ENVIRONMENTAL MONITORING RISK ASSESSMENT. By Tim Sandle

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ENVIRONMENTAL MONITORING RISK ASSESSMENT. By Tim Sandle"

Transkripsi

1 ENVIRONMENTAL MONITORING RISK ASSESSMENT By Tim Sandle PENDAHULUAN Pemantauan lingkungan atau Environmental Monitoring menggambarkan pengujian mikrobiologi yang dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi perubahan pertumbuhan pada jumlah mikroba dan mikroflora dalam ruang steril atau lingkungan yang terkontrol. Hasil yang diperoleh memberikan informasi mengenai konstruksi fisik dari ruangan, kinerja pemanasan, ventilasi, dan sistem HVAC, kebersihan personil, peralatan, dan operasi pembersihan. Jurnal ini digunakan untuk menyelidiki trend terkini pada aplikasi penilaian risiko dalam praktek EM dengan memeriksa aspek-aspek utama berikut: - Penentuan frekuensi monitoring : menggunakan konsep penilaian risiko untuk menentukan seberapa sering pemantauan pada jenis cleanroom yang berbeda - Perangkat penilaian risiko : penggunaan perangkat penilaian risiko untuk membentuk metode EM - Pendekatan numerik : mempertimbangkan pendekatan numerik untuk menilai data risiko menggunakan studi kasus dalam proses pengisian secara aseptik PENENTUAN FREKUENSI MONITORING Untuk mengembangkan program EM yang memadai, harus terdapat keseimbangan diantara penggunaan sumber daya secara efisien dengan monitoring pada interval yang cukup sering sehingga gambaran yang berarti dapat diperoleh. Pada saat pembentukkan program pemantauan lingkungan, frekuensi monitoring pada area kontrol yang berbeda dapat ditentukan berdasarkan faktor kritis yang berhubungan dengan area spesifik. Faktor kritis Pembentukkan rencana kritis yang menjadi dasar frekuensi monitoring dibuat untuk membidik pemantauan tahapan kritis pada proses. Maka dari itu, poses formulasi akhir harus mendapat pemantauan lebih dibandingkan dengan tahapan monitoring lebih awal yang merupakan proses yang relatif tertutup. Penggunaan faktor kritis merupakan makna dari penilaian frekuensi monitoring berdasarkan penilaian risiko dari setiap area kritis. Penilaian risiko berhubungan dengan dampak potensial produk yang berasal dari berbagai risiko. Contohnya, daerah pemrosesan terbuka pada suhu lingkungan, lamanya waktu paparan, dan ketersediaan air, dapat menimbulkan tingginya risiko dan dapat meningkatkan tingkat risiko. Berbeda dari hal tersebut, daerah dengan pemrosesan tertutup, pada area dingin, pada hakikatnya dapat memberikan risiko yang lebih rendah.

2 Penggunaan rentang 1 6, dengan 1 menunjukkan skor sangat kritis dan 6 menunjukkan skor yang setidaknya kritis, skor 1 diberikan untuk operasi pengisian aseptik; skor 2 pada formulasi Tabel akhir; 1 skor Faktor 3 pada kritis pemrosesan pada Frekuensi secara terbuka, dan seterusnya. Contoh penggunaan Monitoring frekuensi monitoring ditunjukkan dalam tabel 1 dan aplikasi penggunaannya dalam tabel 2. Setiap area yang dipantau akan dievaluasi terhadap suatu kriteria, dan dengan penggunaan satu seri panduan pertanyaan, frekuensi monitoring dapat ditentukan. Kriteria keputusan termasuk pertimbangan pada 2 kategori area: area bobot yang lebih tinggi dan frekuensi monitoring lebih tinggi. Faktor kritis Frekuensi Monitoring 1 Per hari atau per bets 2 Per minggu 3 Per 2 minggu 4 Per bulan 5 Per 3 bulan / triwulan 6 Per 6 bulan Bobot yang lebih tinggi diberikan pada: - Aktivitas yang lebih kotor yang berbatasan dengan aktivitas pembersihan - Area dengan tingkat mobilitas personel yang tinggi (sebagai salah satu sumber kontaminan mikroba), termasuk koridor dan ruang ganti - Rute transfer - Area tempat penerimaan barang - Tempat beserta aktivitas preparasi komponen - Durasi aktivitas (seperti tingkat kritis yang lebih rendah pada proses 30 menit dibandingkan dengan 6 jam pemrosesan) Frekuensi monitoring yang lebih tinggi digunakan untuk: - Area hangat yang berbeda dengan area dingin - Area dengan air atau bak cuci yang berbeda dengan area kering - Pemrosesan terbuka atau open plant assembly yang dibandingkan pada pemrosesan sekitar yang terbuka sesaat atau pada pemrosesan tertutup (dimana risiko pemaparan produk ditentukan) - Formulasi akhir, pemurnian, pengemasan sekunder, pengisian produk, dan lain-lain Ketika frekuensi monitoring untuk setiap area kontrol telah ditentukan, hasilnya perlu ditinjau pada periode tertentu. Peninjauan ini mungkin meminta perubahan pada status ruangan, frekuensi monitoring, atau perubahan pada jenis sampel berbeda dalam ruangan. Tabel 2 Aplikasi Faktor Kritis Faktor Kritis Lingkungan Kemungkinan Dampak Lingkungan Pada Produk AKhir Definisi 1 Sangat mungkin Pengisian aseptik dimana tidak terdapat proses Frekuensi Monitoring Per hari atau per bets

3 2 Mungkin 3 Cukup mungkin 4 Tidak mungkin 5 6 Sangat tidak mungkin Paling tidak mungkin lebih lanjut Area produk akhir. Hal ini mungkin diterapkan pada area dimana proses akhir merupakan filter penyaring Pemaparan produk secara langsung atau tak langsung pada lingkungan agak cenderung untuk menghasilkan kontaminan Dapat juga diterapkan pada area dengan keberadaan air tinggi atau pada suhu yang bersesuaian Diterapkan pada area dingin yang tidak terdapat pemrosesan terbuka Pemaparan tidak langsung ke lingkungan tidak mungkin menghasilkan kontaminan. Apabila kontaminan dihasilkan, kontrol hilir atau penggunaan preservatif dapat mengurangi kontaminan Area tidak terkontrol atau tidak mungkin ada mikroba, seperti freezer Per minggu Per 2 hari Per bulan Per 3 bulan Per 6 bulan

4 PERANGKAT PENILAIAN RISIKO Ketika status suatu ruangan telah dipilih, prosedur penilaian risiko diperlukan untuk menentukan lokasi monitoring lingkungan. Pendekatan berbasis risiko termasuk FMEA, FTA, HACCP, dan sebagainya dapat memberikan pendekatan nilai. Perangkat analsiis tersebut hampir serupa karena melibatkan: - Pembuatan diagram kerja - Penandaan area dengan risiko tertinggi - Pengujian sumber kontaminan potensial - Penentuan metode sampel yang paling sesuai - Membantu pembuatan peringatan dan tingkat tindakan Pendekatan penilaian risiko ini tidak hanya berfokus pada pemilihan lokasi monitoring lingkungan, tetapi juga mengintegrasi sistem monitoring lingkungan dengan peninjauan lengkap pada operasi dalam cleanroom untuk menjamin fasilitas, operasi, dan praktiknya memuaskan. Pemantauan risiko dapat membantu menentukan frekuensi, lokasi, dan tingkat monitoring lingkungan. FMEA Merupakan pendekatan numerik berdasarkan kategori berikut: - Keparahan (Severity) : konsekuensi dari kegagalan - Kejadian (Occurence) : Kemungkinan terjadi kegagalan berdasarkan pengalaman sebelumnya - Deteksi (Detection): sistem monitoring dan bagaimana kegagalan dapat dideteksi Dengan skor 1 (sangat baik) dan 5 (sangat buruk). Dengan demikian, kemungkinan tingginya keparahan bernilai 5; tingginya tingkat kejadian bernilai 5; dan tingkat deteksi yang baik bernilai 1. Skor akhir FMEA diperoleh dengan mengalikan nilai keparahan (S) x nilai kejadian (O/P) x nilai deteksi (D). Berikut merupakan contoh skema FMEA. Tahapa n proses Mode kegagal an Signifika nsi kegagal an Severit y Ukuran pendeteks ian kegagalan Occuren ce Sistem deteksi Detecti on PENDEKATAN NUMERIK Komponen ketiga dari pendekatan penilaian risiko adalah untuk mengevaluasi suatu risiko pada saat suatu aktivitas dilakukan. Setelah itu dapat dipastikan keterulangan dan reprodusibilitasnya melalui seperangkat parameter numerik. Pendekatan numerik berguna dalam penerapan tingkat konsistensi antara satu keputusan dengan yang lainnya.

5 Penilaian Individu Bagian ini merinci beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung risiko kontaminasi pada pharmaceutical cleanroom. Estimasi Risiko Pada Produk dengan Settle Plate Counts Metode ini menerapkan penilaian setlle plates atau pelat sedimentasi pada titik pengisian di bawah zona kelas A. Metode ini memberikan perkiraan tingkat kontaminasi yang memungkinkan pada produk yang diturunkan berdasarkan persamaan berikut: Tingkat kontaminasi (%) = Settle Plate Count Area produk x x Area cawan petri Waktu produk terpapar x 100 Waktu settle plate terpapar Dimana area cawan petri untuk pelat berukuran 90 mm adalah 64 cm 2. Contoh perhitungan settle plate counts: - Area cawan petri = 64 cm 2 - Settle plate count = 1 cfu - Area leher produk = 1 cm 2 - Waktu produk terpapar = 1 menit - Waktu settle plate terpapar = 240 menit Kemudian dimasukkan ke dalam persamaan 1 x 1 64 x = 0, x 100 = 0,0065% Rumus tersebut juga dapat diterapkan pada monitoring aktivitas filtrasi produk ketika 1 ditetapkan sebagai angka konstan area leher produk. Tidak tersedia panduan yang menunjukkan level persentase risiko. Angka 0,03% telah digunakan oleh praktisi berdasarkan Parenteral Drug Association Survey of Aseptic Filling Practices (2002), dimana menjadi hal biasa dalam industri farmasi untuk mengizinkan 0,03% botol broth dalam simulasi media untuk menunjukkan pertumbuhan pada warning level (0,03% = 1 /3000, dengan 3000 menjadi ratarata ukuran media fill). Action level biasanya ditetapkan 3/3000 botol atau 0,1%. Hal ini dapat memberikan risiko yang tinggi. Rentang 0,03 0,1 dapat dikatakan sebagai risiko menengah. Dengan demikian, ketika risiko tersebut merupakan mikroorganisme yang terdeteksi pada settle plate, dengan probabilitas <0,1% terdeposit di leher botol

6 saat botol terpapar pada aliran udara yang tidak terarah, risiko dapat dikategorikan seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Kategori Risiko Mikroorganisme Persentase Risiko <0,03% Rendah >0,03 0,09% Sedang 0,1% Tinggi Finger Plate Assessment Rumus dapat diaplikasikan untuk pengoperasian yang berhubungan dengan kelas A. Apabila operator hanya berada di kelas B dan tidak memberi dampak pada pengoperasian kelas A, secara otomatis dapat dianggap sebagai risiko yang rendah apabila tidak ada faktor khusus lain. dimana: Rumus yang dapat digunakan ialah: Jumlah mikroba x Lokasi x Metode intervensi x Durasi operasi Jumlah mikroba Lokasi dengan pelat = jumlah pada pelat dalam cfu = area mesin pengisi atau lokasi lain yang berhubungan Aktivitas = baik dari tangan operator yang bersentuhan dengan bagian mesin pengisi atau alat yang digunakan Durasi = lamanya aktivitas dalam detik Dalam contoh finger plate assessment, lokasi, aktivitas, dan durasi membutuhkan pengukuran arau pembobotan. Contoh penilaian lokasi, aktivitas, dan durasi masing-masing tertera dalam tabel 6,7, dan 8. Tabel 4 Contoh Pembobotan Lokasi Lokasi Rating* Alasan Bagian umum dari mesin yang tidak berdekatan dengan zona pengisian 0.5 Data dari pola aliran udara menunjukkan risiko perpindahan kontaminasi ke aliran udara yang tidak terarah di bawah zona pengisian sangat rendah Off-load 0.5 Area off-load terdapat pada seluruh mesin pengisi. Botol dan vial bertutup sebagian dan peralatan digunakan secara normal. Kemungkinan kontaminasi dianggap rendah. On-load 1 Area on-load terdapat pada seluruh mesin

7 Stopper bowl 1.5 Freeze dryer loading Point of fill: air sample placement Filtration transfer 1.5 Koneksi mesin 2.5 Point of fill : intervensi pengisi. Botol dan vial tidak ditutup meskipun peralatan digunakan secara normal. Kemungkinan kontaminasi lebih besar dibandingkan on-load. Stopper bowl terdapat pada seluruh mesin pengisi. Intervensi langsung ke dalam wadah menghasilkan mikroorganisme yang terdeposit ke stopper. Risiko dianggap lebih tinggi dari aktivitas on-load dan off-load meskipun jarang intervensi. Merupakan intervensi langsung dari aktivitas kelas A. Meski demikian, vial dan botol ditutup sebagian dan mengandung kaset. Penempatan air-sampler tidak melibatkan peralatan pengisian (seperti jarum suntik, timbangan). Meski demikian, sebagai intervensi kelas A, hal ini merupakan risiko yang tinggi dibandingkan dengan bagian lain diatas. Koneksi pembuluh untuk tujuan pemindahan produk ke dalam Aseptic Filling Suite membtutuhkan intervensi manusia dn teknik aseptik. Apabila proses ini terkontaminasi akan berdampak pada produk. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan koneksi sangat singkat (di bawah 30 detik), yang akan mengurangi risiko. Koneksi bejana ke mesin pengisian membutuhkan intervensi manusia dan teknik aseptik. jalur transfer yang terkontaminasi dapat menyebabkan produk terkontaminasi Intervensi langsung, seperti mislnya jarum pengisi yang diatur ulang merupakan tingkat risiko tertinggi. Jumlah berhubungan dengan aktivitas yang membutuhkan pemeriksaan detil. *berdasarkan waktu rata-rata yang diambil untuk simulasi media berdasarkan data dari fasilitas UK pharmaceutical Tabel 5 Contoh Pembobotan Aktivitas Metode aktivitas Rating Alasan Using forceps 0.5 Pengoperasian tidak langsung bersentuhan dengan mesin dan alat yang digunakan bersifat steril Hand 1 Pengoperasian bersentuhan langsung dengan mesin, dengan demikian menimbulkan risiko yang lebih tinggi. Meski demikian, terdapat

8 prosedur untuk membersihkan tangan sebelum menjalankan operasi. Tabel 6 Contoh Pembobotan Durasi Durasi Rating Alasan < 30 detik 0.5 Lamanya intervensi dianggap minim detik 1 Waktu intervensi berada pada rata-rata >30 detik 1.5 Intervensi lebih lama dari rata-rata Contoh Pengerjaan Finger Plate Worked Assessment Finger plate dengan jumlah 1 cfu untuk aktivitas point-of-fill, menggunakan forceps, yang berjalan 1 menit. Skor = Jumlah mikroba x Lokasi x Metode intervensi x durasi pengoperasian = 1 x 2.5 x 0.5 x 1 = 1.25 Skor yang dihasilkan dapat dinilai berdasarkan kategori penilaian risiko standar: Penilaian risiko tergantung pada contoh yang dijalankan. Berdasarkan data historis selama kurang lebih 6 bulan, hasil tertinggi pada intervensi finger plate kelas A berjumlah 2 cfu; menggunakan forceps mendapatkan kembali vial yang jatuh dan bertahan pada 120 detik. Hasil ini memberikan skor 7.5, yang jatuh pada risiko sedang atau menengah. Surface Sample Assessment Rumus berikut dapat diterapkan pada aktivitas pengisian dan filtrasi: Jumlah mikroba x faktor risiko A x faktor risiko B x faktor risiko C dimana, Skor Risiko 1 3 Rendah 4 8 Sedang 9+ TInggi Faktor risiko A Faktor risiko B Faktor risiko C = kedekatan pada area kritis = pengurangan dispersi mikroorganisme = efektivitas tindakan pengendalian Pendekatan di bawah ini dapat digunakan untuk pengaturan faktor risiko: - Tahap pertama adalah untuk menetapkan faktor risiko (A) berdasarkan kedekatan lokasi dengan area kritis (filled produk). Demonstrasi pada tabel 7 dapat digunakan untuk menentukan faktor A. Tabel 7 Penentuan Faktor Risiko A Lokasi/Tahap Faktor Risiko Alasan

9 Manufaktur Filtration room product contact General filling or filtration room area (Grade B) Machine general (non-product contact) Machine product contact site (A) 2 Sampel pada jalur transfer memungkinkan potensi kontaminasi untuk mempengaruhi produk 0.5 Sampel yang hanya merefleksikan kebersihan ruangan dan trend umum. Dampak aktivitas kelas A cukup rendah, kecuali jika mikroorganisme yang sama terdeteksi sampel dari kelas B. Pada kejadian tersebut, faktor risiko naik menjadi 1. 1 Sampel mengindikasikan kondisi kebersihan mesin, namun risiko pemaparan produk terhadap kontaminan cukup rendah, kecuali jika mikroorganisme yang sama terdeteksi sampel dari kelas B. Pada kejadian tersebut, faktor risiko naik menjadi Lokasi termasuk alat, jarum pengisi, dan stopper bowls. Kontak langsung dengan produk: risiko tertinggi. - Tahap kedua adalah untuk menetapkan faktor risiko (B) berdasarkan pengurangan dispersi atau transfer mikroorganisme. Berikut contoh penaksiran faktor B pada tabel 8. Tabel 8 Penentuan Faktor Risiko B Lokasi/Tahap Manufaktur Filtration room product contact General filling or filtration room area (Grade B) Machine general (non-product contact) Machine product contact site Faktor Risiko Alasan (B) 0.5 Koneksi merupakan aktivitas singkat (kurang dari 30 detik) dilakukan di bawah proteksi Uni-Directional Air Flow (UDAF) kelas A; operator menggunakan sarung tangan tersanitasi. 1.0 Perifer terhadap zona kelas A. Transfer risiko cukup rendah. Tingkat risiko dapat meningkat menjadi 1.5 apabila sampel kelas A dan kelas B melewati tingkat penindakan dan terkarakterisasi sebagai spesies mikroba yang sama. 1.5 Lokasi berada diantara area kritis, tetapi tidak langsung terhadap area kontak produk. Terdapat beberapa risiko transfer produk, namun seharusnya tindakan protektif dapat mencegah hal ini. 2.5 Lokasi termasuk perangkat, jarum pengisi, dan stopper bowl yang berada langsung dalam zona kritis. Kontak langsung dengan

10 produk: risiko tertinggi. - Tahap ketiga untuk mengukur faktor risiko (C) dengan menaksir efektivitas tindakan kontrol. Contoh penaksiran faktor C pada tabel 9. Tabel 9 Penentuan Faktor Risiko C Lokasi/Tahap Manufaktur Filtration room product contact General filling or filtration room area (Grade B) Machine general (non-product contact) Machine product contact site Faktor Risiko Alasan (B) 0.5 UDAF kelas A dan komponen tersterilisasi; operator menggunakan dua pasang sarung tangan dan tangan yang bersih. 0.5 Lantai disanitasi; bat 1.0 Komponen mesin yang tersterilisasi; lines diberishkan dengan disinfektan; proteksi UDAF. 1.5 Komponen mesin yang tersterilisasi; tidak ada intervensi langsung; proteksi UDAF; akan tetapi lokasi ini ebrada dalam kontak langsung dengan produk Air Sample Assessment Terdapat pendekatan untuk penilaian risiko sampel active air yang menggunakan sistem numerik. Akan tetapi, formula yang rumus yangberhubungan dengan aspek ini sulit untuk dihitung dalam prakteknya karena biasanya tidak terdapat informasi dan penilaian variabel tidak dapat dihitung. Karena itu penilaian secara kualitatif dinilai lebih sesuai. Penetapan Faktor Risiko Pada Lokasi Pengisian Lokasi dimana jumlah bio-burden yang tinggi diisolasi diantara area pengisian, dapat dikatakan bahwa konsekuensi lebih besar dari jumlah yang sebenarnya. Lokasi dapat diberikan peringkat risiko dalam kaitannya dengan kedekatannya dengan zona kritis, kemudahan dispersi atau pengalihan, dan efektivitas metode pengendalian. Tabel 10 diusulkan sebagai alat untuk penilaian risiko dan untuk membantu penyelidikan. Hal ini melengkapi alat penilaian risiko yang sebelumnya telah diperiksa. Tabel 10 Contoh Penilaian Risiko pada Filling Room Kemudahan dalam Dispersi dan Transfer Mikroorganisme Sangat Rendah; tempat sterilisasi Kedekatan atau Lokasi Sumber Terhadap Area Kritis Efektivitas Metode Kontrol Tidak ada - - Rendah; contoh: batas ekstrim ruangan Rendah; batas kontrol, UDAF

11 Medium; contoh: perangkat kontak produk Tinggi terhadap zona pengisian Medium; contohnya lokasi cleanroom di dekat mesin pengisian atau di ujung zona kelas A Tinggi; contohnya pada area kritis. Medium; sanitasi Tinggi; contoh efektivitas kontrol Jenis produk dan pemrosesan lebih lanjut juga dapat mempengaruhi faktor risiko. Berdasarkan hal ini, risiko produk dapat diurutkan berdasarkan tingkat risikonya. Penilaian Keseluruhan Pendekatan yang dilakukan untuk keseluruhan penilaian melibatkan riwayat pengujian sejumlah operasi dan menetapkan nilai menetapkan nilai di atas yang operasi dianggap atipikal. Cut-off 95% dianggap menjadi titik cut-off yang paling sesuai. Criticality Scoring Kekritisan penilaian merupakan cara menilai hasil total dari environmental monitoring. Hal ini menjadi Kelas A Hasil dari operasi pengisian ditentukan (untuk individu viable count dan untuk rata-rata jumlah partikel yang diambil selama pengisian). Setiap hasil yang sebanding atau lebih dari warning atau action level dinilai berdasarkan kriteria pada tabel 11 dan 12. Tabel 11 Kriteria Viable Count Untuk Kelas A Sampel Jumlah (cfu) Warning Level Action Level Active Air 5 poin 10 poin Settle Plate 5 poin 10 poin Contact Plate 5 poin 10 poin Swab 5 poin 10 poin Finger Plate 5 poin 10 poin Tabel 12 Kriteria Jumlah Partikel Untuk Kelas A Jumlah (cfu) Sampel Jumlah Isi Rata-Rata pada Warning Level Jumlah Isi Rata-Rata pada Action Level 0.5 μm 5 poin 10 poin 5 μm 5 poin 10 poin Kelas B

12 Hasil dari operasi pengisian ditentukan (untuk individu viable count dan untuk rata-rata jumlah partikel yang diambil selama pengisian). Setiap hasil yang sebanding atau lebih dari warning atau action level dinilai berdasarkan kriteria pada tabel 13 dan 14. Sampel Tabel 13 Kriteria Viable Count Untuk Kelas B Jumlah (cfu) 1 cfu 2-3 cfu 4-5 cfu Warning Level Action Level Active Air 1 poin 2 poin 3 poin 5 poin 10 poin Settle Plate 1 poin 2 poin 3 poin 5 poin 10 poin Contact Plate 1 poin 2 poin 3 poin 5 poin 10 poin Swab 1 poin 2 poin 3 poin 5 poin 10 poin Finger Plate 1 poin 2 poin 3 poin 5 poin 10 poin Tabel 12 Kriteria Jumlah Partikel Untuk Kelas B Jumlah (cfu) Sampel Jumlah Isi Rata-Rata pada Warning Level Jumlah Isi Rata-Rata pada Action Level 0.5 μm 4 poin 5 poin 5 μm 4 poin 5s poin

PRINSIP DAN PELAKSANAAN PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

PRINSIP DAN PELAKSANAAN PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB PRINSIP DAN PELAKSANAAN PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Prinsip Umum Pengambilan Sampel (Sampling) adalah tahap awal dalam proses dimana data hasil karakterisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Farmasi 2.1.1 Pengertian Industri Farmasi Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan

Lebih terperinci

Oleh : Bambang Priyambodo

Oleh : Bambang Priyambodo Oleh : Bambang Priyambodo SISTEMATIKA CPOB: 2012 merupakan penyempurnaan dari CPOB: 2006, mencakup revisi terhadap : Pedoman CPOB: 2006 Suplemen I Pedoman CPOB: 2006 tahun 2009 Aneks 8 : Cara Pembuatan

Lebih terperinci

FORMULIR PEMANTAUAN SELAMA RENOVASI / KONSTRUKSI BANGUNAN

FORMULIR PEMANTAUAN SELAMA RENOVASI / KONSTRUKSI BANGUNAN FORMULIR PEMANTAUAN SELAMA RENOVASI / KONSTRUKSI BANGUNAN Area Renovasi : Tanggal pemantauan : KELAS III N O KEGIATAN YA TIDAK NA KETERANGAN 1 Mengisolasi sistem HVAC di area kerja untuk mencegah kontaminasi

Lebih terperinci

TUGAS INDIVIDU PENGANTAR MIKROBIOLOGI. Penerapan HACCP pada Proses Produksi Yoghurt

TUGAS INDIVIDU PENGANTAR MIKROBIOLOGI. Penerapan HACCP pada Proses Produksi Yoghurt TUGAS INDIVIDU PENGANTAR MIKROBIOLOGI Penerapan HACCP pada Proses Produksi Yoghurt Disusun Oleh : Yatin Dwi Rahayu 1006578 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) Cikaret, Bogor dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi, Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Materi Penelitian Bahan yang akan digunakan meliputi ikan plati, kultur mikroorganisme yang diisolasi dari asinan sawi, Paramaecium sp.,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Industri farmasi diwajibkan menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. No.43/MENKES/SK/II/1988 tentang CPOB dan Keputusan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Gambar 3.1 Flow Chart Metodologi Penelitian Metodologi penelitian perlu ditentukan agar di dalam mencari solusi untuk memecahkan masalah lebih terarah dan mempermudah proses

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Dan Metode Pendekatan Jenis penelitian ini adalah eksplanatori research adalah menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan melalui

Lebih terperinci

BAB III LANGKAH PEMECAHAN MASALAH

BAB III LANGKAH PEMECAHAN MASALAH BAB III LANGKAH PEMECAHAN MASALAH 3.1 Penetapan Kriteria Optimasi Setelah mengevaluasi berbagai data-data kegiatan produksi, penulis mengusulkan dasar evaluasi untuk mengoptimalkan sistem produksi produk

Lebih terperinci

sikap food Selain itu

sikap food Selain itu 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Kerangka Pemikiran Kegiatan usahaa berdagangg makanan memberikan dampak positif terhadap pembangunan untuk daerah tersebut, berupa peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian a. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri sarung tangan dan berlokasi di kota

Lebih terperinci

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK PENGEMASAN ASEPTIS DALAM ARTI SEMPIT BERARTI PENGISIAN BAHAN PANGAN DINGIN YANG TELAH DISTERILISASI DAN STERIL KE DALAM KEMASAN YANG TELAH DISTERILISASI DAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross sectional study, yaitu data dikumpulkan pada satu waktu. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Aktual Jumlah Frekuensi Cacat PT. X

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Aktual Jumlah Frekuensi Cacat PT. X BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PT. X merupakan perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur yang memproduksi sepatu. Sebagai salah satu perusahaan yang menghasilkan produk kelas dunia, maka kualitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Farmasi Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Industri obat jadi adalah industri yang

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH 55 BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH 3.1 Diagram Alir Penelitian Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian 56 3.2 Langkah-langkah Penelitian Dalam melakukan penelitian, terdapat beberapa kegiatan untuk dapat

Lebih terperinci

Biofouling Pada Industri Bir. Kelompok 1

Biofouling Pada Industri Bir. Kelompok 1 Biofouling Pada Industri Bir Kelompok 1 1 6-+*#( )&$%-'4#;(

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan (mendeskripsikan)

Lebih terperinci

PETUNJUK OPERASIONAL PENERAPAN PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK ANEKS 1 PEMBUATAN PRODUK STERIL EDISI 2013. POPP-Aneks 1-Ped-04/CPOB/2013

PETUNJUK OPERASIONAL PENERAPAN PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK ANEKS 1 PEMBUATAN PRODUK STERIL EDISI 2013. POPP-Aneks 1-Ped-04/CPOB/2013 PETUNJUK OPERASIONAL PENERAPAN PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK ANEKS 1 PEMBUATAN PRODUK STERIL EDISI 2013 POPP-Aneks 1-Ped-04/CPOB/2013 Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia 2013 PENGANTAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Industri Farmasi. Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 245/Menkes/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Industri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad)

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad) BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI 2.1 Perkembangan Lafi Ditkesad Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad) merupakan lembaga yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda.

Lebih terperinci

IV. KULTIVASI MIKROBA

IV. KULTIVASI MIKROBA IV. KULTIVASI MIKROBA PENDAHULUAN Untuk memperoleh kultur murni hasil isolasi dari berbagai tempat maka dibutuhkan alat, bahan dan metode seperti ilistrasi di bawah ini : Media Umum Diferensial Selektif

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa dan Pembahasan Produksi dan Defect Produk Dari data yang diambil, diketahui bahwa defect yang terjadi pada proses filling liquid produk obat sirup penurun panas

Lebih terperinci

LAMPIRAN SOP Setting Mesin 2. SOP Langkah Kerja 3. SOP Pemeriksaan 4. Flowchart Prosedur Usulan di Lantai Produksi

LAMPIRAN SOP Setting Mesin 2. SOP Langkah Kerja 3. SOP Pemeriksaan 4. Flowchart Prosedur Usulan di Lantai Produksi DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 1. SOP Setting Mesin 2. SOP Langkah Kerja 3. SOP Pemeriksaan 4. Flowchart Prosedur Usulan di Lantai Produksi Tujuan : Untuk mempermudah dalam melakukan setting mesin. Dan memastikan

Lebih terperinci

METODE PENGAMBILAN CONTOH UJI AIR.

METODE PENGAMBILAN CONTOH UJI AIR. METODE PENGAMBILAN CONTOH UJI AIR chamri@hotmail.com Perencanaan Pengambilan Contoh Air Menentukan tujuan pengambilan sampel air Menentukan alat pengambilan sampel yang sesuai Menentukan apakah alat pengambilan

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER RENCANA OGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER PERBEKALAN STERIL Oleh: Fita Rahmawati Pembimbing Drs. Djoko Dwiyanto, Msi PENATAAN DAN PELATIHAN PENYUSUNAN RPKPS DAN BAHAN AJAR UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGJAKARTA

Lebih terperinci

#10 MANAJEMEN RISIKO K3

#10 MANAJEMEN RISIKO K3 #10 MANAJEMEN RISIKO K3 Risiko adalah sesuatu yang berpeluang untuk terjadinya kematian, kerusakan, atau sakit yang dihasilkan karena bahaya. Selain itu Risiko adalah kondisi dimana terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Rekayasa

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Rekayasa III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Rekayasa Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Setiap produk diharapkan dapat memenuhi kebutuhankebutuhan konsumen. Salah satu hal yang menjadi kebutuhan konsumen yaitu kualitas produk yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERMASALAHAN

BAB IV ANALISA PERMASALAHAN BAB IV ANALISA PERMASALAHAN 4.1 Proses Produksi Bintang Toedjoe Panas Dalam Sebelum melakukan proses produksi, operator terlebih dahulu melakukan sanitasi hygiene mulai dari sanitasi diri, peralatan, mesin

Lebih terperinci

GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik

GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik HANDOUT MATA KULIAH : REGULASI PANGAN (KI 531) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

Produksi Sediaan Farmasi di Rumah Sakit

Produksi Sediaan Farmasi di Rumah Sakit Produksi Sediaan Farmasi di Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197/MENKES/SK/X/2004, kegiatan produksi yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan kegiatan membuat,

Lebih terperinci

Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt.

Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt. Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt. Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 16 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, serta Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di bulan april - mei tahun 2012, lokasi dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di bulan april - mei tahun 2012, lokasi dalam 34 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di bulan april - mei tahun 2012, lokasi dalam penelitian ini adalah kompleks pasar sentral Kota Gorontalo. 3.2 Desain

Lebih terperinci

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK PENGEMASAN ASEPTIS DALAM ARTI SEMPIT BERARTI PENGISIAN BAHAN PANGAN DINGIN YANG TELAH DISTERILISASI DAN STERIL KE DALAM KEMASAN YANG TELAH DISTERILISASI DAN

Lebih terperinci

Universitas Kristen Maranatha

Universitas Kristen Maranatha Tujuan : Untuk mempermudah dalam melakukan setting mesin. Dan memastikan setting mesin tepat, sehinggan tidak menyebabkan cacat. Ruang Lingkup : Lantai Produksi PT Aswi Perkasa Standar-standarnya : 1.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Gambar 3.1 Flow Chart Metodologi Penelitian Metodologi penelitian perlu ditentukan terlebih dahulu, agar di dalam mencari solusi untuk memecahkan masalah lebih terarah dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan dijelaskan langkah-langkah penelitian yang dilakukan. 3.1 Flow Chart

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini akan dijelaskan langkah-langkah penelitian yang dilakukan. 3.1 Flow Chart 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan langkah-langkah penelitian yang dilakukan. 3.1 Flow Chart Mulai Survey Perusahaan Identifikasi Maslah Rumuskan Masalah Menetapkan Tujuan Pengumpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Farmasi Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

Lebih terperinci

PEDOMAN KHUSUS UNTUK LABORATORIUM MIKROBIOLOGI *MENUJU AKREDITASI

PEDOMAN KHUSUS UNTUK LABORATORIUM MIKROBIOLOGI *MENUJU AKREDITASI PEDOMAN KHUSUS UNTUK LABORATORIUM MIKROBIOLOGI *MENUJU AKREDITASI ACUAN ISO/IEC 17025 :2005 Persyaratan Manajemen (Elemen 4.1-4.15) Persyaratan Teknis (Elemen 5.1-5.10) 1 FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN xxix HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari

Lebih terperinci

ANALISIS DATA. Universitas Indonesia. Peningkatan kualitas..., Wilson Kosasih, FT UI, 2009

ANALISIS DATA. Universitas Indonesia. Peningkatan kualitas..., Wilson Kosasih, FT UI, 2009 ANALISIS DATA 4.1 FASE ANALISA Fase ini merupakan fase mencari dan menentukan akar sebab dari suatu masalah. Kemudian, dilakukan brainstroming dengan pihak perusahaan untuk mengidentifikasi akar permasalahan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 32 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015 di Laboratorium Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

BERITA NEGARA. No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersifat dinamis dan merupakan masalah kesehatan yang sedang dihadapi terutama

BAB I PENDAHULUAN. bersifat dinamis dan merupakan masalah kesehatan yang sedang dihadapi terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen yang bersifat dinamis dan merupakan masalah kesehatan yang sedang dihadapi terutama oleh negara-negara

Lebih terperinci

PANDUAN MANAJEMEN RESIKO PUSKESMAS CADASARI PEMERINTAH KABUPATEN PANDEGLANG DINAS KESEHATAN UPT PUSKESMAS CADASARI

PANDUAN MANAJEMEN RESIKO PUSKESMAS CADASARI PEMERINTAH KABUPATEN PANDEGLANG DINAS KESEHATAN UPT PUSKESMAS CADASARI PANDUAN MANAJEMEN RESIKO PUSKESMAS CADASARI PEMERINTAH KABUPATEN PANDEGLANG DINAS KESEHATAN UPT PUSKESMAS CADASARI Jl. Raya Serang Km. 5, Kec. Cadasari Kab. Pandeglang Banten DAFTAR ISI BAB I MANAJEMEN

Lebih terperinci

#11 MANAJEMEN RISIKO K3

#11 MANAJEMEN RISIKO K3 #11 MANAJEMEN RISIKO K3 Risiko adalah sesuatu yang berpeluang untuk terjadinya kematian, kerusakan, atau sakit yang dihasilkan karena bahaya. Dari definisi tersebut, maka dapat dikatakan Manajemen Risiko

Lebih terperinci

PENGEMASAN INTRODUCTION PASSIVE PACKAGING INTRODUCTION 12/20/2012. Klasifikasi Beberapa Jenis Kemasan :

PENGEMASAN INTRODUCTION PASSIVE PACKAGING INTRODUCTION 12/20/2012. Klasifikasi Beberapa Jenis Kemasan : INTRODUCTION PENGEMASAN Klasifikasi Beberapa Jenis Kemasan : 1. Klasifikasi kemasan berdasarkan frekuensi pemakaian Disposable, Semi-Disposable dan Multi-trip 2. Klasifikasi kemasan berdasarkan struktur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku. Penerapan sanitasi dan higiene diruang penerimaan lebih dititik beratkan pada penggunaan alat dan bahan sanitasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Farmasi 2.1.1 Pengertian Industri Farmasi Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri

Lebih terperinci

Cara uji penetrasi aspal

Cara uji penetrasi aspal SNI 2432:2011 Standar Nasional Indonesia Cara uji penetrasi aspal ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi

Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi HANDOUT MATA KULIAH : REGULASI PANGAN (KI 531) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan suatu tahap - tahap yang harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum melakukan pemecahan suatu masalah yang akan dilakukan dalam melakukan suatu

Lebih terperinci

SEDIAAN INJEKSI (PARENTERAL)

SEDIAAN INJEKSI (PARENTERAL) BAB II SEDIAAN INJEKSI (PARENTERAL) PENDAHULUAN Setelah mahasiswa mengikuti kuliah bab II yang diberikan pada pertemuan kedua dan ketiga, diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan komponen, prinsip pembuatan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Sampel

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan  Metode Penelitian Sampel 16 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2012 di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

Tabel 4.1 Hasil Skor RPN. No. Moda Kegagalan (Failure Mode) Skor RPN

Tabel 4.1 Hasil Skor RPN. No. Moda Kegagalan (Failure Mode) Skor RPN 25 BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan data dengan menggunakan Metode FMEA dilakukan dengan melalui beberapa tahap, yaitu: 1. Mengidentifikasi moda kegagalan potensial

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terkait Dari topik yang akan penulis ambil untuk penelitian ini, penulis mencari beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan untuk dijadikan referensi. Diharapkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berperan penting dalam perusahaan selain manajemen sumber daya manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berperan penting dalam perusahaan selain manajemen sumber daya manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Manajemen Operasi 2.1.1 Konsep Manajemen Operasi Manajemen operasi merupakan salah satu fungsi bisnis yang sangat berperan penting dalam perusahaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan tingkat kerusakan dinding sel pada jamur Candida albicans merupakan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. dan tingkat kerusakan dinding sel pada jamur Candida albicans merupakan penelitian 49 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian tentang uji efektivitas jamu keputihan dengan parameter zona hambat dan tingkat kerusakan dinding sel pada jamur Candida albicans merupakan

Lebih terperinci

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK Di bidang teknologi pengemasan pangan, mungkin pengemasan aseptis merupakan teknologi pengemasan yang paling dinamis dalam perkembangannya Di Eropa, pengisian

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013.

III. MATERI DAN METODE. Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium Patologi Entomologi dan Mikrobiologi (PEM) Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi mastitis subklinis dengan rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap jumlah koloni Staphylococcus

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian bertempat di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian bertempat di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian bertempat di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Bahan dan Alat

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1 Jenis Cacat Berdasarkan hasil dari diagram pareto yang telah dibuat, dapat dilihat persentase masing-masing jenis cacat, yaitu cacat Haze dengan persentase sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan sebagai bahan bakar tungku alternatif baik skala kecil maupun

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan sebagai bahan bakar tungku alternatif baik skala kecil maupun BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Semua jenis industri khususnya industri manufaktur membutuhkan suatu kelancaran proses produksi dalam memenuhi tuntutan yang harus dipenuhi untuk menjaga kinerja

Lebih terperinci

LAPORAN PRATIKUM FARMASETIKA II SEDIAAN INJEKSI AMINOPHYLLIN 2,4%

LAPORAN PRATIKUM FARMASETIKA II SEDIAAN INJEKSI AMINOPHYLLIN 2,4% LAPORAN PRATIKUM FARMASETIKA II SEDIAAN INJEKSI AMINOPHYLLIN 2,4% Di susun oleh: Nama : Linus Seta Adi Nugraha No. Mahasiswa : 09.0064 Tgl. Pratikum : 28 Oktober-4 November 2010 LABORATORIUM TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada pellet calf starter dengan penambahan bakteri asam laktat dari limbah kubis terfermentasi telah dilaksanakan

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian BAB III METODE PENELITIAN III.1. Tahapan Penelitian Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian III.1.1. Studi Literatur Tahapan ini merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum memulai penelitian. Pada tahap

Lebih terperinci

Densitas = Jumlah koloni/cawan x 60m/30m x Luas cawan

Densitas = Jumlah koloni/cawan x 60m/30m x Luas cawan VI. PEMBAHASAN Mikroorganisme berdasarkan pengaruh hidupnya terhadap kehidupan manusia terbagi menjadi dua yaitu mikroorganisme pathogen dan mikroorganisme non- pathogen. Mikroorganisme pathogen adalah

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Industri Tugas Akhir Semester Genap tahun 2007/2008

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Industri Tugas Akhir Semester Genap tahun 2007/2008 UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Jurusan Teknik Industri Tugas Akhir Semester Genap tahun 2007/2008 Peningkatan kualitas untuk produk keranjang baju menggunakan SPC di PT. Surya Millinia Abadi Vicky 0800735993

Lebih terperinci

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER Ninik Lintang Edi Wahyuni Teknik Kimia - Politeknik Negeri Bandung Jl Gegerkalong Hilir Ciwaruga, Bandung 40012 Telp/fax :

Lebih terperinci

Metode Standar Rutin Dalam Analisa Mikrobiologi Air

Metode Standar Rutin Dalam Analisa Mikrobiologi Air Metode Standar Rutin Dalam Analisa Mikrobiologi Air Heterotropic Plate Count Perhitungan plate count sepert Heterotrophic Perhitungan plate count sepert Heterotrophic Plate Count biasanya menggunakan metode

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung dari bulan

Lebih terperinci

Pendahuluan. Proteksi Produk Proteksi Personil Proteksi Lingkungan

Pendahuluan. Proteksi Produk Proteksi Personil Proteksi Lingkungan Sistem AHU/HVAC Pendahuluan Sistem pengkondisian udara (tata udara) yg dipergunakan di industri farmasi yg mendukung proses produksi sesuai dg syarat yg ditetapkan Tujuan : Proteksi Produk Proteksi Personil

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM HIGIENE DAN SANITASI

PENUNTUN PRAKTIKUM HIGIENE DAN SANITASI PENUNTUN PRAKTIKUM HIGIENE DAN SANITASI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA Uji Kontaminasi Udara Ruang Pengolahan - Nutrient Agar ( ) Steril - Potato Dextrose

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kewaspadaan universal (Universal Precaution) adalah suatu tindakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kewaspadaan universal (Universal Precaution) adalah suatu tindakan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kewaspadaan Umum/Universal Precaution 2.1.1. Defenisi Kewaspadaan universal (Universal Precaution) adalah suatu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1. Metode Pengumpulan Data 2.1.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel nasi bungkus diambil dari penjual nasi bungkus di wilayah sekitar kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran.

Lebih terperinci

Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Mengapa antibiotik perlu ditentukan kadar atau potensinya? Efek penggunaan antimikroba yang meningkat, sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kualitas Seperti dituliskan oleh Syukron dan Kholil (2012), ada beberapa definisi kualitas dari para ahli kualitas. Definisi tersebut antara lain : Montgomery mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN. pembuatan buku, observasi dilakukan agar dapat lebih memahami proses pembuatan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN. pembuatan buku, observasi dilakukan agar dapat lebih memahami proses pembuatan BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengumpulan data Observasi dilakukan pada lantai Produksi dan dikhususkan pada proses pembuatan buku, observasi dilakukan agar dapat lebih memahami proses pembuatan buku,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI DASAR STERILISASI

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI DASAR STERILISASI LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI DASAR STERILISASI Disusun Oleh: Rifki Muhammad Iqbal (1211702067) Biologi 3 B Kelompok 6 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Farmasi 2.1.1 Pengertian Industri Farmasi Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri

Lebih terperinci

Per/II/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran; 10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata

Per/II/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran; 10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Farmasi 2.1.1 Pengertian Industri Farmasi Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat. Industri

Lebih terperinci

BAB V ANALISA HASIL. permukaan material terlihat bercak atau noda keputih-putihan. Bercak atau

BAB V ANALISA HASIL. permukaan material terlihat bercak atau noda keputih-putihan. Bercak atau BAB V ANALISA HASIL 5.1 Definisi Cacat a. Belang Dari hasil pengolahan data sebelumnya terlihat bahwa jenis cacat belang merupakan jenis cacat terbanyak. Jenis cacat belang merupakan jenis cacat dimana

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat Dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat Dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama 15

Lebih terperinci

PANDUAN INFECTION CONTROL RISK ASESSMENT (ICRA) KONSTRUKSI RS. BAPTIS BATU TAHUN 2014 RS BAPTIS BATU JL RAYA TLEKUNG NO 1 JUNREJO BATU

PANDUAN INFECTION CONTROL RISK ASESSMENT (ICRA) KONSTRUKSI RS. BAPTIS BATU TAHUN 2014 RS BAPTIS BATU JL RAYA TLEKUNG NO 1 JUNREJO BATU PANDUAN INFECTION CONTROL RISK ASESSMENT (ICRA) KONSTRUKSI RS. BAPTIS BATU TAHUN 2014 RS BAPTIS BATU JL RAYA TLEKUNG NO 1 JUNREJO BATU DAFTAR ISI Halaman Judul... Daftar Isi... Lembar Pengesahan... i ii

Lebih terperinci

PANDUAN ANALISIS MODUS KEGAGALAN & DAMPAK (AMKD) Failure Mode,Effect and Analysis (FMEA)

PANDUAN ANALISIS MODUS KEGAGALAN & DAMPAK (AMKD) Failure Mode,Effect and Analysis (FMEA) PANDUAN ANALISIS MODUS KEGAGALAN & DAMPAK (AMKD) Failure Mode,Effect and Analysis (FMEA) RSU ATTUROTS AL ISLAMY SLEMAN 2015 DAFTAR ISI DAFTAR ISI...2 BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...3 B. TUJUAN...3

Lebih terperinci

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK 7 2013, No.122 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.33.12.12.8195 TAHUN 2012 TENTANG PENERAPAN PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK PENDAHULUAN PRINSIP

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tahap Pendahuluan Tahap pendahuluan terdiri dari empat langkah utama yaitu pengamatan awal, perumusan masalah, menentukan tujuan penelitan dan menentukan batasan masalah.

Lebih terperinci

Teknik Isolasi Bakteri

Teknik Isolasi Bakteri MODUL 3 Teknik Isolasi Bakteri POKOK BAHASAN : 1. Pengenceran Suspensi Bakteri dari Sumber Isolat/Lingkungan 2. Teknik Isolasi Bakteri (Solid and Liquid Medium) TUJUAN PRAKTIKUM : 1. Memahami persiapan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian BAB III METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan Agustus dan November 2011, yang berlokasi di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Mesin

Lebih terperinci

Bab 3 Metodologi Pemecahan Masalah

Bab 3 Metodologi Pemecahan Masalah Bab 3 Metodologi Pemecahan Masalah 3.1. Flowchart Pemecahan Masalah Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka sebelumnya penulis membuat perencanaan tentang langkah-langkah pemecahan masalah

Lebih terperinci

Hartoyo (Dosen Pendidikan Teknik Elektro FT UNY)

Hartoyo (Dosen Pendidikan Teknik Elektro FT UNY) UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN MODUL BERBASIS KOMPETENSI Hartoyo (Dosen Pendidikan Teknik Elektro FT UNY) ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi

Lebih terperinci

KAJIAN RESIKO PENGENDALIAN INFEKSI MATRIX PENCEGAHAN UNTUK PEMBANGUNAN DAN RENOVASI

KAJIAN RESIKO PENGENDALIAN INFEKSI MATRIX PENCEGAHAN UNTUK PEMBANGUNAN DAN RENOVASI KAJIAN RESIKO PENGENDALIAN INFEKSI MATRIX PENCEGAHAN UNTUK PEMBANGUNAN DAN RENOVASI Langkah Pertama : Identifikasi Tipe Aktifitas Proyek Konstruksi (Tipe A-D) Tipe Aktifitas inspeksi dan non-invasif. A

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Waktu, Lokasi Pengambilan Tanah Gambut dan Tempat Penelitian Bahan gambut berasal dari Kabupaten Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Siak, dan Kampar, Provinsi Riau dari

Lebih terperinci