PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN"

Transkripsi

1 TUGAS AK-5A PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN OLEH : RAYNALDO KURNIAWAN ( ) LOVIAWAN, AGNES VALENTINA ( ) WILLIAM ONGKOJOYO ( ) BENJAMIN ( ) JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MULAWARMAN 2017

2 PERPAJAKAN INTERNASIONAL 1. PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda). Perpajakan internasional merupakan studi atau penentuan pajak atas subjek orang atau bisnis dengan hukum pajak negara yang berbeda atau aspek-aspek internasional dari hukum pajak negara individu. Pemerintah biasanya membatasi ruang lingkup pajak pendapatan mereka dalam beberapa cara teritorial atau menyediakan untuk offset dengan perpajakan yang berkaitan dengan pendapatan ekstrateritorial. 2. SUBJEK DAN OBJEK PAJAK DALAM PAJAK INTERNASIONAL Subjek pajak dibagi menjadi 2 : 1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di luar negeri 2. Subjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di dalam negeri Sedangkan objek pajak dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Objek pajak dengan sumber di dalam negeri 2. Objek pajak dengan sumber di luar negeri 3. DASAR HUKUM PAJAK INTERNASIONAL Di Indonesia, pajak internasional khususnya mengenai P3B diatur dalam Pasal 32A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 36 Tahun Sementara itu, proses pembentukan P3B seperti proses pendekatan, perundingan, ratifikasi serta pemberlakuannya tunduk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini adalah lex specialist terhadap Undang-undang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B. PEMAJAKAN BERGANDA 1. DEFINISI PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL Menurut Knechtle dalam bukunya yang berjudul Basic Problems in International Fiscal Law (1979) memberikan pembahasan secara rinci : a. Secara luas, pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiscal. b. Secara sempit, pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama. Yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah. 2. MACAM MACAM PEMAJAKAN BERGANDA

3 A. Yuridis PBI Yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu negara. Negara domisili mengenakan pajak terhadap subjek pajaknya dari penghasilan yang diperoleh nya dari negara sumber Penghasilan Negara domisili Negara sumber Negara sumber mengenakan pajak terhadap penghasilan dari subjek pajak yang bersumber di negara-nya Penghasilan B. Ekonomis PBI ekonomis terjadi apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara). PBI ekonomis terjadi jika pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject). Subjek pajak orang pribadi Subjek pajak badan Laba kena pajak = 7.5 m -/- pajak final 10% = 0.75 m Laba setelah pajak = 6.75 m Laba kena pajak = 10 M -/- pajak final 10% = 2.5 M Laba setelah pajak = 7.5 M Atas laba usaha yang sama sebesar 10 M dikenakan pajak dua kali di subjek pajak yang berbeda yaitu sebesar 2.5 M di level subjek pajak badan dan 750 juta di level subjek pajak orang pribadi TUJUAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

4 Tujuan utama suatu perjanjian penghindaran pajak berganda adalah untuk meniadakan atau mengurangi pemajakan berganda (avoid double taxtation). Selain itu juga terdapat tujuan lain, yaitu untuk mencegah penghindaran pajak dan penyeludupan pajak (avoid double nontaxation). Sehingga melalui kedua tujuan tersebut terdapat maksud untuk mencapai tujuantujuan seperti : 1. Menjaga persaingan yang adil antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri dengan cara mengenakan beban pajak yang sama terhadap penghasilan yang sama berdasarkan tingkat kemampuan membayar pajak (ability to pay) yang sama tanpa memperhatikan di negara mana sumber penghasilan tersebut berasal; 2. Meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal; 3. Membagi hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber secara adil atas penghasilan yang berasal dari transaksi lintas batas negara; 4. Menjamin adanya netralitas dalam perpajakan internasional, baik dalam pemajakan atas aliran modal yang masuk atau keluar ke suatu Negara Capital export neutrality adalah netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang keluar. Maksud dari capital export neutrality adalah agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama terhadap subjek pajak dalam negeri yang melakukan investasi di negaranya sendiri (domestic investment) maupun ketika subjek pajak dalam negeri tersebut melakukan investasi di negara lain (foreign investment). Penghasilan Subjek Pajak Negara B Negara Negara A Negara A Subjek Pajak Negara A mengenakan beban pajak yang sama atas penghasilan Subjek Pajak Negara A, baik yang berasal dari Negara A maupun yang Penghasilan Penghasilan Capital Negara berasal import dari A neutrality mengenakan Negara B dalam adalah beban netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang masuk ke dalam suatu pajak periode negara. yang yang sama Maksud sama antara dari capital import neutrality Subjek adalah Pajak agar suatu negara mengenakan beban penghasilan pajak yang diperoleh sama atas oleh penghasilan yang besumber di negara-nya tanpa membedakan negara Subjek yang Pajak menerima Negara A dan penghasilan tersebut. penghasilan yang diperoleh oleh Subjek Pajak Negara B dalam suatu periode yang sama

5 SEBAB-SEBAB TIMBULNYA PAJAK BERGANDA Timbulnya pajak berganda bisa saja disebabkan oleh konflik kepentingan antara negara berupa perbedaan sistem atau prinsip pemajakan antara negara tersebut. 1. Konflik antara negara dengan negara lainnya untuk menjadi negara sumber dari suatu penghasilan tertentu (source-source conflict) Terjadi ketika suatu negara merasa berhak menjadi negara sumber atas suatu jenis penghasilan tertentu dan kemudian mengklaim negaranya menjadi negara sumber. Contoh :

6 Promotor dari Negara A bermaksud untuk mengadakan pertunjukan musik di Negara B dengan mengundang artis terkenal dari Negara C. Atas pertunjukan tersebut, promotor di Negara A membayar sejumlah honor kepada artis tersebut. Dalam kasus ini, otoritas pajak Negara B, sebagai negara tempat si artis tersebut mengadakan pertunjukan (place of performance) tentu saja dapat mengklaim bahwa Negara B mempunyai hak pemajakan atas honor yang diperoleh oleh artis tersebut. Akan tetapi, otoritas pajak Negara A dapat saja, berdasarkan kententuan domestik, mengklaim bahwa penghasilan tersebut dikenakan pajak di Negara A karena pembebanan atas biaya honor artis tersebut dibebankan sebagai biaya di Negara A (borne rule principle). 2. Konflik antara negara domisili dan negara sumber untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu (residence-source conflict) Terjadi karena negara di mana penghasilan tersebut bersumber (negara sumber) dan negara tempat subjek pajak berdomisili (negara domisili) sama-sama mengenakan pajak atas subjek pajak tersebut. Contoh : Tuan Aji merupakan subjek pajak dalam negeri (resident) Indonesia yang memiliki kepemilikian 50% saham Singapore Ltd. Singapore Ltd membayar dividen kepada Tuan Aji, berdasarkan ketentuan Pasal 10 dari perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia dan Singapura, pihak otoritas pajak Singapura berhak untuk mengenakan pajak maksimum 10% dari dividen yang dibayarkan karena penghasilan dividen tersebut bersumber di Singapura. Kemudian otoritas pajak Indonesia yang menganut konsep world wide income juga akan mengenakan pajak atas penghasilan dividen yang diterima dari Singapore Ltd tersebut. 3. Konfilik antara suatu negara dan negara lainnya untuk menjadi negara domisili (residence state) bagi subjek pajak tertentu (residence-residence conflict) Terjadi ketika dua atau lebih negara saling melakukan klaim bahwa subjek pajak yang sama merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mereka. Contoh : Mr. Romi adalah warganegara Malaysia dan merupakan subjek pajak dalam negeri Malaysia karena alasan Mr. Romi mempunyai tempat tinggal tetap (permanent home) di Kuala Lumpur. Di bulan September 2009, Mr. Romi mendapatkan penugasan untuk bekerja di Indonesia selama 2 tahun. Penugasan selama 2 tahun di Indonesia tersebut dituangkan di dalam kontrak kerja. Atas dasar kontrak tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Mr. Romi mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, sehingga berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU PPh Indonesia, Mr. Romi merupakan subjek pajak dalam negeri (resident) Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut, dalam tahun 2009, Mr. Romi mempunyai subjek pajak dalam negeri ganda yaitu sebagai subjek pajak dalam negeri Malaysia dan Indonesia. 4. Konflik antara negara domisili dan negara sumber atas karakterisasi suatu jenis penghasilan tertentu (characterization of income conflict) Terjadi jika salah satu negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda tidak setuju terhadap interpretasi yang diberikan oleh negara partner-nya atas suatu definisi tertentu yang tercantum dalam perjanjian penghindaran pajak berganda. Contoh : Mr. David merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara domisili (Negara D). Mr. David tersebut melakukan konser untuk direkam di Negara S (negara sumber). Mr.

7 David menerima penghasilan dari konser tersebut yang dihitung dari suatu persentase tertentu dari hasil penjualan rekaman. Negara S mengklasifikasikan penghasilan yang diperoleh oleh Mr. David sebagai penghasilan dari imbalan dari kegiatan personal services. Sedangkan Negara D berpendapat bahwa penghasilan yang diterimannya merupakan penghasilan dari royalti. Apabila penghasilan tersebut didefinisikan sebagai royalti maka berdasarkan Pasal 12 ayat (1) dari perjanjian penghindaran pajak berganda yang mereka sepakati (misalnya, menggunakan OECD Model) hanya negara domisili (Negara D) yang mempunyai hak untuk memajaki (shall be taxable only). Akan tetapi, apabila penghasilan tersebut diklasifikasikan sebagai imbalan dari kegiatan personal services maka berdasarkan perjanjian penghindaran pajak yang mereka tandatangani, hak pemajakan juga diberikan kepada Negara S. Oleh karena Negara D berpendapat bahwa hanya Negara D yang mempunyai hak pemajakan, maka ketika Negara S mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh Mr. David, Negara D tidak mau memberikan keringanan pajak kepada Mr. David atas pajak yang telah dipotong di Negara S. Dengan demikian, atas penghasilan yang diterima oleh Mr. David dikenakan pajak dua kali tanpa adanya keringanan pajak yang diberikan. METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Seperti telah dijelaskan di muka, pemajakan berganda secara yuridis (juridical double taxation) terjadi apabila atas penghasilan yang sama dikenakan pajak 2 (dua) kali oleh 2 (dua) Negara yang berbeda dalam periode yang sama. Contoh 1.5 berikut ini menjelaskan pemajakan berganda secara yuridis. Contoh 1.5 Misalkan Subjek Pajak A adalah subjek pajak dalam negeri dari Negara D (Negara domisili). Dalam tahun 2008, selain memperoleh penghasilan di Negara D sebesar 20 juta, Subjek Pajak A juga memperoleh penghasilan dari Negara S (Negara sumber) senilai 10 juta. Tarif pajak penghasilan untuk masing-masing Negara adalah sebagai berikut: 1. Negara D mengenakan tariff flat sebesar 30%; 2. Negara S mengenakan tariff sebesar berikut ini: a. Asumsi I, mengenakan tarif flat yang lebih rendah dari Negara D yaitu sebesar 25%; b. Asumsi II, mengenakan tarif flat yang lebih tinggi dari Negara D yaitu sebesar 35%. Negara D sebagai Negara domisili menerapkan sistem world wide income atas subjek pajak dalam negeri-nya. Jadi, Subjek Pajak A akan dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) maupun atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S).

8 Berdasarkan kasus Contoh 1.5 di atas maka jika di masing-masing Negara tidak mempunyai ketentuan tentang metode penghindaran pajak berganda maka beban pajak atas penghasilan yang diperoleh oleh Subjek Pajak A adalah sebagai berikut: No Tabel 1.1 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Jika Tidak Terdapat Metode Penghindaran Pajak Berganda Asumsi I Uraian Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) 4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x ) b. Asumsi II (35% x ) Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income) (30% x ) dan (30% x ) Total beban pajak Tampak dalam perhitungan di atas, terhadap penghasilan yang sama yang diperoleh di Negara S sebesar dikenakan pajak dua kali oleh dua Negara yang berbeda yaitu: 1. Asumsi I: Negara S sebesar 25% x = dan sekali lagi di Negara D sebesar 30% x = Dengan demikian, total jumlah beban pajak atas penghasilan yang sama ( ), yaitu sebesar = atau sebesar 55%.

9 2. Asumsi II: Negara S sebesar 35% x = dan sekali lagi di Negara D sebesar 30% x = Dengan demikian, total jumlah beban pajak atas penghasilan yang sama ( ), yaitu sebesar = atau sebesar 65%. Tentunya beban pajak sebesar 55% (Asumsi I) atau sebesar 65% (Asumsi II) tersebut sangat memberatkan Subjek Pajak A. Untuk itu, agar tidak terdapat pajak berganda maka dibuatlah metode keringanan pajak sebagai berikut: 1. Metode pembebasan (exemption method): a. Metode pembebasan penuh (full credit method). b. Metode pembebasan dengan progresi (exemption with progression). 2. Metode kredit pajak (credit method): a. Metode kredit pajak penuh (full credit method) b. Metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method). 3. Metode pengurangan (deduction method) Metode Pembebasan (Exemption Method) Pemajakan berganda dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri sebesar dapat dihindari melalui metode pembebasan (exemption method) dengan cara tidak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) tersebut di Negara D. Tabel 1.2 berikut ini memperlihatkan perhitungan penghindaran pajak berganda melalui metode pembebasan pajak penuh: Tabel 1.2 No Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Pembebasan Pajak Penuh Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) 4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x )

10 b. Asumsi II (35% x ) Pajak yang dikenakan oleh Negara D hanya atas yang bersumber di Negara D saja yaitu: (30% x ) Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( / ) x 100% 28,3% b. Asumsi II: ( / ) x 100% 31,7% 5.2. Metode Kredit Pajak (Credit Method) Pemajakan berganda dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri sebesar tersebut, selain dapat dihindari dengan metode pembebasan pajak penuh (full exemption method) seperti diuraikan di atas juga dapat dihindari dengan cara metode kredit pajak. Metode kredit pajak sendiri dibagi menjadi dua yaitu metode kredit pajak penuh (full credit method) dan metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method). Apabila kasus Contoh 1.5 di atas dihitung dengan menggunkan metode kredit pajak penuh (full credit method) maka perhitungannya tampak dalam Tabel 1.3 berikut ini: No Tabel 1.3 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Kredit Pajak Penuh Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S)

11 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x ) b. Asumsi II (35% x ) Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income) (30% x ) (30% x ) Total beban pajak subjek pajak A sebelum kredit pajak Kredit Pajak: a. Asumsi I ( ) (pajak yang telah dipungut di Negara S) b. Asumsi II ( ) (pajak yang telah dipungut di Negara S) 8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( / ) x 100% 30,0% b. Asumsi II: ( / ) x 100% 30,0% Dari perhitungan metode kredit pajak penuh di atas, tampak bahwa beban pajak secara keseluruhan baik dengan menggunakan Asumsi I atau Asumsi II adalah sama yaitu sebesar Apabila kita bandingkan dengan metode pembebasan pajak penuh (full exemption method) maka dari sisi wajib pajak akan memberikan dampak total beban pajak sebagai berikut:

12 No Tabel 1.4 Perbandingan Beban Pajak antara Metode Pembebasan Pajak Penuh Dan Metode Kredit Pajak Penuh Asumsi I Uraian Asumsi II 1 Metode pembebasan pajak penuh Metode kredit pajak penuh Dari Tabel 1.4 di atas, dari sisi subjek pajak dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Asumsi I: Lebih menguntungkan menggunakan metode pembebasan pajak penuh karena total beban pajak lebih kecil daripada beban pajak dengan menggunakan metode kredit pajak penuh. 2. Asumsi II: Lebih menguntungkan menggunakan metode kredit pajak penuh karena total beban pajak lebih kecil daripada beban pajak dengan menggunkan metode pembebasan pajak penuh. Dalam kasus Asumsi II, permasalahan penggunaan metode kredit pajak penuh timbul jika pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) lebih besar daripada pajak yang dikenakan di dalam negeri (Negara D). Untuk kasus Contoh 1.3 diatas (Asumsi II), Negara D memberikan kredit pajak penuh atas pajak yang telah dipungut oleh Negara S sebesar Padahal atas penghasilan yang bersumber di Negara S tersebut, Negara D hanya mengenakan pajak sebesar 30% dari = Tentunya pemberian kredit pajak yang lebih besar daripada pajak yang didapatka oleh Negara D tidak mungkin dilakukan oleh Negara D. Atas dasar pertimbangan di atas, metode kredit pajak yang lazim digunakan adalah metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method). Dalam metode kredit ini, kredit pajak yang dapat diberikan oleh Negara D adalah sebesar maksimal pajak yang dikenakan oleh Negara D yang dihitung dengan rumus sebagai berikut ini:

13 (A/B) x C dimana: A = Penghasilan yang bersumber di luar negeri; B = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber di dalam negeri dan luar negeri); C = Pajak yang dikenakan Negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide incime). Berdasarkan perhitungan dengan metode kredit pajak dengan pembebasan maka kredit pajak yang dapat diperhitungkan di Negara D adalah sebesar: ( / ) x = Adapun total beban pajak berdasarkan metode kredit pajak dengan pembatasan tampak dalam Tabel 1.5 berikut ini: Tabel 1.5 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Kredit Pajak dengan Pembatasan Asumsi I Asumsi II No Uraian 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x ) b. Asumsi II (35% x ) Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income) (30% x ) (30% x )

14 6 Total beban pajak subjek pajak A sebelum kredit pajak Kredit Pajak: a. Asumsi I ( ) (pajak yang telah dipungut di Negara S) b. Asumsi II ( ) (dibatasi maksimal sebesar pajak yang terutang berdasarkan tarif Negara D) 8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( / ) x 100% 30,0% b. Asumsi II: ( / ) x 100% 31,67% Apabila kita bandingkan total beban pajak antara metode pembebasan pajak penuh dan metode kredit dengan pembatasan akan tampak dalam Tabel 1.6 di bawah ini: No Tabel 1.6 Perbandingan Beban Pajak Antara Metode Pembebasan Pajak Penuh dan Metode Kredit Pajak dengan Pembatasan Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Metode pembebasan pajak penuh Metode kredit pajak penuh dengan pembatasan Dari perhitungan di atas, tampak bahwa dalam kasus Asumsi II, antara metode pembebasan pajak penuh dan metode kredit pajak dengan pembatasan memberikan beban pajak yang sama bagi Subjek Pajak A.

15 Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian kita adalah jika sumber penghasilan di luar tidak berasal dari satu Negara saja tetapi berasal lebih dari satu Negara. Apabila sumber penghasilan berasal lebih dari satu Negara maka perhitungan kredit pajak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Kredit pajak dihitung berdasarkan masing-masing Negara (per country limition) Misalkan terdapat dua Negara sumber penghasilan yaitu Negara S1 dan S2, maka penghitungan kredit pajaknya adalah sebagai berikut: a. Untuk Negara S1: (A/B) x C b. Untuk Negara S2: (A/B) x C dimana: A = Penghasilan yang bersumber di Negara S1 atau Negara S2; B = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber di dalam negeri dan luar negeri (Negara S1 dan S2); C = Pajak yang dikenakan Negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide income). 2. Kredit pajak dihitung berdasarkan gabungan dari seluruh Negara (overall limition) Misalkan terdapat dua Negara sumber penghasilan yaitu Negara S1 dan S2, maka penghitungan kredit pajaknya adalah sebagai berikut: Untuk Negara S1 dan Negara S2: (A/B) x C dimana: A = Penghasilan yang bersumber di Negara S1 dan S2; B C = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber dalam negeri dam luar negeri (Negara S1 dan S2); = Pajak yang dikenakan negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide income) Metode Pengurangan (Deduction Method) Apabila dalam kasus Contoh 1.1 di atas dipergunakan metode keringanan pajak dalam bentuk metode pengurangan (deduction method) maka hasilanya adalah sebagai berikut: Tabel 1.7 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Pengurangan

16 No Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x ) ( ) b. Asumsi II (35% x ) ( ) 5 Penghasilan kena pajak setelah pengurangan (deduction) 6 Pajak yang dikenakan subjek oleh Negara D (world wide income) (30% x ) (30% x ) Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( / ) x 100% 35,83% b. Asumsi II: ( / ) x 100% 38,17% Dalam metode pengurangan ini, jumlah pajak yang dikenakan di Negara sumber peghasilan (Negara S) diperlukan sebagai biaya dalam rangka menghitung pajak penghasilan terutang di Negara domisili (Negara D). Dari berbagai metode penghindaran pajak yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa, dari sudut pandang subjek pajak, yang memberikan beban pajak tertinggi adalah metode pengurangan sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.8 berikut ini:

17 Tabel 1.8 Perbandingan Beban Pajak No Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Metode pembebasan pajak penuh Metode kredit pajak penuh Metode kredit pajak penuh dengan pembatasan Metode pengurangan

Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I)

Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I) Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I) Hello! We are : Ahmad Deza Perdana Dhiyana Riyani Viva Nurakifiya G. Table of Contents 1. Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya 2. Ruang

Lebih terperinci

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP MATA KULIAH DOSEN TEMA Sumber diambil dari Ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam P3B Perpajakan Internasional VED SE.,MSi Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan

Lebih terperinci

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Modul ke: PERPAJAKAN INTERNASIONAL Memahami definisi Perpajakan Internasional, Konsep Perpajakan Internasional (Unilateral/Bilateral, Multillateral). Fakultas EKONOMI Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Program

Lebih terperinci

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) PENGERTIAN DAN TUJUAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara bilateral

Lebih terperinci

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

PERPAJAKAN INTERNASIONAL Modul ke: Fakultas EKONOMI PERPAJAKAN INTERNASIONAL Pengertian Pajak Berganda (Double taxation) para ahli, pemajakan berganda dalam aspek Nasional dan Internasional, Penerapan pajak berganda dalam UU PPh

Lebih terperinci

TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA

TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA Transaksi Lintas Batas Negara Transaksi lintas batas negara adalah transaksi antar pihak yang berasal dari dua negara (ruang lingkup internasional).

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN BAB 4 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Hubungan Indonesia dan Belanda dalam Tax Treaty Indonesia - Belanda Suatu Tax Treaty dibuat dengan tujuan untuk menghindari pengenaan pajak atas penghasilan yang

Lebih terperinci

Metode penhindaran pajak berganda berdasarkan Perjanjian internasional dan ketentuan UU PPh. Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

Metode penhindaran pajak berganda berdasarkan Perjanjian internasional dan ketentuan UU PPh. Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Modul ke: PERPAJAKAN INTERNASIONAL Metode penhindaran pajak berganda berdasarkan Perjanjian internasional dan ketentuan UU PPh Fakultas EKONOMI Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA Program Studi AKUNTANSI www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

Perpajakan internasional

Perpajakan internasional AKUNTANSI INTERNASIONAL MODUL 13 PERTEMUAN 13 Perpajakan internasional OLEH ; NUR DIANA SE, MSi JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2016 PERPAJAKAN INTERNASIONAL Tujuan Kebijakan

Lebih terperinci

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar TAX JURISDICTION Salah satu isu terpenting dalam perpajakan internasional adalah menetapkan negara mana yang mempunyai hak untuk mengenai pajak atas penghasilan. Sistem perpajakan yang berbeda dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Hukum Pajak Internasional Negara Indonesia mengadakan treaty tax (perjanjian penghidaran pajak berganda) bukanlah semata-mata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 4 DOSEN KEDUA PAJAK INTERNASIONAL

PERTEMUAN KE 4 DOSEN KEDUA PAJAK INTERNASIONAL PERTEMUAN KE 4 DOSEN KEDUA PAJAK INTERNASIONAL Pajak internasional dibuat untuk memenuhi prinsip keadilan. Salah satu dengan adanya penghindaran pajak berganda. Contoh: PPh 26, jika pengusaha luar negeri

Lebih terperinci

Perpajakan Internasional. Yurisdiksi Pemajakan. 30 Agustus Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Perpajakan Internasional. Yurisdiksi Pemajakan. 30 Agustus Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Perpajakan Internasional Yurisdiksi Pemajakan 30 Agustus 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Pengertian yurisdiksi Etis / retributif Etis / retributif Menurut KBBI : 1. Kekuasaan

Lebih terperinci

BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA)

BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA) BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA) Silvia Flouren Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat 11480 085217772077 silviaflouren@ymail.com

Lebih terperinci

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL. Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL. Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan HUKUM PAJAK INTERNASIONAL Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan DEFINISI HUKUM PAJAK INTERNASIONAL Prof. Dr. Adriani Suatu kesatuan hukum yang

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA

ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA Ervina Binus University Jl. Raya Sesetan No. 216b Denpasar- Bali 081805488886 rvinalee@gmail.com Stefanus

Lebih terperinci

PAJAK INTERNASIONAL. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PAJAK INTERNASIONAL. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com PAJAK INTERNASIONAL Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Latar Belakang Perkembangan transaksi perdagangan barang dan jasa lintas negara Pemberlakukan hukum pajak di masing-masing negara

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.I. Simpulan Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah melakukan pengamatan, penghitungan, dan pembahasan terhadap pelaksanaan Tax Treaty antara Indonesia dan United Kingdom

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA [TAX TREATY]

MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA [TAX TREATY] MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA [TAX TREATY] 1 Tujuan Pembahasan Mahasiswa diharapkan mampu memahami dan melihat persamaan dan perbedaan metode perjanjian penghindaran pajak berganda(p3b)

Lebih terperinci

PERTEMUAN 7 By Ely Suhayati SE MSi Ak PENGKREDITAN PPH PASAL 24 DAN ANGSURAN PPH PASAL 25

PERTEMUAN 7 By Ely Suhayati SE MSi Ak PENGKREDITAN PPH PASAL 24 DAN ANGSURAN PPH PASAL 25 PERTEMUAN 7 By Ely Suhayati SE MSi Ak PENGKREDITAN PPH PASAL 24 DAN ANGSURAN PPH PASAL 25 3.1 PPH PASAL 24 Dalam kondisi bisnis internasional semakin meningkat, WP Dalam Negeri dan WP BUT mungkin saja

Lebih terperinci

HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO

HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO HUKAKDSAhUKU PENGATAR HUKUM PAJAK INTERNATIONAL Istilah : - PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) - International Tax Treaty (perjanjian Pajak international

Lebih terperinci

Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya

Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya 1 1 2 2 3 Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya Setiap negara mempunyai Undang-Undang Perpajakan Tersendiri. Dari Segi Kekuatan modal dikelompokkan menjadi : a. Capital Exporting

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK Dalam Undang-undang Pajak Domestik di Negara Jerman pada tahun 1922 memberikan pandangan yang

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN 4.1. Perjanjian Tax Treaty antara Indonesia dan Hongkong Setiap negara mempunyai kedaulatan dalam memungut pajak atas penghasilan yang diterima di negara tersebut

Lebih terperinci

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Oleh : Misdawati 1110531019 Risa Kurnia 1210532063 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS 2015 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL

PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL Latar Belakang Se8ap negara mempunyai Undang- Undang Perpajakan tersendiri. Kekuatan modal dikelompokkan: a. Capital Expor8ng Countries. b. Capital Impor8ng Countries. Kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah bagian dari Dunia Internasional, setiap negara menjalin hubungan dengan negara lainnya guna mengadakan transaksi-transaksi yang saling menguntungkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara domisili 1 dan sumber 2 menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para

Lebih terperinci

Ruth Rassita Kembaren. Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat

Ruth Rassita Kembaren. Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP PENERBANGAN BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN CHINA DAN INDONESIA DENGAN JEPANG) Ruth Rassita Kembaren Universitas Bina Nusantara

Lebih terperinci

Beneficial Owner Certificate of Domicile Limitation on Benefit Article YOHANES DWIKI R. D. FIDIRA MAHARANI YUH MELIALA

Beneficial Owner Certificate of Domicile Limitation on Benefit Article YOHANES DWIKI R. D. FIDIRA MAHARANI YUH MELIALA Beneficial Owner Certificate of Domicile Limitation on Benefit Article YOHANES DWIKI R. D. FIDIRA MAHARANI YUH MELIALA Beneficial Owner Pengertian Umum Beneficial Owner Pemilik manfaat dari penghasilan

Lebih terperinci

MEMAHAMI TAX TREATY. Taxes Covered

MEMAHAMI TAX TREATY. Taxes Covered MEMAHAMI TAX TREATY Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional II.1.1 Perjanjian Internasional Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari perpajakan. Secara sederhana pajak adalah instrumen yang dipergunakan oleh pemerintah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berganda (double taxation). Untuk menghindari double taxation, maka dibuat

BAB I PENDAHULUAN. berganda (double taxation). Untuk menghindari double taxation, maka dibuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja asing yang bekerja atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia membawa dampak positif dalam menggerakkan perekonomian nasional. Penggunaan tenaga

Lebih terperinci

UN Model, OECD Model & Indonesian Model. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

UN Model, OECD Model & Indonesian Model. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com UN Model, OECD Model & Indonesian Model Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Perbandingan UN Model, OECD Model dan Indonesian Model UN Model Model yang dikembangkan untuk memperjuangkan

Lebih terperinci

BAHAN AJAR PAJAK INTERNASIONAL

BAHAN AJAR PAJAK INTERNASIONAL BAHAN AJAR PAJAK INTERNASIONAL PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI PAJAK ANANG MURY KURNIAWAN, S.S.T., Ak., M.Si. SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TAHUN 2010 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji

Lebih terperinci

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA RUANG LINGKUP P3B Untuk mempermudah pemahaman pembaca tentang P3B, maka ruang lingkup P3B dengan menggunakan United Nations (UN) Model dikelompokkan sebagai

Lebih terperinci

Landasan Hukum: Pasal 24 UU PPh, KMK No. 164/ KMK.03/ 2002

Landasan Hukum: Pasal 24 UU PPh, KMK No. 164/ KMK.03/ 2002 Landasan Hukum: Pasal 24 UU PPh, KMK No. 164/ KMK.03/ 2002 DEFINISI Pajak yang terutang atau dibayarkan di Luar Negeri (LN). Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang boleh dikreditkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman, semakin meningkat pula frekuensi kegiatan bisnis yang terjadi di berbagai negara. Perlu diragukan jika ada seseorang yang berpendapat

Lebih terperinci

Santi Wijaya ; Maya Safira Dewi. Binus University, Jl.Kebun Jeruk Raya no.27, ABSTRACTS

Santi Wijaya ; Maya Safira Dewi. Binus University, Jl.Kebun Jeruk Raya no.27, ABSTRACTS ANALISIS PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP BERDASARKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA ( PERBANDINGAN INDONESIA DAN CHINA, INDONESIA DAN KOREA SELATAN) Santi Wijaya ; Maya Safira

Lebih terperinci

PERPAJAKAN INTERNASIONAL KASUS TAX TREATY

PERPAJAKAN INTERNASIONAL KASUS TAX TREATY PERPAJAKAN INTERNASIONAL KASUS TAX TREATY Cahyaning Satyka Dina Amalia Fildzah Dessyana Margareth Sophia Kasus Tax Treaty: PT. Cantika Indah ( Perusahaan ) bergerak di bidang produksi alat-alat kosmetik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan : Put /PP/M.II/13/2012. Jenis Pajak : PPh Pasal 26. Masa/Tahun Pajak : 2003

Putusan Pengadilan : Put /PP/M.II/13/2012. Jenis Pajak : PPh Pasal 26. Masa/Tahun Pajak : 2003 Putusan Pengadilan : Put. 40792/PP/M.II/13/2012 Pajak Nomor Jenis Pajak : PPh Pasal 26 Masa/Tahun Pajak : 2003 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah koreksi Objek PPh Pasal 26 Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar penerimaan Negara Republik Indonesia bersumber dari pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014 pajak menyumbang Rp. 1.310.219.000.000.000

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.161, 2010 KEUANGAN NEGARA. Pajak Penghasilan. Penghitungan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak PERPAJAKAN LANJUTAN by Ely Suhayati SE MSi Ak PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 Dalam kondisi bisnis internasional semakin meningkat, WP Dalam Negeri dan WP BUT mungkin saja memperoleh penghasilan dari luar negeri,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Silabus. EKA 5341 Perpajakan Internasional. Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Silabus. EKA 5341 Perpajakan Internasional. Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Silabus EKA 5341 Perpajakan Internasional Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Institut Keuangan Perbankan dan Informatika Asia Perbanas Jalan Perbanas, Karet Kuningan, Setiabudi,

Lebih terperinci

Achmad Abrar. Dosen Pembimbing: Maya Safira Dewi, SE., Ak., M.Si ABSTRAK

Achmad Abrar.   Dosen Pembimbing: Maya Safira Dewi, SE., Ak., M.Si ABSTRAK ANALISIS IMPLEMENTASI TIE BREAKER RULE DALAM PERJANJIAN BERGANDA ANTARA INDONESIA DENGAN AMERIKA SERIKAT ATAS PENENTUAN STATUS DOMISILI TENAGA KERJA ASING DI INDONESIA (STUDI KASUS PT. HBI) Achmad Abrar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan untuk menarik investor asing menanamkan modalnya pada suatu negara semakin ketat. Oleh karena itu, negara juga secara aktif mempromosikan negaranya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS EMPLOYEE STOCK OPTION. A. Analisis Saat Pengenaan Pajak yang Tepat atas ESOP

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS EMPLOYEE STOCK OPTION. A. Analisis Saat Pengenaan Pajak yang Tepat atas ESOP BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS EMPLOYEE STOCK OPTION A. Analisis Saat Pengenaan Pajak yang Tepat atas ESOP Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ESOP memiliki tahapantahapan

Lebih terperinci

PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Cara Mudah memahami PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3b) (TAX TREATY IS EASY) Penulis : Hendharto Oetomo Olina Rizki Arizal Ngakan Putu Ardana TAX BOOK - Preliminary (8 Sept 2015).indd 1 Cara Mudah

Lebih terperinci

PESUIIT ANDI. Pajak 8erganda? Pedoman Mudah. dan. Praktis Memahami Tax Treaty. Djoko Muljono

PESUIIT ANDI. Pajak 8erganda? Pedoman Mudah. dan. Praktis Memahami Tax Treaty. Djoko Muljono PESUIIT ANDI Pajak 8erganda? Pedoman Mudah dan Praktis Memahami Tax Treaty Djoko Muljono Tax Treaty merupakan salah satu cara untuk mengatur pemajakan yang dilakukan oleh negara-negara yang penduduknya

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN 4.1 Tahap Tahap Terbentuknya Tax Treaty Di dalam era globalisasi yang terus tumbuh dan berkembang, hubungan antar negara yang satu dan dengan negara lainnya tidak dapat dipungkiri

Lebih terperinci

PERSANDINGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

PERSANDINGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PERSANDINGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PP 138 Tahun 2000 PP 94 Tahun 2010 Bab I Penghitungan Penghasilan Kena

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Definisi Pajak Pajak menurut UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Pasal 1 ayat 1 adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Modul ke: PERPAJAKAN I. PPh PASAL Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Program Studi Akuntansi.

Modul ke: PERPAJAKAN I. PPh PASAL Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Program Studi Akuntansi. Modul ke: 14Fakultas Deden Ekonomi dan Bisnis PERPAJAKAN I PPh PASAL 24 Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id PENDAHULUAN Pajak Penghasilan (PPh) mengatur tentang perhitungan

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA. 1. Bagaimana perbedaan fixed base dengan Permanent Establishment dalam

PEDOMAN WAWANCARA. 1. Bagaimana perbedaan fixed base dengan Permanent Establishment dalam PEDOMAN WAWANCARA A. PRAKTISI PERPAJAKAN 1. Bagaimana perbedaan fixed base dengan Permanent Establishment dalam praktik di lapangan? 2. Apakah tepat mengasimilasikan Pasal 14 ke Pasal 7? dan jelaskan alasannya!

Lebih terperinci

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN A DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL NPWP : NAMA WAJIB PAJAK : BULAN / HARGA NILAI SISA BUKU FISKAL METODE PENYUSUTAN / AMORTISASI KELOMPOK / JENIS HARTA TAHUN PEROLEHAN AWAL TAHUN PENYUSUTAN / AMORTISASI

Lebih terperinci

KETENTUAN PENERAPAN P3B DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN P3B PERDIRJEN SEBELUMNYA

KETENTUAN PENERAPAN P3B DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN P3B PERDIRJEN SEBELUMNYA KETENTUAN PENERAPAN P3B DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN P3B PERDIRJEN SEBELUMNYA Perdirjen Pajak Nomor 61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan P3B s.t.d.t.d. Perdirjen Pajak Nomor 24/PJ/2010 (11 Pasal): #Pemotongan

Lebih terperinci

PERTEMUAN 12: PPh Pasal 24 (Umum /Perhitungan)

PERTEMUAN 12: PPh Pasal 24 (Umum /Perhitungan) PERTEMUAN 12: PPh Pasal 24 (Umum /Perhitungan) A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penerapan perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 24 (Umum dan Perhitungannya), Anda harus mampu:

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN A. Pajak Penghasilan atas Kompensasi Opsi Saham untuk Karyawan dari Pekerjaan

Lebih terperinci

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com » Dikelompokkan Sbb: Subjek pajak, jenis pajak, istilah umum dan penduduk Jenis-jenis penghasilan Hal-hal yang terkait pekerjaan Hubungan istimewa

Lebih terperinci

(WITHHOLDING) TAX DAN KREDIT PAJAK (TAX CREDIT)

(WITHHOLDING) TAX DAN KREDIT PAJAK (TAX CREDIT) Bab 7 PEMOTONGAN PAJAK (WITHHOLDING) TAX DAN KREDIT PAJAK (TAX CREDIT) WITHHOLDING TAX PPH PASAL 26 Penghasilan yang diterima oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia, harus

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL. Abstrak

ASPEK HUKUM PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL. Abstrak Mimbar Keadilan, Jurnal Ilmu Hukum Edisi: Januari - Juni 2014, Hal. 87-96 ISSN: 0853-8964 ASPEK HUKUM PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL Oleh: Dewi Anggraeni Putri Alumni Fakultas

Lebih terperinci

02FEB. Manajemen Perpajakan

02FEB. Manajemen Perpajakan Modul ke: Fakultas 02FEB Manajemen Perpajakan Mempelajari aspek manajemen pajak dalam pemilihan bentuk usaha tetap dan factor-faktor yang berhubungan dengan petunjuk pelaksanaan manajemen pajak Dra. Rokhanah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1992 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN

Lebih terperinci

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00 SILABUS/SAP Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00 Tgl. Revisi : - Kode Dok.: FRM-01 1 P a g e SILABUS/SAP MATA KULIAH PAJAK INTERNASIONAL DAN TAX TREATY 3 SKS Deskripsi dan tujuan mata kuliah Mata

Lebih terperinci

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) Perjanjian Penghindaran Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat

Lebih terperinci

International Tax Law Principles. CHRISTINE, M.Int.Tax, CA

International Tax Law Principles. CHRISTINE, M.Int.Tax, CA International Tax Law Principles CHRISTINE, M.Int.Tax, CA Agenda Concept of International Tax Juridical vs Economic double taxation World wide income vs territorial income Conflicts under international

Lebih terperinci

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL HUKUM PAJAK INTERNASIONAL PELAKSANAAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN PAJAK INTERNASIONAL MAKALAH Disusun dalam memenuhi nilai Tugas dalam Mata Kuliah Hukum Pajak Semester Genap - Tahun Akademik 2009-2010

Lebih terperinci

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Definisi Pajak yang dikenakan atas penghasilan berasal dari Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain BUT. Subjek PPh 26 dapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN KEPUTUSAN MENT ERI KEUANGAN REPUBLIK INDON ESIA NOMOR 164/KMK.03/2002 TENTANG KREDITPAJAK LUAR NEGERI

MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN KEPUTUSAN MENT ERI KEUANGAN REPUBLIK INDON ESIA NOMOR 164/KMK.03/2002 TENTANG KREDITPAJAK LUAR NEGERI SALINAN KEPUTUSAN MENT ERI KEUANGAN REPUBLIK INDON ESIA NOMOR 164/KMK.03/2002 TENTANG KREDITPAJAK LUAR NEGERI MENT ERI KEUAN GAN REPUBLIK INDON ESIA, Menimbang Mengingat bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007:

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1. Perpajakan 2.1.1.1. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007: Pajak adalah kontribusi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Ada banyak definisi atau pendapat yang dikemukan oleh para pakar mengenai pengertian pajak, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011 Pajak Penghasilan Pasal 24 Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011 http://elearning.pnb.ac.id www.nyomandarmayasa.com Sub Topik 1. UU No. 36 Tahun 2008-Pasal 24 2. Sumber

Lebih terperinci

OBJEK PAJAK, PAJAK PENGHASILAN

OBJEK PAJAK, PAJAK PENGHASILAN OBJEK PAJAK, PAJAK PENGHASILAN Pertanyaan yang banyak timbul dari masalah ini adalah : 1.Apakah transaksi tersebut menimbulkan penghasilan atau tidak, 2. bila ya kapan penghasilan tersebut timbul, untuk

Lebih terperinci

Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi

Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi Priyanto Rustadi Pengantar Bentuk penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Joint Operation dapat bermacam-macam, baik itu dari usaha, dari modal maupun

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Pengenaan Pajak atas Penghasilan PT PIBS. PT PIBS adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi.

BAB IV PEMBAHASAN. Pengenaan Pajak atas Penghasilan PT PIBS. PT PIBS adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Pengenaan Pajak atas Penghasilan PT PIBS PT PIBS adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Selain mendapat imbalan atas jasa pelaksanaan konstruksi yang diberikan, PT

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka penulis membuat simpulan dari seluruh pembahasan yaitu sebagai

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka penulis membuat simpulan dari seluruh pembahasan yaitu sebagai BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan Sebagai akhir dari pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis membuat simpulan dari seluruh pembahasan yaitu sebagai berikut : a. Perhitungan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 DEFINISI PPH PASAL 24 Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, yang terhutang atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN. Konsep pengenaan pajak atas penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak

BAB 4 PEMBAHASAN. Konsep pengenaan pajak atas penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak BAB 4 PEMBAHASAN Konsep pengenaan pajak atas penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 4 ayat (1) yang saat ini berlaku di Indonesia mengandung pengertian bahwa, yang menjadi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) DENGAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. commission pada PT X yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. commission pada PT X yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara studi dokumen dan pengamatan partispatif atas kasus handling commission pada PT

Lebih terperinci

Adjusment-Final Tree Up 2006 yang dicatat pada GL 2007 (Rp ,00) Adjusment-Final Tree Up 2007 yang dicatat pada GL 2008 Rp

Adjusment-Final Tree Up 2006 yang dicatat pada GL 2007 (Rp ,00) Adjusment-Final Tree Up 2007 yang dicatat pada GL 2008 Rp Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.49499/PP/M.XIII/13/2013 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun Pajak : 2007 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah koreksi positif

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 138 TAHUN 2000 (138/2000) TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pajak 2.1.1.1. Definisi Pajak Membahas mengenai perpajakan tidak terlepas dari pengertian pajak itu sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch BAB V PENUTUP V.1 KESIMPULAN Dari uraian dan pembahasan yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch Profit Tax

Lebih terperinci

CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY

CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY 1. TAX TREATY INDONESIA-SINGAPURA Perjanjian pajak Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 8 Mei 1990 ini mengatur tentang penghindaran pajak berganda dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Pajak merupakan sumber penerimaan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dunia yang cepat dan dinamis telah mengakibatkan hubungan perdagangan internasional semakin terbuka luas dan semakin ekstensif yang ditandai dengan terbentuknya

Lebih terperinci

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23 dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23 Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan Oleh Subur Harahap, SE, Ak, MM, CFP Partner SUHA Planner Financial Consulting

Lebih terperinci

Workshop Perpajakan Manajemen Risiko Perpajakan & Tax Planning Pasca Tax Amnesty. Dr. Nur Hidayat, SE, ME, Ak, CA, BKP

Workshop Perpajakan Manajemen Risiko Perpajakan & Tax Planning Pasca Tax Amnesty. Dr. Nur Hidayat, SE, ME, Ak, CA, BKP Workshop Perpajakan Manajemen Risiko Perpajakan & Tax Planning Pasca Tax Amnesty Dr. Nur Hidayat, SE, ME, Ak, CA, BKP 1 orang bijak merencanakan pajak fiskus petugas penerima SPT 7 August 2017 2 Perbedaan

Lebih terperinci