BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL. geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL. geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi"

Transkripsi

1 BAB II KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah Negara Kolong Di ruang angkasa luar yang dijuga disebut antariksa terdapat orbit geostasioner (geo-stationary orbit) disingkat GSO, yang mengelilingi bumi tersebut terdapat di khatulistiwa bumi pada ketinggian sekitar km, dengan ketebalan sekitar 75 km. dengan ciri-ciri alamiahnya yang khusus, GSO mempnyai keunggulan tertentu bila dibanding dengan bagian lainnya dari antariksa. Keunggulan tersebut antara lain ialah satelit ataupun benda-benda antariksa lainnya yang ditempatkan di GSO kelihatan stasioner bila dilihat dari permukaan bumi karena periode putarnya hampir sama dengan periode putar bumi. 17 Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang di dunia mempunyai jalur geostasioner yang terpanjang pula dan karena itu ingin memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan nasional. Kepentingan Indonesia atas orbit geostasioner tersebut cukup mendasar dan strategis apalagi karena orbit tersebut merupakan berguna bagi telekomunikasi, pemantauan lingkungan dan cuaca. Mengingat manfaat yang diberikan orbit tersebut, Indonesia bersama-sama dengan Negara-negara khatulistiwa lainnya yaitu Brazil, Colombia, Congo, Equador, Kenya, Uganda dan Zaire, sejak semula telah mengambil langkah- 17 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005, hal

2 32 langkah dan secara aktif memperjuangkan dibuatnya suatu razim hukum khusus sui generis mengenai orbit geostasioner. Razim hukum khusus ini terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada negara-negara khatulistiwa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama dengan negara-negara lainnya dalam memanfaatkan sumber-sumber antariksa. 18 Mengingat manfaat GSO tersebut bagi seluruh umat manusia, maka PBB melalui Badan Khusus ITU dan terutama Komite Penggunaan Secara Damai Angkasa Luar (Committee on the Peaceful Uses of Outer Space) selalu berupaya untuk merumuskan ketentuan-ketentuan internasional sehubungan pemanfaatan GSO tersebut. GSO buat pertama kali dibahas dalam Pertemuan Internasional Astronautical Federation (IAF), International Institut of Space Law di Amsterdam Tahun Kemudian pembahasan GSO ini dilanjutkan dalam pertemuan Negara-negara ktahulistiwa yang menghasilkan Deklarasi Bogota Tahun 1976, yang juga ditanda tangani Indonesia, berisikan tuntutan kedaulatan terhadap jalur GSO yang berada di atas Negara-negara khatulistiwa. Deklarasi Bogota ini kemudian dikembangkan lagi dalam pertemuan di Quito, Equador pada tahun 1982 tetapi tidak mengeluarkan deklarasi karena terdapatnya perbedaan pandangan tentang strategi yang akan ditempuh. Aspek hukum penggunaan GSO juga dibicarakan di sidang-sidang Komite Penggunaan Secara Damai Angkasa Luar. Persoalan pokok dalam sidang-sidang yang diselenggarakan ialah apakah perlu dibuat suatu rezim khusus sul generis tentang GSO. Dari semula terdapat perbedaan yang cukup tajam antara Negara 18 Ibid., hal 48

3 33 atau kelompok Negara mengenai status hukum GSO tersebut. Ada yang menggangap bahwa secara fisik GSO merupakan bagian dari antariksa dank arena itu pengaturannya sudah ada dalam Perjanjian Ruang Angkasa Luar 1967, di samping terdapatnya pandangan bahwa diperlukan suatu rezim hukum untuk GSO mengingat letak dan karakteristiknya yang khusus. Karena terdapatnya tantangan dari banyak Negara terutama Negara-negara barat mulai tahun 1982 negaranegara khatulistiwa mulai mengubah posisi dari tuntutan kedaulatan menjadi righ of preservation. 19 dipertahankan dan Selanjutnya tuntutan kedaulatan atas GSO sulit untuk mulai tahun 1993 negara-negara khatulistiwa lebih menekankan pada penggunaan GSO yang adil dan merata bagi semua Negara dan bukan lagi tuntutan mengenai kedaulatan. Deklarasi Bogota 1976 diadakan pada tahun 1976 di dalam suatu pertemuan yang membahas secara khusus mengenai Geostationary Orbit (GSO) diadakan di Bogota. Tujuh negara yang wilayahnya tepat berada di bawah garis khatulistiwa, yakni: Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Kenya, Zaired kesepakatan/deklarasi tentang tuntutan atas orbit geostasioner yang memang tepat berada di atas wilayah kedaulatan mereka. Adapun yang menjadi tuntutan dari negara-negara khatulistiwa tadi bukanlah suatu tuntutan mengenai penguasaan atas wilayah (territorial claim), namun hal tersebut didasarkan oleh karena adanya ketidakadilan dalam 19 Ibid., hal 49

4 34 pemanfaatan GSO yang sebelumnya berdasar pada prinsip kebebasan untuk memanfaatkan bagi semua negara (first come first served) 20 Sebagai akibatnya pemanfaatan GSO hanya didominasi oleh negaranegara maju karena memiliki kemampuan untuk itu, baik dari segi teknologi maupun finansialnya. Dan dirasakan pemanfaatan GSO itu telah menjadi suatu usaha komersialisasi oleh negara-negara maju tersebut sehiungga cenderung merugikan negara-negara lain yang belum mampu memanfaatkannya. Deklarasi Bogota 1976 ini banyak mendapat reaksi yang luas oleh banyak negara, namun negara-negara maju menentang isi dari gagasan yang terkandung di dalamnya karena bertentangan dengan kepentingan mereka. Hal itu juga dianggap dapat menimbulkan adanya monopoli dalam pemanfaatan orbit geostasioner (larangan pada Pasal 33 ayat (2) Konvensi ITU 1973), dan terutama bertentangan dengan Pasal II Space Treaty B. Pengertian Negara Kolong (GSO) Orbit Geostasioner merupakan anggota keluarga orbit geosinkron. Istilah geosinkron mengacu kepada semua orbit yang mempunyai periode sama dengan rotasi bumi. 21 GSO merupakan orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antena penangkap di bumi tidak perlu dipindahpindahkan atau dirubah posisinya. Dibanding dengan orbit satelit lainnya, yakni 20 E. Saefullah Wiradipradja, dan Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Jakarta Remadja Karya, 1988 hal Supancana, I.B. dalam Seminar Aspek Regulasi Dalam Pemanfaatan Orbit Khususnya Orbit Geostationer dan Kaitannya dengan Kepentingan Indonesia, Bandung, 1994, hal 1-3

5 35 Middle Earth Orbit (MEO), dan Low Earth Orbit (LEO), GSO merupakan tempat yang paling ekonomis dan efektif untuk menempatkan satelit, khususnya satelit komunikasi. Hal ini disebabkan satelit yang ditempatkan pada GSO dapat meliput permukaan bumi lebih luas dan dapat dimanfaatkan setiap saat. 22 Orbit Geostasioner merupakan suatu orbit geosinkron di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang lebih kilometer, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan seolah-olah stationer terhadap suatu titik dipermukaan bumi. Ada beberapa keuntungan dari pemanfaatan GSO, antara lain : 1. Beberapa bagian dari bumi dari permukaan bumi dapat diamati secara terusmenerus dari suatu titik yang tetap; 2. Karena sebuah satelit yang ditempatkan di GSO dapat meliputi sekitar 1/3 dari permukaan bumi, maka hanya diperlukan satelit yang lebih sedikit jumlahnya. Pasal 33 menyatakan bahwa: the geostationer satellite orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently and economically so that countries or groups of countries may have equitable access to both in conformity with the provisions of the Radio Regulations according to their needs and the technical facilities at their disposal. Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa GSO itu merupakan sumber daya alam terbatas (limited natural resources), yaitu karena hanya dapat ditempati oleh benda-benda angkasa dalam jumlah yang terbatas, sehingga apabila penempatan tersebut. Pengertian geostationer obrit dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia: 22 Akbar Kurnia. Pemanfaatan segmen Geostationary. di com/2011/06/ pemanfaatan-segmen-geostationary-orbit.html, diakses tanggal 1 Oktober 2014

6 36 1. Batasan Geostationer Orbit dalam Space Treaty Batasan GSO dalam Space Treaty tidak diatur lebih rinci. Space Treaty hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Namun dengan melihat kondisi fisik dari GSO yang merupakan bagian dari ruang angkasa maka pengaturan GSO menginduk pada Space Treaty, 1967; 2. Pengertian GSO dalam Deklarasi Bogota, Batasan GSO sebagai natural resource dalam Deklarasi Bogota, 1976 : The geostationer orbit is a circular orbit in the Equotorial plane in which the period of sidereal revolution of satellite is equal to the period of sidereal rotation of the Earth and the satellite moves in the same direction as the earth s rotation. When a satellite describes this particular orbit, it is said to be geostationary such a satellite appears to be geostationary in the sky when viewed from earth, and is fixed at the zenith of given point on the equator whose longitude is by definition that of satellite. This orbit is located at an approximates distance of 35,877 km above the earth s Equator ; (terjemahan geostationer orbit adalah orbit melingkar pada bidang Equotorial di mana masa revolusi sidereal satelit sama dengan periode rotasi sidereal Bumi dan bergerak satelit dalam arah yang sama dengan rotasi bumi. Ketika satelit menggambarkan orbit tertentu, itu dikatakan geostasioner satelit tersebut tampaknya geostasioner di langit bila dilihat dari bumi, dan tetap di puncak diberikan titik pada khatulistiwa yang bujur adalah dengan definisi bahwa satelit. Orbit ini terletak pada jarak mendekati dari km di atas bumi Khatulistiwa)

7 37 3. Pengertian GSO dalam International Telecommunication Union (ITU) 1973 dilakukan sedemikian rupa sehingga melebihi daya tampungnya, akan dapat menimbulkan kejenuhan (saturated). 23 C. Kedudukan Indonesia sebagai Negara Kolong dalam Hukum Internasional Negara kolong adalah negara-negara yang tepat berada di bawah garis khatulistiwa yang wilayahnya juga merupakan wilayah negara yang berada tepat di bawah kawasan GSO. Kawasan orbit geostationer adalah merupakan suatu kawasan yang termasuk di dalam wilayah ruang angkasa, dan prinsip Hukum Internasional yang berlaku bagi wilayah ruang angkasa tidak ada menetapkan suatu ketentuan yang mengatur mengenai kedaulatan bagi negara-negara atas wilayah ruang angkasa. Dalam perkembangan Hukum Ruang Angkasa dewasa ini, yang dikaitkan dengan semakin gencarnya usaha yang dilakukan negara-negara/pihak-pihak dalam pemanfaatan GSO, telah disadari tentang diperlukannya status hukum yang tegas dan berlaku secara internasional bagi objek-objek ruang angkasa yang diluncurkan. Hal ini berkaitan dengan masalah kedaulatan negara-negara yang dilintasi oleh objek-objek ruang angkasa, pada saat objek-objek ruang angkasa tersebut sedang berada di ruang udaar negara yang sedang dilintasinya, baik dalam perjalanan menuju orbit atau ketika sedang kembali kebumi. 23 Tobing, R.L, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukum Dirgantara, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999, hal

8 38 Wilayah negara-negara kolong dapat saja tertimpa satelit atau benda-benda buatan manusia lainnya yang diluncurkan keluar angkasa pada waktu yang tidak diduga/ditentukan sebelumnya. Bila dipandang dari sudut akibatnya, sebagaimana diketahui benda angkasa buatan manusia yang diluncurkan keruang angkasa ada yang mempergunakan sumber tenaga nuklir, maka jika benda tersebut jatuh dapat mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan/ keselamatan umat manusia, makhluk lain dan lingkungan disekitar jatuhnya benda tersebut. Efek yang dapat timbul oleh jatuhnya benda angkasa yang masih mengandung bahan radioaktif yang jatuh dipermukaan bumi daapat dikemukakan sebagai berikut: Efek jangka pendek, terbagi atas dua tipe yaitu tipe ringan dan tipe berat. Gejala-gejala yang nampak pada tipe ringan adalah: sakit tenggorokan, demam malaise, kelelahan, purpura dan haemoglobin serta leukosit berkurang secara drastis. Tipe berat akan ditandai dengan gejala-gejala seperti : timbulnya penyakit tertentu (kanker kulit, paru-paru, tulang dan lain-lain) yang biasanya terjadi lebih awal dan sulit pengobatannya. 2. Efek jangka panjang, yaitu terjadinya kerusakan terhadap bahan genetik yang dapat mengakibatkan adanya kelainan pada genesis keturunan, manusia yang terkena efek jangka panjang ini akan mengakibatkan keturunannya yang lahir dalam keadaan cacat 24 Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996, hal. 60

9 39 3. Efek lambat, yaitu radiasi yang mengenai tubuh akan merusak organ-organ tubuh secara pelan-pelan dan baru akan menimbulkan bahaya yang fatal setelah bertahun-tahun. 4. Terjadinya kontaminasi terhadap objek-objek lain di sekitar jatuhnya benda angkasa tesebut, antara lain pada udara, air, makanan dan objek lainnya Dalam suatu pertemuan yang diadakan di Bogota (Kolombia) pada tahun 1976) beberapa negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara khatulistiwa yaitu Brazil, Kolombia, Ekuador, Kongo, Zaire, dan Indonesia telah menuangkan kesepakatan-kesepakatan mereka dalam deklarasinya yang menyatakan suatu tuntutan atas orbit geostationer yang berada tepat diatas wilayah mereka. Adapun yang menjadi tuntutan negara-negara tersebut bukanlah merupakan suatu tuntutan yang berdasarkan pada aspek kewilayahan (teritorial claim), akan tetapi lebih merupakan reaksi terhadap ketidakadilan dalam pemanfaatan orbit geostationer yang pengaturannya selama ini lebih bertumpu pada doktrin first come first served. Akibat dari penerapan doktrin ini, maka telah sebagian besar kemampuan jalur GSO didominasi oleh negara-negara maju, sebaliknya bagi negara-negara berkembang masih belum dapat memanfaatkannya disebabkan oleh banyaknya keterbatasan-keterbatasan yang ada. Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang garis khatulistiwa, serta kedudukannya sebagai wilayah penghubung yang terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Indonesia sebagai negara khatulistiwa yang terpanjang, secara geografis adalah merupakan negara yang

10 40 mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada di atas wilayah Indonesia. 25 Memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit-satelit untuk berbagai kepentingan bangsa Indonesia saat ini dan masa yang akan datang, maka kelangsungan dan kelanggengan serta keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin. 26 Kepentingan Nasional Indonesia sesungguhnya secara eksplisit sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Khusus menyangkut pemanfaatan GSO, maka terkait erat dengan dukungan untuk komunikasi melalui satelit komunikasi untuk kepentingan Indonesia. Dalam kaitan ini kepentingan nasional mendasar yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, antara lain adalah: 1. Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datiang dari luar maupun dari dalam; 2. Tercipta dan terpeliharanya stabilitas nasional, serta terjadinya stabilitas regional dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional Indonesia selanjutnya; dan 25 Ferry Junigwan Murdiansyah. Kajian Hukum Antariksa Modern: Kisah Klasik Untuk Masa Depan 2. Di depan-2/diakses tanggal 1 Oktober Ibid

11 41 3. Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi serta keadilan sosial. 27 Untuk mewujudkan Kepentingan Indonesia tersebut di atas, salah satu cara adalah melalui penggunaan GSO, yaitu dengan memanfaatkan hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memanfaatkan potensi GSO seoptimal mungkin untuk mendukung pembangunan nasional, di dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD Putusan Indonesia untuk memiliki sendiri satelit komunikasi merupakan suatu putusan yang sangat strategis, karena telah bersama-sama dirasakan bukan saja man- faatnya sebagai alat pemersatu bangsa dan negara, tetapi juga dapat memacu kemampuan teknologi telekomunikasi antariksa Indonesia pada khususnya, dan teknologi antariksa pada umumnya. Selain penggunaan GSO melalui pemanfaatan satelit-satelit yang memiliki dan dioperasikan sendiri, Indonesia juga memanfaatkan satelit-satelit negara lain atau organisasi internasional yang ditempatkan di GSO untuk keperluan pengamatan cuaca, pemantauan lingkungan serta navigasi lalu lintas udara dan lautan. Menyadari bahwa GSO juga potensial untuk digunakan bagi keperluan-keperluan lainnya, maka tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang Indonesia akan ikut memanfaatkan GSO untuk keperluan diluar bidang-bidang aplikasi tersebut di atas. Dengan kondisi dan status pemanfaatan GSO untuk berbagai keperluan tersebut, maka GSO telah menjadi kawasan 27 Agus Pramono. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor: Ghalia Indonesia, 2000 hal125

12 42 kepentingan Indonesia yang sangat vital. 28 Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka kepentingan Indonesia atas GSO baik saat ini maupun di masa mendatang adalah: a. Terjaminnya kesinambungan penggunaan GSO oleh Indonesia untuk keperluan telekomunikasi, penyiaran, dan meteorologi serta kemungkinan pengembangan bidang lainnya; b. Terjaminnya satelit-satelit Indonesia dari segala macam ancaman dan gangguan pihak-pihak lain yang dapat merugikan Indoesia; (c). Terjaminnya GSO dari penggunaan yang dapat membawa dampak negatif baik terhadap lingkungan GSO itu sendiri mau- pun bumi, khususnya terhadap wilayah In- donesia; c. Adannya peluang bagi Indone- sia untuk setiap saat dapat menggunakan slot orbit dan spektrum frekuensi di GSO apabila sewaktu-waktu diperlakukan Indonesia bagi kepentingan nasionalnya; d. Dapat dihindarkan penggunaan GSO dari segala bentuk kegiatan yang bukan untuk maksud damai dan kemanusiaan Ibid 29 Ibid

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN RUANG ANGKASA E.... Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa Proses pembentukan Hukum Ruang Angkasa didasarkan terutama kepada Hukum Internasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA A. Pembagian Hukum Udara dan Ruang Angkasa Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu diteliti apa saja

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

SATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA TEKNIK ELEKTRO

SATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA TEKNIK ELEKTRO SATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA 1115313002 TEKNIK ELEKTRO Pengertian satelit Satelit adalah benda yang mengorbit benda lain dengan periode revolusi dan rotasi tertentu. Satelit juga dapat disebut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1985 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TELEKOMUNIKASI INTERNASIONAL (INTERNATIONAL TELECOMMUNICATION CONVENTION NAIROBI, 1982) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan

Lebih terperinci

Pokok Bahasan 7. Satelit

Pokok Bahasan 7. Satelit Pokok Bahasan 7 Satelit Pokok Bahasan 7 Pokok Bahasan Sistem komunikasi satelit Sub Pokok Bahasan Jenis-jenis satelit Link budget Segmen bumi Segmen angkasa Kompetensi Setelah mengikuti kuliah ini mahsiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia internasional dihadapkan kepada beragam aspek dan kepentingan yang berbeda antara kepentingan satu negara dengan kepentingan negara lain. Dalam tatanan dunia internasional

Lebih terperinci

TELEKOMUNIKASI SATELIT

TELEKOMUNIKASI SATELIT TELEKOMUNIKASI SATELIT Asep Munawarudin Asep.munawardudin@raharja.info Abstrak Satelit adalah salah satu media komunikasi yang banyak digunakan saat ini. Sebagai salah satu media yang banyak digunakan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat informasi (information

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat informasi (information BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi telah membawa perubahan luar biasa dari masa ke masa bagi perkembangan kehidupan manusia. Kesejahteraan hidup pun mulai meningkat ke arah

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA Oleh : Dimitri Anggrea Noor I Ketut Sudiarta Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

Pandecta. Pemanfataan Wilayah Geostationer Orbit dan Satelit (Kajian Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia)

Pandecta. Pemanfataan Wilayah Geostationer Orbit dan Satelit (Kajian Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia) Volume 7. Nomor 2. Juli 2012 Pandecta http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta Pemanfataan Wilayah Geostationer Orbit dan Satelit (Kajian Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia) Diah Apriani Atika

Lebih terperinci

Satelit. Tatik yuniati. Abstrak.

Satelit. Tatik yuniati. Abstrak. Satelit Tatik yuniati tatikyuniati10@yahoo.co.id Abstrak Terdapat banyak definisi yang diberikan berhubung dengan perkataan satelit. Ianya bergantung kepada sudut mana definisi itu diberi samaada dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO).

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). 8 BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO). Penempatan satelit di wilayah

Lebih terperinci

Analisis dan Kontrol Optimal Sistem Gerak Satelit Menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin

Analisis dan Kontrol Optimal Sistem Gerak Satelit Menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 6, No.2, (2017) 2337-3520 (2301-928X Print) A 45 Analisis dan Kontrol Optimal Sistem Gerak Satelit Menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin Putri Saraswati, Mardlijah, Kamiran

Lebih terperinci

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 133) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Pandecta. Orbit Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional dan Kepentingan Nasional Indonesia

Pandecta. Orbit Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional dan Kepentingan Nasional Indonesia Volume 6. Nomor 2. Juli 2011 Pandecta http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta Orbit Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional dan Kepentingan Nasional Indonesia Agus Pramono Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT U M U M Spektrum frekuensi radio dan orbit satelit merupakan sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

TEKNOLOGI KOMUNIKASI

TEKNOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: TEKNOLOGI KOMUNIKASI Media Transmisi Tanpa Kabel Fakultas FIKOM Krisnomo Wisnu Trihatman S.Sos M.Si Program Studi Periklanan www.mercubuana.ac.id Satelit Satelit adalah benda yang mengorbit benda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten No.133, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5435) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai spektrum

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 7b OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA

PERTEMUAN KE 7b OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA PERTEMUAN KE 7b OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA Triyono, 2008 2 Low Earth Orbit (LEO) 160 To 2.000 6.530 To 8.370 Medium earth Orbit (MEO) 2000 To 34.780 8.370 To 41.150 International space station

Lebih terperinci

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI KOMPETENSI INTI 3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN

Lebih terperinci

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

pres-lambang01.gif (3256 bytes) pres-lambang01.gif (3256 bytes) Menimbang Mengingat PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati.

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati. TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN BENDA ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972 Waode Zessica Harta Setiati Dosen Pembimbing I Agus Pramono, Dosen Pembimbing II Soekotjo

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN.

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN. KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN Oleh Dani Adi Wicaksana Ida Bagus Wyasa Putra Made Maharta Yasa Program

Lebih terperinci

Satelit. Pertemuan XI

Satelit. Pertemuan XI Satelit Pertemuan XI Teknologi wireless yang disebut di atas adalah berdasarkan sistem jaringan radio terestrial, yang terdiri atas stasiun-stasiun basis radio yang terpola dalam sel-sel, yang satu dengan

Lebih terperinci

Regulasi Satelit Indonesia

Regulasi Satelit Indonesia Regulasi Satelit Indonesia Disampaikan pada acara FGD Kebijakan dan Regulasi Menuju Industri Satelit Nasional Denny Setiawan Plt. Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI Kementerian Komunikasi dan Informatika

Lebih terperinci

KONFERENSI NASIONAL KOMUNIKASI 2016 IKATAN SARJANA KOMUNIKASI INDONESIA Makassar, Oktober 2016

KONFERENSI NASIONAL KOMUNIKASI 2016 IKATAN SARJANA KOMUNIKASI INDONESIA Makassar, Oktober 2016 KONFERENSI NASIONAL KOMUNIKASI 2016 IKATAN SARJANA KOMUNIKASI INDONESIA Makassar, 11-13 Oktober 2016 KECERDASAN KOMUNIKASI : MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 37/2002, HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN *39678 PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

Latar Belakang. Hukum hadir tentunya dengan. memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori. campuran mengemukakan bahwa hukum

Latar Belakang. Hukum hadir tentunya dengan. memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori. campuran mengemukakan bahwa hukum Latar Belakang Hukum hadir tentunya dengan memiliki tujuan. Paul Scholten dengan teori campuran mengemukakan bahwa hukum hadir untuk menemukan suatu keseimbangan antara individu dan masyarakat, kesamaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1989 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah memajukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UU 3/1989, TELEKOMUNIKASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA) Sumber: LN 1989/11; TLN NO. 3391 Tentang: TELEKOMUNIKASI Indeks: PERHUBUNGAN. TELEKOMUNIKASI.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

KUNJUNGAN INDUSTRI KE STASIUN PENGENDALI UTAMA SATELIT TELKOM

KUNJUNGAN INDUSTRI KE STASIUN PENGENDALI UTAMA SATELIT TELKOM KUNJUNGAN INDUSTRI KE STASIUN PENGENDALI UTAMA SATELIT TELKOM by Dyah Rahma - Friday, February 05, 2016 http://akemirahma.student.akademitelkom.ac.id/index.php/2016/02/05/37/ Selasa, 26 Januari 2016. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT

Lebih terperinci

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 SILABUS Mata Kuliah : Hukum Udara dan Ruang Angkasa Kode Mata Kuliah : HKIn 2086 SKS : 2 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem satelit navigasi adalah sistem yang digunakan untuk menentukan posisi di bumi dengan menggunakan teknologi satelit. Sistem ini memungkinkan sebuah alat elektronik

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

GANGGUAN PADA SATELIT GSO

GANGGUAN PADA SATELIT GSO GANGGUAN PADA SATELIT GSO Neflia dan Abd. Rachman Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains dan Antariksa, LAPAN AB STRACT A truly geostationery orbit will have zero inclination and zero eccentricities and the

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu : a. Harus ada penghuni (rakyat,

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 3 TAHUN 1989 (3/1989) Tanggal: 1 APRIL 1989 (JAKARTA) Sumber: LN 1989/11; TLN NO. 3391 Tentang: TELEKOMUNIKASI Indeks: PERHUBUNGAN. TELEKOMUNIKASI.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 13/P/M.KOMINFO/8/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 13/P/M.KOMINFO/8/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 13/P/M.KOMINFO/8/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SATELIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Disusun oleh: Adrianus Terry Febriken 11010111140685 Styo Kurniadi 11010111150006 Riyanto 11010111150007 Wahyu Ardiansyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI I.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI I. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI I. U M U M 1. Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun tentang

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 14/1999, PENGESAHAN AMENDED CONVENTION ON THE INTERNATIONAL MOBILE SATELLITE ORGANIZATION (KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peruntukan energi elektromagnetik spektrum frekuensi sebagai media transmisi, yang

BAB I PENDAHULUAN. peruntukan energi elektromagnetik spektrum frekuensi sebagai media transmisi, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai Sumber Daya Alam (SDA) terbatas, sudah seharusnyalah penggunaan serta peruntukan energi elektromagnetik spektrum frekuensi sebagai media transmisi, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SFEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SFEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SFEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa dalam

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 21, 1999 PERJANJIAN. RATIFIKASI. INMARSAT. SATELIT. KONVENSI. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14

Lebih terperinci

JARINGAN KOMPUTER Chandra Hermawan, M.Kom

JARINGAN KOMPUTER Chandra Hermawan, M.Kom JARINGAN KOMPUTER Chandra Hermawan, M.Kom Materi Sesi IV MEDIA TRANSMISI Media Transmisi Guided Transmission (Wired): Terdapat saluran fisik yang menghubungkan perangkat satu dengan perangkat lainnya.

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi antariksa berdampak pada peningkatan peluncuran satelit untuk menjalankan berbagai misi, seperti telekomunikasi, penginderaan jauh, navigasi

Lebih terperinci

Pemancar&Penerima Televisi

Pemancar&Penerima Televisi Pemancar&Penerima Televisi Pemancar Bagian yg sangat vital bagi stasiun penyiaran radio&tv agar tetap mengudara Pemancar TV dibagi 2 bagian utama: sistem suara&sistem gambar Diubah menjadi gelombang elektromagnetik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI [LN 1999/154, TLN 3881] BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 47 11 ayat (1) 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda

Lebih terperinci

Wawasan Nusantara KELOMPOK 1 CIVIC EDUCATION

Wawasan Nusantara KELOMPOK 1 CIVIC EDUCATION Wawasan Nusantara KELOMPOK 1 CIVIC EDUCATION Pengertian Sedangkan wawasan mengandung arti: cara pandang. Namun dimaksudkan adalah cara pandang sec. pikiran (cara melihat, meanalisis dan memahami sesuatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

Oleh : Drs. H. M. Umar Djani Martasuta, M.Pd.

Oleh : Drs. H. M. Umar Djani Martasuta, M.Pd. Oleh : Drs. H. M. Umar Djani Martasuta, M.Pd. WILAYAH Amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman (1945) Mempertahankan Keamanan dan Keutuhan Wilayah Konsepsi Perata (1948) Perang Wilayah Deklarasi Juanda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

PARTISIPASI INDONESIA DALAM PEMBAHASAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL (GLOBAL NAVIGATION SATELLITE SYSTEM) DALAM SIDANG UNCOPUOS

PARTISIPASI INDONESIA DALAM PEMBAHASAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL (GLOBAL NAVIGATION SATELLITE SYSTEM) DALAM SIDANG UNCOPUOS Partisipasi Indonesia dalam Pembahasan...(Dina Prasetyaningsih) PARTISIPASI INDONESIA DALAM PEMBAHASAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL (GLOBAL NAVIGATION SATELLITE SYSTEM) DALAM SIDANG UNCOPUOS Dina Prasetyaningsih

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES

KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES Volume 01 Januari - Maret 2010 OPINIO JURIS KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES Oleh: Ferry Junigwan Murdiansyah Negara adalah leviathan.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2009 TENTANG METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2009 TENTANG METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2009 TENTANG METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA I. UMUM Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah

Lebih terperinci

GRAVITASI B A B B A B

GRAVITASI B A B B A B 23 B A B B A B 2 GRAVITASI Sumber: www.google.co.id Pernahkah kalian berfikir, mengapa bulan tidak jatuh ke bumi atau meninggalkan bumi? Mengapa jika ada benda yang dilepaskan akan jatuh ke bawah dan mengapa

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2000 TENTANG KENAVIGASIAN UMUM Kegiatan kenavigasian mempunyai peranan penting dalam mengupayakan keselamatan berlayar guna mendukung

Lebih terperinci

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); Lampiran 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2002 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI ANOMALI SATELIT SELAMA SIKLUS MATAHARI KE-23 BERDASARKAN ORBITNYA

DISTRIBUSI ANOMALI SATELIT SELAMA SIKLUS MATAHARI KE-23 BERDASARKAN ORBITNYA DISTRIBUSI ANOMALI SATELIT SELAMA SIKLUS MATAHARI KE-23 BERDASARKAN ORBITNYA 84 NEFLIA 2. Data dan metode Data satelit yang digunakan dalam analisis ini adalah satelit yang mengalami anomali selama siklus

Lebih terperinci

GEOPOLITIK Program Studi Manajemen

GEOPOLITIK Program Studi Manajemen Modul ke: PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Fakultas Ekonomi dan Bisnis GEOPOLITIK Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu geo dan politik. Maka, Membicarakan pengertian

Lebih terperinci