TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972"

Transkripsi

1 TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Oleh : SILWANUS ULI SIMAMORA Pembimbing I: Dr. Mexasasai Indra, SH.,M.H. Pembimbing II : Ledy Diana, SH., MH Alamat: Jalan Tentram Nomor 22B Pekanbaru. silwanus.simamora@yahoo.com ABSTRACT Aerospace is an air space where no gases are air or atmosphere in which there are space objects such as the moon and other celestial objects. But in the utilization of space still has not been done in a peaceful and balanced in their utilization, because the activity did not see the impact of space activities such as the creation of space debris. Space debris is a man-made celestial body that no longer work in the area of outer space. The purpose of this thesis are: First, to determine the setting launch of space objects; Second, to determine the accountability of the launching State on space debris, a former celestial body that is launched. This type of research used in this study, using normative legal research. In this research, the authors conducted a study of the principles of law which starts on applicable international agreements by identifying the rules that have been formulated in international agreements. From the research, there are three main things that can be inferred. First, the development of the launch of space objects until now largely done by space power and space activities require a very large cost. Second, Accountability launching State on space debris, a former space objects were launched into space consist of two (2) the principle of state responsibility is absolute liability, provided for in Article 2 and Article 4 (a) Liability Convention 1972 and based on fault liability, provided for in Article 3 and Article 4 (b) Liability Convention1972. Keywords: Space Debris Responsibility - Liability Convention 1972 JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

2 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum Uni Soviet berhasil meluncurkan Sputnik I-nya, status hukum kegiatan manusia di ruang angkasa belum merupakan masalah-masalah yang diperhatikan manusia, karena dianggap suatu hal yang spekulatif belaka. Belum ada kesadaran maupun perhitungan akan arti kegiatan-kegiatan tersebut bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia di bumi kita. Maka sejak Sputnik I, yakni tepatnya tanggal 4 Oktober 1957, negara-negara mulai mempersoalkan dan memecahkan segala implikasi ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum dan terutama segala sesuatunya yang ada sangkut pautnya dengan pengembangan kekuatan militer di ruang angkasa. 1 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan secara bulat menyepakati prinsip bahwa hukum internasional dan juga Piagam PBB, diterapkan dan berlaku terhadap ruang angkasa, bulan, dan benda-benda langit lainya, dan bahwa ruang angkasa, bulan, dan benda-benda langit lainnya ini bebas untuk dieksplorasi serta digunakan oleh semua negara sesuai dengan hukum internasional dan tidak 1 Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional (penempatan Urgensinya), Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 8. dibenarkan untuk dijadikan objek pemilikan. 2. Pada dasarnya, peluncuran benda angkasa merupakan bentuk kemajuan teknologi dalam memanfaatkan ruang angkasa, yang memberikan dampak positif bagi kualitas kehidupan manusia. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari peningkatan kualitas dan taraf hidup manusia, adanya berbagai penelitian diberbagai bidang ilmu pengetahuan, dan pencarian sumber-sumber alam baru dengan menggunakan berbagai jenis benda-benda angkasa. Namun, dalam aktivitas pemanfaatan ruang angkasa guna peningkatan kualitas hidup manusia juga dapat menimbulkan berbagai kerugian baik di darat, ruang udara, maupun di ruang angkasa itu sendiri. Kerugian merupakan dampak negatif yang bisa dirasakan oleh umat manusia akibat persaingan mengelolah ruang angkasa. Beberapa satelit diciptakan dengan menggunakan bahan radioaktif dan penggunaan senjata nuklir untuk aktivitas di ruang angkasa. Apabila peluncuran satelit tersebut mengalami kegagalan dan jatuh di wilayah negara lain secara otomatis dapat menimbulkan kerugian bagi negara-negara yang kejatuhan benda angkasa. Selain itu, dampak negatif lain dari peluncuran space object ke angkasa akan merobek lapisan ozone yang berfungsi sebagai filter sinar ultra violet. 2 Agus Pramono, Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hlm. 54. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

3 Selain itu, banyak bendabenda angkasa yang diluncurkan mengalami gagal fungsi (malfunction). Hal tersebut selalu dapat terjadi. Apalagi, bila peluncuran satelit bertenaga nuklir, yang pada umumnya satelit ini berorbit rendah sehingga satelit tersebut mudah mengalami gagal fungsi. Satelit pula memiliki umur (life-time), dan bila telah habis masanya akan menambah banyaknya satelit yang membahayakan benda angkasa yang masih berfungsi, maupun dapat jatuh dipermukaan bumi. Dampak negatifnya dapat dirasakan oleh negara peluncur dan negara-negara lain yang terlibat dalam peluncuran benda angkasa tersebut, bahkan negara yang tidak ikut serta dalam kegiatan peluncuran. Berdasarkan hukum internasional, khususnya dalam Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972, suatu negara dapat dimintakan pertanggungjawabannya bila benda angkasa milik negara yang telah menjadi sampah angkasa jatuh dan merugikan wilayah negara lain. 3 Hal ini yang menjadi pertimbangan bagi penulis untuk membahas segala pemasalahan yang terjadi di luar angkasa khususnya permasalahan sampah luar angkasa yang semakin banyak, dengan harapan agar hukum internasional lebih di tegakan untuk meminimalis 3 Pasal 2 Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects sampah yang ada di luar angkasa, maka penulis merumuskan dalam judul : Tanggungjawab Negara Peluncur Benda Angkasa Terkait Masalah Sampah Luar Angkasa (Space Debris) Berdasarkan Liabiliy Convention 1972 B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengaturan mengenai peluncuran benda angkasa (space object) telah memberikan perlindungan hukum kepada negara berkembang? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban negara peluncur atas sampah luar angkasa (space debris) yang merupakan bekas benda ruang angkasa yang di luncurkan? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai peluncuran benda angkasa memberikan perlindungan hukum kepada negara berkembang. b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban negara peluncur atas sampah luar angkasa yang merupakan bekas benda ruang angkasa yang di luncurkan. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut: a. Sebagai syarat untuk menyelesaikan perkuliahan Strata Satu Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Riau. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

4 b. Memberikan sumbangan pemikiran di dunia akademik di bidang ilmu hukum khususnya dibidang hukum internasional tentang pentingnya pemanfaatan wilayah ruang angkasa dan kerugiannya. c. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi pemerintah, para pemerhati pemanfaatan kawasan luar angkasa serta kerugiannya maupun bagi masyarakat pada umumnya. D. Kerangka Teori 1. Prinsip Law Making Treaties Law making treaties (perjanjian membuat hukum) adalah perjanjian yang menciptakan kaidah atau prinsip-prinsip hukum yang tidak hanya mengikat pada peserta perjanjian, tetapi juga mengikat pada pihak ketiga dan perjanjian ini bersifat terbuka. Perjanjian ini membuka atau memberi kesempatan pada pihak yang bukan peserta untuk ikut sebagai pihak dalam perjanjian tersebut. Perjanjian jenis ini sebagian besar merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional yang sudah berlaku sebelumnya ataupun berisikan progressive development dalam hukum internasional yang diterima sebagai hukum kebiasaan baru atau sebagai prinsip hukum yang berlaku universal 4 2. Teori Kedaulatan Negara Setiap negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada ataupun yang terjadi di wilayah atau daerah teritorialnya, sebagai implementasi dimilikinya kedaulatan, negara berwenang menetapkan ketentuanketentuan hukum yang berlaku di negaranya untuk memberi ketertiban maupun keadilan. Jean Bodin adalah orang pertama yang memberi bentuk ilmiah pada teori kedaulatan (souvereiniteit). Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam negara. Sifat kedaulatan itu tunggal asli, abadi dan tak terbagi-bagi Teori Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) Menurut hukum internasional, dalam persoalanpersoalan tanggung jawab negara, suatu negara penuntut berhak atas ganti rugi apabila tuntutannya telah dibenarkan, terlepas dari apakah tindakan melawan hukum yang menjadi pokok tuntutan itu menyebabkan kerugian material, atau kerugian keuangan. 6 Secara lengkap, tanggung jawab Negara diatur dalam 4 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu pengantar, Rajawali Pers,Yogyakarta, 2009, hlm Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2011, hlm Ibid hlm JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

5 pasal draft ILC. Bentuk ganti rugi diatur dalam Pasal 31, yaitu : 7 1. Restutio adalah kewajiban mengembalikan keadaan yang dirugikan seperti semula. 2. Compensation adalah kewajiban ganti rugi berupa materil atau uang. 3. Satisfaction adalah penyesalan, permintaan secara damai. Aktivitas ruang angkasa dianggap sebagai aktivitas yang beresiko tinggi sehingga negara akan selalu dianggap bertanggung jawab absolut atau mutlak (strict liability principle) terhadap segala kerugian yang muncul dari aktivitas tersebut di permukaan bumi maupun di ruang udara.. 8 Namun demikian, bila kerugian muncul di ruang angkasa maka prinsip tanggung jawab yang ada adalah based on fault principle atau tanggung jawab berdasarkan kelalaian. E. Kerangka Konseptual 1. Benda Angkasa (Space Object) meliputi komponen-komponen benda antariksa, kendaraan peluncur dan bagianbagiannya Space debris are all man made objects including fragments and elements thereof, in Earth Orbit or re- 7 Pasal 31 Draft article on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, ILC November Sefriani,Op.cit, hlm Pasal 1 butir 4 Space Object entering the atmosphere, that are non functional. 10 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Pada penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertitik tolak pada perjanjian internasional yang berlaku dengan cara mengidentifikasi kaidah-kaidah yang telah dirumuskan didalam perjanjian internasional tersebut. Jika dilihat dari sifatnya maka penelitian ini tergolong kepada deskriptif, yaitu penelitian ini menggambarkan keadaan yang timbul karena adanya peraturan hukum yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara atas kerugian yang disebabkan benda angkasa yang diluncurkan. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif, sumber data yang digunakan penulis adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 3(tiga), yaitu: a) Bahan Hukum Primer b) Bahan Hukum Sekunder c) Bahan Hukum Tertier. 3. Teknik Pengumpulan Data 10 Nurul Sri Fatmawati, Analisis Implementasi Pedoman PBB tentang Mitigasi Sampah Antariksa (Analysis on Implementation of UN Space Debris Mitigation Guidelines), Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 9 No. 2 Desember 2012, hlm JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

6 Dalam penelitian penulis mengumpulkan data melalui studi kepustakaan untuk memperoleh informasi dari buku-buku, perundangundangan dan teori-teori yang berkembang, pendapat para ahli serta hal lain yang berhubungkan dengan penelitian ini. 4. Analisis Data Dalam menarik kesimpulan dapat digunakan dengan metode berpikir deduktif, yaitu suatu penarikan kesimpulan dari yang bersifat umum kepada yang bersifat khusus. 11 TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Udara dan Angkasa Hukum udara dan ruang angkasa (antariksa) merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relatif baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke-20 setelah munculnya pesawat udara. Oleh karena itu, berbeda dengan hukum laut yang yang pada umumnya bersumber pada hukum kebiasaan, hukum udara dan antariksa terutama didasarkan pada ketentuan-ketentuan konvensional, sedangkan hukum kebiasaan hanya mempunyai peran tambahan dalam pembentukan hukum udara dan antariksa 1. Hukum Udara 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 31. Berdasarkan praktik dan perkembangan yang terjadi selama Perang Dunia I, maka status ruang udara nasional menjadi jelas yaitu negarnegara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan wilayah laut. Berbeda dengan hukum laut, pada hukum udara tidak ada hak lintas damai melalui ruang udara nasional, yang ada hanyalah pemberian izin untuk melakukan lintas udara baik secara unilateral atau berdasarkan perstejuan bilateral maupun konvensikonvensi multilateral kepada pesawat udara sipil asing Hukum Angkasa (Antariksa) Bila status yuridik laut lepas merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan hukum internasional yang paling tua, maka sebaliknya status yuridik antariksa merupakan karya yang paling baru karena hanya berkembang semenjak permulaan tahun 1960-an. Hukum antariksa ini bersifat orisinil bila ditinjau dari kondisi bagaimana lahirnya dan dari beberapa aspek, hukum antariksa ini juga bersifat klasik kalau dilihat dari karakteristik pokok rezim yuridiknya seperti halnya dengan rezim laut lepas. Pembentukan hukum antariksa ini ditandai oleh kecepatan dan kelancaran relative dimana 12 Bour Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005, hlm JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

7 masyarakat internasional dengan segera telah dapat merumuskan kesepakatankesepakatan atas sekumpulan prinsip-prinsip dasar segera sesudah peluncuran satelit pertama Sputnik oleh Uni Soviet (Rusia) pada bulan Oktober 1957 dan kemudian disusul oleh peluncuran manusia ke antariksa, Yuri Gagarin, juga dari Uni Soviet B. Tinjauan Umum Tentang Status Yuridis Antariksa Seperti juga halnya dengan laut lepas, antariksa tunduk pada suatu rezim internasional yangditandai oleh pelaksanaan dua prinsip, yaitu tidak dapat dimiliki dan kebebasan penggunaan. 1. Prinsip Tidak Dapat Dimiliki (Non-Appropiation Principle) 2. Prinsip Kebebasan Penggunaan (Freedom Exploitation Principle) C. Hak Berdaulat Dan Kedaulatan Pada Geo Stationary Orbit (GSO) GSO merupakan suatu orbit lingkaran yang terletak sejajar dengan khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± km dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi, berupa cincin dengan diameter ± 150 km dan mempunyai ketebalan ±70 km. keistimewaan dari GSO ini adalah bahwa satelit yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai dengan rotasi bumi itu sendiri Status Hukum GSO Secara yuridik status GSO sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada pasal 33 (2) ITU 1973 sebagai berikut A using frequency bands for space radio services members shall bear in mind that radio frequencies and the Geostationary satellites orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently and economically. 2. Hak Berdaulat dalam GSO Dengan dikembangkanny prinsip first Come first served oleh space faring states dalam penguasaan GSO, telah membawa suasana competition serta mengakibatkan lahirnya technological appropriation. Hal ini menambah keadaan kelompok negara khatulistiwa semakin dirugikan. Kelompok negara khatulistiwa menginginkan adanya suatu pengaturan hukum international yang tidak merugikan posisi mereka dalam rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut. hukum Kedaulatan Dalam GSO National Statement ini kemudian diterjemahkan menjadi Posisi Dasar RI 1979 atas GSO yang di dalamnya berisi tuntutan kedaulatan Indonesia atas GSO yang juga 13 Ibid, hlm Ibid, hlm Sefriani, Op.cit, hlm JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

8 disertai dengan kompromi sebagai berikut: a) Pengakuan terhadap GSO sebagai sumber alam terbatas yang mempunyai ciri cirri khusus; b) Negara - negara khatulistiwa memiliki hak berdaulat (souvereign right) atas GSO di atas wilayahnya; c) Hak-hak berdaulat tersebut hanya untuk tujuan-tujuan yang ditentukan (specified), antara lain: bagi kepentingan rakyat negaranegara khatulistiwa d) Pada prinsipnya memberikan kebebasan terhadap satelit - satelit yang digunakan untuk kemanusiaan dan perdamaian. D. Tinjauan Umum Tentang Kegiatan Ruang Angkasa Lingkungan antariksa merupakan lingkungan terdekat bumi dan menjadi wilayah bersama yang berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Sejak era antariksa tahun 1957, jumlah benda antariksa yang ditempatkan di orbit sekitar bumi terus meningkat, sebagai implikasi dari peningkatan kemampuan Negara-negara dalam penguasaan teknologi antariksa. Berikut adalah sarana dan prasara untuk kegiatan ruang angkasa antara lain roket, satelit. 16 Kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam aktivitas komersil ruang angkasa adalah sebagi berikut: 16 Agus Pramono, Op.cit, hlm telekomunikasi dan informasi, transportasi ruang angkasa. penginderaan jauh (remote sensing, penyiaran langsung (direct broadcasting, penambangan di ruang angkasa (mining), industri fabrikan, stasiun ruang angkasa. 17 E. Tinjauan Umum Tentang Sampah Luar angkasa Sampah ruang angkasa atau Space debris dinyatakan dalam beberapa yaitu space junk, orbital debris, dan space debris. Dalam tulisan ini akan digunakan istilah space debris. Space debris is all man-made objects, incluiding fragments and elements there of in Earth orbit or re-entering the atmosphere, that are nonfunctional dengan pengertian sampah luar angkasa adalah semua benda buatan manusia termasuk pecahannya dan unsureunsur yang ada padanya, di orbit bumi atau masuk ke atmosfer, yang sudah tidak berfungsi lagi. 18 Space debris menjadi masalah apabila ada sampah yang ukurannya terlalu besar menabrak satelit yang masih beroperasi pada orbitnya, sehingga operasional satelit tersebut dapat tertanggu. Terganggunya operasional satelit ini juga akan menyebabkan 17 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Mitra Karya, Jakarta, 2003, hlm Mardianis, Analisis Kompatibiltas Pedoman Mitigasi Sampah Antariksa, Jurnal Analisi dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN Vol. 9 No. 2 Desember 2012, hlm. 93. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

9 gangguan pada peralatan di permukaan bumi yang bergantung pada berfungsinya satelit tersebut dengan baik. Space debris ini juga bisa merusak peralatan-peralatan di International Space Station (ISS), sebuah stasiun luar angkasa internasional yang dibangun oleh berbagai negara untuk melakukan penelitian di luar angkasa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Mengenai Peluncuran Benda Angkasa (Space Object) Menurut Hukum Internasional 1. Pendaftaran Benda Angkasa a) Setiap benda angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa harus diregistrasikan kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pasal II ayat 1 Konvensi Registrasi 1975) b) Bila negara yang terlibat dalam peluncuran benda angkasa tersebut lebih dari satu, maka dalam hal ini mereka hanya dapat bekerjasama dan cukup satu negara saja yang menjadi negara pendaftar dari benda angkasa tersebut (Pasal II ayat 2 Konvensi Registrasi 1975 ) c) Isi dari registrasi ditentukan oleh negara yang bersangkutan (Pasal II ayat 3 Konvensi Registrasi 1975) d) Sekretaris Jendral PBB dapat juga membuat registrasi yang memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:1) Nama negara peluncur; 2) Nomor registrasi; 3) Tanggal dan tempat peluncuran; 4) Memuat parameterparameter sperti periode nodal, inklinasi, apogee (titik orbit terjauh); perigee (titik orbit terdekat bumi), terdapat dalam Pasal II ayat 1 Konvensi Registrasi Namun demikian, informasi tambahan dapat sewaktu-waktu diberikan oleh negara peluncur kepada Sekretaris Jendral PBB jika hal itu dianggap perlu diinformasikan yang terkandung dalam Pasal III dan IV Konvensi Registrasi Pengaturan Internasional Tentang Kewajiban Kerja Sama Dalam Kegiatan Ruang Angkasa Prinsip kerjasama ini akan menjadi suatu keharusan bila menyangkut pelaksanaan Pasal V Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967: 19 State Parties to the Treaty shall regard astrounauts as envoys of mankind in oueter space and shall render to them all possible assistance in the event of accident, distress, or emergency landing on the territory of another State Party or on the high seas. When 19 Pasal V Treaty On Principle Governing The Activities Of States In The Exploration And Use Of Outer Space, Incluiding The Moon And Other Celestial Bodies (Space Treaty), JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

10 astronauts make such a landing, they shall be safely and promptly returned to State of registry of their space vehicle 3. Pengaturan Tentang Peluncuran Benda Angkasa Belum Sepenuhnya Memberikan Perlindungan Kepada Negara Berkembang Ketentuan peluncuran benda angkasa yang diatur dalam Registration Convention 1967, maka tampaklah bahwa konvensi tersebut tidaklah memberikan suatu ketegasan tentang apa yang harus dilaporkan sebagai tambahan informasi yang sewaktu-waktu dapat diberikan oleh negara peluncur kepada Sekretaris Jendral PBB, yang tercantum dalam Pasal IV ayat 2 dari Konvensi ini belum dapat menjamin ketaatan negaranegara yang menjadi state registry. Pada Pasal IV Konvesi Registrasi 1975 seharusnya menentukan beberapa informasi yang perlu dimuat mengenai benda antariksa yang telah diluncurkan, informasi ini hendaknya ditentukan termasuk informasi tentang berat benda angkasa tersebut. Disamping itu sumber daya energi yang digunakan oleh benda-benda angkasa tidak tercantum sebagai salah satu kewajiban yang harus dilaporkan, padahal sumber daya energi yang digunakan oleh benda-benda angkasa adalah sangat penting, sebab penggunaan sumber daya nuklir bagi benda-benda angkasa dewasa ini semakin meningkat, yang mana dapat membahayakan pihak ketiga jika benda-benda yang menggunakan sumber daya nuklir itu jatuh. Sebagaimana umumnya dengan aktivitas luar angkasa tidak dikecualikan dari pengaruh politik dan strategi serta ambisi suatu negara untuk mengembangkan pengaruhnya. Pemanfaatan luar angkasa kenyataannya tidaklah dilakukan dengan kerja sama dimana banyak negara-negara menaklukan luar angkasa untuk kepentingan negaranya pribadi, meskipun dalam Space Treaty 1967 dengan tegas melarang penggunaan kawasan ini untuk ajang perlombaan kekuatan militer dan aktivitasnya yang sifatnya non-peaceful purpose. Namun, aktivitas demikian sukar untuk dikontrol atau dibatasi tanpa adanya kesadaran atau kerjasama negara-negara yang terkait dengan aktivitas tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Diantara Negara- Negara (Anggota PBB) dalam Kaitannya Piagam PBB (1070). 20 Serta Pasal I Space Treaty 1967 yang menyatakan bahwa ruang angkasa termasuk 20 Seru Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 47. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

11 Bulan dan benda-benda langit lainnya, harus bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua negara tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun atas dasar persamaan dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional serta ada kebebasan akses ke semua daerah di benda-benda langit. B. Pertanggungjawaban Negara Peluncur Atas Sampah Luar Angkasa (Space Debris) Yang Merupakan Bekas Benda Ruang Angkasa Yang Di Luncurkan 1. Sistem Tanggung Jawab yang diatur dalam Liability Convention 1972 Mengenai permasalahan tanggung jawab negara terhadap sampah luar angkasa (space debris), meskipun belum ada satu instrumen internasional yang mengatur secara khusus mengenai hal tersebut, tetapi jika melihat ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjianperjanjian internasional mengenai kegiatan keantariksaan, hal tersebut dapat diterapkan dalam hal pertanggungjawaban Negara Peluncur (Launching State) terhadap dampak yang ditimbulkan oleh sampah antariksa yang dihasilkan dari benda ruang angkasa yang diluncurkan oleh negara tersebut. a) Sistem Tanggung Jawab yang diatur dalam Liability Convention ) Pihak-pihak yang bertanggung jawab. Article II A launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its space object on the surface of the Earth or to aircraft flight. Article III In the event of damage being caused elsewhere than on the surface of the Earth to a space object of one launching State or to person s or property on board such a space object by a space of another launching State, the latter shall be liable only if the damage is due to its fault or the fault of persons for whom it is responsible. Negara yang bertanggungjawab dalam kerugian akibat sampah luar angkasa disini bukan hanya negara yang meluncurkan benda angkasa ke ruang angkasa itu saja, melainkan negara yang ikut berperan dalam pelaksanaan peluncuran benda angkasa. Hal ini terdapat dalam artikel I ayat (c). Dengan melihat pada artikel II dan III pada Liability Convention 1972, maka jelaslah konvensi ini memberikan dua alternatif pertanggung jawaban negara terhadap kerugian yang disebabkan oleh space object atau benda angkasa yang sudah tidak berfungsi lagi atau space debris yaitu pertanggungan secara mutak (absolute liability) dan pertanggungjawaban secara JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

12 kesalahan (based on fault liability) 2) Hal - hal yang dipertanggungjawabkan Artikel I ayat (a) The term damage mean loss of life. Proposal injury or other impairment of health; or loss of or damage to property of State or of persons, natural or juridical or property of international intergovernmental orgazations. 3) Pihak-pihak yang berhak atas ganti rugi Artikel I ayat (a) The term damage mean loss of life. Proposal injury or other impairment of health; or loss of or damage to property of State or of persons, natural or juridical or property of international intergovernmental orgazations. Dengan demikian, yang berhak atas ganti rugi adalah mereka yang secara nyata dirugikan, yaitu: (1) orang secara pribadi; (2) negara; (3) badan hukum; (4) organisasi internasional antarpemerintah. Mengenai orang secara individu, badan hukum nasional, maka tuntutan ganti rugi itu harus dilakukan melalui negaranya atau diwakili negaranya. 2. Penyelesaian Sengketa Kegiatan Ruang Angkasa Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No (XXI), tanggal 9 Desember 1966, PBB telah menerima perjanjian mengenai prinsipprinsip yang mengatur kegiatan negara-negara dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa, termasuk Bulan, dan Benda Langit lainnya (Treaty on Principles Governing the Activities of State in the Exploration and use of Outer Space, Incluiding the Moon and Other Celestial Bodies, 1967 di singkat Space Treaty 1967). Perjanjian ini merupakan kerangka dasar hukum antariksa yang dirumuskan oleh Komite PBB tentang Pengunaan Antariksa untuk maksud damai (United Nation Committee on the Peacefull Ises of Outer Space disingkat UNCOPUOS), yang kemudian telah ditetapkan PBB menjadi landasan bagi negaranegara anggotanya dalam melaksanakan kegiatan keantariksaan. 3. Beberapa Case Pertanggungjawaban Peluncur Atas Sampah Luar Angkasa Yang Pernah Terjadi Pada tanggal 24 Januari 1978 dilaporkan bahwa Cosmos-954 milik Uni Soviet yang bertenaga nuklir telah memasuki atmosfir bumi dan mengarah ke wilayah Kanada barat Laut. 21 Dengan demikian, negara Uni Soviet dapat dibebankan tanggung jawab mutlak 21 cosmos-954-case html diakses, Tanggal 11 Maret JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

13 (absolute liability) sebagai negara peluncur satelit Cosmos-954, yang mana pada dasarnya Uni Soviet harus benar-benar bertanggung jawab secara mutlak untuk membayar kompensasi atas kepada Kanada (wilayah negara Kanada yang berada di atas permukaan bumi) sebagai pihak yang menderita kerusakan langsung (direct damage) sebagai akibat satelit Cosmos-954 tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 4 (a) Liability Convention 1972 dan berdasarkan Pasal 12 Selain kasus tanggungjawab negara peluncur secara mutlak, ada juga kasus tanggungjawab negara peluncur atas kelalaian. Seperti satelit Ball Lens In The Space (BLITS) milik Rusia telah menabrak serpihan sampah luar angkasa milik China yaitu bongkahan satelit Fengyun 1C pada tahun Dalam Liability Convention 1972 dijelaskan bahwa tiaptiap negara secara internasional harus bertanggungjawab atas kerugian yang dilakukan oleh negara tersebut. Begitu pula dengan insiden yang terjadi di ruang angkasa yang melibatkan Cina dan Rusia. Dalam hal ini, Cina harus bertanggungjawab atas dasar kelalaian karena kerusakan ini 22 ek/sains/13/03/10/mjeop4-satelit-rusiatertabrak-sampah-luar-angkasa-cina diakses, Tanggal 11 Maret berada di luar angkasa dan Rusia harus membuktikan kesalahan-kesalahan yang disebabkan negara peluncur (Cina) yang terdapat dalam Pasal III Liability Convention Setelah Rusia dapat membuktikannya, maka Rusia berhak ganti rugi yang terkandung dalam Pasal VIII (1) Liability Convention Sehingga dapat disimpulkan bahwa Rusia mempunyai hak untuk memperoleh ganti rugi yang ditujukan kepada Cina sesuai dengan kerugian yang diderita oleh Rusia, yaitu kerusakan satelit BLITS. Ganti rugi yang diterima oleh Rusia ialah kompensasi. Kompensasi menggantikan kerusakan satelit BLITS, yang dilakukan secara diplomatik sesuai Pasal IX Liability Convention Prinsip-Prinsip Pedoman PBB Tentang Mitigasi Sampah Antariksa (Space Debris Mitigation Guidelines) Prinsip-prinsip yang dimuat dalam pedomanan tersebut yang terdapar dalam (A/Res/62/217, 2008): 23 a) Membatasi pelepasan sampah antariksa selama pengorbitan normal. Sistem antariksa harus harus dirancang untuk tidak melepaskan sampah luar angkasa selama pengoperasiannya b) Memperkecil potensi timbulnya kepingan- 23 Nurul Sri Fatmawati, Op.cit. hlm JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

14 kepingan selama pengoperasian c) Memperkecil peluang tabrakan secara sengaja di orbit d) Menghindar perusakan secara sengaja dan kegiatan berbahaya lainnya; e) Meminimalisir potensi timbulnya kepingankepingan setelah misi berakhir karena tersisa f) Membatasi keberadaan pesawat antariksa dan wahana peluncur dalam jangka panjang di orbit menengah bumi (LEO) setelah misi berakhir; BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengaturan mengenai peluncuran benda angkasa (space object) yang diatur dalam Regristration Convention 1975 tidak memberi suatu ketegasan tentang apa saja yang harus di laporkan kepada Sekretaris Jendral Persatuan Bangsa- Bangsa dan belum sepunuhnya memberikan perlindungan hukum kepada negara berkembang karena perkembangan peluncuran benda-benda angkasa hingga saat ini sebagian besar dilakukan oleh negara-negara maju (space power) dan kegiatan ruang angkasa memerlukan biaya yang sangat besar sehingga dengan modal ini mereka seakan-akan ingin mendikte setiap keputusan atau upaya pengaturan kawasan luar angkasa yang dianggap menyangkut kepentingan mereka semata. 2. Pertanggungjawaban negara peluncur atas sampah luar angkasa (space debris) yang merupakan bekas benda ruang angkasa yang di luncurkan ke ruang angkasa terdiri dari 2 (dua) prinsip pertanggungjawaban negara yaitu tanggung jawab mutlak (absolute liability), apabila kerugiannya berada di permukaan bumi, hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 4 (a) Liability Convention1972 dan tanggung jawab berdasarkan kesalahan (based on fault liability), apabila kerugiannya berada di luar angkasa Hal ini diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 (b) Liability Convention1972. B. Saran 1. Perlu ada perubahan dan tambahan pada Regristration Convention 1975, agar tercantum informasi-informasi yang dimuat mengenai benda ruang angkasa yang telah diluncurkan, informasi tersebut termasuk informasi tentang berat benda angkasa tersebut, sumber daya energi yang digunakan oleh benda-benda angkasa sebagai salah satu kewajiban yang harus dilaporkan, padahal sumber daya energi yang digunakan oleh benda-benda angkasa adalah sangat penting, sebab penggunaan sumber daya nuklir bagi benda-benda angkasa dewasa ini semakin meningkat, yang mana dapat JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

15 membahayakan pihak ketiga jika benda-benda yang menggunakan sumber daya nuklir itu jatuh. Selain itu, harus ada tindakan ketat dari Majelis Umum PBB agar negara maju membantu negara berkembang untuk ikutserta dalam mengeksplorasi ruang angkasa. 2. Sudah saatnya setiap negara peluncur bertindak untuk membersihkan sampah-sampah angkasa yang berada di ruang angkasa agara tidak membahayakan negara lain. Artinya setiap negara peluncur yang telah mengetahui benda angkasanya tidak berfungsi lagi memiliki inisiatif untuk membersihkan lagi orbit yang digunakan oleh benda angkasanya (Space Object). DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdurrasyid, Priyatna, 1986, Hukum Antariksa Nasional (penempatan Urgensinya), Rajawali, Jakarta Arifin, Seru, 2014, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta Bagus, Ida Rahmadi Supancana, 2003, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Mitra Karya, Jakarta Boer Mauna, 2008, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT Alumni, Bandung Busroh, Abu Daud, 2011, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Sefriani, 2009, Hukum Internasional: Suatu pengantar, Rajawali Pers, Yogyakarta Soekanto, Soerjono dan Sri Mumadji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta B. Jurnal Nurul Sri Fatmawati, Analisis Implementasi Pedoman PBB tentang Mitigasi Sampah Antariksa (Analysis on Implementation of UN Space Debris Mitigation Guidelines), Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 9 No. 2 Desember Mardianis, Analisis Kompatibilitas Pedoman Mitigasi Sampah Antariksa, Jurnal Analisi dan Informasi Kedirgantaraan, Vol. 9 No. 2 Desember C. Peraturan Perundangundangan Space Treaty 1967 Liability Convention 1972,. Regristration Convention 1975 JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA Oleh : Dimitri Anggrea Noor I Ketut Sudiarta Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati.

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati. TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN BENDA ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Waode Zessica Harta Setiati Dosen Pembimbing I Agus Pramono, Dosen Pembimbing II Soekotjo

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap Negara mempunyai kepentingan yang berbeda dalam mewujudkan tujuan nasionalnya. Oleh karena itu, dunia kini dihadapkan dengan berbagai pertentangan kepentingan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN.

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN. KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN Oleh Dani Adi Wicaksana Ida Bagus Wyasa Putra Made Maharta Yasa Program

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS)

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS) TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH ANGKASA (SPACE DEBRIS) (STUDI TERHADAP INSIDEN TABRAKAN SAMPAH ANGKASA MILIK CINA DENGAN SATELIT MILIK RUSIA) TIARA NOOR PRATIWI, SETYO WIDAGDO, S.H.,M.Hum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional

Lebih terperinci

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 133) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi ruang angkasa pada masa sekarang telah bergerak cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat ruang angkasa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pengaturan Tanggungjawab dalam Kegiatan Keruangangkasaan Berdasarkan Space Liability Conventions 1972 dan Implementasinya terhadap Kegagalan Peluncuran Satelit Telkom-3

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 SILABUS Mata Kuliah : Hukum Udara dan Ruang Angkasa Kode Mata Kuliah : HKIn 2086 SKS : 2 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat informasi (information

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat informasi (information BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi telah membawa perubahan luar biasa dari masa ke masa bagi perkembangan kehidupan manusia. Kesejahteraan hidup pun mulai meningkat ke arah

Lebih terperinci

Latar Belakang. Hukum hadir tentunya dengan. memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori. campuran mengemukakan bahwa hukum

Latar Belakang. Hukum hadir tentunya dengan. memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori. campuran mengemukakan bahwa hukum Latar Belakang Hukum hadir tentunya dengan memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori campuran mengemukakan bahwa hukum hadir untuk menemukan suatu keseimbangan antara individu dan masyarakat, kesamaan

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO).

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). 8 BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). Penempatan satelit di wilayah

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA A. Pembagian Hukum Udara dan Ruang Angkasa Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu diteliti apa saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi antariksa berdampak pada peningkatan peluncuran satelit untuk menjalankan berbagai misi, seperti telekomunikasi, penginderaan jauh, navigasi

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pengaturan Kegiatan Pertambangan di Bulan dan Benda Langit Lainnya menurut The Agreement Governing the Activities of States on The Moon and Other Celestial Bodies 1979

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN ASTEROID MINING DITINJAU DARI OUTER SPACE TREATY 1976 DAN LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS 1972

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN ASTEROID MINING DITINJAU DARI OUTER SPACE TREATY 1976 DAN LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS 1972 1 IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEGIATAN ASTEROID MINING DITINJAU DARI OUTER SPACE TREATY 1976 DAN LIABILITY FOR DAMAGE CAUSED BY SPACE OBJECTS 1972 Yeremia Anggarianto Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ruang angkasa merupakan sebuah tempat baru bagi manusia, sebelumnya ruang angkasa merupakan wilayah yang asing dan tidak tersentuh oleh peradaban manusia. Potensi ruang

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten No.133, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5435) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES Oleh: Ferry Junigwan Murdiansyah Negara adalah leviathan.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA- BENDA ANGKASA BUATAN

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA- BENDA ANGKASA BUATAN BAB II KONSEP DAN PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA- BENDA ANGKASA BUATAN 2.1 Konsep Benda-Benda Angkasa Buatan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya,

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA DALAM HAL TERJADINYA KECELAKAAN PESAWAT UDARA Oleh : A.A. Gde Yoga Putra Ida Bagus Surya Darmajaya Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH RUANG ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH RUANG ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA PELUNCUR TERHADAP SAMPAH RUANG ANGKASA Dony Aditya Prasetyo Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono 169 Malang Email: donyaprasetyo@gmail.com Abstract There is an increace

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL Sebagai subjek hukum yang mempunyai personalitas yuridik internasional yang ditugaskan negara-negara

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS TERJADINYA FORCE MAJEURE (KEADAAN MEMAKSA)

AKIBAT HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS TERJADINYA FORCE MAJEURE (KEADAAN MEMAKSA) AKIBAT HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS TERJADINYA FORCE MAJEURE (KEADAAN MEMAKSA) Oleh Putu Parama Adhi Wibawa I Ketut Artadi Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Engagement is a

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA E.... Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama kepada Hukum Internasional.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL ANALISIS TENTANG PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI PIHAK DALAM PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Teuku Fachryzal Farhan I Made Tjatrayasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional

Lebih terperinci

KEGIATAN USAHA FOTOKOPI DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA

KEGIATAN USAHA FOTOKOPI DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA KEGIATAN USAHA FOTOKOPI DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA Oleh : Finna Wulandari I Made Udiana Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper titled The Business

Lebih terperinci

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh. Luh Putu Yeyen Karista Putri Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana PENGUJIAN KEKEBALAN DIPLOMATIK DAN KONSULER AMERIKA SERIKAT BERDASARKAN HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA (STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 673K/PDT.SUS/2012) Oleh Luh Putu

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN TUNTUTAN GANTI RUGI MENGENAI HAK CIPTA LOGO DARI PENCIPTA

PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN TUNTUTAN GANTI RUGI MENGENAI HAK CIPTA LOGO DARI PENCIPTA PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN TUNTUTAN GANTI RUGI MENGENAI HAK CIPTA LOGO DARI PENCIPTA Oleh A A Ngr Tian Marlionsa Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON THE RESCUE OF ASTRONAUTS, THE RETURN OF ASTRONAUTS AND THE RETURN OF OBJECTS LAUNCHED INTO OUTER SPACE (PERSETUJUAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran lingkungan laut mendapat perhatian dunia dewasa ini, baik secara Nasional, Regional, atau Internasional disebabkan karena dampak yang ditimbulkan

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM TERHADAP BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI GOSONG NIGER

PENGATURAN HUKUM TERHADAP BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI GOSONG NIGER PENGATURAN HUKUM TERHADAP BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI GOSONG NIGER oleh JOHN PETRUS ADITIA AMBARITA I Made Pasek Diantha Made Maharta Yasa BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tanggung Jawab Entitas Non-Pemerintah dalam Kegiatan Keruangangkasaan Berdasarkan Hukum Ruang Angkasa Internasional dan Implementasinya terhadap Jatuhnya Bagian Roket

Lebih terperinci

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh Maya Diah Safitri Ida Bagus Putu Sutama Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The right to obtain legal

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Pertanggungjawaban, kargo pusat, agen. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Kata Kunci: Pertanggungjawaban, kargo pusat, agen. Universitas Kristen Maranatha TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN KARGO PUSAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KARGO AGEN AKIBAT TUNTUTAN DARI KONSUMEN DALAM HAL KELALAIAN YANG DILAKUKAN OLEH KARGO PUSAT DIKAITKAN DENGAN PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN Made Nanika Mawapusti Yadnya I Ketut Sudiarta Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA Oleh: Ida Ayu Karina Diantari Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA- BENDA ANGKASA BUATAN

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA- BENDA ANGKASA BUATAN SKRIPSI KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA- BENDA ANGKASA BUATAN DANI ADI WICAKSANA NIM. 1103005150 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ASURANSI UNTUK ANGGOTA TUBUH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG ASURANSI DI INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ASURANSI UNTUK ANGGOTA TUBUH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG ASURANSI DI INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP ASURANSI UNTUK ANGGOTA TUBUH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG ASURANSI DI INDONESIA ABSTRAK Asuransi merupakan suatu upaya untuk menghindari risiko yang akan terjadi pada setiap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu : a. Harus ada penghuni (rakyat,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR TESIS AKIBAT HUKUM PEMBATALAN INITIAL PUBLIC OFFERING TERHADAP EMITEN DAN INVESTOR OLEH: HERNY WAHDANIYAH WAHAB, S.H. NIM: 031314253110 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa antariksa merupakan ruang beserta isinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL. geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi

BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL. geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Negara Kolong Di ruang angkasa luar yang dijuga disebut antariksa terdapat orbit geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat

Lebih terperinci

2014, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of the State in the Exploration

2014, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of the State in the Exploration BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1013, 2014 KEMENKOMINFO. Frekuensi Radio. Dinas Satelit. Orbit Satelit. Spektrum. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2014

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ANGKUTAN UMUM DARAT

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ANGKUTAN UMUM DARAT PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG ANGKUTAN UMUM DARAT Oleh : I Gusti Agung Ayu Laksmi Astri I Dewa Made Suartha Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Jurnal ini berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi udara adalah salah satu jenis transportasi yang memiliki unsur manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan hukum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS

PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS PENGATURAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DAN ASAS PACTA TERTIIS NEC NOCENT NEC PROSUNT TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA CELAH TIMOR ANTARA INDONESIA, AUSTRALIA DAN TIMOR LESTE Oleh : Stephanie Maarty K Satyarini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti penemuan ilmiah Johann Kepler dari abad ketujuh belas pada hukum

BAB I PENDAHULUAN. seperti penemuan ilmiah Johann Kepler dari abad ketujuh belas pada hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keinginan untuk melampaui langit dan menjelajahi ruang angkasa sudah menjadi bagian dari kesadaran manusia yang dibuktikan dengan banyaknya mitos atau karya seni yang

Lebih terperinci

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION SKRIPSI TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PELUNCURAN BENDA RUANG ANGKASA DITINJAU DARI SPACE LIABILITY CONVENTION 1972 OLEH : TANIA GABRIELLA CIUTARNO B111 12 005 BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Aspek Tanggung Jawab yang Timbul dalam Pengoprasian Drone Berdasarkan Hukum Udara Internasional dan Implementasinya dalam Peraturan Menteri No 90 Tahun 2015 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TRAKTAT PERDAMAIAN (PEACE TREATY) TAHUN 1947 ANTARA ITALIA DAN JERMAN BERDASARKAN PRINSIP JUS COGENS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Lebih terperinci

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja SENGKETA KOMPETENSI ANTARA SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) DENGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN DALAM PENYELESAIAN KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORKS PLC BESERTA AFILIASINYA DAN LIPPO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang

BAB I PENDAHULUAN. kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama 1. Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

SATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA TEKNIK ELEKTRO

SATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA TEKNIK ELEKTRO SATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA 1115313002 TEKNIK ELEKTRO Pengertian satelit Satelit adalah benda yang mengorbit benda lain dengan periode revolusi dan rotasi tertentu. Satelit juga dapat disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi dan eksploitasi yang berlebih lebihan dari sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. eksplorasi dan eksploitasi yang berlebih lebihan dari sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsep dasar laut dalam timbul,disebabkan adanya kecenderungan terhadap eksplorasi dan eksploitasi yang berlebih lebihan dari sumber daya alam yang terdapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO UNTUK DINAS SATELIT DAN ORBIT SATELIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA. A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa

BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA. A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa 16 BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa Ruang angkasa telah menjadi subjek dalam banyak karya seni dan literature

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat)

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) SKRIPSI Disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh

Lebih terperinci

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENGGUNAAN SATELIT DALAM BIDANG PERBANKAN

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENGGUNAAN SATELIT DALAM BIDANG PERBANKAN SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENGGUNAAN SATELIT DALAM BIDANG PERBANKAN OLEH HARMONIKA B111 13 046 DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 HALAMAN

Lebih terperinci

STATUS KEWARGANEGARAAN INDONESIA BAGI PENDUKUNG ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA)

STATUS KEWARGANEGARAAN INDONESIA BAGI PENDUKUNG ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) STATUS KEWARGANEGARAAN INDONESIA BAGI PENDUKUNG ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) Oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Penyelenggara Negara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

Abigail Allo Karangan

Abigail Allo Karangan TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB BADAN USAHA DALAM PELAKSANAAN KEWAJIBAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN LINGKUNGAN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Abigail Allo Karangan 0987006 ABSTRAK Perkembangan

Lebih terperinci

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Oleh : Ida Kurnia * Abstrak Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai

Lebih terperinci

PERJANJIAN BAKU PEMESANAN RUMAH SUSUN DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KESEIMBANGAN BAGI KONSUMEN. Merry Marshella Sipahutar

PERJANJIAN BAKU PEMESANAN RUMAH SUSUN DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KESEIMBANGAN BAGI KONSUMEN. Merry Marshella Sipahutar PERJANJIAN BAKU PEMESANAN RUMAH SUSUN DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KESEIMBANGAN BAGI KONSUMEN Merry Marshella Sipahutar 1087013 Perumahan merupakan kebutuhan utama bagi manusia di dalam kehidupan untuk berlindung

Lebih terperinci