BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam peralatan, atau alat-alat yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasional.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam peralatan, atau alat-alat yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasional."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Aktiva Tetap Untuk mengoperasikan kegiatan usahanya, perusahaan menggunakan berbagai macam peralatan, atau alat-alat yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasional. Peralatan yang digunakan itu dapat berupa peralatan, mesin-mesin, bangunan, tanah, dan sebagainya yang disebut sebagai aktiva tetap. Untuk mengetahui aktiva tetap lebih jauh disini akan diuraikan mengenai pengertian aktiva tetap. Pengertian aktiva tetap yang dikemukakan oleh para pakar berbeda-beda, tetapi mempunyai tujuan yang sama. Berikut ini pengertian aktiva tetap dari beberapa pakar, yaitu menurut Niswonger (2000 : 400), adalah : Aktiva tetap merupakan aktiva jangka panjang atau aktiva yang relatif permanen yang merupakan aktiva berwujud (tangible assets) yang dimiliki dan digunakan oleh perusahaan serta tidak dimaksudkan untuk dijual sebagai bagian dari operasi normal. Sedangkan menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002 : hal 02), menyatakan bahwa: Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digumakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. 6

2 Sesuai dengan defenisi menurut SAK di atas, maka aktiva tetap harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Berwujud, artinya mempunyai bentuk fisik, dengan kata lain dapat dilihat maupun dapat diraba oleh manusia. b. Digunakan dalam operasi perusahaan, artinya aktiva tetap tersebut benar-benar dipergunakan dalam operasi perusahaan. Oleh sebab itu aktiva yang mempunyai bentuk aktiva tetap, tetapi tidak dipergunakan dalam kegiatan normal perusahaan tidak dapat dikategorikan sebagai aktiva tetap. Misalnya, perusahaan memiliki sebidang tanah yang telah beberapa tahun belum dimanfaatkan (masih dalam keadaan kosong), dan dalam waktu dekat juga belum ada rencana untuk memanfaatkannya, maka tanah tersebut tidak dapat dikelompokkan sebagai aktiva tetap, tetapi dikelompokkan sebagai aktiva lain-lain. c. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan, artinya bahwa aktiva tersebut dimaksudkan tidak untuk dijual kembali. Misalnya, membeli mobil untuk dijual kembali dengan tujuan memperoleh keuntungan, maka mobil tersebut tidak dapat dikelompokkan sebagai aktiva tetap, tetapi rumah yang dimiliki oleh perusahaan real estate, yang dipakai sebagai kantor merupakan aktiva tetap, dan rumah yang telah selesai dibangun tetapi belum terjual bukan kelompok aktiva tetap melainkan sebagai persediaan. d. Mempunyai masa manfaat lebih darin satu tahun, artinya berwujud tersebut digunakan lebih dari satu kali periode kegiatan perusahaan.

3 Aktiva tetap adalah jenis aktiva yang digunakan dalam operasi, namun keterlibatan atau peranan dari tiap-tiap perusahaan tidak sama. Keterlibatan aktiva tetap tergantung dari jenis dan sifat usahanya. Misalnya bangunan bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang perhotelan, merupakan aktiva tetap yang langsung berperan aktif dalam memberikan pendapatan. Tetapi bagi perusahaan angkutan, bangunan merupakan aktiva tetap yang bersifat sebagai sarana penunjang. Sebaliknya bagi perusahaan angkutan (bus, taksi, dan lain-lain) merupakan aktiva tetap yang berperan aktif (terlibat langsung) dalam rangka memperoleh pendapatan. 2. Jenis Aktiva Tetap Aktiva tetap sesuai dengan jenisnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Aktiva tetap tidak dapat disusutkan. Aktiva tetap yang tidak dapat disusutkan adalah aktiva yang mempunyai umur atau masa kegunaannya yang tidak terbatas. Termasuk dalam aktiva jenis ini misalnya, tanah untuk bangunan kantor, atau untuk bangun pabrik. Harga perolehan tanah ini tidak perlu disusutkan karena masa penggunaanya tidak terbatas dan fungsi tanah ini untuk kegiatan perusahaan dimasa mendatang tidak akan mengalami penurunan dalam keadaan normal. 2. Aktiva tetap dapat disusutkan. Aktiva tetap yang dapat disusutkan adalah aktiva tetap yang umur atau masa penggunaannya terbatas. Jenis aktiva tetap yang dapat disusutkan terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu:

4 a. Aktiva tetap yang bila masa penggunaannya atau umurnya telah berakhir dapat diganti dengan aktiva sejenis. Aktiva semacam ini harga perolehannya dapat dialokasikan dengan cara menyusutkan (depresiasi). Jenis aktiva ini misalnya: bangunan, kendaraan, mesin-mesin pabrik, alat-alat perbengkelan, peralatan kantor, dan sebagainya. b. Aktiva tetap yang bila masa penggunaannya atau umurnya telah berakhir tidak dapat diganti dengan aktiva sejenis. Jenis aktiva tetap ini harga perolehannya dapat dialokasikan dengan cara menyusutkan (depletion). Misalnya: tanah, tambang, hutan, dan lain sebagainya. Selanjutnya untuk melengkapi pernyataan Ikantan Akuntan Indonesia (2004:16.3) menyatakan suatu aktiva dapat digolongkan sebagai aktiva tetap harus memenuhi kriteria-kriteria berikut: 1. Besar kemungkinan (probable) bahwa manfaat keekonomian dimasa yang akan datang berkaitan dengan aktiva tersebut akan mengalir kedalam perusahaan. 2. Biaya perolehan aktiva dapat diukur secara andal. Aktiva tetap yang dimiliki perusahaan bermacam-macam jenisnya, tergantung dari kegiatan dan luas operasi perusahaan tersebut. Untuk tujuan akuntansinya, maka aktiva tetap perlu digolongkan berdasarkan suatu aturan tertentu. Harahap (2002:22) mengelompokkan aktiva tetap berdasarkan jenisnya sebagai berikut: 1. Lahan Lahan adalah bidang tanah terhampar baik yang merupakan tempat bangunan maupun yang masih kosong. Dalam akuntansi apabila ada lahan yang didirikan bangunan diatasnya harus dipisahkan pencatatannya dari lahan itu sendiri. Khusus bangunan yang dianggap sebagai bagian dari lahan tersebut atau yang dapat

5 meningkatkan nilai gunanya, seperti roil, jalan dan lain-lain maka dapat digabungkan dalam nilai lahan. 2. Bangunan Gedung Bangunan adalah bangunan yang berdiri diatas bumi ini baik diatas lahan/air. Pencatatannya harus terpisah dari lahan yang menjadi lokasi gedung itu. 3. Mesin Mesin termasuk peralatan-peralatan yang menjadi bagian dari mesin yang bersangkutan. 4. Kendaraan Semua jenis kendaraan seperti alat pengangkutan, truk, grader, tractor, mobil, kendaraan roda dua, dan lain-lain. 5. Perabot Dalam jenis ini termasuk perabot kantor, perabot laboraturium, perabot pabrik yang merupakan isi dari suatu bangunan. 6. Inventaris/peralatan Peralatan yang dianggap merupakan alat-alat besar yang digunakan dalam perusahaan seperti inventaris kantor, inventaris pabrik, inventaris laboraturium, inventaris gudang dan lain-lain. 7. Prasarana Di Indonesia adalah kebiasaan bahwa perusahaan membuat klasifikasi khusus prasarana seperti jalan, jembatan, riol, pagar dan lain-lain. B. Pengertian Dan Tujuan Penyusutan Aktiva Tetap Bersamaan dengan berlalunya waktu, semua aktiva tetap kecuali tanah akan kehilangan kemampuan menghasilkan jasa. Dengan demikian harga perolehan aktiva ini harus dipindahkan keperkiraan biaya secara teratur selama umur manfaatnya yang diharapkan. Biaya yang timbul akibat penggunaan aktiva tetap tidak boleh dibebankan langsung ke dalam periode akuntansi bersangkutan, tetapi harus dialokasikan selama periode pemakaian aktiva tersebut. Alokasi biaya yang di taksir karena berkurangnya kemampuan aktiva dalam suatu jangka waktu tertentu dalam akuntansi disebut dengan penyusutan atau depresiasi.

6 Ikatan Akuntan Indonesia (2002 : 17.1) menyatakan bahwa Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi. Peraturan pajak tidak memberikan pengertian yang jelas tentang penyusutan. Penjelasan Undang-Undang RI No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan hanya merujuk pada pengertian penyusutan menurut akuntansi, sehingga disimpulkan bahwa pengertian penyusutan menurut pajak diambil sesuai dengan pengertian penyusutan menurut Standar Akuntansi. Selanjutnya menurut IKAPI (2000 : 148) mengenai penyusutan menyatakan bahwa: penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 11 atau pasal 11 A. Tujuan penyusutan menurut perpajakan ada persamaan dengan konsep akuntansi keuangan yaitu untuk mengukur atau menentukan besarnya biaya atau beban penyusutan aktiva tetap, guna menentukan pendapatan kena pajak atas penghasilan pada suatu perusahaan didasarkan pada penghasilan bruto perusahaan dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta biaya-biaya yang diperkenankan dipotong menurut Undang-Undang pajak penghasilan tahun Jadi akuntansi penyusutan bertujuan untuk mendistribusikan biaya atau nilai lainnya dan harta tetap berwujud dikurangi dengan nilai sisa (jika ada), selama masa manfaat dari umur unit-unit harta tetap yang bersangkutan dengan cara sistematis dan rasional.

7 Dari beberapa defenisi di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa penyusutan merupakan alokasi yang sistematis dan rasional dalam membebankan biaya dan bukan merupakan pengumpulan dana untuk menggantikan aktiva tersebut, yang berarti bahwa seiring dengan jasa yang diberikan suatu aktiva terhadap proses produksi maka sangat perlu untuk mengalokasikan harga perolehannya melalui metode perhitungan yang sistematis. Menurut Baridwan (2004;309) cara pengalokasian harga perolehan aktiva dikenal dengan istilah-istilah sebagai berikut: 1. Depreciation (penyusutan) 2. Depletion (deplesi) 3. Amortization (amortisasi) Ad 1. Depreciation (penyusutan) Istilah penyusutan digunakan sebagai alokasi periodik biaya atas aktiva tetap yang digunakan oleh manusia berulang kali untuk pendapatan periodik yang dihasilkan. Ad 2. Depletion (deplesi) Istilah deplesi digunakan sebagai alokasi periodik dari biaya sumber daya alam, seperti cadangan minyak dan kayu, terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. Aktiva ini tidak digunakan berulang-ulang karena sifat alamiahnya menjadi hasil produksi.

8 Ad 3. Amortization (amortisasi) Istilah amortisasi digunakan sebagai alokasi periodik dari aktiva tak berwujud terhadap pendapatan periodik yang dihasilkan. Istilah amortisasi juga digunakan pada aktiva keuangan dan kewajiban, misalnya: patent, copyright, goodwill, dan biaya yang ditangguhkan. yaitu: Ada 4 (empat) faktor yang relevan dalam menentukan beban penyusutan periodik, 1. Biaya Akuisisi Dan Biaya Setelah Akuisisi Yang Dikapitalisasikan. Biaya akuisisi (cost) suatu aktiva meliputi seluruh pengeluaran yang berkaitan dengan perolehan dan penyiapannya untuk dapat digunakan. Biaya akuisisi ini dikurangi nilai residu (jika ada) kemudian ditambahkan pengeluaran-pengeluaran yang dikapitalisasi setelah perolehan aktiva tetap tersebut. Ada beberapa cara perolehan aktiva tetap menurut Harahap (2002 : 25), yaitu: - pembelian kontan; - pembelian secara kredit jangka panjang; - pembelian dengan surat berharga; - diterima dari sumbangan atau diketemukan sendiri; - dibangun sendiri; - tukar tambah. 2. Estimasi Nilai Residu. Estimasi nilai residu adalah nilai taksiran realisasi (penjualan tunai) bila aktiva tersebut telah berakhir masa manfaatnya. Nilai residu ini dipakai sebagai pengurangan harga perolehan aktiva tetap atau dengan kata lain nilai residu tidak

9 turut dialokasikan. Estimasi nilai residu aktiva tetap tergantung pada kebijakan penghentian penggunaan yang diterapkan perusahaan. Dalam menentukan besarnya nilai residu ini perlu diperhatikan: a. Lama masa penggunaan aktiva. b. Harga aktiva tersebut di pasar bila masa penggunaan berakhir. c. Kebijaksanaan manajemen berdasarkan pengalaman atas penggunaan aktiva tersebut. 3. Estimasi Umur Manfaat Aktiva tetap, selain tanah memiliki umur manfaat. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002 : 17.1) masa manfaat atau umur ekonomis dari aktiva tetap adalah: a. Periode suatu aktiva diharapkan digunakan oleh perusahaan, Atau b. Jumlah produksi serupa yang diharapkan diperoleh dari aktiva oleh perusahaan. Umur aktiva tetap dapat dipengaruhi oleh cara, sifat, dan pola pemakaian aktiva tetap tersebut. Ketepatan pemakaian umur tergantung pada kecermatan dalam melakukan estimasi atas penggunaan dimasa yang akan datang. Dalam penggunaan aktiva tetap ada 2 (dua) jenis umur, yaitu: a. Umur teknis, adalah umur potensial dari kondisi aktiva tetap atau kemampuan untuk dapat dipakai. b. Umur ekonomis atau umur produktif, adalah umur sesuai dengan kemampuan aktiva tetap untuk dimanfaatkan secara ekonomis. Biasanya umur teknis lebih

10 lama dari umur ekonomis, tapi untuk keperluan penyusutan yang dipakai sebagai dasar adalah umur ekonomis. 4. Metode Penyusutan Penentuan metode penyusutan berhubungan dengan pola pemakaian aktiva tetap suatu perusahaan harus mempertimbangkan suatu metode penyusutan yang cocok dan sesuai dengan pola pendapatan yang bervariasi yang dihasilkan oleh suatu aktiva. Untuk menerapkan suatu metode penyusutan, diperlukan adanya pertimbangan yang rasional dalam pemilihan salah satu metode. Penerapan suatu metode berhubungan dengan prinsip konsistensi, yaitu terus menerus dari suatu periode ke periode selanjutnya. Dengan adanya konsistensi metode maka dapat diukur peningkatan/penurunan pendapatan operasi. C. Akuntansi Penyusutan Aktiva Tetap Menurut Standar Akuntansi Keuangan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang mengatur tentang aktiva tetap mencakup kerangka dasar penyusunan dan menyajikan laporan keuangan adalah PSAK No. 16, sedangkan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang mengatur tentang pembebanan penyusutan aktiva yang dapat disusutkan terdapat pada PSAK No. 17 tentang akuntansi penyusutan. Tujuan PSAK tentang penyusutan ini adalah mengatur tentang pembebanan penyusutan aktiva yang dapat disusutkan. Masalah utama dalam penyusutan suatu aktiva adalah menetukan jumlah yang dapat disusutkan, metode penyusutan, dan penentuan masa manfaat keekonomian.

11 Aktiva yang dapat disusutkan seringkali merupakan bagian signifikan aktiva perusahaan. Penyusutan yang terjadi karena hal ini dapat berpengaruh dalam menentukan dan menyajikan posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. Jumlah yang dapat disusutkan (depreciable) suatu aktiva tetap harus dialokasikan secara sistematis sepanjang masa manfaatnya. Manfaat keekonomian yang diwujudkan dalam suatu pos aktiva tetap dipergunakan oleh perusahaan sepanjang masa manfaat. Tetapi faktor lain seperti keusangan teknis dan aus serta rusak saat suatu aktiva menganggur juga dapat mengurangi manfaat keekonomian. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002 : 16.9), faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan masa manfaat suatu aktiva adalah: 1. Penggunaan aktiva yang diharapkan oleh perusahaan. Penggunaan dinilai dengan pedoman kapasitas aktiva yang diharapkan atau output fisik. 2. Keusangan fisik yang diharapkan, yang tergantung pada operasional seperti jumlah penggantian dari perusahaan, dan perawatan aktiva pada saat menganggur (idle) 3. Keusangan teknis yang timbul dari perubahan atau perbaikan produksi, atau dan perubahan permintaan pasar untuk produk atau jasa yang dihasilkan oleh aktiva, dan 4. Pembatasan hukum atau yang serupa atas penggunaan aktiva, seperti habisnya waktu dari sewa guna usaha yang berkaitan. Tanah dan bangunan harus diperlakukan sebagai aktiva yang terpisah untuk tujuan akuntansi, walaupun diperoleh secara sekaligus. Tanah biasanya memiliki usia tidak terbatas oleh karena itu tidak disusutkan, sedangkan bangunan memiliki usia terbatas, oleh karena itu disusutkan. Jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aktiva ditentukan setelah mengurangi nilai sisa.

12 Jumlah yang dapat disusutkan dialokasikan ke setiap periode akuntansi masa manfaat aktiva dengan berbagai metode. Metode manapun yang dipilih, konsistensi dalam penggunaannya adalah perlu tanpa memandang tingkat profitabilitas perusahaan dan pertimbangan perpajakan, sebagai penyedia daya banding hasil operasi perusahaan dari periode ke periode. Walaupun prinsip konsistensi tidak melarang adanya perubahan metode penyusutan apabila adanya perubahan ke metode yang baru dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih wajar dan dapat diandalkan. Metode penyusutan yang lazim digunakan dalam praktek akuntansi seperti halnya menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002 : 17.1) menyatakan metode penyusutan dapat dikelompokkan menurut kriteria berikut: (a) Berdasarkan Waktu (i). Metode garis lurus (straight line method) (ii). Metode pembebanan yang menurun a) Metode jumlah angka tahun (sum-of-the-years-digit-method) b) Metode saldo menurun/saldo menurun ganda (declining/double Declining method) (b) Berdasarkan penggunaannya. (i). Metode jam-jasa (service-hours method) (ii). Metode jumlah unit produksi (productive-output method) (c) Berdasarkan kriteria lainnya. (i). Metode berdasarkan jenis dan kelompok (group and composite method) (ii). Metode anuitas (annuity method) (iii). Metode persediaan (inventory method)

13 Ad 1. Berdasarkan Waktu. Adapun metode penyusutan berdasarkan waktu dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: Metode Garis Lurus (Straight Line Method) Metode penyusutan aktiva ini merupakan metode yang paling sederhana dan paling umum dipakai. Metode ini didasarkan atas asumsi bahwa sebuah aktiva tetap menurun kegunaannya dengan tingkat yang konstan. Dalam metode garis lurus, beban penyusutan setiap tahunnya merupakan fungsi dari lewatnya waktu dan bukan fungsi penggunaan aktiva. Juga dalam metode penyusutan ini, beban penyusutan tiap periodenya adalah sama tanpa memperdulikan tingkat penggunaan aktiva yang bersangkutan. Rumus untuk menghitung besarnya penyusutan menurut metode garis lurus adalah Beban penyusutan = Biaya akuisisi nilai residu Estimasi umur manfaat dalam tahun Atau 100%, n n = taksiran umur manfaat Contoh: Tanggal 1 September 2005 perusahaan membeli sebuah mesin dengan harga Rp ,-. Diperkirakan nilai residu mesin ditaksir Rp ,- dan taksiran umur penggunaannya 5 tahun. Hitunglah penyusutan mesin tersebut. Diketahui : Biaya akuisisi = Rp ,- Nilai residu = Rp ,-

14 Umur aktiva (n) = 5 tahun, maka Beban penyusutan = = Rp ,- Atau 100%: 5 = 20%, maka tarif yang digunakan untuk menghitung biaya penyusutannya adalah 20%. Untuk melihat penyusutannya tiap tahun dapat dilihat dari table berikut. Tabel 2.1: Perhitungan Beban Penyusutan Menurut Metode Garis Lurus Tahun Harga Beban penyusutan Akumulasi Nilai buku perolehan penyusutan 2005 Rp /12x = /12x = /12x = /12x = /12x = /12x = Sumber : Harahap (2002) Metode Pembebanan Yang Menurun Metode beban yang menurun seringkali disebut juga dengan metode penyusutan dipercepat untuk menyediakan biaya penyusutan yang lebih tinggi pada tahun-tahun awal dan beban yang lebih rendah pada periode mendatang. Secara umum ada metode beban menurun yang digunakan, yaitu: - Metode jumlah angka tahun (sum-of-the-years-digit-method) Metode ini menghasilkan beban penyusutan yang menurun berdasarkan pecahan yang menurun dari biaya yang dapat disusutkan (biaya awal nilai sisa). Setiap

15 pecahan menggunakan jumlah angka tahun sebagai penyebut, misalnya umur ekonomis 5 tahun maka ( =15) 15 sebagai penyebut, atau n (n + 1)/2. Dan jumlah tahun estimasi umur yang tersisa pada awal tahun sebagai pembilang. Contoh : Seperti pada kasus terdahulu, harga perolehan Rp ,- Nilai sisa Rp ,-, dan umur penggunaan aktiva 5 tahun. Untuk menghitung penyusunan tiap tahunnya dapat dilihat pada table berikut. Tabel 2.2: Perhitungan Beban Penyusutan Menurut Metode Jumlah Angka Tahun Tahun Harga perolehan Beban penyusutan Akumulasi penyusutan Nilai buku ,- - 5/15x4/12x = (5/15x8/12x )+ (4/15x4/12x ) = (4/15x8/12x )+ (3/15x4/12x ) = (3/15x8/12x )+ (2/15x4/12x ) = (2/15x8/12x )+ (1/15x4/12x ) = /15x8/12x = Sumber : Harahap (2002) Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa beban penyusutan pada periode awal taksiran umur manfaat tinggi dan periode selanjutnya menurun. Pandangan yang dianut metode ini adalah bahwa aktiva pada umur awalnya dianggap memberikan performance yang lebih besar pada perusahaan sehingga penyusutannya pada awal pemakaiannya besar.

16 - Metode saldo menurun (declining-balance method) Metode ini sama halnya seperti metode jumlah angka tahun, dalam metode saldo menurun beban penyusutan secara periodik akan menurun selama taksiran umur aktiva. Hanya saja beban penyusutan dihitung dengan cara mengalikan suatu tariff persentase tertentu dengan nilai buku aktiva, Persentase tarif penyusutan dapat dihitung dengan rumus : r n S C Dimana : r (ratio) S (solvage value) C (cost) n = tarif penyusutan = nilai residu = harga perolehan aktiva = taksiran umur manfaat Contoh : Seperti kasus terdahulu, dimana: C = Rp ,- S = Rp ,- n = 5 tahun Maka r = = = 1-0,6191 = 38,09%

17 Beban penyusutan tiap tahunnya dapat dilihat melalui table berikut : Tabel 2.3: Perhitungan Beban Penyusutan Menurut Metode Saldo Menurun Tahun Harga Beban penyusutan Akumulasi Nilai buku perolehan penyusutan ,09%x4/12x = ,09%x8/12x = ,09%x4/12x = ,09%x8/12x = ,09%x4/12x = %x8/12x = ,09%x4/12x = ,09%x8/12x = ,09%x4/12x = ,09%x8/12x = Sumber : Harahap (2002) Metode saldo menurun ganda (double-declining-balance method) Metode saldo menurun ganda menghasilkan beban penyusutan secara periodik semakin menurun sepanjang umur manfaat aktiva. Beban penyusutan diperoleh dengan mengalikan tarif penyusutan yang tiap periodenya tetap dengan nilai buku aktiva yang semakin menurun. Sama seperti perhitungan untuk menentukan beban penyusutan menurut metode saldo menurun, dalam metode ini nilai residu juga tidak diperhitungkan. Cara yang paling umum dan mudah untuk mendapatkan beban penyusutan dengan metode saldo menurun ganda adalah dengan melipatgandakan tarif penyusutan garis lurus. Misalnya, umur aktiva ditaksir adalah 4 tahun, beban penyusutan dasar garis lurus adalah 100% : 4 = 25%. Maka tarif beban penyusutan metode saldo menurun ganda adalah : 2 x 25% = 50%.

18 Contoh: Seperti kasus terdahulu, maka depresiasi untuk hal diatas adalah: Depresiasi = 2x 100% n = 2x 100% = 40% 5 Beban penyusutan tiap tahunnya dihitung melalui table berikut: Tabel 2.4: Perhitungan Beban Penyusutan Menurut Metode Saldo Menurun Ganda Tahun Harga Beban penyusutan Akumulasi Nilai buku perolehan penyusutan %x4/12x = %x8/12x = %x4/12x = %x8/12x = %x4/12x = %x8/12x = %x4/12x = %x8/12x = %x4/12x = %x8/12x = Sumber : Harahap (2002) Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai residunya tidak sama dengan yang diperkirakan yaitu Rp ,-. Ini dapat dialihkan penggunaan metode saldo menurun ganda ke metode garis lurus atau metode jumlah angka tahun, karena jumlah nilai residualnya melebihi dari penyusutan yang dihitung. Tujuan diubahnya metode adalah untuk mencapai nilai residual yang sama seperti taksiran pada awal perolehan aktiva tetap bersangkutan. Perubahan metode ini tidak memerlukan jurnal koreksi.

19 Ad 2. Berdasarkan Penggunaan. Metode yang digunakan atas dasar penggunaan lebih memandang faktor berlalunya waktu daripada faktor penggunaan sebagai dasar penyusutan. Metode penyusutan berdasarkan faktor penggunaan memandang faktor teknis aktiva yang sangat berhubungan dengan tingkat pemakaian aktiva tersebut. Penyusutan berdasarkan penggunaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: (i). Metode Jam Jasa (Service-hours method) Metode jam jasa didasarkan suatu anggapan bahwa pembelian aktiva tetap adalah merupan pembelian sejumlah jam pemakaian/penggunaan jam kerja aktiva dikalikan dengan tarif penyusutan. Harga perolehan dikurangi dengan nilai residu (jika ada) dibagi dengan taksiran jam kerja produktif seluruhnya adalah merupakan tarif penyusutan. Dalam rumus dapat ditulis: Penyusutan perjam = c s n Dimana: C (cost) = harga perolehan aktiva S (solvage value) = nilai residu n = taksiran total jamkerja Contoh: Seperti kasus terdahulu, harga perolehan mesin adalah Rp ,-, nilai residu Rp ,- bila estimasi umur pemakaiannya adalah jam, maka penyusutan per jam dapat dihitung sebagai berikut:

20 Penyusutan per jam = jam = Rp 240, perjam Untuk penyusutan berdasarkan metode jam jasa dapat disajikan melalui table berikut: Tabel 2.5: Perhitungan Beban Penyusutan Berdasarkan Metode Jam Jasa. Tahun Jam Penyusutan Akumulasi Nilai Buku Pemakaian Perhitungan Jumlah Penyusutan Rp xRp240 Rp Rp Rp xRp xRp240 Rp Rp Rp Rp Rp Rp xRp240 Rp Rp Rp xRp240 Rp Rp Rp Rp Sumber : Harahap (2002) (ii). Metode Jumlah Unit Produksi (Productive-Output Method) Dengan metode ini beban penyusutan dihitung berdasarkan jumlah unit yang diproduksi dalam periode tersebut. Perhitungan penyusutan dilakukan dengan membagi nilai perolehan dikurangi nilai residu (jika ada) dengan taksiran total unit yang diproduksi aktiva untuk periode tersebut. Rumus untuk menghitung penyusutan adalah : Penyusutan per unit = C S n C = nilai perolehan aktiva S = nilai residu n = taksiran total unit produksi

21 Jika dalam contoh kasus sebelumnya ditaksir bahwa mesin tersebut akan dapat menghasilkan unit, maka penyusutan per unit produksi dihitung sebagai berikut: Penyusutan per unit = = Rp 12 Misalkan selama tahun pertama mesin tersebut diharapkan akan menghasilkan produksi unit, tahun kedua unit, tahun ketiga unit, tahun keempat unit dan tahun kelima unit, maka daftar penyusutan untuk mesin tersebut dapat dilihat pada table berikut : Tabel 2.6 : Perhitungan Beban Penyusutan Menurut Metode Jumlah Unit Produksi Tahun Harga Perolehan Penyusutan Akumulasi Penyusutan Nilai Buku Tarif Peny (Rp) Sumber : Harahap (2002) Nilai Barang yang Disusutkan Beban Penyusutan 12 x = x = x = x = x = Metode jumlah unit produksi sebaiknya dipakai bila aktiva tetap tersebut kondisinya menjadi menurun karena banyaknya pemakaian dan bukannya karena untuk memproduksi suatu barang, semakin banyak barang yang dihasilkan, semakin besar penyusutan yang akan dibebankan.

22 Ad 3. Metode Berdasarkan Kriteria Lainnya. Dalam menentukan beban penyusutan dengan metode ini dapat dibedakan atas: (i). Metode berdasarkan jenis dan kelompok (Group And Compisite Method) - Metode berdasarkan jenis (group depreciation method) Untuk menghitung penyusutannya terlebih dahulu harus ditentukan tarif ratarata dari sekelompok aktiva tetap yang mempunyai jenis dan manfaat yang sama, sehingga biaya penyusutan adalah hasil kali antara tarif rata-rata tersebut dengan harga perolehan sekelompok aktiva tetap tersebut setelah dikurangi nilai sisanya. Contoh: Sepuluh buah peralatan sejenis mempunyai cost total Rp ,- ditaksir mempunyai masa manfaat rata-rata 5 tahun. Tiga buah peralatan tersebut akan berhenti dari operasinya pada akhir tahun ke-4, dan empat buah pada akhir tahun ke-5, dan sisanya akhir tahun ke-6. Dengan menggunakan group depreciation method, berdasarkan rata-rata umur tersebut 20% dari cost akan dibebankan sebagai penyusutan, ikhtisar penyusutan dibuat pada tabel berikut.

23 Akhir tahun Tabel 2.7: Perhitungan Beban Penyusutan Menurut Metode Berdasarkan Jenis Biaya Harga perolehan Akumulasi penyusutan Nilai peny. Debet Kredit Saldo Debet Kredit Saldo Buku 20% pertahun Sumber : Harahap (2002) Maka pada akhir tahun ke-1, 2, 3, dan 4 dicatat penyusutan sebagai berikut: Beban penyusutan peralatan Rp ,- Akumulasi penyusutan peralatan Rp ,- Pada akhir tahun ke-5 dan ke-6 akan dicatat biaya penyusutan masing-masing sebesar Rp ,- dan Rp ,- - Metode berdasarkan kelompok (Composite Depreciation Method) Jika dalam metode jenis aktiva yang dikelompokkan adalah sejenis, maka dalam metode ini aktiva yang dikelompokkan itu tidak sejenis, penyusutannya dihitung dengan cara mencari rate terlebih dahulu. Penyusutan harus dicatat dalam perkiraan tersendiri untuk setiap aktiva. Jika terjadi penarikan salah satu aktiva yang dikelompokkan maka dijurnal dengan mengkredit perkiraan aktiva itu dan mendebet

24 perkiraan akumulasi penyusutan sebesar perbedaan harga pokok dengan nilai residu. Untuk menghitung tarif (rate) tersebut diperlihatkan melalui contoh berikut: Tabel 2.8: Perhitungan Beban Penyusutan Menurut Metode Berdasarkan Kelompok Peralatan Harga Perolehan Nilai Residu Jumlah Dapat Taksiran Umur Penyusutan Pertahun A B C D Disusutkan Sumber : Harahap (2002) Tarif penyusutan dihitung sebagai berikut: total biaya penyusu tan Tarif penyusutan = x 100% total h arg a perolehan = x 100% = 81,11% Tarif penyusutan tersebut dikenakan terhadap total harga perolehan untuk memperoleh biaya penyusutan setiap tahunnya yaitu: 81,11% x Rp ,- = Rp ,- Biaya penyusutan dicatat sebagai berikut: Biaya penyusutan peralatan Rp ,- Akumulasi penyusutan peralatan Rp ,-

25 (ii). Metode Anuitas (Anuity Method) Dalam metode ini aktiva tetap dianggap sebagai aktiva yang memberikan kontribusi selama umur teknisnya. Harga perolehanya dianggap sebagai present value yang didiskontokan dari jasa yang akan diberikannya secara merata selama umur teknisnya. Dalam metode ini, penyusutan dianggap sebagai angka bunga yang diperhitungkan atas harga pokok aktiva yang belum disusutkan ditambah akumulasi penyusutan. Rumus untuk mencari beban penyusutan dengan metode anuitas adalah: Penyusutan (d) = Dimana: C = harga perolehan N = present value S = nilai residu n = umur aktiva i = bunga Contoh: C NS PVIF ni Dalam contoh kasus sebelumnya, yaitu: C = Rp ,- S = Rp ,- n = 5 tahun i = 10% Maka penyusutannya adalah :

26 ( PV d = PVIF 5 :10% x ) 5:10% (0.6209x ) d = 3, d = 3,7908 d = Rp Beban penyusutan pertahun adalah Rp ,-. Angka tersebut akan didistribusikan sebagai Implicit Interest Revenue dan penyusutan, Interest revenue adalah 10% dari nilai buku. Tabel 2.9 : Perhitungan Beban Penyusutan Berdasarkan Metode Anuitas Tahun Penyusutan Implicit interest revenue 10% Akumulasi penyusutan pertahun Akumulasi penyusutan Nilai buku Rp Rp Rp Rp Rp Rp Sumber : Harahap (2002) Rp Rp (iii). Sistem Persediaan (Inventory System) Sistem persediaan adalah tipe sistem yang digunakan dalam situasi dimana jumlah aktiva itu besar dengan harga perolehan yang kecil-kecil, seperti peralatan untuk sebuah perusahaan industri atau perkakas untuk sebuah restauran. Metode ini cukup mudah di pakai tetapi tidak sistematis dan rasional karena ada unsur

27 penafsiran yang dilakukan dalam perhitungan penyusutan, disamping itu juga sulit untuk menentukan nilai aktiva tersebut pada akhir periode. Dalam metode ini, penyusutan dihitung dengan menambahkan persediaan awal aktiva tetap yang tersedia dengan perolehan aktiva tetap selama periode berjalan, kemudian dikurangi dengan persediaan akhir aktiva tetap tersebut. D. Akuntansi Penyusutan Aktiva Tetap Menurut Undang-Undang Perpajakan Pengaturan penyusutan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan diatur dalam pasal 11 Undang-Undang No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No.7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Menurut Waluyo (2000 : 94) syarat aktiva tetap yang dapat disusutkan menurut ketentuan perpajakan meliputi : 1. Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud ; 2. Harta tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun ; 3. Harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

28 Undang-undang pajak penghasilan secara khusus menetapkan saat dimulainya penyusutan fiskal adalah pada bulan perolehan. Penyusutan harus dilakukan sebulan penuh. Pengecualian dari ketentuan ini hanya dapat terjadi karena hal-hal berikut : a. Harta / aktiva dalam pengerjaan b. Harta / aktiva dalam usaha leasing c. Wajib pajak yang mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. Ad a. Harta / Aktiva Dalam Pengerjaannya Untuk Harta / aktiva tetap dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pekerjaan tersebut. Jadi walaupun pada umumnya penyusutan atas harta / aktiva dimulai pada tahun perolehan tetapi untuk harta / aktiva yang pengerjaannya memerlukan waktu lebih dari satu tahun, perhitungan penyusutan dimulai saat selesainya harta / aktiva yang bersangkutan. Ad b. Harta / Aktiva Dalam Usaha Sewa Guna Usaha (Leasing) Penyusutan terhadap dalam usaha sewa guna (leasing) khususnya sewa guna usaha tanpa hak opsi dimulai pada bulan harta tersebut disewa-guna-usahakan. Ad c. Persetujuan Direktur Jenderal Pajak Wajib pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderalm Pajak, apabila tidak mengikuti prinsip umum penyusutan. Misalnya penyusutan baru dilakukan pada tahun harta / aktiva tersebut menghasilkan.

29 Dalam sistem penyusutan menurut undang-undang PPh, semua aktiva tetap berwujud yang mempunyai syarat penyusutan fiskal harus dikelompokkan terlebih dahulu menjadi 2 (dua) golongan, yaitu : a. Harta berwujud kelompok bukan bangunan b. Harta berwujud kelompok bangunan. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) undang-undang PPh bahwa pengeluaran untuk mendapatkan manfaat, menagih, dan memelihara dibebankan melalui penyusutan, hal ini sesuai dengan kelaziman dunia usaha dan selaras dengan prinsip penandingan antara pengeluaran dan penerimaan. Dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan mempertahankan penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya sekaligus pada tahun pengeluarannya. Namun demikian, dalam perhitungan dan penerapan tarif penyusutan untuk keperluan pajak perlu diperhitungkan dasar hukum penyusutan fiskal, karena dapat berbeda dengan penyusutan untuk akuntansi (komersial). Dalam arti metode dan dasar penyusutan yang dipakai tetap sama, sebagaimana tertera pada berikut ini menurut IKAPI (2000 : 148) Pasal Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau pengubahan harta berwujud kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. 2. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat secara taat asa.

30 3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukan pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. 4. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai dihasilkan. 5. Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut. 6. Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut : Kelompok harta berwujud 1) Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Masa Manfaat 4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun Tariff penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 Ayat 2 25% 12,5% 6,25% 5% 50% 25% 12,5% 10% 2) Bangunan Permanen Tidak Permanen 20 tahun 10 tahun 5% 10% 7. Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. 8. Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah sisa buku tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut. 9. Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti dimasa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dibukukan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. 10. Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dengan huruf b, yang berupa harta yang berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. 11. Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. - -

31 Dalam ayat 1 pasal 11 UU Pajak No.17 tahun 2000 dijelaskan pengeluaranpengeluaran yang dialokasikan melalui penyusutan yaitu pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat tersebut melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bara. Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna dan hak pakai yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan. Hak guna usaha dan hak pakai diamortisasi selama jangka waktu hakhak tersebut. Dalam ayat 1 dan 2 pasal 11 UU Pajak No.17 tahun 2000 dijelaskan metode penyusutan menurut fiskal. Metode penyusutan yang dibolehkan dalam ketentuan ini adalah : 1. Metode Garis Lurus (Straight Line Method) Dalam ketentuan fiskal metode ini disebut penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.

32 Contoh : Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp ,- dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutan setiap tahun adalah sebesar Rp ,- (Rp ,- : 20) 2. Metode Saldo Menurun (Declining Balance Method) Penyusutan atas harta berwujud dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan dengan syarat dilakukan secara taat azas. Contoh penggunaan metode saldo menurun adalah ; Sebuah mesin dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp ,- masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50%, maka perhitungan penyusutan adalah sebagai berikut : Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku 2000 Harga Perolehan Rp , % Rp ,- Rp , % Rp ,- Rp , % Rp ,- Rp , disusutkan sekaligus Rp ,- 0

33 Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas. Harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. Dalam hal Wajib Pajak memilih penggunaan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan. Ayat 3 dan 4 pasal 11 UU Pajak No.17 tahun 2000 menjelaskan kapan dimulainya penyusutan. Penyusutan dimulai pada bulan pertama dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro rata. Wajib Pajak diperbolehkan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta digunakan dalam proses produksi atau untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, atau pada saat harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Yang dimaksud menghasilkan dalam ketentuan fiskal ini dikaikan dengan saat dimulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan. Untuk memberikan penjelasan yang lebih baik ada tiga contoh dari UU yang dikutip yaitu: Contoh 1. Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp ,- Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2000 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada saat bulan Maret tahun pajak 2001.

34 Contoh 2. Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp ,- masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka perhitungan penyusutannya adalah sebagai berikut : Tabel 2.10: Pehitungan Penyusutan Berdasarkan Undang-Undang Perpajakan. Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku Harga Perolehan 6/12 X 50% 50% 50% - Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp % Rp ,- Rp Disusutkan sekaligus Sumber : IKAPI (2000) Contoh 3. Rp ,- PT. X yang bergerak dibidang perkebunan membeli traktor pada tahun Perusahaan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun Ayat 5 menyebutkan wajib pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan pemerintah, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut. Misalnya karena adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan dibidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara pembiayaan dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan -

35 diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan. Untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ayat 6 dari pasal 11 ini mengatur kelompok masa manfaat dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun. Table 2.11 : Tarif Penyusutan Aktiva Tetap Berdasarkan UU PPh No.17 Tahun 2000 Pasal 11 Ayat 6 Kelompok Harta Masa Manfaat Berwujud I. Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun Tarif penyusutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Ayat (2) 25 % 12,5 % 6,25 % 5 % 50 % 25 % 12,5 % 10 % II. Bangunan Permanen Tidak permanen Sumber : IKAPI (2000) 20 tahun 10 tahun 5 % 10 % Bangunan tidak permanen maksudnya yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun. Misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan. Ayat 7 menyebutkan dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidangbidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.

36 Ayat 8 dan 9 menjelaskan bahwa pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena peralihan atau penarikan harta menurut UU No.17 tahun 2000 pasal 4 ayat (1) huruf d adalah karena : a. Penjualan; b. Pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; c. Pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; d. Pengalihan karena likuiditas, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha; e. Pengalihan karena hibah, bantuan atau sumbangan. Apabila terjadi pengalihan harta atau penarikan harta maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun harta tersebut diahlikan. Apabila harta wajib pajak dijual, penerimaan netto dari penjualan harta tersebut dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan. Penerimaan netto adalah selisih antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan. Nilai sisa buku dari harta wajib pajak dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Ayat 10 menyebutkan jika menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal peralihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana

37 dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan. Ayat 11 menyebutkan dalam rangka memberikan keseragaman kepada wajib pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenisjenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh wajib pajak. Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana yang dimaksud diatas ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan No. 520/KMK.04/2000, tanggal 14 Desember 2000 (terlampir). E. Koreksi Terhadap Perhitungan Laba Usaha Dan Laba Fiskal Karena Perbedaan Penerapan Akuntansi Penyusutan Aktiva tetap Adanya perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya antara akuntansi komersial dengan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Dalam penyusunan laporan keuangan fiskal wajib pajak harus mengacu kepada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan standar akuntansi keuangan harus disesuaikan/koreksi terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Menurut Gunadi dalam ketentuan dasar pajak penghasilan (2001:128), menyebutkan bahwa ada 2 koreksi yang ada, yaitu : a. Koreksi Fiskal Positif 1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.

38 3. Pembentukan atau penumpukan dana cadangan, kecuali; a) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, dan asuransi. b) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. 4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan (Wajib Pajak yang dipotang PPh pasal 21) 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali; 1) Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh karyawan secara bersama-sama. 2) Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan didaerah terpencil. 3) Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. 6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. 7. Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disyahkan oleh Pemerintah. 8. Pajak Penghasilan. 9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang menjadi tanggungannya. 10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota Persekutuan, Firma, atau Perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan. 12. Pajak masukan atau perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKJ/JKP) yang tidak dapat dikreditkan, kecuali : 1) Faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang PPN (faktur pajak standar cacat) 2) Pajak masukan atas perolehan BKP/JKP yang termasuk dalam Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 3) Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak, yang pengenaan pajaknya bersifat final.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai macam peralatan, atau alat-alat yang digunakan untuk mendukung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai macam peralatan, atau alat-alat yang digunakan untuk mendukung 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva Tetap Untuk mengoperasikan kegiatan usahanya, perusahaan menggunakan berbagai macam peralatan, atau alat-alat yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Aset Tetap Aset tetap merupakan aset yang dapat digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan aktivitas usaha dan sifatnya relatif tetap atau jangka waktu perputarannya

Lebih terperinci

BIAYA YG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO WP DALAM NEGERI WP BUT PASAL 9

BIAYA YG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO WP DALAM NEGERI WP BUT PASAL 9 BIAYA YG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO WP DALAM NEGERI WP BUT PASAL 9 a. PEMBAGIAN LABA DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN SEPERTI DIVIDEN, TERMASUK DIVIDEN YANG DIBAYARKAN OLEH PERUSAHAAN

Lebih terperinci

RUGI LABA BIAYA FISKAL

RUGI LABA BIAYA FISKAL RUGI LABA BIAYA FISKAL BIAYA YANG TIDAK DAPAT DIJADIKAN PENGURANG PENGHASILAN (PASAL 9) Pengeluaran untuk pemegang saham atau pihak yang memillki hubungan istimewa beserta orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Lebih terperinci

Pengertian aset tetap (fixed asset) menurut Reeve (2012:2) adalah :

Pengertian aset tetap (fixed asset) menurut Reeve (2012:2) adalah : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Kriteria Aset Tetap 2.1.1 Pengertian Aset Tetap Setiap perusahaan apapun jenis usahanya pasti memiliki kekayaan yang digunakan untuk menjalankan kegiatan operasionalnya.

Lebih terperinci

APLIKASI UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2000 DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN Oleh : Evi Ekawati. Abstrak

APLIKASI UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2000 DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN Oleh : Evi Ekawati. Abstrak APLIKASI UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2000 DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN Oleh : Evi Ekawati Abstrak Perbedaan antara laba menurut akuntansi dengan laba menurut pajak, untuk mengatasi perbedaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Akuntansi keuangan Akuntansi memegang peranan penting dalam entitas karena akuntansi adalah bahasa bisnis (bussnines language). Akuntansi menghasilkan informasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva Tetap Aktiva tetap merupakan bagian dari harta kekayaan perusahaan yang memiliki manfaat ekonomi lebih dari satu periode akuntansi. Manfaat menunjukkan

Lebih terperinci

MAKALAH PENGATAR PAJAK. Diajukan Untuk Mmenuhi Tugas Pengantar Pajak

MAKALAH PENGATAR PAJAK. Diajukan Untuk Mmenuhi Tugas Pengantar Pajak MAKALAH PENGATAR PAJAK Diajukan Untuk Mmenuhi Tugas Pengantar Pajak Diusulkan oleh: Fredericko Dananto (155030400111035) Widy Iswahyudi (155030400111051) Nur Istito ah (155030407111049) KELOMPOK 5 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam kedaan siap dipakai atau dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan,

Lebih terperinci

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 17/2000 adalah setiap

Lebih terperinci

DEPRESIASI DAN AMORTISASI FISKAL

DEPRESIASI DAN AMORTISASI FISKAL Jurnal Cakrawala Akuntansi ISSN 1979-4851 Vol. 6 No. 2, September 2014, hal. 194-200 http://jca.unja.ac.id DEPRESIASI DAN AMORTISASI FISKAL Wiwik Tiswiyanti 1) 1) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Lebih terperinci

PERPAJAKAN II. Penyajian Laporan Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan

PERPAJAKAN II. Penyajian Laporan Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan PERPAJAKAN II Modul ke: Penyajian Laporan Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan Fakultas EKONOMI Program Studi MAGISTER AKUNTANSI www.mercubuana.ac.id Dr. Suhirman Madjid, SE.,MS.i.,Ak., CA. HP/WA

Lebih terperinci

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal Penghitungan PPh diakhir tahun bagi WP Badan didasarkan atas LK Fiskal (Laba Rugi Fiskal) Laba rugi fiskal disusun berdasarkan Laba Rugi Komersial yang telah disesuaikan

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN A. Metode Perolehan Aktiva Tetap Aktiva tetap berwujud sebagai salah satu aktiva penting yang dimiliki perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan

Lebih terperinci

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI BERDASARKAN SAK ETAP DAN SAK IFRS ATAS PEROLEHAN ASET TETAP DAN KAITANNYA DENGAN ASPEK PERPAJAKAN.

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI BERDASARKAN SAK ETAP DAN SAK IFRS ATAS PEROLEHAN ASET TETAP DAN KAITANNYA DENGAN ASPEK PERPAJAKAN. ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI BERDASARKAN SAK ETAP DAN SAK IFRS ATAS PEROLEHAN ASET TETAP DAN KAITANNYA DENGAN ASPEK PERPAJAKAN (Skripsi) OLEH Nama : Veronica Ratna Damayanti NPM : 0641031138 No Telp :

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 Pasal 1 adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Laporan Keuangan Penyusunan laporan keuangan sangatlah penting bagi perusahaan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan perusahaan dan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL A. Adanya Pengeluaran atau Beban yang Tidak Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto akan Dilakukan KOREKSI FISKAL POSITIF. 1. Pembagian laba dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pengertian Aset Tetap Pengertian aset tetap menurut IAI, PSAK No 16 (2011 : 16.2) adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PENELITIAN. 1. Pengertian dan Penggolongan Aktiva Tetap. milik perusahaan dan dipergunakan secara terus-menerus dalam kegiatan

BAB II TINJAUAN PENELITIAN. 1. Pengertian dan Penggolongan Aktiva Tetap. milik perusahaan dan dipergunakan secara terus-menerus dalam kegiatan BAB II TINJAUAN PENELITIAN A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian dan Penggolongan Aktiva Tetap Aktiva tetap merupakan aktiva operasional yang digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Aset Tetap Aset tetap (fixed assets) merupakan aset jangka panjang atau aset yang relatif permanen. Aset tetap sering disebut aset berwujud (tangible assets) karena

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akuntansi Akuntansi sering disebut sebagai bahasanya dunia usaha karena akutansi akan menghasilkan informasi yang berguna bagi pihak-pihak yang menyelenggarakannya dan pihak

Lebih terperinci

PENYUSUTAN dan AMORTISASI

PENYUSUTAN dan AMORTISASI PENYUSUTAN dan AMORTISASI PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD KECUALI TANAH YG BERSTATUS HAK MILIK, HGB, HGU, DAN HAK PAKAI DILAKUKAN DALAM BAGIAN-BAGIAN YANG SAMA BESAR SELAMA MASA YG TELAH DITENTUKAN BANGUNAN

Lebih terperinci

bambang kesit, 2010 halaman 1 dari 10 perpajakan, prodi akuntansi-feuii MODUL : TEKNIK REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PPh Badan

bambang kesit, 2010 halaman 1 dari 10 perpajakan, prodi akuntansi-feuii MODUL : TEKNIK REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PPh Badan bambang kesit, 2010 halaman 1 dari 10 MODUL : TEKNIK REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PPh Badan 5.1 Pengertian PPh Badan PPh Badan yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima badan usaha

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. Teori-teori a. Pengertian Akuntansi Manfaat akuntansi dalam menyediakan informasi keuangan sangat berguna untuk perencanaan dan pengelolaan keuangan serta memudahkan pengendalian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aset Aset sebagai sumber ekonomi sangat diharapkan oleh seluruh perusahaan dapat memberikan manfaat jangka panjang untuk mencapai tujuan perusahaan di kemudian hari. Hal ini

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. Terdapat beberapa definisi mengenai analisis, yaitu:

BAB II KAJIAN TEORITIS. Terdapat beberapa definisi mengenai analisis, yaitu: BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Analisis Pengertian Analisis Terdapat beberapa definisi mengenai analisis, yaitu: Menurut Kamus Bahasa Indonesia : Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Aktiva Tetap Tanaman Menghasilkan. menghasilkan, ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Aktiva Tetap Tanaman Menghasilkan. menghasilkan, ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Aktiva Tetap Tanaman Menghasilkan Untuk mengetahui pengertian yang jelas mengenai aktiva tetap tanaman menghasilkan, ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap akhir tahun perusahaan akan membuat laporan keuangan untuk memenuhi kepentingan berbagai pihak khususnya para pemakai laporan keuangan yang berguna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Aktiva Tetap Setiap perusahaan menggunakan berbagai aktiva tetap, seperti peralatan, perabotan, alat-alat, mesin-mesin, bangunan, dan tanah. Aset tetap (fix asset)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Aset Tetap Aset tetap merupakan harta kekayaan perusahaan yang dimiliki setiap perusahaan. Aset tetap yang dimiliki perusahaan digunakan untuk menjalankan operasionalnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PENELITIAN. 1. Pengertian dan Penggolongan Aktiva Tetap. milik perusahaan dan dipergunakan secara terus-menerus dalam kegiatan

BAB II TINJAUAN PENELITIAN. 1. Pengertian dan Penggolongan Aktiva Tetap. milik perusahaan dan dipergunakan secara terus-menerus dalam kegiatan BAB II TINJAUAN PENELITIAN A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian dan Penggolongan Aktiva Tetap Aktiva tetap merupakan aktiva operasional yang digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1993 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak Penghasilan II.1.1 Dasar Pengenaan Pajak dan cara menghitung Penghasilan Kena Pajak Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Wajib Pajak dalam negeri,dan Badan Usaha Tetap (BUT)

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Kebijakan Akuntansi Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) tercantum sebagai berikut: Kebijakan akuntansi meliputi pilihan-pilihan, dasar-dasar, konvensi peraturan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Aktiva Tetap Aktiva tetap adalah suatu aktiva yang berwujud yang dipergunakan dalam operasi perusahaan sehari-hari dan merupakan aktiva tahan lama yang secara berangsur-angsur

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak.

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak. BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1. Pengertian Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak baik orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Akuntansi Keuangan Eksistensi suatu perusahaan sangat tergantung pada transaksitransaksi yang dilakukannya. Perusahaan yang dapat melakukan transaksi dengan baik berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1. Pengertian Pajak Penghasilan Di Indonesia, pajak atas penghasilan sudah dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu. Dimulai dari dikenalkannya Paten Recht

Lebih terperinci

Pengeluaran yang Tidak Boleh Dibebankan Sekaligus Pasal 9 Ayat (2) UU PPh

Pengeluaran yang Tidak Boleh Dibebankan Sekaligus Pasal 9 Ayat (2) UU PPh Pengeluaran yang Tidak Boleh Dibebankan Sekaligus Pasal 9 Ayat (2) UU PPh Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Dikapitalisasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi pajak dalam pasal 1 ayat 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana menurut Grady (2000 : 12) transaksi atau kejadian dalam suatu cara tertentu dan dalam ukuran uang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana menurut Grady (2000 : 12) transaksi atau kejadian dalam suatu cara tertentu dan dalam ukuran uang yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Akuntansi Ada banyak pengertian akuntansi yang diartikan oleh para ahli akuntansi, sehingga memberikan pengetian yang berbeda sesuai pandangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian, Pengakuan, dan Penggolongan Aktiva Tetap 1. Pengertian Aktiva Tetap Aktiva adalah sumber daya ekonomi yang diperoleh dan dikuasai oleh suatu perusahaan sebagai hasil

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Aktiva Tetap 2.1.1 Definisi Aktiva Tetap Aktiva tetap merupakan aktiva jangka panjang atau aktiva yang relatif permanen, seperti peralatan, tanah, bangunan, gedung, dimana merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bagian aset yang umumnya selalu dimiliki oleh setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bagian aset yang umumnya selalu dimiliki oleh setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Aktiva Tetap Salah satu bagian aset yang umumnya selalu dimiliki oleh setiap perusahaan dalam mendukung pelaksanaan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kriteria untuk menentukan apakah suatu pengeluaran, biaya atau kerugian dapat dapat

BAB I PENDAHULUAN. kriteria untuk menentukan apakah suatu pengeluaran, biaya atau kerugian dapat dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Beberapa konsep dasar atau prinsip biaya fiskal sudah dirumuskan sebagai kriteria untuk menentukan apakah suatu pengeluaran, biaya atau kerugian dapat dapat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. adalah bahasa bisnis(business language). Akuntansi menghasilkan informasi yang

BAB II LANDASAN TEORI. adalah bahasa bisnis(business language). Akuntansi menghasilkan informasi yang 8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Akuntansi Akuntansi memegang peranan penting dalam entitas karena akuntansi adalah bahasa bisnis(business language). Akuntansi menghasilkan informasi yang menjelaskan kinerja

Lebih terperinci

AKTIVA TETAP BERWUJUD (TANGIBLE ASSETS) DAN AKTIVA TETAP TAK BERWUJUD (INTANGIBLE ASSETS)

AKTIVA TETAP BERWUJUD (TANGIBLE ASSETS) DAN AKTIVA TETAP TAK BERWUJUD (INTANGIBLE ASSETS) AKTIVA TETAP BERWUJUD (TANGIBLE ASSETS) DAN AKTIVA TETAP TAK BERWUJUD (INTANGIBLE ASSETS) KUWAT RIYANTO, SE. M.M. 081319434370 http://kuwatriy.wordpress.com Kuwat_riyanto@yahoo.com PENGERTIAN AKTIVA TETAP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENYUSUTAN DAN AMORTISASI. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PENYUSUTAN DAN AMORTISASI. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com PENYUSUTAN DAN AMORTISASI Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD KECUALI TANAH YG BERSTATUS HAK MILIK, HGB, HGU, DAN HAK PAKAI DILAKUKAN DALAM BAGIAN-BAGIAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Aktiva Tetap Aktiva tetap adalah barang fisik yang dimiliki perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa dalam operasi normalnya, memiliki unsur yang terbatas, pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi.

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi. HAKIKAT REKONSILIASI Pelaksanaan pembukuan berdasar kebijakan akuntansi perusahaan menyimpang dari ketentuan perpajakan. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi. Penyesuaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan penerimaan negara yang paling utama, untuk itu pajak merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Aset Tetap BAB II TINJAUAN PUSTAKA Aset tetap merupakan harta kekayaan perusahaan yang dimiliki setiap perusahaan. Aset tetap yang dimiliki perusahaan digunakan untuk menjalankan operasionalnya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pajak Pajak merupakan salah satu pungutan negara terhadap rakyatnya. Pada hakekatnya, pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta Wajib

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat BAB II LANDASAN TEORI II.1 Gambaran Umum Pajak Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat memahami mengapa kita harus membayar pajak. Dari pemahaman inilah diharapkan muncul kesadaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Akuntansi Keuangan Akuntansi memegang peranan penting dalam entitas karena akuntansi adalah bahasa bisnis (business language). Akuntansi menghasilkan informasi yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Gambaran Umum Pajak II.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Soemitro. R yang dikutip oleh Mardiasmo (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pajak Penghasilan II.1.1 Pengertian Umum Pajak Definisi pajak menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro, SH. dalam Resmi (2007) adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Perusahaan Dalam Menghitung Penyusutan. 1. Dasar Penyusutan Masing Masing Aktiva dan Metode Penyusutan Yang Digunakan Oleh Perusahaan Setiap aktiva yang

Lebih terperinci

By Afifudin PSP FE Unisma 2

By Afifudin PSP FE Unisma 2 Pengertian Beban dan Kompensasi Kerugian sesuai SAK dan UU Pajak Rekonsiliasi Laporan Keuangan. Beda Tetap dan Beda Waktu Koreksi Fiskal Positif dan Koreksi Fiskal Negatif By Afifudin PSP FE Unisma 2 MEKANISME/SIKLUS

Lebih terperinci

BAB 5 Aktiva Tetap Berwujud (Tangible - Assets)

BAB 5 Aktiva Tetap Berwujud (Tangible - Assets) BAB 5 Aktiva Tetap Berwujud (Tangible - Assets) Tujuan Pengajaran: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu : 1. Menjelaskan pengertian aktiva tetap berwujud 2. Menerangkan penentuan harga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. administratif dan diharapkan akan digunakan lebih dari satu

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. administratif dan diharapkan akan digunakan lebih dari satu BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1. Definisi Aset Tetap Dalam SAK-ETAP yang diatur oleh IAI (2009: 68), aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau

Lebih terperinci

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 17 AKUNTANSI PENYUSUTAN

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 17 AKUNTANSI PENYUSUTAN Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 17 AKUNTANSI PENYUSUTAN Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 17 tentang Akuntansi Penyusutan disetujui dalam Rapat Komite Prinsip Akuntansi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak. BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengertian Umum Tentang Pajak II.1.1 Definisi Pajak Salah satu sumber penerimaan negara yang paling potensial untuk membiayai pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Aset Tetap Aset tetap merupakan harta kekayaan perusahaan yang dimiliki setiap perusahaan. Aset tetap yang dimiliki perusahaan digunakan untuk menjalankan kegiatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Soemarso S.R

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Soemarso S.R BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam menghadapi perkembangan dunia usaha yang semakin maju, sebuah perusahaan yang didirikan harus memiliki suatu tujuan agar dapat membuat perusahaan hidup

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Perhitungan Laba Rugi Secara Komersial Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang disusun berdasarkan Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) Secara umum Standar Akuntansi Keuangan merupakan pedoman pokok penyusunan dan penyajian laporan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan. Umum dann Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan. Umum dann Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Definisi Pajak Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dann Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Pengertian dan Kriteria Aset Tetap 2.1.1 Pengertian Aset Tetap Setiap perusahaan baik perusahaan yang bergerak dibidang industri, dagang, dan jasa pasti memiliki harta kekayaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Aset Tetap Berbagai definisi aset tetap yang dikemukakan oleh para ahli, semuanya mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian aset tetap agar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah suatu kerangka dalam prosedur pembuatan laporan keuangan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Bab 10 PERUSAHAAN MODAL ASING (PMA) YANG MENGGUNAKAN BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH

Bab 10 PERUSAHAAN MODAL ASING (PMA) YANG MENGGUNAKAN BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH Bab 10 PERUSAHAAN MODAL ASING (PMA) YANG MENGGUNAKAN BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH Dalam Bab ini akan dibahas penghitungan pajak apabila penduduk asing memiliki usaha di Indonesia, dan harus

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Akuntansi dan Perlakuan Akuntansi. Pengertian akuntansi memiliki definisi yang berbeda-beda, tergantung dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Akuntansi dan Perlakuan Akuntansi. Pengertian akuntansi memiliki definisi yang berbeda-beda, tergantung dari BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Akuntansi dan Perlakuan Akuntansi 2.1.1 Pengertian Akuntansi Pengertian akuntansi memiliki definisi yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang seseorang, akan

Lebih terperinci

PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA

PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA KELOMPOK 6 PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA PENILAIAN HARTA MENURUT KETENTUAN PAJAK 1. Persediaan Barang Dagangan Untuk menilai persediaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Akuntansi yang mengatur tentang aset tetap. Aset tetap adalah aset berwujud yang

BAB II LANDASAN TEORI. Akuntansi yang mengatur tentang aset tetap. Aset tetap adalah aset berwujud yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penjelasan Umum Aset Tetap Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 16 adalah Standar Akuntansi yang mengatur tentang aset tetap. Aset tetap adalah aset berwujud yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Aset Tetap Menurut Reeve, Warren, dkk (2013:2) Aset tetap (fixed asset) adalah aset yang bersifat jangka panjang atau secara relatif memiliki sifat permanen serta

Lebih terperinci

Implementasi PSAK 16 Tentang Aset Tetap pada PT. SBP

Implementasi PSAK 16 Tentang Aset Tetap pada PT. SBP Implementasi PSAK 16 Tentang Aset Tetap pada PT. SBP Listian Nurbaeni Program Studi Akuntansi STIE STEMBI, listian.nurbaeni@gmail.com Abstrak Tujuan_Untuk mengetahui bagaimana implementasi PSAK 16 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Agar tujuan perusahaan dapat tercapai, maka semua faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Agar tujuan perusahaan dapat tercapai, maka semua faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suatu perusahaan pada umumnya menjalankan kegiatan operasionalnya selain bertujuan mencari laba juga mempertahankan pertumbuhan perusahaan itu sendiri. Agar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam upaya untuk

Lebih terperinci

PENYUSUTAN DAN AMORTISASI KELOMPOK 5

PENYUSUTAN DAN AMORTISASI KELOMPOK 5 PENYUSUTAN DAN AMORTISASI KELOMPOK 5 PENYUSUTAN Pengertian Penyusutan Alokasi jumlah yang dapat disusutkan suatu aset selama umur manfaatnya. Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci