KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta)"

Transkripsi

1 PROPOSAL TESIS KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta) I Putu Adi Suryawan PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR 2012

2 PROPOSAL TESIS KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta) I Putu Adi Suryawan Nim : PROGRAM STUDI MAGISTER BRAHMA WIDYA PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR 2012

3 KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta) Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pada Program Magister Ilmu Agama Program Studi Brahma Widya Menyetujui : Pembimbing I, Pembimbing II,

4 KAJIAN ESENSI NGABEN NGELANUS DALAM PARADIGMA PITRA YADNYA BERDASARKAN AJARAN AGAMA HINDU (Studi Ngaben Ngelanus di daerah Khusus Ibu Kota Jakarta) Dipersiapkan dan disusun oleh I Putu Adi Suryawan NIM : Dipertahankan di depan Panitia Ujian Proposal Pada Tanggal : 22 Juli 2012 Susunan Dewan Penguji Ketua Ujian, Sekretaris,

5 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat Praktis... 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN Kajian Pustaka Konsep Pengertian Esensi Pengertian Upacara Pengertian itra Yajña Pengertian Ngaben Ngelanus Agama Hindu Pengertian Filosofis Provinsi DKI Jakarta Landasan Teori i

6 2.3.1 Teori Religi Teori Simbol Teori Fungsional Struktural Model Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Pendekatan dan Jenis Penelitian Penentuan Informan Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Observasi Wawancara Kepustakaan Analisis Data Penyajian Hasil DAFTAR PUSTAKA ii

7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agama Hindu mengajarkan bahwa tubuh manusia terdiri dari 2 (dua) unsur yang disebut stula sarira (badan wadag), dan suksma sarira yaitu yang menyebabkan badan wadag ini hidup dan bisa bergerak. Unsur halus yang membuat badan wadag hidup dan bisa bergerak juga disebut atma/jiwatma. Atma/jiwatman adalah percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi yang memberi kehidupan pada setiap mahluk. Tanpa jiwatman tidak ada kehidupan di dunia ini. Suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri oleh setiap mahluk bahwa kehidupan ini tidaklah kekal adanya. Kehidupan akan diakhiri dengan kematian, sebaliknya kematian akan diikuti oleh kelahiran. Menurut ajaran agama Hindu kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah proses perjalanan panjang jiwatman menuju Paramatman. Umat Hindu yakin bahwa agar perjalanan sang jiwatman menuju paramatma lebih lancar dan tidak menemukan hambatan besar dapat dibantu dengan melaksanakan upacara kematian yang selanjutnya disebut pitra yajña. Pelaksanaan pitra yadnya bagi mereka yang ditinggalkan merupakan salah satu cara untuk melepaskan diri dari ikatan tri rna, dengan harapan agar dapat mencapai kebahagiaan sekarang dan kebahagiaan yang akan datang. Agama Hindu menuntun agar setiap umatnya selalu hormat dan bhakti terhadap orang tua atau leluhurnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah 1

8 tiada. Semasih hidup mereka harus dihormati dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya, sedangkan terhadap mereka yang sudah meninggal wajib diselenggarakan upacara kematian (pengabenan). Penghormatan kepada orang tua merupakan pintu gerbang kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Ketika masih hidup ia akan mendapat pujian dan penghormatan dari orang-orang yang ada di sekelilingnya, sedangkan setelah kematiannya Ida Sang Hyang Widhi akan menganugrahkan kebahagiaan yang tiada terkira untuknya. Umat Hindu meyakini bahwa upacara pengabenan merupakan sebuah solusi yang dapat mempermudah dan mempercepat proses pembebasan suksma sarira (badan halus) dari stula sarira (badan kasar). Sang suksma sarira yang hadir sebagai jiwatman (pemberi hidup) pada setiap mahluk diharapkan dapat bersatu kembali dengan sang Paramatma, sedangkan stula sariranya dapat kembali kepada asalnya yaitu menjadi panca maha bhuta. Oleh karenanya pelaksanaan upacara pengabenan merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang dirasakan wajib hukumnya untuk dilaksanakan oleh oleh setiap umat Hindu. Karenanya upacara pengabenan seringkali dilakukan sangat meriah bahkan paling meriah diantara panca yadnya. Jika dicermati upacara ngaben menjadi salah satu icon kedatangan touris dari manca Negara. Hal ini terjadi karena mereka merasakan betapa besarnya jasa para leluhur terhadap keturunannya. Karma wasana leluhur merupakan landasan berpijak bagi keturunannya. Para leluhurlah yang telah berjasa memberikan pemeliharaan serta perawatan sejak dalam kandungan sampai dewasa, dan menyebabkan mereka 2

9 mampu berdiri sendiri serta mampu menikmati kehidupan yang lebih baik. Belaian kasih orang tua selalu menyelimuti anak-anaknya ketika mereka kedinginan, demikian pula tetesan keringat dan deraian air mata-nya selalu menyirami anak-anaknya ketika mereka kepanasan. Upacara ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya dan dilandasi oleh Pitra Rna (hutang jasa kepada leluhur). Keyakinan ini memotivasi umat Hindu untuk menyelenggarakan upacara kematian yang terkadang tampil sangat meriah. Bagi sebagian umat Hindu upacara ngaben mendapat perhatian yang sangat istimewa sehingga dilakukan dengan sangat khusuk penuh pengabdian bahkan terkadang sangat meriah. Terkadang ada yang memaksakan untuk melaksanakan upacara ngaben yang sangat meriah tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapinya dengan meminjam uang kesana kemari, padahal sesungguhnya hal itu bukanlah suatu keharusan. Hal ini terjadi karena pada hakikatnya tidak semua umat Hindu memahami hakikat pelaksanaan upacara Ngaben. Terkadang upacara ngaben dilakukan dengan sangat meriah karena dilandasi rasa takut, jangan sampai karena upacaranya kurang meriah leluhur mereka tidak memperoleh tempat yang baik atau kurang lancar perjalanannya. Hal itulah yang menyebabkan mereka berusaha melakukan upacara kematian (pengabenan) dengan semeriah mungkin dengan harapan agar arwah leluhur mereka dapat melanjutkan perjalanannya ke alam surga tanpa halangan. Sampai saat ini sebagian umat Hindu masih meyakini bahwa upacara pengabenan merupakan solusi yang paling ampuh untuk menyelesaikan suatu persoalan dalam 3

10 kehidupan, sehingga saat terjadi kematian pada seseorang kerabatnya merupakan saat terakhir bagi mereka untuk menunjukkan rasa hormat dan bakti mereka. Hal ini tampak jelas ketika kita menyaksikan usaha-usaha yang dilakukan oleh sebagian umat Hindu disaat sanak keluarganya ada yang meninggal dunia, mereka pada sibuk dan khusus melakukan upacara pengabenan dengan sedetail mungkin. Jangankan bagi mereka yang mampu seperti Keluarga Puri Ubud di Bali yang terbiasa melakukan upacara kematian dengan sangat meriah. Misalnya pada tahun 1998 ketika ada keluarga Puri yang meninggal dunia, mereka melaksanakan upacara kematian yang sangat meriah. Ada balai-balai (bade) setinggi 28 meter menjulang tinggi sebagai wadah jenazah orang tua mereka yang diupacarai. Dapat dipastikan pembuatan balai-balai itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit apalagi untuk mengusungnya ke kuburan, sehingga jika dihitung secara materiil untuk dapat melakukan upacara yang semegah itu dapat dipastikan membutuhkan biaya yang cukup banyak. Akan tetapi sedikitpun tidak tampak keragu-raguan dari pihak keluarga untuk melakukannya, mereka sangat ikhlas karena mereka meyakini hal itu merupakan salah satu cara terbaik untuk menunjukkan rasa hormat dan bhakti kepada leluhur mereka yang telah berjasa dalam kehidupannya, dan dengan cara itu hutang-hutang mereka terhadap leluhurnya bisa ditebus/dibayar. Kenyataan itu tidak hanya berlaku bagi umat Hindu yang ada di Bali, hampir sebagian umat Hindu melakukan hal yang tidak jauh berbeda hanya saja cara dan bentuk pelaksanaannya yang berbeda. Misalnya umat Hindu di Tana Toraja, mereka menyelenggarakan upacara kematian dengan sangat meriah. 4

11 Disana tampak tongkonan yang dihias dengan belasan tanduk kerbau yang merupakan simbul keagungan bhakti mereka kepada leluhurnya. Sehubungan dengan hal tersebut pelaksanaan upacara kematian yang merupakan perwujudan rasa hormat dan bakti kepada leluhurnya, terkadang menjadi beban bagi mereka yang kurang mampu. Di satu sisi mereka merasa wajib untuk melaksanakan upacara yang sepantasnya, di satu sisi lagi mereka terbentur oleh masalah ekonomi. Di era modern terkait dengan tuntutan ekonomi, pelaksanaan upacara yang besar, sering menimbulkan pertanyaan, mengapa upacara untuk orang yang meninggal harus dilakukan dengan sangat meriah?, apakah dengan biaya sebesar itu sudah pasti atma leluhur mereka akan masuk svarga? Apakah dengan upacara yang sederhana leluhurnya tidak memperoleh svarga, atau adakah upacara ngaben yang sederhana sifatnya tanpa mengurangi fungsi dan maknanya. Akhir-akhir ini umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta mulai tertarik dengan pelaksanaan upacara Ngaben Ngelanus. Upacara ngaben ngelanus dilaksanakan dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama sehingga tidak perlu menyimpan dan merawat jenazah dalam waktu yang lama, hal ini sesuai dengan aturan Pemda DKI Jakarta. Upacara ngaben ngelanus dilaksanakan secara bergotong royong, dimana pembuatan sesajen dibagi sesuai dengan kapasitas anggota tempek. Upacara ngaben ngelanus diyakini sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah. Karena proses pelaksanaannya yang tidak begitu lama maka biaya yang dibutuhkan juga tidak terlalu banyak. Akan tetapi ada juga yang meragukan kesempurnaan upacara ngaben ngelanus tersebut, misalnya bagaimana dengan 5

12 ala ayuning dewasa, apakah pelaksanaan upacara ngaben dalam waktu yang singkat itu lebih baik, sehingga masih perlu diulas lebih lanjut yakni bagaimana eksistensinya dalam paradigma ajaran agama Hindu. Dalam usaha menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dengan rumusan masalah yang akan dibahas : (1) Apakah arti Upacara Ngaben Ngelanus itu, 2) Apa pelaksanaan upacara ngaben ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan upacara pitra yadnya, (3) Bagaimana tatacara pelaksanaan Ngaben Ngelanus di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta?. Untuk membedah permasalahan ini, dipergunakan beberapa teori yaitu: teori religi digunakan untuk memahami apakah arti dan bagaimana ngaben ngelanus tersebut, teori semiotic digunakan untuk apakah ngaben ngelanus tersebut mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan pitra yadnya, teori fungsional struktural digunakan untuk memahami arti dan tatacara pelaksanaan upacara ngaben ngelanus Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang di depan, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang dijadikan obyek penelitian yaitu : 1. Apakah Arti Ngaben dan bagaimana Ngaben Ngelanus itu? 2. Apakah Ngaben Ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan Pitra Yajña. 3. Bagaimana tata cara pelaksanaan Ngaben Ngelanus di DKI Jakarta? 6

13 1.3 Tujuan Penelitian Dalam mengadakan penelitian ilmiah, tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai akan sangat menentukan langkah-langkah yang akan dilalui sehingga penelitian yang dilaksanakan menjadi tepat sasaran. Semakin jelas rumusan tujuan penelitian, maka semakin mudah untuk mencapai tujuan penelitian tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, maka tujuan penelitian dibedakan menjadi dua yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggali, menginterpretasikan, melestarikan, mengembangkan budaya agama yang hidup dikalangan umat Hindu akan tetapi tidak hanya sebatas pelaksanaan saja akan tetapi harus dibarengi dengan pemahaman akan fungsi dan makna serta nilai filosofinya sehingga pelaksanaannya selalu disesuaikan dengan kemampuan umat Hindu dan tidak memaksakan apalagi sampai ngutang atau menjual tanah warisan yang hanya sejengkal. Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat dapat lebih memahami esensi ajaran agama Hindu sehingga kualitas keberagamaan menjadi lebih baik Tujuan Khusus Secara khusus dan praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam yaitu: 1. Untuk mengetahui Arti Ngaben dan bagaimana Ngaben Ngelanus itu? 7

14 2. Untuk Mengetahui Apakah Ngaben Ngelanus mengurangi esensi kesempurnaan pelaksanaan Pitra Yajña. 3. Untuk Mengetahui Bagaimana tata cara pelaksanaan Ngaben Ngelanus di DKI Jakarta 1.4 Manfaat Penelitian Dalam mengadakan penelitian ilmiah diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat positif dan membangun masyarakat (subyek penelitian), demikian juga masyarakat akademis. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam mengadakan penelitian ini manfaatnya dibedakan menjadi dua yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis Manfaat Teoritis Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberikan wawasan akademis bagi seluruh karyasiswa khususnya dan kalangan akademis umumnya tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat khususnya bagi penulis demikian juga bagi peneliti selanjutnya yang mungkin ingin meneliti lebih mendalam tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan penelitian ini diharapkan dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Filosofi mengingat pelaksanaan upacara pengabenan Umat Hindu sangatlah beragam unik dan sarat dengan nilai-nilai filosofis. 8

15 1.4.2 Manfaat Praktis Bagi peneliti, hasil penelitian ini pasti akan menambah wawasan pengetahuan tentang Filosofi Upacara Ngaben Ngelanus. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap filosofis apa saja yang terdapat dalam pelaksanaan upacara ngaben ngelanus, sehingga dapat dijadikan sumber informasi tentang pelaksanaan ajaran agama yang tepat dalam kehidupan seharihari, sehingga dapat berguna dalam mengadakan pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat: 1) Dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam melaksanakan upacara ngaben ngelanus. 2) Dijadikan acuan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam mengadakan pembinaan dan mengambil kebijakan. 3) Dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan oleh tokoh masyarakat dan pemerintah. 9

16 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Layaknya karya tulis harusnya merupakan hasil analisis dari sebuah penelitian dan bukan sekedar tulisan yang bersifat fiktif. Karya tulis harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dan dalam penyusunannya dilakukan secara kritis, logis, dan sistematis melalui langkah-langkah tertentu. Untuk lebih mempertegas hasil dari sebuah penelitian tersebut, maka sangat diperlukan sumber dari pustaka baik berupa kutipan dari para sarjana atau para rohaniawan, guna mendukung isi tulisan sehingga keabsahannya dapat dipertanggung jawabkan. Adapun pustaka-pustaka relevan yang mendukung penelitian ini sebagai kajian pustaka sebagai berikut ini. Relin (2005), dalam tesisnya Teologi Hindu Dalam Ritual Kematian Masyarakat Jawa, mengungkapkan ritual kematian adalah merupakan tradisi leluhur orang Jawa yang dilaksanakan ketika ada keluarga meninggal dunia. Ritual ini digunakan sebagai sarana persembahan kepada Tuhan untuk mendoakan almarhum agar rohnya bisa mencapai svarga bahkan mokhsa. Pelaksanaannya; mulai dari orang meninggal yang disebut ritual Geblak, Upacara Tiga Hari (telung dinane), Upacara Tujuh Hari (Pitung dina), Upacara Empat Puluh Hari ( ritual petang puluh dina), Upacara Seratus Hari (satus dina), Upacara Pendak Pisan (satu tahun setelah meninggal, Upacara Pendak Pindo (dua tahun setelah meninggal), Upacara Seribu Hari (tiga tahun setelah 10

17 meninggal). Fungsi Ritual ini adalah untuk membantu proses kesempurnaan roh orang yang meninggal dan dapat lebur secara cepat bersatu dengan Tuhan (terciptanya Manunggal Kawula lawan Gusti). Mencermati uraian di atas, makna pelaksanaan upacaranya tidak jauh berbeda yaitu untuk mencapai kebebasan yang sejati, akan tetapi prosesi pelaksanaan upacaranya sangatlah berbeda. Perbedaan prosesi upacaranya sangat jelas, hal mana ditunjukkan yaitu ritual kematian umat Hindu di Jawa dilaksanakan dengan jalan mengubur jenazah, yang selanjutnya dibuatkan upacara dan didoakan mulai dari ketika dia baru meninggal, sesudah tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dua tahun sesudah meninggal, tiga tahun sesudah meninggal. Menurut ketetapan susastra suci Hindu penguburan jenazah sebaiknya dihindari kecuali alasan tertentu. Fungsi pelaksanaan upacaranya adalah samasama sebagai penyucian arwah orang sudah meninggal agar dapat bersatu dengan Sang Pencipta (bersatunya Kawula Gusti). Menurut ketentuan pustaka suci Hindu pelaksanaan upacara pengabenan selain sebagai sarana untuk membebaskan diri dari hutang kepada para leluhur yang sudah banyak berjasa dalam kehidupan, juga berfungsi sebagai penyucikan arwah leluhur sehingga dapat bersatu dengan Sang Pencipta dan tidak dikutuk menjadi Bhuta Cuil yang bisa mengotori alam semesta ini, sehingga Tuhan berkenan turun ke bumi. Berkenaan dengan itu hal tersebut maka penelitian ini pantas untuk dilanjutkan. Ningrat (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Banten Panjang Ilang Dalam Upacara Ngaben di Mataram, Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna 11

18 mengetengahkan fokus penelitianya di Kota Mataram, secara diakronis mengikuti tatanan konseptual tiga kerangka dasar keagamaan yang terdiri dari tatwa, susila, dan upacara. Secara umum, dalam realisasi kehidupan sosial beragama aspek upacara merupakan bentuk ekspresif yang secara simultan merupakan wujud penampakan yang paling menonjol, namun secara sistematik satu aspek dengan aspek lainnya saling memberikan fungsi yang saling terkait. Salah satu elemen dari aspek upacara agama Hindu yang belakangan ini mendapatkan perhatian dari masyarakat Hindu di kota Mataram, menurut Ningrat adalah aktivitas keagamaan serta fenomena yang bertalian dengan wacana simplifikasi dalam tatanan upakara masyarakat Hindu. Munculnya wacana tersebut akibat pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan makna upacara belum mendalam, serta sarana sarana upacara yang dipakai dirasakan semakin terbatas di kalangan masyarakat Hindu di kota Mataram. Dalam penelitian tersebut diketengahkan tiga permasalahan pokok yang dijawab dalam penelitian, yakni; (1) Bagaimana bentuk Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben, (2) Apa fungsi simbolik Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben, dan (3) Apa makna simbolik Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram. Mengenai bentuk Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram, dalam hasil penelitian tersebut diketengahkan eksistensi, sarana, dan bentuk Banten Panjang Ilang dari proses pembuatan/pengolahan, tahap penyusunan isinya, tahap penyelesaian dengan pengisian beberapa variasi, sampai pada mantram Banten Panjang Ilang di kota Mataram. 12

19 Fungsi Banten Panjang Ilang dalam upacara ngaben di kota Mataram, membahas tentang fungsi religius, fungsi sosial, dan fungsi estetika. Sedangkan makna Banten Panjang Ilang mengupas tentang makan bentuk, makna simbolik Banten Panjang Ilang sebagai oleh-oleh kepada sang atma, sebagai persembahan, sebagai pembinaan moral dan budaya, sampai pada mengupas makna mantram Banten Panjang Ilang di kota Mataram. Berdasarkan uraian di atas, hal mana menunjukkan bahwa uraian di atas hanya pada penggunaan sarana upacara yang disebut Banten Panjang Ilang yang memiliki makna simbolis sebagai oleh-oleh sang atma, demikian juga sebagai persembahan, akan tetapi tidak membahas prosesi pelaksanaan upacara pengabenan, maka penelitian ini layak untuk diteliti. Werdinaya (2007) dalam Upacara Mebeya Tanem Pada Dua Tradisi Kuno Desa Pakraman Puakan dan Pakusebe di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, mengungkapkan Upacara Mebeya Tanem adalah suatu usaha yang dilaksanakan oleh sentana atau ahli warisnya dengan perasaan yang tulus ikhlas tanpa pamrih, sebagai perwujudan rasa bhakti kepada leluhur dengan tujuan untuk membersihkan atman (roh) leluhur agar dapat meningkat dari alam preta ke alam pitra. Mabeya Tanem pada hakikatnya sama dengan upacara Ngaben tetapi menurut tata cara yang dilaksanakan di desa Pakraman Puakan dan Pakusebe memiliki perbedaan-perbedaan yang khas terutama dalam istilah, tata cara, serta prosesi pelaksanaannya, mengingat prosesinya tidak melalui pembakaran jenazah. 13

20 Berkenaan dengan hal tersebut penelitian ini hendaknya dilanjutkan karena pelaksanaan Upacara Mabeya Tanem sangat berbeda dengan norma-norma yang terkandung pada pelaksanaan upacara ngaben ngelanus, seperti telah dijelaskan di atas prosesi penguburan jenazah bagi orang yang meninggal secara wajar hendaknya sebisa mungkin dihindarkan, jika keluarga yang ditinggalkan tidak memiliki biaya yang cukup disediakan bentuk upacara yang sangat sederhana yang disebut Swasta Gheni, sebab mengubur jenazah bisa mengotori arwah yang orang yang meninggal, dan jika tidak diaben selama tiga tahun akan dikutuk menjadi Bhuta Cuil. Suastini (2008) dalam tesisnya berjudul Upacara Ngaben Matempung di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, dikemukakan bahwa upacara ngaben merupakan kewajiban bagi anak dan cucu untuk menghormati orang tua baik semasih hidup maupun sesudah meninggal, yang mana menurut lontar Panca Yadnya perbuatan tersebut dapat menghilangkan penderitaan dan kesengsaraan dari orang tuanya. Menurut ajaran Tri Rna, Upacara Pitra Yadnya merupakan bagian dari Pitra Rna, yang menjelaskan bahwa seorang anak memiliki hutang jasa kepada leluhurnya yang wajib dibayar dengan melakukan penghormatan ketika masih hidup dan melaksanakan upacara Pengabenan sampai Memukur dan Ngelinggihang Dewa Hyang ketika mereka sudah meninggal. Prosesi Upacara Ngaben Matempung hampir sama dengan pelaksanaan upacara pengabenan yang dilaksanakan secara mandiri atau perorangan, yaitu sama-sama mreteka (mengupacarai) sawa (jenazah) keluarga yang meninggal 14

21 agar lebih cepat dapat bersatu dengan sang pencipta, akan tetapi karena prosesi pelaksanaan Upacara Ngaben Matempung dilaksanakan secara kolosal atau bersama dengan banyak orang, maka dari segi penghabisan biaya akan menjadi lebih hemat. Mencermati pemaparan di atas, pelaksanaan Upaca Ngaben Matempung menitikberatkan pada penghematan akan biaya yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara pengabenan tersebut. Sedangkan menurut Teks Yama Purwana Tattwa, pelaksanaan upacara pengabenan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan yang melaksanakan upacara. Jika keluarga yang ditinggalkan tidak mampu dari segi ekonomi, maka upacara pengabenan dapat dilaksanakan sesederhana mungkin sehingga tidak memberatkan keluarga yang ditinggalkan. Akan tetapi jika keluarga yang ditinggalkan berkecukupan baik dari segi ekonomi demikian juga yang lainnya, maka penyelenggaraan upacara pengabenan yang mewahpun tidak dilarang. Selain itu upacara Ngaben Matempung hanya memungkinkan dilaksanakan jika ada kesepakatan banyak keluarga memiliki sawa yang belum di aben untuk melaksanakan upacara pengabenan. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini tepat untuk dilanjutkan. Adiputra (2003) dalam tesisnya berjudul Ngaben Beya Tanem di Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, dinyatakan bahwa upacara Ngaben Beya Tanem sudah dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Desa Adat Tengkudak sejak jaman dahulu sampai sekarang. Upacara pengabenan ini merupakan sesuatu yang unik, karena mayat tidak boleh dibakar, tetapi harus dikubur. Keunikan lain dalam pelaksanaan upacara ini yaitu diiringi dengan Tari 15

22 Baris Memedi khususnya dalam upacara Ngaben Beya Tanem yang tergolong utama. Penyelenggaraan Ngaben Beya Tanem di Desa Tengkudak meliputi tiga jenis, yaitu: Swasta Sundari, Swasta Geni, dan Sawa Preteka. Tingkat upacaranya juga dapat dibagi menjadi tiga yaitu: utama, madya dan nista. Pelaksanaan upacara Ngaben Beya Tanem diselenggarakan atas dasar tiga pertimbangan yaitu: secara geografis Desa Adat Tengkudak terletak di kaki Gunung Batukaru yang merupakan kawasan suci. Pembakaran mayat dikhawatirkan akan mencemari kawasan suci tersebut yang merupakan stana dari Betara Tumuwuh (Bhatara Penataran Sakti Bali) sebagai Purusa. Disamping itu, dikawatirkan pula dapat mencemari danau Beratan sebagai linggih Dewi Danuh sebagai Predana. Secara epistemologis Hindu, manusia berasal dari unsur Panca Mahabhuta. Secara sosial, upacara itu sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, yang mengatur dan menjaga keseimbangan tiga penyebab kehidupan, yaitu: parahyangan, palemahan, dan pawongan. Semua sarana upacara untuk pelaksanan Ngaben Beya Tanem tersedia dan dapat diperoleh dari lingkungan desa tanpa perlu mendatangkan dari luar desa. Sebelum pelaksanan penguburan yang disebut dengan pekutangan ditarikan sebuah tarian sakral yang disebut dengan Baris Memedi. Tarian ini ditarikan mulai dari kuburan sampai di depan rumah orang yang diaben, dan berakhir kembali di kuburan, yang umumnya diawali dengan pedeeng. Pengkajian terhadap sarana upacara menyimpulkan bahwa ada kesamaan dengan sarana upacara pengabenan yang dilakukan oleh masyarakat di desa tetangga, yang berbeda hanyalah mayat tidak dikremasi tetapi dikubur dan tidak ada upacara 16

23 pembuangan abu jenasah yang disebut nganyud. Upacara dipimpin oleh Balian Desa yang dipilih dalam Paruman Desa. Balian Desa ini diberi tanggung jawab melakukan upacara Pitra dan Manusa Yadnya. Upacara Ngaben Beya Tanem dilakukan dengan jalan ngelanus, artinya setelah pelaksanaan upacara penguburan dilanjutkan dengan upacara ngerorasin. Upacara ngerorasin dimaksudkan untuk menstanakan Dewa Hyang. Sesudah tiga hari pelaksanaan upacara, dilanjutkan dengan upacara nebus pitra, yang dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada Balian Desa yang telah membantu penyelenggaraan upacara. Dengan telah dilaksanakannya upacara ngerorasin, maka berakhirlah upacara Ngaben Beya Tanem. Berdasarkan penelitian dan tulisan di atas, nampaknya upacara Ngaben Beya Tanem berbeda dengan prosesi upacara ngelanus. Adapun yang membedakannya adalah: 1) dalam pelaksanaan upacara Ngaben Beya Tanem jenazah dikubur atau tidak dibakar, sedangkan menurut ketetapan sedangkan pada upacara ngaben ngelanus yang dilakukan di Provinsi DKI Jakarta melalui proses dibakar. 2) Pelaksanaan upacara Mabeya Tanem di Desa Tengkudak diiringi tarian Baris Memedi, sedangkan pada pelaksanaan Upacara Ngaben Ngelanus tidak diwajibkan adanya pementasan tari. Hanya saja pada pelaksanaan upacara Mabeya Tanem di Desa Tengkudak juga upacara ngaben ngelanus di DKI Jakarta sama-sama memiliki kelebihan demikian juga kekurangannya, dan sama-sama diyakini benar oleh masyarakat setempat. Untuk dapat memahami mengapa pelaksanaan upacara itu sama-sama diyakini dan dianggap benar sehingga masih dilaknakana maka jawabannya akan lebih sempurna jika penelitian ini dilanjutkan 17

24 karena dapat dipahami dasar dan alasan mereka melaksanakan upacara dimaksud apakah mematuhi tradisi atau berdasarkan referensi kitab suci yang dijadikan sebagai rujukan. Sebab jika hanya berdasarkan pada tradisi tentu masih perlu digali dan dicari dasar hukum yang dijadikan acuan pelaksanaan upacara, sebab upacara pengabenan merupakan kewajiban dan merupakan keharusan untuk dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu. Masalahnya jika warga desa Tengkudak berpindah domisili ke tempat lain tentunya pelaksanaan upacara Pengabenan Beya Tanem yang dilaksanakan di Desa Tengkudak tidak bisa diterapkan di daerah lain. Berdasarkan pada uraian-uraian tersebut di atas, upacara ngaben ngelanus bagi Umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta belum ada yang meneliti, untuk itu kiranya sangat penting untuk diteliti lebih lanjut dan diangkat sebagai pokok pikiran dalam tulisan ilmiah. 2.2 Konsep Konsep adalah abstaksi mengenai satu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu. Konsep-konsep sebagai pendukung analisis dalam penelitian ini akan dijelaskan, sehingga dapat memberi bingkai sesuai dengan permasalahan yang akan dijadikan obyek penelitian. Adapun konsep yang akan dijelaskan terkait dengan penelitian ini meliputi: konsep filosofis, konsep upacara, konsep ngelanus, konsep masyarakat Hindu, konsep DKI Jakarta. 18

25 2.2.1 Pengertian Esensi Pengertian Esensi menurut kamus umum bahasa indonesia adalah hakekat, inti; hal pokok. (Poerwadarminta, 1991 : 278). Esensi adalah substansi yang paling mendasar dari suatu isu. Maka tanpa menyelesaikannya apalagi tidak menyentuhnya, tidak akan ada penyelesaian apalagi kemajuan. Tanpa mengetahui esensi dari sesuatu yang akan di bahas maka kita sulit untuk membedakan mana yang merupakan kulit dan mana isi dari suatu persoalan. Maka dalam penelitian ini ditekankan pada esensi, agar dapat menggali secara dalam apa sebenarnya yang menjadi esensi / hakekat, inti; hal pokok dari ngaben ngelanus. Apakah esensi dari ngaben ngelanus sama dengan ngaben yang biasanya. Bagimana praktik ngaben ngelanus apakah tetap sempurna dalam pelaksanaanya tanpa mengurangi makna dan nilai dari Ngaben yang biasa Pengertian Upacara Konsep upacara dalam hubungannya dengan pelaksanaan yajña menurut Agama Hindu, bahwa pengertian upacara adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti mendekati dan berarti juga penghormatan (Wiana, 1998 : 42). Sedangkan menurut (Mas Putra, 2001 : 6) upacara berasal dari kata "upa" yang berati berhubungan dan "cara" yang berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Gerakan dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai pelaksanaan sesuatu Jadi upacara yang dimaksud dalam Agama Hindu adalah pelaksanaan dan suatu yajña atau korban suci. Lebih lanjut (Sura 1999 : 38) menyatakan bahwa upacara agama adalah rangkaian 19

26 upacara yang urut dan sistimatis formalistik. Upacara juga berati gerakan sekeliling kehidupan manusia, aktivitas-aktivitas manusia dalam upaya dan usaha menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan segenap Asta Dewatanya (Supartha, 1997 : 34). Dalam kamus Sansekerta Indonesia dijelaskan bahwa upacara memiliki arti "mendekati" (Tim Penyusun, 2000 : 112). Secara maknawi inti upacara agama merupakan aktivitas manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada sesama dalam bentuk saling mengabdi sesuai dengan swadharma masing-masing, dekat kepada alam lingkungan dalam wujud menjaga lingkungan alam dan yang paling penting adalah membangun rasa lebih dekat kepada Ida Sang Hyang Widhi sesuai dengan konsep Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana. Upacara Yadnya merupakan salah satu korban/persembahan suci yang dilakukan oleh umat Hindu untuk menghubungkan atau mendekatkan dirinya dengan Ida Sang Hyang Widi. Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat 1985; 23) mengungkapkan tentang upacara bersaji sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa, dalam hal ini dewa atau para dewa dipandang sebagai suatu komunitas, walaupun sebagai warga istimewa. Selanjutnya ia menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara yang dilaksanakan dengan gembira, bahkan terkadang sangat meriah dan juga keramat. Ritus dan upacara menjadi kegiatan manusia sejak jaman prasejarah hingga kini, bahkan menjadi isu sentra kegiatan manusia dalam mengatasi dirinya dari ketidak berdayaan hidup dan hal-hal yang gaib. Ritus dan upacara kematian 20

27 menjadi salah satu religi yang penting dalam hidup ini untuk meningkatkan kehidupan leluhur dan keluarga yang hidup. Dalam buku yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904 dalam Koentjaraningrat, 1985: 25) Preusz mengungkapkan bahwa, pusat dari setiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu, manusia meyakini dapat memenuhi kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun spiritual. Menurut Mircea Eliade (dalam Mariasusai Dhavamony, 1995 : 167) yang menyatakan bahwa tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara (ritual) atau dapat dikatakan ritual merupakan agama dalam tindakan. Tindakan agama ini merupakan tindakan simbolis sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius. Simbol itu sendiri menjadi pokok ketegangan dan dilema yang terwujud dalam agama. Di samping itu simbol-simbol digunakan untuk memberikan kemungkinan suatu perpanjangan dari penampakan yang Illahi. Selain itu Mircea Eliade (dalam Mariasusai Dhavamony, 1995 : 183) menyatakan pula, bahwa upacara (ritual) mengakibatkan perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikannya kepada situasi keberadaan yang baru, misalnya; penempatan pada lingkup yang kudus. 21

28 2.2.3 Pengertian Pitra Yadnya Kata pitra yajña berasal dari dua kata yaitu pitra dan yajña. Pitra/ pitara artinya bapak, ibu atau leluhur yang telah meninggal, sedang yajña dari kata yaj yang artinya persembahan. Menurut Wijayananda, kata yajña sesungguhnya berasal dari kata Sanskerta yang diartikan pemujaan, persembahan, korban suci, upacara korban dan lain sebagainya. Sedangkan dalam Bhagawadgita menurut Wijayananda, Yajna diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran sebagai persembahan (Wijayananda, 2004:14). Sedangkan menurut Tim Penulis buku Catur Yajña Pemda Tingkat I Bali (1989/1990) kalimat Pitra Yajña terdiri dari kata Pitra (pitara) dan yajña. Pitra (pitara) berarti bapak/ibu leluhur yang terhormat sinuhun dan yajña berarti penyaluran tenaga atas dasar suci, untuk keselamatan bersama atau pengorbanan. Jadi yang dimaksud pitra yajña ialah suatu penyaluran tenaga (sikap, tingkah laku dan perbuatan) atas dasar suci (ikhlas) (persembahan) yang ditujukan kepada leluhur untuk keselamatan bersama (Tim, 1989/1 990:75). Ajaran suci Veda disamping mengamanatkan untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, para dewata, juga diamanatkan untuk memuja leluhur, karena pada nakikatnya para leluhur adalah perwujudan atau pengejawantahan dewata (Pitr dewo bhawa, mair dewo bhawa, ayah adalah perwujudan dewata, ibu adalah perwujudan dewata). Roh suci leluhur yang telah mencapai moksa, bersatu dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua jenis leluhur, yakni yang karena karmanya yang baik memperoleh sorga atau moksa, sedang yang karmanya yang buruk memperoleh neraka (naraka). Selanjutnya kepada mereka 22

29 yang mendapat tempat yang baik ( sorga dan moksa ) dimohon karuniannya, sedang yang berada dalam lembah neraka, keturunannya patut mendoakan dan berbuat baik untuk membebaskan mereka dari lembah kesengsaraan dengan doa, mantra dan persembahan ( Yajña ) (Titib, 1998 : 225) Persembahan kepada leluhur atau roh suci dalam kitab Manawa Dharmasastra disebut pitra yajna (prasita) gryarca pracitam petr tarpanam, Prasita adalah persembahan tarpana kepada lelluhur (Pudja dan Sudharta, Mdhs, III : 74). Perintah pelaksanaan pitra yajña kepada umat manusia yang mempunyai leluhur demi membahagiakan dan mendoakan agar menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra III.82 : Kurya daharahah craddham Annadyeno dakena wa, Payo mula phalairwapi Pitrbhyah pritimawaham Terjemahannya : Upacara pitra yajna yang harus kamu lakukan, Hendaknya setiap harinya melakukan sraddha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air atau susu dengan ubi-ubian dan buah-buahan dan dengan demikian menyenangkan para leluhur. (Pudja dan Sudharta, 2002 : 154) Pernyataan sloka tersebut di atas memberikan inspirasi kepada umat untuk tetap menghaturkan persembahan kepada leluhur. Persembahan tidak diukur dari besar dan kecilnya harga, tetapi nilai persembahan itu diukur dari ketulusan dan cinta kasih sraddhā atau yajña yang dipersembahkan. Dengan mempersembahkan sebagian makanan yang dimiliki yang dilandasi hati yang suci akan memberikan kedamaian dan kebahagiaan para leluhur. Tidak mengurangi makna/nilai persembahan kepada para leluhur, selain menghaturkan persembahan agar para leluhur bahagia dan damai atau mencapai 23

30 moksa bagi yang belum, juga persembahan itu dilakukan untuk memohon maaf atas kesalahan dan mohon bimbingan kepada para leluhur agar anak keturunannya sejahtera dan bahagia. Pernyataan tersebut diperkuat oleh mantram Rgveda X. 15:4 Barhasadah pitara ūti arvāg Imā vo havyā cakrma juṣadhvam Ta ā gata avasā ṣamtamena Atha naḥ sāṁ yor arapo dadhāta Terjemahannya: Wahai para leluhur yang duduk: bertebaran, datanglah kemari dengan (membawa) pertolongan, upacara persembahan ini kami persembahkan untuk anda semoga anda bahagia. Datanglah dengan pertolongan bermanfaat, karuniailah kami kesehatan, rahmat dan bebaskan dari keperihan. (Titib, 1989:227) Pada intinya upacara pitra yajna dilakukan untuk memuja Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita yang masih hidup dan para leluhur (pitara) bebas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan dan kedamaian yang abadi. Karena hidup yang bahagia dan damai lahir dan bathin merupakan cita-cita dan tujuan manusia hidup. Apalagi mencapai kemanunggalan dengan Brahman. Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Karena apabila sudah bahagia manusia tidak memerlukan apa-apa lagi, kebahagiaan bernilai bukan dari suatu nilai lebih tinggi lainnya, melainkan demi dirinya sendiri Pengertian Ngaben Ngelanus Menurut Wiana (1998 : 32) Upacara Pitra Yadnya (ngaben) merupakan suatu keharusan bagi umat Hindu untuk dilaksanakan kepada orang yang telah meninggal, karena manusia selama hidupnya atmanya dibelenggu oleh dua 24

31 lapisan sarira yang disebut : stula sarira dan suksma sarira. Maka ngaben yang artinya menujua api. Api dalam lambang agama Hindu yaitu melambangkan Brahma. Dapat diuraikan kata ngaben artinya perjalanan menuju ke alamnya Brahma. Kalau disimpulkan bahwa fungsi ngaben adalah melepaskan atma dari ikatan Stula sarira (Panca Maha Bhuta). Menurut Putra (1993) dalam Upacara Pitra Yadnya Recadana pada warga bhakti yoga Desa Bestala bahwa yang disebut upacara pitra yajña (ngaben) adalah serangkaian upacara penyucian dan Mrelina serta penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia (mrtyu) menurut agama Hindu. Selanjutnya yang dimaksud dengan Mrelina yaitu merubah suatu wujud sedemikian rupa sehingga unsur-unsur yang ada kembali kepada asal semula (Panca Maha Bhuta). Sarana yang digunakan untuk penyucian atau pembersihan pada jenazah adalah air dan tirtha (air suci). Selanjutnya dalam pembakaran dan mrelina digunakan Api Pemrelina. Selanjutnya Ngelanus (bahasa Bali), berasal dari kata lanus yang berarti lancar/cepat. Ngelanus dalam bahasa Bali seketika. Dalam kaitannya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan, Upacara Ngaben Ngelanus yang dimaksudkan adalah pelaksanaan Upacara Ngaben sampai Nyekah yang dilaksanakan dalam waktu satu hari. Pelaksanaan Upacara Ngaben seperti ini saat ini menjadi pilihan bagi umat Hindu di Provinsi DKI Jakarta. Fenomena tersebut merupakan salah satu alasan mengapa penelitian ini dilakukan. 25

32 2.2.5 Agama Hindu Agama Hindu adalah agama yang paling tua di dunia. Diinspirasikan oleh wahyu ("oleh nafas Tuhan"), para rsi jaman dahulu menyanyikan lagu yang suci di hutan dan juga di tepian sungai India, jauh ribuan tahun sebelum Moses, Buddha atau Kristus. Lebih dari ribuan tahun lagu ini tetap dinyanyikan oleh para rsi, yang menggabungkan kebijaksanaan yang melahirkan agama Hindu yang dikenal dengan nama Hinduisme saat ini. Nama asli dari Agama Hindu adalah Sanatana Dharma (Kebenaran universal atau abadi). ( Pandit, 2006 : 3 ) Walaupun asal usul dari Hindu bagaimana pun juga kontroversial, para cendekiawan setuju bahwa agama Hindu ada sejak awal 500 S.M, orang Persia memanggil orang India yang tinggal di tepian sungai Indus (dikenal dengan nama Sindhu dalam bahasa Sanskrta) sebagai Sindhus. Dalam Bahasa Persia, kata Sindhu menjadi Hindu dan orang yang tinggal di India dikenal dengan nama Hindu. Tidak seperti agama lain di dunia, agama Hindu tidak berasal dari seorang pendiri atau sebuah kitab, atau dimulai pada titik waktu tertentu. Sangat tidak mungkin untuk menentukan waktu dan tempat asalnya. Dalam buku-buku biasanya dikatakan bahwa Agama Hindu kira-kira terbentuk 1500 S.M, yang didasarkan pada Teori Invasi Arya (lihat bab 39) yang sekarang tidak dipergunakan lagi. Menurut teori ini bangsa Arya pada jaman Weda datang dari India tengah, yang menyerbu India sekitar tahun 1500 S.M, menghancurkan peradaban yang lebih maju yaitu Peradaban Harappan, dan menyebarkan budaya Weda di India. Berdasarkan bukti arkeologi dan kesusastraan, cendekiawan 26

33 moderen telah menyebutkan bahwa tidak ada invasi Ārya dan orang-orang jaman Rg Weda yang menyebut diri mereka Aryan (kata Ārya dalam bahasa Sanskrta berarti kebijaksanaan), merupakan penduduk asli India dan merupakan salah satu etnik grup sejak 6500 S.M atau bahkan lebih awal lagi. Agama Hindu berkembang dari jaman pra-sejarah di India dalam bentuk pantheon agama Monothéisme (contohnya memuja satu Tuhan dalam berbagai cara dan bentuk). Sementara itu sejumlah kelas sosial muncul dalam masyarakat Hindu dalam bentuk upacara agama yang besar-besaran, pengorbanan binatang, pelaksanaan sistem kasta yang terlalu kaku dan pernyataan kesuperioran para Brahmana dari kasta yang lainnya. Agama Hindu di India, perkembangannya dapat diketahui dari kitab-kitab suci Hindu yang terhimpun dalam Veda Sruti, Veda Smrti, Itihasa, Upanisad dan sebagainya. Pertumbuhan filsafat keagamaan (Darsana) dan perkembangan pelaksanaan keagamaannya tak dapat melepaskan diri dari sumber-sumber tersebut, sehingga perkembangan agama senantiasa bersifat religius, dalam arti dan bernafaskan keagamaan. Agama Hindu merupakan sumber kekuatan batin yang menjiwainya. Perkembangan Agama Hindu di India, berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang yaitu berabad-abad hingga sekarang. Sejarah yang amat panjang itu menurut pendapat Govinda Das Hinduism Madras, 1924, halaman 25, zaman dikatakan dapat dibagi 3 bagian yang besar, sekalipun batas-batas 27

34 pembagiannya tak dapat dipastikan dengan jelas. Ketiga bagian itu adalah: ( Ngurah, dkk, 2005 : 15) 1. Zaman Veda Kuna. Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Ārya kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu, yang juga dikenal dengan nama Punyab (daerah lima aliran sungai). Zaman Veda kuna merupakan zaman penulisan wahtu suci Veda yang pertama yaitu Ŗg Veda. Kehiduopan beragama pada zaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Veda Saṁhitā, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Veda secara oral, yaitu dengan menyayikan dan mendengarkan secara berkelompok. 2. Zaman Brahmana. Pada zaman Brahmana, kekuasan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahanpersembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Zaman brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya Tata Cara Upacara beragama yang teratur. Kitab Brahmana adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan Upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam kitab suci Veda. ( Netra, 1994 : 2 ) 3. Zaman Upanisad. Pada zaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas kepada upacara dan saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bhatin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Zaman Upanisad ini 28

35 adalah zaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar Veda. Pada zaman ini uncullah ajaran filsafat yang tinggitinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Ithihasa dan Purana. Sejak zaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum. ( Netra, 1994 : 2 ) Pengertian Filosofis Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata philos dan sophos, menjadi philosophia. Philos berarti cinta atau teman dan shopos berarti bijaksana. Jadi philosophia atau fisafat berarti cinta kepada kebijaksanaan atau pengetahuan. Pengetahuan atau kebijaksanaan memberi kebenaran, bagi orang yang mencintai pengetahuan, karena itu yang mencarinya adalah orang-orang yang mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari setiap filsuf dari dahulu hingga sekarang. Di dalam mencari kebenaran itu, filsuf mempergunakan cara dengan berfikir sedalamdalamnya. Hasil filsafat disebut falsafah. Filsafat sebagai hasil berfikir sedalamdalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidaktidaknya mendekati sempurna. Filsafat terbentuk karena berfilsafat. Dapat disimpulkan bahwa berfilsafat adalah mencari kebenaran, dan filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berfikir secara sistematis dan universal. (Burhanuddin Salam, 1996;24-25). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ialah suatu ilmu atau usaha untuk mencari kebenaran yang hakiki, dengan cara berfikir 29

36 sedalam-dalamnya secara sistematis dan universal untuk melahirkan kebijaksanaan. Sejalan dengan penjelasan diatas, penulis melihat bahwa dalam ajaran Agama Hindu juga dikenal dengan adanya filsafat Saiva. Filsafat Saiva merupakan satu cabang dari agama Hindu, dimana gambaran perbedaanya adalah pemujaan bentuk phalus dari Siva. Saiva sebagai satu agama telah ada sejak jaman prasejarah, terbukti dari hasil penggalian arkeologi yang ditemukan di Harappa dan Mohenjodaro dan memiliki sejarah yang berlanjut paling kurang tahun lamanya. Simbol phalus dari Siva, seperti yang ditemukan pada reruntuhan pradaban lembah sungai Hindus, yang bahkan hingga saat ini merupakan objek pemujaan diantara para pengikut aliran Saiva, yang merupakan keyakinan hidup dari seluruh bagian India. Para arkeologis di Harappa menemukan Siva Lingam, yaitu benda dari tanah liat yang di bakar, dengan puncaknya yang menurut perkiraan Dr.R.E.M. Wheeler, merupakan sebuah phalus, dan cincin tebal yang lebar, yang di nyatakan sebagai sebuah Yoni ( prinsip wanita). Dari daftar kepustakaan yang berlaku pada saat ini menunjukkan bahwa terdapat delapan aliran filsafat Saiva yaitu, Pasupata Dualisme, Saiva Siddhanta Dualisme, Dvaitadvaita Saivaisme dari Lakulisa Pasupata,Vasistadvaita Saivaisme dan Saiva Monistik dari Kasmir. Menurut Abhinavagupta secara logika Filsafat Saiva berkembang dari Dualisme menuju monistik, melalui Dvaitadvaita, (Maswinara,1999:213). Penulis melihat bahwa pengaruh filsafat Saiva ini telah ada sejak lama, bahkan dari ajaran tentang Siwa telah melahirkan 30

37 suatu agama dimana Siwalah yang dianggap sebagai Dewa tertinggi pada ajaran ini. Di indonesia khususnya di Bali ajaran Siwa berkembang sanagt pesat dan mempengaruhi setiap upacara atau ritual keagamaannaya. Ajaran Siwa yang kita kenal disebut dengan Saiva Siddhanta Provinsi DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta adalah sebuah bagian dari negara Indonesia, bahkan terletak di tengah-tengah negara kesatuan Republik Indonesia. Berkenaan dengan letak geografisnya juga posisinya sebagai ibu kota negara Indinesia, penduduk Provinsi DKI Jakarta sangatlah heterogen, baik sukunya, bangsanya, agamanya juga adat dan budayanya. Selain itu kehidupan masyarakat Provinsi DKI Jakarta juga sangatlah sibuk, akan tetapi pelaksanaan agama, adat juga budaya dari masing-masing daerah tidaklah ketinggalan, terutama pelaksanaan upacara ngaben ngelanus masih tetap menjadi pilihan masyarakat Hindu DKI Jakarta. Sehubungan dengan hal tersebutlah penelitian ini dilakukan 2.3. Landasan Teori Dalam melakukan penelitian terhadap objek ini, tentunya peneliti tidak dapat lepas dari teori. Oleh karena teori merupakan pijakan didalam mengupas isi yang terkandung didalam objek yang akan diteliti. Dalam meneliti pelaksanaan upacara khususnya Upacara Ngaben Ngelanus, banyak teori yang dapat digunakan, akan tetapi dalam hal ini peneliti memilih menggunakan beberapa 31

38 teori yang sangat mendukung keberhasilan penelitian ini. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa teori yang dipilih yakni : Teori Religi Makna agama (religi) berangkat dari pemahaman ke-tuhanan sehingga umat meningkatkan Sraddha (Keimanan) dan Bhakti (Taqwa) umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan aneka nama (Titib, 2006:24). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa suatu religi itu adalah suatu sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat. Artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut umat (Koentjaraningrat, 1985 : 37) Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat 1985 : 23) mengungkapkan tentang upacara bersaji sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa, dalam hal ini dewa atau para dewa dipandang sebagai suatu komunitas, walaupun bukan sebagai warga istimewa. Selanjutnya ia menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira, meriah dan juga keramat. Dalam buku yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904 : dalam Koentjaraningrat, 1985: 25) Preusz mengungkapkan bahwa, pusat dari setiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu, manusia mengira dapat memenuhi kebutuhannya serta mencapai 32

39 tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun spiritual. Dengan demikian, Preusz menganggap tindakan ilmu gaib dan upacara religi itu hanya sebagai dua aspek dari satu tindakan, dan seringkali ia beranggapan bahwa upacara religi memang bersifat ilmu gaib. Ritus dan upacara menjadi kegiatan manusia sejak jaman prasejarah hingga kini, bahkan menjadi isu sentra kegiatan manusia dalam mengatasi diri dari ketidak berdayaan hidup dari hal-hal yang gaib. Ritus dan upacara kematian menjadi salah satu religi yang penting dalam hidup ini untuk meningkatkan kehidupan leluhur dan keluarga yang hidup. Herts (dalam Koentjaraningrat, 1985 : 29), mengungkapkan bahwa mati berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain. Dalam peristiwa mati, manusia beralih dari suatu kedudukan sosial dalam dunia ini, ke suatu kedudukan sosial dalam dunia mahluk halus. Dengan demikian upacara kematian tidak lain dari pada upacara inisiasi. Selanjutnya Herts, Van Gennep menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan upacara kematian semua ritus dan upacara itu dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: 1) pemisahan atau separation, 2) peralihan atau marge, 3) integrasi kembali atau agregation (dalam Koentjaraningrat, 1985: 32-33). Dalam bagian pertama dari ritus, manusia melepaskan kedudukannya yang semula, acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan. Dalam bagian kedua, ketika dianggap sudah mati sehingga dia tidak tergolong dalam lingkungan sosial manapun, perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan yang baru. Dalam bagian ketiga, mereka diresmikan dalam 33

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan keanekaragaman Suku Bangsa, Bahasa, Agama, dan Kebudayaan. Keberagaman budaya bangsa Indonesia bukan berarti untuk

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tradisional yang tersimpan dalam naskah lontar banyak dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan yang berhubungan

Lebih terperinci

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar UPACARA NILAPATI BAGI WARGA MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI DI BANJAR ROBAN DESA TULIKUP KECAMATAN GIANYAR KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Hindu adalah agama yang telah menciptakan kebudayaan yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pengetahuan, filsafat dan lain-lain sehingga timbul

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA TUGAS AGAMA DEWA YADNYA NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7 KETUT ALIT WIRA ADI KUSUMA (05) ( KETUA ) NI LUH LINA ANGGRENI (27) ( SEKETARIS ) NI LUH DIAH CITRA URMILA DEWI (14) I PUTU PARWATA (33) SMP N 2 RENDANG

Lebih terperinci

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan) Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar Kelas 1 Kompetensi Inti KD Lama KD Baru 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya Menunjukkan contoh-contoh ciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia juga memiliki keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa dan sub-suku

Lebih terperinci

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA I GUSTI NGURAH WIRAWAN, S.Sn., M.Sn NIP : 198204012014041001 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2016 ABSTRAK Saradpulagembal, seperti halnya sesajen

Lebih terperinci

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar henysari74@gmail.com ABSTRAK Dalam pengenalan ajaran agama tidak luput dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri dari beragam suku, ras, budaya, dan agama. Salah satu di antaranya adalah suku Bali yang

Lebih terperinci

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD 27. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan

Lebih terperinci

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam

BAB III PENYAJIAN DATA. A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam 40 BAB III PENYAJIAN DATA A. Pelaksanaan Kenduri Arwah sebagai rangkaian dari ritual kematian dalam masyarakat Pujud Data yang disajikan adalah data yang diperoleh dari lapangan yang dihimpun melalui observasi,

Lebih terperinci

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut

Lebih terperinci

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu 4.1 Dasar Kepercayaan Hindu Bersumber Pada Atharwa Weda Dasar kepercayaan (keimanan) dalam agama Hindu disebut Sraddha, yang dinyatakan di dalam ayat suci Atharwa Weda berikut.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Sebagai salah satu pulau di Indonesia, Bali memiliki daya tarik yang luar biasa. Keindahan alam dan budayanya menjadikan pulau ini terkenal dan banyak

Lebih terperinci

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Dewa Ayu Putu Warsiniasih Institut Hindu Dharma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH 4.1.Ritual Masyarakat Trunyan Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN AGAMA HINDU

PEMBELAJARAN AGAMA HINDU PEMBELAJARAN AGAMA HINDU I KETUT SUDARSANA iketutsudarsana@ihdn.ac.id www.iketutsudarsana.com Secara etimologi agama berasal dari bahasa sanskerta, yaitu dari kata a dan gam. a berarti tidak dan gam berarti

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach BAB IV ANALISIS DATA A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach Dalam teori Joachim wach dapat diamati dalam tiga bentuk ekspressi keagamaan atau pengalaman beragama baik individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang diungkapkan dalam bentuk cara bertindak, berbicara, berfikir, dan hidup. Daerah kebudayaan Kalimantan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AJARAN AWATARA DALAM AGAMA HINDU DAN TASHAWUF ISLAM

BAB IV ANALISA DATA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AJARAN AWATARA DALAM AGAMA HINDU DAN TASHAWUF ISLAM BAB IV ANALISA DATA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA AJARAN AWATARA DALAM AGAMA HINDU DAN TASHAWUF ISLAM A. Konsep Ketuhanan Ajaran Awatara dalam Agama Hindu Konsepsi Ajaran Awatara dalam Agama Hindu mengatakan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano

BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH. A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano BAB IV MAKNA PELAKSANAAN UPACARA ADAT ALAWAU AMANO BAGI KEHIDUPAN ORANG NOLLOTH A. Mendiskripsikan Upacara Adat Kematian Alawau Amano Menurut Hertz, kematian selalu dipandang sebagai suatu proses peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu. Hal ini didukung oleh penjelasan Ghazali (2011:63) bahwa dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya, seluruh umat beragama memiliki hari suci. Makna hari suci tersebut seperti yang dikemukakan Oka (2009:171), yaitu memperingati suatu kejadian yang sangat

Lebih terperinci

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu

Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu ESENSI LINGGA YONI DI PURA BATUR NING DESA PAKRAMAN SAYAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR OLEH: I NYOMAN SUDIANA Email : sudiana_syn@yahoo.com Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I I Ketut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari I Ketut Sudarsana > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari Ajaran Tri Kaya Parisudha dapat dilaksanakan dengan cara memberikan arahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Budaya pada dasarnya merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki dan

I. PENDAHULUAN. Budaya pada dasarnya merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya pada dasarnya merupakan cara hidup yang berkembang, dimiliki dan diwariskan manusia dari generasi ke generasi. Setiap bangsa memiliki kebudayaan, meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

MISTERI TUHAN ANTARA ADA DAN TIADA

MISTERI TUHAN ANTARA ADA DAN TIADA ADAADNAN ABDULLA ADNAN ABDULLAH MISTERI TUHAN ANTARA ADA DAN TIADA Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com DAFTAR ISI Daftar Isi 3 Pendahuluan.. 5 1. Terminologi Tuhan. 10 2. Agama-agama di Dunia..

Lebih terperinci

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu)

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu) TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu) OLEH: KOMANG HERI YANTI email : heryan36@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

IBADAT PEMBERKATAN PERTUNANGAN

IBADAT PEMBERKATAN PERTUNANGAN IBADAT PEMBERKATAN PERTUNANGAN Orang tua Kristiani mempunyai tanggung jawab, yang dipandang juga sebagai bentuk kerasulan khusus, untuk mendidik anak-anak dan membantu anak-anak dapat mempersiapkan diri

Lebih terperinci

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK Dosen : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H OLEH: I PUTU CANDRA SATRYASTINA 15.1.2.5.2.0800 PRODI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan bagian yang melingkupi kehidupan manusia. Kebudayaan yang diiringi dengan kemampuan berpikir secara metaforik atau perubahan berpikir dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

Esensi Tradisi Upacara Dalam Konsep Yadnya Ni Putu Sudewi Budhawati 48

Esensi Tradisi Upacara Dalam Konsep Yadnya Ni Putu Sudewi Budhawati 48 ESENSI TRADISI UPACARA DALAM KONSEP YAJÑA NI PUTU SUDEWI BUDHAWATI STAHN. Gde Pudja Mataram ABSTRAK Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, aspek upacara ( ritual ) merupakan aspek yang lebih ekspresif dibandingkan

Lebih terperinci

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru) BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru) Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Manusia pada zaman modern ini mungkin patut berbangga atas pencapaian yang telah diraih manusia hingga sampai pada saat ini dan kemajuan dalam segala

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

FILSAFAT SAMKHYA AJARAN DINAMISME DALAM HINDU

FILSAFAT SAMKHYA AJARAN DINAMISME DALAM HINDU FILSAFAT SAMKHYA AJARAN DINAMISME DALAM HINDU I K. Suparta Program Studi Pendidikan Agama Hindu STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Email: padmabuana@yahoo.co.id ABSTRAK Konsep Ke-Tuhanan dalam Hindu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai Upacara Tingkapan karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai Upacara Tingkapan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai Upacara Tingkapan karena upacara ini masih tetap berlangsung hingga kini meskipun perkembangan budaya semakin canggih.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat.

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kematian adalah akhir dari kehidupan. Dalam kematian manusia ada ritual kematian yang disebut dengan pemakaman. Pemakaman dianggap sebagai akhir dari ritual kematian.

Lebih terperinci

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis

Lebih terperinci

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah 1. Pengertian Atman adalah. a. Percikan terkecil dari Sang Hyang Widhi Wasa b. Tidak terlukai oleh api c. Tidak terlukai oleh senjata d. Tidak bergerak e. Subha Karma Wasa 2. Fungsi Atman dalam mahluk

Lebih terperinci

Nirwana dan Cara Pencapaiannya dalam Agama Hindu

Nirwana dan Cara Pencapaiannya dalam Agama Hindu Oleh : Hj. A. Nirawana Abstract Menggapai nirwanan adalah sebuah tujuan spiritual dalam agama hindu. Tulisan berikut ingin menelusuri sejauhmana makna nirwana dan langkahlangkah pencapaiannya bagi penganut

Lebih terperinci

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu)

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu) Oleh I Wayan Agus Gunada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Abstrak Ngaben merupakan

Lebih terperinci

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja

KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja KONTEN BUDAYA NUSANTARA Upacara Adat Rambu Solo - Toraja Upacara pemakaman yang dilangsungkan saat matahari tergelincir ke barat. Jenazah dimakamkan di gua atau rongga di puncak tebing batu. Sebagai tanda

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Konsep Tuhan Dalam Perspektif Agama Islam, Kristen, Dan Hindu. berbilang tidak bergantung pada siapa-siapa melainkan ciptaan-nyalah

BAB V PENUTUP. 1. Konsep Tuhan Dalam Perspektif Agama Islam, Kristen, Dan Hindu. berbilang tidak bergantung pada siapa-siapa melainkan ciptaan-nyalah 124 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsep Tuhan Dalam Perspektif Agama Islam, Kristen, Dan Hindu Antara Lain: Agama Islam Tuhan adalah Allah, Esa, Ahad, Ia merupakan dirin-nya sendiri tunggal dalam sifatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Berdoa dan sembahyang merupakan kewajiban yang utama bagi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, Do a atau sembahyang merupakan wujud rasa syukur, memohon perlindungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku bangsa, didalamnya memiliki keragaman budaya yang mencerminkan kekayaan bangsa yang luar biasa. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, manusia mempunyai banyak kelebihan. Inilah yang disebut potensi positif, yakni suatu potensi yang menentukan eksistensinya,

Lebih terperinci

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD) 16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan

Lebih terperinci

MUNCULNYA AGAMA HINDU

MUNCULNYA AGAMA HINDU MUNCULNYA AGAMA HINDU di INDIA Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Aria (cirinya kulit putih, badan tinggi, hidung mancung) ke Mohenjodaro dan Harappa (Peradaban Lembah Sungai Indus)

Lebih terperinci

RELIGI. Oleh : Firdaus

RELIGI. Oleh : Firdaus RELIGI Oleh : Firdaus Pertemuan ini akan Membahas : 1. Konsep Religi 2. Komponen sistem Religi 3. Teori Berorintasi Keyakinan Pertanyaan untuk Diskusi Awal: 1. Apa Konsep Religi 2. Apa Komponen Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat dari kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual yang dilaksanakan dan dilestarikan

Lebih terperinci

TUTUR WIDHI SASTRA DHARMA KAPATIAN: ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI. Corresponding Author

TUTUR WIDHI SASTRA DHARMA KAPATIAN: ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI. Corresponding Author TUTUR WIDHI SASTRA DHARMA KAPATIAN: ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI Gusti Ayu Putu Ardiyanti 1*, Ida Bagus Rai Putra 2, I Nyoman Supatra 3 [123] Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Unud 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini. Agama Hindu merupakan agama yang mempercayai banyak dewa dan dewi yang tersebar menurut fungsinya

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

SOP Pelayanan Kedukaan Tradisi Veda (Vaisnava)

SOP Pelayanan Kedukaan Tradisi Veda (Vaisnava) Jl. Pondok Bambu Batas No 14 RT 001 RW 012 Kelurahan Pondok Bambu Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur Email : pitra2014@yahoo.com Website : SOP Pelayanan Kedukaan Tradisi Veda Oleh: TIM Ashram Vaisnava

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

Keywords: Pitara Puja Tradition, Ancestor, Manunggaling Kawula Gusti, Moksha.

Keywords: Pitara Puja Tradition, Ancestor, Manunggaling Kawula Gusti, Moksha. TRADISI PUJA PITARA DALAM RITUAL KEMATIAN BAGI UMAT HINDU DI DESA SIDOREJO KECAMATAN PURWOHARJO KABUPATEN BANYUWANGI Oleh Susanti Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Abstract Puja Pitara Tradition is

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Upacara adat Belian merupakan suatu bentuk kebudayaan asli Indonesia yang sampai saat ini masih ada dan terlaksana di masyarakat Dayak Paser, Kalimantan Timur. Sebagai salah

Lebih terperinci

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI Oleh : DEWA AYU EKA PUTRI 1101605007 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI LEMPAR AYAM DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI LEMPAR AYAM DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR 69 BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI LEMPAR AYAM DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR A. Implementasi Simbol dalam Perespektif Hermeneutika Paul Ricoeur Lempar ayam merupakan prosesi atau cara yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama Hindu merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Negara menjamin setiap warga untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam proses penyebarluasan firman Tuhan, pekabaran Injil selalu berlangsung dalam konteks adat-istiadat dan budaya tertentu, seperti halnya Gereja gereja di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan berasal dari kata gurit yang berarti gubah, karang, sadur. Geguritan berarti gubahan cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia,

Lebih terperinci

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Luh Setiani Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar niluhsetiani833@gmail.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti

I. PENDAHULUAN. sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata Tahlil secara etimologi dalam tata bahasa Arab membahasnya sebagai sebuah kalimat yang berasal dari lafadz hallala-yuhallilu-tahlilan yang berarti mengucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

PEMERTAHANAN BAHASA BALI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI KOTA DENPASAR

PEMERTAHANAN BAHASA BALI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI KOTA DENPASAR TESIS PEMERTAHANAN BAHASA BALI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI KOTA DENPASAR NI MADE MERTI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010 TESIS PEMERTAHANAN BAHASA BALI DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Lebih terperinci

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I EKSISTENSI PALINGGIH RATU AYU MAS SUBANDAR DI PURA DALEM BALINGKANG DESA PAKRAMAN PINGGAN KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Perspektif Teologi Hindu) OLEH : I NENGAH KADI NIM. 09.1.6.8.1.0150 Email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan semakin berkembangnya cara berfikir masyarakat pada masa sekarang ini. Ternyata tak jarang juga dapat menyebabkan berubahnya pola pikir masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. dengan Konfusianisme adalah konsep bakti terhadap orang tua. BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Kematian bagi masyarakat Tionghoa (yang tetap berpegang pada tradisi) masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan berbagai suku bangsa tentunya kaya akan budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Situasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP Sebagai penutup dari skripsi ini, penulis akan menyampaikan beberapa kesimpulan yang penulis dapatkan dari analisis penelitian. Disamping itu juga penulis sampaikan beberapa saran yang diharapkan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra

PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU. Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra PELAKSANAAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU Oleh : Drs. I Made Purana, M.Si Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal dan pikiran yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal dan pikiran yang mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal dan pikiran yang mampu menciptakan pola bagi kehidupannya berupa kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil cipta

Lebih terperinci

DESKRIPSI PEMELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU

DESKRIPSI PEMELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DESKRIPSI PEMELAJARAN MATA DIKLAT TUJUAN DURASI PEMELA JARAN : PENDIDIKAN AGAMA HINDU : 1. Membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak mulia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi Bersyukur kepada sang pencipta tentang apa yang telah di anugerahkan kepada seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) 16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Konsep adalah suatu abstraksi untuk menggambarkan ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika

1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasta merupakan suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

Lebih terperinci

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA - 446 - E. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNANETRA KELAS : I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Modul ke: Pendidikan Pancasila Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id Pancasila

Lebih terperinci

Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Pengerupukan Pra Hari Raya Nyepi di Kecamatan Wonosari

Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Pengerupukan Pra Hari Raya Nyepi di Kecamatan Wonosari Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Pengerupukan Pra Hari Raya Nyepi di Kecamatan Wonosari Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu sosial Universitas Negeri Gorontalo 2014 ABSTRAK I Kadek Muliasa: 2014,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Makna Ritual Tilem di Pura Pasraman Saraswati Tiga

BAB IV ANALISIS DATA. A. Makna Ritual Tilem di Pura Pasraman Saraswati Tiga BAB IV ANALISIS DATA A. Makna Ritual Tilem di Pura Pasraman Saraswati Tiga Persembahyangan hari tiem ini bersifat wajib bagi umat Hindu karena merupakan hari suci.bulan tilem berasal dari dua suku kata

Lebih terperinci