KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR)"

Transkripsi

1 LAPORAN KEMAJUAN TERM I PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (PKPP) TAHUN 2012 KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) Peneliti Utama : Drs. J. Bakara Anggota Peneliti : Drs. Husni Nasution Dra. Euis Susilawati, M.Si Drs. Pardamean Hutahaean, M.Eng Intan Perwitasari, SE Jakarta, 8 JUNI 2012 PUSAT PENGKAJIAN DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN DEPUTI BIDANG SAINS, PENGKAJIAN DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)

2 ABSTRAK Salah satu program dalam kegiatan keantariksaan yang perlu mendapat perhatian yang serius adalah program pengembangan peroketan nasional. Selama ini Indonesia telah memanfaatkan teknologi peroketan negara lain untuk berbagai kepentingan pembangunan nasional, namun belum pada tahap penguasaan. Indonesia sebagai negara berkembang dengan wilayah yang sangat luas sudah saatnya mempercepat penguasaan teknologi di bidang peroketan untuk mendukung kemandirian bangsa di sektor-sektor startegis lainnya. Namun dalam upayanya mencapai kemandirian ini sangat berkaitan dengan item-item teknologi peroketan yang diatur dalam MTCR. Sampai saat ini Indonesia belum menjadi anggota MTCR, sehingga mendapat kesulitan di dalam transfer teknologi. Penelitian ini akan merumuskan strategi pengembangan peroketan nasional sehubungan dengan adanya hambatan alih teknologi dari MTCR tersebut. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang menggambarkan penerapan MTCR dalam pengembangan peroketan negara-negara, program peroketan negara-negara baik anggota maupun non anggota MTCR, kebijakan dan kemampuan Indonesia terkait peroketan nasional sebagai instrumental/ environmental input. Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis instrumental input/environmental input dalam rangka perumusan strategi dan kebijakan antariksa nasional (national space policy) pengembangan peroketan nasional. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pemecahan masalah hambatan yang dialami dari MTCR terkait pengembangan peroketan nasional 1

3 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini Indonesia telah memanfaatkan teknologi antariksa negara lain untuk berbagai kepentingan pembangunan nasional, namun belum pada tahap penguasaan. Dengan melihat makna strategis dari teknologi keantariksaan tersebut, Indonesia sebagai negara berkembang dengan wilayah yang sangat luas sudah saatnya mempercepat penguasaan teknologi di bidang keantariksaan khususnya dalam teknologi peroketan untuk mendukung kemandirian bangsa di sektor-sektor startegis lainnya. Selain itu penguasaan teknologi tersebut juga diperlukan dalam rangka memberikan konrtibusi yang nyata dan besar terhadap upaya pemerintah Indonesia untuk menjamin integritas dan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun untuk memperoleh teknologi tersebut tidaklah mudah. Beberapa negara, terutama kelompok negara maju yang menguasai teknologi antariksa sangat protektif di dalam alih teknologi terhadap negara-negara lain. Proteksi alih teknologi ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan nasionalnya secara sendiri ataupun perjanjian yang ditetapkan secara bersama oleh negara-negara dalam suatu kelompok tertentu. Salah satu perjanjian yang saat ini cukup menonjol dalam alih teknologi peroketan adalah Missile Technology Control Regime (MTCR). MTCR ditetapkan pada tahun 1987 oleh beberapa negara maju yang tergabung dalam kelompok negara industri G-7 yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jerman Barat, Italia, Kanada, dan Jepang. MTCR bertujuan untuk membatasi dan mengawasi alih teknologi (termasuk di dalamnya teknologi keantariksaan) yang dapat berperan dalam teknologi misil, senjata pemusnah massal, dan guna ganda (untuk sipil dan militer). Sampai dengan saat ini 34 negara telah bergabung menjadi anggota MTCR. Negara-negara yang telah menjadi anggota MTCR ini memperoleh kemudahan alih teknologi di antara sesama anggota MTCR, yang tidak diperoleh oleh negara non anggota MTCR (Deborah A. Ozga, 1994). Meskipun banyak kemudahan yang bisa diperoleh, tetapi Indonesia sampai saat ini belum menjadi anggota MTCR, sehingga untuk dapat memperoleh alih teknologi tentunya akan mendapat kendala dari negara-negara yang tergabung dalam MTCR, di mana negara- 2

4 negara tersebut telah mempunyai kemampuan dalam penguasaan teknologi keantariksaan. Dalam hal menghadapi kebijakan dari MTCR yang menghambat, membatasi dan mengawasi alih teknologi tersebut (khususnya terkait peroketan), pada tahun 1997 Indonesia (d.h.i. LAPAN) melakukan pertemuan Gali Pendapat mengenai MTCR untuk memperoleh pandangan sikap Indonesia terhadap MTCR. Kesepakatan mengenai sikap Indonesia pada Gali Pendapat tersebut adalah bahwa untuk sementara Indonesia belum waktunya untuk menjadi anggota MTCR. Kesepakatan ini didasarkan kepada bahwa Indonesia belum mempunyai suatu program pembangunan kedirgantaraan yang terintegrasi. Dalam rangka mewujudkan upaya bangsa Indonesia ke depan yaitu mempunyai kemampuan yang mandiri dalam penguasaan iptek kedirgantaraan, Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua yang berlangsung di Jakarta tahun 2003 merekomendasikan antara lain perlunya Indonesia untuk mengkaji kembali sikapnya terhadap MTCR (LAPAN, 2004). Menindaklajuti Kongres tersebut, pada tahun 2005 LAPAN menyelenggarakan Round Table Discussion yang dipimpin Kepala LAPAN dan dihadiri pejabat/wakil instansi terkait untuk membahas Sikap Indonesia Terhadap MTCR. Dari diskusi tersebut disepakati bahwa kebijakan Indonesia dalam MTCR ini masih sama seperti yang disepakati pada tahun 1997, yaitu untuk sementara ini Indonesia belum waktunya untuk masuk menjadi anggota, dan masih perlu dikaji yang lebih mendalam dari berbagai aspek (Pussisfogan, LAPAN, 2005). Kebijakan LAPAN saat ini terkait dengan teknologi antariksa (peroketan) sebagaimana dimuat dalam Renstra LAPAN adalah bahwa untuk jangka panjang diharapkan LAPAN mempunyai kemampuan yang mandiri dalam teknologi dan produksi Roket Pengorbit Satelit (RPS) dan roket senjata terkendali. Namun disisi lain bahwa untuk memperoleh kemampuan yang mandiri tersebut sangat berkaitan dengan item-item teknologi yang dimuat dalam Annex MTCR. Substansi MTCR itu sendiri terdiri dari (i) ketentuan (Guidelines) yang memuat prinsip-prinsip umum, dan (ii) annex (Equipment, Software, and Technology) yang terdiri dari 2 Kategori. Prinsip-prinsip umum merupakan pedoman dalam mengendalikan ekspor atau perdagangan terhadap item-item yang dimuat dalam annex. Keseluruhan prinsip-prinsip umum yang dimuat dalam MTCR disebut Guidelines for Sensitive Missile-Relevant Transfer.Dua parameter pengawasan kritis yang dimuat dalam Kategori I dari annex ialah batasan jarak jangkauan 300 km dan daya angkut muatan 500 kg. Artinya bahwa item-item dalam annex akan dikenakan ketentuan MTCR, apabila item-item tersebut dapat berperan 3

5 dalam membuat sistem pengangkut atau peluncur yang mempunyai jarak jangkau 300 km atau lebih, dan daya angkut muatan 500 kg lebih. Untuk menguasai teknologi roket secara penuh, LAPAN merasakan adanya kesulitan terkait dengan kebijakan MTCR, yaitu kesulitan dalam memperoleh komponen roket (Pussisfogan, LAPAN, 2005), a.l: (i) Komponen propulsi dan peralatan (item 3 kategori II), (ii) Komponen bahan kimia dan pemroduksi propelan (Item 4 kategori II), (iii) Instrumen, navigasi dan pemandu arah (Item 9 kategori II), dan (iv) Sistem kendali (Item 10 kategori II). Selama ini Indonesia (d.h.i. LAPAN) telah berupaya melakukan kerja sama bilateral dengan negara-negara yang mempunyai kemampuan dalam teknologi peroketan (misalnya Ukraina), di mana pada umumnya negara yang mempunyai kemampuan ini adalah anggota MTCR. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini Indonesia masih tetap mengalami kesulitan untuk memperoleh alih teknologi peroketan tersebut. Bahkan negara maju yang akan dijadikan mitra kerja sama bilateral pun selalu menanyakan mengenai posisi keanggotaan Indonesia dalam MTCR. Dengan demikian tentunya akan sulit bagi Indonesia untuk mempunyai kemampuan yang mandiri dalam teknologi peroketan mengingat kebijakan Indonesia sampai saat ini adalah belum menjadi anggota MTCR Rumusan Masalah Dalam pengusaan teknologi peroketan nasional secara penuh, dirasakan adanya kesulitan terkait dengan kebijakan MTCR, antara lain kesulitan untuk memperoleh komponen-komponen roket. Untuk mengatasi kesulitan ini, Indonesia (d.h.i LAPAN) telah berupaya melakukan kerja sama bilateral dengan negara-negara yang mempunyai kemampuan dalam teknologi peroketan seperti Ukraina, China, dan Rusia. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini Indonesia masih tetap mengalami kesulitan untuk memperoleh alih teknologi roket. Maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi pengembangan peroketan nasional dengan adanya hambatan alih teknologi dari MTCR Tujuan dan Sasaran a. Tujuan Penelitian ini ditujukan untuk menguraikan perkembangan dan rencana pengembangan peroketan nasional, dan hambatan yang selama ini dialaminya, program peroketan negara-negara maju baik negara anggota 4

6 MTCR maupun non anggota MTCR (seperti China, India) yang diperkirakan dapat memberikan peluang bagi Indonesia, makna MTCR dan penerapannya dalam alih teknologi guna ganda (peroketan), serta menganalisis strategi pengembangan teknologi roket nasional dengan adanya hambatan alih teknologi dari MTCR tersebut. b. Sasaran Tersusunnya naskah kajian yang memuat strategi atau langkahlangkah dalam pengembangan teknologi peroketan nasional dengan adanya hambatan alih teknologi peroketan dari MTCR yang dapat dijadikan bahan masukan di dalam perumusan national space policy. 1.4 Hasil dan Manfaat Yang Diharapkan Tersusunnya naskah penelitian yang memuat strategi pengembangan peroketan nasional dalam menghadapi atau menyikapi hambatan alih teknologi peroketan dari MTCR. Strategi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi national space policy dalam memberikan masukan berupa upaya pemecahan terhadap hambatan yang selama ini dialami dalam pengembangan peroketan nasional. 1.5 Metodologi Metodologi ataupun pendekatan yang diterapkan dalam kajian ini adalah deskriptif analitis. Metodologi deskriptif analitis diterapkan utamanya pada pengumpulan dan pengolahan data atau informasi peroketan internasional dan nasional (Indonesia), serta permasalahannya terkait hambatan alih teknologi dari MTCR, sehingga menjadi informasi yang bersifat ekplanatoris. Data ataupun informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Metoda pengumpulan data primer dilakukan secara langsung di lapangan melalui kegiatan wawancara ke instansi/unit kerja tertentu di lingkungan LAPAN yang terkait dengan pengembangan peroketan nasional, atau dengan nara sumber yang mempunyai kepakaran terkait peroketan. 5

7 Tabel 1-1. Data primer yang dibutuhkan dari instansi tersebut antara lain dapat dilihat dalam TABEL 1-1: Kebutuhan Data Primer NO. INSTANSI DATA YANG DIBUTUHKAN 1. PT LEN, Bandung Kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan peroketan nasional, khususnya produksi instrumen, navigasi dan pemandu arah, dan sistem kendali 2. PT Dahana Tasikmalaya, Jawa Barat Kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam peroketan nasional, yang berkaitan dengan produksi bahan baku bahan bakar roket. 3. LAPAN Rumpin Kondisi pengembangan teknologi roket saat ini, dan 4 Industri Jasa Importir di Batam kemampuan dalam pengembangan teknologi roket Produk-produk negara-negara asing yang masuk melelui Batam yang berkaitan dengan, produk bahan baku pembuatan bahan bakar roket, dan komponenkomponen roket. Sedangkan metoda pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan (library reseacrh) dari berbagai referensi baik buku, jurnal ilmiah, maupun sumber-sumber lain yang dinilai relevan. Referensi tersebut diperoleh dari perpustakaan dan situs internet. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain perkembangan MTCR dan penerapannya dalam program keantariksaan (peroketan), program peroketan negara-negara anggota dan non anggota MTCR, serta kemampuan nasional (Indonesia) terkait pengembangan peroketan. Data dan informasi yang telah dihimpun tersebut diatas, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Treath). Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan sebuah strategi. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis ini selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan sebuah insitusi (d.h.i. LAPAN). Analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Treath) Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematis untuk merumuskan sebuah strategi. Analisa SWOT ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun 6

8 secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). 1 Strength (Kekuatan) merupakan setiap faktor/kondisi positif yang berasal dari dalam (internal) organisasi (d.h.i. Indonesia/LAPAN) yang memungkinkan organisasi tersebut dapat terus tumbuh, berkembang, atau mencapai kondisi yang lebih baik. Weakness (Kelemahan) merupakan setiap faktor/kondisi negatif yang berasal dari dalam (internal) organisasi yang memungkinkan organisasi tersebut mengalami kehancuran, kekalahan, degradasi atau penurunan keadaan. Opportunity (Peluang) merupakan setiap faktor/kondisi positif yang berasal dari luar (exsternal) organisasi yang memungkinkan organisasi tersebut mengalami kemajuan, perkembangan, atau pencapaian kondisi yang lebih baik. Sedangkan Threath (Ancaman) merupakan setiap faktor/kondisi negatif yang berasal dari luar organisasi yang dapat mengakibatkan organisasi tersebut mengalami kehancuran, kemunduran, atau jatuh ke kondisi yang lebih buruk. Untuk keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi institusi/lembaga dalam mencapai tujuan. Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut: 1) Perumusan faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan, dan faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman. 2) Penilaian faktor internal dan eksternal Pada tahap ini dilakukan penilaian terhadap faktor-faktor tersebut yang paling berpengaruh atau mendukung terhadap pencapaian sasaran. Penilaian terhadap faktor internal yaitu variable-variabel yang merupakan kekuatan dan peluang digunakan skala likert atas lima tingkat yang terdiri dari: Sangat baik (5), Baik (4), Cukup baik (3), Kurang baik (2), dan Tidak baik (1). Sedangkan untuk kelemahan dan ancaman dari luar yang kemudian digunakan skala likert atas lima tingkat yang terdiri dari: Sangat berat (5), Berat (4), Cukup berat (3), Kurang berat (2), dan Tidak berat (1). 3) Pembuatan matrik SWOT 1 Hero Wirasmara Kusuma, 2009, Freddy Rangkuti Rangkuman Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis, 7

9 Matrik SWOT ini memuat peta kekuatan sebagai hasil analisis dari penilaian terhadap faktor internal dan eksternal. Lebih lanjut disusun berbagai alternatif strategi yang bisa dipilih. Dengan menghubungkan empat dimensi tersebut, akan diperoleh empat kuadran, yaitu: alternatif strategi SO (Strenghts and Opportunities), alternatif strategi ST (Strenghts and Threats), alternatif strategi WO (Weaknesses and Opportunities) dan alternatif strategi WT (Weaknesses and Threats) SWOT TABEL 1-2 : MATRIK SWOT *) KEKUATAN (S) KELEMAHAN (W) PELUANG (O) I : STRATEGI S-O III : STRATEGI W-O Bagaimana memanfaatkan Bagaimana menghilangkan kekuatan yang ada untuk kelemahan untuk meraih peluang mendapatkan peluangpeluang ANCAMAN (T) II: STRATEGI S-T IV: STRATEGI W-T Bagaimana menggunakan Bagaimana membuat kekuatan internal yang ada strategi untuk menghindari untuk bertahan dari kelemahan yang mungkin ancaman menjadi sasaran ancaman *) Keterangan: I - Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Jalankan rencana sesuai agenda/program yang telah disusun. Kekuatan dan peluang yang dimiliki organisasi relatif lebih besar ketimbang kelemahan dan ancaman yang ada, sehingga kemungkinan sukses terbuka lebar. II - Meskipun menghadapi berbagai ancaman, organisasi ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi, Atau, bisa juga pelaksanaan rencana tersebut ditunda atau dibatalkan sama sekali jika waktu dan potensi yang ada tidak memungkinkan buat melakukan perbaikan. III- Organisasi menghadapi peluang pasar yang sangat besar, namun di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Di sini, fokus strategi adalah meminimalkan kelemahan internal sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. Lakukan penguatan terlebih dahulu sebelum rencana dilaksanakan. Perbaiki kelemahan yang ada, dan susun terlebih dahulu rencana antisipasi ancaman dengan lebih baik. Jika ini bisa dilakukan, baru rencana bisa dilaksanakan. IV- Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, organisasi menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Strategi bagaimana menekan/ mengeliminir ancaman dan kelemahan. Atau rencana sebaiknya dibatalkan karena tidak ada daya dukung yang memungkinkan organisasi dapat sukses menjalankan organisasi tersebut. Terlalu besar kelemahan dibanding kekuatan, dan terlalu banyak ancaman dibanding peluang. 8

10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Kebijakan (Policy) Bagaimana sumber daya dialokasikan dalam pelaksanaan upaya-upaya dalam mencapai tujuan. 2 Kebijakan merupakan proses pembuatan keputusan untuk menentukan tujuan dan cara atau alternatif terbaik dala mencapai tujuan tersebut Strategi Terdapat beberapa pengertian strategi, a.l: Strategi Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif. 4 adalah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai (secara umum). Pada umumnya proses atau langkah-langkah dalam merumuskan strategi antara lain meliputi: i) Mengidentifikasi misi atau sasaran organisasi ii) Menganalisa lingkungan luar/eksternal (identifikasi peluang dan ancaman) iii) Menganalisis lingkungan dalam/internal (identifikasi kekuatan dan kelemahan) iv) Merumuskan strategi 2.2 Kajian Terdahulu a. Pertemuan Nasional Gali Pendapat mengenai MTCR (Alfred Sitindjak, 1997) Pada tahun 1997 Indonesia (d.h.i. LAPAN) melakukan pertemuan Gali Pendapat dengan Instansi-instansi nasional terkait dengan Kedirgantaraan mengenai MTCR untuk memperoleh pandangan sikap Indonesia terhadap MTCR. Berdasarkan diskusi gali pendapat mengenai MTCR kaitannya 2 Modern business, R.C. Davis, M.E. MA; A.C. Filley, B.S, M.B.A, Ph.d, Management Philosophy 3 T. Keban, Enam Dimensi Strategis Admmistrasi Publik, Konsep, Teori, dan Isu, 2004 : 10 4 Strategi, terakhir diubah pada 10 Desember

11 dengan pengembangan teknologi roket di dunia, kemudian status pengembangan teknologi roket nasional kaitannya dengan MTCR, maka diperoleh kesepakatan mengenai sikap Indonesia pada Gali Pendapat tersebut adalah bahwa untuk sementara Indonesia belum waktunya untuk menjadi anggota MTCR. Kesepakatan ini didasarkan kepada bahwa Indonesia belum mempunyai suatu program pembangunan kedirgantaraan yang terintegrasi. Dalam rangka mewujudkan upaya bangsa Indonesia ke depan yaitu mempunyai kemampuan yang mandiri dalam penguasaan iptek kedirgantaraan. b. Kajian Pemikiran Tentang Kepentingan Indonesia Terhadap Missile Technology Control Regime-MTCR Euis Susilawati dalam kajian yang berjudul Suatu Pemikiran Tentang Kepentingan Indonesia Terhadap Missile Technology Control Regime (MTCR) menguraikan mengenai (Euis Susilawati, 1997): (i) latar belakang dan kronologi pembentukan MTCR, (ii) ketentuan-ketentuan MTCR, (iii) penerapan MTCR terhadap program-program teknologi keantariksaan khususnya peroketan baik yang dilakukan sendiri maupun dilakukan melalui kerja sama antar negara, dan (iv) kekuatan dan kelemahan MTCR. MTCR adalah perjanjian atau rejim multilateral yang memuat suatu kebijakan pembatasan atau pengendalian penyebaran misil dan teknologi misil. MTCR yang dibentuk pada tahun 1987 ini dilatarbelakangi kekhawatiran Amerika Serikat (AS) pada saat itu terhadap bahaya yang ditimbulkan pengembangan misil negaranegara. MTCR ini ditujukan untuk mengurangi resiko penyebaran nuklir dengan mengawasi alih peralatan dan teknologi yang dapat berperan dalam pengembangan sistem pengangkut atau peluncur persenjataan nuklir yang bukan berupa pesawat udara berawak. MTCR terdiri dari ketentuan (Guidelines) dan summary of items yang dimuat dalam annex. Terdapat 2 (dua) pengawasan kritis yang dimuat dalam annex ini yaitu batasan jarak jangkauan 300 km dan daya angkut muatan 500 kg. Artinya item-item dalam annex akan dikenakan ketentuan MTCR, apabila item-item tersebut dapat berperan dalam membuat sistem pengangkut atau peluncur yang mempunyai jarak jangkau 300 km atau lebih, dan daya angkut muatan 500 kg atau lebih. MTCR memberikan sanksi terhadap negara-negara yang di 10

12 anggap melanggar ketentuan-ketentuan MTCR tersebut. Berdasarkan data/informasi MTCR ini dan dengan melihat kepentingan nasional baik secara umum maupun terkait kedirgantaraan, penulis menyimpulkan mengenai manfaat dan resiko dari setiap sikap Indonesia terhadap MTCR. Manfaat yang akan diperoleh Indonesia apabila menjadi anggota MTCR, meliputi: (i) Indonesia akan memperoleh kepercayaan yang lebih besar dari negara-negara, bahwa Indonesia tidak akan membangun kemampuan untuk menyerang negara lain kecuali untuk mempertahankan diri, (ii) Berdasarkan kepercayaan tersebut di atas, Indonesia akan lebih mudah memperoleh alih teknologi antara lain memperoleh alih teknologi dirgantara, (iii) Upaya Indonesia dalam menetapkan kepentingan nasional yang bersifat tetap akan meningkat, yaitu yang menyangkut kelangsungan pembangunan nasional terutama pembangunan kedirgantaraan, dan pemeliharaan ketertiban dunia melalui keterbukaan dan tanggung jawab negara-negara dalam pemasaran secara global teknologi misil dan yang terkait, (iv) Amerika Serikat dan sekutunya dan anggota MTCR lainnya tidak akan mencurigai program kedirgantaraan Indonesia, dengan adanya pertukaran informasi secara teratur dalam pertemuan-pertemuan MTCR, (v) Amerika Serikat dan anggota MTCR lainnya tidak akan menerapkan kebijakan nasionalnya dalam upaya alih teknologi yang dilakukan Indonesia, karena telah tersalurkan melalui MTCR, (vi) Indonesia tidak termasuk negara yang berperilaku sebagai roque/pariah nations, sehingga tidak akan pernah mengalami kesulitan dalam proses menjadi anggota MTCR, dan tentunya tidak akan pernah menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menyerang negara lain, kecuali untuk mempertahankan diri. Sedangkan resikonya apabila Indonesia menjadi anggota MTCR adalah terbukanya upaya-upaya pengembangan misil dan yang terkait. Apabila Indonesia tidak menjadi anggota MTCR maka tidak ada manfaat tambahan khusus yang diperoleh Indonesia dalam semua parameter kepentingan nasional. Disisi lain resikonya ialah kemudahan alih teknologi dari anggota MTCR tidak akan diperoleh Indonesia sebagaimana yang diperoleh antar sesama anggota MTCR, dan upaya-upaya pengembangan misil dan yang terkait tetap akan terbuka melalui upaya-upaya intelijen negara-negara 11

13 anggota MTCR yang dapat mengundang dikenakannya sanksi bagi Indonesia dalam berbagai bentuk. Diakhir tulisannya penulis menyarankan (i) untuk memperlancar proses keanggotaan Indonesia dalam MTCR, sebaiknya Indonesia melengkapi peraturan perundang-undangan nasional terkait dengan teknologi misil dan yang terkait, dan (ii) hendaknya Indonesia menyiapkan strategi dalam mengambil kesempatan untuk memanfaatkan kekuatan dan kelemahan MTCR. c. Kongres Kedirgantaraan Nasional ke-2 Jakarta, Desember Berdasarkan kajian yang dilakuakan Panitia Nasioanl Pekan Kedirgantaraan Nasional (PDN) 2003 mengidentifikasi 10 (sepuluh) isu strategis pembangunan kedirgantaraan nasional, yaitu (i) Sumber Daya Manusia (SDM), (ii) Penegakan Kedaulatan Atas Wilayah Udara Nasional, (iii) Penguasaan Teknologi Dirgantara (Peroketan, Satelit, dan Pesawat Terbang); (iv) Industri (Manufakturing) Dirgantara; (v) Pengelolaan Ruang Udara Nasional,Keselamatan dan Keamanan Jasa Transportasi Udara; (vi) Flight Information Region(FIR); (vii) Frekuensi Untuk Jasa Telekomunikasi dan Kegiatan telekomunikasi lainnya; (viii) Definisi dan Delimitasi Antariksa (Batas antara Ruang Udara dan Antariksa); (ix) Wawasan berfikir Bangsa Indonesia tentang Kedirgantaraan; (x) Penyempurnaan Organisasi DEPANRI. Kongres di ikuti instansi-instansi nasional terkait di bidang kedirgantaraan dan Presiden sebagai Ketua DEPANRI. Berdasarkan Hasil Kongres atau Saran Kebijakan Strategis Berdasarkan Isu-Isu Strategis, salah satunya adalah Dalam rangka penentuan Sikap Indonesia mengenai MTCR perlu dilakukan: Analisis Perlu-Tidaknya Indonesia menjadi anggota MTCR. d. Penyelenggaraan Round Table Discussion. Menindaklanjuti Kongres tersebut, pada tahun 2005 LAPAN menyelenggarakan Round Table Discussion yang dipimpin Kepala LAPAN dan dihadiri pejabat/wakil instansi terkait untuk membahas Sikap Indonesia Terhadap MTCR. Dari diskusi tersebut disepakati bahwa kebijakan Indonesia dalam MTCR ini masih sama seperti yang disepakati pada tahun 1997, yaitu untuk sementara ini Indonesia belum waktunya untuk masuk menjadi anggota, dan masih perlu dikaji yang lebih mendalam dari berbagai aspek (Pussisfogan, LAPAN, 2005). 12

14 f. Kajian Stratergi Alih Teknologi Semntara Indonesia Belum Anggota Missile Technologt Control Regime -MTCR. Pada tahaun 2005 melakukan pengkajian Strategi Alih Teknologi sementara Indonesia belum anggota MTCR, melalui Riset Unggulan Kemandirian (RUK) Kedirgantaraan. Kajian status pengembangan teknologi peroketan nasional dan kajian penyerapan MTCR terhadap negara-negara yang melanggar ketentuan telah dilakukan. Kemudian dilakukan kajian perkembangan teknologi peroketan negara-negara yang belum anggota MTCR. Berdasarkan metode kajian yang digunakan maka menghasilkan pokok-pokok strategi alih teknologi peroketan yang akan dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun kedepan, meliputi (i) Alih teknologi pengembangan roket nasional, dilakukan dengan kerja sama dengan negara-negara maju; (ii) Upaya alih teknologi hendaknya dilakukan dengan pendekatan hubungan politik dan kerjasama Indonesia dengan negara-negara antara lain India dan China, yang selama ini ada hubungan politik kerjasama di bidang keantariksaan. (iii) Pengembangan peroketan nasional hendaknya secara nasional terintegrasi. g. Sudi Kelayakan: Manfaat dan Urgensi Keanggotaan Indonesia Dalam Missile Technology Control Regime MTCR. Dalam keanggotaan MTCR, alasan yang paling sering dikemukakan oleh negara-negara untuk bergabung dalam MTCR adalah niat negaranegara tersebut untuk ikut serta dalam aturan-aturan nonproliferasi global. Tetapi terdapat sejumlah alasan ekonomi dan politik untuk bergabung dalam MTCR. Bagi negara-negara yang industri teknologi misilnya belum maju atau masih kecil, alasan untuk bergabung dengan MTCR adalah untuk mencegah negaranya untuk dijadikan sebagai suatu titik pemindahan (transhipment). Irlandia dan Selandia Baru telah mengemukakan hal ini sebagai alasan untuk bergabung dengan rejim. Ada persepsi lain di antara negara-negara yang ingin bergabung dalam MTCR, yaitu bahwa anggota MTCR akan memperoleh kemudahan akses terhadap teknologi guna ganda yang diawasi. Sementara anggota yang berstatus penuh dapat mempromosikan beberapa bentuk kerja sama 13

15 teknologi. Persepsi lainnya adalah bahwa keanggotaan dalam MTCR dan rejim-rejim pengawasan ekspor lainnya mengakibatkan bahwa negara di dalam melakukan impor dianggap akan selalu memperhatikan ketentuan pengawasan pengembangan misil, sehingga negara tesebut dipandang kurang terlibat dalam proliferasi, dan mendapatkan kemudahan akses terhadap teknologi guna ganda. Keanggotaan MTCR saat ini terdiri dari 34 negara telah bergabung dalam MTCR, Kemudian Kriteria keanggotaan MTCR pada umumnya,anggota MTCR mempertimbangkan permintaan keanggotaan suatu negara berdasarkan; (i) efektivitas dari pengawasan ekspor negara pelamar (dilihat dari peraturan perundang - undangan nasionalnya); (ii) manfaat terhadap rejim (memperkuat atau memperlemah MTCR); (iii) catatan perilaku terkait dengan keamanan global (track record); (iv) dukungan dan bantuan dari anggota MTCR yang berpengaruh, pengesahan keanggotaan melalui konsensus oleh seluruh negara anggota MTCR.Kemudian Proses Keanggotaan MTCR, apabila suatu negara ingin menjadi anggota MTCR, maka proses yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: (i) Permohonan (aplikasi) secara resmi dari negara calon anggota untuk dapat bergabung dalam MTCR; (ii) Penilaian oleh anggota MTCR terhadap calon anggota, tentang efektivitas dari pengawasan ekspor negara pelamar (dilihat dari peraturan perundang -undangan nasionalnya), manfaat terhadap rejim ( memperkuat atau memperlemah MTCR), catatan perilaku terkait dengan keamanan global (track record); (iii) Dialog antara ketua MTCR dengan negara calon anggota tentang substansi MTCR ; (iv) Kunjungan tim MTCR yg terdiri dari 3-4 negara anggota MTCR ke negara calon anggota untuk memeriksa/meneliti ; Fasilitas yang dimilikinya yang berkaitan dengan substansi MTCR (proliferasi misil), dan meneliti Perundang-undangan nasional negara calon anggota;(v) Tukar menukar informasi (bilateral exchange) antara negara anggota dengan negara calon anggota;(vi) Pengesahan sebagai anggota melalui konsensus dari negara anggota MTCR pada pertemuan pleno MTCR. Berdasarkan kajian pengembangan teknologi roket negara-negara anggota MTCR dan proses negara-negara masuk anggota dan negara-negara 14

16 belum anggota MTCR, maka jika Indonesia masuk anggota MTCR, Konsekuensi yang harus dipenuhi oleh bangsa Indonesia yaitu meliputi; (i)indonesia membuat Program Peroketan nasional ( dilakukan oleh Instansi pemerintah dan Swasta terkait), antara lain LAPAN, PT. Dirgantara Indonesia(PT. DI), PT. PINDAD(PT. Perindistrian Angkata Darat), dan Menteri Hankam (Menteri Pertahanan Keamanan), bersama-sama membuat Program Pengembagan Teknologi dan penetapan Anggaran Peroketan Nasioanal secara konprehensip;(ii) Indonesia mengalokasikan dana yang sangat besar dalam program pengembangan teknologi roket; (iii) Indonesia dalam pengembangan teknologi antariksa terutama teknologi Peroketan nasional harus terbuka dan siap dikunjungi dunia luar (anggota MTCR), bahwa pengembangan teknologi roket adalah untuk kebutuhan ilmiah atau keperluan sipil, pertahanan keamanan untuk perdamaian; (iv) Indonesia membuat peraturan perundang-undangan nasioanl Eksport Control, disesuaikan dengan Annex MTCR. h. Studi Komparasi Pengembangan Teknologi Roket India dan Indonesia. Pengembangan teknologi roket negara India dan negara Indonesia dilakukan pada saat bersamaan pada tahun India telah berhasil mengembangkan teknologi misil ballistik antar benua (Intercontinental ballastic missile-icbm) untuk keperluan pertahanan dan keamanan. Pengembangan roket peluncur satelit India telah berhasil mengembangkan roket SLV (Satellite Launch Vehicle), membawa satelit ke orbit LEO (low Earth Orbit)), roket ASLV (Augmented Satellite Launch Vehicle ), membawa satelit ke orbit polar, PSLV (Polar Satellite Launch Vehicle) dan roket GSLV (Geosynchronous Satellite Launch Vehicle), membawa satelit ke orbit GSO (Geostationary Orbit). Sedangkan pengembangan teknologi roket Indonesia, sampai saat ini masih dalam taraf peluncuran percobaan-percobaan. Pengembangan teknologi roket India sangat dipengaruhi aspek geopolotik, yaitu pengembangan ditujukan untuk memelihara stabilitas strategi jangka panjang dikawasan Asia Pasifik dan melindungi terhadap ancaman nuklir dari China dan Pakistan. Sedamgkan Indonesia pengembangan teknologi roket Indonesia dipengaruhi, politik luar negeri bebas dan aktif, artinya negara damai dan tidak ada musuh, walau pun kenyatannya perlu pengamanan diperbatasan negara tetangga, yang telah terjadi dan konplik, dan 15

17 pengawasan pulau-pulau terjauh, sangat memerlukan pengembangan teknologi roket. Keberhasilan negara India dimana pengembangan teknologi roket, ditujukan untuk memelihara stabilitas strategi jangka panjang di kawasan Asia Pasifik, dalam memenuhi tujuan tersebut telah memiliki program pengembangan teknologi roket, komitmen pemerintah dalam pengembangan dengan mempersiapkan sumber daya, dalam pengembangan teknologi roket dilakukan dengan kerjasama dengan negara maju, memiliki Sistem perundang-undangan nasional yang mengatur produk yang berkaitan dengan item produk yang termuat dalam annex MTCR. Kemudian negara India adalah negara yang taat terhadap aturan MTCR, dan politik luar negeri India sangat bertanggung jawab terhadap keamanan umuat manusia di dunia. Maka negara India dalam melakukan kerja sama sangat dipercayai negara maju dan negara anggota MTCR, bahwa pengembangan teknologi roket adalah untuk maksud damai, dan mempertahankan diri. 16

18 BAB III MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) DAN PENERAPANNYA TERHADAP PROGRAM KEANTARIKSAAN 3.1 Substansi Pengaturan MTCR Terkait Keantariksaan Missile Technology Control Regime (MTCR) adalah regim multilateral yang memuat suatu kebijaksanaan pembatasan atau pengendalian penyebaran misil dan teknologi misil. 5 Misil adalah senjata roket militer yang bisa dikendalikan atau memiliki sistem pengendali otomatis untuk mencari target atau menyesuaikan arah. Ide pemikiran pembentukan MTCR muncul pada tahun 70-an, ketika Amerika Serikat mengkuatirkan atas bahaya yang dapat ditimbulkan oleh program pengembangan misil dari negara-negara termasuk negara berkembang. Kekuatiran Amerika Serikat ini di sebabkan antara lain uji coba misil ballistik Korea Selatan tahun 1978, upaya Irak membeli roket-roket bertingkat (yang tidak digunakann lagi) dari Italia tahun 1979, uji coba Satelit Launch Vehicle (SLV-3 ) oleh India tahun 1980, dan uji coba roket oleh perusahaan Jerman Barat di Libia tahun Pada saat pembentukannya tahun 1987, MTCR ditujukan untuk mengurangi resiko penyebaran nuklir dengan mengawasi alih peralatan dan teknologi yang dapat berperan dalam pengembangan sistem pengangkut atau peluncur persenjataan nuklir yang bukan berupa pesawat udara berawak. Kemudian pada tahun 1993 ruang lingkup rejim diperluas hingga meliputi tidak hanya sistem pengangkut nuklir, tetapi juga untuk senjata pemusnah masal seperti senjata kimia dan biologi. Begitu juga dengan annex MTCR, dalam perkembangannya yang semula hanya memuat equipment and technology, menjadi equipment, software and technology. Secara substansi MTCR terdiri dari Ketentuan (Guidelines for Sensitive Missile- Relevant Transfer) dan Annex. 6 Ketentuan memuat prinsip-prinsip umum yang merupakan pedoman dalam mengendalikan ekspor atau perdagangan terhadap item-item yang dimuat dalam Annex. Sedangkan Annex (Equipment, Software and Technology) terdiri dari 20 kelompok item yang dibagi ke dalam 2 (dua) kategori item. Pengkatagorian item tersebut didasarkan pada tingkat sensitivitas dari item yang bersangkutan. 5 Deborah A. Ozga, A Chronology of The Missile Technology Control Regime, The Nonproliferation Review/Winter Ibid 17

19 3.1.1 Ketentuan (Guidelines for Sensitive Missile-Relevant Transfer) Secara garis besar Ketentuan (Guidelines for Sensitive Missile-Relevant Transfer) memuat hal-hal sebagai berikut: 7 MTCR tidak menghambat program keantariksaan nasional atau kerja sama internasional, sejauh program tersebut tidak berkontribusi terhadap sistem pengangkut senjata pemusnah masal. Dasar pengendalian transfer untuk tujuan apapun: Kategori I Kategori I memuat sistem-sistem atau sub-sub sistem secara utuh/ lengkap termasuk peralatan, software, dan teknologi produksi yang dirancang secara khusus untuk sistem-sistem tersebut; Kecenderungan yang kuat untuk menolak pemberian atau ekspor item Kategori I kepada negara lain; Transfer hanya akan dimungkinkan apabila pemerintah negara pengekspor memperoleh jaminan penggunaan akhir yang bersifat mengikat dari pemerintah negara penerima. Negara pengekspor bertanggungjawab terhadap seluruh langkah-langkah yang perlu untuk menjamin penggunaan akhir. Kategori II Kategori II memuat komponen-komponen dan teknologi yang kurang sensitif yang pada umumnya mempuyai aplikasi guna ganda. Jaminan antar pemerintahan diperlukan apabila item yang ditransfer dapat berkontribusi terhadap sistem pengangkut WMD. Seluruh transfer dari item yang dimuat dalam Annex dikaji kasus-per- kasus. Tukar menukar informasi yang relevan antar pemerintah dalam penerapan Guidelines National legislations: Pemerintah mengimplementasikan Guidelines ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasionalnya. Guidelines secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran Annex Annex (Equipment, Software and Technology) terdiri dari 20 kelompok item yang dibagi ke dalam 2 (dua) kategori item. 8 Pengkatagorian item tersebut didasarkan pada tingkat 7 Handbook MTCR,

20 sensitivitas dari item yang bersangkutan. Kategori I terdiri dari 2 item yaitu (i) Item 1 : Sistem Pengangkut Lengkap (Complete Delivery Systems) yang terdiri dari sistem roket lengkap (mencakup sistem misil balistik, wahana peluncur antariksa, dan roket sonda) dan sistem wahana udara tidak berawak (mencakup ystem misil jelajah, target drones dan reconnaisaance drones, dan (ii) Item 2: Subsistem yang dapat membangun Sistem Pengangkut Lengkap tersebut. Terdapat 2 (dua) parameter pengawasan kritis yang dimuat dalam Kategori I yaitu batasan jarak jangkauan 300 km dan daya angkut muatan 500 kg. Artinya bahwa item-item dalam annex akan dikenakan ketentuan MTCR, apabila item-item tersebut dapat berperan dalam membuat sistem pengangkut atau peluncur yang mempunyai jarak jangkau 300 km atau lebih, dan daya angkut muatan 500 kg lebih. Pembatasan muatan hingga 500 kg ini didasarkan pada pertimbangan bahwa negara-negara nuklir akan mengembangkan senjatasenjata nuklir yang relatif berat dan besar. Sedangkan batasan jangkauan 300 km berkorelasi terhadap jarak dari cakupan strategi wilayah konflik, di mana penggunaan misil nuklir masih dipertimbangkan. Sedangkan Kategori II terdiri dari 18 item yaitu: Item 3 Item 4 Item 5 Item 6 : Propulsion Components and Equipment, a.l: Lightweight turbojet and turbofan engines (including turbocompound engines), that are small and fuel efficien Ramjet/scramjet/pulse jet/combined cycle engines, including devices to regulate combustion, and specially designed components therefor, usable in the systems specified in item 1 Rocket motor cases, insulation components and nozzles therefor, usable in the systems specified in item 1 Staging mechanisms, separation mechanisms, and interstages therefor, usable in the systems specified in item 1 Liquid and slurry propellant (including ystem r ) control systems, and specially designed components therefor, usable in the systems specified in item 1, designed or modified to operate in vibration environments greater than 10 g rms between 20 Hz and 2 khz. Hybrid rocket motors and specially designed components therefor, usable in the systems specified in item 1, item 19. : Propellants, Chemicals and Propellant Production : RESERVED FOR FUTURE USE : Production of Structural Composites, Pyrolytic Deposition and Densification, and Structural Materials Item ini memuat, a.l : Struktur komposit, laminates, dan hasil industri yang berkaitan, yang didesain untuk digunakan pada sistem sesuai spesifikasi 1.A dan pada subsistem sesuai spesifikasi 2.A. ; 8 Ibid 19

21 Item 7 Item 8 Item 9 Item 10 Item 11 Item 12 Item 13 Item 14 Item 15 Item 16 Item 17 Item 18 Item 19 Item 20 Komponen Pyrolised tidak jenuh (contoh carbon-carbon) yang terdapat pada: (i) hasil desain untuk sistem roket, dan (ii) bahan yang digunakan untuk system pada spesifikasi 1.A Peralatan untuk keperluan produksi struktur komposit, serat optik (fibre), prepregs atau preforms yang digunakan untuk sistem pada spesifikasi 1.A, dan komponen yang didesain serta aksesoris untuk itu; : RESERVED FOR FUTURE USE : RESERVED FOR FUTURE USE : Instrumentation, Navigation and Direction Finding : Flight Control Memuat peralatan (a.l.:hydraulic, mechanical, electro-optical, or electromechanical flight control systems including fly-by-wire systems, Attitude control, Flight control servo valves), pengujian dan produksi peralatan, perangkat lunak, dan teknologi yang dirancang atau dimodifikasi khusus untuk item 1 : Avionics Memuat peralatan (a.l: Radar and laser radar systems, including altimeters), perangkat lunak, dan teknologi (design) yang dirancang atau dimodifikasi untuk penggunaan dalam ystem-sistem yang ditetapkan dalam item 1. : Launch Support Memuat peralatan (a.l. Apparatus and devices, Vehicles, Gravity meters, gravity gradiometers, Telemetry and telecontrol equipment), perangkat lunak, dan teknologi yang dirancang atau dimodifikasi untuk penggunaan dalam ystem-sistem yang ditetapkan dalam item 1 dan 19. : Computers Memuat peralatan (a.l. Analogue computers, digital computers or digital differential analysers) dan teknologi yang dirancang atau dimodifikasi untuk penggunaan dalam ystem-sistem yang ditetapkan dalam item 1 : Analogue to Digital Converters, Memuat peralatan (a.l. Analogue-to-digital converters) yang akan digunakan pada sistem Item 1 : Test Facilities and Equipment Antara lain memuat peralatan pengujian getaran yang digunakan untuk sistem-sistem yang ditetapkan dalam item 1 : Modelling-Simulation and Design Integration : Stealth : Nuclear Effects Protection Memuat beberapa perlengkapan yang digunakan untuk melindungi ystem roket dan wahana udara tak berawak terhadap radiasi nuklir, x rays, radiasi panas, dan elektromagnetik, yang digunakan untuk ystem dalam Item 1 : Other Complete Delivery Systems Complete rocket systems: meliputi misil balistik, wahana peluncur, roket sonda, dan wahana udara tak berawak yang tidak dicover pada item 1 namun diperkirakan dapat mempunyai jarak terbang maksimum hingga 300 km. Complete unmanned aerial vehicle systems: meliputi cruise missile systems, target drones and reconnaissance drones yang tidak dicover pada item 1 namun diperkirakan dapat mempunyai jarak terbang maksimum hingga 300 km. : Other Complete Subsystems Tidak dicakup dalam item 2, tetapi digunakan pada sistem di Item 19, 20

22 termasuk individual rocketstoges dan solid atau liquid propellant rocket engines Keanggotaan MTCR Pada saat pembentukan tahun 1987 MTCR beranggotakan 7 (tujuh) negara, dan sampai dengan tahun 2010 MTCR beranggotakan 34 negara. Bulgaria menjadi negara anggota ke 34 pada tahun Beberapa negara seperti China, India, Israel, Romania, dan Slovakia, telah berjanji untuk mematuhi Guidelines MTCR. 9 Ke 34 negara anggota MTCR dan tahun masuknya menjadi anggota MTCR dapat dilihat dalam Tabel 3-1. NEGARA Italy United Kingdom United States of America Canada France Germany Japan Australia Belgium Denmark Spain Luxembourg Netherlands Norway Austria Czech Republic New Zealand Sumber: MTCR Partners, 2009 TABEL 3-1: ANGGOTA MTCR TAHUN KEANGGOTAAN NEGARA Sweden Greece Ireland Portugal Switzerland Argentina Hungary Iceland Brazil Russian Federation South Africa Turkey Finland Ukraine Poland Republic of Korea Bulgaria TAHUN KEANGGOTAAN Penerapan MTCR Terhadap Program Keantariksaan Sebagaimana dinyatakan dalam Guidelines bahwa MTCR tidak ditujukan untuk menghambat atau merintangi program keantariksaan nasional atau kerja sama internasional, sejauh program tersebut tidak berkontribusi terhadap sistem pengangkut senjata pemusnah masal Namun dalam penerapannya, kenyataan yang berlangsung adalah pengendalian tidak hanya ditujukan bagi negara/pihak pemasok (supplier) tetapi juga bagi negara penerima, 9 MTCR, Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies, Last Update: 6/21/

23 bahkan pengendalian telah diberlakukan terhadap alih teknologi antara sesama negara non- MTCR. Selain itu walaupun negara penerima (non-anggota MTCR) menyatakan jaminan bahwa teknologi yang diimpor dari negara lain (anggota dan non- anggota MTCR) sematamata ditujukan untuk program antariksa nasional dengan maksud damai (tidak untuk sistem pengangkut senjata pemusnah massal) dan masih berada di bawah batas parameter MTCR (300 Km, 500 Kg), alih teknologi tersebut sulit dilakukan. Alih teknologi wahana peluncur (roket) yang dibatasi dengan parameter MTCR sebenarnya masih jauh di bawah keperluan teknologi wahana peluncur LEO yang merupakan tahapan pertama bagi suatu negara untuk mempunyai akses terhadap antariksa secara mandiri. Selain itu dalam MTCR juga tidak memuat ketentuan penerapan sanksi apabila suatu negara melanggar MTCR (Center for Nonproliferation Studies, 2010). Namun dalam penerapannya Amerika Serikat menerapkan sanksi hukum kepada negara lain yang dipandang telah melanggar MTCR. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa MTCR ini dibentuk utamanya atas prakarsa Amerika Serikat. Bertitik tolak pada peran kepemimpinan Amerika Serikat dalam MTCR dan posisinya yang sangat berpengaruh dalam sistem internasional, tidak mengherankan apabila dalam penerapan MTCR, Amerika Serikat merupakan aktor yang dominan di antara anggota MTCR lainnya. Walaupun tidak ada ketentuan penerapan sanksi dalam MTCR, Amerika Serikat menggunakan sejumlah peraturan dalam negerinya dalam penerapan MTCR, yaitu Arms Export Control Act (AECA), the Export Admiistration Act (EAA), Missile Control Act dan the National Defence Authorization Act. Presiden Amerika Serikat akan mengenakan paling sedikit 1 dari 3 sanksi kepada pengusaha-pengusaha Amerika Serikat dengan negara-negara lain yang melanggar MTCR, tergantung kepada sifat pelanggarannya, untuk periode 2 sampai dengan 5 tahun. Sanksi-sanksi ini meliputi: penolakan lisensi ekspor Amerika Serikat, pelarangan kontrak dengan pemerintah Amerika Serikat, dan pelarangan pencarian produk atau jasa dari pemerintah Amerika Serikat. Presiden dapat meniadakan sanksi-sanksi tersebut apabila produk dan jasa tersebut perlu untuk keamanan nasional, penerima dari sanksi adalah pemasok satu-satunya dari sebuah produk/jasa, dan produk/jasa yang dipasok ke Pemerintah Amerika Serikat, atau yang dipasok sesuai dengan perjanjian bersama atau sesuai dengan program kerja sama NATO. Bagi Amerika Serikat, MTCR adalah wahana utama dalam menerapkan kebijaksanaan nasionalnya yang berkaitan dengan non-proliferasi misil. Amerika Serikat, dengan kemampuannya yang cukup besar, kadang-kadang menerapkan MTCR dan 22

24 kebijaksanaan nasionalnya secara bersamaan untuk saling mendukung dalam mencampuri alih teknologi yang berkaitan dengan misil/wahana peluncur di antara negara-negara. Dalam rangka mempromosikan kebijakan non-proliferasi misilnya, AS telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan diskusi bilateral dengan Argentina, Brazil, Cina, Jerman, Italia, dan bekas Uni Soviet. Amerika Serikat merupakan negara yang paling menonjol di antara anggota lainnya dalam mempromosikan penegakan hukum MTCR. Pada tahun 1990 AS menetapkan peraturan perundang-undangan terkait kebijakan ekspor dan seluruh anggota MTCR diminta untuk menerapkannya. AS nampaknya cukup keras dalam mengenakan sanksi-sanksi terhadap negara yang tidak mematuhi MTCR. Sebaliknya, sebagian besar negara anggota lainnya menggunakan pendekatan yang lunak (low-key) dalam kaitannya dengan MTCR. Bahkan pada saat penetapan MTCR, Perancis, Italia, dan Jerman Barat tidak mengumumkan secara resmi dan luas bahwa mereka adalah sebagai negara pendiri rejim. Sebagai kelompok yang low-profil, negara anggota tidak memberikan komentar secara terbuka terhadap MTCR. Demikian juga, negara anggota tidak mengungkapkan kritik atau simpati tentang sanksi yang diberikan AS, kecuali negara tersebut secara langsung terlibat dalam transaksi tersebut. Negara anggota lainnya seperti Jepang, selalu menghindari penerapan ekonomi sebagai alat kebijakan dan lebih memilih pemecahannya melalui diskusi diplomatik. Beberapa negara baik yang melakukan maupun yang menerima alih teknologi dan atau produk (komponen) yang berkaitan dengan pengembangan misil balistik atau roket telah menjadi korban sanksi yang dikenakan Amerika Serikat. Brasil dan India adalah 2 (dua) negara dari banyak negara yang telah menderita kerugian besar sebagai penerima alih teknologi dan komponen roket. Brazil telah mengembangkan serangkaian roket sonda sejak 1970-an dan awal an, di mana beberapa dari roket sonda tersebut mereka diubah menjadi misil surface-tosurface dengan jarak jangkau yang pendek untuk diekspor ke Libya, Saudi Saudi, dan Irak. Namun pada awal 1990-an, Brazil menghentikan program untuk mengembangkan misil yang lebih banyak, seperti SS Avibras-300 dan Orbita-MB/EE-600 dan yang mempunyai jangkauan (lebih dari 300 kilometer) sekelas dengan yang dibatasi oleh MTCR. Secara paralel sejak tahun 1980-an, Brasil juga mulai mengembangkan roket 4 (empat) tingkat yaitu VLS (Satellite Launch Vehicle) yang dirancang untuk meluncurkan satelit ke orbit rendah. Namun, proyek pengembangan VLS ini sebagian besar tergantung pada teknologi misil dari 23

25 luar (navigasi inersia dan sistem kendali wahana), dan MTCR melarang ekspor teknologi peluncuran antariksa ke Brazil. Karena kekhawatiran proliferasi misil maka kemudian Washington membujuk anggota MTCR untuk menghentikan ekspor teknologi peluncuran antariksa dan teknologi strategis lainnya ke Brazil. Pemerintahan Bush berupaya mencegah pemerintah Perancis untuk tidak mentsransfer teknologi motor roket Viking (Arianespace) ke Brazil untuk VLS yang berpotensi dapat digunakan untuk misil balistik (Deborah A. Ozga, 1994). Selain itu juga mencegah terjadinya kontrak kerja sama, di mana Arianespace menawarkan motor roket Viking berbahan bakar cair kepada Brazil untuk meluncurkan 2 satelit Brasil. AS menyatakan bahwa transfer tersebut akan menghambat upaya internasional dalam mencegah proliferasi misil mengingat Brasil dalam pengembangan roket militer dengan menggunakan teknologi dari program antariksa sipilnya. Kekhawatiran AS lainnya adalah adanya kemungkinan pengalihan teknologi tersebut ke negara-negara seperti Irak dan adanya potensi Brazil untuk mengembangkan misil senjata nuklir dengan jarak jangkau yang jauh. Dengan alasan tersebut di atas, maka pada bulan Juni 1992, Departemen Perdagangan AS memasukan Roket Sonda-3, Sonda-4, dan VLS, dan misil SS-300, SS- 1000, dan MB/EE pada daftar proyek misil yang dikhawatirkan (Wyn Q. Bowen, 1996). Memang, sampai awal tahun 1990-an embargo MTCR tersebut telah berhasil membatasi akses Brasil untuk memperoleh teknologi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan proyek VLS. Namun, Brazil memperoleh bahan yang diperlukannya dengan bantuan dari anggota non-mtcr seperti Russia. Untuk mendapatkan teknologi misil ini, Pemerintah Brazil mengumumkan keputusannya pada tanggal 11 Februari 1994, untuk mematuhi kriteria dan standar MTCR tersebut, dan menyetujui untuk membatasi ekspor misil (dan komponen utama misil) yang mampu mengangkut senjata pemusnah massal untuk jarak di atas 300-km (Wyn Q. Bowen, 1996). Pada Pertemuan Pleno MTCR di Bonn, tanggal 10 Oktober 1995 Brasil diterima secara resmi sebagai anggota MTCR, setelah terlebih dahulu Kongres Brasil pada tanggal 5 Oktober 1995 mengesahkan suatu perundangan nasional yang sejalan dengan MTCR yaitu Export Control Law 9112 (Wyn Q. Bowen, 1996). Dengan keanggotaan dalam MTCR, Brasil tidak lagi mengalami hambatan dalam memperoleh teknologi dari luar yang diperlukan dalam pelaksanan program peluncur wahana 24

26 antariksa. Brasil kemungkinan akan memperoleh dua manfaat utama dari aksesinya terhadap MTCR. Pertama, memungkinkan Brasil untuk mengimpor teknologi peluncur antariksa sipil dari negara anggota lain, di mana teknologi ini dibutuhkan untuk menyelesaikan VLS, Kedua juga akan meningkatkan kesempatan Brasil untuk memasarkan fasilitas peluncuran Alcantara kepada perusahaan asing dan organisasi-organisasi untuk peluncuran satelit dan atau untuk peluncuran roket-roket eksperimen. Pada tahun 1992 dalam rangka meningkatkan kemampuan teknologi wahana peluncurnya, India bekerja sama dengan Rusia dengan menandatangani kontrak senilai US $200 juta tentang penjualan liquid hydrogen cryogenic engines oleh Rusia ke India (Susilawati, 1997). Dalam kerja sama tersebut disepakati bahwa Rusia akan menjual 2 unit mesin roket cryogenik dan teknologinya ke India. Mesin tersebut akan digunakan untuk roket peluncur satelit yang ditempatkan di orbit geostasioner (Geosynchronous Satellite Launch Vehicle - GSLV), sedangkan teknologinya digunakan untuk membuat mesin yang serupa di India dengan membayar royalti kepada Rusia untuk setiap mesin yang dibuat. Semula India telah menjajaki pembelian mesin dan teknologi yang serupa kepada Amerika Serikat dan negara-negara Barat (terutama Perancis). Namun karena harganya yang sangat tinggi (US$500 juta), maka India beralih ke Rusia yang kontraknya lebih murah. AS menuduh bahwa kerja sama tersebut telah melanggar MTCR dengan alasan bahwa mesin tersebut dapat digunakan untuk kepentingan militer. Kerja sama tersebut ditentang AS dengan alasan bahwa penjualan mesin dan teknologi tersebut telah melanggar MTCR, dan mengancam akan memberikan sanksi kepada Rusia (d.h.i. Glavkosmos) dan India (d.h.i. ISRO) selama 2 tahun (Deborah A. Ozga, 1994). Kemudian pada tanggal 11 Mei 1992, AS memberlakukan sanksi kepada Rusia dan India. Sanksi yang diberlakukan kepada Rusia ialah membatasi Rusia untuk memasuki pasar peluncuran komersil dan melarang partisipasi Rusia dalam pembangunan Stasiun Antariksa Internasional (International Space Station -ISS) pimpinan AS. Sedangkan sanksi terhadap India berupa penolakan pasokan komponen elektronika dan komponen satelit, terutama untuk satelit komunikasi dan remote sensing, buatan perusahaan India ke AS. Dalam perjalanannya, sanksi kepada India benar-benar direalisasikan sejak tanggal 11 Mei 1992 hingga akhir tahun Sedangkan sanksi kepada Rusia, berkat kelicinan upaya diplomasinya dalam mendekati Pemerintah AS, tidak pernah direalisasikan. Namun dalam hal ini, pihak Rusia telah membatalkan kontrak dengan pihak India pada tanggal 1 25

27 Nopember Sebagai penggantinya, Rusia dan India membuat kontrak baru yang hanya mencakup 7 unit cryogenic rocket engines (tanpa teknologi) pada tahun Kontrak baru inipun tidak sempat terrealisasikan, karena ditentang keras oleh AS dan negara anggota MTCR lainnya. Rusia yang pada saat itu belum menjadi anggota MTCR, karena alasan bantuan keuangan AS untuk pengembangan industri antariksa Rusia, berjanji mematuhi MTCR. Rusia akhirnya menjadi anggota MTCR pada athun 1995 setelah pada tahun 1993 pemerintahnya menetapkan kebijakan sistem pengendalian ekspor yang merefleksikan ketentuan MTCR. 10 India sendiri (d.h.i. Ketua ISRO) mengkritik secara keras MTCR dengan menyatakan bahwa MTCR yang dimotori AS telah bertindak sembarangan dan tidak adil (Deborah A. Ozga, 1994). Ketua ISRO juga menyatakan bahwa sanksi AS hanyalah suatu alasan untuk mengurangi kompetisi dalam pasar peluncuran wahana antariksa komersil dengan cara menghambat kemampuan negara lain dalam peluncuran wahana antariksa. Akibat dari pembatalan kontrtak-kontrak tersebut, India terpaksa harus melakukan pembuatan cryogenic rocket engines dengan kemampuan sendiri. India melalui upaya India Space Research Organization (ISRO) dan industri dalam negeri merasa mampu untuk itu, karena selama 2 tahun ( ) para scientist dan engineers India yang belajar dan bekerja di Rusia telah menguasai rancang bangun mesin yang diperlukan. Dalam kenyataannya, program pengembangan GSLV telah mengalami pengunduran waktu selama 6 tahun. Tadinya direncanakan peluncuran GSLV pada akhir tahun 1995, dan baru berlangsung peluncurannya dengan berhasil pada tanggal 18 April 2001 dengan membawa satelit (GSAT-1) seberat 1540 kg. Keberhasilan inipun masih tetap menggunakan produk jadi 1 unit cryogenic engine dari 7 unit cryogenic engine yang dibeli dari Rusia pada tahun 2000 dengan harga seleuruhnya kurang lebih US$400 juta. Saat ini India masih belum menjadi anggota MTCR, tetapi pada Pertemuan Pleno MTCR tahun 2005 India telah menyatakan secara sepihak (unilaterally) untuk mentaati MTCR (MTCR, 2005). Sampai saat ini China belum menjadi anggota MTCR, namun dengan berbagai alasan, AS telah menerapkan MTCR dalam kepada kegiatan keantariksaan China. Sejak tahun 1990-an China telah mempertimbangkan untuk menjadi anggota MTCR. Hal ini dikarenakan MTCR telah digunakan Amerika Serikat untuk membatasi alih teknologi kepada China. China tidak termasuk dalam perundingan awal pembentukan MTCR, sehingga pada 10 Russia: International Organization Membership, 26

28 saat itu China merasa tidak perlu untuk mentaatinya aturan MTCR. Namun dalam kenyataannya, Amerika Serikat dengan menggunakan power nya selalu campur tangan dalam kegiatan keantariksaan China. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1991 China mengekspor misil M-11 ke Pakistan, Amerika Serikat dengan menggunakan peraturan perundang-undangannya menjatuhkan sanksi kepada China karena dianggap melanggar MTCR, walaupun China membantahnya bahwa ekspor tersebut tidak melanggar MTCR. China beralasan bahwa misil yang diekspor ke Pakistan mempunyai jangkauan 290 km dan muatan 800 kg. 11 Sanksi yang diberikan kepada China tersebut adalah berupa larangan peluncuran satelit buatan Amerika Serikat oleh roket China, dan penghentian penjualan komponen satelit Amerika Serikat ke China. Walaupun pada awalnya China tidak mau mentaati MTCR, karena sanksi yang dikenakan terhadap China, maka akhirnya pada tahun 1992 China berjanji untuk mentaati MTCR melalui suratnya yang disampaikan kepada Presiden Bush. 12 Janji China ini menyebabkan Amerika Serikat mencabut sanksinya. Namun pada tahun 1993 Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi kepada China dengan dugaan bahwa China telah menstransfer teknologi misil ke Pakistan. 13 Atas tekanan Amerika Serikat tersebut, pada tahun 2003 Menteri Luar Negeri China menyatakan secara resmi kepada Amerika Serikat mengenai keinginannya untuk menjadi anggota MTCR. Keinginan China ini kemudian dibahas pada pertemuan Pleno MTCR di Korea Selatan tahun Kemudian pada tahun 2004 China mulai melakukan konsultasi dengan MTCR, dan pada tahun 2005 kembali China menyampaikan keinginannya untuk menjadi anggota MTCR. Namun sampai saat ini Amerika Serikat enggan untuk merespon keinginan China ini. 15 Sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 tercatat Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi sebanyak 115 kali kepada perusahaan negara-negara yang dianggapnya melanggar ketentuan alih teknologi dalam MTCR. Dari jumlah sanksi ini sebanyak 80 kali dijatuhkan kepada perusahaan China dengan alasan yang sama (Niels Aadal Rasmusse, 2007). 11 China and the MTCR, Missile Technology Control Regime (MTCR), 12 Ibid 13 Deborah A. Ozga, A Chronology of the Missile Technology Control Regime, The Nonproliferation Review/Winter Victor Zaborsky, Bringing China Closer to MTCR, 18 October 2005, Space News Bussiness Report, h tp:// 15 Ibid 27

29 BAB IV PERKEMBANGAN PEROKETAN NEGARA ANGGOTA DAN NON- ANGGOTA MTCR 4.1 Negara Anggota MTCR Brazil a. Motivasi Pengembangan Kegiatan Keantariksaan Bagi Brazil, antariksa merupakan investasi yang strategis 16 dan mengamankan akses ke antariksa menjadi sebuah prioritas. Salah satu pengamat menjelaskan posisi sebuah fasilitas peluncuran sebagai hal yang kritis (critical item) yang menggambarkan kekuatan sebuah negara 17. Dan komersialisasi memiliki peran penting untuk pengembalian investasi (return of investment), karenaya Brazil membangun 2 fasilitas yakni CLA yang mendekati peluncuran equatoriar dan clbi. Gambar 4.1 Fasilitas Kegiatan Keantariksaan Brazil Ibid, Ansdell.Page Bartels. 2010, Bartels, Walter. Prioridade da indústria quanto ao Programa Nacional de Atividades Espaciais - PNAE e cooperação internacional. In A Política Espacial Brasileira - Parte 1, by Conselho de Altos Estudos e Avaliação Tecnológica, Brasília: Edições Câmara, Dalam tulisan Ansdell,M. Delgado,L. Hendrickson,D Analyzing the Development Paths of Emerging Spacefaring Nations: Opportunities or Challenges for Space Suistanability?IAFF 6159: Capstone Research. Hal Bowen,Wyn Q Brazil s Accesion to The MTCR. Report The Nonproliferation Review/ Spring-Summer 28

30 b. Kelembagaan Program keantariksaan Brazil berawal dari program peroketan dan eksplorasi antariksa tahun 1961 sampai dengan saat ini. Sejak awal tahun 1960-an, kegiatan keantariksaan Brazil didukung dan berada di bawah ministry of aeronautis (air force), termasuk didalamnya kegiatan sipil. Dalam perkembangannya, berbagai tahap kelembagaan mulai dirintis sampai dengan keberadaan Brazilian Space Agency (AEB) pada tahun 1994 berdasarkan ketetapan federal law AEB terbentuk setelah satu tahun mengorbitnya scd-1 (satelite de coleta de dados- data collection satellite) yakni satelit pertama yang didesain dan dibuat di Brazil. Berikut adalah milestone atau sejarah perubahan dan perkembangan kelembagaan yang memperkuat program keantariksaan di Brazil: 1961 Pemerintah Brazil membentuk kantor lembaga antariksa pertama yakni GOCNAE s (the organizing group for the national commission on space activities), sebuah unit kerja dibawah koordinasi CNPQ (the national research council). Resmi berdiri pada tanggal 22 januari GOCNAE menerima instalasi untuk ruas bumi dari kementerian antaraiksa, yang berubah menjadi CTA (the aerospace technical center) yang berasosiasi dengan ita (technological institute of aeronautics) 1964 Bulan juni, kementerian antariksa membentuk getepe ( the executive group for space studies and projetcs dan mengawali misi CLFBI (the barreira do inferno rocket range) di natal, negara bagian rio gande di Brazilia tenggara CLFBI resmi terbentuk pada 15 desember 1965 dengan ditandai peluncuran dan tracking roket nike apache (roket kecil amerika yang merupakan kerjasama antara GOCNAE, kementerian antariksa dan nasa) dengan payload buatan Brazil Pada 20 januari presiden gen emilio garrastazu medici, menandatangani degree noo sebagai dasar terbentuknya COBAE (the Brazilian commisoin for space activities). COBAE terbentuk sebagai mandat untuk merencanakan dan mengimplementasikan program prioritas nasional di bidang space research melalui pndae (the national plan for the development of space activities) - 3 bulan setelah berdiri COBAE, pada 22 april ditandatangani degree no , membekukan GOCNAE dan membentuk INPEI (the institute of space research), dibawah koordinasi CNPQ 1972 Inpe ikut terlibat dalam program keantariksaan amerika 1979 COBAE mengadakan seminar untuk mendefinisikan kegiatan keantariksaan Brazil dimasa mendatang. Cat: Dampak perang dingin terhadap perekonomian, militer dan keterbatasan akses akan high technology, memaksa kementerian antariksa Brazil mereveiws postur yang ada. Hasilnya adalah tugas prioritas untuk menghilangkan hambatan dalam transfer teknologi antariksa dari negara maju ke Brazil. 19 Filho, Jose Monserrat The New Brazilian Space Agency: A Political And Legal Analysis. Space Policy 11(2) Pg Mei

31 1993 COBAE bertanggungjawab untuk manajemen program keantariksaan Brazil dan menentukan hambatan besar dalam pengembangan program keantariksaan september 1994, semua tugas dan kewajiban dari COBAE beralih ke AEB. AEB difungsikan untuk membuka jalan untuk transfer teknologi ke Brazil, mengintegrasikan keputusan pemerintah dengan tujuan yg ingin dicapai. AEB merupakan pusat dari sistem program keantariksaan Brazil. Koordinasi dengan kementerian bersifat administrasi sedangkan AEB bersifat operasional. AEB mengoperasikan empat badan atau lembaga yakni tiga badan atau lembaga tersebut adalah bandar antariksa Alcantara (CLA), fasilitas peluncuran roket di Barreira Do Inferno atau CLBI (The Barreira do Inferno Launch Centre), dan CTA dibawah Kementerian Antariksa (Ministry of Aeronautics), sedangkan INPE dibawah Kementerian Sains dan Teknologi (MCT). INPE berperan dalam kemampuan launch vehicles, launch sites, and satellite manufacturing atau pengembangan dan konstruksi satelit bekerjasama dengan industri nasional Brazil 20 Walaupun demikian, operasional ketiganya sangat tergantung pada program AEB. 21 AEB mengembangkan kebijakan kerjasama pengembangan teknologi yang menguntungkan bagi program keantariskaan. Pada tahap awal Brazil menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat, namun dalam perkembangannya mengalami kesulitan dalam transfer teknologi Brazil mengembangkan kerjasama dengan negar alain seperti China, India Russia and Ukraine opcit. Filho, josse m. Page

32 Gambar 4.2 organisasi keantariksaan Brazil 23 Fungsi dari AEB adalah 24 : 1. Menyusun kebijakan kegiatan keantariksaan nasional atau the national policy of space activities development (pndae), sebagai pedoman (guidelines) dan implementasi kebijakan tersebut. 2. Melakukan updating dari kebijakan nasional 3. Menyiapkan dan mengupdate the space activities national programs (pnae) dan sesuai proposal pendanaan 4. Melakukan promosi internal dan hubungan luar negeri dengan institusi sejenis 5. Menganalisia proposal perjanjian kerjasama antariksa internasional dan menandatanganinya, dengan ijin dari kementerian luar negeri dan mct dan memonitor implemtasinya The Brazilian space programme an overview. Reports. Space policy. Februari opcit, filho, josse m. Page

33 6. Menjawab isu dan memberikan opini in liaison dengan kementerian luar negeri dan mct terkait dengan keantariksaan dalam forum organisasi internasional dan pastisipasi dalam berbagai pertemuan 7. Mendorong perguruan tinggi, dan entitas pendidikan lainnya, litbang keantariksaan lainnya 8. Mendorong sektor swasta berpatisipasi pada kegiatan keantariksaan 9. Mengidentifikasi peluang partisipasi sektor swasta dalam menyediakan jasa (pelayanan) dan manufactur barang-barang yang terkait dengan area antariksa 10. Mendorong kerjasama penggunaan fasilitas teknis antariksa, mengintegrasikan fungsi dan mengoptimalisasi pemakaiannya 11. Mengeluarkan standart dan peraturan (regulation) terkait kegiatan keantariksaan di negaranya. AEB memiliki hubungan langsung (direct lingking) ke presiden yang mampu memberi new impulse pada effort antariksa Brazil, khususnya keuntungan langsung yang sangat tergantung pada prioritas kebijakan yang efektif, stabil dan bersifat jangka panjang (long range), dengan dukungan nasional dan bebas terhadap goyangan atau perubahan pemerintah yang dibutuhkan dalam kegiatan keantariksaan. 25 c. Kebijakan terkait peroketan Program keantariksaan nasional Brazil dalam pndae sejak tahun 1998 hingga 2007 terdiri dari delapan inisiatif program yakni: 26 A) space application B) Satellite and payloads C) Satellite launching vehicles and sounding rockets D) Space science E) Space infrastructure F) Space science G) R&d on space technologies H) Training and development of human resources and support to the qualifitcation of the national space industry Ketidakadaan pendefinisian yang baik visi dan misi dan dukungan masyarakat Brazil digambarkan sebagai penyebab utama dari kesulitan-kesulitan yang ada. 27 keberhasilan dari opcit, jose, page 129 the space sector in Brazil-an overview 27 ibid. 32

34 program keantariksaan Brazil sangat tergantung bagaimana manajemen terkait isu-isu alokasi sumber daya dan dukungan publik. 28 Brazil merupakan salah satu negara anggota mtcr yang bergabung sejak oktober 1995 pada 10th plenary meeting di bonn, jerman. Keanggotaan dalam mtcr merupakan hasil dari serentetan perubahan kebijakan pada awal tahun (yakni februari) 1994 konsen terhadap missile proliferation di lingkungan internasional dengan mendirikan AEB untuk kepentingan sipil 29. Brazil mengumumkan kebijakannya untuk mematuhi mtcr guidelines dan berniat untuk bergabung pada rezim ini pada posisi yang sama di masa mendatang. Sebagai tindak lanjutnya, penonaktifan COBAE mengurangi secara signifikan peran militer dalam program antariksa Brazil. Hal tersebut ditindaklanjuti dengan pengontrolan terhadap perdagangan missile. 30 Implikasi keanggotaan Brazil pada mtcr berdampak pada manfaat yang diperoleh yakni: 31 Pertama, Kedua, keanggotaan memperbolehkan Brazil untuk mengimpor teknologi peluncuran antariksa untuk kepentingan sipil yang dibutuhkan untuk melengkapi pengembangan vls dengan negara anggota rezim lainnya. keanggotaan berperan dalam kesuksesan komersialisasi fasilitas peluncuran roket alcantara pada perusahaan asing dan organisasi peluncuran satelit atau untuk melalukan peluncuran roket eksperimen. d. Kemampuan peroketan Dalam membangun misi Satellite Launch Vehicle (VLS), Sejak tahun andikembangkan berbagai seri dari roket sonda. Yakni roket Sonda I, II, III, IV dengan asistensi Amerika. Brazil mendirikan MECB (The Brazilian Complete Space Mission) untuk merealisasikan 3 objek yakni (i) desain, pengembangan dan contruction of indigenous satellite; (ii) desain, pengembangan dan konstruksi roket VLS untuk membawa satelit ke orbit LEO; dan (iii) desain dan konstruksi pusat peluncuran Alcantara (CLA). 28 Ansdell.a, delgado.l, hendrickson.d Analyzing the development paths of emerging spacefaring nations: opportunities or challenges for space sustainability?. Iaff 6159: capstone research. April Page foster, angus Brazil eyes the satellite launch market. The financial times. 25 april bowen. Wyn q Brazil s accession to the mtcr. The nonproliferation reviews/ spring summer. Page ibid, bowen, page

35 Tabel 4-1: Roket Brazil : Sonda-2,3,4 dan VLS Launcher Aspirasi pengembangan missile di Brazil termotivasi atas kegiatan pengembangan mediumrange Condor -2 Ballistic missile. Pengembangan missile dari penguasaan teknologi sonda telah mulai dirintis sebelum tahun 1980-an. Keberadaan asistensi negara Irak pada tim engineers Brazil dilakukan dalam upaya memperluas jangkauan pasokan dari Scub-B ballistic missile dari Uni Soviet. Tabel 4-2: Missiles Derived Sonda Technology and reportly Under Development in the 1980s Dalam perkembangannya atas desakan dari wahington, missile proliferation telah memaksa anggota mtcr untuk melarang eksport teknologi peluncuran (space lunch) dan teknologi strategis lainnya ke Brazil Ukraina PM 34

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR)

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) LAPORAN KEMAJUAN TERM I PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI

Lebih terperinci

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME LAPORAN KEMAJUAN PELAKSANAAN PKPP KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) Peneliti Utama : Drs.

Lebih terperinci

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR)

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) PT. DAHANA, 29 Maret 2012 PUSAT PENGKAJIAN DAN INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PEROKETAN NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR)

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PEROKETAN NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PEROKETAN NASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN HAMBATAN ALIH TEKNOLOGI DARI MISSILE TECHNOLOGY CONTROL REGIME (MTCR) KODE: H-39 Gedung DRN Serpong, 03 Oktober 2012 TIM

Lebih terperinci

Sekilas Tentang Perkembangan Regim Pengawasan Teknologi Misil

Sekilas Tentang Perkembangan Regim Pengawasan Teknologi Misil Sekilas Tentang Perkembangan Regim Pengawasan Teknologi Misil Mangala Pakpahan*) Peneliti Pada Pusat Analisis dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN PENDAHULUAN Regim Pengawasan Teknologi Misil yang lazim

Lebih terperinci

PASAL 4 PENENTUAN STATUS PENDUDUK

PASAL 4 PENENTUAN STATUS PENDUDUK PASAL 4 PENENTUAN STATUS PENDUDUK No Negara Perorangan Badan 1 Algeria a. tempat tinggal; tata cara persetujuan bersama b. kebiasaan tinggal; c. hubungan pribadi dan ekonomi. 2 Australia a. tempat tinggal;

Lebih terperinci

PASAL 5 AGEN TIDAK BEBAS YANG DAPAT MENIMBULKAN BUT BAGI SUATU PERUSAHAAN

PASAL 5 AGEN TIDAK BEBAS YANG DAPAT MENIMBULKAN BUT BAGI SUATU PERUSAHAAN PASAL 5 AGEN TIDAK BEBAS YANG DAPAT MENIMBULKAN BUT BAGI SUATU PERUSAHAAN No Negara Memiliki wewenang untuk menutup kontrak atas nama Menyimpan dan melakukan pengiriman barang atau barang dagangan milik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mewajibkan warga negaranya untuk mendapat pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

Lebih terperinci

LINGKUNGAN STRATEGIS PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL

LINGKUNGAN STRATEGIS PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL LINGKUNGAN STRATEGIS PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ROKET NASIONAL. Jakondar Bakara Peneliti Bidang pengkajian Kedirgantaraan Internasional RINGKASAN Pengembangan teknologi wahana peluncur atau roket dipengaruhi

Lebih terperinci

DAMPAK MTCR TERHADAP KEBUTUHAN BAHAN BAKU PROPELAN

DAMPAK MTCR TERHADAP KEBUTUHAN BAHAN BAKU PROPELAN DAMPAK MTCR TERHADAP KEBUTUHAN BAHAN BAKU PROPELAN Jakondar Bakara Peneliti Bidang Kebijakan Kedirgantaraan RINGKASAN Missile Technology Control Regime (MTCR) adalah rejim multilateral yang memuat suatu

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ROKET LAPAN DAN KINERJANYA

RANCANG BANGUN ROKET LAPAN DAN KINERJANYA RANCANG BANGUN ROKET LAPAN DAN KINERJANYA Sutrisno Peneliti Bidang Propelan, LAPAN RINGKASAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merupakan suatu instansi pemerintah yang mclakukan penelitian

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010. BAB 4 KESIMPULAN Korea Utara sejak tahun 1950 telah menjadi ancaman utama bagi keamanan kawasan Asia Timur. Korea Utara telah mengancam Korea Selatan dengan invasinya. Kemudian Korea Utara dapat menjadi

Lebih terperinci

TIANSHI GROUP Mr. Li Jin Yuan

TIANSHI GROUP Mr. Li Jin Yuan Bisnis utamanya yang bergerak dalam bidang bioteknologi canggih, Tianshi juga aktif dalam bidang finansial, pengembangan komplek hunian (real estate), pendidikan, pertukaran budaya dan logistik modern.

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN DUNIA. Nuhfil Hanani AR

PRODUKSI PANGAN DUNIA. Nuhfil Hanani AR 49 PRODUKSI PANGAN DUNIA Nuhfil Hanani AR Produksi Pangan dunia Berdasarkan data dari FAO, negara produsen pangan terbesar di dunia pada tahun 2004 untuk tanaman padi-padian, daging, sayuran dan buah disajikan

Lebih terperinci

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Bab ini merupakan kesimpulan dari penelitian skripsi peneliti yang berjudul Peran New Zealand dalam Pakta ANZUS (Australia, New Zealand, United States) Tahun 1951-.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

Bilingual Boarding School Mitra Kerja PASIAD-Turki di Sragen Penekanan Desain Arsitektur Post Modern Berkelanjutan

Bilingual Boarding School Mitra Kerja PASIAD-Turki di Sragen Penekanan Desain Arsitektur Post Modern Berkelanjutan LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Bilingual Boarding School Mitra Kerja PASIAD-Turki di Sragen Penekanan Desain Arsitektur Post Modern Berkelanjutan Diajukan untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK DAFTAR ISI/CONTENTS DAFTAR GRAFIK/LIST OF FIGURE DAFTAR TABEL/LIST OF TABLE I. Tabel-1 Table-1 KEDATANGAN WISATAWAN MANCANEGARA KE INDONESIA MENURUT

Lebih terperinci

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten No.133, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Wilayah. Keantariksaan. Tata Ruang. Udara. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5435) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON PRINCIPLES GOVERNING THE ACTIVITIES OF STATES IN THE EXPLORATION AND USE OF OUTER SPACE, INCLUDING THE MOON AND OTHER CELESTIAL

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS PUSAT KAJIAN KEBIJAKAN PENERBANGAN DAN ANTARIKSA

RENCANA STRATEGIS PUSAT KAJIAN KEBIJAKAN PENERBANGAN DAN ANTARIKSA RENCANA STRATEGIS PUSAT KAJIAN KEBIJAKAN PENERBANGAN DAN ANTARIKSA 2015-2019 PUSAT KAJIAN KEBIJAKAN PENERBANGAN DAN ANTARIKSA Jl. Cisadane No. 25 Cikini, Jakarta Pusat www.puskkpa.lapan.go.id DAFTAR ISI

Lebih terperinci

LAPORAN KUNJUNGAN KE PT DAHANA TASIKMALAYA, 29 MARET 2012

LAPORAN KUNJUNGAN KE PT DAHANA TASIKMALAYA, 29 MARET 2012 LAPORAN KUNJUNGAN KE PT DAHANA TASIKMALAYA, 29 MARET 2012 Telah berlangsung pertemuan di PT DAHANA Tasikmalaya, pada tanggal 29 Maret 2012, dengan peserta: PT. DAHANA: 1. Direktu EMC DR. Waspada Kurniadi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. bagi suatu perusahaan untuk tetap survive di dalam pasar persaingan untuk jangka panjang. Daya

BAB II KAJIAN TEORI. bagi suatu perusahaan untuk tetap survive di dalam pasar persaingan untuk jangka panjang. Daya BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Daya Saing 2.1.1 Pengertian Daya Saing Perusahaan yang tidak mempunyai daya saing akan ditinggalkan oleh pasar. Karena tidak memiliki daya saing berarti tidak memiliki keunggulan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewan keamanan PBB bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara dan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negaranegara anggota PBB.

Lebih terperinci

KAJIAN STRATEGI OPTIMALISASI PENGEMBANGAN PENERBANGAN PERINTIS DI INDONESIA

KAJIAN STRATEGI OPTIMALISASI PENGEMBANGAN PENERBANGAN PERINTIS DI INDONESIA LAPORAN KEMAJUAN PELAKSANAAN PKPP 2012 KAJIAN STRATEGI OPTIMALISASI PENGEMBANGAN PENERBANGAN PERINTIS DI INDONESIA Peneliti Utama : Drs. Gemuru Ritonga, MM Peneliti : Dr. Ir. Erna Sri Adiningsih, M.Si

Lebih terperinci

PASAL 11 & 12 TARIF PPh PASAL 26 ATAS BUNGA DAN ROYALTI UNTUK P3B YANG SUDAH BERLAKU EFEKTIF MAUPUN YANG BARU DIRATIFIKASI

PASAL 11 & 12 TARIF PPh PASAL 26 ATAS BUNGA DAN ROYALTI UNTUK P3B YANG SUDAH BERLAKU EFEKTIF MAUPUN YANG BARU DIRATIFIKASI PASAL 11 & 12 TARIF PPh PASAL 26 ATAS BUNGA DAN ROYALTI UNTUK P3B YANG SUDAH BERLAKU EFEKTIF MAUPUN YANG BARU DIRATIFIKASI NO NEGARA BUNGA ROYALTI Umum Khusus* Umum Khusus* 1 2 3 4 5 6 1. Algeria 15% -

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam upaya pemilihan judul skripsi ini. Sebab dunia internasional dihadapkan kepada beragam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perencanaan Strategis STI Cassidy (2006:41) mendefinisikan perencanaan adalah suatu proses penetapan tujuan organisasi/perusahaan, menentukan strategi untuk pencapaian tujuan

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

MATERI 4. ANALISIS SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, Ancaman)

MATERI 4. ANALISIS SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, Ancaman) MATERI 4 ANALISIS SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, Ancaman) Analisis SWOT adalah instrument perencanaaan strategis yang klasik. Dengan menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Kelompok Tani Kelompok tani diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani yang terdiri atas

Lebih terperinci

LAPORAN UPAH GLOBAL 2016/17

LAPORAN UPAH GLOBAL 2016/17 LAPORAN UPAH GLOBAL 2016/17 KETIMPANGAN UPAH DI TEMPAT KERJA Daniel Kostzer Spesialis Regional Senior Pengupahan, ILO kostzer@ilo.org Garis Besar Bagian I: Tren Utama Upah Tren global Upah, produktivitas

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR

Lebih terperinci

DIALOG KOREA UTARA-KOREA SELATAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEAMANAN KAWASAN

DIALOG KOREA UTARA-KOREA SELATAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEAMANAN KAWASAN Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m infosingkat@gmail.com BIDANG HUBUNGAN INTERNASIONAL KAJIAN SINGKAT TERHADAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Strategi Menurut Kotler (2008:58), strategi pemasaran adalah logika pemasaran dimana perusahaan berharap untuk menciptakan nilai pelanggan dan mencapai hubungan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

Pengertian Analisis SWOT Dan Manfaatnya

Pengertian Analisis SWOT Dan Manfaatnya Pengertian Analisis SWOT Dan Manfaatnya Pengertian analisis SWOT dan manfaatnya Analisis SWOT adalah suatu bentuk analisis di dalam manajemen perusahaan atau di dalam organisasi yang secara sistematis

Lebih terperinci

ANALISIS STATEGIS SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI DENGAN PENDEKATAN ANALISIS SWOT (Studi Kasus: Divisi IT Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung)

ANALISIS STATEGIS SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI DENGAN PENDEKATAN ANALISIS SWOT (Studi Kasus: Divisi IT Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung) ANALISIS STATEGIS SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI DENGAN PENDEKATAN ANALISIS SWOT (Studi Kasus: Divisi IT Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung) Sri Nurhayati Jurusan Teknik Komputer Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer

Lebih terperinci

: 1 (satu) kali tatap muka pelatihan selama 100 menit. : Untuk menanamkan pemahaman praja mengenai. Konsep Rencana Strategis Daerah.

: 1 (satu) kali tatap muka pelatihan selama 100 menit. : Untuk menanamkan pemahaman praja mengenai. Konsep Rencana Strategis Daerah. A. MENGENALI KONSEP RENCANA 2 STRATEGIS DAERAH Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan Waktu Tujuan : MENGENALI KONSEP RENCANA STRATEGIS DAERAH : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan selama 100 menit. :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Strategi Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dalam perkembangannya, konsep strategi terus berkembang. Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya perbedaan konsep

Lebih terperinci

MEMAHAMI PERAN NON-GOVERNMENTAL ORGANIZATIONS. Dewi Triwahyuni

MEMAHAMI PERAN NON-GOVERNMENTAL ORGANIZATIONS. Dewi Triwahyuni MEMAHAMI PERAN NON-GOVERNMENTAL ORGANIZATIONS Dewi Triwahyuni SEJARAH SINGKAT bermula dari sekelompok kecil orang yang memutuskan untuk bersama-sama memprotes pengujian nuklir di Amchitka, lepas pantai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. (1993:10), penelitian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. (1993:10), penelitian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut pendapat Warsito (1993:10), penelitian deskriptif terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah

Lebih terperinci

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE CZECH REPUBLIC OF ECONOMIC COOPERATION

Lebih terperinci

Penyusunan Rencana dan Strategi Pemasaran DOSEN : DIANA MA RIFAH

Penyusunan Rencana dan Strategi Pemasaran DOSEN : DIANA MA RIFAH Penyusunan Rencana dan Strategi Pemasaran DOSEN : DIANA MA RIFAH Pemasaran dan Nilai Pelanggan Inti dari pemasaran adalah memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen Sasaran dari setiap bisnis adalah menghantarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL BADAN GEOLOGI PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL BADAN GEOLOGI PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL BADAN GEOLOGI PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI RENCANA STRATEGIS PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI TAHUN 2006-2009 Oleh Tim Renstra PMG 1. UU No. 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK

BAB I PENDAHULUAN. Subhan Permana Sidiq,2014 FAKTOR DOMINAN YANG BERPENGARUH PADA JUMLAH BENDA JATUH ANTARIKSA BUATAN SEJAK BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi antariksa berdampak pada peningkatan peluncuran satelit untuk menjalankan berbagai misi, seperti telekomunikasi, penginderaan jauh, navigasi

Lebih terperinci

PP 60, pasal 2 ayat 3

PP 60, pasal 2 ayat 3 1 PP 60, pasal 2 ayat 3 TUJUAN SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

ANALISIS KEPENTINGAN DIBALIK KEGIGIHAN CINA UNTUK MENJADI ANGGOTA MTCR

ANALISIS KEPENTINGAN DIBALIK KEGIGIHAN CINA UNTUK MENJADI ANGGOTA MTCR ANALISIS KEPENTINGAN DIBALIK KEGIGIHAN CINA UNTUK MENJADI ANGGOTA MTCR Totok Sudjatmiko Peneliti Bidang Pengkajian Kedirgantaraan Internasional ABSTRACT The collapse of the Soviet Union Empire ends the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yofa Fadillah Hikmah, 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perang merupakan suatu konflik dua pihak atau lebih dan dapat melalui kontak langsung maupun secara tidak langsung, biasanya perang merupakan suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB III. Metodologi Penelitian

BAB III. Metodologi Penelitian BAB III Metodologi Penelitian 3.1 Desain Penelitian Dalam penelitian ini, jenis penilitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode analisis deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk

Lebih terperinci

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI 1 Introduksi: Isu proliferasi senjata nuklir merupaka salah satu isu yang menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pentingnya isu nuklir terlihat dari dibuatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada wilayah segitiga terumbu karang (coral reef triangle) dunia. Posisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu

Lebih terperinci

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global. BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya

Lebih terperinci

Analisis Swot Digital Library STIKOM Bali

Analisis Swot Digital Library STIKOM Bali Konferensi Nasional Sistem & Informatika 2017 STMIK STIKOM Bali, 10 Agustus 2017 Analisis Swot Digital Library STIKOM Bali Ratna Kartika Wiyati STIKOM Bali Jalan Raya Puputan No. 86 Renon Denpasar, (0361)244445

Lebih terperinci

Market Brief. Pasar Produk Organik di Jerman ### ITPC Hamburg ITPC HAMBURG - PELUANG PASAR PRODUK ORGANIK DI JERMAN 2015 I

Market Brief. Pasar Produk Organik di Jerman ### ITPC Hamburg ITPC HAMBURG - PELUANG PASAR PRODUK ORGANIK DI JERMAN 2015 I Market Brief Pasar Produk Organik di Jerman ### ITPC Hamburg ITPC HAMBURG - PELUANG PASAR PRODUK ORGANIK DI JERMAN 2015 I Daftar Isi Kata Pengantar... III 1 Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Proyek Konstruksi Suatu proyek konstruksi biasanya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan dan umumnya berjangka waktu pendek. Selain

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Purnomo dan Zulkieflimansyah (2000 : 8), istilah strategi berasal dari bahasa Yunani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Purnomo dan Zulkieflimansyah (2000 : 8), istilah strategi berasal dari bahasa Yunani BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Pengertian Manajemen Strategi Menurut Purnomo dan Zulkieflimansyah (2000 : 8), istilah strategi berasal dari bahasa Yunani strategos yang artinya memimpin,

Lebih terperinci

Lingkungan Pemasaran Global Ekonomi dan Sosial-Budaya

Lingkungan Pemasaran Global Ekonomi dan Sosial-Budaya Lingkungan Pemasaran Global Ekonomi dan Sosial-Budaya Pengenalan Secara Objektif Memahami perbedaan utama diantara beberapa sistem ekonomi didunia. Cara belajar bagaimana mengelompokan negaranegara dengan

Lebih terperinci

ANALISIS SWOT DAN SWOT MATRIKS. Sumber : Teddy Oswari, SKB 2017

ANALISIS SWOT DAN SWOT MATRIKS. Sumber : Teddy Oswari, SKB 2017 ANALISIS SWOT DAN SWOT MATRIKS Sumber : Teddy Oswari, SKB 2017 STUDI KELAYAKAN BISNIS ANALISIS SWOT DAN SWOT MATRIKS Putri Irene Kanny Putri_irene@staff.gunadarma.ac.id ANALISIS SWOT Dalam Identifikasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa antariksa merupakan ruang beserta isinya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG PANITIA NASIONAL PENYELENGGARA PERTEMUAN KHUSUS PARA PEMIMPIN NEGARA-NEGARA ASEAN, NEGARA-NEGARA LAIN, DAN ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Disain Penelitian Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Nomor : / BAP-I/IV/2011 TENTANG

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Nomor : / BAP-I/IV/2011 TENTANG Jalan Panji No. 70 Kelurahan Panji Telp. (0541) 661322. 664977 T E N G G A R O N G 75514 KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Nomor : 600.107/ BAP-I/IV/2011 TENTANG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan dunia akan satelit untuk keperluan komunikasi, navigasi, pengamatan dan sebagainya berkembang semakin pesat. Perkembangan tersebut mendorong pengembangan

Lebih terperinci

RESUME BUKU MANAGEMENT INFORMATION SYSTEMS 10/E (O BRIEN/MARAKAS) CHAPTER 14: ENTERPRISE AND GLOBAL MANAGEMENT OF INFORMATION TECHNOLOGY

RESUME BUKU MANAGEMENT INFORMATION SYSTEMS 10/E (O BRIEN/MARAKAS) CHAPTER 14: ENTERPRISE AND GLOBAL MANAGEMENT OF INFORMATION TECHNOLOGY Tugas : Take Home Ujian Akhir Triwulan Mata Kuliah : Sistem Informasi Manajemen Dosen : Dr. Ir. Arif Imam Suroso, M.Sc RESUME BUKU MANAGEMENT INFORMATION SYSTEMS 10/E (O BRIEN/MARAKAS) CHAPTER 14: ENTERPRISE

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA i BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No.15/03/12/Thn. XX, 01 Maret PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA I. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR SUMATERA UTARA BULAN JANUARI SEBESAR US$707,83 JUTA Nilai ekspor melalui

Lebih terperinci

pestisida dan permodalan (Sisfahyuni, 2008).

pestisida dan permodalan (Sisfahyuni, 2008). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Peran Kelembagaan Pertanian Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. ini terjadi dan meningkatnya kebutuhan suatu negara akibat berkembangnya

BAB V KESIMPULAN. ini terjadi dan meningkatnya kebutuhan suatu negara akibat berkembangnya BAB V KESIMPULAN Keamanan energi erat hubungannya dengan kelangkaan energi yang saat ini terjadi dan meningkatnya kebutuhan suatu negara akibat berkembangnya industrialisasi dan kepentingan militer. Kelangsungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEGIATAN KERJA SAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEGIATAN KERJA SAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA i BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 14/03/12/Thn. XIX, 01 Maret PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SUMATERA UTARA I. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR SUMATERA UTARA BULAN JANUARI SEBESAR US$574,08 JUTA Nilai ekspor

Lebih terperinci

Penerapan Analisis SWOT dalam Penyusunan Rencana Stratejik (Renstra) pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III Badan Pusat Statistik

Penerapan Analisis SWOT dalam Penyusunan Rencana Stratejik (Renstra) pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III Badan Pusat Statistik Penerapan Analisis SWOT dalam Penyusunan Rencana Stratejik (Renstra) pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III Badan Pusat Statistik Oleh: Yuliana Ria Uli Sitanggang, S.Si, M.Si Widyaiswara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70. Kata Kunci : rancang bangun, video surveillance, telemetri, roket.

RANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70. Kata Kunci : rancang bangun, video surveillance, telemetri, roket. RANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70 Nugroho Widi Jatmiko, Dony Kushardono, Ahmad Maryanto Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang menuju kemandirian

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PROGRAM PENYUSUNAN PERATURAN PRESIDEN PRIORITAS TAHUN 2014

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PROGRAM PENYUSUNAN PERATURAN PRESIDEN PRIORITAS TAHUN 2014 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PROGRAM PENYUSUNAN PERATURAN PRESIDEN PRIORITAS TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Penentuan negara-negara yang dijadikan sample tersebut didasarkan atas tiga kategori, yaitu:

LAMPIRAN. Penentuan negara-negara yang dijadikan sample tersebut didasarkan atas tiga kategori, yaitu: 116 LAMPIRAN Lampiran 1 Penentuan Sample Negara Anggota Uni Eropa Penulis membutuhkan sample dalam proses pengerjaan penelitian ini. Sample yang hendak digunakan berdasarkan negara-negara yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS SWOT MENARA SUCI TOUR AND TRAVEL DAN SHAFIRA TOUR AND TRAVEL. Pendapatan Jumlah jamaah Pendapatan Jumlah

BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS SWOT MENARA SUCI TOUR AND TRAVEL DAN SHAFIRA TOUR AND TRAVEL. Pendapatan Jumlah jamaah Pendapatan Jumlah BAB IV PEMBAHASAN ANALISIS SWOT MENARA SUCI TOUR AND TRAVEL DAN SHAFIRA TOUR AND TRAVEL A. Data Temuan Menara suci Tabel 4.1 Data Temuan Travel Shafira Tahun Pendapatan Jumlah jamaah Pendapatan Jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL BISNIS STMIK SUMEDANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE SWOT ANALYSIS

ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL BISNIS STMIK SUMEDANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE SWOT ANALYSIS ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL BISNIS STMIK SUMEDANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE SWOT ANALYSIS Kiki Alibasah Dosen Jurusan Sistem Informasi STMIK Sumedang Email : kikialibasah78@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 SUMBER DATA a. KANADA (Bruce Doern, 2009) Kanada merupakan salah satu negara pengguna energi nuklir sebagai salah satu pasokan listrik di negara ini selain energi fosil. Kanada

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. BMT Berkah dan mampu bersaing dalam dunia bisnis. ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented

BAB V PEMBAHASAN. BMT Berkah dan mampu bersaing dalam dunia bisnis. ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented 91 BAB V PEMBAHASAN A. Strategi Bersaing Bisnis Dengan Menggunakan Analisa SWOT Pada BMT Berkah Trenggalek BMT Berkah Trenggalek pada penilaian peneliti berada pada posisi kuadran I yaitu dengan menerapkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1988 TENTANG LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1988 TENTANG LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 33 TAHUN 1988 TENTANG LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dirgantara serta

Lebih terperinci