BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. telah lama menjadi sumber keprihatinan bersama. Kenakalan remaja ini juga turut mewarnai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. telah lama menjadi sumber keprihatinan bersama. Kenakalan remaja ini juga turut mewarnai"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis Pengertian Kenakalan Remaja Menurut Ma mur Jamal (2011: 90) kenakalan remaja merupakan fenomena umum yang telah lama menjadi sumber keprihatinan bersama. Kenakalan remaja ini juga turut mewarnai dunia pendidikan. Karena banyaknya permasalahan yang menimpa kalangan remaja, maka pemberitaan tentang remaja dimedia massa pun lebih banyak dan cenderung bersifat negatif. Menurut Sarwono ( 2002: 209) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana. Santrock (2002:22) menyatakan bahwa kenakalan remaja mengacuh pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial ( seperti bertindak berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal. Menurut Kartono (2003:78) Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin delinquere yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (Patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan

2 bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. Istilah kenakalan remaja ( juvenile delinquency) merujuk pada berbagai perilaku, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti berbuat onar di sekolah) status pelanggaran ( melarikan diri dari rumah), hingga tindakan kriminal (seperti pencurian). Pelanggaran dan status pelanggaran sebagai berikut : 1. Indeks Pelanggaran (Index Offenses) adalah tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja ataupun orang dewasa. Tindakan kriminal tersebut meliputi perampokan, serangan y ang menimbulkan kerugian pemerkosaan dan pembunuhan. 2. Status Pelanggaran ( Offenses Status) misalnya melarikan diri, membolos dari sekolah, mengonsumsi minuman keras meskipun masih dibawah umur melakukan hubungan seksual, dan tidak dapat dikendalikan, merupakan tindakan yang kurang serius. Tindakan ini ditampilkan oleh anak-anak muda dibawah umur, yang diklasifikasikan sebagai pelanggar remaja. Menurut Sarwono (2002: 192) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu: (a) kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. (b) Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain. (c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, hubungan seks bebas.(d) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah. kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana.

3 Menurut Santrock (2002: 22) bahwa kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakantindakan kriminal. kenakalan remaja sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang anak khususnya remaja, dimana jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, perbuatan tersebut merupakan kejahatan. Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Oleh karena dari beberapa kenakalan remaja menurut para ahli salah satu kenakalan remaja menurut Kartono (2003:78) yang akan saya gunakan untuk bahan penelitian selanjutnya yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (Patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja Pada Siswa Menurut Sarwono (2002:209) membagi kenakalan remaja menjadi empat aspek, yaitu sebagai berikut:

4 1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pemerasan, dan lain-lain. 3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, seks bebas, dan lain-lain. 4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, dan lain-lain. Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja, dapat disimpulkan bahwa semuanya menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta lingkungan sekitarnya.

5 Menurut Kartono (2003: 23), aspek-aspek kenakalan remaja dibagi menjadi empat, yaitu: a. Kenakalan Terisolir (Delinkuensi Terisolir) Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari para remaja delinkuen: merupakan kelompok mayoritas. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan kejahatan mereka disebabkan atau didorong oleh faktor sebagai berikut: 1. kejahatan mereka tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, dan motif yang mendalam, akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh keinginan meniru, ingin konfrom dengan gangnya. Biasanya semua kegiatan mereka lakukan secara bersama-sama dalam bentuk kegiatan kelompok. 2. Mereka kebanyakan berasal dari daerah-daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur criminal. Sejak kecil anak melihat adanya gang-gang kriminal, sampai pada suatu saat dia ikuti menjadi anggota salah satu kelompok gang tersebut. Didalam gang ini anak merasa diterima dan mendapatkan kedudukan terhormat, pengakuan, status sosial, dan prestise tertentu. Semua nilai, norma dan kebiasaan kelompoknya dengan subkultur kriminal itu, diopernya dengan serta merta. Jadi proses pengkondisian dan proses differential association. 3. Pada umumnya anak delinkuen tipe ini berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen, dan mengalami banyak frustasi. Situasi keluarga dipenuhi dengan konflik hebat diantara semua anggota keluarga, dan ada suasana penolakan oleh orang tua, sehingga anak-anak merasa di sia-siakan serta kesepian. Dalam situasi demikian anak tidak pernah merasakan iklim kehangatan emosional. Kebutuhan elementernya tidak terpenuhi: misalnya

6 tidak pernah merasa aman, harga dirinya terasa di injak, merasa dilupakan dan ditolak oleh orang tua, dan lain-lain. Pendeknya, anak mengalami banyak frustasi dalam lingkungan keluarga sendiri, dan mereaksi negatif terhadap tekanan lingkungannya. 4. Sebagai jalan keluarnya anak memuaskan semua kebutuhan dasarmya ditengah lingkungan anak-anak kriminal. Gang delinkuen memberikannya alternative hidup menyenangkan. Mereka akhirnya mengadopsi etik dan kebiasaan gangnya, dan dipakai sebagai sarana untuk meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya adalah penting, cukup menonjol dan berarti. Gang tersebut memberikan pada dirinya perasaan aman, diterima bahkan biasa mendapatkan bimbingan untuk menonjolkan egonya. 5. Secara typis mereka dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervise dan latihan disiplin yang teratur. Sebagai akibatnya, anak tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Bahkan banyak dari mereka menjadi kebal terhadap nilai kesusilaan: sebaliknya menjadi lebih peka terhadap pengaruh jahat. Ringkasnya, delinkuensi ini terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial. Mereka mencari panutan dan sekunderitas dari dan didalam kelompok gangnya namun pada usia dewasa mayoritas anak delinkuen tipe terisolir tadi meninggalkan tingkah laku kriminalnya paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perbuatanya pada usia tahun. Tampaknya pola tingkah laku delinkuen mereka itu merupakan bagian dari proses pendewasaan diri, untuk segera memasuki fase hidup baru, dan menyandang peranan sosial baru, lewat proses menjadi lebih dewasa. b. Kenakalan Neurotik (Delinkuensi Neurotik) pada umumnya anak-anak dilenkuen tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa: kecemasan merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan

7 terpojok, merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau berdosa, dan lain-lain. Ciri tingkah laku mereka antara lain: 1. tingkah laku delinkuennya bersumber pada sebab - sebab psikologisnya yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gangnya yang kriminal itu saja: juga bukan berupa usaha untuk mendapatkan prestise social dan simpati dari luar. 2. Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Karena itu tindak kejahatan dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya. 3. Biasanya, anak remaja delinkuen tipe terisolir ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu; misalnya suka memperkosa lalu membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik. 4. Anak delinkuen neurotik ini banyak yang berasal dari kelas menengah, yaitu dari lingkungan konvensional yang cukup baik kondisi sosial-ekonominya. Namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah; dan orang tuanya biasanya juga neurotik dan psikopatik. 5. Anak delinkuen neurotik ini memiliki ego yang lemah, dan ada kecenderungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak-anak remaja lainnya. 6. Motivasi kejahatan mereka berbeda-beda. Misalnya, para penyudut api ( pyromania, suka membakar) didorong oleh nafsu ekshibisionistis, anak-anak yang suka membongkar melakukan pembongkaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks, dan lain-lain. 7. Perilakunya memperlihatkan kwalitas komplusif (paksaan). Kwalitas sedemikian ini tidak terdapat pada tipe delinkuen terisolir. Anak-anak dan orang muda tukang bakar, para peledak

8 dinamit dan bom waktu, penjahat seks, dan pecandu narkotik dimasukkan dalam kelompok tipe neurotik ini. Oleh karena perubahan tingkah laku anak-anak delinkuen neurotik ini berlangsung atas dasar konflik jiwani yang serius atau mendalam sekali, maka mereka akan terus melanjutkan tingkah laku kejahatanya sampai usia dewasa dan umur tua. c. Kenakalan Psikopatik (Delinkuensi Psikopatik) Delikuen psikopatik ini sedikit jumlahnya; akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum criminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah: 1. hampir seluruh anak delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan selalu menyia-nyiakan anak-anaknya. Tak sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim-piatu. Dalam lingkungan demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang, dan relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sebagai akibatnya, mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi, sedang kehidupan perasaannya pada umumnya menjadi tumpul atau mati. Sebagai akibatnya, mereka tidak mampu menjalin relasi emosional yang akrab atau baik dengan orang lain. 2. Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa atau melakukan pelanggaran. Karena itu sering meledak tidak terkendali 3. Bentuk kejahatanya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya agresif dan implusif.. Biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.

9 4. Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang berlaku. Juga tidak pernah peduli terhadap norma norma subkultur gangnya. 5. Acapi mereka juga menderita gangguan neurologis sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat itu merupakan bentuk kekalutan mental dengan ciri-ciri sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, dia selalu konflik dengan norma sosial dan hukum. Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik kegila-gilaan dan jelas tidak memiliki kesadaran sosial serta intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis, fanatik dan selalu menentang apa dan siapapun juga. sikapnya aneh, sangat kasar, kurang ajar, ganas buas terhadap siapapun tanpa sebab sesuatu pun juga. kata-katanya selalu menyakiti hati orang lain; perbuatannya sering ganas sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun juga. Karena itu remaja delinkuen yang psikopatik ini digolongkan kedalam bentuk penjahat yang paling berbahaya. d. Kenakalan Defek Moral (Delinkuensi Defek Moral) Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan

10 dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif, diantara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar. Dapat disimpulkan bahwa dari kedua aspek-aspek menurut para ahli adalah membahas tentang perilaku yang melanggar aturan dan status, serta perilaku yang membahayakan diri sendiri serta kenakalan terisolir yang mana kenakalan ini lebih kepada kenakalan mereka didorong karena keinginan meniru, kenakalan neurotik membahas tentang kenakalan yang menderita gangguan kenakalan kejiwaan, kenakalan psikopatik lebih cenderung kepada lingkungan yang keluarganya brutal yang orang tuanya selalu menyia-menyiakan mereka, kenakalan defect moral yaitu mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, rasa kemanusiaannya sangat terganggu. Oleh karena itu dari kedua teori tersebut yang akan saya gunakan sebagai tindak lanjut penelitian adalah aspek menurut Kartono Dr. karena aspek tersebut membahas tingkah laku kenakalan remaja pada siswa maupun anak dan bagaimana perilaku mereka terhadap orang tua.

11 2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja Pada Siswa Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Kartono Dr. ( 2011: 125 ) mengatakan bahwa lebih rinci dijelaskan sebagai berikut : 1. Faktor Internal ( Endogen) Faktor internal berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru oleh anak-anak remaja dalam menanggapi milieu (lingkungan) di sekitarnya dan semua pengaruh dari luar. Tingkah laku mereka merupakan reaksi yang salah atau irasional dari proses belajar, yang terwujud dalam bentuk ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Kemudian mereka melakukan mekanisme pelarian dan pembelaan diri dalam wujud kebiasaan adaptif, agresi dan pelanggaran terhadap norma-norma sosial serta hukum formal. 2. Faktor Eksternal ( Eksogen) Faktor eksternal adalah semua perangsang dan pengaruh luar yang menimbulkan tingkah laku terhadap anak-anak remaja. Faktor-faktor ini misalnya tindak kekerasan, kejahatan, perkelahian, massal, dan lain sebagainya.yang dilihat dan kemudian ditiru oleh remaja. Sedangkan faktor eksternal yang disebabkan oleh faktor keluarga, diantaranya rumah tangga berantakan, perlindungan yang berlebihan yang berlebihan dari orang tua, penolakan orang tua, dan pengaruh buruk dari orang tua. Hal ini harus diatasi dengan melibatkaan peran dari orang tua. Orang tua harus menyadari bahwa mereka memiliki andil dalam membentuk watak dan kepribadian anak. Tidak hanya sekadar menyalahkan, orang tua juga wajib untuk memberikan teladan yang baik.

12 Willis (2008:93) menjelaskan terdapat empat faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang ada dalam diri anak remaja itu sendiri, meliputi: a. Predisposing faktor, yaitu faktor kelainan yang dibawa sejak lahir, seperti cacat keturunan fisik dan mental. b. Lemahnya kemampuan pengawasan diri terhadap pengaruh lingkungan. c. Kurangnya dasar-dasar keagamaan dalam diri, sehingga sukar mengukur norma-norma luar atau memilih norma yang baik sesuai dengan lingkungan masyarakat. 2. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat di antaranya adalah: a. Kurangnya pelaksanaan pendidikan agama secara konsekuen, sehingga kenakalan remaja dalam lingkungan mereka semakin meningkat. b. Masyarakat kurang memperoleh pendidikan, sehingga keinginan dan tingkah laku remaja berjalan sesuai dengan kehendak mereka. c. Pengaruh norma baru yang datang dari luar, dimana anak pada usia remaja selalu ingin mengetahui dan memiliki hal-hal baru, tanpa mempertimbangkan apa akibat yang ditimbulkannya. d.sekolah kadang-kadang juga dapat menyebabkan timbulnya kenakalan remaja bila tidak terbina dengan baik. Dari uraian di atas dapat dilihat dari faktor-faktor kenakalan remaja menurut Kartono ( 2011: 125 ) mengatakan bahwa lebih rinci dijelaskan membagi dua faktor, yaitu dari dalam berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru oleh anak-anak remaja dalam menanggapi millieu ( lingkungan) di sekitarnya dan semua pengaruh dari luar sedangkan faktor

13 eksternal adalah semua perangsang dan pengaruh luar yang menimbulkan tingkah laku terhadap anak-anak remaja 2.2 Pengertian Religiusitas Menurut (Kahmad, 2002). Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie (Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin religio dari akar kata relegare yang berarti mengikat. Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti. al-khidmat (pelayanan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), alibadat (pengabdian). Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski berakar kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu didalam hati. Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam( Nashori Fuad Dan Diana Rachmy, 2002). Ancok dan Suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan

14 perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan. Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang. Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan definisi religiusitas sebagai statu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran- ajaran agama yang dianutnya. Menurut Jalaluddin ( 2000:212) religiusitas sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Dari beberapa definisi yang diungkapkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas merupakan suatu bentuk hubungan manusia dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi serta dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya.

15 Oleh karena itu pendapat yang akan saya gunakan sebagai tindak lanjut penelitian adalah pendapat Glock & Stark (dalam Ancok:2010) yang menjelaskan bahwa religiusitas seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang Aspek- Aspek Yang Mempengaruhi Religiusitas Menurut Glock dan Stark (77: 2010) membagi religiusitas menjadi lima dimensi yakni: 1. Dimensi keyakinan ( the ideological dimension) Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang religious berpegang teguh pada pandangan keyakinan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi seringkali juga di antara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. 2. Dimensi Praktek Agama Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu: a. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus. Tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakan. Contohnya dalam Kristen sebagian dari pengharapan ritual itu diwujudkan dalam kebaktian di gereja. Persekutuan suci, baptis, perkawinan, dan semacamnya. b. Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan bagaikan ikan dengan air. Meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama

16 yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi. Ketaatan di lingkungan penganut Kristen diungkapkan melalui sembahyang pribadi, membaca alqur an. 3. Dimensi Pengalaman Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengaharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural). Seperti telah kita kemukakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan tuhan kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental. 4. Dimensi Pengetahuan Agama (The Intellectual Dimension) Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi ini pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimaannya. Walaupun demikian, keyakinan tidak perlu di ikuti oleh syarat pengetahuan. Juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan. Lebih jauh, seseorang dapat berkeyakinan bahwa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. 5. Dimensi efek atau pengalaman (the consequential dimension) Konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan diatas. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari kehari kerja dalam pengertian teologis

17 digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagain dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama. Adapun aspek-aspek religiusitas menurut Brech (2001:6) : 1 Iman (seberapa kokoh keyakinan), 2 Ihsan (seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut), 3 Amal (sejauh mana perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari), 4 Ibadah (sejauh mana pelaksanaan ibadah seseorang), 5 Ilmu (seberapa jauh pengetahuan tentang agama), Dari aspek menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa aspek religiusitas menurut Starck dan Glock lebih cenderung kepada sejauh mana seseorang menerima, melakukan, merasakan dan mengetahui serta menunjukkan prilaku agamanya dalam kehidupan sosial. Sedangkan aspek Brech menekankan kepada 5 iman, ihsan, amal, ibadah, ilmu. Sehingga yang saya gunakan untuk tindak lanjut penelitian saya adalah pendapat menurut starck dan Glock karena dari ke lima dimensi tersebut mendorong kita atau seorang remaja yang lebih dikhususkan kepada siswa dapat mengetahui nilai-nilai religiusitas dan moral untuk melakukan hal-hal yang tujuannya baik Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas Dalam menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas yaitu : a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan

18 orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan. b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai: 1) Keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah) 2) Adanya konflik moral (faktor moral) 3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif). Menurut Rakhmat ( 2000: 31) ada dua faktor religiusitas yang terbentuk: a. Faktor internal Didasarkan pada pengaruh dari dalam diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya dalam diri manusia terdapat potensi untuk beragama, asumsi ini didasarkan karena manusia merupakan akhlak homo religius potensi tersebut termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri,akal perasaaan maupun kehendak dan lain sebagainya. b. Faktor eksternal Timbul dari luar diri individu itu sendiri, seperti karena adanya rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah ( sense of quilt) ( Jalaluddin, 2000: 222) Dari beberapa faktor menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa religiusitas seseorang dilihat dari perkembangan lingkungan, tuntutan-tuntutan dan kebutuhan karena mengembangkan sikap agama yang positif serta tindakan dari luar dan dalam aspek kejiwaan naluri, akal, serta ketergantungan ataupun rasa bersalah karena rasa takut.

19 Dari uraian yang telah dikatakan diatas bawah salah satu bentuk reaksi ketidakpuasan remaja terhadap kondisi lingkungan sosialnya adalah menarik diri ke dalam dirinya sendiri sehinga ia tampil sebagai seorang pendiam, pemalu atau pemurung, yang dalam gangguan kejiwaannya bisa menjadi skizofrenik autis atau katatonik. Akan tetapi, penarikan diri itu bisa juga berupa pemilihan lingkungan atau norma tertentu dan cenderung mengikatkan diri pada lingkungan tertentu atau norma tertentu tersebut. 2.3 Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kenakalan Remaja Salah satu pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Dengan demikian, tingkat partisipasi remaja dalam organisasi religius dapat menjadi hal yang lebih penting dibandingkan afasiliasi dengan agama tertentu, dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku yang mengarah pada hubungan seks pranikah. Bagi remaja tentang hubungan tingkat religiusitas dengan perilaku kenakalan remaja. Dengan adanya penelitian ini diharapkan remaja mampu membentengi diri mereka dari perilaku kenakalan remaja dengan meningkatkan religiusitasnya dengan cara meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan, meningkatkan frekuensi ibadah, meningkatkan penghayatan terhadap agama, meningkatkan pengetahuan tentang agama serta selalu bersikap sesuai dengan ajaran agama. Dewasa ini dapat kita ketahui bahwa nilai religiusitas merupakan salah satu factor penunjang kenakalan remaja terutama pada siswa SMA, Kajian pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan dan menggambarkan hubungan religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa SMA Negeri I Tibawa. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peranan religiusitas pada siswa serta mengembangkan dan menekan atau mengontrol kenakalan remaja di sekolah

20 Religiusitas difokuskan pada lima aspek, yaitu keyakinan, ritual, pengalaman, konsekuensi, dan penghetahuan. Sedangkan kenakalan remaja terdiri dari lima aspek, yaitu perkelahian, pencurian, minum minuman keras, menonton VCD porno, dan membolos sekolah oleh karena itu sangat berpengaruh antara religiusitas siswa dan pada kenakalan remaja (siswa). 2.4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa SMA Negeri I Tibawa.

21

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa latin juvenilis yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa latin juvenilis yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kenakalan Remaja 2.1.1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis yang artinya anak-anak, anak muda,

Lebih terperinci

a. Definisi Kenakalan Remaja

a. Definisi Kenakalan Remaja BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kenakalan Remaja a. Definisi Kenakalan Remaja Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum.

BAB II LANDASAN TEORI. oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kenakalan Remaja 2.1.1. Pengertian Kenakalan Remaja Menurut Arif Gunawan (2011) definisi kenakalan remaja adalah : Istilah juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Kenakalan Remaja 2.1.1. Defenisi Perilaku Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentanagan yang sangat luas antara lain :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecenderungan Kenakalan Remaja 2.1 Defenisi Kenakalan Remaja Kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kenakalan Remaja 2.1.1 Definisi Kenakalan Remaja Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kenakalan dengan kata dasar nakal adalah suka berbuat tidak baik, suka mengganggu, dan suka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gaya kehidupan anak-anak remaja sekarang ini banyak mengalami perubahan. Perubahan itu meliputi cara berpikir, tata cara bertingkah laku, bergaul dan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi atau Badan) oleh negara atau institusi yang fungsinya setara dengan negara

BAB I PENDAHULUAN. pribadi atau Badan) oleh negara atau institusi yang fungsinya setara dengan negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara, pajak adalah kewajiban finansial atau retribusi yang dikenakan terhadap wajib pajak (orang pribadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, kenakalan remaja merusak nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, kenakalan remaja merusak nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenakalan remaja merupakan salah satu problem sosial yang sangat mengganggu keharmonisan, juga keutuhan segala nilai dan kebutuhan dasar kehidupan sosial. Dalam

Lebih terperinci

mengakibatkan perceraian dan berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian remaja (Usu, 2007). Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakh

mengakibatkan perceraian dan berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian remaja (Usu, 2007). Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakh JURNAL JUVENILE DELINQUENCY (KENAKALAN REMAJA) PADA REMAJA PUTRA KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA Sutji Prihatinningsih FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA ABSTRAK Belakangan ini angka perceraian meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Remaja, Karakteristik dan Tugas Perkembangannya. adolescence yang diadopsi dari bahasa latin adolescere yang artinya

BAB II LANDASAN TEORI Remaja, Karakteristik dan Tugas Perkembangannya. adolescence yang diadopsi dari bahasa latin adolescere yang artinya BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kenakalan Remaja 2.1.1 Remaja, Karakteristik dan Tugas Perkembangannya Menurut Hurlock (1999), kata remaja berasal dari bahasa Inggris adolescence yang diadopsi dari bahasa latin

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dari kata benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dari kata benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re dan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Kajian Teori 1. Religiusitas Secara bahasa, kata religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan oleh orang tua dalam membantu perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. dalam maupun luar negeri mudah diakses oleh setiap individu, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. dalam maupun luar negeri mudah diakses oleh setiap individu, khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pada zaman sekarang ini, kemajuan melaju pesat diberbagai bidang khususnya bidang IPTEK. Hal ini membuat berbagai informasi baik dari dalam maupun luar negeri

Lebih terperinci

BAB XII PERILAKU MENYIMPANG

BAB XII PERILAKU MENYIMPANG BAB XII PERILAKU MENYIMPANG A. Pengertian Perilaku Menyimpang Perilaku menyimpang dapat terjadi di mana-mana dan kapan saja, baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat. Banyak faktor atau sumber yang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA PERILAKU DELINKUEN DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSI PENYANDANG TUNALARAS DI SLB-E BHINA PUTERA SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S1 Psikologi Disusun oleh

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : NITALIA CIPUK SULISTIARI F 100 040

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini dunia pendidikan sedang berkembang, banyak sekolah-sekolah yang berdiri dengan kegiatan-kegiatan yang menarik untuk mendukung proses belajar siswa mereka, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia dalam kehidupannya. Kemajuan zaman memiliki nilai yang positif dalam kehidupan manusia, dimana pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. usia tersebut masih berada pada masa transisi. Pengaruh sosial dan budaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. usia tersebut masih berada pada masa transisi. Pengaruh sosial dan budaya 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kenakalan remaja 1. Pengertian kenakalan remaja Para ahli pendidikan berpendapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13-18 tahun, pada usia tersebut seorang remaja sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prilaku remaja pada hakekatnya adalah suatu aktivitas pada remaja itu sendiri, prilaku juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. disebut sebagai periode pubertas, pubertas (puberty) adalah perubahan cepat pada. terjadi selama masa remaja awal (Santrock, 2003).

PENDAHULUAN. disebut sebagai periode pubertas, pubertas (puberty) adalah perubahan cepat pada. terjadi selama masa remaja awal (Santrock, 2003). 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan masa dimana seorang manusia mengalami peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa peralihan ini setiap remaja meninggalkan identitas

Lebih terperinci

Kenakalan Remaja Ditinjau dari Tempat Tinggal Padat Penduduk. : Andri Sudjiyanto

Kenakalan Remaja Ditinjau dari Tempat Tinggal Padat Penduduk. : Andri Sudjiyanto Kenakalan Remaja Ditinjau dari Tempat Tinggal Padat Penduduk Nama Fakultas Jurusan Universitas Dosen Pembimbing : Andri Sudjiyanto : Psikologi : Psikologi : Universitas Gunadarma : Dr Eko Djuniarto,MPsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. peran belajar observasional, pengalaman social, dan determinisme timbal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. peran belajar observasional, pengalaman social, dan determinisme timbal BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Efikasi Diri (Self Efficacy) 1. Pengertian Efikasi Diri Konsep self efficacy sebenarnya adalah inti dari teori social cognitive yang dikemukakan oleh Albert Bandura yang menekankan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. saat ini adalah Adolescense yang berasal dari kata latin yaitu Adolescentia

BAB II KAJIAN PUSTAKA. saat ini adalah Adolescense yang berasal dari kata latin yaitu Adolescentia BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pengertian dasar dari remaja adalah pemuda, istilah yang digunakan saat ini adalah Adolescense yang berasal dari kata latin yaitu Adolescentia maksudnya

Lebih terperinci

BAB II KAMPANYE ANTI BALAPAN MOTOR LIAR BAGI REMAJA DI KOTA BANDUNG

BAB II KAMPANYE ANTI BALAPAN MOTOR LIAR BAGI REMAJA DI KOTA BANDUNG BAB II KAMPANYE ANTI BALAPAN MOTOR LIAR BAGI REMAJA DI KOTA BANDUNG Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya permasalahan yang dibahas adalah mengenai tindakan persuasif untuk pencegahan pengaruh negatif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agresi 2.1.1 Definisi Agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental (Aziz & Mangestuti, 2006). Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa peralihan, yang bukan hanya dalam arti psikologis, tetapi juga fisiknya. Peralihan dari anak ke dewasa ini meliputi semua aspek perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa yang meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecenderungan Kenakalan Remaja. Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecenderungan Kenakalan Remaja. Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecenderungan Kenakalan Remaja 1. Definisi Kenakalan Remaja Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa Remaja adalah masa transisi yaitu antara masa anak anak ke masa dewasa..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa Remaja adalah masa transisi yaitu antara masa anak anak ke masa dewasa.. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kenakalan Remaja Masa Remaja adalah masa transisi yaitu antara masa anak anak ke masa dewasa.. Menurut J.Piager, Remaja adalah peralihan antara masa anak-anak dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebingungan, kecemasan dan konflik. Sebagai dampaknya, orang lalu

BAB I PENDAHULUAN. kebingungan, kecemasan dan konflik. Sebagai dampaknya, orang lalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi dan industrialisasi memunculkan masyarakat modern yang serba kompleks dengan berbagai masalah sosial yang terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kenakalan Remaja Definisi kenakalan remaja menurut Arif Gunawan (2011) bisa disebut dengan istilah juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Remaja merupakan fase perubahan baik itu dalam bentuk fisik, sifat, sikap, perilaku maupun emosi. Seiring dengan tingkat pertumbuhan fisik yang semakin berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja sedang mencari-cari figur panutan, namun figur itu tidak ada didekatnya.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja sedang mencari-cari figur panutan, namun figur itu tidak ada didekatnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa krisis identitas bagi kebanyakan anak remaja. Remaja sedang mencari-cari figur panutan, namun figur itu tidak ada didekatnya. Secara umum dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sepenuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan diri pada orang lain. Seorang anak memerlukan waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yakni tingginya angka korupsi, semakin bertambahnya jumlah pemakai narkoba,

BAB I PENDAHULUAN. yakni tingginya angka korupsi, semakin bertambahnya jumlah pemakai narkoba, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini bukan hanya mengenai ekonomi, keamanan dan kesehatan, tetapi juga menurunnya kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang melanggar

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang melanggar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang melanggar hukum. Kejahatan yang terjadi di masyarakat saat ini tidak seluruhnya dilakukan oleh orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2011). Periode ini

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN AFEKTIF

PERKEMBANGAN AFEKTIF PERKEMBANGAN AFEKTIF PTIK PENGERTIAN AFEKTIF Afektif menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian. ciri yang mengarah pada diri sendiri. Menurut Freud (Alwisol, 2005;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian. ciri yang mengarah pada diri sendiri. Menurut Freud (Alwisol, 2005; BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Menghadapi Kematian 1. Pengertian Kecemasan Menghadapi Kematian Kecemasan didefinisikan oleh Kartono (2005) sebagai suatu kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Forgiveness 2.1.1. Definisi Forgiveness McCullough (2000) bahwa forgiveness didefinisikan sebagai satu set perubahan-perubahan motivasi di mana suatu organisme menjadi semakin

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.

I. PENDAHULUAN. Anjarsari (2011: 19), mengatakan bahwa kenakalan adalah perbuatan anti. orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kenakalan remaja bukan merupakan permasalahan baru yang muncul kepermukaan, akan tetapi masalah ini sudah ada sejak lama. Banyak cara, mulai dari tindakan prefentif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini fenomena kenakalan remaja (siswa) semakin meluas, bahkan hal ini sudah terjadi sejak dulu. Kenakalan remaja, seperti sebuah lingkaran yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dimana usianya berkisar antara tahun. Pada masa ini individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dimana usianya berkisar antara tahun. Pada masa ini individu mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa dimana usianya berkisar antara 12-21 tahun. Pada masa ini individu mengalami berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan bantuan orang lain. Oleh karena itu, setiap manusia diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang menata bagaimana cara berhubungan antara. mengabdi kepada Allah. Dengan mengamalkan ajaran agama, itu

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang menata bagaimana cara berhubungan antara. mengabdi kepada Allah. Dengan mengamalkan ajaran agama, itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama adalah suatu kepercayaan yang berisi norma-norma atau peraturan-peraturan yang menata bagaimana cara berhubungan antara manusia dengan Sang Maha Kuasa,

Lebih terperinci

BAB II TEORI KONTROL SOSIAL TRAVIS HIRSCHI. kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.

BAB II TEORI KONTROL SOSIAL TRAVIS HIRSCHI. kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat. BAB II TEORI KONTROL SOSIAL TRAVIS HIRSCHI A. Teori Kontrol Sosial Travis Hirschi Teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pengalaman Beragama. Pengalaman beragama menurut Glock & Stark (Hayes, 1980) adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pengalaman Beragama. Pengalaman beragama menurut Glock & Stark (Hayes, 1980) adalah 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGALAMAN BERAGAMA 1. Pengertian Pengalaman Beragama Menurut Jalaluddin (2007), pengalaman beragama adalah perasaan yang muncul dalam diri seseorang setelah menjalankan ajaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1. Remaja 2.1.1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescare (kata menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Remaja adalah suatu masa yang dianggap

Lebih terperinci

FAJAR DWI ATMOKO F

FAJAR DWI ATMOKO F HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU DELINKUENSI PADA REMAJA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU DELIKUEN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU DELIKUEN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU DELIKUEN SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu kelompok di dalam masyarakat. Kehidupan remaja sangat menarik untuk diperbincangkan. Remaja merupakan generasi penerus serta calon

Lebih terperinci

PERAN UNITBINMAS (UNIT PEMBINAAN MASYARAKAT) DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA PELAJAR. (Studi Kasus Pada Polsek Kerjo Kabupaten Karanganyar)

PERAN UNITBINMAS (UNIT PEMBINAAN MASYARAKAT) DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA PELAJAR. (Studi Kasus Pada Polsek Kerjo Kabupaten Karanganyar) PERAN UNITBINMAS (UNIT PEMBINAAN MASYARAKAT) DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN REMAJA PELAJAR (Studi Kasus Pada Polsek Kerjo Kabupaten Karanganyar) NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, pribadi yang akibatnya mengganggu dan merugikan pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, pribadi yang akibatnya mengganggu dan merugikan pihak lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi memunculkan banyak masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asing bisa masuk ke negara Indonesia dengan bebas dan menempati sector-sektor

BAB I PENDAHULUAN. asing bisa masuk ke negara Indonesia dengan bebas dan menempati sector-sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memasuki era globalisasi ini membawa Indonesia dalam tantangan yang berat, khususnya dalam sektor tenaga kerja. Sebab pada era globalisasi ini tenaga kerja asing bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan negatif maupun positif. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. perubahan negatif maupun positif. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, manusia sejak awal hingga sekarang selalu mengalami perubahan-perubahan, baik pada fisik maupun mentalnya, baik perubahan negatif maupun

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MASALAH. 4.1 Analisis Tentang Kepercayaan Diri Anak Tuna Netra di Balai

BAB IV ANALISIS MASALAH. 4.1 Analisis Tentang Kepercayaan Diri Anak Tuna Netra di Balai 69 BAB IV ANALISIS MASALAH 4.1 Analisis Tentang Kepercayaan Diri Anak Tuna Netra di Balai Rehabilitasi Data hasil penelitian lapangan memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa pada awal anak tuna netra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja BAB I PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah fase kedua dalam kehidupan setelah fase anak-anak. Fase remaja disebut fase peralihan atau transisi karena pada fase ini belum memperoleh status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama rentang kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir sampai meninggal, banyak fase perkembangan dan pertumbuhan yang harus dilewati. Dari semua fase perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era global yang terus berkembang menuntut manusia untuk lebih dapat beradaptasi serta bersaing antara individu satu dengan yang lain. Dengan adanya suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. kematangan fisik, mental, sosial, dan emosional. Umumnya, masa ini berlangsung 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Berkaitan dengan masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembinaan dan pengembangan generasi muda terus-menerus ditingkatkan sejalan

I. PENDAHULUAN. Pembinaan dan pengembangan generasi muda terus-menerus ditingkatkan sejalan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembinaan dan pengembangan generasi muda terus-menerus ditingkatkan sejalan dengan proses pembangunan nasional yang terus digalakkan. Salah satu wadah dari pembinaan dan

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN TEMPAT TINGGAL TERHADAP TINGKAT RELIGIUSITAS MAHASISWA PAI FAI UMY

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN TEMPAT TINGGAL TERHADAP TINGKAT RELIGIUSITAS MAHASISWA PAI FAI UMY PENGARUH JENIS KELAMIN DAN TEMPAT TINGGAL TERHADAP TINGKAT RELIGIUSITAS MAHASISWA PAI FAI UMY Tugas Akhir Semester pada Mata Kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan Dosen: Dra. Hj. Akif Khilmiyah, M. Ag.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang indah, tetapi tidak setiap remaja dapat menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang beberapa permasalahan

Lebih terperinci

SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pendidikan Pada Program Ekstensi Bimbingan dan Konseling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural dalam

BAB I PENDAHULUAN. secara kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama merupakan suatu lembaga yang terbentuk akibat adanya interaksi terpola secara kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN TERHADAP TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU ANTISOSIAL PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN TERHADAP TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU ANTISOSIAL PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN TERHADAP TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU ANTISOSIAL PADA REMAJA Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Meraih Gelar S1 Psikologi Oleh : Diah Peni Sumarni F 100990135

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.5. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.5. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.5. Latar Belakang Remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) berarti tumbuh atau tumbuh menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa dimana manusia mengalami transisi dari masa anakanak

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa dimana manusia mengalami transisi dari masa anakanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja adalah masa dimana manusia mengalami transisi dari masa anakanak menuju masa dewasa. Pada masa transisi tersebut remaja berusaha untuk mengekspresikan dirinya

Lebih terperinci

PENYIMPANGAN SOSIAL, DAMPAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA

PENYIMPANGAN SOSIAL, DAMPAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA PENYIMPANGAN SOSIAL, DAMPAK DAN UPAYA PENCEGAHANNYA Standar Kompetensi: Memahami masalah penyimpangan sosial. Kompetensi Dasar: Mengidentifikasi berbagai penyakit sosial (miras, judi, narkoba, HIV/Aids,

Lebih terperinci

Singgih D. Gunarso mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu

Singgih D. Gunarso mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu Kenakalan Remaja 1 Definisi Kelainan tingkah laku/tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat (Bakolak Inpres No. 6/1977

Lebih terperinci

KENAKALAN REMAJA : PENYEBAB & SOLUSINYA. Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

KENAKALAN REMAJA : PENYEBAB & SOLUSINYA. Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd KENAKALAN REMAJA : PENYEBAB & SOLUSINYA Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd A. PENDAHULUAN Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani prosesproses perkembangan jiwanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Agama merupakan faktor penting yang dapat membimbing manusia agar berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran agama yang dianut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masalah kenakalan remaja semakin dirasa meresahkan

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masalah kenakalan remaja semakin dirasa meresahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini masalah kenakalan remaja semakin dirasa meresahkan masyarakat, tak hanya masyarakat di perkotaan, masyarakat didesapun mulai merasa resah dengan perilaku

Lebih terperinci

Suka bolos, berkelahi dengan anak sini dan luar, suka minum-minum, suka merokok, pernah bantah guru

Suka bolos, berkelahi dengan anak sini dan luar, suka minum-minum, suka merokok, pernah bantah guru BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, juvenile delinquency kian mengerikan di tengah masyarakat, padahal seorang remaja merupakan bibit pemegang kunci keberhasilan suatu negara di masa

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KENAKALAN REMAJA PELAKU TATO SKRIPSI Diajukan oleh : Bonnie Suryaningsih F. 100020086 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA JULI 2010 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. 1 BAB 1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan. Dimulai dari masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua. Pada setiap masa pertumbuhan manusia

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci