TINGKAT INTEGRITAS KESELAMATAN UNIT KALSINASI PABRIK YELLOW CAKE BERDASARKAN STANDAR EN 62061

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINGKAT INTEGRITAS KESELAMATAN UNIT KALSINASI PABRIK YELLOW CAKE BERDASARKAN STANDAR EN 62061"

Transkripsi

1 TINGKAT INTEGRITAS KESELAMATAN UNIT KALSINASI PABRIK YELLOW CAKE BERDASARKAN STANDAR EN Djoko Hari Nugroho Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir Kawasan Puspiptek Gd no 71, Tangerang Selatan untuk korespondensi: ABSTRAK TINGKAT INTEGRITAS KESELAMATAN PADA UNIT KALSINASI-PABRIK PRODUKSI YELLOW CAKE BERDASARKAN STANDAR EN Pada makalah ini dibahas tentang perancangan fungsi keselamatan pada system instrumentasi pabrik Yellow Cake berdasarkan standar EN Standar EN mendefinisikan bagaimana menentukan tingkat Integritas Keselamatan (SIL). Integritas yang dihitung berdasarkan (a) besarnya konsekuensi dari peristiwa berbahaya, (b) nilai frekuensi dan durasi orang tersebut terkena bahaya, (c) nilai probabilitas terjadinya peristiwa berbahaya, (d) nilai kemungkinan mencegah atau membatasi lingkup membahayakan. Dengan menggunakan asumsi bahwa operator menerima paparan di zone bahaya dengan frekuensi 1 tahun sekali, kemungkinan terjadinya bahaya dan kemungkinan untuk menghilangkan bahaya, serta tingkat keparahan bahaya paling parah adalah cedera karena kejatuhan bagain dari tanur kalsinasi, maka dapat disimpulkan bahwa unit kalsinasi memiliki nilai SIL 2. Dengan demikian perancangan perangkat lunak dan perangkat keras sistem kontrol yang meliputi komponenkomponen sensor, logic processor dan aktuatornya harus memenuhi persyaratan SILCL 2 atau lebih tinggi. Kata Kunci : fungsi keselamatan, pabrik yellow cake, Tingkat Integrasi Keselamatan, EN ABSTRACT SAFETY INTEGRITY LEVEL OF CALCINATION UNIT-YELLOW CAKE PLANT BASED-ON EN STANDARD. The design of the plant safety functions of Yellow Cake Plant instrumentation system based on EN ISO standard was constructed in this paper. The EN defines how to determine Safety Integrity Level (SIL). The Safety Integrity Level measures performance of the safety function which is calculated based on (a) the magnitude of the consequences of hazardous events, (b) the frequency and duration of the person exposed to danger, (c) the probability of occurrence of adverse events, (d) the possibility of preventing or limiting the scope of harm. Using the assumption that the operator receives exposure in danger zone with a frequency of 1 year, the possibility of danger and possibility to eliminate the hazard, as well as the severity of the most serious hazard is injury from the fall of any part of the calcinations furnace, it can be concluded that the calcination units have a value of SIL 2. Thus the design of software and hardware control system components include sensors, logic processor and actuators should meet SILCL 2 requirement or higher. Keywords: safety function, yellow cake plant, Safety Integrity Level, EN PENDAHULUAN Biaya bahan bakar uranium adalah bagian kecil dari biaya pembangkitan energi nuklir. Dengan demikian dimungkinkan uranium di eksploitasi pada biaya bijih yang lebih tinggi, khususnya bagi Negara-negara yang memiliki kebijakan independensi dan ketahanan energi untuk listrik dari energi nuklir. Kekurangan suplai uranium akan menyulitkan Negara-negara yang sudah memiliki PLTN namun tidak mempunyai cadangan uranium sekunder (pengkayaan kembali tailing uranium, proses ulang bahan bakar, dismantling hulu ledak nuklir, cadangan uranium sipil dan militer dan stok yang berlebih), dan sumber tambang primer. Teknologi yang sudah berkembang menunjukkan bahwa Uranium dapat dipisahkan dari Djoko Hari Nugroho 37 STTN-BATAN & PTAPB-BATAN

2 asam fosfat. Pemisahan ini memiliki 2 keuntungan yaitu (a) terbebasnya produk asam fosfat dari Uranium, dan (b) diperolehnya Uranium sebagai hasil samping dari produksi asam fosfat. Dalam perancangan dan pembangunan instalasi diperlukan sumber daya manusia perekayasaan (engineering) di bidang-bidang proses, mekanik, sipil, elektrik, dan instrumentasi. Dalam pekerjaan tersebut; selain jaminan kualitas hasil, tingkat keselamatan komponen-komponen dalam instalasi juga harus mendapat perhatian. Perhatian besar pada permasalahan keselamatan sangat masuk akal, karena pada kenyataannya biaya yang dibelanjakan untuk mengkompensasi karyawan yang mengalami kecelakaan kerja di industri sangatlah besar. Biaya ini meliputi finansial dan non-finansial. Dampak besar terhadap keuangan dapat termasuk peningkatan premi asuransi, kehilangan produksi, kehilangan pelanggan dan bahkan hilangnya reputasi. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa upaya untuk pengurangan risiko dan dapat benar-benar meningkatkan produktivitas. Produsen yang berkehendak untuk memasok mesin untuk tujuan produksi atau memodifikasi mesin untuk digunakan sendiri, atau mengimpor mesin ke pasar Wilayah Ekonomi suatu negara harus memenuhi persyaratan standar. Mesin produksi menerapkan sistem keselamatan fungsional sesuai dengan standar.di wilayah tertentu, misalnya Eropa,mesin dapat mengikuti salah satu dari dua standar alternatif Eropa yang dikembangkan oleh Organisasi Standarisasi Internasional (ISO) Komisi Elektroteknik Internasional (IEC). Yaitu EN ISO yang menggantikan standar lama EN Standar keselamatan dasar mesin disusun antara lain untuk untuk meminimalkan risiko (EN ISO :2003) dan risikopenilaian dalam pengurangan risiko (EN ISO :2007). Standar untuk sistem pengaman elektronik secara resmi ditetapkan sebagai EN ISO :2008 (Keselamatan Mesin - Keselamatan terkait bagian dari sistem kontrol -Prinsip Umum untuk desain). Pada kenyataannya perangkat keselamatan suatu alat yang berbasiskan sistem elektronik berdasarkan standar produk tertentu. Industri menuntut penggunaan sistem elektronika dan programmable electronic untuk menjamin keselamatan. Dengan demikian standar harus disusun untuk memberikan bimbingan terhadap desainer, pengguna potensial dan programmer. Untuk tujuan ini telah disusun IEC yang merupakan sistem keselamatan fungsional listrik /elektronik / programmable electronic terkait dengan keselamatan sistem. Standar ini diadopsi dalam Uni Eropa sebagai EN pada tahun Keselamatan Fungsional (Functional Safety) merupakan solusi keselamatan untuk semua masalah mesin yang terkait dengan kontrol. Keselamatan fungsional tidak akan merevolusi industri mesin, namun akan memberikan desainer sedikit lebih fleksibel dalam memilih peralatan dan memungkinkan desain untuk menggabungkan beberapa elemen terprogram. Implikasinya adalah bahwa fungsi keselamatan dibangun ke dalam system fungsional. Hal ini mungkin benar jika diterapkan pada sistem proses, tapi untuk mesin pada umumnya lebih sederhana. Sebagai petunjuk dapat diikuti salah satu dari dua alternatif standar Eropa yang dikembangkan oleh International Organisasi untuk Standarisasi (ISO) Komisi Elektroteknik Internasional (IEC) antara lain EN ISO dan EN masing-masing. EN hanya berlaku untuk kontrol listrik sistem. Keduanya menggantikan standar lama EN 954-1, yang akan menjadi usang pada tanggal 31 Desember Kedua standar tersebut merupakan turunan dari keselamatan dasar mesin standar untuk meminimalisasi risiko- (EN ISO :2003) dan -penilaian risiko dalam kerangka pengurangan risiko (EN ISO :2007). Standar untuk sistem pengaman elektronik secara resmi ditetapkan sebagai berikut: EN ISO :2008 (Keselamatan Mesin - Keselamatan terkait bagian dari sistem kontrol - Prinsip Umum untuk desain). Untuk mesin, jika terjadi situasi yang tidak aman atau darurat, maka tindakan biasa yang dilakukan adalah hanya mematikan listrik. Sistem proses sering lebih kompleks. Misalnya mixer, mungkin merupakan satu tahap pilihan yang aman dari proses. Tetapi bila proses berlangsung untuk menghasilkan produk, maka jika mixer dihentikan akan menyebabkan fluktuasi gangguan, sehingga dalam tahap ini tindakan untuk menghentikan mixer mungkin sekarang menjadi pilihan yang tidak aman. Dalam suatu mesin, kondisi yang berpotensi tidak aman dapat terdeteksi oleh terbukanya switch interlock. Dalam sistem proses, kondisi yang potensial tidak aman mungkin lebih sulit untuk ditentukan. Isyarat tersebut muncul pada tingkat dimana suhu atau tekanan tidak dapat diterima. Pada situasi tersebut harus digunakan logika keputusan. Posisi keselamatan mesin dalam banyak kasus ditempatkan di pinggiran fungsional sistem dan bertindak seperti lapisan pelindung. Dalam kenyataannya, keselamatan fungsional mesin tetap banyak berubah namun penggunaan elektronik dan relay pengaman yang dapat diprogram STTN-BATAN & PTAPB BATAN 38 Djoko Hari Nugroho

3 dimungkinkan untuk menggantikan relay pengaman konvensional yang digunakan sebelumnya [1]. Penerapan prinsip-prinsip EN untuk mesin memungkinkan desainer untuk menggunakan berbagai macam komponen dan teknologi dalam keselamatan terkait perbaikan desain sistem dan memperkuat keandalan komponen dengan "arsitektur" dari sistem. Tidak semua komponen dan konfigurasi akan diterima tapi dengan menggunakan teknik verifikasi dan validasi desainer akan dapat menentukan kesesuaian mereka dalam aplikasi. Pada makalah ini tingkat integritas keselamatan (Safety Integrity Level = SIL) unit kalsinasi pada instalasi pengambil Uranium dari pabrik asam fosfat akan dianalisis. Menggunakan SIL ini, akan dapat didesain komponenkomponen perangkat lunak dan perangkat keras system control yang sesuai dengan persyaratan sehingga keselamatan instalasi akan dapat diterima untuk dapat dipergunakan di tengah masyarakat TEORI Standar dalam Keselamatan Fungsional Keselamatan Fungsional merupakan solusi untuk keselamatan semua masalah mesin yang terkait dengan kontrol. Keselamatan fungsional tidak akan merevolusi industri mesin, namun akan memberikan desainer untuk lebih fleksibel dalam memilih peralatan dan memungkinkan desain untuk menggabungkan beberapa elemen terprogram. Implikasinya adalah bahwa fungsi keselamatan dibangun ke dalam fungsional sistem. Untuk sistem proses pendekatan seperti ini mungkin dapat dibenarkan namun aplikasi untuk mesin umumnya lebih sederhana. Organisasi International untuk Standarisasi (ISO) Komisi Elektroteknik Internasional (IEC) mengembangkan beberapa standar Eropa antara lain EN ISO dan EN EN 62061:2005 merupakan standar keselamatan Fungsional yang terkait dengan keselamatan listrik, elektronik dan sistem kontrol elektronik programmable. Lebih lanjut, EN hanya berlaku untuk sistem kontrol l strik. Kedua standar tersebut berada dalam lingkup keselamatan dasar mesin standar untuk minimalisasi risiko (EN ISO :2003) dan penilaian risiko- dalam kaitan dengan pengurangan risiko (EN ISO :2007). Untuk mesin, jika terjadi situasi yang tidak aman atau darurat yang biasa dilakukan dalam kategori tindakan aman hanyalah mematikan listrik. Sistem proses sering lebih kompleks. Balik dari kekuatan untuk, katakanlah mixer, mungkin pilihan yang aman pada satu tahap dari proses, tetapi sebagai proses berlangsung produk akan makin berfluktuasi dan menghentikan mixer dalam tahap ini mungkin sekarang menjadi pilihan yang tidak aman. Dalam mesin negara yang berpotensi tidak aman dapat terdeteksi oleh pembukaan interlock switch atau melanggar tirai cahaya. Sekali lagi dalam sistem proses kondisi tidak aman yang potensial mungkin lebih sulit untuk menentukan, itu yang mengisyaratkan dengan tingkat yang tidak dapat diterima munculnya suhu atau tekanan, situasi di mana logika keputusan mungkin harus digunakan. Keselamatan Mesin adalah, dalam banyak kasus di pinggiran sistem fungsional bertindak seperti perisai pelindung. Dalam praktek mesin keselamatan fungsional tetap banyak berubah namun penggunaan elektronik dan deprogram "relay pengaman" adalah mungkin dimana konvensional "relay pengaman" yang digunakan sebelumnya [1]. Standar EN 62061:2005 "Keselamatan Mesin - keselamatan Fungsional listrik / elektronik / elektronik yang diprogram terkait dengan keselamatan sistem "adalah ID industri terkait sektor standar untuk mesin. Standar ini memiliki enam tujuan penting antara lain [2] : a) Manajemen keselamatan fungsional (Klausul 4) : Menentukan kegiatan manajemen dan teknis yang diperlukan untuk pencapaian keamanan fungsional yang dibutuhkan dari yang terkait dengan keselamatan bagian dari sistem kontrol (SREC). b) Persyaratan untuk spesifikasi yang terkait dengan keselamatan fungsi kontrol (klausul 5) : Menetapkan prosedur untuk menentukan persyaratan yang terkait dengan keselamatan fungsi kontrol. Persyaratan ini dinyatakan dalam spesifikasi kebutuhan fungsional, dan keselamatan integritas persyaratan spesifikasi. c) Desain dan integrasi system control terkait keselamatan listrik (klausul 6) : Menentukan kriteria seleksi dan / atau metode desain dan implementasi SREC untuk memenuhi persyaratan keselamatan fungsional antara lain : i. Pemilihan arsitektur sistem, ii. Pemilihan perangkat keras yang terkait dengan keselamatan dan software, iii. Desain hardware dan software, iv. Verifikasi bahwa hardware dan software yang dirancang memenuhi keselamatan fungsional persyaratan. d) Informasi untuk penggunaan mesin (klausul 7) : Menentukan persyaratan informasi untuk penggunaan SREC, yang harus disertakan dengan mesin antara lain : i. Penyediaan manual user dan prosedur, ii. Penyediaan manual pemeliharaan dan prosedur. Djoko Hari Nugroho 39 STTN-BATAN & PTAPB-BATAN

4 e) Validasi sistem pengendalian keselamatan listrik terkait (klausul 8) : Menentukan persyaratan untuk proses validasi yang harus diterapkan pada SREC, termasuk inspeksi dan pengujian SREC yang ditugaskan untuk memastikan bahwa persyaratan dalam spesifikasi persyaratan keselamatan dapat tercapai. f) Modifikasi sistem kontrol terkait keselamatan listrik terkait keselamatan listrik (klausul 9) Menentukan persyaratan untuk prosedur modifikasi yang harus diterapkan ketika memodifikasi SREC, antara lain : i. Modifikasi untuk setiap SREC direncanakan dengan benar dan diverifikasi sebelum membuat perubahan; ii. Persyaratan keselamatan spesifikasi SREC puas setelah setiap modifikasi telah terjadi Prinsip-prinsip yang dijelaskan berikut ini didasarkan pada kerangka pedoman yang diberikan oleh EN Standar EN EN adalah standar mesin-sektor tertentu dalam kerangka IEC yang merupakan standar untuk merancang system keselamatan listrik. Hal ini mencakup rekomendasi untuk integrasi, desain dan validasi terkait dengan keselamatan sistem listrik, elektronik dan programmable electronic untuk mesin kontrol elektronik. EN juga mencakup rantai keselamatan menyeluruh, misalnya sensor-logika aktuator. Selama seluruh fungsi keselamatan memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka individu subsistem tidak perlu disertifikasi. Tingkat Integritas Keselamatan (Safety Integrity Level = SIL) EN mendefinisikan bagaimana menentukan Tingkat Integritas Keselamatan (SIL). Integritas Keselamatan mengukur kinerja fungsi keselamatan. Hal ini membantu mengukur kemungkinan fungsi keselamatan yang dicapai ketika diminta. Integritas keselamatan yang diperlukan untuk fungsi ditentukan selama penilaian risiko dan diwakili oleh SIL dicapai atau PL, tergantung pada standar yang digunakan. SIL diterapkan pada sistem yang menggunakan piranti elektrik, elektronik dan programmable system untuk menjamin keselamatan. SIL dan PL menggunakan teknik evaluasi yang berbeda untuk fungsi keamanan, tetapi mereka hasil sebanding dan istilah dan definisi yang sama untuk keduanya.sil merupakan keandalan fungsi keselamatan. Empat tingkat SIL adalah: 1, 2, 3, dan 4. 'SIL 4' merupakan tingkat tertinggi dari integritas keamanan dan 'SIL 1' yang terendah. Hanya 1-3 tingkat digunakan dalam mesin. Bila rencana keselamatan sesuai dengan EN telah dibuat, maka dapat dilakukan aspek yang lebih praktis dengan cara mengikuti prosedur langkah-demi-langkah untuk menentukan fungsi keselamatan yang diringkas dalam Tabel 1, dimulai dengan penilaian risiko dan pengurangan. Untuk makalah ini hanya akan dilakukan tahap 1 dan 2 untuk menghasilkan tingkat integritas keselamatan (SIL). Fungsi keselamatan merupakan fungsi dari mesin yang gagal dapat menghasilkan peningkatan langsung dalam risiko. Sederhananya, itu adalah ukuran yang diambil untuk mengurangi kemungkinan dari suatu peristiwa yang tidak diinginkan terjadi dan mengekspos bahaya. Sebuah fungsi keamanan bukan bagian dari operasi mesin: jika fungsi seperti gagal, mesin masih dapat beroperasi secara normal, tetapi risiko cedera dari operasi meningkat. Mendefinisikan fungsi keselamatan merupakan isu utama. Ini selalu mencakup dua komponen: i. Aksi (apa yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko). ii. Keselamatan kinerja (SIL atau PL - Keselamatan Integritas dan Tingkat Kinerja). Tabel 1. Prosedur Penentuan Fungsi Keselamatan (Safety Function) [3] STTN-BATAN & PTAPB BATAN 40 Djoko Hari Nugroho

5 Step Step 1 : Assessment and risk reduction Step 2 : Establish safety function requairemnets Step 3 : Implement functional safety Step 4 : Verify functional safety Step 5 : Validate functional safety Step 6 : Document functional safety Step 7 : Prove compliance Task Analyze risks and evaluate how to eliminate or minimize them (3 steps strategy see iso ) Define what functionalty and safety performance is needed to eliminate the risk or reduce it to an acceptable level Design and create the safety system functions Ensure that the safety system meets the defined requirements Return to risk assessment and ensure that the safety system ac Unit Kalsinasi Pabrik Yellow Cake Unit kalsinasi merupakan salah satu tahap dalam pabrik yellow cake. Secara umum, tahap untuk memproduksi yellow cake sebagai hasil samping dari pabrik asam sulfat antara lain (a) pretreatment, (b) extraction and stripping dan (c) precipitation and calcinations. Unit kalsinasi merupakan bagian dari tahap ke (c) tersebut. Kalsinasi dilakukan dengan cara memasukkan Ammonium Uranil Karbonat ke dalam tanur kalsinasi dan dipanaskan dengan proses tertentu untuk menghasilkan yellow cake. Tanur kalsinasi berupa rotary plug reactor berbentuk silinder dengan posisi cenderung sedikit horisontal yang dilengkapi elemen pemanas. Tanur ini tempat untuk melakukan konversi dari Ammonium Uranil Karbonat menjadi serbuk U3O8 yang beroperasi secara isothermal pada temperatur sekitar 1800C dan tekanan 1 atm. Process and Instrumentation Diagram (P&ID) Unit kalsinasi dapat dilihat pada Gambar 1. Pada desain instrumentasi dapat dilihat bahwa pemanasan U3O8 pada unit kalsinasi dilakukan oleh proses perpindahan panas pada ujung atas tanur kalsinasi dan 2 unit heater pada tanur, sedangkan pendinginannya dilakukan melalui perpindahan panas oleh aliran air melalui ujung bawah tanur. Untuk mengendalikan keempat subsistem tersebut dipergunakan kontroler otomatik yang kinerjanya dapat dimonitor dari Ruang kendali Utama. Material yang akan diolah dimasukkan ke dalam ujung atas silinder. Material secara bertahap bergerak ke bawah menuju ujung bawah, dan mengalami pengadukan dan pencampuran. Gas panas melewati sepanjang tanur dari dalam arah berlawanan. Gas panas dihasilkan dalam tungku eksternal. Gas panas dihasilkan dari masukan udara dengan suhu 300C dan dipanaskan oleh heater dalam tungku sehingga mencapai suhu 1800C dengan tekanan 1 atm. Djoko Hari Nugroho 41 STTN-BATAN & PTAPB-BATAN

6 Gambar 1. Process and Instrumentation Diagram (P&ID) Unit Kalsinasi [4] METODE Proses untuk menentukan SIL yang dibutuhkan dalam standar EN adalah sebagai berikut: 1. Menentukan konsekuensi dari peristiwa berbahaya. 2. Tentukan nilai frekuensi dan durasi seseorang terkena bahaya. 3. Tentukan nilai probabilitas dari terjadinya peristiwa berbahaya tersebut 4. Tentukan nilai kemungkinan untuk mencegah atau membatasi lingkup peristiwa berbahaya tersebut Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa variabel Fr menunjukkan seberapa lama operator harus masuk ke dalam zone berbahaya untuk terkena paparan bahaya misalnya dengan tujuan operasi normal, perawatan. Variable Pr menunjukkan prediksi terjadinya bahaya pada saat operator berinteraksi dengan alat yang disebebkan oleh adanya komponen yang berbahaya dan kelemahan manusia. Variabel Av terkait dengan desain peralatan. Untuk menghitung Av dipertimbangkan seberapa cepat terjadinya bahaya, bahaya alami yang kemungkinan terjadi, kemungkinan perlindungan fisik terhadap bahaya, dan kemungkinan operator menghindarinya. Sedangkan contoh perhitungan SIL dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Contoh perhitungan SIL [3] STTN-BATAN & PTAPB BATAN 42 Djoko Hari Nugroho

7 HASIL DAN PEMBAHASAN Proses untuk menentukan SIL yang dibutuhkan dalam standar EN adalah sebagai berikut: 1. Menentukan konsekuensi dari peristiwa berbahaya. Dalam penilaian risiko ditentukan bahwa mesin akan dioperasikan dalam tiga shift (8 jam per shift) 365 hari setahun di luar masa perawatan. Pada unit kalsinasi, set-reset dan restart ditempatkan pada sentral unit. Karena rotary kiln beroperasi pada temperatur sekitar 1800C, 1 atm dan berputar secara mekanik, maka resiko yang dapat diperhitungkan adalah i. terlukanya kulit operator jika menyentuh dinding luar tanur, ii. tanur berbentuk silinder besar dan berat yang berputar, sehingga memungkinkan tanur atau bagian-bagiannya terlepas dan menjatuhi operator serta lingkungan di sekitarnya iii. bila olehkarena suatu peristiwa tertentu U3O8 yang ada di dalam tanur bocor keluar, maka akan dapat menimbulkan effek kontaminasi lingkungan ataupun jika terhirup oleh perator dalam jangka waktu lama akan dapat memberikan effek gangguan kesehatan pada tubuh. 2. Menentukan nilai frekuensi dan durasi seseorang terkena bahaya. Berdasarkan pertimbangan resiko seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka bila terjadi gangguan operasi akan mengakibatkan tingkat keparahan terhadap operator paling tidak kulit melepuh terkena panas yang dapat pulih kembali; namun efek paling parah yang dapat terjadi adalah cedera yang tidak dapat dipulihkan kembali karena kejatuhan tanur atau bagian-bagiannya. 3. Menentukan nilai probabilitas dari terjadinya peristiwa berbahaya : Bahaya dari segi mekanik akan terjadi dalam waktu yang pendek dan langka, namun jika ditinjau dari efek radiasi, maka jika terjadi kebocoran akan dapat memberikan efek dalam waktu panjang terus menerus jika dihirup ataupun tertelan oleh manusia melalui berbagai media. 4. Menentukan nilai kemungkinan untuk mencegah atau membatasi lingkup peristiwa berbahaya tersebut. Bahaya dari segi mekanik dan dihirup kemungkinan dalam kondisi tertentu dapat dicegah atau dibatasi kerusakannya. Sebagai perlindungan, unit kalsinasi ditempatkan dalam ruang khusus dengan tekanan negatif. Dalam pengoperasian alat, operator berada pada tempat (Ruang Kendali) yang dibatasi dinding dengan unit kalsinasi. Dengan demikian pengoperasian proses dilakukan secara otomatik dengan tombol start dan stop ada pada Ruang Kendali Utama. Untuk memonitor radiasi dan mengawasi ada tidaknya bocoran U3O8 dapat dipasang detektor radiasi di dekat unit kalsinasi. Secara otomatik, detektor akan memberikan sinyal untuk alarm peringatan jika paparan radiasi berada di atas ambang normal, dan melakukan tindakan darurat jika dideteksi paparan radiasi melebihi ambang batas keselamatan. Untuk lebih memberikan jaminan keamanan, dipasang tombol untuk dapat memberhentikan sistem secara darurat secara manual diletakkan pada tempat yang mudah untuk dijangkau. Dipersyaratkan juga perawatan dilakukan secara periodik setiap tahun untuk memastikan bahwa`kinerja semua komponen dalam keadaan berfungsi baik. Tingkat SIL Unit kalsinasi dapat ditentukan dengan menggunakan asumsi bahwa frekuensi terjadinya kecelakaan adalah bila terjadi keausan sistem mekanik tanur sehingga menyebabkan pengujian dan perawatan dilakukan dalam orde 1 tahun. Probabilitas terjadinya bahaya dan kemungkinan untuk menghilangkan bahaya diasumsikan secara konservatif sehingga mungkin terjadi/dilakukan, dengan demikian masing-masing mendapat nilai 3. Djoko Hari Nugroho 43 STTN-BATAN & PTAPB-BATAN

8 Berdasarkan pertimbangan ketiga parameter Fr, Pr dan Av serta tingkat keparahan bahaya paling parah adalah cedera karena kejatuhan bagain dari tanur seperti tampak pada Tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unit kalsinasi memiliki nilai SIL 2. Untuk tingkat SIL 2, maka target maksimum kegagalan sekitar Tingkat SIL 2 untuk unit kalsinasi memberi dampak bahwa dalam perancangan perangkat lunak dan perangkat keras kontrol; maka komponen-komponen sensor, logic processor dan aktuatornya harus memenuhi persyaratan SILCL 2 atau lebih tinggi. KESIMPULAN Pada makalah ini dibahas tentang perancangan instrumentasi dengan langkah awal menghitung tingkat integritas keselamatan pada unit kalsinasi pabrik Yellow Cake berdasarkan standar EN Dengan menggunakan asumsi bahwa frekuensi terjadinya kecelakaan terjadi > 1 tahun. Probabilitas terjadinya bahaya dan kemungkinan untuk menghilangkan bahaya diasumsikan mendapat nilai 3. Berdasarkan pertimbangan ketiga parameter Fr, Pr dan Av serta tingkat keparahan bahaya paling parah adalah cedera karena kejatuhan bagain dari tanur kalsinasi, maka dapat disimpulkan bahwa unit kalsinasi memiliki nilai SIL 2. Dengan demikian perancangan perangkat lunak dan perangkat keras sistem kontrol terkait komponenkomponen sensor, logic processor dan aktuatornya harus memenuhi persyaratan SILCL 2 atau lebih tinggi UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada seluruh anggota tim PI PKPP 2012 atas semua kerja sama dan kontribusinya sehingga semua dokumen perekayasaan pada bidang instrumentasi dapat diselesaikan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Schenider. Safe Machinery Handbook. Diunduh dari tanggal 25 Juli Carver, R. J. Functional Safety. An introduction and practical guide to the implementation of Functional Safety to machinery diunduh tanggal 25 Juli ABB. Safety and Functional Safety. General Guide diunduh tanggal 26 Juli SUSANTO,B.G., PRAYITNO, LISSANURI, H, JAMMI,A., PANCOKO, M. Preliminary Design Pabrik Yellow Cake dari Uranium Hasil Samping Pabrik Asam Fosfat Kapasitas 60 ton U3O8/tahun.Laporan PI PKPP PRPN. Jakarta STTN-BATAN & PTAPB BATAN 44 Djoko Hari Nugroho

BASIC DESIGN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI PABRIK YELLOW CAKE DARI URANIUM HASIL SAMPING PABRIK ASAM FOSFAT

BASIC DESIGN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI PABRIK YELLOW CAKE DARI URANIUM HASIL SAMPING PABRIK ASAM FOSFAT BASIC DESIGN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI PABRIK YELLOW CAKE DARI URANIUM HASIL SAMPING PABRIK ASAM FOSFAT Djoko Hari Nugroho, Khairul Handono, Demon Handoyo PRPN BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, Gedung 71,

Lebih terperinci

BASIC DESIGN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI PABRIK YELLOW CAKE DARI URANIUM HASIL SAMPING PABRIK ASAM FOSFAT

BASIC DESIGN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI PABRIK YELLOW CAKE DARI URANIUM HASIL SAMPING PABRIK ASAM FOSFAT No Kegiatan : B-56 BASIC DESIGN SISTEM INSTRUMENTASI DAN KENDALI PABRIK YELLOW CAKE DARI URANIUM HASIL SAMPING PABRIK ASAM FOSFAT Djoko Hari Nugroho Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir- Badan Tenaga Nuklir

Lebih terperinci

Safety Instrumented Systems. Contoh Perancangan Dasar Konsep Lapisan Pelindung ISA S84 IEC IEC Rangkuman

Safety Instrumented Systems. Contoh Perancangan Dasar Konsep Lapisan Pelindung ISA S84 IEC IEC Rangkuman Safety Instrumented Systems Contoh Perancangan Dasar Konsep Lapisan Pelindung ISA S84 IEC 61508 IEC 61511 Rangkuman ISA 84.01-1996 Membedakan Instrumentasi Kontrol dan Instrumentasi Keamanan (safety instrumented

Lebih terperinci

LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR PARAMETER

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang

Lebih terperinci

TAHAPAN PENGEMBANGAN DESAIN, DAN VERIFIKASI DAN VALIDASI SISTEM YANG PENTING UNTUK KESELAMATAN BERBASIS KOMPUTER

TAHAPAN PENGEMBANGAN DESAIN, DAN VERIFIKASI DAN VALIDASI SISTEM YANG PENTING UNTUK KESELAMATAN BERBASIS KOMPUTER KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG DESAIN SISTEM YANG PENTING UNTUK KESELAMATAN BERBASIS KOMPUTER

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran. LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN Pencegahan Kebakaran

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM TUNGKU AUTOCLAVE ME-24

PEMODELAN SISTEM TUNGKU AUTOCLAVE ME-24 No. 11 / Tahun VI. April 2013 ISSN 1979-2409 PEMODELAN SISTEM TUNGKU AUTOCLAVE ME-24 Sugeng Rianto Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN Kawasan Puspiptek Gd. 65 Tangerang Selatan ABSTRAK PEMODELAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 106, 2006 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4668) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dari masa ke masa. Dengan demikian, setiap tenaga kerja harus dilindungi

BAB 1 PENDAHULUAN. dari masa ke masa. Dengan demikian, setiap tenaga kerja harus dilindungi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tenaga kerja merupakan tulang punggung suksesnya pembangunan bangsa dari masa ke masa. Dengan demikian, setiap tenaga kerja harus dilindungi keselamatan dan kesehatannya

Lebih terperinci

ANALISIS HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) UNTUK DETEKSI BAHAYA DAN MANAJEMEN RISIKO PADA UNIT BOILER (B-6203) DI PABRIK III PT.

ANALISIS HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) UNTUK DETEKSI BAHAYA DAN MANAJEMEN RISIKO PADA UNIT BOILER (B-6203) DI PABRIK III PT. ANALISIS HAZARD AND OPERABILITY (HAZOP) UNTUK DETEKSI BAHAYA DAN MANAJEMEN RISIKO PADA UNIT BOILER (B-6203) DI PABRIK III PT.PETROKIMIA GRESIK Diajukan Oleh: Septian Hari Pradana 2410100020 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN MANAJEMEN PENUAAN REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN MANAJEMEN PENUAAN REAKTOR NONDAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN MANAJEMEN PENUAAN REAKTOR NONDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA - 2 - KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI (PIE) 1.1. Lampiran ini menjelaskan definisi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

SISTEM KENDALI DIGITAL

SISTEM KENDALI DIGITAL SISTEM KENDALI DIGITAL Sistem kendali dapat dikatakan sebagai hubungan antara komponen yang membentuk sebuah konfigurasi sistem, yang akan menghasilkan tanggapan sistem yang diharapkan. Jadi harus ada

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FORMAT DAN ISI

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FORMAT DAN ISI KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR FORMAT

Lebih terperinci

ANALISIS DATA. Universitas Indonesia. Peningkatan kualitas..., Wilson Kosasih, FT UI, 2009

ANALISIS DATA. Universitas Indonesia. Peningkatan kualitas..., Wilson Kosasih, FT UI, 2009 ANALISIS DATA 4.1 FASE ANALISA Fase ini merupakan fase mencari dan menentukan akar sebab dari suatu masalah. Kemudian, dilakukan brainstroming dengan pihak perusahaan untuk mengidentifikasi akar permasalahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Elemen Dasar Sistem Otomasi

Elemen Dasar Sistem Otomasi Materi #4 Sumber: Mikell P Groover, Automation, Production Systems, and Computer-Integrated Manufacturing, Second Edition, New Jersey, Prentice Hall Inc., 2001, Chapter 3 Elemen Dasar Sistem Otomasi 2

Lebih terperinci

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 107) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI

Lebih terperinci

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

Lebih terperinci

Pertemuan-1: Pengenalan Dasar Sistem Kontrol

Pertemuan-1: Pengenalan Dasar Sistem Kontrol Pertemuan-1: Pengenalan Dasar Sistem Kontrol Tujuan Instruksional Khusus (TIK): Mengerti filosopi sistem control dan aplikasinya serta memahami istilahistilah/terminology yang digunakan dalam system control

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM KONTROL TRANSFER TARGET CAIR UNTUK PRODUKSI RADIOISOTOP F-18 (FLUOR-18) PADA FASILITAS SIKLOTRON

RANCANG BANGUN SISTEM KONTROL TRANSFER TARGET CAIR UNTUK PRODUKSI RADIOISOTOP F-18 (FLUOR-18) PADA FASILITAS SIKLOTRON 162 ISSN 0216-3128 I. Wayan Widiana, dkk. RANCANG BANGUN SISTEM KONTROL TRANSFER TARGET CAIR UNTUK PRODUKSI RADIOISOTOP F-18 (FLUOR-18) PADA FASILITAS SIKLOTRON I. Wayan Widiana, Cahyana a., Artadi Heru

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP

Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP Disusun Oleh : Firman Nurrakhmad NRP. 2411 105 002 Pembimbing : Totok Ruki Biyanto, PhD. NIP. 1971070219988021001 LATAR BELAKANG Kegagalan dalam pengoperasian yang berdampak pada lingkungan sekitar Pengoperasian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hampir 50 persen dari kebutuhan, terutama energi minyak dan gas bumi.

I. PENDAHULUAN. hampir 50 persen dari kebutuhan, terutama energi minyak dan gas bumi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah energi merupakan salah satu hal yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Di Indonesia, ketergantungan kepada energi fosil masih cukup tinggi hampir 50 persen

Lebih terperinci

Manajemen Risiko Kelelahan: Preskriptif versus Pendekatan Berbasis Risiko

Manajemen Risiko Kelelahan: Preskriptif versus Pendekatan Berbasis Risiko Manajemen Risiko Kelelahan: Preskriptif versus Pendekatan Berbasis Risiko Solichul HA. BAKRI, et al Ergonomi untuk Keselamatan, Keselamatan Kerja dan Produktivitas ISBN: 979-98339-0-6 Mengelola Kelelahan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang :

Lebih terperinci

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor produktivitas memang menjadi hal yang diutamakan pada dunia industri sekarang ini,namun faktor keselamatan kerja juga sudah menjadi hal yang sangat diperhatikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perkembangan dunia industri yang pesat tidak hanya ditandai dengan adanya persaingan yang ketat antar perusahaan. Namun, penggunaan teknologi dan material yang berbahaya

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

I Wayan Widiyana, Ade Lili Hermana. PRR-Batan, kawasan Puspiptek Serpong, ABSTRAK ABSTRACT

I Wayan Widiyana, Ade Lili Hermana. PRR-Batan, kawasan Puspiptek Serpong,  ABSTRAK ABSTRACT PERANCANGAN SISTEM MONITORING DAN KENDALI JARAK JAUH BERBASIS SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) PADA SISTEM KESELAMATAN DI PUSAT RADIOISOTOP DAN RADIOFARMAKA (PRR) I Wayan Widiyana, Ade Lili Hermana PRR-Batan,

Lebih terperinci

REACTOR SAFETY SYSTEMS AND SAFETY CLASSIFICATION

REACTOR SAFETY SYSTEMS AND SAFETY CLASSIFICATION REACTOR SAFETY SYSTEMS AND SAFETY CLASSIFICATION Puradwi I.W. Bidang Analisis Risiko dan Mitigasi Sistem P2TKN-BATAN NATIONAL BASIC PROFESSIONAL TRAINING COURSE ON NUCLEAR SAFETY PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Lebih terperinci

FMEA SEBAGAI ALAT ANALISA RISIKO MODA KEGAGALAN PADA MAGNETIC FORCE WELDING MACHINE ME-27.1

FMEA SEBAGAI ALAT ANALISA RISIKO MODA KEGAGALAN PADA MAGNETIC FORCE WELDING MACHINE ME-27.1 ISSN 1979-2409 FMEA SEBAGAI ALAT ANALISA RISIKO MODA KEGAGALAN PADA MAGNETIC FORCE WELDING MACHINE ME-27.1 Iwan Setiawan Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Kawasan Puspiptek, Serpong ABSTRAK FMEA SEBAGAI

Lebih terperinci

Gambar I. 1 Biaya penggunaan otomasi global (Credit Suisse,2012)

Gambar I. 1 Biaya penggunaan otomasi global (Credit Suisse,2012) BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Diawali dengan ditemukannya mesin uap yang mendorong revolusi industri atau dikenal juga dengan industri 1.0 pada tahun 1784, revolusi industri terus berkembang mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu perkembangan pengaplikasian teknologi yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu perkembangan pengaplikasian teknologi yang telah lama BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan teknologi elektronika dewasa ini, sudah sangat maju baik dibidang industri, pertanian, kesehatan, pertambangan, perkantoran, dan lain-lain.

Lebih terperinci

USULAN PERBAIKAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BERDASARKAN METODE SWIFT PADA PT KRAKATAU STEEL DIVISI WIRE ROD MILL

USULAN PERBAIKAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BERDASARKAN METODE SWIFT PADA PT KRAKATAU STEEL DIVISI WIRE ROD MILL USULAN PERBAIKAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BERDASARKAN METODE SWIFT PADA PT KRAKATAU STEEL DIVISI WIRE ROD MILL Retno Fitri Wulandari 36412165 SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menuju lebih baik, dan salah satunya dalam bidang kesehatan yaitu dengan

I. PENDAHULUAN. menuju lebih baik, dan salah satunya dalam bidang kesehatan yaitu dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem kendali secara otomatis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi belakangan ini berkembang dengan pesat. Dengan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi

Lebih terperinci

PENGENALAN DAUR BAHAN BAKAR NUKLIR

PENGENALAN DAUR BAHAN BAKAR NUKLIR PENGENALAN DAUR BAHAN BAKAR NUKLIR RINGKASAN Daur bahan bakar nuklir merupakan rangkaian proses yang terdiri dari penambangan bijih uranium, pemurnian, konversi, pengayaan uranium dan konversi ulang menjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PROTOTIPE MESIN CETAK INJEKSI DENGAN MENGGUNAKAN ELEKTRO-PNEUMATIK

RANCANG BANGUN PROTOTIPE MESIN CETAK INJEKSI DENGAN MENGGUNAKAN ELEKTRO-PNEUMATIK RANCANG BANGUN PROTOTIPE MESIN CETAK INJEKSI DENGAN MENGGUNAKAN ELEKTRO-PNEUMATIK Anthon de Fretes 1, Riccy Kurniawan 1 1 Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Unika Atma Jaya, Jakarta Jalan Jenderal Sudirman

Lebih terperinci

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.534, 2011 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Keselamatan Operasi Reaktor Nondaya. Prosedur. Pelaporan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DESAIN PROTEKSI BAHAYA INTERNAL SELAIN KEBAKARAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) didesain berdasarkan 3 (tiga) prinsip yaitu mampu dipadamkan dengan aman (safe shutdown), didinginkan serta mengungkung produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri migas sebagai industry bergerak dalam produksi minyak bumi atau gas alam memiliki sebuah system dalam distribusi produk mereka setelah diambil dari sumur bor

Lebih terperinci

JUDUL UNIT : Menjalankan dan Mengawasi Sistem Kompresor dan Peralatannya

JUDUL UNIT : Menjalankan dan Mengawasi Sistem Kompresor dan Peralatannya KODE UNIT : KIM.KH02.024.01 JUDUL UNIT : Menjalankan dan Mengawasi Sistem Kompresor dan Peralatannya DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang diperlukan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

BERITA NEGARA. No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern ini, laju perkembangan teknologi semakin hari semakin bertambah maju, dengan mengedepankan digitalisasi suatu perangkat, maka akan berdampak pada kemudahan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR PROSES PENILAIAN KESELAMATAN

BAB II TEORI DASAR PROSES PENILAIAN KESELAMATAN BAB II TEORI DASAR PROSES PENILAIAN KESELAMATAN 2.1 PENDAHULUAN SAE ARP4761 dikeluarkan oleh SAE (Society for Automotive Engineers) International The Engineering Society for Advancing Mobility Land Sea

Lebih terperinci

PEMANTIK LPG OTOMATIS UNTUK PEMBAKAR GAS HIDROGEN PADA PROSES REDUKSI TUNGKU ME-11

PEMANTIK LPG OTOMATIS UNTUK PEMBAKAR GAS HIDROGEN PADA PROSES REDUKSI TUNGKU ME-11 Achmad Suntoro ISSN 0216-3128 55 PEMANTIK LPG OTOMATIS UNTUK PEMBAKAR GAS HIDROGEN PADA PROSES REDUKSI TUNGKU ME-11 Achmad Suntoro Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir - BATAN ABSTRAK Pemantik LPG otomatis

Lebih terperinci

ROADMAP PENDIRIAN PABRIK BAHAN BAKAR NUKLIR TIPE PWR KAPASITAS 710 TON/fAHUN

ROADMAP PENDIRIAN PABRIK BAHAN BAKAR NUKLIR TIPE PWR KAPASITAS 710 TON/fAHUN ISSN 0854-5561 Hasil-hasil Penelitian EBN Tahun 2009 ROADMAP PENDIRIAN PABRIK BAHAN BAKAR NUKLIR TIPE PWR KAPASITAS 710 TON/fAHUN Agus Sartono DS, Bambang Galung S ABSTRAK ROAD MAP PENDIRIAN PABRIK BAHAN

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DESAIN PROTEKSI BAHAYA INTERNAL SELAIN KEBAKARAN DAN LEDAKAN

Lebih terperinci

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.107, 2012 NUKLIR. Instalasi. Keselamatan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5313) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM KENDALI TUNGKU AUTOCLAVE ME-24

RANCANG BANGUN SISTEM KENDALI TUNGKU AUTOCLAVE ME-24 RANCANG BANGUN SISTEM KENDALI TUNGKU AUTOCLAVE ME-24 Sugeng Rianto, Dedy Haryadi, Triarjo PTBBN-BATAN Serpong Email : sugeng-r@batan.go.id SEMINAR NASIONAL X ABSTRAK RANCANG BANGUN SISTEM KENDALI TUNGKU

Lebih terperinci

FE Unlam Banjarmasin Abdul Hadi, 2010

FE Unlam Banjarmasin Abdul Hadi, 2010 MANAJEMEN RISIKO MENGURANGI KERUGIAN OUTLINE 2 Pengertian Mengurangi Kerugian Langkah-langkah Mengurangi Kerugian Langkah-langkah Khusus Kelayakan Ekonomis Pengertian Mengurangi 3 Kerugian Pendapat Mehr

Lebih terperinci

FORMAT DAN ISI BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA. I. Kerangka Format Batasan dan Kondisi Operasi Reaktor Nondaya

FORMAT DAN ISI BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA. I. Kerangka Format Batasan dan Kondisi Operasi Reaktor Nondaya LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA FORMAT DAN ISI BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA I. Kerangka Format

Lebih terperinci

PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI

PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT302 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI 6623 TAUFIQUR RACHMAN PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ESA UNGGUL KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN

Lebih terperinci

3. kinerja dan efektivitas sistem manajemen mutu; 4. perencanaan telah berhasil dilaksanakan;

3. kinerja dan efektivitas sistem manajemen mutu; 4. perencanaan telah berhasil dilaksanakan; Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Perkembangan industri saat ini memiliki peranan besar bagi pertumbuhan ekonomi di seluruh negara termasuk di Indonesia. Perkembangan industri yang semakin pesat memicu

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S)

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 20 TAHUN 2009 TANGGAL : 17 FEBRUARI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Sistem Kontrol Sistem kontrol adalah proses pengaturan atau pengendalian terhadap satu atau beberapa besaran (variable, parameter) sehingga berada pada suatu harga

Lebih terperinci

Proses Desain Untuk Kehandalan Produk

Proses Desain Untuk Kehandalan Produk Proses Desain Untuk Kehandalan Produk Suryanto P2PN BATAN Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15413, Tangerang ABSTRAK Proses desain mempunyai beberapa tahapan. Tahapan desain minimal terdiri dari kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga nuklir merupakan salah satu jenis energi yang saat ini menjadi alternatif energi potensial. Pemanfaatan teknologi nuklir saat ini telah berkembang di berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PEMODELAN SIMULASI KONTROL PADA SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN PLC

PEMODELAN SIMULASI KONTROL PADA SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN PLC PEMODELAN SIMULASI KONTROL PADA SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN PLC Badaruddin 1, Endang Saputra 2 1,2 Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Mercu Buana, Jakarta, Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menejemen Resiko Manajemen resiko adalah suatu proses komprehensif untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan resiko yang ada dalam suatu kegiatan. Resiko

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN PENGUKURAN RISIKO TI

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN PENGUKURAN RISIKO TI BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN PENGUKURAN RISIKO TI 4.1 Latar Belakang Pembahasan Dalam pengukuran risiko yang dilakukan pada PT National Label, kami telah mengumpulkan dan mengolah data berdasarkan kuisioner

Lebih terperinci

SETTING DAN KALIBRASI INSTRUMEN PROSES PADA TANGKI DI-301 INSTALASI PEMURNIAN DAN KONVERSI

SETTING DAN KALIBRASI INSTRUMEN PROSES PADA TANGKI DI-301 INSTALASI PEMURNIAN DAN KONVERSI SETTING DAN KALIBRASI INSTRUMEN PROSES PADA TANGKI DI-301 INSTALASI PEMURNIAN DAN KONVERSI Triarjo, Sugeng Rianto, Dwi Djoko Nugroho Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN Email : triarjo@batan.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Permasalahan Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan (PTAPB) BATAN Yogyakarta sedang meneliti dan mengembangkan sistem pengukuran medan magnet untuk alat siklotron.

Lebih terperinci

#10 MANAJEMEN RISIKO K3

#10 MANAJEMEN RISIKO K3 #10 MANAJEMEN RISIKO K3 Risiko adalah sesuatu yang berpeluang untuk terjadinya kematian, kerusakan, atau sakit yang dihasilkan karena bahaya. Selain itu Risiko adalah kondisi dimana terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan instrumen elektronika telah banyak digunakan di berbagai bidang kebutuhan manusia. Baik bidang non industri maupun di bidang industri. Keandalan peralatan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN

LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN LAMPIRAN I METODE DAN PENDEKATAN ANALISIS KESELAMATAN I-101. Lampiran I berisi beberapa pertimbangan yang mungkin bermanfaat dalam melakukan analisis keselamatan untuk suatu reaktor penelitian. Pendekatan

Lebih terperinci

logo l RANCANG-BANGUN AKUISISI DATA DAN KONTROL UNTUK OPTIMASI PROSES PEMBUATAN GEL AMONIUM DIURANAT

logo l RANCANG-BANGUN AKUISISI DATA DAN KONTROL UNTUK OPTIMASI PROSES PEMBUATAN GEL AMONIUM DIURANAT B.48 logo l RANCANG-BANGUN AKUISISI DATA DAN KONTROL UNTUK OPTIMASI PROSES PEMBUATAN GEL AMONIUM DIURANAT Ir. Moch. Setyadji, MT. Prof. Drs. Sahat Simbolon, M.Sc. Drs. Damunir Aryadi, ST. Wijiono, SP.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Dasar Steam merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari teknologi modern. Tanpa steam, maka industri makanan kita, tekstil, bahan kimia, bahan kedokteran,daya, pemanasan

Lebih terperinci

FORMAT DAN ISI LAPORAN PENILAIAN KESELAMATAN BERKALA KONDISI TERKINI STRUKTUR, SISTEM, DAN KOMPONEN

FORMAT DAN ISI LAPORAN PENILAIAN KESELAMATAN BERKALA KONDISI TERKINI STRUKTUR, SISTEM, DAN KOMPONEN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA FORMAT DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam skala besar, proses pemindahan air tidak mungkin dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam skala besar, proses pemindahan air tidak mungkin dilakukan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam skala besar, proses pemindahan air tidak mungkin dilakukan secara manual oleh manusia, perlu adanya sistem kontrol untuk proses tersebut. Proses ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat ukur suhu yang berupa termometer digital.

BAB I PENDAHULUAN. alat ukur suhu yang berupa termometer digital. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Engineer tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan alat ukur. Akurasi pembacaan alat ukur tersebut sangat vital di dalam dunia keteknikan karena akibat dari error yang

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN INSTALASI NUKLIR NON REAKTOR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN INSTALASI NUKLIR NON REAKTOR PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN INSTALASI NUKLIR NON REAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang

Lebih terperinci

#7 PENGELOLAAN OPERASI K3

#7 PENGELOLAAN OPERASI K3 #7 PENGELOLAAN OPERASI K3 Dalam pengelolaan operasi manajemen K3, terdapat beberapa persyaratan yang dapat dijadikan suatu rujukan, yaitu: 1. OHSAS 18001 2. Permenaker 05/MEN/1996 Persyaratan OHSAS 18001

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DEFINISI. Definisi-definisi berikut berlaku untuk maksud-maksud dari publikasi yang sekarang.

DEFINISI. Definisi-definisi berikut berlaku untuk maksud-maksud dari publikasi yang sekarang. DEFINISI Definisi-definisi berikut berlaku untuk maksud-maksud dari publikasi yang sekarang. Batas-batas Yang Dapat Diterima (Acceptable limits) Batas-batas yang dapat diterima oleh badan pengaturan. Kondisi

Lebih terperinci

Konsep Dasar dan Sejarah PLC

Konsep Dasar dan Sejarah PLC Pertemuan ke-1 Konsep dasar dan sejarah PLC Kekurangan dan Kelebihan PLC Komponen, fungsi, dan aplikasi PLC Pengenalan perangkat Keras ( Hardware) Pengenalan perangkat Lunak ( Software) Konsep Dasar dan

Lebih terperinci

SISTEM SWITCHING POMPA VAKUM TAMBAHAN PADA TUNGKU REDUKSI ME-11. Achmad Suntoro Pusat Rekayasa PerangkatNuklir- BATAN

SISTEM SWITCHING POMPA VAKUM TAMBAHAN PADA TUNGKU REDUKSI ME-11. Achmad Suntoro Pusat Rekayasa PerangkatNuklir- BATAN PRIMA Volume 5, Nomor 9, November 2008 ISSN: 1411-0296 SISTEM SWITCHING POMPA VAKUM TAMBAHAN PADA TUNGKU REDUKSI ME-11 ABSTRAK Achmad Suntoro Pusat Rekayasa PerangkatNuklir- BATAN Telah dipasang pompa

Lebih terperinci

JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN

JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN Syahrudin PSJMN-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK, GD71, Lt.2,Cisauk, Tangerang Abstrak Jaminan Mutu untuk Persiapan Pembangunan PLTN. Standar sistem manajemen terus

Lebih terperinci

2011, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA. BAB I KETENTU

2011, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA. BAB I KETENTU No.535, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Desain Reaktor Daya. Ketentuan Keselamatan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENYIAPAN LARUTAN URANIL NITRAT UNTUK PROSES KONVERSI KIMIA MELALUI EVAPORASI

PENYIAPAN LARUTAN URANIL NITRAT UNTUK PROSES KONVERSI KIMIA MELALUI EVAPORASI PENYIAPAN LARUTAN URANIL NITRAT UNTUK PROSES KONVERSI KIMIA MELALUI EVAPORASI S u n a r d i Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir - BATAN ABSTRAK PENYIAPAN LARUTAN URANIL NITRAT UNTUK PROSES KONVERSI KIMIA

Lebih terperinci

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL,

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 901 K/30/MEM/2003 TANGGAL 30 JUNI 2003 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA 04-6292.2.80-2003 MENGENAI PERANTI LISTRIK UNTUK RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

UAS REKAYASA PERANGKAT LUNAK. Software Quality Assurance HANSI ADITYA KURNIAWAN

UAS REKAYASA PERANGKAT LUNAK. Software Quality Assurance HANSI ADITYA KURNIAWAN UAS REKAYASA PERANGKAT LUNAK Software Quality Assurance HANSI ADITYA KURNIAWAN 9106205405 PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN TEKNOLOGI INFORMASI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2007 Tujuan dari topik

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. keselamatan kerja yang diantaranya adalah program Lock Out Tag

BAB V PEMBAHASAN. keselamatan kerja yang diantaranya adalah program Lock Out Tag BAB V PEMBAHASAN Dari hasil penelitian PT. Bina Guna Kimia telah melaksanakan programprogram keselamatan kerja yang diantaranya adalah program Lock Out Tag Out (LOTO) dan Line Breaking merupakan program

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor yaitu, unsafe action dan unsafe condition. OHSAS menyebutkan risiko

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor yaitu, unsafe action dan unsafe condition. OHSAS menyebutkan risiko BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tempat kerja memiliki risiko terjadinya kecelakaan. Besarnya risiko yang terjadi tergantung pada jenis industri, teknologi yang digunakan serta pengendalian

Lebih terperinci

REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR)

REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR) REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR) RINGKASAN Reaktor Grafit Berpendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR) adalah reaktor berbahan bakar uranium alam dengan moderator grafit dan berpendingin

Lebih terperinci

INSTALASI DAN PENGUJIAN SISTEM KONTROL TEMPERATUR FURNACE MULTI STEP RAMP/SOAK FUJI PXR 9

INSTALASI DAN PENGUJIAN SISTEM KONTROL TEMPERATUR FURNACE MULTI STEP RAMP/SOAK FUJI PXR 9 INSTALASI DAN PENGUJIAN SISTEM KONTROL TEMPERATUR FURNAE MULTI STEP RAMP/SOAK FUJI PXR 9 Heri Nugraha 1), Marga Asta Jaya Mulya 2) 1) Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI, Kawasan Puspiptek Gd. 470, Serpong,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kebutuhan energi di dunia semakin tinggi. Menurut para ahli minyak bumi, bahan bakar fosil diperkirakan akan habis 30 tahun lagi. Perkiraan itu didasari

Lebih terperinci

MODIFIKASI SISTEM PLC S5 KE S7 PADA KONVEYOR JALUR 1 HOTCELL IRM

MODIFIKASI SISTEM PLC S5 KE S7 PADA KONVEYOR JALUR 1 HOTCELL IRM MODIFIKASI SISTEM PLC S5 KE S7 PADA KONVEYOR JALUR 1 HOTCELL IRM Helmi Fauzi R, Antonio Gogo, Supriyono, Purwanta Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir - BATAN Email: helmi_fauzi@batan.go.id ABSTRAK MODIFIKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang tidak produktif yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan adalah kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan seseorang atau

Lebih terperinci

OVERVIEW KONSEP HAZARD, RISK AND CONTROL PERTEMUAN 1 FIERDANIA YUSVITA PRODI KESEHATAN MASYARAKAT, FIKES UEU

OVERVIEW KONSEP HAZARD, RISK AND CONTROL PERTEMUAN 1 FIERDANIA YUSVITA PRODI KESEHATAN MASYARAKAT, FIKES UEU OVERVIEW KONSEP HAZARD, RISK AND CONTROL PERTEMUAN 1 FIERDANIA YUSVITA PRODI KESEHATAN MASYARAKAT, FIKES UEU VISI DAN MISI UNIVERSITAS ESA UNGGUL Materi Sebelum UTS Overview konsep hazard, risk dan control

Lebih terperinci

Muhlis Tahir PTIK A 09 UNM

Muhlis Tahir PTIK A 09 UNM Muhlis Tahir PTIK A 09 UNM BAB 4 Manajemen proyek Pengorganisasian, perencanaan dan penjadwalan proyek perangkat lunak Tujuan Untuk memperkenalkan perangkat lunak manajemen proyek dan menggambarkan karakteristik

Lebih terperinci