Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia"

Transkripsi

1 Kerangka Hukum Pengaturan Bisnis dan HAM di Indonesia Oleh: Iman Prihandono * 1. Pendahuluan The UN Guiding Principles on Business and Human Rights, atau secara singkat disebut juga UNGP, disusun oleh sebuah tim yang diketuai oleh John Ruggie dalam waktu sekitar 6 tahun, dimulai sejak tahun Dalam masa jabatannya, Ruggie dan timnya bekerja mengidentifikasi permasalahan utama dalam isu bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu permasalahan utama yang ditemukan adalah adanya accountability gap. Pelanggaran HAM oleh korporasi terjadi bukan semata-mata karena korporasi tidak bersedia menghormati HAM, tetapi lebih karena ketidakmauan pemerintah mengatur penghormatan HAM oleh korporasi. Dalam sidang Human Rights Council (HRC), usulan tiga pilar utama UNGP, yaitu Protect, Respect, dan Remedy, mendapatkan persetujuan secara mutlak oleh seluruh negara anggota, sesuatu yang jarang terjadi dalam sidang HRC. Persetujuan ini menunjukkan bahwa UNGP dapat diterima oleh setidaknya tiga kelompok yang berkepentingan dalam masalah ini, yaitu negara-negara maju (negara asal investasi), negara berkembang (negara tujuan investasi), dan korporasi (investor). Alasan utama penerimaan ini adalah sifat tidak mengikat dari UNGP yang dianggap sebagai kompromi dua kelompok kepentingan, yaitu kelompok negara asal investasi yang didukung oleh korporasi transnasional di satu sisi, dan negara tujuan investasi di sisi lain yang didukung oleh LSM dan Organisasi Masyarakat Sipil. Nampaknya Ruggie tidak ingin mengulangi peristiwa penolakan terhadap Draft Norm on Business and Human Rights, yang dibuat dengan tujuan untuk memiliki kekuatan mengikat. Oleh karena itu, UNGP lebih memilih menggunakan kata should yang memiliki makna lebih longgar dari pada kata * Iman Prihandono, Ph.D, adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Tulisan ini adalah draft tidak untuk dikutip atau referensi bagi tulisan lain dalam bentuk apapun kecuali dengan ijin penulis. penulis: <iprihandono@fh.unair.ac.id>. 1

2 shall yang memiliki konotasi keharusan. Demikian juga terhadap korporasi hanya dibebani responsibility (tanggungjawab), dan bukan obligation (kewajiban). Sifat tidak mengikat dari UNGP memberikan jalan bagi implementasi prinsip-prinsip yang dapat dijadikan rujukan oleh pemerintah dan korporasi mengenai peran mereka dalam perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM. Sayangnya, sifat sukarela dari UNGP mengundang keraguan dari berbagai pihak, terutama menyangkut efektifitas implementasinya. Permasalahan utama bagi UNGP sebenarnya adalah menemukan kerangka hukum yang sesuai bagi implementasinya pada level negara, mengingat masingmasing negara memiliki karakteristik hukum, ketersediaan institusi dan permasalahan HAM yang berbeda-beda. Tulisan ini mengusulkan pentingnya penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) guna menentukan prioritas kegiatan, dan lembaga yang terlibat bagi implementasi UNGP di Indonesia, serta menyusun kerangka hukum yang tepat bagi pengadopsian UNGP ke dalam hukum nasional. 2. Kontribusi Positif UNGP Karena sifatnya yang voluntary dan tidak mengikat, UNGP mendapatkan kritik dari beberapa pihak. Diantaranya oleh Human Rights Watch yang menyatakan bahwa UNGP hanya akan berlaku bila negara dan korporasi berkeinginan untuk menjalankannya, dan tidak akan berlaku bila keinginan tersebut absen. Selain itu, korporasi yang menjalankannya juga akan menganggap UNGP sudah cukup bagi penghormatan terhadap HAM, sehingga berpotensi terabaikannya kewajiban-kewajiban HAM lainnya yang tidak termasuk dalam UNGP (Albin- Lackey, 2013). Terlepas dari kritik mengenai kelemahan UNGP sebagai sebuah instrumen hukum, UNGP memiliki beberapa kontribusi positif. Beberapa diantaranya seperti dirumuskan oleh Schoemaker (2011), sebagai berikut: 2

3 Pertama, UNGP memberikan klarifikasi mengenai kewajiban negara dan tanggungjawab korporasi terhadap HAM. Hal ini penting untuk mengisi accountability gap, yang merupakan masalah utama dalam isu relasi bisnis dan HAM. Kedua, UNGP menyediakan alat bagi manajemen resiko dan sistem peringatan dini bagi kegiatan usaha korporasi dengan resiko pelanggaran HAM yang tinggi. Sehingga bagi korporasi, instrumen ini akan sangat bermanfaat dalam menekan resiko operasional, hukum dan reputasi. Ketiga, UNGP membuka kesempatan bagi terjadinya kerjasama antara NGOs, korporasi dan masyarakat korban dalam membentuk mekanisme pemulihan yang efektif. Selama ini pemulihan lebih banyak bergantung pada mekanisme pengadilan yang memakan biaya besar dan waktu lama. UNGP berkontribusi positif dalam memotong kendala-kendala tersebut dengan mendorong penggunaan mekanisme internal korporasi dan luarpengadilan. Dalam tiga tahun sejak mendapatkan persetujuan dari HRC, UNGP telah memberikan pengaruh para revisi beberapa instrumen internasional baik yang bersifat mengikat maupun tidak (Ruggie, 2013). Beberapa diantaranya adalah: Pada bulan Mei 2011, OECD Guidelines for Multinational Enterprises direvisi dengan mengadopsi kerangka UNGP ke dalam sebuah Chapter khusus yang mengatur HAM. OECD Common Approaches for Export Credit Agencies 2012, sebuah instrumen yang mengatur akses permodalan di negara-negara OECD juga telah mengadopsi dan mengakui kerangka UNGP. Revisi terakhir terhadap International Finance Corporation (IFC) Sustainability Principles and Performance Standards, memperkuat ketentuan mengenai penghormatan HAM dengan menggunakan UNGP sebagai model rule. 3

4 Pada November 2010, Internasional Standards Association (ISA) mengeluarkan ISO26000, yang berisi bagian tentang HAM dengan merujuk pada kerangka UNGP. European Commission menyebut UNGP sebagai rujukan pelaksanaan Corporate Social Responsibility bagi korporasi asal EU dalam EU Strategy for Corporate Social Responsibility (European Commission, 2011). Terakhir, the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2013 mengeluarkan dokumen mengenai petunjuk penyampaian komplain oleh CSOs dan masyarakat lokal terhadap kegiatan usaha kelapa sawit. Petunjuk komplain ini secara tegas menyebutkan mengadopsi prinsip penyelesaian sengketa dan pemulihan luar-pengadilan dalam UNGP (Chao, 2013). Dengan demikian, meskipun tanpa kekuatan mengikat, tanpa mekanisme penegakan dan sanksi, sebenarnya UNGP telah mendapatkan wadah bagi implementasinya. Meskipun tidak dapat meningkatkan kekuatan mengikat dari UNGP, adopsi oleh organisasi dan asosiasi korporasi internasional telah berkontribusi meningkatkan efektifitas implementasi tiga pilar UNGP. 3. Rencana Aksi Nasional Selain dari adopsi oleh beberapa organisasi internasional, beberapa negara telah mengambil langkah dalam memperkuat pelaksanaan dan menjamin kepatuhan terhadap UNGP. Amerika Serikat misalnya, telah mengadopsi UNGP ke dalam Section 1502 dari the Dodd- Frank Wall Street Reform Act. Korporasi asal AS diwajibkan melakukan uji tuntas HAM berkaitan dengan mineral tambang yang dibeli dari Republik Demokratik Kongo. Pemerintah ASjuga menggunakan UNGP sebagai acuan dalam menerapkan ketentuan kewajiban pelaporan resiko HAM bagi korporasi AS yang akan melakukan investasi di Myanmar dengan nilai investasi lebih dari US$ ,-. 4

5 Dari apa yang telah dilakukan di AS di atas nampak bahwa terdapat kesempatan bagi adopsi UNGP kedalam hukum nasional. Meskipun tidak harus persis sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah AS, yang mewajibkan uji tuntas HAM bagi aktivitas ekstrateritorial, adopsi UNGP kedalam hukum nasional terbukti dimungkinkan. Namun, nampaknya adopsi ini tidak dapat dilakukan secara keseluruhan dalam bentuk sebuah aturan hukum khusus, melainkan dilakukan secara parsial sesuai dengan jenis resiko, lokasi, dan operasi usaha korporasi. Dengan demikian, adopsi UNGP kedalam hukum nasional hanyalah salah satu langkah alternatif. Masing-masing negara dapat mengambil langkah berbeda sesuai dengan karakteristik sistem hukumnya. Langkah strategis lain diperlukan bagi implementasi efektif dari UNGP, diantaranya misalnya seperti yang diusulkan oleh ICAR (2013) dibawah ini. Pertama, menyusun sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) terhadap penerapan UNGP. RAN ini disusun bersama-sama oleh seluruh pemangku kepentingan, diantaranya Pemerintah, Korporasi dan LSM/CSOs, termasuk National Human Rights Institution (NHRI). UNGP adalah instrumen yang membutuhkan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam implementasinya, karena itu kekuatan UNGP bergantung pada proses dialog, pemahaman, dan kemauan untuk terus belajar dan memperbaiki kesalahan. The UN Working Group on Business and Human Rights yang diberi mandat untuk merumuskan dan mendorong implementasi effektif dari UNGP, mengajukan beberapa langkah strategis yang sebaiknya dimasukkan kedalam RAN sebuah negara (Bauer, 2014). Beberapa diantaranya adalah: Pertama, menyusun regulasi dan penerapan aturan yang menjadikan uji tuntas HAM sebagai syarat bagi keikutsertaan korporasi dalam tender pengadaan barang pemerintah, mendapatkan kredit ekspor, dan pencatatan (listing) sahamnya di bursa efek; Kedua, adopsi kewajiban HAM terhadap investor pada bilateral investment treaties (BITs) dan perjanjian multilateral lainnya yang memfasilitasi perdagangan dan masuknya investasi asing; 5

6 Ketiga, mengkomunikasikan secara dini harapan Indonesia terhadap korporasi asing misalnya, dengan mendorong staf diplomatik pada kedutaan besar dan perwakilan Indonesia di luar negeri untuk mengangkat masalah ini dengan pimpinan-pimpinan korporasi di negara asal mereka; Keempat, memastikan dan mengawasi bahwa RAN yang disusun telah mencakup seluruh tugas instansi pemerintah terkait, serta pendapat buruh, LSM dan masyarakat terdampak telah didengar dan dipertimbangkan; Kelima, memiliki target capaian dan kriteria capaian yang jelas, serta memiliki kerangka waktu bagi setiap tahapan capaian; Keenam, memberikan perhatian khusus bagi daerah konflik dan kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat; Ketujuh, mendorong lembaga-lembaga pembuat kebijakan dan penyusun peraturan untuk mewajibkan penyusunan uji tuntas HAM oleh korporasi. Kedelapan, memperkuat mekanisme pemulihan terhadap pelanggaran HAM yang terkait dengan kegiatan usaha korporasi. Kesembilan, memastikan bahwa institusi pemerintahan dan pejabat-pejabat pemerintah bertindak selaras dengan kewajiban negara terhadap HAM. Sehingga diharapkan pejabat yang menempati jabatan strategis di departemen yang berkaitan dengan usaha korporasi juga memiliki komitmen melaksanakan UNGP. Beberapa negara telah menyusun RAN-nya sebagai bentuk komitmen pelaksanaan UNGP. Diantaranya adalah UK, Italia dan Swiss. Masing-masing negara tersebut memiliki pendekatan, lingkup dan institusi inisiator yang berbeda-beda dalam penyusunan RAN. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari beberapa RAN negara-negara tersebut. 6

7 4. Kerangka Hukum bagi Pengadopsian UNGP Memilih kerangka hukum yang tepat bagi implementasi UNGP pada sebuah negara tentunya tidak mudah. Selain sembilan langkah strategis yang diusulkan oleh The UN Working Group on Business and Human Rights diatas, sistem hukum, instrumen hukum yang sudah ada dan efektifitas penegakan hukum di sebuah negara juga akan sangat berpengaruh. Selain itu, bagaimana korporasi menjalankan kegiatan usaha di negara tersebut, serta bidang usaha yang paling beresiko juga harus diperhatikan. Berikut ini beberapa usulan mengenai kerangka hukum yang mungkin diambil bagi adopsi dan implementasi efektif UNGP di Indonesia Adopsi UNGP kedalam Perjanjian Investasi Bilateral dan Multilateral. Adopsi ini berkaitan dengan pilar pertama dari UNGP yaitu state duty to protect, dimana pemerintah berkewajiban menjamin, melindungi dan memenuhi HAM melalui kebijakan, regulasi, dan legislasi. Saat ini Indonesia terikat dalam lebih dari 64 perjanjian investasi bilateral, regional dan multilateral. Namun sayangnya belum satupun yang mencantumkan ketentuan mengenai kewajiban menghormati HAM. Ketentuan minimum mengenai kewajiban mematuhi hukum dan regulasi lingkungan hidup dapat ditemukan di perjajian kemitraan ekonomi dengan Jepang (IJEPA). Sayangnya, pada kontrak pertambangan (Kontrak Karya) dan eksplorasi minyak dan gas (Production Sharing Contract) belum ditemukan adanya standar kepatuhan dan penghormatan terhadap HAM. Keadaan diatas sangat mengkhawatirkan karena berkaitan dengan penghormatan HAM, investor asing dibebani kewajiban terbatas untuk mematuhi hukum nasional Indonesia. Sedangkan tingkat kepatuhan dan pemenuhan HAM di Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karena itu, mengadopsi UNGP ke dalam kontrak atau perjanjian investasi akan membantu mengisi celah tersebut. 7

8 Saat ini pemerintah sedang melakukan re-negosiasi beberapa Kontrak Karya. Demikian juga pemerintah belum memiliki BITs/IIAs dengan AS dan EU. Sedangkan beberapa negara seperti AS (2012) sudah mengeluarkan standar BITs baru. Dalam model BITs ini diperkenalkan beberapa ketentuan baru, khususnya mengenai kewajiban transparansi bila pemerintah bermaksud mengeluarkan regulasi baru dalam bidang investasi, hal ini memberikan kesempatan kepada LSM dan masyarakat terdampak untuk berpartisipasi memberikan masukannya. Demikian juga ketentuan mengenai perlindungan hak tenaga kerja dan lingkungan hidup diperluas. Pemerintah negara tujuan investasi diberikan kewenangan lebih bebas dalam menjalankan hukum tenagakerja dan lingkungan hidupnya. Demikian juga European Parliament sudah mengeluarkan EU Regulation No. 1219/2012 yang mengatur penggunaan EU Model BITs yang baru akan diberlakukan bagi seluruh negara-negara EU. Dalam regulasi ini ditekankan pentingnya mengadopsi kebijakan EU mengenai penghormatan atas perlindungan hak tenaga kerja, pelestarian lingkungan hidup dan bahkan penghormatan keragaman budaya (Tzanakopoulos, 2014). Perubahan struktur dan isi BIT oleh AS dan EU diatas, sedikit banyak telah pula mempengaruhi kebijakan Indonesia dalam mengatur investasi asing. Wakil Presiden Budiono dalam sebuah pertemuan resmi di Belanda menyatakan akan mengakhiri BIT Indonesia-Belanda. Kebijakan ini juga akan diikuti dengan pengakhiran BITs lainnya. Indonesia akan menyusun ulang seluruh BIT-nya untuk tidak terlalu memberikan kesempatan bagi investor membawa sengketa melalui arbitrase internasional (Financial Times, 2014). Dengan demikian, terdapat kesempatan yang besar bagi pemerintah Indonesia untuk mendorong adopsi UNGP ke dalam kontrak investasi bilateral ataupun multilateral di masa depan. Bagi Indonesia, selain memasukkan ketiga pilar kerangka Protect, Respect, dan Remedy, John Ruggie dalam laporannya (UN General Assembly, 2011) menemukan setidaknya ada sepuluh poin yang dapat dijadikan panduan untuk ditambahkan ke dalam kontrak investasi bilateral/multilateral. Beberapa diantaranya yang relevan terhadap kondisi Indonesia adalah sebagai berikut: 8

9 a) Kontrak investasi harus memuat Rencana Pengelolaan Resiko Potensi Pelanggaran HAM. Selain itu setiap operasi usaha oleh investor asing harus memiliki Standard Operasi Kegiatan Usaha. Pada poin inilah tiga pilar Protect, Respect, dan Remedy dalam kerangka UNGP digunakan sebagai standar acuan. b) Menghindari penggunaan Stabilisation Clause. Kalaupun ada, tidak dapat dipakai untuk menghalangi pemerintah Indonesia dalam memenuhi kewajibannya terhadap HAM. c) Memuat aturan mengenai Penggunaan dan Prosedur Operasi Tenaga Keamanan/Sekuriti. d) Memiliki kebijakan dan prosdur mengenai Program Hubungan Masyarakat di Sekitar Lokasi Usaha. e) Kewajiban menjalankan dan menyusun Dokumen Monitoring dan Kepatuhan Hukum. f) Memuat aturan mengenai kewajiban bagi investor asing untuk memiliki Mekanisme Pemulihan Luar-Pengadilan. Kehadiran enam poin di atas diharapkan dapat secara signifikan merubah perilaku korporasi asing terhadap penghormatan HAM di Indonesia. Keenam poin di atas menjawab beberapa permasalahan utama yang berkaitan dengan korporasi yang beroperasi di Indonesia. Misalnya, pemerintah terkesan enggan untuk mencabut ijin pembuangan tailing PT Freeport Indonesia ke Danau Wanagon, atau ijin pembuangan tailing PT Newmont Nusa Tenggara ke Teluk Senunu karena terhalang oleh Stabilisation Clause dalam KK, dan ancaman digugat ke lembaga arbitrase internasional. Contoh lain, penggunaan bantuan keamanan dari personil TNI/Polri maupun jasa keamanan privat sering kali berakibat negatif terhadap masyarakat sekitar. Lebih penting lagi, ketiadaan mekanisme pemulihan luar-pengadilan di internal perusahaan membuat akses atas pemulihan bagi masyarakat korban menjadi tertutup. Korban cenderung tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan mekanisme pengadilan yang seringkali memakan waktu yang lama dan biaya yang relatif besar. 9

10 4.2. Mendorong Penyusunan Uji Tuntas HAM oleh Korporasi Langkah ini berkaitan dengan pilar kedua dari UNGP yaitu corporate responsibility to respect, yang salah satunya adalah melalui penyusunan uji tuntas HAM. Sebelum membahas mengenai mekanisme yang tepat dalam mendorong uji tuntas HAM, ada baiknya bagian ini terlebih dahulu mengulas definisi, karakteristik dan unsur-unsur dalam uji tuntas HAM, yaitu agar ada pemahaman yang sama mengenai hal ini. Ruggie (2010a; 81-83) menyatakan bahwa uji tuntas (due diligence) HAM berbeda dengan uji tuntas yang dikenal selama ini oleh kebanyakan pengacara. Uji tuntas atau legal audit biasanya dikaitkan dengan rencana penjualan perusahaan, rencana kerjasama usaha ataupun rencana melepas saham perusahaan melalui bursa efek. Dalam kegiatan ini uji tuntas dilakukan sebagai langkah investigasi atas aset dan tanggungjawab hukum perusahaan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi resiko bisnis dari perusahaan yang akan melakukan pembelian atau rencana kerjasama. Uji tuntas HAM menggunakan logika yang sama, yaitu mengurangi resiko, namun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan pihak yang berbeda. Dalam uji tuntas HAM, investigasi dilakukan untuk mengurangi resiko dampak HAM dari kegiatan perusahaan terhadap masyarakat yang berpotensi terdampak. Dalam kesempatan lain, Ruggie (2010b) menguraikan setidaknya ada empat unsur utama dalam sebuah uji tuntas HAM, yaitu: a) Adanya pernyataan kebijakan yang mengartikulasikan komitmen perusahaan untuk menghormati HAM. b) Penilaian dampak yang aktual dan potensial dari kegiatan usaha perusahaan terhadap pemenuhan HAM. c) Mengintegrasikan komitmen dan penilaian diatas kedalam sistem pengendalian dan pengawasan internal perusahaan. d) Menelusuri potensi-potensi permasalahan baru dan melakukan pelaporan kinerja. Menurut IEH-Ethical Trading Initiative Norway (2013), secara umum setidaknya ada fungsi utama dari pelaksanaan uji tuntas HAM, yaitu: 10

11 a) Mengidentifikasi dampak HAM aktual atau potensial dari kegiatan usaha perusahaan. b) Mencegah dan mengurangi dampak-dampak tersebut. c) Memperhatikan secara serius dampak-dampak tersebut serta mengambil langkah dalam meresponnya. Selanjutnya, ketiga poin diatas harus menjadi bagian dari proses manajerial perusahaan, dan terintegrasi ke dalam pengambilan keputusan perusahaan. Berdasarkan uraian diatas nampak bahwa uji tuntas HAM adalah sebuah kegiatan investigasi berbasis resiko. Dilakukan bukan sebagai sebuah alat untuk menghilangkan tanggung jawab hukum perusahaan terhadap HAM, namun untuk mengurangi resiko atas dampak kegiatan perusahaan terhadap HAM. Uji tuntas HAM juga merupakan sebuah proses berkelanjutan, dimana perusahaan secara terus menerus diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan dalam upaya mengurangi dampak negatif kegiatan usahanya terhadap pemenuhan HAM. Oleh karena itu, pelaksanaan uji tuntas HAM yang merupakan salah satu unsur dari tiga pilar UNGP mendapat dukungan dan didorong pelaksanaannya. Namun, mendorong pelaksanaan sebuah aturan yang asalnya berupa aturan tidak mengikat sepertinya sulit dilakukan. Ada kekhawatiran negara-negara penerima investasi (host countries) bahwa pengetatan aturan hukum akan mengurangi daya saing negara tersebut dalam mengundang investasi lebih besar lagi. Investor cenderung akan memilih untuk menjalankan kegiatan usahanya di negara dengan aturan hukum yang lebih longgar. Namun mewajibkan aturan tidak mengikat ke dalam hukum internasional bukannya tidak mungkin. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, beberapa negara telah mengeluarkan legislasi yang merujuk pada UNGP. Di Indonesia, beberapa korporasi telah melakukan upaya identifikasi resiko yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan usaha mereka, namun dalam bentuk dan cakupan yang berbedabeda, dan dilaksanakan atas dasar kesukarelaan. Rio Tinto (2013; 82) misalnya, mempublikasikan petunjuk pengintegrasian isu HAM kedalam kegiatan usaha korporasi. Salah satu bagiannya menyatakan bahwa Rio Tinto telah berhasil 11

12 menyelesaikan sengketa atas klaim kompensasi dari masyarakat di sekitar usaha PT Kelian Equatorial Mining, anak perusahaan Rio Tinto di Kalimantan. Demikian juga, sebelum memulai kegiatan usahanya di Tangguh, British Petroleum Plc. (BP) pernah melakukan human rights assestment (British Petroleum, 2002) yang berisi penilaian terhadap potensi konflik dan pelanggaran HAM yang mungkin terjadi. Menindaklanjuti temuan tersebut, BP membentuk lembaga yang bernama Tangguh Independent Advisory Panel (TIAP) yang secara rutin setiap tahunnya mempublikasikan laporan kejadian penting menyangkut keamanan dan HAM yang berkaitan dengan kegiatan usaha BP. Merespon laporan tim independen tersebut, BP juga mengeluarkan dokumen mengenai tindakan yang akan dan telah diambil oleh BP. Demikian juga, BP mengeluarkan laporan periodiknya (2013; 41-44), yang mengidentifikasi beberapa masalah yang berkaitan dengan masyarakat sekitar pada proyek eksplorasi gas alam cairnya. BP berkomitmen untuk terus memasukan human rights impact assessment kedalam rencana pengembangan proyek di Tangguh sebagai bagian dari rencana aksi HAM perusahaan kedepan. Terakhir, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. juga telah melakukan kegiatan human rights assessment terhadap kegiatan usaha anak perusahaannya, PT Freeport Indonesia (PTFI), di Papua. Dalam laporannya (Freeport-McMoRan, 2014; 6-9) menyatakan bahwa pihaknya telah memiliki Human Rights Compliance Officer yang menerima, mencatat, dan menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM oleh personil dan kontraktor PTFI. Laporan ini juga menyatakan bahwa PTFI telah bekerjasama dengan Komnas HAM dalam penyelidikan dugaan pelanggaran HAM, dan telah mengadakan pelatihan bagi penyedia jasa kemanan dan bagi Kepolisian. Bila membandingkan kegiatan penilaian (assessment) HAM oleh Rio Tinto, BP, dan Freeport- McMoRan diatas, nampak bahwa materi dan bentuk penilaian HAM ketiganya berbedabeda. Kesamaannya adalah ketiganya dilakukan secara sukarela, dan dengan menggunakan standar internal perusahaan. Kelebihan dari laporan penilaian HAM ini adalah menunjukkan komitmen ketiga perusahaan tersebut untuk menghormati HAM. Kelemahannya adalah kurangnya verifikasi terhadap temuan dan penyelesaian yang telah dilakukan. Apakah temuan telah ditindaklanjuti? Apakah penyelesaian yang dilakukan telah memenuhi 12

13 harapan korban atas pemulihan yang cepat dan proporsional terhadap dampak yang ditimbulkan? Nampaknya, hanya BP yang menyediakan mekanisme klarifikasi, yaitu dengan dibentuknya TIAP, sebagai lembaga verifikasi independen. Belajar dari pengalaman ketiga perusahaan diatas, nampak bahwa korporasi khususnya korporasi yang bidang usahanya berlokasi di daerah rentan konflik, dan berpotensi merusak lingkungan memiliki kemauan dalam menyusun uji tuntas HAM. Hanya saja, karena belum ada kebijakan pemerintah Indonesia dalam bentuk peraturan hukum, maka laporan kepatuhan HAM oleh korporasi dilakukan secara sukarela dan dalam bentuk yang beragam. Sangat disayangkan lagi, laporan kepatuhan dan penilaian HAM yang dilakukan oleh Rio Tinto, BP, dan Freeport-McMoRan tidak banyak berguna baik bagi perusahaan maupun bagi pemangku kepentingan lainnya. Pertama, korporasi tidak mendapat insentif apapun dari pemerintah atas laporan kepatuhan dan penilaian HAM yang telah disusunnya. Kedua, masyarakat terdampak dan LSM tidak dapat menggunakan laporan kepatuhan dan penilaian HAM dari korporasi sebagai alat bukti di pengadilan, hal ini karena tidak ada hukum yang mengatur kemungkinan ini. Oleh karena itu diperlukan kerangka hukum bagi pengadopsian kewajiban penyusunan uji tuntas HAM pada level nasional. Hal ini diperlukan agar uji tuntas HAM dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi korporasi itu sendiri, dan bagi pemangku kepentingan lainnya. Untuk itu, Taylor (2013) mengusulkan beberapa pendekatan atau kerangka hukum untuk mendorong pelaksanaan uji tuntas HAM oleh korporasi pada level nasional. Setidaknya ada empat kerangka utama yang dipraktekkan dalam hukum nasional negara lain, dan dapat digunakan pula kepada kewajiban uji tuntas HAM. Pertama, mendorong pelaksanaan uji tuntas HAM sebagai bagian dari mekanisme kepatuhan hukum (regulatory compliance). Negara mengimplementasikan aturan yang mendorong korporasi untuk melakukan uji tuntas HAM, baik secara langsung sebagai sebuah kewajiban hukum, ataupun secara tidak langsung dengan memberikan korporasi kesempatan untuk menggunakan uji tuntasnya sebagai pembelaan ketika menjawab dakwaan pidana, gugatan perdata, atau sanksi administrasi. 13

14 Contoh dari penggunaan mekanisme ini adalah Pengadilan menggunakan uji tuntas yang disusun korporasi dalam menilai kepatuhan korporasi terhadap hukum lingkungan (US- CEPA), hukum perlindungan konsumen (Jerman), dan hukum anti-korupsi (US-FCPA/UK-BA). Kedua, pendekatan lain adalah dengan memberikan insentif dan fasilitas bagi korporasi yang menyusun uji tuntas HAM. Contohnya, untuk mendapatkan fasilitas kredit ekspor, sertifikasi, fasilitas pembebasan pajak, atau dukungan pemerintah lainnya negara dapat mensyaratkan adanya uji tuntas HAM oleh korporasi. Ketiga, negara mendorong dilakukannya uji tuntas HAM melalui kewajiban transparansi dan disclosure. Negara mensyaratkan transparansi dan disclosure agar masyarakat umum dan pasar dapat mengkoreksi dan menemukan akibat negatif yang telah, sedang, atau mungkin ditimbulkan oleh kegiatan usaha korporasi. Contohnya Aarhus Convention-EU mewajibkan membuka informasi lingkungan korporasi kepada stakeholder, Undang-undang perlindungan konsumen (EU, Prancis, Jerman, Argentina), dan kewajiban pelaporan CSR (Denmark, Norwegia, Spanyol). Keempat, kombinasi dari dua atau lebih dari pendekatan-pendekatan di atas. Misalnya, hukum administrasi yang mengatur perlindungan lingkungan hidup, hak buruh, konsumen, atau anti korupsi dapat mendorong dilakukannya uji tuntas HAM sebagai dasar dikeluarkannya ijin atau lisensi. Selain itu, dapat juga hukum administrasi tadi digunakan untuk mendorong disclosure laporan uji tuntas HAM secara reguler. Agar korporasi bersedia melakukan uji tuntas HAM, pemerintah dapat menggunakan kombinasi dari pemidanaan, gugatan perdata, dan denda administratif. Selanjutnya, uji tuntas HAM yang disusun dapat digunakan oleh korporasi sebagai materi pembelaannya. 5. Penutup Berdasarkan pembahasan diatas. Terdapat potensi bagi diadopsinya UNGP kedalam hukum nasional Indonesia. Hanya saja, diperlukan kerangka hukum yang tepat dengan 14

15 memperhatikan sistem hukum, instrumen dan institusi hukum yang saat ini tersedia di Indonesia. Daftar Bacaan Christopher Albin-Lackey, "Without Rules - A Failed Approach to Corporate Accountability", Human Rights Watch (2013). CIDSE, Briefing for civil society: "The UN Protect, Respect, Remedy Framework & Guiding Principles: Driving Change?", CIDSE (2013). Daan Schoemaker, "Raising the Bar on Human Rights, What the Ruggie Principles Mean for Responsible Investors", Sustainanalitics (2011). European Commission, "A renewed EU strategy for Corporate Social Responsibility", European Commission (2011). International Corporate Accountability Roundtable (ICAR), "Letter to US Govt. calling for its effective implementation of the UN Guiding Principles", ICAR (2013). John Ruggie (2010a), United Nations Special Representative of the Secretary General on the Issue of Human Rights and Transnational Corporations and Other Business Enterprises (SRSG) Business and Human Rights: Further Steps Toward the Operationalization of the Protect, Respect and Remedy framework UN Doc A/HRC/14/27, < John Ruggie (2010b), Keynote Address by SRSG John Ruggie, speech at conference Engaging Business: Addressing Respect for Human Rights, Atlanta, 25 February 2010 < John Ruggie (2013), former UN Special Representative on business & human rights: "Much more to be done to implement Guiding Principles", 2013 Sackler Lecture at Univ. of Connecticut. John Ruggie (2013), former UN Special Representative on business & human rights: "Progress in Corporate Accountability. Mark B. Taylor, Fafo Institute for Applied International Studies: "Business, Human Rights Due Diligence and the Role of the State", Laws of Rule blog (2013). Joanne Bauer, "Where Do National Action Plans on Business & Human Rights Belong in the Corporate Sustainability Movement? ", CSRwire (2014). Sophie Chao, The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) and complaint resolution: Guidance on submitting a complaint for civil society organisations and local 15

16 communities, Forest People Programme (2013) < ance%20for%20civil%20society%20organisations%20&%20local%20communiti es.pdf>. U.S. Model Bilateral Investment Treaty, (2012) < g.pdf>. Antonios Tzanakopoulos (2014), National Treatment and MFN in the (Invisible) EU Model BIT, 15 Journal of World Investment and Trade Rio Tinto (2013), Why human rights matter: a resource guide for integrating human rights into Communities and Social Performance work at Rio Tinto. British Petroleum (2013), Sustainability Review 2013: Building a stronger, safer BP < British Petroleum (2002), Human Rights Assessment of the Proposed Tangguh LNG Project: Summary of Recommendations and Conclusion Presented to BP Indonesia 2002 < ownloads/h/tangguh_hria.pdf>. Freeport-McMoRan (2014), Voluntary Principles on Security and Human Rights 2013: Annual Report to the Plenary, Montreux, Switzerland < The European Parliament (2012), Regulation (EU) No. 1219/2012 of The European Parliament and of the Council of 12 December 2012 establishing transitional arrangements for bilateral investment agreements between Member States and third countries. Financial Times (2014), Indonesia to terminate more than 60 bilateral investment treaties. 16

Kerangka Tiga Pilar Bisnis & HAM: Uji Tuntas HAM

Kerangka Tiga Pilar Bisnis & HAM: Uji Tuntas HAM Kerangka Tiga Pilar Bisnis & HAM: Uji Tuntas HAM Iman Prihandono, Ph.D Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum, Universitas Airlangga email: iprihandono@fh.unair.ac.id Bagaimanakah bisnis mempengaruhi

Lebih terperinci

Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015):

Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015): Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015): Panel 1 Intinya tidak ada pertentangan antara The GP dengan legally binding treaty process,

Lebih terperinci

Instrumen Pertanggungjawaban Perusahaan: Perbandingan antara OECD Guidelines, ISO26000 & UN Global Compact

Instrumen Pertanggungjawaban Perusahaan: Perbandingan antara OECD Guidelines, ISO26000 & UN Global Compact Instrumen Pertanggungjawaban Perusahaan: Perbandingan antara OECD Guidelines, ISO26000 & UN Global Compact Materi ini adalah terjemahan dari buku Martje Theuws and Mariette van Huijstee, Corporate Responsibility

Lebih terperinci

Marzuki Usman PENDIRI FIHRRST

Marzuki Usman PENDIRI FIHRRST HUMAN RIGHTS ON SUSTAINABLE BUSINESS Marzuki Usman PENDIRI FIHRRST J a k a r t a, 1 6 M a r e t 2017 fihrrst.org Improving Sustainable Business Actions: Exploring Alternative Way of Public Private Partnership

Lebih terperinci

Uji Tuntas HAM sebagai alat advokasi pelanggaran HAM oleh korporasi

Uji Tuntas HAM sebagai alat advokasi pelanggaran HAM oleh korporasi Uji Tuntas HAM sebagai alat advokasi pelanggaran HAM oleh korporasi Iman Prihandono, Ph.D Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia email: iprihandono@fh.unair.ac.id Apakah kebijakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat banyaknya perusahaan menjadi semakin berkembang, maka pada saat itu pula kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi, karena

Lebih terperinci

KEBIJAKAN ANTIKORUPSI

KEBIJAKAN ANTIKORUPSI Kebijakan Kepatuhan Global Maret 2017 Freeport-McMoRan Inc. PENDAHULUAN Tujuan Tujuan dari Kebijakan Antikorupsi ini ("Kebijakan") adalah untuk membantu memastikan kepatuhan oleh Freeport-McMoRan Inc ("FCX")

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI

TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL KORPORASI KURSUS HAM ELSAM - BOGOR, 16 JANUARI 2015 NUR KHOLIS Special Rapporteur on Human Rights and Business INDONESIAN NATIONAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS

Lebih terperinci

KEBIJAAKAN ANTI-KORUPSI

KEBIJAAKAN ANTI-KORUPSI Kebijakan Kepatuhan Global Desember 2012 Freeport-McMoRan Copper & Gold PENDAHULUAN Tujuan Tujuan dari Kebijakan Anti-Korupsi ( Kebijakan ) ini adalah untuk membantu memastikan kepatuhan oleh Freeport-McMoRan

Lebih terperinci

PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA UNILEVER

PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA UNILEVER PERNYATAAN KEBIJAKAN HAK ASASI MANUSIA UNILEVER Kami meyakini bahwa bisnis hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang melindungi dan menghormati hak asasi manusia. Kami sadar bahwa bisnis memiliki tanggung

Lebih terperinci

MENGHORMATI SESAMA DAN MASYARAKAT: PENDEKATAN ANZ TERHADAP HAK ASASI MANUSIA. 1 Oktober 2016.

MENGHORMATI SESAMA DAN MASYARAKAT: PENDEKATAN ANZ TERHADAP HAK ASASI MANUSIA. 1 Oktober 2016. MENGHORMATI SESAMA DAN MASYARAKAT: PENDEKATAN ANZ TERHADAP HAK ASASI MANUSIA 1 Oktober 2016.. DAFTAR ISI Pendahuluan 4 Cara kami menerapkan standar kami 5 Standar-standar kami 5 Karyawan 5 Nasabah 6 Komunitas

Lebih terperinci

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Ucapan Selamat Saya atas nama saya pribadi dan ASEAN Foundation mengucapkan:

Lebih terperinci

EITI Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Yang Transparan dan Akuntabel

EITI Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Yang Transparan dan Akuntabel EITI Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan Yang Transparan dan Akuntabel Ronald Tambunan Sekretariat EITI Indonesia Disampaikan dalam Acara Workshop Jurnalis dengan tema Implementasi EITI dan Perbaikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung

Lebih terperinci

KEYNOTE ADDRESS INTERNATIONAL CONFERENCE PRINCIPLES FOR ANTI-CORUPTION AGENCIES (ACA)

KEYNOTE ADDRESS INTERNATIONAL CONFERENCE PRINCIPLES FOR ANTI-CORUPTION AGENCIES (ACA) KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KEYNOTE ADDRESS INTERNATIONAL CONFERENCE PRINCIPLES FOR ANTI-CORUPTION AGENCIES (ACA) Hotel JW. Mariot, Jakarta, 26 November 2012 Yang Saya Hormati; Ketua

Lebih terperinci

ARTI PENTING PEMAJUAN DAN PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP PANDUAN PBB UNTUK BISNIS DAN HAM DI INDONESIA

ARTI PENTING PEMAJUAN DAN PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP PANDUAN PBB UNTUK BISNIS DAN HAM DI INDONESIA ARTI PENTING PEMAJUAN DAN PELAKSANAAN PRINSIP-PRINSIP PANDUAN PBB UNTUK BISNIS DAN HAM DI INDONESIA (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights) Disusun Oleh : Sugeng Bahagijo Beka

Lebih terperinci

PANDUAN UNTUK PENYUPLAI

PANDUAN UNTUK PENYUPLAI PANDUAN UNTUK PENYUPLAI www.fotlinc.com DEFINISI Penilaian: Suatu proses sistematis, independen, dan terdokumentasi untuk mendapatkan bukti dan dapat secara objektif menilai tingkat kepatuhan dengan persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perkembangan isu Corporate Social Responsibility (CSR) cukup

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perkembangan isu Corporate Social Responsibility (CSR) cukup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena perkembangan isu Corporate Social Responsibility (CSR) cukup popular di Indonesia dalam beberapa tahun ini. Banyak perusahaan yang mulai antusias dalam menjalankan

Lebih terperinci

Komite Advokasi Nasional & Daerah

Komite Advokasi Nasional & Daerah BUKU SAKU PANDUAN KEGIATAN Komite Advokasi Nasional & Daerah Pencegahan Korupsi di Sektor Swasta Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Kecenderungan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Kecenderungan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Kecenderungan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menurut Gray et al., (1995) teori kecenderungan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti.

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti. BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN 3.1. Metoda Penelitian Berdasarkan karakterisitik masalah dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

2014 KIROYAN PARTNERS. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang.

2014 KIROYAN PARTNERS. Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. . Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. 1. CSR sama dengan community development 2. CSR sama dengan kedermawanan atau filantropi 3. CSR menyangkut aspek sosial semata-mata 4. CSR dilaksanakan oleh suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat, semakin tinggi harga

BAB I PENDAHULUAN. maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat, semakin tinggi harga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dalam dunia bisnis saat ini sangatlah pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya perusahaan pesaing yang bermunculan dengan berbagai keunggulannya masing

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+ MENTERI KEHUTANAN LETTER OF INTENT (LOI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH NORWEGIA TENTANG KERJASAMA PENGURANGAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI KEHUTANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Weygandt et al., 2008). Keseluruhan proses akuntansi pada akhirnya akan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. (Weygandt et al., 2008). Keseluruhan proses akuntansi pada akhirnya akan menghasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Akuntansi merupakan sistem informasi yang mengidentifikasi, merekam dan mengkomunikasikan kejadian ekonomik dari suatu entitas pada pengguna yang berkepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tetapi banyak perusahaan di Indonesia yang tidak memperhatikan dan

BAB I PENDAHULUAN. Tetapi banyak perusahaan di Indonesia yang tidak memperhatikan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya tujuan perusahaan adalah memproduksi produk atau jasanya secara maksimal dan mendapatkan keuntungan yang sebanyakbanyaknya. Tetapi banyak perusahaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan akhir-akhir ini semakin marak dibahas di dunia baik di media cetak, elektronik,

Lebih terperinci

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012 PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012 Apa saja prasyaarat agar REDD bisa berjalan Salah satu syarat utama adalah safeguards atau kerangka pengaman Apa itu Safeguards Safeguards

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan

BAB I PENDAHULUAN. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era yang sekarang ini, sektor bisnis di Indonesia mulai berkembang. Tentu saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian

Lebih terperinci

REPORT MONITORING TERHADAP SENGKETA PEMERINTAH INDONESIA DAN FREEPORT 2017 INDONESIA FOR GLOBAL JUSTICE

REPORT MONITORING TERHADAP SENGKETA PEMERINTAH INDONESIA DAN FREEPORT 2017 INDONESIA FOR GLOBAL JUSTICE REPORT MONITORING TERHADAP SENGKETA PEMERINTAH INDONESIA DAN FREEPORT 2017 INDONESIA FOR GLOBAL JUSTICE Disusun : Budi Afandi Penyunting : Rachmi Hertanti Diterbitkan : IGJ, 2017 Indonesia Vs Freeport

Lebih terperinci

Etika dan integritas. Kepatuhan: Pedoman bagi pihak ketiga

Etika dan integritas. Kepatuhan: Pedoman bagi pihak ketiga Etika dan integritas Kepatuhan: Pedoman bagi pihak ketiga i Pihak ketiga berarti orang atau perusahaan yang memasok barang atau jasa kepada Syngenta atau atas nama kami. ii pejabat publik dapat mencakup,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUNGKAP FAKTA

KEBIJAKAN PENGUNGKAP FAKTA Kebijakan Pengungkap Fakta KEBIJAKAN PENGUNGKAP FAKTA Pernyataan Etika Perusahaan (Statement of Corporate Ethics) Amcor Limited menetapkan kebijakannya terhadap pengungkapan fakta dan komitmennya untuk

Lebih terperinci

Monitoring dan Evaluasi (M&E) Magister Ilmu Pemerintahan Universitas MuhammadiyahYogyakarta 2012

Monitoring dan Evaluasi (M&E) Magister Ilmu Pemerintahan Universitas MuhammadiyahYogyakarta 2012 Monitoring dan Evaluasi (M&E) Magister Ilmu Pemerintahan Universitas MuhammadiyahYogyakarta 2012 Pengantar Monitoring dan evaluasi (M&E) secara luas diakui sebagai suatu elemen yang krusial dalam pengelolaan

Lebih terperinci

Deklarasi Dhaka tentang

Deklarasi Dhaka tentang Pembukaan Konferensi Dhaka tentang Disabilitas & Manajemen Risiko Bencana 12-14 Desember 2015, Dhaka, Bangladesh Deklarasi Dhaka tentang Disabilitas dan Manajemen Risiko Bencana, 14 Desember 2015 diadopsi

Lebih terperinci

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan Untuk diterbitkan segera Siaran Pers Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan Jakarta, Singapura, 9 Februari 2011 Golden Agri Resources Limited (GAR) dan anakanak

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

INTERNATIONAL STANDARDS INTOSAI ALTERNATIF RUJUKAN UNTUK MEREVISI SPKN

INTERNATIONAL STANDARDS INTOSAI ALTERNATIF RUJUKAN UNTUK MEREVISI SPKN INTERNATIONAL STANDARDS INTOSAI ALTERNATIF RUJUKAN UNTUK MEREVISI SPKN Muhadi Prabowo (muhadi.prabowo@gmail.com) Widyaiswara Madya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Abstrak Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

Lebih terperinci

PENTINGKAH COORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY?

PENTINGKAH COORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY? PENTINGKAH COORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY? Ade Parlaungan Nasution Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Riau Kepulauan Batam Secara terminology Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu

Lebih terperinci

hukum selama delapan tahun, ketiga perusahaan ini dikenai denda sebesar Rp dan usahanya ditutup (Nicholson, 2010). Berdasarkan kedua kasus

hukum selama delapan tahun, ketiga perusahaan ini dikenai denda sebesar Rp dan usahanya ditutup (Nicholson, 2010). Berdasarkan kedua kasus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan memperhatikan dampak aktivitas operasinya terhadap lingkungan agar dapat mempertahankan keberlanjutan bisnisnya. Hal ini tercantum dalam triple bottom lines

Lebih terperinci

SNI ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan BADAN STANDARDISASI NASIONAL

SNI ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan BADAN STANDARDISASI NASIONAL SNI ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan BADAN STANDARDISASI NASIONAL /R 0/2017 Data Tindak Pidana Korupsi Sumber: Data KPK tahun 2004 s.d September 2017 Sumber: Databooks Kata Data Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Di antaranya konsumen, stakeholder,

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Di antaranya konsumen, stakeholder, 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan di Indonesia kini semakin parah. Ini merupakan dampak dari pengelolaan lingkungan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kurangnya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

Respon Pemantauan IFC ke. Audit CAO mengenai investasi IFC di

Respon Pemantauan IFC ke. Audit CAO mengenai investasi IFC di AUDIT PEMANTAUAN DAN LAPORAN PENUTUPAN CAO Audit IFC Kepatuhan CAO C-I-R6-Y08-F096 27 Maret 2013 Respon Pemantauan IFC ke Audit CAO mengenai investasi IFC di Wilmar Trading (IFC No. 20348) Delta Wilmar

Lebih terperinci

ECD Watch. Panduan OECD. untuk Perusahaan Multi Nasional. alat Bantu untuk pelaksanaan Bisnis yang Bertanggung Jawab

ECD Watch. Panduan OECD. untuk Perusahaan Multi Nasional. alat Bantu untuk pelaksanaan Bisnis yang Bertanggung Jawab ECD Watch Panduan OECD untuk Perusahaan Multi Nasional alat Bantu untuk pelaksanaan Bisnis yang Bertanggung Jawab Tentang Panduan OECD untuk perusahaan Multi nasional Panduan OECD untuk Perusahaan Multi

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

FORMULIR PENGAJUAN KELUHAN BAGIAN A DATA PELAPOR

FORMULIR PENGAJUAN KELUHAN BAGIAN A DATA PELAPOR FORMULIR PENGAJUAN KELUHAN Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah organisasi nirlaba yang didirikan dengan visi mentransformasi pasar untuk menjadikan minyak sawit berkelanjutan sebagai norma.

Lebih terperinci

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Indonesia 2,3 & 5 Agustus, 2010 LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kebijakan dan Konvensi Internasional yang berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. operasional perusahaan akan memberikan dampak sosial dan lingkungan disekitar

BAB I PENDAHULUAN. operasional perusahaan akan memberikan dampak sosial dan lingkungan disekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Untuk menjaga keberlangsungannya, perusahaan tidak bisa hanya memperhatikan aspek keuangan namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan karena

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG AUDIT PENYELENGGARAAN SISTEM ELEKTRONIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG AUDIT PENYELENGGARAAN SISTEM ELEKTRONIK -- 1 -- PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG AUDIT PENYELENGGARAAN SISTEM ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2009) adalah suatu tindakan

BAB II LANDASAN TEORI. Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2009) adalah suatu tindakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Signaling Theory Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2009) adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perusahaan-perusahaan pada masa kini mengalami pergeseran paradigma. Perusahaan tidak satu-satunya mempunyai tujuan utama dalam menghasilkan laba, namun perusahaan

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia No.92, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Republik Rakyat Tiongkok. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia 23 Oktober 2017 Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Setelah mengikuti siklus ketiga Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review - UPR) Indonesia, saya menyambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga dengan meninjau ulang fungsi-fungsi manajemen yang digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. juga dengan meninjau ulang fungsi-fungsi manajemen yang digunakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia bisnis yang pesat menimbulkan persaingan bisnis yang semakin ketat pula. Hal ini menimbulkan lingkungan bisnis yang penuh persaingan sehingga

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh masyarakat khususnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh masyarakat khususnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan lingkungan di Indonesia saat ini sangat penting diperhatikan oleh seluruh masyarakat khususnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Umum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), yang dalam Pedoman ini disebut BADAN, adalah badan hukum publik yang dibentuk dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. Bab 3

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. Bab 3 KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL Bab 3 1. Pengertian Kerjasama Ekonomi Internasional Hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya dalam bidang ekonomi melalui kesepakatan-kesepakatan tertentu, dengan

Lebih terperinci

2 Mengingat pengajuan gugatan arbitrase Pemerintah Republik Indonesia kepada PT Newmont Nusa Tenggara berdasarkan Arbitration Rules of the United Nati

2 Mengingat pengajuan gugatan arbitrase Pemerintah Republik Indonesia kepada PT Newmont Nusa Tenggara berdasarkan Arbitration Rules of the United Nati BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1177, 2014 KEMENKEU. Jasa Konsultan Hukum. Arbiter. Gugatan Arbitrase. Nusa Tenggara Partnership B.V. PT. Newmont Nusa Tenggara. Pemerintah RI. Tata Cara Pengadaan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR)

Lebih terperinci

Jeremy Goon Group Head of Corporate Social Responsibility Wilmar International (Group) 56 Neil Road Singapore. 14 Mei 2013

Jeremy Goon Group Head of Corporate Social Responsibility Wilmar International (Group) 56 Neil Road Singapore. 14 Mei 2013 Jeremy Goon Group Head of Corporate Social Responsibility Wilmar International (Group) 56 Neil Road 088830 Singapore 14 Mei 2013 Re: Keluhan mengenai perjanjian penjualan Anak Perusahaan Wilmar Group,

Lebih terperinci

Resolusi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia terhadap Tinjauan Kebijakan Perlindungan Kelompok Bank Dunia (WBG)

Resolusi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia terhadap Tinjauan Kebijakan Perlindungan Kelompok Bank Dunia (WBG) Resolusi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia terhadap Tinjauan Kebijakan Perlindungan Kelompok Bank Dunia (WBG) Seiring dengan pelaksanaan tinjauan atas kebijakan perlindungan lingkungan dan sosial

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Perilaku Korporasi

Prinsip-Prinsip Perilaku Korporasi Ditetapkan September 2005 Direvisi April 2012 Direvisi Oktober 2017 Prinsip-Prinsip Perilaku Korporasi Epson akan memenuhi tanggung jawab sosialnya dengan melaksanakan prinsip prinsip sebagaimana di bawah

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAMPIRAN 5. PENJELASAN ATAS PRESEDEN PERJANJIAN KERJA SAMA PELAKSANAAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG DIDUKUNG CSR (versi lengkap)

LAMPIRAN 5. PENJELASAN ATAS PRESEDEN PERJANJIAN KERJA SAMA PELAKSANAAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG DIDUKUNG CSR (versi lengkap) LAMPIRAN 5 PENJELASAN ATAS PRESEDEN PERJANJIAN KERJA SAMA PELAKSANAAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG DIDUKUNG CSR (versi lengkap) 125 Pendahuluan Ulasan berikut ini menjelaskan secara ringkas cara menggunakan

Lebih terperinci

Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Ekolabel

Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Ekolabel Pedoman KAN 801-2004 Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Ekolabel Komite Akreditasi Nasional Kata Pengantar Pedoman ini diperuntukkan bagi lembaga yang ingin mendapat akreditasi sebagai Lembaga Sertifikasi

Lebih terperinci

Peran Asosiasi Bisnis dalam Mencegah Korupsi di sektor usaha Migas

Peran Asosiasi Bisnis dalam Mencegah Korupsi di sektor usaha Migas Disampaikan dalam International Business Integrity Conference 2017 Peran Asosiasi Bisnis dalam Mencegah Korupsi di sektor usaha Migas Disampaikan Oleh: Firlie Ganinduto Ketua Komite Tetap Hubungan Kelembagaan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility mungkin

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility mungkin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility mungkin masih kurang populer di kalangan pelaku bisnis di Indonesia. Namun, tidak berlaku

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Menimbang BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring

BAB I PENDAHULUAN. media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaporan merupakan komponen penting dalam setiap kegiatan, baik sebagai media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring bagi perusahaan terbuka.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Kontribusi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Kontribusi dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjaga eksistensinya di dunia bisnis, perusahaan tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Kontribusi dan harmonisasi

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN MULTI- NASIONAL (MNC) DALAM HUKUM INTERNASIONAL

KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN MULTI- NASIONAL (MNC) DALAM HUKUM INTERNASIONAL KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN MULTI- NASIONAL (MNC) DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh Lila Sitha Rambisa Ni Made Suksma Prijandhini Devi Salain Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Tidak Sebatas Kriteria Efektivitas. Ringkasan eksekutif - Bahasa Indonesia. May Miller-Dawkins. Dr Kate Macdonald. Dr Shelley Marshall

Tidak Sebatas Kriteria Efektivitas. Ringkasan eksekutif - Bahasa Indonesia. May Miller-Dawkins. Dr Kate Macdonald. Dr Shelley Marshall NON-JUDICIAL REDRESS MECHANISMS REPORT SERIES 1 Tidak Sebatas Kriteria Efektivitas Kemungkinan dan Keterbatasan Mekanisme Penyelesaian Non-Peradilan Transnasional Ringkasan eksekutif - Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sahamnya dengan jalan meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai

BAB I PENDAHULUAN. sahamnya dengan jalan meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau pemegang saham. Pencapaian tujuan ini sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.207, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Hak Guna Air. Hak Guna Pakai. Hak Guna Usaha. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5578) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan laba untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemagang saham.

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan laba untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemagang saham. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan adalah sebuah entitas ekonomi yang konsep utamanya adalah menghasilkan laba untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemagang saham. Manajemen perusahaan berusaha

Lebih terperinci

Freeport-McMoRan Kode Perilaku Pemasok. Tanggal efektif - Juni 2014 Tanggal terjemahan - Agustus 2014

Freeport-McMoRan Kode Perilaku Pemasok. Tanggal efektif - Juni 2014 Tanggal terjemahan - Agustus 2014 Freeport-McMoRan Kode Perilaku Pemasok Tanggal efektif - Juni 2014 Tanggal terjemahan - Agustus 2014 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kode Perilaku Pemasok... 3 Pendahuluan... 3 Hak Asasi Manusia dan Tenaga

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

PEDOMAN PRINSIP-PRINSIP SUKARELA MENGENAI KEAMANAN dan HAK ASASI MANUSIA

PEDOMAN PRINSIP-PRINSIP SUKARELA MENGENAI KEAMANAN dan HAK ASASI MANUSIA PEDOMAN PRINSIP-PRINSIP SUKARELA MENGENAI KEAMANAN dan HAK ASASI MANUSIA untuk pertanyaan atau saran, silakan hubungi: HumanRightsComplianceOfficer@fmi.com Semmy_Yapsawaki@fmi.com, Telp: (0901) 40 4983

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), tentang komitmen

BAB I PENDAHULUAN. sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), tentang komitmen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu menarik di tahun ini adalah pertanggungjawaban sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), tentang komitmen perusahaan dalam berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

Panduan OECD untuk MNCs

Panduan OECD untuk MNCs Panduan OECD untuk MNCs Pendahuluan 1. Panduan OECD untuk MNCs merupakan rekomendasi pemerintah untuk MNCs. Panduan ini menyediakan prinsip dan standar secara sukarela untuk kode etik usaha yang bertanggungjawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan banyak masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok,

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan banyak masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Maraknya perkembangan dunia usaha yang bebas seperti sekarang ini menyebabkan banyak masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok, mulai melakukan investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Responsibility (selanjutnya disingkat CSR) ini menjadi trend global seiring

BAB I PENDAHULUAN. Responsibility (selanjutnya disingkat CSR) ini menjadi trend global seiring BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran akan pentingnya mempraktikkan Corporate Social Responsibility (selanjutnya disingkat CSR) ini menjadi trend global seiring dengan maraknya kepedulian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini International Financial Reporting Standards (IFRS) merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini International Financial Reporting Standards (IFRS) merupakan isu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Saat ini International Financial Reporting Standards (IFRS) merupakan isu hangat yang sedang marak diperbincangkan di berbagai negara. IFRS merupakan standar

Lebih terperinci

Inisiatif Accountability Framework

Inisiatif Accountability Framework Inisiatif Accountability Framework Menyampaikan komitmen rantai pasokan yang etis Pengantar untuk periode konsultasi publik 10 Oktober 11 Desember, 2017 Selamat Datang! Terimakasih untuk perhatian anda

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 55 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 55 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 55 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial 2 Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan

Lebih terperinci

Syarat dan ketentuan penerimaan dan penguasaan informasi nasabah

Syarat dan ketentuan penerimaan dan penguasaan informasi nasabah Syarat dan ketentuan penerimaan dan penguasaan informasi nasabah Definisi Istilah-istilah berawalan huruf kapital dalam ketentuan-ketentuan ini akan memiliki arti sebagai berikut, kecuali konteks kalimatnya

Lebih terperinci