAN BERSAMA PEMBEKUAN ASSET (2017) RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1718 (2006), Rekomendasi 7 FATF (2016), dan PERATURAN BERSAMA PEMBEKUAN ASSET (2017) Oleh: Muhsin Syihab Plt. Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Agustus 2017 Senjata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA

APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA Penulis: : Suryo Sakti Hadiwijoyo Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON THE RESCUE OF ASTRONAUTS, THE RETURN OF ASTRONAUTS AND THE RETURN OF OBJECTS LAUNCHED INTO OUTER SPACE (PERSETUJUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO UNTUK DINAS SATELIT DAN ORBIT SATELIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS)

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS) TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS) (STUDI TERHADAP INSIDEN TABRAKAN SAMPAH ANGKASA MILIK CINA DENGAN SATELIT MILIK RUSIA) TIARA NOOR PRATIWI, SETYO WIDAGDO, S.H.,M.Hum,

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

Isi Perjanjian DCA RI Singapura

Isi Perjanjian DCA RI Singapura 105 Lampiran 1 Isi Perjanjian DCA RI Singapura Pasal 1, Tujuan Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk membentuk suatu kerangka kerjasama strategis yang komprehensif guna meningkatkan kerjasama bilateral

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT, PRODUCTION, STOCKPILING AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti penemuan ilmiah Johann Kepler dari abad ketujuh belas pada hukum

BAB I PENDAHULUAN. seperti penemuan ilmiah Johann Kepler dari abad ketujuh belas pada hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keinginan untuk melampaui langit dan menjelajahi ruang angkasa sudah menjadi bagian dari kesadaran manusia yang dibuktikan dengan banyaknya mitos atau karya seni yang

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Neg

2 Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Neg LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.200, 2015 PERTAHANAN. Pertahanan Negara. 2015-2019 Kebijakan Umum. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 2015 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

OEPARTEMEN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA BUKU PUTIH PERTAHANAN INDONESIA

OEPARTEMEN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA BUKU PUTIH PERTAHANAN INDONESIA OEPARTEMEN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA BUKU PUTIH PERTAHANAN INDONESIA 2008 DAFTAR 151 PEN D A H U l U A N... 1 Latar Belakang Buku Putih.................................. 1 Esensi Buku Putih..............................4

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini. BAB V KESIMPULAN Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

Pengertian Dasar & Jenisnya. Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional. By Dewi Triwahyuni

Pengertian Dasar & Jenisnya. Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional. By Dewi Triwahyuni Pengertian Dasar & Jenisnya Mata Kuliah Studi Keamanan Internasional By Dewi Triwahyuni Definisi : Keamanan (security) secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan mempertahankan diri (survival) dalam

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pengaturan Kegiatan Pertambangan di Bulan dan Benda Langit Lainnya menurut The Agreement Governing the Activities of States on The Moon and Other Celestial Bodies 1979

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia akan satelit untuk keperluan komunikasi, navigasi, pengamatan dan sebagainya berkembang semakin pesat. Perkembangan tersebut mendorong pengembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika Perang Dunia Pertama terjadi, tren utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua terjadi Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 21, 1999 PERJANJIAN. RATIFIKASI. INMARSAT. SATELIT. KONVENSI. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

PENGARUH INTERNATIONAL CODE OF CONDUCT FOR OUTER SPACE ACTIVITIES TERHADAP POSISI INDONESIA PADA ASPEK SPACE SECURITY. Maulidya Candra Dwi Putri

PENGARUH INTERNATIONAL CODE OF CONDUCT FOR OUTER SPACE ACTIVITIES TERHADAP POSISI INDONESIA PADA ASPEK SPACE SECURITY. Maulidya Candra Dwi Putri PENGARUH INTERNATIONAL CODE OF CONDUCT FOR OUTER SPACE ACTIVITIES TERHADAP POSISI INDONESIA PADA ASPEK SPACE SECURITY Maulidya Candra Dwi Putri Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Email: maulidyacdp@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

Nessia Marga Leta Staf Bidang Pengkajian Hukum Kedirgantaraan Diterima 8 April 2012; Disetujui 22 Juni 2012 ABSTRACK

Nessia Marga Leta Staf Bidang Pengkajian Hukum Kedirgantaraan   Diterima 8 April 2012; Disetujui 22 Juni 2012 ABSTRACK Analisis Pengaturan Internasional... (Nessia Marga Leta) ANALISIS PENGATURAN INTERNASIONAL TENTANG PRINSIP MAKSUD DAMAI DAN BENTUK PENERAPANNYA DALAM KEGIATAN ANTARIKSA [ANALYSIS OF INTERNATIONAL REGULATORY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik dalam wujud reaktor nuklir. Pengembangan teknologi nuklir tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. listrik dalam wujud reaktor nuklir. Pengembangan teknologi nuklir tidak hanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal abad ke-20, perkembangan teknologi telah mendatangkan beragam inovasi baru. Salah satunya adalah pengolahan beberapa unsur kimia menjadi senyawa radioaktif

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 14/1999, PENGESAHAN AMENDED CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MOBILE SATELLITE ORGANIZATION (KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH)

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Peranan

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Peranan 138 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Peranan Ideologi Posmarxisme Dalam Perkembangan Gerakan Anti Perang Masyarakat Global. Kesimpulan tersebut merujuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada

Lebih terperinci