Analisis Hubungan Dana Perimbangan dengan Kinerja Pelayanan Dasar Publik di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis Hubungan Dana Perimbangan dengan Kinerja Pelayanan Dasar Publik di Indonesia"

Transkripsi

1 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Analisis Hubungan Dana Perimbangan dengan Kinerja Pelayanan Dasar Publik di Indonesia Improving the Policy Framework for Fiscal Decentralisation (the Grand Design of Fiscal Decentralization) 2011

2

3 Kata Pengantar Kata Pengantar Buku Laporan Analisis Hubungan Dana Perimbangan dengan Kinerja Pelayanan Dasar Publik di Indonesia ini disusun sebagai hasil pelaksanaan kegiatan kajian di tahun 2011 yang dilakukan oleh Pusat Kebijakan APBN-Badan Kebijakan Fiskal bekerjasama dengan Bank Dunia Jakarta. Latar belakang penyusunan kajian ini adalah sebagai salah satu bentuk upaya untuk melakukan evaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal yang sudah berjalan selama satu dekade di Indonesia. Secara umum, proses desentralisasi fiskal membawa pengaruh terhadap peningkatan beberapa indikator utama pelayanan publik, salah satunya di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun, dalam kenyataannya hal tersebut tidak selalu terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Terdapat beberapa daerah yang memang mengalami peningkatan dalam pelayanan publik dan sebaliknya, masih terdapat juga beberapa daerah yang mengalami hambatan dalam peningkatan layanan publik di daerahnya. Selanjutnya, alokasi dana perimbangan baik secara total maupun berdasarkan jenisnya ternyata tidak secara langsung mempengaruhi kinerja layanan publik di daerah. Pola belanja dan efektifitas belanja daerah sangat mempengaruhi peningkatan layanan publik di daerah. Selain itu, faktor lain seperti komitmen politik pimpinan di daerah dan koordinasi antarinstansi baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan, sangat mempengaruhi keberhasilan peningkatan pelayanan dasar publik di daerah. Dari hasil kajian ini juga dapat diketahui bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan jenis dana transfer ke daerah yang relatif berpengaruh langsung terhadap peningkatan layanan publik di daerah seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dibandingkan jenis dana perimbangan lainnya. Kerjasama yang baik antara Tim pada Pusat Kebijakan APBN-Badan Kebijakan Fiskal dan Bank Dunia Jakarta telah menghasilkan kajian yang bermanfaat. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselenggaranya kegiatan kajian hingga penyusunan akhir laporan ini. Kami berharap akan semakin banyak kajian evaluasi dana transfer ke daerah yang dilakukan karena kajian tersebut sangat bermanfaat dalam memberikan masukan kepada pengambil kebijakan terutama menyangkut kebijakan desentralisasi fiskal. Luky Alfirman, Ph.D Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal i

4

5 Daftar Isi Daftar Isi Kata Pengantar... i Daftar Isi.i Daftar Tabel..ii Daftar Gambar... iii Bagian 1 Pendahuluan Latar Belakang Kondisi Indonesia Kerangka Penelitian Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Metodologi Penelitian Sistematika Penulisan... 5 Bagian 2 Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia Tinjauan Literatur Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Transfer ke Daerah... 8 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar Perkembangan komposisi dana perimbangan Gambaran Umum Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana Bagi Hasil Perkembangan hasil-hasil pelayanan publik Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Ekonomi Bagian 4 Analisis Empiris Dampak Alokasi Dana Perimbangan dan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan terhadap Kinerja Pelayanan Publik Analisis kuantitatif Data dan Metodologi Spesifikasi Model Ekonometri Analisis dan Hasil Ekonometri Analisis kualitatif Metodologi Pemilihan Sampel Gambaran Umum Daerah Sampel Pengelolaan Program dan Kegiatan di Daerah Pemanfaatan Dana Perimbangan di daerah Bagian 5 Kesimpulan Bagian 6 Rekomendasi Daftar Pustaka Lampiran. 52 i

6 Daftar Isi Daftar Tabel Tabel 1.1. Kondisi Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal... 2 Tabel 1.2. Perkembangan Outcome dalam Pelayanan Publik... 4 Tabel 2.1. Struktur Transfer ke Daerah Tahun Tabel 3.1. Rata-rata Persentase Desa yang Mempunyai Jalan Beraspal Tabel 3.2. Median Koefisiein Gini/Tingkat Kesenjangan per Kelompok Pulau Tabel 4.1. Hasil Regresi Antara Total Dana Perimbangan Dengan Indikator Sosial-Ekonomi (Level) Tabel 4.2. Hasil Regresi Antara Total Dana Perimbangan (Tanpa Gaji) Dengan Indikator Sosial-Ekonomi (Level) Tabel 4.3. Hasil Regresi Antara Jenis-Jenis Alokasi Dana Dengan Indikator Sosial-Ekonomi (Level) Tabel 4.4. Hasil Regresi Antara Total Dana Perimbangan Dengan Indikator Sosial-Ekonomi (Difference) Tabel 4.5. Hasil Regresi Antara Jenis-Jenis Dana Perimbangan Dengan Indikator Sosial-Ekonomi (Difference) Tabel 4.6. Kriteria Pemilihan Daerah Tabel 4.7. Data Daerah Sampel Tabel 4.8. Gambaran Sosial Daerah Sampel Daerah Maju Tabel 4.9. Gambaran Sosial Daerah Sampel Daerah Kurang Maju Tabel Rata-Rata Persentase Penerimaan APBD Per Tahun * Tabel Rata-Rata Belanja APBD Per Tahun, (periode ) Tabel Dasar Pertimbangan Perencanaan Daerah Tabel Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Kegiatan Daerah ii

7 Daftar Isi Daftar Gambar Gambar 1.1. Besaran Transfer ke Daerah atas Dasar Harga Riil Tahun Gambar 2.1. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah... 7 Gambar 3.1. Perkembangan Komposisi Total Pendapatan Daerah untuk Seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, Gambar 3.2. Perkembangan Total Dana Perimbangan Seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, Gambar 3.3. Perkembangan Komponen Dana Perimbangan Seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun Gambar 3.4. Rata- rata Total Dana Perimbangan Perkapita untuk Kabupaten/Kota Se-Provinsi Gambar 3.5. Rata-rata DAU Per kapita Kabupaten/Kota berdasarkan Provinsi Gambar 3.6. Distribusi DAU perkapita dan Jumlah Kapasitas Fiskal maupun Populasi tahun Gambar 3.7. Tren dan Komposisi Alokasi DAK per sektor Gambar 3.8. Komposisi Cakupan Sektoral DAK tahun Gambar 3.9. Rata-rata Dana Alokasi Khusus Perkapita untuk Setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia berdasarkan Provinsi Gambar Rata-rata DBH Pajak Perkapita untuk Kabupaten/Kota berdasarkan Provinsi Gambar Rata-rata DBH SDA Perkapita Kabupaten/Kota berdasarkan Provinsi Gambar Rata-rata APM Sekolah per Kabupaten/Kota Tahun Gambar APM SMP Kabupaten/Kota Tahun 1999 dan Gambar Rata-rata Lama Bersekolah per Kabupaten/Kota Gambar Rata-rata Angka Melek Huruf Gambar Penggunaan Layanan Kesehatan di Tingkat Kabupaten/Kota Gambar Tren Nasional Persentase Balita yang Mendapatkan Imunisasi Gambar Rata-rata Angka Cakupan Imunisasi Balita per Kabupaten/Kota Gambar Perkembangan Persentase Persalinan dengan Tenaga Kesehatan Terlatih Gambar Rata-rata Persentase Persalinan dengan Tenaga Kesehatan Terlatih per Kabupaten/Kota Gambar Rata-rata Rasio Dukun Bayi per Penduduk di Tingkat Kabupaten/Kota Gambar Rata-rata Persentase Rumah Tangga Terhadap Air Layak Konsumsi dan Sanitasi di Tingkat Kabupaten/Kota Gambar Rata-rata Persentase Akses Rumah Tangga Terhadap Listrik per Kabupaten/Kota Gambar Rata-rata Persentase Akses Rumah Tangga Terhadap Listrik PLN di Tingkat Kabupaten/Kota Gambar Rata-rata Persentase Sawah Irigasi pada Tingkat Kabupaten/Kota Gambar Perkembangan Total PDRB Riil per Kapita (Harga Konstan 2000) Gambar Rata-rata PDRB Riil di Tingkat Kabupaten/Kota Gambar Rata-rata Persentase Penduduk Miskin di Tingkat Kabupaten/Kota Gambar 4.1. Hasil Pemilihan Daerah Sampel Gambar 4.2. Prioritas Pengalokasian Anggaran oleh Daerah iii

8

9 Bagian 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 2001 sejalan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Pelaksanaan kebijakan tersebut selama satu dekade telah membawa Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi di dunia dalam kurun waktu yang relatif singkat. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah pada dasarnya merupakan tanggapan atas berbagai aspirasi daerah di Indonesia, yang sebenarnya telah cukup lama menginginkan peningkatan peran dan kemandirian dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya untuk pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal didasarkan atas UU Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Berdasarkan kedua UU tersebut maka otonomi daerah dilaksanakan secara luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan yang dimilikinya, termasuk konsekuensi kewajibankewajibannya, dengan tujuan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kebijakan tersebut adalah suatu sistem pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional dan adil dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan kepada daerah. Dengan demikian, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya terfokus kepada dana bantuan dari pusat dalam bentuk perimbangan keuangan saja namun juga terfokus kepada kemampuan daerah dalam memanfaatkan, mendayagunakan, dan mengelola potensi-potensi yang ada di daerah, dengan tujuan melakukan peningkatan pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah. Mengingat pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah berjalan selama satu dasawarsa, maka perlu dilakukan penilaian atas dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap peningkatan pelayanan publik, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Untuk itu, Pusat Kebijakan APBN Badan kebijakan Fiskal bekerjasama dengan Worldbank Jakarta melakukan kajian untuk mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dan pengaruhnya terhadap pelayanan publik.

10 Bagian 1 Pendahuluan 1.2. Kondisi Indonesia Secara garis besar desentralisasi dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis: (1) desentralisasi politik, berupa pelimpahan kewenangan menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan yang lebih besar kepada daerah; (2) desentralisasi administrasi, berupa redistribusi kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya diantara berbagai tingkat pemerintahan; dan (3) desentralisasi fiskal, berupa pendelegasian kewenangan untuk menggali sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Pelaksanaan ketiga jenis desentralisasi tersebut di Indonesia tertera pada Tabel 1. Tabel 1.1. Kondisi Sebelum dan Setelah Desentralisasi Fiskal Jenis Desentralisasi Sebelum Desentralisasi Fiskal Setelah Desentralisasi Fiskal Desentralisasi Politik Desentralisasi Administrasi Pemilihan pemimpin nasional dan daerah secara semi langsung. Kewenangan Pemerintah Pusat sangat luas, kewenangan kab/kota terbatas. Jumlah wilayah relatif konstan dari tahun ke tahun (jumlah provinsi 27 dan kabupaten/kota 292). Jumlah PNSD masih relatif kecil, sekitar 0,7 juta orang pada tahun 1999 Pemilihan pimpinan nasional dan daerah secara langsung oleh masyarakat. Kewenangan Pemerintah Pusat terbatas, kewenangan kab/kota bertambah. Pemekaran wilayah berkembang dengan pesat (jumlah provinsi 33 dan kabupaten/ kota 491 tahun 2010). Jumlah PNSD sangat besar mencapai orang pada tahun Transfer ke daerah sangat terbatas (18 persen dari belanja APBN 2000) Desentralisasi Fiskal Kewenangan memungut pajak bagi daerah masih terbatas Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Alokasi transfer ke daerah yang masuk APBD meningkat cukup besar (33 persen dari belanja APBN 2010) Peningkatan kewenangan daerah dalam memungut pajak Dalam era otonomi daerah, sebagian besar urusan pemerintahan telah didelegasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sesuai amanat pasal 10 ayat (1) dan (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan pemerintahan yang sepenuhnya masih dipegang oleh pemerintah pusat hanya meliputi enam urusan, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Salah satu konsekuensi dari semakin besarnya kewenangan daerah adalah penambahan jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD) secara signifikan dari 0,7 juta orang pada tahun 1999 menjadi sebanyak 3.0 juta orang pada tahun Di samping itu peranan pemerintah daerah yang besar juga telah meningkatkan besaran belanja APBD seluruh daerah dari Rp38,5 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp367,0 triliun pada tahun 2008 (sumber website DJPK). Fenomena lain yang terjadi sejalan dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pemekaran wilayah. Sebelum tahun 2000 jumlah daerah di Indonesia hanya sebanyak 27 provinsi dan 292 kabupaten/kota. Jumlah daerah tersebut saat ini telah berkembang menjadi 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota. Di samping itu, seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia, dilaksanakan juga pemilihan kepala daerah secara langsung baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Bahkan, pemilihan kepala daerah secara langsung lebih dahulu dilaksanakan sebelum pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh 2

11 Bagian 1 Pendahuluan rakyat yang baru dilaksanakan pada tahun Dengan perubahan ini, seorang anggota masyarakat yang memiliki hak suara dapat memilih langsung wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota dan provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta memilih langsung pemimpinnya di tingkat kabupaten/kota (bupati/walikota), provinsi (gubernur), dan pusat (presiden). Sesuai dengan prinsip uang mengikuti fungsi atau money follows functions, dalam rangka memberikan pendanaan atas pendelegasian kewenangan pemerintahan yang telah dialihkan, pemerintah pusat memberikan anggaran transfer ke daerah serta mendelegasikan hak untuk memungut pajak kepada daerah (local taxing power). Di samping kedua sumber pembiayaan dimaksud, daerah juga masih diberikan kesempatan untuk melakukan pengelolaan badan usaha milik daerah dan melakukan pinjaman untuk membiayai APBD-nya. Selain itu untuk membiayai pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Di dalam APBN, dana ini dialokasikan melalui mekanisme belanja kementerian/lembaga sehingga tidak tercatat dalam pos APBD seperti halnya alokasi transfer ke daerah. Dana transfer ke daerah yang terdiri atas dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana penyesuaian masih merupakan sumber pembiayaan yang utama bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di sebagian besar daerah sampai saat ini. Dari jenis transfer tersebut, dana perimbangan merupakan jenis transfer yang paling dominan. Alokasi dana perimbangan tersebut mengalami peningkatan yang cukup pesat bila dibandingkan dengan alokasi dana serupa pada periode desentralisasi fiskal, dimana transfer dari pemerintah pusat terdiri atas komponen bagi hasil, subsidi daerah otonom (SDO), dan dana Inpres. Dengan mengacu kepada nilai riil pada tahun 2007, total alokasi dana-dana tersebut terlihat pada Grafik 1. Gambar 1.1. Besaran Transfer ke Daerah atas Dasar Harga Riil Tahun 2007 Sumber: Kementerian Keuangan. Selain untuk mengatasi kesenjangan fiskal, alokasi transfer ke daerah juga ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik di daerah. Dalam Tabel 2 dapat dilihat beberapa kemajuan pelayanan publik selama era desentralisasi. Di bidang pendidikan, angka partisipasi murni (APM) SD dan SMP menunjukkan peningkatan masing-masing dari 91,5 persen dan 54,5 persen, pada tahun 1996, menjadi 94,4 persen dan 67,4 persen pada tahun Di bidang kesehatan angka ibu melahirkan dengan ditolong oleh tenaga medis terlatih telah meningkat dari 50,2 persen pada tahun 1996 menjadi 77,4 persen pada tahun 2009; angka cakupan imunisasi balita telah meningkat dari 88,3 persen pada tahun 1996 menjadi 94,3 persen pada tahun Di bidang pembangunan infrastruktur, akses rumah tangga terhadap listrik PLN pada tahun 1996 mencapai 68,5 persen dan pada tahun 2009 telah mencapai 89,3 persen. Meskipun demikian, kemajuan pelayanan publik tersebut tidak semata-mata dipengaruhi oleh besarnya dana transfer dari pusat ke daerah. 3

12 Bagian 1 Pendahuluan Tahun APM SD usia (7-12) Tabel 1.2. Perkembangan Outcome dalam Pelayanan Publik APM SMP usia (13-15) Kelahiran Dibantu Tenaga Medis (persen) Cakupan Imunasi pada Balita ( persen) Akses RT terhadap Air Bersih (persen) Akses RT terhadap Listrik (PLN & non-pln) (persen) Akses RT terhadap Listrik PLN (persen) ,46 54,53 50,2 88,3 38,4 72,3 68, ,88 60,47 64,2 92,1 47,1 86,3 83, ,37 67,43 77,4 94,3 58,0 93,5 89,3 Sumber: BPS, diolah Kerangka Penelitian Kebijakan desentralisasi fiskal dimaksudkan untuk menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang demokratis dan memberikan pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik, sedemikian rupa sehingga keberhasilan pelaksanaan sistem desentralisasi fiskal akan tercermin dari semakin baiknya tingkat pelayanan kepada masyarakat (Susiati Hirawan, 2007). Di sisi lain, begitu besarnya dana transfer ke daerah yang menjadi bagian terbesar dalam pembiayaan APBD telah menjadikan transfer ke daerah sebagai instrumen desentralisasi fiskal yang paling utama dalam satu dasawarsa ini. Berdasarkan kondisi tersebut penelitian ini akan dititikberatkan pada penilaian dampak transfer ke daerah terhadap peningkatan pelayanan publik di daerah. Disamping itu mengingat besarnya alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang juga dibelanjakan di daerah, maka dalam penelitian ini juga akan dilihat peranan pemerintah daerah dalam pemanfaatan dana-dana tersebut dalam mempercepat pembangunan di daerahnya. Meskipun demikian, tidak semua outcome pelayanan publik di daerah dapat diukur dengan menggunakan basis data yang tersedia. Oleh karena itu dengan memperhatikan keterbatasan yang ada, kajian akan dilakukan dengan pembatasan pada tiga jenis outcome pelayanan publik yang dianalisis yaitu pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Secara sistematis, hubungan transfer ke daerah dan pelayanan publik sebenarnya dapat dianalisis melalui dua tahapan yaitu tahap pertama dilakukan dengan melihat hubungan alokasi transfer terhadap pola belanja daerah baik secara klasifikasi ekonomi maupun sektoral. Tahapan selanjutnya dilakukan dengan melihat hubungan dari pola belanja pemerintah daerah tersebut dengan pencapaian pelayanan dasar di daerah. Dalam kajian ini, sistematika tersebut tidak dilakukan sepenuhnya. Analisis dilakukan dengan melihat hubungan transfer ke daerah secara langsung terhadap pelayanan publik. Adapun penjelasan terkait dengan pola belanja daerah, digunakan sebagai kelengkapan analisis deskriptif. Selanjutnya mengingat komponen alokasi dana perimbangan yang merupakan komponen terbesar dalam transfer ke daerah (>95 persen), maka transfer yang dimaksud dalam kajian ini setelah periode desentralisasi merupakan alokasi dana perimbangan, yang sekaligus dijadikan faktor independen. 4

13 Bagian 1 Pendahuluan Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam kajian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi pelayanan publik pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi; 2. Apakah transfer ke daerah di Indonesia berpengaruh positif terhadap upaya memberikan pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; 3. Seberapa besar pengaruh dari masing-masing jenis dana transfer ke daerah terhadap upaya pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik di daerah; 4. Bagaimana pemanfaatan dana transfer ke daerah (dana perimbangan) dan alokasi dana lain (Dekon TP) setelah periode desentralisasi oleh pemerintah daerah Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kondisi pelayanan publik pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi; 2. Mengetahui besarnya pengaruh dana transfer ke daerah terhadap upaya pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik di daerah; 3. Mengetahui pengaruh masing-masing jenis dana transfer ke daerah dalam upaya peningkatan pelayanan publik di daerah; 4. Menganalisis pola pemanfaatan dana transfer ke daerah oleh pemerintah daerah; 5. Menganalisis peranan pemerintah daerah dalam memanfaatkan dana lain di luar transfer ke daerah (dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan) untuk pembangunan di daerah Metodologi Penelitian Dalam kajian ini akan digunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif menggunakan regresi data panel indikator pelayanan publik dengan alokasi transfer ke daerah dan Dekon/TP. Data yang digunakan dalam analisis kuantitatif adalah data besaran alokasi transfer ke daerah periode sebelum dan sesudah desentralisasi ( ). Untuk menetralkan pengaruh perubahan harga, digunakan tingkat harga tahun Sementara itu analisis kualitatif dilakukan melalui studi lapangan ke beberapa daerah sampel yang dipilih dengan mempertimbangkan beberapa kriteria tertentu Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini akan terdiri dari 5 bagian. Dalam bagian pertama disajikan pendahuluan yang berisi latar belakang, sekilas kondisi Indonesia setelah desentralisasi fiskal, dan kerangka penelitian. Pada bagian kedua akan dibahas tentang kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Bagian ketiga akan berisi analisis perkembangan dana perimbangan dan pelayanan publik. Bagian keempat berisi analisis empiris antara alokasi dana perimbangan dan kinerja pelayanan publik. Terakhir pada bagian kelima adalah kesimpulan dan rekomendasi. 5

14 Bagian 2 Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia 2.1. Tinjauan Literatur Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah merubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi salah satu negara terdesentralisasi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Meskipun demikian, peralihan sistem tersebut dapat dikatakan berjalan cukup lancar terutama jika dilihat dari tidak adanya konflik sosial dan politik berarti yang terjadi akibat peralihan sistem dimaksud (Brodjonegoro, 2004). Secara umum pelaksanaan desentralisasi di berbagai belahan dunia dipicu oleh keinginan atau upaya untuk memperoleh layanan publik yang lebih baik (Dilinger, 1994). Selain itu desentralisasi fiskal muncul sebagai alternatif solusi yang diyakini banyak kalangan mampu menjadi alat yang efektif dalam meningkatkan efisiensi pengeluaran publik dan/atau sebagai bentuk kekecewaan atas sistem sentralisasi yang panjang dan gagal dalam suatu rezim (Martinez-Vazques dan Mcnab, 1997). Hal ini searah dengan latar belakang sistem desentralisasi di Indonesia yang lebih didorong oleh perubahan dan perkembangan situasi politik di Indonesia saat itu, di samping tekanan krisis ekonomi yang terjadi secara bersamaan. Beberapa pakar berpendapat bahwa perubahan sistem di Indonesia pada akhirnya akan membawa dampak positif bagi pembangunan manusia Indonesia. Hal ini karena diyakini bahwa semakin dekat pemerintah kepada masyarakatnya semakin efisien pemerintah menanggapi kebutuhan masyarakat terutama dalam memberikan pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Desentralisasi juga akan lebih mampu menyukseskan tujuantujuan pembangunan lewat pemberian hak kontrol kepada masyarakat yang memiliki informasi, dan insentif untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Susiati Hirawan, 2007). Selain itu pemberian tanggung jawab dan kewenangan yang lebih kepada daerah dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi dari layanan publik (Bardhan, 1997). Namun dalam perkembangannya, pendapat-pendapat tersebut banyak pula dikritik oleh pakar lain, terutama terhadap pengaplikasiannya di negara-negara berkembang. Argumen yang mendasari kritik tersebut adalah bahwa pemerintah lokal di negara-negara berkembang tidak memenuhi asumsi yang dibutuhkan dalam menjawab kebutuhan masyarakat lokal secara efisien karena aspek-aspek tertentu, misalnya terlalu rentan terhadap kekuatan elit politik lokal, keterbatasan sumber daya manusia, keuangan, dan teknis, serta keterbatasan akuntabilitas. Pemerintah daerah juga berkecenderungan melakukan belanja secara berlebihan sebagai akibat dari tambahan pendanaan dari transfer yang bersifat umum (Tanzi, 2000; Prod hume, 1995; serta Alesia dan Perotti, 1995). Selain itu ditemukan juga fakta bahwa di banyak negara berkembang ternyata desentralisasi menyebabkan berbagai pengeluaran yang tidak produktif oleh pemerintah daerah (Chu, 1995). Fakta lain menunjukkan bahwa di masyarakat desa yang heterogen dan relatif terbelakang, sebagian besar manfaat dari program-program sosial yang didesentralisasikan justru dinikmati oleh para elit lokal (Bardhan, 1999; serta Galasso dan Ravallion, 2000). Dua paham yang saling bertolak belakang ini memberikan pertanyaan penting mengenai posisi dan kondisi di Indonesia. Sampai saat ini masih belum jelas apakah pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia telah mampu meningkatkan pelayanan publik seperti yang dijanjikan dalam pendapat yang pertama atau justru sebaliknya. Hal ini karena belum pernah dilakukan pengukuran yang komprehensif atas dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap peningkatan pelayanan publik di Indonesia.

15 Bagian 2 Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia 2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur sendiri fiskalnya sesuai dengan aspirasi masyarakat dan potensi ekonomi daerah, atau yang biasa dikenal dengan istilah desentralisasi fiskal. Sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 Tahun 2007, semua urusan pemerintahan selain politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama, telah didesentralisasikan ke daerah. Untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintah yang didesentralisasikan, maka pemerintah daerah harus didukung dengan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan pemerintah daerah itu sendiri maupun yang berasal dari pemerintah pusat. Pengaturan hal tersebut tertuang dalam dalam UU Nomor 33 Tahun Undang-undang dimaksud, mendefinisikan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah sebagai suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Secara garis besar terdapat tiga bentuk pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah. Pertama, desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Kedua, dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dan ketiga, tugas pembantuan, yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Gambar 2.1. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Pemerintah Pusat Sumber pendanaan Pemerintah Daerah APBD Pelaksanaan Kewenangan DBH DAU DAK SiLPA Tahun Lalu Dana Cadangan APBN APBN Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Pinjaman Daerah 7

16 Bagian 2 Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia Prinsip utama dalam melaksanakan pelimpahan kewenangan urusan pemerintahan adalah uang mengikuti fungsi, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Berdasarkan prinsip ini semua penugasan/pelimpahan kewenangan harus diikuti pula dengan sumber-sumber pembiayaannya. Mengacu pada prinsip itu, penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sedangkan penyelenggaraan urusan Pemerintah Pusat dalam rangka dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan, didanai melalui APBN (Gambar 2.1) Transfer ke Daerah Secara umum penerimaan pemerintah termasuk pemerintah daerah terdiri atas pajak, retribusi (user charge), dan pinjaman (Musgrave dan Musgrave, 1989). Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dinyatakankan bahwa penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari (1) pendapatan asli daerah (PAD); (2) dana perimbangan; dan (3) lain-lain Pendapatan. Sementara itu Pembiayaan daerah terdiri atas (1) sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; (2) penerimaan Pinjaman Daerah; (3) dana cadangan daerah; dan (4) hasil penjualan kekayaan Daerah Dari seluruh komponen penerimaan daerah dalam APBD, bagi sebagian besar daerah, transfer ke daerah merupakan komponen terbesar dalam sumber pendanaan APBD. Pada awal masa otonomi daerah, transfer ke daerah diatur dalam UU Nomor 25 Tahun Dengan penetapan UU tersebut, terdapat perubahan mendasar atas pola hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah dengan dialokasikannya dana perimbangan. Dalam perkembangannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui revisi atas UU Nomor 25 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 33 Tahun Beberapa perubahan terkait dengan kebijakan dana perimbangan adalah: (1) penambahan DBH migas untuk daerah sebesar 0,5 persen untuk membiayai anggaran pendidikan dasar, (2) Pengalihan DAK reboisasi menjadi DBH kehutanan, (3) perubahan formula perhitungan DAU dan perubahan besaran porsi pagu DAU, dan (4) perubahan kriteria pengalokasian DAK. Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 dana transfer ke daerah terdiri dari : (1) Dana Perimbangan; dan (2) Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dana Perimbangan terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Dana otonomi khusus terdiri atas dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat serta dana otonomi khusus untuk NAD. Sementara untuk komponen dana penyesuaian yang bersifat ad-hoc, terdiri atas beberapa jenis dana yang penamaannya mengalami perubahan/penambahan setiap tahun anggaran. Struktur ringkas transfer ke daerah pada tahun 2011 disajikan dalam Tabel

17 Bagian 2 Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia Tabel 2.1. Struktur Transfer ke Daerah Tahun 2011 TRANSFER KE DAERAH I. DANA PERIMBANGAN A. DANA BAGI HASIL 1. Dana Bagi Hasil Pajak a. Pajak Penghasilan i. Pasal 21 ii. Pasal 25/29 Orang Pribadi b. Pajak Bumi dan Bangunan c. Cukai Hali Tembakau 2. Sumber Daya Alam a. Minyak dan Gas Bumi i. Minyak Bumi ii. Gas Bumi b. Pertambangan Umum i. Iuran Tetap ii. Royalti c. Kehutanan i. Provisi Sumber Daya Hutan ii. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan iii. Dana Reboisasi d. Perikanan e. Pertambangan Panas Bumi B. DANA ALOKASI UMUM C. DANA ALOKASI KHUSUS II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN A. DANA OTONOMI KHUSUS 1. Dana Otonomi Khusus i. Dana Otonomi Khusus Propinsi Papua dan Papua Barat ii. Dana Otonomi Khusus Propinsi Aceh 2. Dana Tambahan Otonomi Khusus Infrastruktur Propinsi Papua i. Papua ii. Papua Barat B. DANA PENYESUAIAN 1 Dana Tambahan Tunjangan Profesi Guru 2. Bantuan Operasional Sekolah 3. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD 4. Dana Insentif Daerah 5. Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah 6. Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Propinsi Papua TA Kurang Bayar DAK Tahun Kurang Bayar DISP Tahun Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah 10. Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD) 11. Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan (DPPIP) Sumber: Nota Keuangan Tahun

18 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar 3.1. Perkembangan komposisi dana perimbangan Gambaran Umum Transfer dari pusat merupakan komponen pendapatan terbesar dalam APBD sejak sebelum desentralisasi. Sebelum periode desentralisasi, transfer dari pusat terdiri dari komponen bagi hasil, subsidi daerah otonom (SDO), dan Inpres. Dalam era desentralisasi, komponen SDO dan Inpres telah berubah menjadi DAU yang bersifat block grant dan DAK yang bersifat specific grant. Secara rata-rata dari tahun 1996 hingga 2009, proporsi transfer dari pusat ke daerah mencapai 86 persen dari total pendapatan daerah 1. Di luar dari komponen dana perimbangan, pendapatan daerah terdiri dari PAD dan pendapatan daerah lainnya yang secara rata-rata dalam periode yang sama berkontribusi sebesar 14 persen terhadap pendapatan daerah. Jika dilihat kecenderungannya, proporsi PAD terhadap pendapatan APBD mengalami penurunan dari 13 persen pada tahun 1996 menjadi 6 persen pada tahun 2008, sedangkan pendapatan daerah lainnya meningkat dari 1 persen menjadi 7 persen pada periode yang sama. Gambar 3.1. Perkembangan Komposisi Total Pendapatan Daerah untuk Seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, % 80% 60% 40% 20% 0% Berdasarkan nilai riil tahun 2007, dalam periode , dana perimbangan dari pusat telah meningkat hampir 4 kali lipat dari Rp.44,5 triliun menjadi Rp.209,8 triliun, dengan pertumbuhan ratarata sebesar 28,6 persen per tahun. Selama periode PAD Dana Transfer Pendapatan Lainnya Sumber: SIKD, Kementerian Keuangan, diolah. Catatan: Nilai merupakan nilai riil, 2007=100. Nilai tahun 2008 merupakan nilai anggaran. tersebut, terdapat 2 periode dengan peningkatan alokasi dana perimbangan secara signifikan. Periode pertama adalah saat dimulainya era desentralisasi pada tahun 2001, dimana alokasi dana perimbangan meningkat sebesar 163 persen dari Rp.45,1 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp.118,7 triliun pada tahun Periode kedua terjadi pada tahun 2006 karena adanya peningkatan cukup signifikan pada harga minyak di pasar internasional. Dana perimbangan yang dialokasikan pada periode tersebut meningkat dari Rp.144,6 triliun menjadi Rp.195,7 triliun atau meningkat sebesar 35,3 persen. Akibatnya, alokasi DAU untuk kabupaten/kota secara rata-rata juga mengalami peningkatan lebih dari 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 1 Rata-rata nilai transfer untuk periode desentralisasi tidak memperhitungkan otsus dan dana penyesuaian.

19 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar Dalam periode desentralisasi, sebagian besar dana perimbangan dialokasikan dalam bentuk DAU. Secara rata-rata sejak tahun alokasi DAU mencapai 72 persen dari total dana perimbangan. Apabila dibandingkan dengan periode sebelum desentralisasi, total DAU telah meningkat sebesar 56 persen dari Rp.93 triliun menjadi Rp.145,8 triliun. Meskipun demikian, porsi DAU dalam dana perimbangan mengalami kecenderungan menurun, khususnya dari 74 persen pada tahun 2004 menjadi 68 persen pada tahun Porsi DAU yang menurun tersebut dibarengi dengan meningkatnya porsi DAK dari 1 persen pada tahun 2001 menjadi 10 persen dari dana perimbangan pada tahun Sementara DBH (Pajak maupun SDA) mempunyai porsi yang relatif tetap selama , yaitu sebesar 20 persen dari total dana perimbangan, dan menjadi komponen terbesar kedua setelah DAU. Gambar 3.2. Perkembangan Total Dana Perimbangan Seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, Triliun Rp Sumber: SIKD, Kementerian Keuangan, diolah. Catatan: Nilai merupakan nilai riil, 2007=100. Dengan mengacu kepada jumlah penduduk, secara rata-rata total dana perimbangan per kapita kabupaten/kota dalam provinsi di Indonesia masih beragam. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa Provinsi Banten merupakan provinsi dengan rata-rata dana perimbangan per kapita kabupaten/kota terendah yaitu sebesar Rp.613 ribu, sedangkan Papua merupakan provinsi dengan rata-rata dana perimbangan per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp. 8,1 juta. - Periode Desentralisasi dimulai Penyesuaian kenaikan harga minyak Selanjutnya apabila kita melakukan perbandingan dana perimbangan per kapita masing-masing kabupaten/kota, akan terlihat perbedaan yang lebih beragam. Kabupaten Tangerang merupakan kabupaten dengan pendapatan dana perimbangan per kapita terendah yaitu sebesar Rp.374 ribu, sangat kontras dengan Kabupaten Tana Tidung di Kalimantan Timur yang memperoleh pendapatan dana perimbangan per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp.34 juta. Provinsi Kalimantan Timur sendiri merupakan provinsi dengan ketimpangan pendapatan dana perimbangan perkapita tertinggi di antara provinsi-provinsi lainnya. Gambar 3.3. Perkembangan Komponen Dana Perimbangan Seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun Triliun Rp Dana Bagi Hasil Pajak DAK Proporsi DAU terhadap total dana perimbangan Proporsi DBH terhadap total dana perimbangan Dana Bagi Hasil SDA DAU Proporsi DAK terhadap total dana perimbangan Sumber: SIKD, Kementerian Keuangan, diolah. Catatan: Nilai merupakan nilai riil, 2007=100 dan Proporsi DBH merupakan proporsi total DBH. 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 11

20 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar Gambar 3.4. Rata- rata Total Dana Perimbangan Perkapita untuk Kabupaten/Kota Se-Provinsi Juta Rp Rata-rata Dana Perimbangan per Kapita Sumber: LKPP 2009, diolah Dana Alokasi Umum Secara rata-rata nilai DAU per kapita kabupaten/kota di seluruh Indonesia berdasarkan provinsi terdistribusi secara cukup beragam. Banten merupakan provinsi dengan DAU rata-rata per kapita terendah yaitu sebesar Rp.450 ribu dan Papua merupakan provinsi dengan DAU rata-rata per kapita tertinggi yaitu sebesar hampir Rp.6 juta. Kota Bontang di Kalimantan Timur mempunyai DAU terendah yaitu sebesar Rp.119 ribu, dengan nilai absolut DAU terendah pula sebesar Rp.16,4 miliar. Kabupaten Waropen mempunyai DAU per kapita tertinggi sebesar Rp.19,7 juta. Tingginya nilai DAU per kapita Kabupaten Waropen diperkirakan karena jumlah populasinya yang sangat rendah. Sedangkan secara nominal absolut, Kabupaten Bogor mendapatkan DAU tertinggi pada tahun 2009, yaitu mencapai Rp.1,1 triliun. Gambar 3.5. Rata-rata DAU Per kapita Kabupaten/Kota berdasarkan Provinsi Juta Rp Rata-rata Dana Alokasi Umum per Kapita Sumber: LKPP 2009, diolah. 12

21 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar Sesuai dengan formulanya, nilai alokasi DAU yang diberikan kepada daerah sangat dipengaruhi oleh kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal daerah. Kapasitas fiskal daerah didekati dengan penerimaan PAD dan DBH sedangkan kebutuhan fiskal daerah didekati dengan beberapa indikator, salah satunya jumlah penduduk. Data menunjukkan bahwa masih terdapat sebagian kecil kabupaten/kota dengan kapasitas fiskal yang relatif sama namun memiliki transfer DAU yang cukup berbeda, seperti Kabupaten Jember yang mempunyai kapasitas fiskal per kapita sebesar Rp.77 ribu dengan DAU sebesar Rp.940 miliar dan Kabupaten Sigi yang mempunyai kapasitas fiskal per kapita Rp.78 ribu dengan DAU sebesar Rp.215 miliar. Di sisi lain, jumlah DAU akan dipengaruhi secara positif oleh banyaknya populasi di kabupaten/kota tersebut. Semakin tinggi jumlah populasi maka semakin besar kebutuhan fiskal daerah dimaksud sehingga sewajarnya alokasi DAU yang diberikan juga semakin besar. Gambar 3.6. Distribusi DAU perkapita dan Jumlah Kapasitas Fiskal maupun Populasi tahun 2009 Sumber: SIKD, Kementerian Keuangan dan publikasi BPS diolah Dana Alokasi Khusus Sejak awal periode desentralisasi, jumlah total alokasi DAK telah meningkat sebanyak 16 kali lipat yaitu sebesar Rp.1,1 triliun pada tahun 2001 mencapai Rp.20,3 triliun tahun Hal ini seiring dengan jumlah cakupan sektoral DAK yang juga meningkat secara pesat. Awalnya pada tahun 2001, DAK hanya diberikan dalam bentuk dana reboisasi dan sejak tahun 2003, DAK mulai dialokasikan untuk beberapa sektor strategis seperti Infrastruktur (Jalan dan Irigasi), Pendidikan, Kesehatan, serta Prasarana Pendidikan. DAK untuk sektor Kelautan dan Perikanan diberikan mulai 2004, dan pada tahun berikutnya muncul DAK untuk sektor Pertanian, Air Minum dan Sanitasi, serta Lingkungan Hidup. Pada tahun 2008, mulai dialokasikan DAK untuk sektor Kehutanan dan Keluarga Berencana, dan pada tahun 2009, dialokasikan DAK untuk sarana pedesaan serta perdagangan, sehingga sampai dengan tahun 2009 DAK telah berkembang menjadi 14 bidang. 13

22 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar Gambar 3.7. Tren dan Komposisi Alokasi DAK per sektor Miliar Rp Reboisasi Jalan Pendidikan Kesehatan Irigasi Prasarana Pemerintahan Pertanian Lingkungan Hidup Kelautan dan Perikanan Air Minum dan Sanitasi Keluarga Berencana Kehutanan Sarana dan Prasarana Pedesaan Perdagangan Sumber: Kementerian Keuangan, diolah. Pada tahun 2009, total DAK dialokasikan sebesar Rp.20,3 triliun untuk 14 bidang. Sebagian besar alokasi DAK ini ditujukan untuk bidang pendidikan, dengan porsi mencapai hampir 40 persen atau sebesar Rp.8,1 triliun. Selanjutnya, DAK terbesar dialokasikan kepada bidang kesehatan (16,7 persen) dan jalan (16,2 persen). Secara umum, DAK dialokasikan untuk bidang-bidang strategis dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, mendukung pelaksanaan pelayanan dasar, dan mendukung pelestarian lingkungan hidup. Gambar 3.8. Komposisi Cakupan Sektoral DAK tahun ,5% 1,4% 0,8% 0,6% 0,4% Pendidikan 2,2% Kesehatan Jalan 4,4% 4,7% 4,9% 6,4% 16,2% 39,8% Pertanian Pasokan air dan sanitasi Kelautan dan perikanan Irigasi Pemerintahan Lingkungan KB 16,7% Pedesaan Perdagangan Kehutanan Sama halnya dengan DAU perkapita, jumlah rata-rata DAK perkapita Sumber: Kementerian Keuangan, diolah. kabupaten/kota juga cukup beragam dari Rp.41 ribu di Provinsi Banten hingga Rp.1,1 juta di provinsi Papua. Perbedaan jumlah rata-rata DAK perkapita terlihat cukup signifikan untuk 3 provinsi tertinggi yang berada di Indonesia Timur yaitu Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. DAK perkapita terendah terdapat pada Kota Tangerang yaitu sebesar Rp.1.896, sedangkan DAK per kapita tertinggi terdapat pada Kabupaten Supriori sebesar Rp.3,5 juta. Hal ini diperkirakan karena jumlah populasi Kabupaten Supriori yang rendah (merupakan terendah di Indonesia). Secara nominal jumlah alokasi DAK terbesar tahun 2009 diberikan pada Kabupaten Sukabumi, yaitu sebesar Rp.105 miliar. 14

23 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar Gambar 3.9. Rata-rata Dana Alokasi Khusus Perkapita untuk Setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia berdasarkan Provinsi Juta Rp 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 Rata-rata Dana Alokasi Khusus per Kapita Sumber: LKPP 2009, diolah Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil Pajak Keberagaman alokasi perkapita juga terlihat pada rata-rata pendapatan bagi hasil pajak kabupaten/kota. Pendapatan bagi hasil pajak per kapita terendah terlihat pada kabupaten/kota dalam wilayah provinsi di Jawa, sedangkan pendapatan bagi hasil pajak perkapita tertinggi terjadi pada kabupaten/kota di beberapa provinsi yang mempunyai SDA yang cukup tinggi, seperti di Kepulauan Riau, Papua Barat, Kalimantan Timur dan Papua. Provinsi Jawa Tengah mempunyai rata-rata pendapatan DBH pajak terendah sebesar Rp.27 ribu, sedangkan Papua Barat mempunyai pendapatan DBH pajak perkapita tertinggi sebesar Rp. 1,2 juta. Gambar Rata-rata DBH Pajak Perkapita untuk Kabupaten/Kota berdasarkan Provinsi 3,00 2,50 2,00 1,50 Juta Rp 1,00 0,50 0,00 Sumber: LKPP 2009 Kementerian Keuangan, diolah. Rata-rata Dana Bagi Hasil Pajak per Kapita 15

24 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar Gambar menunjukkan Kepulauan Riau merupakan provinsi dengan ketimpangan pendapatan bagi hasil pajak perkapita terbesar di antara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Sementara itu, di antara seluruh kabupaten/kota di Indonesia, Kabupaten Lombok Timur merupakan kabupaten dengan pendapatan bagi hasil pajak per kapita terendah, yaitu sebesar Rp 25 ribu. Nilai ini berbeda cukup besar dengan Kabupaten Natuna yang memiliki pendapatan bagi hasil perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp.3 juta. Apabila dianalisis lebih lanjut, setidaknya 26 kabupaten/kota dengan pendapatan bagi hasil pajak per kapita tertinggi berada pada Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini menunjukkan bahwa provinsi-provinsi dengan potensi sumber daya alam besar juga memperoleh pendapatan bagi hasil pajak per kapita yang tinggi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Rata-rata kabupaten/kota dengan pendapatan bagi hasil SDA tertinggi terdapat pada provinsi yang mempunyai hasil SDA cukup besar, yaitu Papua, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Bahkan Provinsi Kalimantan Timur mempunyai pendapatan bagi hasil SDA per kapita yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Secara rata-rata setiap kabupaten/kota di Kalimantan Timur mendapatkan bagi hasil SDA per kapita sebesar Rp.5,6 juta. Kabupaten Tana Tidung merupakan kabupaten dengan pendapatan bagi hasil SDA per kapita tertinggi di seluruh Indonesia, yaitu mencapai Rp.30 juta. Di lain pihak, Yogyakarta mempunyai pendapatan bagi hasil SDA per kapita terendah, yaitu sebesar Rp.247. Hal ini menunjukkan kecilnya potensi sumber daya alam di provinsi Yogyakarta. Namun demikian, walaupun memiliki penerimaan DBH SDA per kapita paling tinggi, Provinsi Kalimantan Timur tercatat sebagai daerah yang memiliki ketimpangan persebaran yang paling tinggi dibandingkan dengan seluruh provinsi lainnya Gambar Rata-rata DBH SDA Perkapita Kabupaten/Kota berdasarkan Provinsi D I Yogyakarta Bali Banten NTT Ribu Rp Jawa Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Barat Bengkulu Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Jawa Timur Sumatera Utara Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat Sumatera Barat Lampung Jawa Barat Maluku NTB NAD Maluku Utara Kepulauan Babel Kalimantan Tengah Jambi Papua Barat Sumatera Selatan Kalimantan Selatan Papua Riau Kepulauan Riau Kalimantan Timur Rata-rata Dana Bagi Hasil SDA per Kapita Sumber: LKPP 2009, diolah. 16

25 Bagian 3 Analisis Perkembangan Dana Perimbangan dan Pelayanan Dasar 3.2. Perkembangan Hasil-hasil Pelayanan Publik Pendidikan Untuk mengetahui perkembangan hasil pelayanan publik pada sektor pendidikan, terdapat beberapa indikator pendidikan, salah satunya adalah angka partisipasi murni (APM). APM 2 digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk usia sekolah untuk mendapatkan akses pendidikan. Secara umum, rata-rata APM sekolah kabupaten/kota di tingkat dasar, menengah pertama, dan lanjutan atas mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan. Pada tahun 2009, rata-rata APM di tingkat kabupaten/kota telah mencapai angka di atas 90 persen untuk SD, 65 persen untuk SMP, dan 46 persen untuk SMA. Apabila dibandingkan dengan tahun 1996, peningkatan APM untuk sekolah dasar tidak mengalami peningkatan yang signifikan karena telah memiliki dasar APM di atas 90 persen. Sementara itu APM untuk SMP dan SMA masing-masing naik dari 50 persen dan 24 persen pada tahun 1996 menjadi 65 persen dan 46 persen pada tahun Data masing-masing kabupaten/kota menunjukkan bahwa angka partisipasi murni SMP mengalami kenaikan yang cukup signifikan setelah periode desentralisasi. Seperti terlihat dalam grafik di bawah ini, sebagian besar kabupaten/kota berada di kanan garis lurus 45 derajat 3, yang menunjukkan APM SMP pada tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun Beberapa kabupaten mengalami peningkatan APM yang cukup signifikan yaitu di atas 60 persen, seperti di daerah Kabupaten Sampang, Kabupaten Ngada, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Yapen Waropen. Peningkatan APM pada tingkat SMP ini menunjukkan indikasi kemajuan dalam program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun di beberapa daerah. Persen Walaupun APM SMP mengalami peningkatan, hal ini tidak serta merta menggambarkan tingkat kelulusan siswa SMP. Rata-rata lama bersekolah di tingkat kabupaten/kota masih belum mencapai target wajib belajar sembilan tahun. Pada tahun 2009, rata-rata lama bersekolah pada tingkat kabupaten/kota di tiap provinsi baru mencapai 7 tahun, atau baru sampai tahun pertama di tingkat SMP. Namun demikian, pada grafik 15 terlihat bahwa beberapa Gambar Rata-rata APM Sekolah per Kabupaten/Kota Tahun Sumber: Susenas Kor , diolah. APM SMP 1999 (%) APM SMP APM SD APM SMA Gambar APM SMP Kabupaten/Kota Tahun 1999 dan APM SMP 2009 (%) Sumber: Susenas Kor 1999 dan 2009, diolah. 2 Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama yaitu 7-12 (SD/MI), (SMP/MTs), (SMA/SMK/MA). 3 Garis 45 derajat merupakan garis batas yang menunjukkan pertumbuhan 0 persen. 17

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 diarahkan untuk:

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 of 41 1/31/2013 12:38 PM MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN RI PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN disampaikan pada: Sosialisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas pemerintah secara profesional untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus) 1 ii Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus) RINGKASAN EKSEKUTIF 1. SILPA daerah yang besar merupakan indikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 21/DPD RI/I/2013 2014 HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2013 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1278, 2013 KEMENTERIAN KEUANGAN. Anggaran. Transfer. Daerah. Pengalokasian. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145/PMK.07/2013 TENTANG PENGALOKASIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam waktu tujuh tahun sejak tumbangnya rezim orde baru, bangsa Indonesia terus berupaya memperbaiki sistem pemerintahannya. Bahkan upaya-upaya perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan untuk mengelola dan mengembangkan sendiri urusan rumah tangga suatu daerah dengan harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH Menimbang : Mengingat : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah, Dalam UU tersebut perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 1 PRINSIP KEBIJAKAN PERIMBANGAN KEUANGAN Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN 44 BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN Adanya UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan desentralisasi setelah sebelumnya berdasarkan UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memberikan dampak besar bagi semua aspek kehidupan, yakni era reformasi. Reformasi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kemakmuran masyarakat dapat diukur dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengertian yang disampaikan oleh Sadono Sukirno. Menurutnya, pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Salah satu kriteria penting untuk

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Kebijakan terkait yang tertuang dalam UU

Lebih terperinci