BAB 17 PENINGKATAN INVESTASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 17 PENINGKATAN INVESTASI"

Transkripsi

1 BAB 17 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON-MIGAS Salah satu sebab utama dari lambatnya pemulihan ekonomi sejak krisis 1997 adalah buruknya kinerja investasi akibat sejumlah permasalahan yang mengganggu pada setiap tahapan penyelenggaraannya. Keadaan tersebut menyebabkan lesunya kegairahan melakukan investasi, baik untuk perluasan usaha yang telah ada maupun untuk investasi baru. Masalah ini akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian yang selama ini lebih didorong oleh pertumbuhan konsumsi ketimbang investasi atau ekspor. Rendahnya investasi dalam beberapa tahun terakhir sejak krisis ekonomi juga telah mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dalam maupun luar negeri. Situasi di atas diperparah dengan masih belum efisiennya fasilitasi perdagangan nasional yang berkaitan dengan aktivitas ekspor-impor. Fasilitasi perdagangan, menurut catatan UNCTAD 2002, dapat menghemat sekitar seperempat dari volume perdagangan dunia pada tahun Nilai penghematan tersebut mencapai sekitar US$ 100 miliar (sekitar 2 persen dari nilai impor seluruh dunia). Biaya fasilitasi perdagangan meliputi seluruh komponen biaya transaksi langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi kegiatan ekspor-impor (termasuk biaya untuk urusan perbankan dan asuransi, informasi bisnis, urusan bea-cukai, biaya transportasi, dan administrasi pengadaan barang sesuai aturan pemerintah). Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, efisiensi fasilitasi perdagangan nasional relatif rendah sehingga memperburuk posisi daya saing produk ekspor nasional. A. PERMASALAHAN Dalam tahun , investasi berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh ratarata 1,3 persen per tahun; jauh di bawah tahun yang tumbuh rata-rata sekitar 10,6 persen per tahun. Dengan lambatnya pemulihan investasi, peranan investasi berupa pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB menurun dari 29,6 persen pada tahun 1997 menjadi 19,7 persen pada tahun Dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis, secara riil tingkat investasi pada tahun 2003 baru mencapai sekitar 69 persen dari volume investasi 1997 (harga konstan 1993). Sampai dengan triwulan III/2004, pembentukan modal tetap bruto mulai tumbuh yaitu sebesar 11,3 persen. Meskipun demikian, peningkatannya masih sangat awal dan perlu didorong dengan mengatasi masalah-masalah pokok yang menghambat investasi. Pengembangan investasi ke depan menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan. Salah satunya adalah kecenderungan berkurangnya arus masuk investasi global melalui FDI sejak sebelum tahun Sementara itu, daya tarik investasi pada beberapa negara Asia Timur pesaing Indonesia seperti antara lain RRC, Vietnam, Thailand, dan Malaysia justru meningkat. Oleh karena itu, lambannya respon terhadap penciptaan lingkungan usaha yang kondusif serta terhadap kebutuhan penyederhanaan berbagai perangkat peraturan dan formulasi sistem insentif di bidang investasi dikhawatirkan berimplikasi jangka menengah-panjang untuk perkembangan ekonomi ke depan. Secara ringkas, permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan investasi adalah iklim investasi yang memburuk karena berbagai faktor sebagai berikut. Bagian IV.17 1

2 Prosedur perijinan investasi yang panjang dan mahal. Berdasarkan studi Bank Dunia pada tahun 2004, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu usaha dari berbagai instansi baik pusat maupun daerah di Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya yang diperlukan sebesar 131 persen dari per capita income (sekitar US$ 1.163). Sementara itu untuk memulai usaha di Malaysia hanya melalui 9 prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya yang diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per capita income (sekitar US$ 945). Adapun untuk memulai usaha di Filipina dan Thailand hanya membutuhkan waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan biaya masing-masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen (sekitar US$ 160) dari per capita income. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. Rendahnya kepastian hukum. Ini tercermin antara lain dari berlarutnya perumusan RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga. Rendahnya kepastian hukum juga tercermin dari banyaknya tumpang tindih kebijakan antar pusat dan daerah dan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi. Suatu studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002 pada 134 kabupaten/kota di Indonesia menyatakan bahwa penerapan peraturan daerah (perda) pungutan lebih didorong oleh keinginan untuk menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan dapat merugikan pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan lainnya) kurang menunjang kegiatan usaha (proporsinya: 38,1 persen distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan 14,2 persen menunjang). Berdasarkan penelitian LPEM UI Tahun 2003, pengeluaran perusahaan untuk biaya tambahan atau pungutan liar telah mencapai 11 persen dari biaya produksi. Lemahnya insentif investasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia relatif tertinggal dalam menyusun insentif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia kurang memberi kelonggarankelonggaran perpajakan dalam upaya mendorong investasi. Kualitas SDM rendah dan terbatasnya infrastruktur. Kurang bergairahnya iklim investasi juga disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side) dan kapasitas dari sistem dan jaringan infrastruktur karena sebagian besar dalam keadaan rusak akibat krisis. Pengembangan manufaktur yang belum berbasis pada kemampuan penguasaan teknologi dan masih relatif rendahnya kemampuan SDM tenaga kerjanya memiliki implikasi yang tidak ringan. Sementara itu, keterbatasan kapasitas infrastruktur berpengaruh pada peningkatan biaya distribusi yang pada gilirannya justru memperburuk daya saing produk-produknya. Di samping jaringan transportasi darat, satu contoh lain yang juga merupakan masalah kunci adalah bottleneck di pelabuhan-pelabuhan ekspor karena ketidakefisiensian pengelolaan pelabuhan dan urusan-urusan kepabeanan. Pembahasan bagian ini akan dielaborasi lebih lanjut di dalam Bab tersendiri. Bagian IV.17 2

3 Tidak adanya kebijakan yang jelas untuk mendorong pengalihan teknologi dari PMA. Perkembangan globalisasi serta pesatnya kemajuan teknologi dan komunikasi membawa pengaruh besar di dalam liberalisasi investasi. Fenomena ini, menurut World Investment Report 2002 (WIR 2002) dimotori dan sangat didominasi oleh transnational corporations (TNCs) melalui terjadinya fragmentasi (internasionalisasi) produksi komponen dengan memperhitungkan keunggulan komparasi tingkat global. WIR 2002 menyebutkan bahwa pesatnya perkembangan dominasi TNCs dapat dicermati dari perkembangannya dalam foreign direct investment (FDI). Bila pada tahun 1990 jumlah modal yang ditanamkan sebesar USD 1,7 triliun (melibatkan 24 juta tenaga kerja di seluruh dunia), pada tahun 2001 jumlah modal yang ditanam meningkat empat kali lipat menjadi USD 6,6 triliun dan melibatkan pekerja 45 juta orang di seluruh dunia. Dengan kekuatannya dalam jaringan nilai tambah (value-added chain) dari mulai R & D sampai pada logistik dan pemasaran, aktivitas TNCs banyak mendominasi pola perdagangan global, terutama jaringan ekspor-impor (baik produk antara maupun final) dari dan ke negara-negara berkembang. Fenomena ini mengindikasikan perlunya rumusan strategi dan kebijakan investasi, terutama di negara-negara berkembang, yang menyesuaikan dan mengamati konstelasi global. Dalam kaitannya dengan peningkatan ekspor, perlunya merumuskan strategi dan kebijakan yang mempertimbangkan kehadiran TNCs sebagai FDI memiliki manfaat ganda. Pertama, TNCs memiliki jaringan logistik internasional yang kuat sehingga dapat mendorong peningkatan akses pasar ekspornya, dan kedua, TNCs merupakan sumber yang potensial bagi tranfer teknologi produksi yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan basis produksi dan daya saing industri manufaktur dalam negeri. Meskipun demikian, strategi dan kebijakan ekspor tersebut perlu pula mempertahankan keseimbangannya dengan kepentingan pembangunan nasional yang strategis. Dalam kaitan ini, strategi dan kebijakan pengembangan ekspor perlu diintegrasikan dengan pengembangan sistem jaringan perdagangan dalam negeri terutama terhadap produk-produk pertanian agar tercipta ketahanan ekonomi yang lebih kokoh. Sejak krisis 1997, kinerja ekspor nasional masih belum maksimal. Sampai dengan 2003, kondisinya masih relatif stagnan di saat gairah perdagangan dunia justru membaik. Pertumbuhan ekspor hanya sekitar 3 persen, jauh lebih kecil dibandingkan saat sebelum krisis yang sekitar 16 persen. Beberapa komoditi yang dulunya menjadi andalan seperti minyak kelapa sawit, furniture, dan sepatu, justru mengalami penurunan tingkat pertumbuhan paling besar. Meskipun terdapat perubahan komposisi karena mulai bermunculan ekspor dengan kandungan teknologi lebih tinggi, kontribusinya terhadap keseluruhan ekspor masih sangat kecil. Secara total pangsa ekspor Indonesia memang masih sedikit meningkat di pasar dunia (dari 0,81 persen menjadi 0,84 persen), namun pangsa ekspor 30 komoditi utama (di luar minyak dan gas bumi) justru menurun karena ketatnya persaingan dengan negara-negara Asia lain yang struktur ekspornya mirip seperti Cina, Korea, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Secara rinci, terdapat 8 (delapan) permasalahan pokok yang menyebabkan penurunan kinerja ekspor nasional, yaitu berkenaan dengan: Biaya ekonomi tinggi. Masih tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia usaha secara langsung menurunkan daya saing produk ekspor. Banyak faktor penyebab yang antara lain adalah masih maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang; belum terjaminnya keamanan berusaha (belum berjalannya penegakkan hukum); kurang efektifnya peraturan pemerintah (tidak konsistennya antara peraturan yang ditetapkan dengan pelaksanaan di lapangan). Bagian IV.17 3

4 Meningkatnya nilai tukar riil efektif rupiah. Nilai tukar rupiah secara nominal memang mengalami depresiasi bila dibandingkan pada masa sebelum krisis (tahun 1997), namun nilai tukar efektif riilnya mengalami penguatan sebesar 80% dibandingkan pada masa sebelum krisis. Penguatan tersebut terutama terjadi pada tahun 2002 dimana terjadi penguatan sebesar 21%. Nilai tukar efektif riil dibentuk oleh dua komponen yaitu nilai tukar nominal dan rasio harga relatif antara harga domestik dengan harga di negara mitra dagang. Meningkatnya nilai tukar efektif riil rupiah membuat produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal (kurang kompetitif) dibandingkan dengan produk yang sama dari negara pesaing. Masih besarnya ketergantungan pasar ekspor pada tiga negara utama, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Dominasinya mencapai sekitar 42 persen dari total ekspor nasional dan kondisinya praktis tidak berubah selama lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu kurang menguntungkan bagi upaya menjaga kesinambungan ekspor nasional ke depan. Dengan penghapusan penuh kuota tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Amerika Serikat dan Eropa, menurut sekretariat WTO, pangsa pakaian jadi Indonesia di Amerika Serikat diperkirakan menurun dari 4 persen (USD 2.556,7 juta pada tahun 2003) menjadi 2 persen. Hal itu berarti nilai ekspor total akan memiliki potensi berkurang sekitar USD juta (atau Rp.10,8 triliun) pertahun. Keragaman ekspor yang masih rendah. Dari data BPS 2003, kontribusi 20 produk ekspor terbesar di dalam total ekspor non-migas (SITC 3 digit) sekitar 60,8 persen. Dari jumlah tersebut, kontribusi dari ekspor produk manufaktur hanya sekitar 24 persen. Dari informasi yang sama dapat juga disimpulkan bahwa ketergantungan ekspor yang masih besar pada komoditi bernilai tambah rendah (ekspor non-manufaktur) yang umumnya memiliki elastisitas penggunaan rendah dan harganya cenderung sangat berfluktuatif. Meningkatnya hambatan non tarif. Setidaknya dalam satu dekade terakhir kecenderungan meningkatnya hambatan non tarif yang awalnya ditandai dengan isu lingkungan seperti ecolabelling dan perlindungan terhadap spesies hewan tertentu, serta isu pekerja anak pada produk-produk pertanian dan perikanan. Bahkan saat ini, dalam kerangka pelaksanaan Cargo Inspection Security, sejak serangan teroris WTC 2001, Amerika menerapkan war risk surcharge atas impornya dari Indonesia mulai Desember 2002 lalu. Muatan cargo 20 kaki dikenakan biaya 500 USD, sedangkan untuk cargo 40 kaki mencapai USD. Sementara itu, untuk alasan yang serupa, kenaikan tarif per peti kemas ukuran kaki tujuan negara-negara Eropa mencapai maksimal 600 dollar AS. Disamping itu, terdapat kecenderungan meningkatnya potensi kerugian eksport akibat pengenaan peraturan/standar yang menyebabkan ketidakberterimaan (rejection) bagi beberapa produk ekspor seperti Automatic Detention (HACCP) terhadap kakao (akibat terkontaminasi serangga & infeksi jamur) dan CPO serta Holding Order terhadap produk makanan dan minuman. Setidaknya potensi kerugian diperkirakan mencapai 250 juta USD per tahun. Belum optimalnya pemberian insentif dan fasilitasi, terutama kepada eksportir kecil dan menengah. Terbatasnya kemampuan SDM dan kecilnya akses mereka kepada informasi pasar dan sumber pembiayaan pada UKM ekspor masih tetap merupakan problema pokok UKM yang sangat memberatkan di dalam menghasilkan produk yang memenuhi kuantitas pemesanan dan kualitas yang konsisten dengan standar teknisnya. Keterbatasan dan menurunnya kualitas infrastruktur. Masalah infrastruktur juga menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Indonesia. Keterbatasan dan rendahnya kualitas infrastruktur seperti jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, listrik dan jaringan komunikasi merupakan faktor utama penyebab tingginya biaya ekspor. Meskipun tarif pelabuhan di Indonesia relatif rendah, namun pengapalan kontainer dari Indonesia dilakukan melalui Singapura dan Malaysia. Hal ini disebabkan tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia relatif rendah. Bagian IV.17 4

5 Lemahnya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang mendukung peningkatan daya saing ekspor. Dewasa ini jaringan koleksi dan distribusi barang dan jasa perdagangan dalam negeri banyak mengalami hambatan karena belum terintegrasinya sistem perdagangan di tiga tingkatan pasar (pengumpul, eceran, dan grosir) serta maraknya berbagai pungutan dan peraturan di tingkat daerah akibat penyelenggaraan otonomi. Masalah ini menyebabkan berkurangnya daya saing produk dalam negeri untuk dimanfaatkan sebagai bahan antara (intermediate goods) karena kalah bersaing dengan produk impor sejenis dan berkurangnya daya saing produk yang langsung di ekspor. Masalah ini juga menyebabkan berkurangnya atau bahkan terbatasnya pilihan pemasaran para produsen ke dalam jaringan pasar dalam negeri yang dampaknya lebih jauh adalah kelesuan untuk peningkatan volume produksinya. Perbaikan dalam sistem koleksi dan distribusi (atau jaringan perdagangan dalam negeri), selain bermanfaat untuk peningkatan daya saing produk ekspor, juga akan meningkatkan ketahanan ekonomi karena mendorong integrasi komponen-komponen produksi dalam negeri yang terkait. Lebih jauh lagi, perbaikan sistem akan memiliki kehandalan di dalam mendorong perwujudan stabilitas harga serta bermanfaat untuk pengamatan dini dan akurat terhadap misalnya kemungkinan serbuan produk-produk impor tertentu. Dalam konteksnya yang lebih luas, penurunan perolehan devisa ekspor (jasa) juga terjadi pada sektor pariwisata. Sampai dengan tahun 2002 pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas. Oleh karenanya, sektor ini mampu berperan penting dalam penyerapan kesempatan kerja serta menopang pertumbuhan ekonomi yang sampai saat itu masih lambat. Pada tahun 2003, jumlah wisman hanya mencapai 4,46 juta orang dengan perolehan devisa sekitar USD 4,04 miliar atau menurun sekitar 10,2 persen dari tahun Meskipun demikian, sektor pariwisata masih merupakan penyumbang devisa keempat terbesar setelah ekspor migas, ekspor kelompok komoditi mesin elektrik dan elektronik, dan ekspor dari tekstil dan produk tekstil TPT). Penurunan kinerja daya saing pariwisata disebabkan oleh beberapa permasalahan yang berkenaan dengan: 1. Kurang kondusifnya kondisi keamanan dan ketertiban dalam negeri akhir-akhir ini terutama dengan maraknya berbagai aksi terorisme seperti pemboman yang memberikan citra buruk bangsa Indonesia. 2. Maraknya hambatan dari bermunculannya berbagai regulasi baik di pusat maupun daerah sebagai dampak masa transisi pelaksanaan otonomi daerah. Keadaan ini memberatkan pelaku industri pariwisata yang tercermin dari menurunnya minat dunia usaha di dalam pengembangan obyek wisata potensial dan infrastruktur yang berkenaan dengan kepariwisataan. 3. Masih lemahnya pengelolaan sebagian besar daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya sehingga kurang atraktif dan kurang mampu bersaing dengan obyek-obyek wisata terutama dengan negara-negara ASEAN. 4. Belum efektifnya kelembagaan pengelolaan pemasaran dan promosi pariwisata terutama ke masyarakat internasional. Dengan permasalahan-permasalahan di atas, penciptaan iklim investasi yang mendukung peningkatan daya saing Indonesia (baik di sektor barang maupun jasa-jasa) menjadi tantangan yang mendesak ke depan. Dengan stabilitas ekonomi dan politik yang terjaga, upaya tersebut akan memberi perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, peningkatan devisa, dan pada akhirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan itu, prioritas diletakkan pada perkuatan upaya penegakan hukum demi terciptanya kepastian usaha serta pengembangan kapasitas Bagian IV.17 5

6 kelembagaan pelayanan publik terkait untuk menjawab tuntutan kebutuhan dunia usaha. Komitmen yang kuat dari pemerintah di segala tingkatan akan menjadi faktor penentu utama. B. SASARAN Sasaran yang hendak dicapai dalam upaya meningkatkan investasi dan ekspor non-migas adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya iklim investasi yang sehat dengan reformasi kelembagaan ekonomi di berbagai tingkatan pemerintahan yang mampu mengurangi praktik ekonomi tinggi. Reformasi dimaksud mencakup upaya untuk menuntaskan sinkronisasi sekaligus deregulasi peraturan antarsektor dan antara pusat dengan daerah serta peningkatan kapasitas kelembagaan untuk implementasi penyederhanaan prosedur perijinan untuk start up bisnis, penyempurnaan sistem perpajakan dan kepabeanan, penegakan hukum untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban berusaha. 2. Peningkatan efisiensi pelayanan ekspor-impor kepelabuhanan, kepabeanan, dan administrasi (verifikasi dan restitusi) perpajakan ke tingkatan efisiensi di negara-negara tetangga yang maju perekonomiannya di lingkungan ASEAN. Dalam 3 (tiga) tahun pertama diharapkan setengahnya telah dicapai. 3. Pemangkasan prosedur perijinan start up dan operasi bisnis ke tingkatan efisiensi di negara-negara tetangga yang maju perekonomiannya di lingkungan ASEAN. Dalam 3 (tiga) tahun pertama, diharapkan setengahnya telah tercapai. 4. Meningkatnya investasi secara bertahap sehingga peranannya terhadap Produk Nasional Bruto meningkat dari 20,5 persen pada tahun 2004 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009 dengan penyebaran yang makin banyak pada kawasan-kawasan di luar Jawa, terutama Kawasan Timur Indonesia. 5. Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara bertahap dari sekitar 5,2 persen pada tahun 2005 menjadi sekitar 9,8 persen pada tahun 2009 dengan komposisi produk yang lebih beragam dan kandungan teknologi yang semakin tinggi. 6. Meningkatnya efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga dan kepastian berusaha untuk mewujudkan perdagangan dalam negeri yang kondusif dan dinamis. 7. Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa menjadi sekitar USD 10 miliar pada tahun 2009, sehingga sektor pariwisata diharapkan mampu menjadi salah satu penghasil devisa besar. 8. Meningkatnya kontribusi kiriman devisa dari tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri dari perkiraan sekarang yang berkisar sekitar US$ 1 miliar. C. ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan sasaran di atas, arah kebijakan bagi penciptaan iklim investasi yang sehat dan peningkatan daya saing ekpor nasional adalah sebagai berikut: Bagian IV.17 6

7 1. Mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi baik untuk tahapan memulai (start up) maupun tahapan operasi suatu bisnis. Inti dari kegiatan ini adalah penuntasan deregulasi (pemangkasan birokrasi) peraturan dan prosedur perijinan dan pengembangan kapasitas lembaga publik pelaksananya. Upaya ini akan bermanfaat dalam menekan sekecil-kecilnya barier to entries terutama UKM. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain meliputi: a. Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam prosedur perijinan dan pengelolaan usaha dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik. b. Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam pengelolaan aktivitas ekspor/impor (kepabeanan dan kepelabuhanan) dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik. c. Menata aturan main yang jelas peningkatan efisiensi waktu dan biaya administrasi perpajakan, terutama untuk verifikasi nilai pajak dan pengembalian (restitusi) PPN. Keinginan politik (political will) dan komitmen yang kuat akan sangat mempengaruhi keberhasilan upaya ini. Revitalisasi pelaksanaan dan penegakan semua peraturan serta perundangan sebagaimana digariskan di dalam Inpres Nomor 5 tahun 2003 (White Paper) dapat menjadi titik awal untuk penyelenggaraan kegiatan ini. 2. Menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum, terutama berkenaan dengan kepentingan untuk menghormati kontrak usaha, menjaga hak kepemilikan (property rights), terutama berkenaan dengan kepemilikan lahan, dan pengaturan yang adil pada mekanisme penyelesaian konflik atau perbedaan pendapat (dispute settlements) terutama berkenaan dengan perselisihan niaga, perkuatan implementasi persaingan usaha, perkuatan implementasi standardisasi produk-produk yang dipasarkan, serta penyelesaian konflik antara produsen dan konsumen untuk tujuan perlindungan konsumen. 3. Memperbaiki kebijakan investasi dengan merumuskan cetak biru pengembangan kebijakan investasi ke depan termasuk di dalamnya melakukan revisi terhadap RUU Penanaman Modal sesuai dengan praktek internasional terbaik dan mengutamakan perlakukan yang nondiskriminatif antara investor asing dan domestik serta antara investor besar dan investor skala kecil-menengah, merumuskan sistem insentif dalam kebijakan investasi dalam rangka bersaing (dengan negara lain) menarik investor asing, serta merumuskan reformasi kelembagaan penanaman modal sebagai lembaga fasilitasi dan promosi investasi yang berdaya saing. Mengingat permasalahannya yang cross-sectoral, kuatnya koordinasi di tingkat kabinet yang terkait akan sangat menentukan. 4. Memperbaiki harmonisasi peraturan perundangan antara pusat dan daerah terutama di dalam pengembangan (formalisasi) dan operasionalisasi usaha di daerah-daerah dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, deregulasi (simplifikasi) dan efisiensi dalam biaya dan waktu pengurusan. 5. Dalam rangka mendukung perkuatan daya saing produk ekspor, arah kebijakan bidang perdagangan luar negeri adalah meningkatkan akses dan perluasan pasar ekspor serta perkuatan kinerja eksportir dan calon eksportir. Aspeknya meliputi: a. Mendorong secara bertahap perluasan basis produk ekspor dengan tetap memperhatikan kriteria produk ekspor yang ramah lingkungan. b. Peningkatan nilai tambah ekspor secara bertahap terutama dari dominasi bahan mentah (sektor primer) ke dominasi barang setengah jadi dan barang jadi. c. Revitalisasi kinerja kelembagaan promosi ekspor dan perkuatan kapasitas kelembagaan pelatihan eksportir kecil; Bagian IV.17 7

8 d. Peningkatan jenis dan kualitas pelayanan ekspor melalui konsep support at company level kepada para eksportir dan calon eksportir UKM potensial; e. Peningkatan perbaikan kinerja diplomasi perdagangan internasional, baik untuk negara maju maupun negara sedang berkembang; f. Peningkatan fasilitasi perdagangan melalui penyederhanaan prosedur ekspor impor melalui implementasi konsep single document, mengurangi sistem tata niaga untuk komoditi-komoditi non-strategis dan yang tidak memerlukan pengawasan, dan perkuatan kapasitas lembaga uji mutu produk ekspor-impor; g. Optimalisasi sarana penunjang perdagangan internasional seperti kelembagaan trade financing untuk ekspor; h. Optimalisasi implementasi berbagai bentuk kerjasama perdagangan seperti skema imbal dagang dan perdagangan bebas antar negara (free trade agreement); i. Perkuatan kelembagaan pengamanan perdagangan internasional (safeguard dan antidumping) serta kelembagaan harmonisasi tarif; dan j. Peningkatan keberterimaan (acceptance) produk di pasar global melalui pengembangan SNI dan kerjasama standardisasi regional dan internasional. 6. Di bidang perdagangan dalam negeri, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha. Upaya ini perlu diintegrasikan dengan arah kebijakan peningkatan kinerja perdagangan luar negeri guna mewujudkan ketahanan ekonomi yang kokoh. Langkah-langkahnya mencakup: a. Harmonisasi kebijakan pusat dan daerah, penyederhanaan prosedur, perijinan yang menghambat kelancaran arus barang serta pengembangan kegiatan jasa perdagangan; b. Perkuatan kelembagaan perdagangan yaitu kelembagaan perlindungan konsumen, kemetrologian, bursa berjangka komoditi, dan kelembagaan persaingan usaha, dan kelembagaan perdagangan lainnya; c. Fasilitasi pengembangan prasarana distribusi tingkat regional dan prasarana sub-sistem distribusi pada daerah tertentu (kawasan perbatasan dan daerah terpencil) dan sarana penunjang perdagangan melalui pengembangan jaringan informasi produksi dan pasar serta perluasan pasar lelang lokal dan regional; dan d. Peningkatan efektivitas pelaksanaan perlindungan konsumen, tertib ukur, dan perkuatan sistem pengawasan barang beredar dan jasa. 7. Arah kebijakan pengembangan pariwisata dalam 5 (lima) tahun ke depan adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara dengan fokus pada upaya: a. Peningkatan efektivitas kelembagaan promosi pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri; b. Pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata, terutama pengembangan wisata bahari yang potensinya sangat besar dengan tetap memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan; c. Harmonisasi dan simplifikasi berbagai perangkat peraturan yang terkait di dalam mendukung pengembangan pariwisata, termasuk di dalamnya wisata bahari; dan d. Optimalisasi dan sinkronisasi dalam pengelolaan jasa pelayanan pariwisata, terutama yang melibatkan lebih dari satu moda transportasi. D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN REFORMASI PERPAJAKAN DAN KEPABEANAN Bagian IV.17 8

9 Seperti diuraikan dalam program-program di Bab 24 tentang Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro, terutama di dalam Program Peningkatan Penerimaan dan pengamanan Keuangan Negara yang di dalamnya terdapat kegiatan antara lain: 1. Amandemen Undang-Undang Perpajakan; 2. Peningkatan pelayanan kepada wajib pajak melalui: (a) pengembangan fitur-fitur Large Taxpayer Office (LTO) pada kantor pajak menengah dan kecil; (b) pengembangan sistem pembayaran pajak dan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahun secara elektronik; (c) melakukan kerjama dengan perbankan dalam rangka memberikan kemudahan pembayaran pajak; 3. Reformasi adnimistrasi sengketa pajak (tax court reform) melalui upaya: (a) mendorong partisipasi masyarakat wajib pajak dalam menggunakan haknya untuk mencari/mendapatkan keadilan atas kasus sengketa pajak; (b) melakukan pembangunan sistem informasi sengketa pajak yang meliputi pengembangan data warehouse putusan pengadilan, pembangunan situs pengadilan pajak; dan (c) penyempurnaan Sistem Informasi Sengketa Pajak (SISPA); dan 4. Reformasi kepabeanan melalui: (a) pemberian fasilitasi perdagangan; (b) peningkatan pemberantarasan tindak pidana penyelundupan dan under-valuation; (c) peningkatan integritas pegawai melalui penyempurnaan kode etik (code of conduct), pembentukan komite kode etik (code of conduct committee CCC), pembentukan unit investigasi khusus, penyediaan saluran pengaduan dan pembentukan ombudman kepabeanan, serta pemberian insentif. PERBAIKAN IKLIM INVESTASI 1. PROGRAM PENINGKATAN IKLIM INVESTASI DAN REALISASI INVESTASI Program ini bertujuan menciptakan iklim investasi yang berdaya saing global. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang investasi; 2. Penyederhanaan prosedur pelayanan penanaman modal; 3. Pemberian insentif penanaman modal yang lebih menarik; 4. Konsolidasi perencanaan penanaman modal di pusat dan daerah; 5. Pemantauan dan evaluasi, serta pengawasan pelaksanaan investasi, baik asing maupun domestik; 6. Pengembangan sistem informasi penanaman modal di pusat dan daerah; 7. Perkuatan kelembagaan penanaman modal di pusat dan daerah; serta 8. Melakukan kajian kebijakan penanaman modal baik dalam dan luar negeri. 2. PROGRAM PENINGKATAN PROMOSI DAN KERJASAMA INVESTASI Program ini bertujuan membangun citra Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menarik. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok dalam lima tahun kedepan adalah: 1. Penyiapan potensi sumberdaya, sarana dan prasarana daerah yang terkait dengan investasi; 2. Fasilitasi terwujudnya kerjasama strategis antara usaha besar dengan UKMK; 3. Promosi investasi yang terkoordinasi baik di dalam dan di luar negeri; 4. Revitalisasi kinerja kelembagaaan promosi ekspor di luar negeri; dan 5. Mendorong dan memfasilitasi peningkatan koordinasi dan kerjasama di bidang investasi dengan instansi pemerintah dan dunia usaha baik di dalam maupun di luar negeri. Bagian IV.17 9

10 PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN EFISIENSI PELAYANAN INFRASTRUKTUR Pengembangan kapasitas dan perkuatan sistem pelayanan pelabuhan, baik untuk ekspor-impor, perdagangan dalam negeri, maupun kemudahan perijinan untuk tujuan pengembangan wisata bahari yang sangat potensial. Langkah-langkah tersebut di atas merupakan kebutuhan bagi peningkatan iklim investasi dan daya saing ekspor yang perlu diperhatikan dalam merumuskan strategi dan langkah-langkah pada Bab 33 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur. PENINGKATAN DAYA SAING EKSPOR DAN EFISIENSI SISTEM PERDAGANGAN 1. PROGRAM PENGEMBANGAN STANDARDISASI NASIONAL Tujuan program ini adalah meningkatkan keberterimaan (acceptance) produk nasional di pasar global, memperlancar arus barang dan jasa, dan meningkatkan perlindungan keselamatan, kesehatan, dan keamanan konsumen serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kegiatan pokok diarahkan untuk mendorong sekaligus memfasilitasi perdagangan dan berbagai aktivitas ekonomi untuk meningkatkan kualitas, mendorong produktivitas dan efisiensi, yang antara lain mencakup: 1. Pengembangan infrastruktur kelembagaan standardisasi; 2. Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI); 3. Penguatan kelembagaan standardisasi; 4. Peningkatan persepsi masyarakat; 5. Pengembangan sistem informasi standardisasi; 6. Perkuatan posisi Indonesia dalam forum standardisasi regional dan internasional; dan 7. Peningkatan partisipasi pemangku kepentingan dalam proses standardisasi. 2. PROGRAM PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN EKSPOR Tujuan dari program ini adalah mendukung upaya peningkatan daya saing global produk Indonesia serta meningkatkan peranan ekspor barang dan jasa dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan strategi pemantapan ekspor sehingga mampu meningkatkan kinerja ekspor nasional, termasuk pemanfaatan preferensi dengan mitra dagang; 2. Harmonisasi kebijakan ekspor antar-instansi terkait dan dunia usaha; 3. Peningkatan kualitas pelayanan kelembagaan Pusat Promosi ekspor (ITPC) sesuai kebutuhan eksportir secara berkelanjutan dan perluasan pembukaan kantor baru di negara/kawasan mitra dagang sesuai potensi pasar ekspornya, serta perkuatan kapasitas kelembagaan promosi daerah; 4. Peningkatan kualitas pelayanan kepada para eksportir dan calon eksportir melalui pendekatan support at company level; 5. Fasilitasi peningkatan mutu produk komoditi pertanian, perikanan dan industri yang berpotensi ekspor; 6. Melanjutkan deregulasi dan debirokratisasi melalui penyederhanaan prosedur ekspor dan impor dengan ke arah penyelenggaraan konsep single document; 7. Perkuatan kapasitas laboratorium penguji produk ekspor-impor; 8. Peningkatan jaringan informasi ekspor dan impor agar mampu merespon kebutuhan dunia usaha terutama eksportir kecil dan menengah; dan Bagian IV.17 10

11 9. Pengembangan dan implementasi fasilitasi ekspor dan impor seperti kelembagaan trade financing untuk ekspor. 3. PROGRAM PENINGKATAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kerjasama perdagangan internasional yang saling menguntungkan, adil dan terbuka. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas partisipasi aktif dalam berbagai fora internasional (mencakup kerjasama multilateral, regional, bilateral, dan perdagangan lintas batas) sebagai upaya mengamankan kepentingan ekonomi nasional dan sekaligus meningkatkan hubungan dagang dengan negara mitra dagang potensial; 2. Fasilitasi penyelesaian sengketa perdagangan (termasuk advokasi dan bantuan teknis) seperti: dumping, subsidi dan safeguard; 3. Peningkatan efektivitas koordinasi penanganan berbagai isu-isu perdagangan internasional baik multilateral, regional dan bilateral maupun pendekatan komoditi; 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan kerjasama multilateral, regional, dan bilateral; 5. Sosialisasi hasil-hasil kesepakatan perundingan multilateral (WTO) dan kerjasama regional (ASEAN, APEC, ASEM) serta kerjasama intra dan antar regional; dan 6. Perkuatan SDM Atase Perdagangan termasuk penyediaan tenaga magang. 4. PROGRAM PERSAINGAN USAHA Tujuan program ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha yang kompetitif dan memberdayakan lembaga-lembaga persaingan usaha. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Revisi terhadap berapa materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berpotensi terjadinya disharmonisasi terhadap kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan persaingan usaha; 2. Peningkatan penerapan kebijakan dan peraturan dalam persaingan usaha; 3. Pengembangan instrumen aplikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; 4. Pengembangan jaringan kerja antar lembaga; 5. Peningkatan kualitas penanganan perkara dan rekomendasi kebijakan; dan 6. Perkuatan kelembagaan persaingan usaha antara lain yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung. 5. PROGRAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAMANAN PERDAGANGAN Tujuan program ini adalah untuk memberdayakan konsumen, penguatan lembaga perlindungan konsumen, peningkatan kapasitas kelembagaan yang menangani sengketa dagang internasional dan perlindungan industri dalam negeri, dan peningkatan kapasitas kelembagaan metrologi legal serta optimalisasi pengawasan barang beredar terutama terhadap barang-barang strategis, obat dan makanan. Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah: 1. Pemberdayaan konsumen dan peningkatan kapasitas lembaga perlindungan konsumen termasuk kapasitas lembaga penyelesaian sengketa konsumen; 2. Perkuatan sistem dan pelaksanaan pengawasan barang beredar terutama terhadap pengawasan barang-barang strategis, obat dan makanan; Bagian IV.17 11

12 3. Peningkatan pelayanan informasi dan advokasi terhadap kebijakan perlindungan konsumen guna meningkatkan kesadaran konsumen terhadap pentingnya standar barang dan jasa, terutama di bidang obat dan makanan; 4. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan perdagangan dalam negeri yang terkait dengan ekspor-impor, tertib usaha, tertib ukur, perlindungan konsumen dan pengawasan barang beredar dan jasa; 5. Sosialisasi dan bimbingan teknis pengelolaan standar dan laboratorium metrologi legal serta pelaksanaan pengawasan ukuran, takaran, timbangan, dan perlengkapannya (UTTP); dan 6. Perkuatan kapasitas kelembagaan yang menangani sengketa dagang internasional dan perlindungan industri dalam negeri termasuk dukungan operasionalisasi kegiatannya (anti-dumping dan safeguard); 6. PROGRAM PENINGKATAN EFISIENSI PERDAGANGAN DALAM NEGERI Tujuan program ini adalah meningkatkan kelancaran distribusi barang dan jasa yang lebih efisien dan efektif serta mengembangkan sistem usaha dan lembaga perdagangan yang efektif dan efisien, yang berpihak pada usaha kecil, menengah, dan koperasi. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Perumusan, alternatif solusi, dan implementasi penyelesaian permasalahan termasuk harmonisasi dari berbagai perangkat peraturan perundang-undangan tentang distribusi dan sarana penunjang perdagangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; 2. Deregulasi dan debirokratisasi dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan; 3. Promosi penggunaan produksi dalam negeri; 4. Fasilitasi pengembangan prasarana distribusi tingkat regional dan prasarana sub-sistem distribusi pada daerah tertentu (kawasan perbatasan dan daerah terpencil) dalam rangka peningkatan efisiensi perdagangan; 5. Peningkatan efektivitas dan ketersediaan jaringan informasi distribusi baik di tingkat pusat maupun di daerah; 6. Peningkatan pengawasan dan pembinaan usaha, kelembagaan dan kemitraan di bidang perdagangan; 7. Pemberdayaan dagang kecil dan menengah melalui peningkatan SDM, akses pasar dan kemitraan usaha; 8. Perkuatan kapasitas kelembagaan perdagangan bursa komoditi (PBK) termasuk menyiapkan penyempurnaan berbagai perangkat peraturan kebijakan dan operasional PBK; dan 9. Pemantapan dan pengembangan Pasar Lelang Lokal dan Regional serta sarana alternatif pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang (SRG). PENINGKATAN DAYA SAING PARIWISATA 1. PROGRAM PENGEMBANGAN PEMASARAN PARIWISATA Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata ditujukan untuk menciptakan promosi pariwisata yang efektif dengan pendekatan profesional, kemitraan antara swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Optimalisasi kegiatan pameran baik yang bertaraf nasional maupun internasional baik di dalam maupun di luar negeri baik pada negara-negara mitra pariwisata potensial maupun negara-negara yang memilki kedekatan secara historis dan kultural dengan Indonesia, seperti Asia Timur, India dan Timur Tengah; Bagian IV.17 12

13 2. Fasilitasi pemasaran paket-paket wisata dan jaringan distribusinya; 3. Fasilitasi kerjasama pemasaran antar negara, antar pusat dengan daerah, dan antar pelaku industri pariwisata dalam bentuk aliansi strategis, seperti kerjasama antar travel agent dan antar tour operator, antara pelaku pariwisata dengan perusahaan transportasi udara, laut dan darat; 4. Peningkatan sadar wisata di kalangan masyarakat, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai calon wisatawan; 5. Memotivasi dan memberikan kemudahan bagi perjalanan wisata domestik; 6. Pengembangan sistim informasi yang efisien dan efektif. 2. PROGRAM PENGEMBANGAN DESTINASI PARIWISATA Program Pengembangan Destinasi Pariwisata ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan destinasi wisata dan aset-aset warisan budaya menjadi obyek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan serta mendorong investasi. Untuk mewujudkan tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah: 1. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan investasi dalam industri pariwisata melalui penyederhanaan perizinan dan insentif perpajakan bagi investor. 2. Mendorong pengembangan daya tarik wisata unggulan di setiap propinsi ( one province one primary tourism destination ) secara bersama dengan pemerintah daerah, swasta dan masyarakat; 3. Pengembangan paket-paket wisata yang kompetitif di masing-masing destinasi pariwisata; 4. Peningkatan kualitas pelayanan dan kesiapan daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya sebagai obyek daya tarik wisata yang kompetitif. 5. Revitalisasi dan pembangunan kawasan pariwisata baru, termasuk pula prasarana dan sarana dasarnya (seperti jaringan jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih dan sarana kesehatan); 6. Pemberian insentif dan kemudahan bagi pelaku usaha pariwisata dalam membangun produk pariwisata (daya tarik dan sarana pariwisata); 7. Pemberian perhatian khusus kepada pengembangan kawasan ekowisata dan wisata bahari, terutama di lokasi-lokasi yang mempunyai potensi obyek wisata alam bahari yang sangat besar; 8. Pengembangan pariwisata yang berdaya saing melalui: (a) terbangunnya komitmen nasional agar sektor-sektor di bidang keamanan, hukum, perbankan; perhubungan, dan sektor terkait lainnya dapat memfasilitasi berkembangnya kepariwisataan terutama pada wilayah-wilayah yang memiliki destinasi pariwisata unggulan; (b) Harmonisasi dan simplifikasi perangkat peraturan baik di tingkat pusat, daerah dan antara pusat dan daerah; (c) memformulasi, menerapkan, dan mengawasi standar industri pariwisata yang dibutuhkan. 3. PROGRAM PENGEMBANGAN KEMITRAAN Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan dan memperkuat jaringan kerjasama antara Pemerintah (pusat-kabupaten/kota)-swasta-dan masyarakat dan pelaku industri budaya dan pariwisata di dalam maupun di luar negeri dalam bidang penelitian, sumber daya manusia, dan kelembagaan dan sekaligus mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya. Dalam rangka pencapaian tujuan di atas, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan dan perkuatan jaringan database dan informasi kebudayaan dan kepariwisataan, baik di dalam negeri (antara pusat-propinsi, dan kabupaten/kota) dan luar negeri termasuk pengembangan SDM-nya; 2. Pengembangan Litbang dan pengembangan SDM dalam bentuk joint research, dual-training serta aliansi strategis terutama dengan lembaga sejenis di luar negeri; Bagian IV.17 13

14 3. Fasilitasi pembentukan forum komunikasi antar pelaku industri budaya dan pariwisata dan pelaku sosio-ekonomi lainnya. Bagian IV.17 14

BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NONMIGAS

BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NONMIGAS BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NONMIGAS A. KONDISI UMUM Pertumbuhan ekonomi dalam periode 1999 2003 rata-rata berkisar 3 3,5 persen per tahun. Keadaan ini belum cukup untuk dapat mengembalikan

Lebih terperinci

BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON MIGAS

BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON MIGAS BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON MIGAS BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON-MIGAS A. KONDISI UMUM Pertumbuhan ekonomi dalam periode 1999 2003 rata-rata berkisar 3 3,5 persen per tahun.

Lebih terperinci

Peningkatan Investasi, dan Ekspor Non-Migas

Peningkatan Investasi, dan Ekspor Non-Migas XI Peningkatan Investasi, dan Ekspor Non-Migas Krisis finansial global tahun 2008 merontokkan perekonomian dunia. Indonesia pun terimbas. Awal 2009, gelombang dampak krisis itu mulai menyentuh bumi Nusantara,

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN UMUM NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENINGKATAN PARIWISATA INTERNASIONAL

BAB II KEBIJAKAN UMUM NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENINGKATAN PARIWISATA INTERNASIONAL BAB II KEBIJAKAN UMUM NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENINGKATAN PARIWISATA INTERNASIONAL A. Kondisi Pariwisata Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 bab 1 pasal 1 bagian ketentuan

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena dibutuhkan biaya yang sangat besar.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena dibutuhkan biaya yang sangat besar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah

Lebih terperinci

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2016 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2016 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1 LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A216 Halaman : 1 9 9.1 9.1.1 372 373 374 375 376 377 378 379 371 3711 3712 3713 3714 3725 3973 5112 9.1.2 3718 9.2 9.2.9 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 474.268.93 28.188.643 1.549.93.158

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2013 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2013 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1 Halaman : 1 090 090.01 090.01.01 3702 3703 3704 3705 3706 3707 3708 3709 3710 3711 3712 3713 3714 3973 090.01.02 3718 090.02 090.02.09 3716 3719 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 251.685.124 226.258.680 1.725.984.194

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H14104016 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan dan pariwisata atau dalam istilah tertentu pariwisata memimpin

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan dan pariwisata atau dalam istilah tertentu pariwisata memimpin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada prinsipnya, pertumbuhan ekonomi dapat dirangsang oleh perdagangan dan pariwisata atau dalam istilah tertentu pariwisata memimpin pertumbuhan, pertumbuhan dipimpin

Lebih terperinci

Analisis Perkembangan Industri

Analisis Perkembangan Industri JUNI 2017 Analisis Perkembangan Industri Pusat Data dan Informasi Juni 2017 Pendahuluan Membaiknya perekonomian dunia secara keseluruhan merupakan penyebab utama membaiknya kinerja ekspor Indonesia pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE 4.1. Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three Kerjasama ASEAN dengan negara-negara besar di Asia Timur atau lebih dikenal dengan istilah Plus Three

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN Ecomonic Community (AEC) atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. AEC merupakan realisasi dari tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

TANTANGAN EKSTERNAL : Persiapan Negara Lain LAOS. Garment Factory. Automotive Parts

TANTANGAN EKSTERNAL : Persiapan Negara Lain LAOS. Garment Factory. Automotive Parts TANTANGAN EKSTERNAL : Persiapan Negara Lain LAOS Garment Factory Automotive Parts 1 Tantangan eksternal : persiapan Negara Lain VIETNAM 2 Pengelolaaan ekspor dan impor Peningkatan pengawasan produk ekspor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam sistem perekonomian terbuka, perdagangan internasional merupakan komponen penting dalam determinasi pendapatan nasional suatu negara atau daerah, di

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2014 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2014 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1 LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A214 Halaman : 1 9 9.1 9.1.1 372 373 374 375 376 377 378 379 371 3711 3712 3713 3714 3973 5112 9.1.2 3718 9.2 9.2.9 3716 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 383.245.165 216.729.74 1.191.665.246

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS, POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS, POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS, POKOK DAN FUNGSI 1.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan SKPD Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Lebih terperinci

Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan

Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan Daya Saing Industri Indonesia di Tengah Gempuran Liberalisasi Perdagangan www.packindo.org oleh: Ariana Susanti ariana@packindo.org ABAD 21 Dunia mengalami Perubahan Kemacetan terjadi di kota-kota besar

Lebih terperinci

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional.

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional. RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TAHUN 2009-2014 A. Rencana Strategis BKPM Tahun 2009-2014 Rencana Strategis (Renstra) BKPM yang disusun merupakan fungsi manajemen untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 A. Perkembangan Perekonomian Saudi Arabia. 1. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan pertumbuhan ekonomi di Saudi Arabia diatur melambat

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Jalan Ampera Raya No. 7, Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 7805851, Fax. 62 21 7810280 http://www.anri.go.id, e-mail: info@anri.go.id PERATURAN KEPALA ARSIP

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 35 PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 1980-2008 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam Iaju yang semakin pesat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi sebuah negara, keberhasilan pembangunan ekonominya dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2007) menyatakan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 35 NOMOR 35 TAHUN 2008

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 35 NOMOR 35 TAHUN 2008 BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 35 PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2015 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2015 (DALAM RIBUAN RUPIAH) Halaman : 1 LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A215 Halaman : 1 9 9.1 9.1.1 372 373 374 375 376 377 378 379 371 3711 3712 3713 3714 3725 3973 5112 9.1.2 3718 9.2 9.2.9 KEMENTERIAN PERDAGANGAN 439.728.89 276.43.977 1.127.398.698

Lebih terperinci

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI PEMBERDAYAAAN KOPERASI & UMKM DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT 1) Ir. H. Airlangga Hartarto, MMT., MBA Ketua Komisi VI DPR RI 2) A. Muhajir, SH., MH Anggota Komisi VI DPR RI Disampaikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah ditetapkannya pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa terbesar di bawah minyak dan gas bumi, batu bara, minyak

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa terbesar di bawah minyak dan gas bumi, batu bara, minyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan sektor yang sangat strategis dan memiliki trend kontribusi positif terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Menurut data BPS,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

Oleh : Ir. Hervian Tahier Wakil Ketua Umum

Oleh : Ir. Hervian Tahier Wakil Ketua Umum LOGO www.themegallery.com Oleh : Ir. Hervian Tahier Wakil Ketua Umum Company Logo www.themegallery.com Secara potensi, kondisi geografis dan demografis Indonesia khususnya Prov. Sumatera Utara menawarkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Perencanaan Wilayah Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah berhak untuk membangun wilayahnya sendiri. Pembangunan yang baik tentunya adalah pembangunan yang terencana.

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya.

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya. BAB VI. KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Hasil penelitian mengenai aliran perdagangan dan investasi pada kawasan integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Integrasi ekonomi memberi

Lebih terperinci

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian 12 Rapat Dengan Wakil Presiden (Membahas Special Economic Zone) Dalam konteks ekonomi regional, pembangunan suatu kawasan dapat dipandang sebagai upaya memanfaatkan biaya komparatif yang rendah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

RPJM PROVINSI JAWA TIMUR (1) Visi Terwujudnya Jawa Timur yang Makmur dan Berakhlak dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

RPJM PROVINSI JAWA TIMUR (1) Visi Terwujudnya Jawa Timur yang Makmur dan Berakhlak dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia LEVEL : VISI MISI LEVEL : ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN RPJM PROVINSI JAWA TIMUR Visi Terwujudnya Jawa Timur yang Makmur dan Berakhlak dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Misi 1) Meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Adanya modal dalam sebuah perusahaan menjamin berlangsungnya proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor perdagangan di Indonesia. Istilah tekstil yang dikenal saat ini berasal dari bahasa latin, yaitu texere

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian Indonesia selalu mengalami perjalanan yang berfluktuasi, minyak dan gas alam yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan, harganya dipasar internasional

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN 2010-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015

Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015 Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 segera dimulai. Tinggal setahun lagi bagi MEA mempersiapkan hal ini. I Wayan Dipta, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK,

Lebih terperinci

2017, No Negara Republik Indonesia Tahun 14 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547) sebagaimana telah diubah dengan P

2017, No Negara Republik Indonesia Tahun 14 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547) sebagaimana telah diubah dengan P No.783, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Nama Jabatan dan Kelas Jabatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/5/2017 TENTANG NAMA JABATAN DAN KELAS

Lebih terperinci

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015 KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015 Yang Mulia Duta Besar Turki; Yth. Menteri Perdagangan atau yang mewakili;

Lebih terperinci

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia SIARAN PERS DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Tel: 021 3858216, 23528400. Fax: 021-23528456 www.depdag.go.id Ekspor Indonesia

Lebih terperinci

BAB 4: PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA MP3EI

BAB 4: PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA MP3EI BAB 4: PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA MP3EI A. Tahapan Pelaksanaan MP3EI merupakan rencana besar berjangka waktu panjang bagi pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, implementasi yang bertahap namun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN didirikan di Bangkok 8 Agustus 1967 oleh Indonesia, Malaysia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda indonesia pada tahun 1998 menunjukkan nilai yang positif, akan tetapi pertumbuhannya rata-rata per

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan yang tertuang di dalam Bab I sampai dengan Bab IV tesis ini, maka sebagai penegasan jawaban atas permasalahan penelitian yang

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

Menteri Perindustrian Republik Indonesia Menteri Perindustrian Republik Indonesia KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA MUSYAWARAH PROPINSI VI TAHUN 2015 KADIN DENGAN TEMA MEMBANGUN PROFESIONALISME DAN KEMANDIRIAN DALAM MENGHADAPI ERA

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tragedi serangan teroris ke gedung World Trade Center (WTC) Amerika

1. PENDAHULUAN. Tragedi serangan teroris ke gedung World Trade Center (WTC) Amerika 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tragedi serangan teroris ke gedung World Trade Center (WTC) Amerika pada tanggal 1 I September 2001, tampaknya akan mengubah tatanan ekonomi dan pasar global yang dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah penyebaran investasi yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tekstil merupakan industri penting sebagai penyedia kebutuhan sandang manusia. Kebutuhan sandang di dunia akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Investasi atau penanaman modal merupakan instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang ada di suatu negara atau wilayah. Karena pada dasarnya, investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses 115 V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Petumbuhan ekonomi pada dasarnya merupakan proses perubahan PDB dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 Bismillahirrohmanirrahim Yth. Ketua Umum INAplas Yth. Para pembicara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08/M-DAG/PER/2/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PERDAGANGAN

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08/M-DAG/PER/2/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PERDAGANGAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08/M-DAG/PER/2/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI I. KINERJA AGRO TAHUN 2012 II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRO III. ISU-ISU STRATEGIS

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016 Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016 Yth. : 1. Menteri Perdagangan; 2. Menteri Pertanian; 3. Kepala BKPM;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perjalanan menuju negara maju, Indonesia memerlukan dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan pembangunan jika laju BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi luar negeri. Apalagi bila negara tersebut semakin terbuka, keterbukaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001 REPUBLIK INDONESIA PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001 World Economic Report, September 2001, memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2001 hanya mencapai 2,6% antara lain

Lebih terperinci

Paket Kebijakan Ekonomi (Tahap XV)

Paket Kebijakan Ekonomi (Tahap XV) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Laporan Publik Paket Kebijakan Ekonomi (Tahap XV) PENGEMBANGAN USAHA DAN DAYA SAING PENYEDIA JASA LOGISTIK NASIONAL Jakarta, 15 Juni 2017

Lebih terperinci

Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2006 Konsolidasi Program, Sub Fungsi, dan Fungsi (Form C)

Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2006 Konsolidasi Program, Sub Fungsi, dan Fungsi (Form C) Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2006 Konsolidasi Program, Sub Fungsi, dan Fungsi (Form C) Formulir C LAPORAN KONSOLIDASI PROGRAM DIRINCI MENURUT KEGIATAN TRIWULAN III TAHUN ANGGARAN 2015 Kementerian Koordinator

Lebih terperinci