PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA SKRIPSI"

Transkripsi

1 PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : YUNITA NIM DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

2 PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : YUNITA NIM DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Ekonomi (Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,MH) NIP : Pembimbing I Pembimbing II (Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) NIP : NIP : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

3 KATA PENGANTAR Puji dan Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, karunia dan anugerah- Nya yang luar biasa kepada Penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam skripsi ini, Penulis menyajikan judul : PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Pada kesempatan ini, dengan segala hormat Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I, yang telah membantu para mahasiswa memenuhi segala kebutuhan akademik dan administrasi 3. Bapak Safrudin Hasibuan, SH, M.Hum, Dfm sebagai Pembantu Dekan II, yang telah membantu mahasiswa di pembayaran SPP dan sumbangan-sumbangan kegiatan kampus. 4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III, yang telah banyak membantu mahasiswa di bidang kemahasiswaan. Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

4 5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan masukan yang sangat bermanfaat bagi Penulis dalam penyelesaian skripsi ini 7. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan masukan yang sangat bermanfaat bagi Penulis dalam penyelesaian skripsi ini 8. Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum selaku Dosen Wali yang telah membimbing Penulis dalam penyelesaian kuliah 9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum, serta segenap staf administrasi yang telah banyak membantu dalam pengurusan dokumen dan administrasi selama perkuliahan. 10. Orangtua tercinta yang telah banyak memberi perhatian, dorongan semangat, kasih sayang dan doa yang sangat berarti bagi Penulis. 11. Kepada teman-teman Stambuk 2006, terutama teman 1 kelompok klinis hukum : Mustika, Mei Hartini, Puji, Felicia, Linawaty, Agnes, serta teman-teman hukum ekonomi : Elfiera, Pritha, Sri Mariani dll yang telah banyak memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 12. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan mendukung Penulis selama ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

5 Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena masih banyak kelemahan dan kekurangan. Maka dengan hati yang tulus, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun agar di masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik lagi. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Medan, November 2009 Penulis, (Yunita) Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

6 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... ABSTRAKSI... i iv vi vii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Perumusan Masalah... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 7 D. Keaslian Penulisan... 9 E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pajak Berganda Penyebab Pajak Berganda Internasional Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Internasional Hubungan antara Perjanjian Perpajakan dengan Undang- Undang Nasional F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan BAB II PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP SEBAGAI WAJIB PAJAK PENGHASILAN A. Tinjauan Umum Terhadap Bentuk Usaha Tetap Dalam UU Perpajakan Nasional B. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap sebagai Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

7 Wajib Pajak Penghasilan C. Penghitungan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap BAB III PENGATURAN PERPAJAKAN TERHADAP WAJIB PAJAK LUAR NEGERI MELALUI BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA A. Istilah Bentuk Usaha Tetap Dalam UU PPh dan Perjanjian Perpajakan B. Perlakuan Perpajakan Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang Melakukan Kegiatan atau Usaha Melalui Bentuk Usaha Tetap C. Perlakuan Perpajakan Terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang Melakukan Kegiatan atau Usaha yang Tidak Memenuhi Syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap D. Perlakuan Perpajakan Terhadap Penghasilan di Luar Kegiatan Usaha (Passive Income) yang Bersumber dari Indonesia BAB IV METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL A. Jenis-Jenis Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional B. Metode Pembebasan (Exemption)/ Pengecualian (Exclusion) C. Metode Kredit Pajak (Tax Credit) D. Metode Lainnya BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran 97 DAFTAR PUSTAKA. 99 LAMPIRAN Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

8 DAFTAR TABEL Tabel 1 : Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan Negara Lain Tabel 2 : Masa yang ditentukan dalam Perjanjian Perpajakan untuk Proyek Konstruksi, Instalasi, dan Proyek Perakitan serta Proyek Pengawasan Tabel 3 : Masa yang ditentukan dalam Perjanjian Perpajakan untuk Pemberian Jasa Penghindaran Pajak Berganda, 2010.

9 PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA *) Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum **) Dr. Sunarmi, SH, M.Hum ***) Yunita ABSTRAKSI Perusahaan multinasional semakin gencar mempergunakan peluang usaha dengan melakukan kegiatan usaha di negara lain, dengan mendirikan anak perusahaan maupun membuka cabang. Bagi negara tempat investasi, hal ini merupakan peluang menambah penerimaan negara dari pajak. Perusahaan asing yang menjalankan usahanya melalui bentuk usaha di Indonesia disebut dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Bentuk usaha tetap adalah wajib pajak yang rentan dikenakan pajak berganda (double taxation) sehubungan dengan status hukumnya, sehingga dapat menjadi salah satu penghambat investasi yang baik pada suatu negara, khususnya di Indonesia. Untuk itulah, perlu dibuat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang dilaksanakan oleh dua negara atau lebih. P3B inilah yang akan menjadi suatu produk hukum untuk menunjang berkembangnya investasi, karena dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum dari pengenaan pajak berganda. Adapun masalah yang diangkat dalam penulisan skripsi ini yaitu: bagaimana perlakuan perpajakan terhadap Bentuk Usaha Tetap sebagai Wajib Pajak Penghasilan dalam Undang-Undang Perpajakan Nasional; bagaimanakah pengaturan perpajakan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan kegiatan atau usaha yang memenuhi kriteria sebagai Bentuk Usaha Tetap dan yang belum memenuhi kriteria sebagai Bentuk Usaha Tetap dan bagaimanakah metode penghindaran pajak berganda internasional. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yang bersifat yuridis normatif, data utama yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari (a) bahan hukum primer, (b) bahan hukum sekunder, (c) bahan hukum tertier. Analisis yang digunakan dalam menganalisis permasalahan adalah analisis deduktif yakni beranjak dari UU Perpajakan yang ada lalu diberi perluasan atas hal-hal yang terjadi dalam prakteknya, khususnya terhadap Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Adapun kesimpulan yang didapat adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usahanya melalui BUT akan mengikuti ketentuan UU PPh jika tidak ada diadakan P3B dengan negara lain. BUT dikenakan pajak hanya sebatas pada penghasilan yang diperoleh dari sumber di Indonesia. Dan, untuk menghindari terjadinya pajak berganda, Indonesia menganut metode kredit pajak terbatas seperti yang diatur dalam Pasal 24 UU PPh. Kata Kunci : Bentuk Usaha Tetap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) *) Guru Besar Fakultas Hukum USU dan sebagai Dosen Pembimbing I **) Dosen Fakultas Hukum USU dan sebagai Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa Fakultas Hukum 9

10 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara biasanya mempunyai undang-undang perpajakannya sendiri, yang fungsinya antara lain adalah budgetary, yaitu menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakankebijakan tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sektor-sektor tertentu. 1 Dari segi kekuatan modalnya, negara-negara di dunia ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu capital exporting countries dan capital importing countries. 2 Yang disebut capital exporting countries adalah negaranegara yang sudah maju, yang membutuhkan pasar lain sebagai tempat ekspansi bagi modal yang dimilikinya. Sebaliknya, capital importing countries adalah negara yang kekurangan modal, sehingga ia perlu mengimpor modal untuk mendorong kegiatan ekonominya. Kedua kelompok tersebut, cepat atau lambat, akan saling berhubungan melalui pemasukan modal. Tetapi sering kali arus ini terhambat oleh sistem perpajakan yang berbeda. Artinya, sistem perpajakan yang berlainan tersebut menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap penghasilan orang atau badan yang sama. Keadaan ini akan menghambat 1 Sony Devano dan Siti Kurnia R. Perpajakan, Konsep, Teori dan Isu, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), hal Rachmanto Surahmat. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Sebuah Pengantar, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.1

11 11 keinginan untuk melakukan investasi di luar negeri. Jika masing-masing negara menerapkan undang-undang pajak nasionalnya, tanpa ada usaha untuk mengurangi risiko terjadinya pengenaan pajak berganda, arus pemasukan modal dari satu negara ke negara lainnya akan menimbulkan benturan-benturan antara dua jurisdiksi pajak yang berbeda. Akibat lain yang mungkin terjadi adalah semakin gencarnya usaha untuk melakukan penyelundupan pajak (tax evasion). Penyelundupan pajak dapat terjadi dengan berusaha melakukan tindakan ilegal guna mendapatkan beban pajak yang minim dengan memanfaatkan celah yang terbuka untuk tidak membayar pajak di negara sumber penghasilan atau di negara domisili. 3 Dengan semakin bertambah luas dan majunya hubungan ekonomi internasional, maka dirasakan perlunya diadakan suatu rekonsiliasi jurisdiksi pajak dari negara-negara yang bersangkutan. Dengan adanya rekonsiliasi ini, hak pemajakan masing-masing negara yang terlibat diatur secara tegas, sehingga kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda semakin kecil. Rekonsiliasi dari dua jurisdiksi pajak yang berbeda ini biasanya disebut persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty atau tax convention). 4 Proses terjadinya persetujuan tersebut memakan waktu, tergantung seberapa jauh perbedaan prinsip pemajakan yang ada antara kedua negara yang terlibat. Di samping itu, hal ini juga tergantung pada faktor sampai seberapa jauh suatu negara bersedia mengorbankan hak pemajakannya dan memberikannya kepada negara partnernya. 5 3 Sony Devano dan Siti Kurnia R, Op.Cit., hal Rachmanto Surahmat, Op.Cit., hal. 2 5 Ibid

12 12 Dalam hal ini, kebijakan perpajakan dari suatu negara sangat menentukan tingkat kompromi yang akan dicapai. Yang menjadi faktor penentu adalah sejauh mana suatu negara menentukan jurisdiksi perpajakan internasionalnya. Di dunia perpajakan internasional, tidak ada ketentuan atau kaidah-kaidah yang membatasi hak pemajakan suatu negara terhadap objek pajak dan subjek pajak luar negeri. Artinya, setiap negara secara unilateral menentukan sendiri hak pemajakan yang menyangkut objek dan subjek pajak luar negeri. Keadaan inilah yang menimbulkan terjadinya pengenaan pajak berganda. Dalam hal ini, persetujuan tentang penghindaran pajak berganda secara bilateral merupakan pemecahan untuk menghindari pengenaan pajak berganda. 6 Setiap negara mempunyai undang-undang pajak yang berbeda dalam hal menentukan hak pemajakan internasionalnya. Artinya, setiap negara secara unilateral menentukan sendiri jurisdiksi perpajakan internasionalnya, baik menyangkut objek pajak maupun subjeknya. Hal ini memungkinkan terjadinya pengenaan pajak berganda bila dua jurisdiksi pajak berinteraksi sebagai akibat terjadinya transaksi antara dua negara tersebut. Setiap negara mempunyai metode penghindaran pajak berganda, namun demikian hal ini tidak menjamin bahwa pengenaan pajak berganda dapat dihindarkan sepenuhnya. 7 Di sinilah letak pentingnya suatu persetujuan penghindaran pajak berganda antara dua negara. Persetujuan ini melalui suatu proses kompromi yang panjang, tergantung pada sejauh mana suatu negara menentukan hak pemajakan internasionalnya. Pada dasarnya, suatu persetujuan penghindaran pajak berganda adalah penghindaran pajak secara juridis. Pasal-pasal yang ada di dalam 6 Ibid, hal. 3 7 Ibid

13 13 persetujuan tersebut pada hakikatnya adalah distributive rules, yaitu membagi hak pemajakan dua negara. Dalam dunia perpajakan internasional, ada dua Model Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, yaitu OECD Model (Organization for Economic Cooperation and Development) dan UN Model (United Nation), yang merupakan acuan bagi dua negara yang merundingkan suatu persetujuan penghindaran pajak berganda. 8 OECD Model adalah model yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat. Karena itu, prinsip yang terkandung di dalamnya mencerminkan kepentingan negara-negara industri. Sebaliknya, UN Model adalah model yang dikembangkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan negara berkembang, sehingga prinsip revenue oriented yang dianut oleh kebanyakan negara berkembang jelas terlihat dalam model tersebut. Karena Indonesia adalah negara yang sedang berkembang, Indonesia menutup kebanyakan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) berdasarkan UN Model, yang tentunya dimodifikasi sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan sistem pajaknya dan selaras dengan hasil negosiasi kedua belah pihak karena perjanjian tentu secara timbal balik (resiprositas) dalam alokasi hak pemajakannya dirundingkan berdasar semangat saling menguntungkan untuk mendorong mobilitas lalu lintas perdagangan, usaha, bisnis, dan investasi antar negara mitra runding. 9 Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa Indonesia menggunakan semua ketentuan dalam UN Model tersebut. Indonesia menganut kombinasi antara UN Model dan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam undang-undang perpajakan nasional. Perpaduan 8 John Hutagaol. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia Dengan Negara- Negara di Kawasan Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika, (Jakarta : Salemba Empat, 2000), hal.7 9 Gunadi. Pajak Internasional, (Jakarta : Fakultas Ekonomi UI,2007), hal. 190

14 14 antara dua model itu menghasilkan suatu model yang disebut Model Indonesia yang menjadi dasar berpijak dalam perundingan persetujuan penghindaran pajak berganda. Karena suatu persetujuan pada hakikatnya merupakan rekonsiliasi antara dua hukum pajak yang berbeda, kedudukannya berada di atas undang-undang pajak nasional masing-masing negara. 10 Manfaat lain dari suatu persetujuan penghindaran pajak berganda adalah terjaminnya kepastian hukum bagi investor kedua negara yang bersangkutan. Artinya, apabila seorang investor dari negara domisili dikenai pajak di negara sumber (negara di mana kegiatan usaha dilakukan) yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan yang ada, ia dapat mengajukan masalahnya ke pejabat yang berwenang di tempat domisilinya. Tanpa adanya persetujuan penghindaran penghindaran pajak berganda, langkah seperti itu tidak dapat ditempuh. Bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu kedudukan yang khusus karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut agak berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam kaitannya dengan perjanjian perpajakan (tax treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri. Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam sistem perpajakan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada saat John Hutagaol. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Indonesia Dengan Negara- Negara di Kawasan Eropa, (Jakarta : Salemba Empat, 2000), hal Jaja Zakaria. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap, (Jakarta : PT Raja Garfindo Persada, 2005), hal. 1

15 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan yang berlaku di banyak negara, di mana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 sebagai Undang-Undang Perubahan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984, bentuk usaha tetap tidak lagi dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri, tetapi dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Namun demikian, kewajibankewajiban perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam negeri. Keadaan ini masih tetap tidak berubah setelah adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai undang-undang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang terbaru. 12 Dalam kaitannya dengan perjanjian-perjanjian penghindaran pajak berganda yang diadakan oleh Indonesia dengan negara lain, bentuk usaha tetap merupakan sesuatu yang penting, karena pasal-pasal yang mengatur mengenai bentuk usaha tetap merupakan jantungnya perjanjian-perjanjian penghindaran pajak berganda. Selain menciptakan adanya kepastian hukum yang lebih nyata, persetujuan penghindaran pajak berganda juga berfungsi sebagai salah satu pendorong masuknya investasi asing. Dengan kata lain, suatu persetujuan penghindaran pajak berganda membantu menciptakan iklim investasi yang favorable. Selain itu, persetujuan penghindaran pajak berganda, dalam jangka panjang, membantu mengamankan penerimaan pajak bagi negara yang bersangkutan. Tujuan ini 12 Ibid, hal. v

16 16 tercermin pada dimungkinkannya pertukaran informasi dan pencegahan penyelundupan pajak antara dua negara yang terlibat. 13 B. Perumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka yang menjadi topik permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap Bentuk Usaha Tetap sebagai Wajib Pajak Penghasilan dalam Undang-Undang Perpajakan Nasional? 2. Bagaimana pengaturan perpajakan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan kegiatan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia? 3. Bagaimana metode yang ditempuh dalam penghindaran pajak berganda internasional? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui perlakuan perpajakan terhadap Bentuk Usaha Tetap sebagai Wajib Pajak Penghasilan dalam Undang-Undang Perpajakan Nasional. b. Untuk mengetahui pengaturan perpajakan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan kegiatan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 13 Rachmanto Surahmat, Op.Cit., hal. 4

17 17 c. Untuk mengetahui metode yang ditempuh dalam menghindari pajak berganda internasional, sehingga dapat mengurangi beban pengusaha dan meningkatkan investasi. 2. Manfaat Penulisan Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat lebih mengerti dan memahami tentang ketentuan kebijakan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dalam perdagangan internasional. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan penyempurnaan peraturan atau kebijakan tentang persetujuan penghindaran pajak berganda di Indonesia. b. Manfaat Praktis Skripsi ini dapat membantu mensosialisasikan ketentuan dan kebijakan perjanjian penghindaran pajak berganda yang ada di Indonesia kepada masyarakat, khususnya kalangan bisnis dan ekonomi sehingga ketika akan mengadakan transaksi perdagangan internasional dapat melakukan dengan baik sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Bagi para mahasiswa fakultas hukum, agar mengetahui perkembangan hukum nasional yang terjadi mengikuti perkembangan perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia dalam perdagangan internasional.

18 18 D. Keaslian Penulisan Skripsi dengan judul PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA ini tidak pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis sendiri. Penulis mengangkat tema ini karena penulis melihat bahwa sesungguhnya bentuk usaha tetap adalah wajib pajak (subjek pajak) yang rentan dikenakan pajak berganda berhubungan dengan status hukumnya, sehingga dapat menjadi salah satu penghambat investasi yang baik pada suatu negara, khususnya di Indonesia. Selain itu, perjanjian penghindaran pajak berganda ini juga menjadi suatu produk hukum yang menunjang berkembangnya investasi, karena dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum dari pengenaan pajak berganda. Dengan demikian, keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pajak Berganda Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam bukunya yang berjudul Basic Problem in International Fiscal Law (1979) membedakan pengertian pajak berganda secara luas (wider sense) dengan secara sempit (narrower sense). 14 Dalam pengertian luas, pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas 14 Knechtle, A.A. Basic Problem in Interational Fiscal Law, Kluwer, Deventer, 1979 dalam buku Gunadi, Op.Cit., hal. 110

19 19 suatu fakta fiskal (subjek dan/atau objek pajak). Dalam pengertian itu, tidak dipertimbangkan penyebab dari pembebanan ganda atau beberapa kali tersebut apakah berasal dari kombinasi dari berbagai jenis pajak atau disebabkan oleh pembebanan pajak secara bersamaan oleh administrasi pajak yang sama atau berbeda. Di pihak lain dalam arti sempit, pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam suatu administrasi pajak yang sama. 15 Menurut Volkendbond (league of nation), pajak ganda internasional terjadi apabila pajak-pajak dari dua negara atau lebih saling menindih, sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu, memikul beban pajak yang lebih besar dari pada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi karenanya tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas objek yang sama atau subjek yang sama. 16 Sementara itu, dalam komentar Pasal 23 A dan 23 B Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda OECD membedakan antara pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic double taxation). Pajak ganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas penghasilan yang sama (atau identik) terakhir kali diakses pada tanggal 2 September Y. Sri Pudyatmoko. Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta : Andi Press, 2004), hal Gunadi, Op.Cit., hal. 111

20 20 Apabila pemajakan berganda (double atau multiple taxation) dilakukan oleh beberapa administrasi pajak (berdasarkan ketentuan pemajakan domestik dari tiap negara) maka terdapat pajak berganda internasional (international double taxation). Baik model konvensi OECD (1963, 1977, 1992, 2003) maupun UN memberikan pengertian tentang pajak berganda internasional sebagai pengenaan beberapa pajak yang sama (sebanding) oleh dua atau lebih negara terhadap wajib pajak yang sama atas suatu objek (hal) yang sama dan untuk masa yang identik. Secara teoritis dan normatif, istilah pajak berganda internasional (PBI) meliputi beberapa unsur : 18 (a) pengenaan pajak oleh beberapa otoritas pemajakan atas beberapa kriteria identitas (b) identitas subjek pajak (wajib pajak) yang sama (c) identitas objek pajak yang sama (d) identitas masa pajak (e) identitas (kesamaan) pajak 2. Penyebab Pajak Berganda Internasional Wewenang negara-negara untuk mengadakan pungutan dapat saling menindih lebih dari dua kali sehingga dapat terjadi pajak ganda, dan hal ini akan dirasakan oleh wajib pajak sebagai beban yang sangat memberatkan. Pajak ganda dapat terjadi karena perbedaan peraturan hukum dan penjelasan yang berlainan dari peraturan. 18 Ibid, hal. 112

21 21 Dapat dibedakan kelompok kelompok pajak ganda internasional: 19 a. Subjek yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara, karena: (1) domisili rangkap. Wajib pajak dianggap mempunyai domisili di masingmasing negara, ini juga disebut conflict of residence rules. Contoh: wajib pajak X dari negara A, berada 16 bulan di negara B. Jika menurut peraturan negara A, wajib pajak yang meninggalkan negara A tidak lebih dari 18 bulan masih dianggap sebagai wajib pajak dalam negeri, sedangkan negara B menganggap orang yang bertempat tinggal lebih dari 12 bulan di negaranya sebagai wajib pajak negara B, maka X oleh dua negara A dan B secara bersamaan dianggap sebagai mempunyai domisili di A dan B dan akan dikenakan pajak baik di negara A maupun B untuk seluruh pendapatannya (unbeschrãnkter Steuerpflicht). (2) kewarganegaraan rangkap. Seorang X oleh negara A dapat dianggap sebagai warga negaranya karena ia dilahirkan dari seorang warga negara A (ius sanguinis), sedangkan oleh negara B, ia dianggap juga sebagai warga negara B karena ia dilahirkan di wilayah negara B (ius soli). (3) bentrokan azas domisili dan azas kebangsaan. Contoh : X karena bertempat tinggal di negara A, yang menganut azas domisili, dikenakan pajak oleh negara A untuk seluruh pendapatannya yang diperoleh dimana saja (world wide income, berdasarkan kewajiban pajak tak terbatas), sedangkan oleh negara B yang menganut azas kewarganegaraan juga dikenakan pajak untuk seluruh pendapatannya hal Rochmat Soemitro. Hukum Pajak Internasional Indonesia, (Jakarta : PT. Eresco,1977),

22 22 (world wide income, unbeschrãnkter Steuerpflicht) karena X adalah warga negara B. b. objek yang sama yang merupakan bagian dari pendapatan yang diperoleh atau transaksi yang dilakukan di negara lain dikenakan pajak yang sama di lebih dari satu negara. Contoh : X yang bertempat tinggal di negara A melakukan usaha di negara B dengan suatu permanent establishment, dan dengan perantaraan bentuk usaha tetap itu memberikan know-how kepada relasinya di negara C. Negara C dapat mengenakan pajak karena di negaranya digunakan know-how tersebut sedangkan negara B dapat mengenakan pajak karena bentuk usaha tetap itu ada di negara B. Di sini terjadi bentrokan antara tempat bentuk usaha tetap dengan tempat dilakukannya transactie. Ini disebut juga conflict of source rule. 20 c. Subjek yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan world wide income (unbeschrãnkter Steuerpflicht), sedangkan di negara situs di negara situs dikenakan pajak berdasarkan azas sumber (beschrãnkter Steuerpflicht) karena mempunyai pendapatan yang berasal dari suatu sumber yang ada di negara itu. Di sini terjadi bentrokan antara azas domisili dan azas sumber. Contoh : X yang bertempat tinggal di negara A, melakukan usaha di negara B dengan jalan permanent establishment. Negara A jika menganut azas domisili akan mengenakan pajak kepada X berdasarkan personal jurisdiction atas world wide income (kewajiban pajak tak terbatas atau onbeperkte belastingplicht), sedangkan negara B yang menganut azas sumber akan mengenakan pajak atas hasil yang diperoleh 20 Ibid, hal. 80

23 23 dari sumber yang ada di negara itu berdasarkan territorial jusrisdiction. Konflik semacam ini disebut juga conflict of personal and ad rem jurisdiction. 3. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Internasional (P3B) P3B adalah perjanjian antara 2 (dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states). 21 Pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Dengan perkataan lain, pencegahan pajak berganda dalam P3B diatur dengan membatasi hak pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah jurisdiksinya. Apabila pengenaan pajak berganda dapat dihindari seminimal mungkin, maka diharapkan dapat mencegah timbulnya efek negatif yaitu distorsi dalam transaksi internasional. Di samping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu: a. Mencegah timbulnya pengelakan pajak b. Memberikan kepastian c. Pertukaran informasi d. Penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B e. Non diskriminasi f. Bantuan dalam penagihan pajak g. Penghematan dalam cash flow 21 John Hutagaol, Op.Cit., hal.5

24 24 Pada umumnya, P3B dimaksudkan sebagai salah satu instrumen yang digunakan untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara. Hal ini dimungkinkan dengan mencegah timbulnya pajak berganda, penyelundupan pajak, dan memberikan kepastian hukum dan insentif pajak berupa penghematan dalam cash flow bagi penduduk dari kedua negara pihak pada persetujuan yang melakukan transaksi internasional. Persetujuan ini mengakomodasi ketentuan yang memberikan perlindungan bagi penduduk dari suatu negara pihak lainnya. Perlindungan yang dimaksud berupa perlakuan non diskriminasi dan penyelesaian sengketa pajak yang tidak sesuai dengan penerapan sebagaimana dimaksud dalam persetujuan. Selain itu, P3B mengakomodasi kepentingan politik dari kedua negara pihak pada persetujuan Hubungan antara Perjanjian Perpajakan dengan Undang-Undang Nasional Seperti yang telah diuraikan di muka, salah satu tujuan diadakannya Perjanjian Perpajakan adalah untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak ganda (double taxation) oleh Indonesia dan negara mitranya atas penghasilan yang sama yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang sama. Sesuai dengan tujuan diadakannya Perjanjian Perpajakan tersebut, Perjanjian Perpajakan tidak mempunyai karakteristik memperluas hak pemajakan yang dipunyai suatu negara. Sebaliknya, Perjanjian Perpajakan mempunyai karakteristik membatasi hak pemajakan suatu negara. Di dalam beberapa kasus, Perjanjian Perpajakan bahkan menghapus hak pemajakan yang dipunyai suatu negara. Pembatasan itu antara lain berupa pemberian pengertian mengenai sesuatu hal yang lebih sempit, misalnya pengertian bunga, dividen, dan royalti, yang ada dalam Perjanjian Perpajakan 22 Ibid, hal. 3

25 25 lebih sempit dibandingkan dengan pengertian menurut undang-undang perpajakan nasional masing-masing negara, berupa pemberian hak pemajakan hanya kepada negara domisili, atau pembatasan tarif pajak yang dapat dikenakan di negara sumber, yang umumnya tarifnya lebih rendah dari tarif yang normal berlaku di masing-masing negara. 23 Hal tersebut di atas, sesuai pula dengan sistem perpajakan yang berlaku umum bahwa hak pemajakan yang dimiliki oleh suatu negara tidak timbul karena adanya hak pemajakan yang diberikan Perjanjian Perpajakan, tetapi hak itu timbul karena adanya undang-undang perpajakan nasional yang mengaturnya. Dengan demikian, walaupun Perjanjian Perpajakan memberikan hak kepada negara untuk mengenakan pajak, sepanjang menurut undang-undang perpajakan nasional hak pemajakan itu tidak ada, negara yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan haknya yang diberikan oleh Perjanjian Perpajakan kepadanya. Misalnya, walaupun berdasarkan Perjanjian Perpajakan negara sumber diberi hak untuk memajaki bunga yang berasal dari negara itu, jika di negara itu bunga bukan merupakan objek pajak, negara yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan haknya yang diberikan oleh Perjanjian Perpajakan untuk mengenakan pajak atas bunga karena bunga bukan merupakan objek pajak. 24 Di beberapa negara, misalnya Belanda, Perjanjian Perpajakan yang diadakan antara negara itu dengan negara lain mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (supra nasional) dibandingkan dengan undang-undang perpajakan nasionalnya. Menurut sistem ini, untuk ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam suatu 23 Jaja Zakaria, Op.Cit., hal Ibid, hal. 106

26 26 Perjanjian Perpajakan akan mengalahkan (over rule) ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang perpajakan nasional. Di Indonesia, jika melihat kepada sistem perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik undang-undang perpajakan nasional maupun Perjanjian Perpajakan mempunyai bobot yang sama, yaitu sama-sama setingkat undang-undang, kedua-duanya harus disetujui oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, walaupun dalam praktik pengesahan (ratifikasi) Perjanjian Perpajakan hanya dilakukan dengan Keputusan Presiden dengan pemberitahuan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. 25 Dengan demikian, Perjanjian Perpajakan tidak lebih tinggi (supra nasional) bobotnya, dibandingkan dengan undang-undang perpajakan nasional. Dalam keadaan yang demikian itu, jika terdapat hal selain diatur dalam undang-undang perpajakan juga diatur dalam Perjanjian Perpajakan, ketentuan dalam Perjanjian Perpajakan tidak mengalahkan (over rule) ketentuan dalam undang-undang perpajakan nasional, tetapi akan berlaku adagium yang umum berlaku yaitu ketentuan yang sifatnya khusus mengesampingkan ketentuan yang sifatnya umum (lex specialis derogat lex generalis). 26 Dalam kaitan ini, ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undangundang perpajakan nasional merupakan ketentuan yang sifatnya umum, sedangkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Perpajakan merupakan ketentuan yang sifatnya khusus. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Perpajakan hanya mengatur mengenai prinsip-prinsip pemajakan atas suatu jenis penghasilan dan tidak mengatur mengenai mekanisme dan prosedur pemajakannya. Oleh karena 25 Rachmanto Surahmat, Op.Cit., hal John Hutagaol, Op.Cit., hal. 8

27 27 itu, dalam melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perpajakan, mekanisme dan prosedurnya akan dipergunakan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam undang-undang perpajakan nasional masing-masing negara. Sebagai contoh, apabila dalam Perjanjian Perpajakan dinyatakan bahwa Indonesia (sebagai negara sumber) berhak mengenakan pajak atas bunga yang dibayarkan kepada penduduk negara mitra (dalam kapasitasnya sebagai negara domisili), pemajakan atas bunga itu oleh Indonesia akan dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme pemotongan pajak yang diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 beserta peraturan pelaksanaannya. Namun demikian, tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dikenakan, setinggi-tingginya sesuai dengan tarif pajak atas bunga yang diatur dalam Perjanjian Perpajakan yang berkenan. 27 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum Jaja Zakaria, Op.Cit, hal Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT Radja Grafindo Persada, 2007), hal. 33

28 28 2. Bahan Hukum Penelitian Penelitian ini menjadikan data sekunder menjadi tumpuan utamanya. Data sekunder diperoleh dari kepustakaan yang terbagi atas : a. Bahan Hukum Primer Yaitu ketentuan perpajakan yang relevan dan bertalian dengan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut : 1. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, antara lain ketentuan yang menyangkut tentang kewajiban pendaftaran, prosedur pembayaran, dan penyetoran pajak, prosedur pengisisan dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), prosedur permohonan pembetulan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak, prosedur pengembalian kelebihan pembayaran pajak, kewajiban pembukuan, prosedur keberatan, prosedur banding, prosedur permohonan peninjauan kembali surat ketetapan pajak, dan permohonan keringanan sanksi administrasi perpajakan. 2. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang terdapat di : (a) Pasal 2 ayat (1) huruf a tentang pengelompokan subjek pajak; (b) Pasal 2 ayat (5) tentang pengertian bentuk usaha tetap; (c) Pasal 5 ayat (1) tentang objek pajak bentuk usaha tetap (penerapan force of attraction rule) ;

29 29 (d) Pasal 5 ayat (2) tentang biaya-biaya yang boleh dikurangkan terhadap objek pajak bentuk usaha tetap; (e) Pasal 5 ayat (3) tentang alokasi biaya kantor pusat dan pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya; (f) Pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pengurangan-pengurangan yang diperkenankan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak; (g) Pasal 9 ayat (1) huruf c, d dan e tentang pengeluaran-pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak; (h) Pasal 11 tentang penyusutan; (i) Pasal 11 A tentang amortisasi; (j) Pasal 15 tentang kewenangan Menteri Keuangan untuk menerapkan Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung Penghasilan Neto Wajib Pajak tertentu; (k) Pasal 16 ayat (3) tentang penghitungan penghasilan kena pajak; (l) Pasal 17 tentang tarif Pajak Penghasilan; (m) Pasal 20 tentang pelunasan pajak dalam tahun berjalan; (n) Pasal 21 tentang kewajiban pemberi kerja memotong pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan atau jasa; (o) Pasal 23 tentang kewajiban wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap untuk memotong Pajak Penghasilan (Pasal 23) atas penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan

30 30 Pasal 23 yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap lainnya; (p) Pasal 25 tentang angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25; (q) Pasal 26 ayat (1) tentang kewajiban wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap untuk memotong Pajak Penghasilan (Pasal 26) atas penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri; (r) Pasal 26 ayat (4) tentang kewajiban bentuk usaha tetap untuk memotong Pajak Penghasilan (Pasal 26) atas penghasilan kena pajak bentuk usaha tetap setelah dikenakan pajak yang ditransfer ke kantor pusatnya; (s) Pasal 28 tentang penghitungan pajak pada akhir tahun; (t) Pasal 29 tentang pelunasan kekurangan pembayaran pajak pada akhir tahun. 3. Peraturan peraturan pelaksanaan yang terdiri dari : a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanamkan Kembali di Indonesia juncto Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan kembali di Indonesia;

31 31 b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994); c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan berupa Premi Asuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan di Luar Negeri; d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia; e. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri; f. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-62/Pj./1995 tanggal 24 Juli 1995 tentang Jenis dan Besarnya Biaya Administrasi Kantor Pusat yang Diperbolehkan untuk Dibebankan sebagai Biaya Suatu Bentuk Usaha Tetap; g. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 tentang Perlakuan Perpajakan Atas

32 32 Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan kembali di Indonesia; h. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-03/Pj.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Pelaksanaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu : buku, majalah, skripsi, jurnal, artikel, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, Penulis menggunakan studi pustaka (library research). Dengan penelitian kepustakaan, Penulis mengumpulkan data, membaca dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan judul. 4. Analisis Data Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan : 29 (a) mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti; (b) (c) (d) memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian; mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin; menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada; 29 Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 45

33 33 (e) menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif. G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan dan penjabaran penulisan, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam lima bab yang saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah: BAB I: Bab ini merupakan bab pertama dalam skripsi ini yaitu bab pendahuluan. Bab ini menguraikan tentang latar belakang pengenaan pajak, pengertian dan penyebab pajak berganda internasional, peranan perjanjian penghindaran pajak berganda internasional dan hubungannya dengan undang-undang nasional. Di dalam bab ini juga dituliskan apa permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. Selain itu, dalam bab ini juga dituliskan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistem penulisan. BAB II: Bab ini membahas Bentuk Usaha Tetap dalam Undang- Undang Perpajakan Nasional, perlakuan perpajakan terhadap Bentuk Usaha Tetap sebagai Wajib Pajak Penghasilan dan Penghitungan Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap. BAB III: Bab ini membahas pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam UU PPh dan Perjanjian Perpajakan, perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang memenuhi syarat sebagai BUT dan yang tidak memenuhi

34 34 syarat sebagai BUT serta perlakukan perpajakan terhadap penghasilan di luar kegiatan usaha (passive income) yang bersumber di Indonesia BAB IV: Bab ini membahas jenis-jenis metode penghindaran pajak berganda termasuk di dalamnya metode pembebasan/ pengecualian, metode kredit pajak, dan metode lainnya dalam penghindaran pajak berganda internasional. BAB V: Merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan dari seluruh skripsi ini juga saran-saran yang bisa membantu sehingga pengenaan pajak berganda dapat dihindari.

35 BAB II PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP SEBAGAI WAJIB PAJAK PENGHASILAN A. Tinjauan Umum Terhadap Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap dalam UU Perpajakan Nasional Penentuan subjek pajak sangat penting dalam sistem pemungutan PPh karena subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk membayar Pajak Penghasilan. Apabila subjek pajak menerima atau memperoleh penghasilan sebagai objek pajak, maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak dan wajib untuk membayar Pajak Penghasilan. Namun, apabila tidak termasuk subjek pajak, maka tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan meskipun menerima atau memperoleh penghasilan yang menjadi objek pajak. 30 Pemerintah Indonesia mempunyai kewenangan untuk memungut pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh setiap orang dan/atau badan yang berdomisili di Indonesia, dan memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayah Indonesia yang diterima oleh siapa pun. Berdasarkan kewenangan untuk memungut pajak tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) UU PPh, subjek pajak menjadi dua yaitu : 1. Subjek Pajak Dalam Negeri Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh yang termasuk subjek pajak dalam negeri adalah : a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia b. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan Wirawan B.Ilyas. Pajak Penghasilan, (Jakarta : Lembaga Penerbit UI, 2007), hal Ibid, hal

36 36 c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia d. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak e. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia 2. Subjek Pajak Luar Negeri Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh, yang termasuk dalam subjek pajak luar negeri adalah : 32 a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; b. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia; yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Kriteria BUT sesuai UU PPh hanya berlaku apabila antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah dari subjek pajak luar negeri tidak mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty). Apabila antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari subjek pajak luar negeri tersebut telah mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty), maka kriteria BUT (permanent establishment) harus mengacu kepada bunyi P3B/Tax Treaty yang bersangkutan. P3B atau Tax Treaty merupakan perjanjian 32 Ibid

37 37 tertulis antara 2 pemerintah atau negara untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak pemajakan dan sekaligus menghilangkan pengenaan pajak dua kali/berganda. Menurut Pasal 3 UU PPh, orang yang tidak termasuk subjek pajak adalah : Badan perwakilan negara asing; 2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama, dengan syarat : bukan warga negara Indonesia, tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang timbal balik. 3. Organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu No.574 Tahun 2000), dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu No.574 Tahun 2000), dengan syarat : bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Di samping itu menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PPh terdapat unit Pemerintah Indonesia yang tidak termasuk sebagai subjek pajak adalah : Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis. Pelaporan Pajak Penghasilan, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 10

38 38 1. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; 3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah; 4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Terdapat perubahan yang fundamental dalam pengelompokan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000). Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek badan dan sebagai subjek pajak dalam negeri. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri, dan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. 35 Per definisi, sebenarnya tidak tepat apabila bentuk usaha tetap dikategorikan sebagai subjek pajak. Dilihat dari pengertian subjek pajak yang umum, yang merupakan subjek pajak biasanya adalah orang, yang dapat berupa orang pribadi atau badan (misalnya PT, CV, Firma, kongsi, koperasi, dan perkumpulan). Sebaliknya, bentuk usaha tetap pada umumnya berupa aset, misalnya pabrik, gedung, kantor, bengkel, perkebunan atau kegiatan misalnya pemberian jasa, atau berupa agen. Dalam kaitan ini, yang merupakan subjek pajak seharusnya orang atau badan yang memiliki atau yang menjalankan usaha di pabrik, gedung, kantor, 34 Wirawan B. Ilyas, Op.Cit., hal Jaja Zakaria, Op.Cit., hal. 12

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) PENGERTIAN DAN TUJUAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara bilateral

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara domisili 1 dan sumber 2 menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para

Lebih terperinci

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Oleh : Misdawati 1110531019 Risa Kurnia 1210532063 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS 2015 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA RUANG LINGKUP P3B Untuk mempermudah pemahaman pembaca tentang P3B, maka ruang lingkup P3B dengan menggunakan United Nations (UN) Model dikelompokkan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari perpajakan. Secara sederhana pajak adalah instrumen yang dipergunakan oleh pemerintah untuk

Lebih terperinci

22/06/2013. Materi Kuliah SUBJEK PAJAK. Definisi Subjek Pajak. Subjek Pajak (Ps 2 UU No 36 Th 2008)

22/06/2013. Materi Kuliah SUBJEK PAJAK. Definisi Subjek Pajak. Subjek Pajak (Ps 2 UU No 36 Th 2008) Materi Kuliah SUBJEK PAJAK Definisi Subjek Pajak Subjek pajak adalah orang/pihak yang dituju oleh undang-undang perpajakan untuk dikenakan pajak Subjek Pajak (Ps 2 UU No 36 Th 2008) Orang Pribadi Warisan

Lebih terperinci

Silabus. EKA 5341 Perpajakan Internasional. Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Silabus. EKA 5341 Perpajakan Internasional. Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Silabus EKA 5341 Perpajakan Internasional Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Institut Keuangan Perbankan dan Informatika Asia Perbanas Jalan Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi,

Lebih terperinci

PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN TUGAS AK-5A PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN OLEH : RAYNALDO KURNIAWAN (1501035110) LOVIAWAN, AGNES VALENTINA (1501035140) WILLIAM ONGKOJOYO (1501035200) BENJAMIN (1501035266) JURUSAN AKUNTANSI

Lebih terperinci

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

PERPAJAKAN INTERNASIONAL Modul ke: Fakultas EKONOMI PERPAJAKAN INTERNASIONAL Pengertian Pajak Berganda (Double taxation) para ahli, pemajakan berganda dalam aspek Nasional dan Internasional, Penerapan pajak berganda dalam UU PPh

Lebih terperinci

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI PENERAPAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP SEBAGAI WAJIB PAJAK DI INDONESIA DITINJAU DARI UU PAJAK PENGHASILAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO

HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO HUKAKDSAhUKU PENGATAR HUKUM PAJAK INTERNATIONAL Istilah : - PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) - International Tax Treaty (perjanjian Pajak international

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara di dunia. Berdasarkan cara pandang tersebut, para pengusaha dari berbagai negara dapat

Lebih terperinci

SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS

SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS Deskripsi dan Tujuan Mata ajaran ini bertujuan untuk membahas berbagai peraturan perpajakan yang berlaku serta pengaruhnya perusahaan dan penyajian kewajaran penyajian

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.I. Simpulan Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah melakukan pengamatan, penghitungan, dan pembahasan terhadap pelaksanaan Tax Treaty antara Indonesia dan United Kingdom

Lebih terperinci

Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I)

Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I) Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I) Hello! We are : Ahmad Deza Perdana Dhiyana Riyani Viva Nurakifiya G. Table of Contents 1. Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya 2. Ruang

Lebih terperinci

Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya

Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya 1 1 2 2 3 Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya Setiap negara mempunyai Undang-Undang Perpajakan Tersendiri. Dari Segi Kekuatan modal dikelompokkan menjadi : a. Capital Exporting

Lebih terperinci

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL HUKUM PAJAK INTERNASIONAL PELAKSANAAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN PAJAK INTERNASIONAL MAKALAH Disusun dalam memenuhi nilai Tugas dalam Mata Kuliah Hukum Pajak Semester Genap - Tahun Akademik 2009-2010

Lebih terperinci

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP MATA KULIAH DOSEN TEMA Sumber diambil dari Ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam P3B Perpajakan Internasional VED SE.,MSi Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Hukum Pajak Internasional Negara Indonesia mengadakan treaty tax (perjanjian penghidaran pajak berganda) bukanlah semata-mata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional II.1.1 Perjanjian Internasional Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum DISUSUN OLEH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM ) Kita telah memasuki masa milenium dan akan memasuki perdagangan bebas yang menyeluruh (global). Negara Indonesia berusaha segiat-giatnya

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum Oleh J E Gunarso Pasaribu Nim:

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PENILAI KERUGIAN ASURANSI DALAM INDUSTRI ASURANSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.

ANALISIS HUKUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PENILAI KERUGIAN ASURANSI DALAM INDUSTRI ASURANSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. ANALISIS HUKUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB PENILAI KERUGIAN ASURANSI DALAM INDUSTRI ASURANSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2014 S K R I P S I Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

Ruth Rassita Kembaren. Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat

Ruth Rassita Kembaren. Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP PENERBANGAN BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN CHINA DAN INDONESIA DENGAN JEPANG) Ruth Rassita Kembaren Universitas Bina Nusantara

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUMAS 2011 KATA PENGANTAR DAFTAR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA

TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA Transaksi Lintas Batas Negara Transaksi lintas batas negara adalah transaksi antar pihak yang berasal dari dua negara (ruang lingkup internasional).

Lebih terperinci

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUMAS 2011 KATA PENGANTAR DAFTAR

Lebih terperinci

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar TAX JURISDICTION Salah satu isu terpenting dalam perpajakan internasional adalah menetapkan negara mana yang mempunyai hak untuk mengenai pajak atas penghasilan. Sistem perpajakan yang berbeda dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1: Pajak adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum TINJAUAN YURIDIS PENDIRIAN YAYASAN OLEH ORANG ASING BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NO 63 TAHUN 2008 SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak 2.1.1 Menurut Para Ahli a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK Dalam Undang-undang Pajak Domestik di Negara Jerman pada tahun 1922 memberikan pandangan yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 PENGERTIAN PAJAK Pengertian Pajak menurut Waluyo dan Ilyas adalah sebagai berikut : Pajak adalah iuran wajib kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang kepada wajib

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA ATAS KECELAKAAN KERJA DI PT. INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM ( PT. INALUM) SKRIPSI

KAJIAN HUKUM PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA ATAS KECELAKAAN KERJA DI PT. INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM ( PT. INALUM) SKRIPSI KAJIAN HUKUM PELAKSANAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA ATAS KECELAKAAN KERJA DI PT. INDONESIA ASAHAN ALUMINIUM ( PT. INALUM) (Studi pada PT. Indonesia Asahan Aluminium, Kuala Tanjung, Batubara) SKRIPSI Diajukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai Berbagi informasi terkini bersama teman-teman Anda Jakarta Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun

Lebih terperinci

BENTUK USAHA TETAP BUT. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BENTUK USAHA TETAP BUT. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com BENTUK USAHA TETAP BUT Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com BENTUK USAHA TETAP Definisi : (pasal 2 UU Pph) bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Definisi Pajak Pajak menurut UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Pasal 1 ayat 1 adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Lebih terperinci

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Kelompok 3 Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Pajak penghasilan, subjek, objek pajak dan objek pajak BUT Tata cara dasar pengenaan pajak Kompensasi Kerugian PTKP, Tarif pajak dan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berganda (double taxation). Untuk menghindari double taxation, maka dibuat

BAB I PENDAHULUAN. berganda (double taxation). Untuk menghindari double taxation, maka dibuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja asing yang bekerja atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia membawa dampak positif dalam menggerakkan perekonomian nasional. Penggunaan tenaga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia BAB II LANDASAN TEORI II.1.1. Definisi Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DI KOPERASI CREDIT UNION SEIA SEKATA KECAMATAN GALANG KABUPATEN DELI SERDANG. S K R I P S I Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PAJAK PENGHASILAN (PPh) PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengaturan PPh UU No. 7/1983 UU No. 7/1991 UU No. 10/1994 UU No. 17/2000 UU No. 36/2008 tentang PPh Subjek Pajak Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif (berdomisili

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL

PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL Latar Belakang Se8ap negara mempunyai Undang- Undang Perpajakan tersendiri. Kekuatan modal dikelompokkan: a. Capital Expor8ng Countries. b. Capital Impor8ng Countries. Kedua

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00 SILABUS/SAP Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00 Tgl. Revisi : - Kode Dok.: FRM-01 1 P a g e SILABUS/SAP MATA KULIAH PAJAK INTERNASIONAL DAN TAX TREATY 3 SKS Deskripsi dan tujuan mata kuliah Mata

Lebih terperinci

Definisi BUT dalam Perpajakan di Indonesia

Definisi BUT dalam Perpajakan di Indonesia Definisi BUT dalam Perpajakan di Indonesia BUT merupakan sarana yang digunakan oleh negara sumber untuk memperoleh hak pemajakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak luar negeri di negara sumber.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1993 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Selar Sarjana Hukum OLEH : AMANDA SUMARDY NIM :

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Selar Sarjana Hukum OLEH : AMANDA SUMARDY NIM : ANALISIS YURIDIS MENGENAI BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITS) ANTARA INDONESIA DENGAN QATAR (STUDI TERHADAP PERATURAN PRESIDEN NO. 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL

PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL Bab 1 PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG Indonesia adalah bagian dari dunia internasional, setiap negara dipastikan menjalin hubungan dengan negara lainnya guna mengadakan transaksi-transaksi

Lebih terperinci

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Modul ke: PERPAJAKAN INTERNASIONAL Memahami definisi Perpajakan Internasional, Konsep Perpajakan Internasional (Unilateral/Bilateral, Multillateral). Fakultas EKONOMI Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Program

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

MEMAHAMI TAX TREATY. Taxes Covered

MEMAHAMI TAX TREATY. Taxes Covered MEMAHAMI TAX TREATY Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan untuk menarik investor asing menanamkan modalnya pada suatu negara semakin ketat. Oleh karena itu, negara juga secara aktif mempromosikan negaranya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo, (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN SKRIPSI 1 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-

Lebih terperinci

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN KONFEDERASI SWISS MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN BERHASRAT untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dunia yang cepat dan dinamis telah mengakibatkan hubungan perdagangan internasional semakin terbuka luas dan semakin ekstensif yang ditandai dengan terbentuknya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi Tugas-tugas Dan memenuhi syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH : NINA EFRINA NIM.

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi Tugas-tugas Dan memenuhi syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH : NINA EFRINA NIM. TINJAUAN HUKUM TERHADAP LARANGAN KEPEMILIKAN SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS UNTUK DAN ATAS NAMA ORANG LAIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Pengaturan Pemilikan NPWP Bagi Wanita Kawin Bekerja. kapan berakhirnya kewajiban kewajiban yang menyertainya.

BAB IV ANALISIS. A. Pengaturan Pemilikan NPWP Bagi Wanita Kawin Bekerja. kapan berakhirnya kewajiban kewajiban yang menyertainya. BAB IV ANALISIS A. Pengaturan Pemilikan NPWP Bagi Wanita Kawin Bekerja Dalam Self Assessment System wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak, Wajib Pajak aktif mulai dari

Lebih terperinci

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum OLEH: WIRA ANDIKA NIM:

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum OLEH: WIRA ANDIKA NIM: ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGURUSAN PIUTANG PERUSAHAAN NEGARA DIKAITKAN DENGAN NON PERFORMING LOAN PADA BANK BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) (STUDI PADA PT BANK MANDIRI Tbk (PERSERO) WILAYAH I MEDAN)

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBERADAAN ORGAN PENGAWAS DALAM MENCEGAH PENYALAHGUNAAN FUNGSI DAN TUJUAN YAYASAN SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBERADAAN ORGAN PENGAWAS DALAM MENCEGAH PENYALAHGUNAAN FUNGSI DAN TUJUAN YAYASAN SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBERADAAN ORGAN PENGAWAS DALAM MENCEGAH PENYALAHGUNAAN FUNGSI DAN TUJUAN YAYASAN SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi pajak dalam pasal 1 ayat 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN I. UMUM 1. Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Ada banyak definisi atau pendapat yang dikemukan oleh para pakar mengenai pengertian pajak, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diiringi juga dengan penyediaan produk-produk inovatif serta. pertumbuhan ekonomi nasional bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diiringi juga dengan penyediaan produk-produk inovatif serta. pertumbuhan ekonomi nasional bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan usaha di sektor jasa keuangan pada saat sekarang ini sedang mengalami perkembangan dan kemajuan, hal itu dapat terlihat dari besarnya antusias masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kontraprestasi yang diterima pembayar pajak bersifat tidak langsung, sebab pajak

BAB I PENDAHULUAN. Kontraprestasi yang diterima pembayar pajak bersifat tidak langsung, sebab pajak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan iuran kepada negara. Sebuah iuran yang wajar, mengingat negara dan mereka yang membayar iuran sesungguhnya saling membutuhkan. Kontraprestasi yang diterima

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci