Perbandingan Efikasi Prednisolon Oral 36 mg/hari dan 12mg/hari dalam Pengobatan Asma Persisten Sedang Eksaserbasi Akut

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Perbandingan Efikasi Prednisolon Oral 36 mg/hari dan 12mg/hari dalam Pengobatan Asma Persisten Sedang Eksaserbasi Akut"

Transkripsi

1 Perbandingan Efikasi Prednisolon Oral 36 mg/hari dan 12mg/hari dalam Pengobatan Asma Persisten Sedang Eksaserbasi Akut Oke Viska, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta, Indonesia Abstrak Latar belakang: Usaha untuk menekan angka kekambuhan pasien asma eksaserbasi adalah penanganan yang optimal. Peranan steroid dalam menekan eksaserbasi tidak diragukan lagi, tetapi permasalahan timbul karena belum diketahui dosis efektif oral setelah pasien dipulangkan. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan apakah terapi 2 minggu prednisolon oral 36 mg/hari lebih efektif daripada 12 mg/ hari dalam pengobatan asma persisten sedang setelah eksaserbasi sedang sampai berat. Metode: Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol di poliklinik asma RS Persahabatan pada Januari-Agustus 2008 dengan subjek sebanyak 98 dengan asma eksaserbasi akut yang terdaftar dan secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Sebanyak 79 subjek memenuhi kriteria inklusi. Tindak lanjut dilakukan selama 4 minggu setelah terapi 2 minggu dengan prednisolon oral. Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kambuhan baik dalam 2 minggu (10,2% vs 22,5% p> 0,05) atau 6 minggu (25,6% vs 35,0% p> 0,05) antara dua kelompok. Selama 2 minggu pertama setelah dipulangkan, pasien yang menerima prednisolon oral 36 mg melaporkan secara signifikan lebih tinggi untuk rata-rata skor harian gejala sesak napas (9,95 ± 1,95 vs 9,02 ± 2,09, p<0,05), tetapi tidak ada perbedaan signifikan setelah 2 minggu. Tidak ada perbedaan signifikan dalam penggunaan β2-agonis dan arus puncak ekspirasi (APE) antara dua kelompok. Kesimpulan: Prednisolon 36 mg/hari memberikan tingkat kekambuhan lebih rendah, gejala sehari-hari yang lebih baik dan penggunaan β2-agonis dan APE dari 12mg/hari pada asma persisten sedang setelah eksaserbasi akut, secara statistik tak bermakna. (J Respir Indo. 2014; 34: ) Kata kunci: asma, prednisolon oral, kambuh. Efficacy of 36 mg/day vs 12 mg/day Oral Prednisolone in Treatment of Moderate Persistent Asthma Following Acute Exacerbation Abstract Background: Efforts to reduce the recurrence of asthma exacerbations is optimal handling. Steroid has a role in reducing exacerbations, but another problem arises due to uneffective oral dose after the patient is discharged. This study aimed to determine whether 2 weeks therapy of 36 mg/day dose of oral prednisolone is more effective than 12 mg/day in moderate persistent asthma treatment following acute asthma exacerbations. Methods: This study was a randomized open-controlled trial at asthma clinic Persahabatan Hospital between January-August 2008 of which 98 subjects with acute asthma exacerbation moderate to severe were enrolled and randomly divided into two groups. A total of 79 subjects were able to qualify for inclusion. All patients were given 2 weeks therapy with oral prednisolone and were followed for 4 weeks. Results: No differences were found in either relapse rate in 2 weeks (10.2% vs 22.5% p> 0.05) or 6 weeks (25.6% vs 35.0% p> 0.05) between the two groups. During the first 2 weeks after discharge, patients who received 36 mg of prednisolone reported average significantly higher daily scores for symptoms of shortness of breath (9.95 ± 1.95 vs 9.02 ± 2.09, p<0.05), but no significant difference after 2 weeks. No significant differences in the use of β2-agonists and peak expiratory flow rate (PEFR) between the two groups. Conclusion: Thirty six mg/day oral prednisolone provide a lower recurrence rate, symptoms improvement compare with 12 mg/day in moderate persistent asthma after acute exacerbation, but no significant association in β2-agonist consumption and PEFR compare with 12mg/day. (J Respir Indo. 2014; 34: ) Keywords: asthma, oral prednisolone, relapse. Korespondensi: dr. Oke Viska, Sp.P diana.rantung85@gmail.com; HP: J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli

2 PENDAHULUAN Asma masih menjadi salah satu masalah dan penyakit pernapasan yang paling sering ditemukan termasuk di Indonesia. Asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan tertinggi bersamasama emfisema dan bronkitis kronik berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun Pada SKRT 1992 asma bersama emfisema dan bronkitis kronik merupakan penyebab kematian ke 4 tertinggi atau sekitar 5,6%. Laporan World Health Organization (WHO) 2001 menunjukkan asma meru pakan salah satu penyebab kematian utama pada penyakit pernapasan, yaitu sebesar 0,3 % dari seluruh kematian di dunia. 1,2 Kekambuhan asma setelah kunjungan ke instalasi gawat darurat (IGD) merupakan masalah tersendiri dalam penatalaksanaan asma. Penanganan dan penatalaksanaan yang komprehensif dapat menekan eksaserbasi dan kunjungan ke IGD. 3,4 Selama ini belum banyak data di Indonesia yang melaporkan angka kekambuhan asma setelah dipulangkan dari IGD. Data dari Rumah Sakit Persahabatan tahun 1983 sebesar 21,9%, sedikit lebih tinggi dari yang dilaporkan kepustakaan luar negeri. Angka kekambuhan setelah dipulangkan 11% dalam 3 hari dan mencapai lebih dari 30% dalam beberapa minggu. 5 Laporan lain menyebutkan 17% kekambuhan dalam 2 minggu pertama, lebih dari sepertiga terjadi dalam 3 hari pertama dan lebih dari 50% dalam 6 hari pertama. 6 Perbandingan antara yang kambuh dan yang tidak, umumnya tidak berbeda dalam hal pemberian regimen obat, terapi yang diberikan di IGD dan hasil pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) awal dan akhir. Kekambuhan lebih banyak dipengaruhi keadaan pasien sebelumnya, seperti mempunyai riwayat kunjungan ke IGD dalam setahun terakhir, pernah dirawat di rumah sakit karena asma, sehari-harinya atau sering menggunakan nebuliser di rumah, gejala timbul lebih dari 24 jam, mempunyai beberapa pencetus dan asma tidak terkontrol. 3,6 Usaha untuk menekan angka kekambuhan pasien asma eksaserbasi adalah penanganan yang optimal, baik saat pasien di IGD maupun saat di rumah. Peranan steroid dalam menekan eksaserbasi tidak diragukan lagi, tetapi permasalahan timbul karena belum diketahui dosis efektif oral setelah pasien dipulangkan. Saat ini belum ada keseragaman pemberian steroid khususnya metilprednisolon pasien pascaeksaserbasi. Dosis metilprednisolon yang direkomendasikan untuk mencegah kekambuhan asma pascaeksaserbasi adalah mg per hari selama 1-2 minggu. 7 Penelitian Husain 8 menilai dosis efektif metilprednisolon antara 12 mg (3 x 4 mg) dan 24 mg (3 x 8 mg) per hari yang dipantau selama 2 minggu setelah dipulangkan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna. Saat ini belum ada penelitian yang membandingkan penggunaan dosis metilprednisolon 12 mg (3 x 4 mg) dengan 36 mg (3 x 12 mg), dengan waktu pemantauan lebih dari 2 minggu. Penelitian ini bertujuan membandingkan efikasi penggunaan dosis metilprednisolon 3 x 12 mg dengan 3 x 4 mg serta menggunakan waktu pemantauan 6 minggu. METODE Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol dengan subjek penelitian merupakan semua pasien asma akut sedang dan berat pada asma persisten sedang yang datang ke IGD dan poliklinik asma RS Persahabatan yang memenuhi kriteria pene rimaan dan penolakan pada bulan Januari 2008 sampai dengan Agustus Kriteria inklusi penelitian ini yaitu asma akut sedang-berat, asma persisten sedang, laki-laki dan perempuan berusia tahun, bersedia ikut dan menandatangani surat perjanjian (inform consent), dan tidak merokok atau bekas perokok ringan. Kriteria eksklusinya yaitu sesak oleh karena selain asma penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), kardiovaskular atau sistemik, pasien sesak berat dengan manifestasi sianosis, bradikardia, silent chest penyakit paru lain atau pernah menjalani torakotomi serta pasien dalam keadaan hamil. Subjek penelitian diambil dan dipilih secara consecutive sampling, yaitu semua pasien yang meme nuhi kriteria penerimaan disertakan sampai jumlah sampel penelitian terpenuhi. Subjek yang sudah dipilih akan 140 J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli 2014

3 dibagi secara acak ke dalam dua kelompok dengan menggunakan tabel acak. Subjek penelitian adalah pasien asma eksaserbasi yang datang ke IGD dan poliklinik asma RS Persahabatan yang didiagnosis sebagai serangan asma akut sedang atau berat pada asma persisten sedang. Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu napas, frekuensi jantung, terdapat mengi dan frekuensi napas), uji faal paru (APE), dan respons terapi. Sebelum terapi diberikan, penilaian awal dilakukan terhadap keadaan klinis dan faal paru (APE). Terapi inhalasi diberikan selang 20 menit dalam satu jam pertama dan setiap selang inhalasi dilakukan penilaian klinis dan pengukuran APE. Inhalasi yang diberikan saat serangan akut adalah fenoterol dan ipratropium bromida. Pasien yang telah teratasi serangannya diobservasi selama 1-2 jam. Setelah klinis dan tanda objektif membaik pasien dipulangkan. Pasien yang masih ada keluhan (APE < 70%) terapi dilanjutkan 1-3 jam dan ditambahkan steroid sistemik. Setelah pengamatan selesai dan tetap belum memberi respons optimal dilanjutkan dengan infus aminofilin dan diobservasi sampai 24 jam. Apabila perbaikan klinis dan objektif belum optimal maka pasien dirawat di ruangan. Pasien yang memberikan respons positif langsung terhadap terapi maupun setelah observasi atau mendapat bolus dan drip aminofilin intravena, tetapi akhirnya memenuhi kriteria untuk dipulangkan akan dimasukkan dalam subjek penelitian. Pasien yang telah dimasukkan dalam subjek penelitian sebelum pulang akan dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama akan menerima metilprednisolon oral dosis 3 x 12 mg/hari sedangkan kelompok 2 sebagai kontrol menggunakan dosis 3 x 4 mg/hari selama 2 minggu. Setiap subjek penelitian juga akan menerima metilsantin dan agonis berupa racikan teofilin ( mg) dan (1-2 mg) salbutamol. Semua subjek juga akan tetap menggunakan kortikosteroid inhalasi sebagai pengontrol dan bila terdapat infeksi saluran napas maka akan diberikan antibiotik. Pasien dipantau dan dievaluasi selama 6 minggu. Setiap minggu pasien diminta datang untuk anamnesis ulang akan kemungkinan kekambuhan asma. Bila pasien tidak dapat datang pada jadwal yang telah ditentukan maka pasien akan dihubungi lewat telepon untuk mengatur jadwal ulang maksimal dua hari setelahnya. Penilaian yang dilakukan saat pasien datang kontrol tiap minggu adalah anamnesis ada tidak kekambuhan dalam 1 minggu terakhir, efek samping, pemeriksaan fisik, dan pengukuran APE. Pengisian kuesioner untuk penilaian skor gejala harian dan penggunaan agonis dilakukan akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6. Data yang diperoleh diolah melalui program komputer. Analisis deskriptif untuk masing-masing variabel. Penilaian perbedaan angka kekambuhan diantara kedua kelompok perlakuan digunakan uji X 2 (Chi-square test). Kemaknaan statistik skor gejala harian, pemakaian agonis harian dan fungsi paru (APE) dilakukan uji t independen. Batas kemaknaan yang digunakan adalah 0,05 (Bila p < 0,05 dinyatakan bermakna) dan data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2008 dan diselesaikan pada Agustus Salah satu kendala yang dihadapi adalah pasien tidak datang kontrol kembali sehingga pasien tersebut dikeluarkan dari penelitian dan diganti dengan sampel yang baru. Alasan yang dikemukakan pasien umumnya adalah tidak sempat karena kesibukan, berada di luar kota, pasien sudah merasa lebih nyaman atau merasa sembuh sehingga merasa tidak perlu datang kembali dan masalah finansial. Pasien umumnya berasal dari poliklinik asma sebanyak 58 orang (73,4%) dan sisanya 21 orang (26,6 %) dari IGD. Salah satu penyebabnya adalah karena jumlah pasien yang menolak partisipasi atau mengalami drop out sebagian besar berasal dari pasien IGD. Umumnya pasien yang menolak atau drop out tersebut bukan pasien yang kontrol teratur di poliklinik asma RS Persahabatan. Pasien poli asma umumnya lebih suka datang di poli klinik asma dibandingkan ke IGD, kecuali di luar jam kerja. Hal ini menyebabkan penelusuran riwayat perjalanan penyakit lebih mudah diperoleh J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli

4 karena pasien sudah mempunyai status rawat jalan sebelumnya. Sebagian besar penentuan derajat berat asma pasien diambil patokan dari kartu rawat jalan. Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai perhitungan statistik adalah 86 sampel, tetapi dalam pelaksanaan hanya mencapai 79 sampel. Keseluruhan sampel yang disertakan dalam penelitian sebanyak 98 pasien, tetapi 19 orang di antaranya drop out. Sampel dibagi dua secara random dan hingga akhir penelitian jumlah masing-masing adalah 40 sampel untuk kelompok metilprednisolon 3x4 mg dan 39 untuk 3x12 mg. Sebanyak 79 pasien yang di amati pasien laki -laki sebanyak 17 orang (21,5%) dan perempuan 62 orang (78,5%). Kelompok metilprednisolon 3x4mg terdiri atas 9 sampel laki-laki dan 31 sampel perempuan. Kelompok metilprednisolon 3x12 mg masing-masing terdiri atas 8 laki-laki dan 31 perempuan. Uji statistik dengan uji X 2 atau Chisquare menunjukkan distribusi pasien menurut jenis kelamin terhadap dosis steroid tidak menunjukkan perbedaan yang berbeda bermakna (p = 0,113). Umur pasien rata-rata 41,82 tahun, umur tertinggi 55 tahun, dan terendah 18 tahun sedangkan tinggi badan rata-rata 156,63 sentimeter (cm), tertinggi 176 cm dan terendah 143 cm. Berat badan rata-rata 57,01 kilogram (kg), terberat 89 kg dan terendah 35 kg. Data umur, tinggi, dan berat badan berdistribusi normal sehingga dilakukan uji statistik t tes independen yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kedua kelompok. Pengamatan dilakukan terhadap kekambuhan, skor gejala harian, skor penggunaan agonis, dan pemeriksaan APE pada kedua kelompok. Kekambuhan diamati 2 kali, yaitu dalam 2 minggu dan dalam 6 minggu. Skor gejala harian dan penggunaan agonis dinilai di akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6 penelitian. Pada penelitian ini pengukuran APE pertama kali dilakukan sesaat sebelum dilakukan tatalaksana eksaserbasi. Pengukuran dilakukan 3 kali dan diambil nilai tertinggi. Pengukuran APE ke-2 dilakukan setelah tatalaksana eksaserbasi sebe lum pasien dipulangkan. Pengukuran APE yang ke-3 setelah pasien kontrol pada akhir minggu 1, pengukuran APE yang ke-4 pada akhir minggu ke-2 dan seterusnya hingga pengukuran APE yang terakhir pada akhir minggu ke-6 atau akhir penelitian. Angka kekambuhan pada kedua kelompok Pada setiap kunjungan pasien selain dilakukan pengukuran nilai APE juga dilakukan anamnesis ulang untuk melacak serangan ulang sesak napas atau kunjungan ke klinik untuk mencari pertolongan. Pada akhir penelitian (6 minggu) terdapat 24 pasien (30,4%) melaporkan telah terjadi kekambuhan, 14 orang (35,0%) dari kelompok dosis 3x4 mg, dan 10 orang (25,6%) dari kelompok dosis 3x12 mg. Absolut risk reduction (ARR) dengan pemberian dosis 3 x 12 mg dibandingkan dosis 3x4 mg adalah 9,4%, relative risk reduction (RRR) adalah 26,8% sedangkan number needed to threat (NNT) adalah 11. Jumlah kekambuhan 6 minggu pada kelompok dosis 3 x 4 mg lebih tinggi dibandingkan kelompok dosis 3x12 mg, tetapi perbedaan tersebut secara statistik tidak berbeda bermakna (p = 0,509). Data kekambuhan kedua kelompok dalam 6 minggu terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kekambuhan dalam 6 minggu dan 2 minggu pengamatan pada kedua kelompok. Variabel Dosis Kambuh Tidak kambuh p ARR/RRR Kekambuhan dalam 6 minggu 3x12 mg 10(25,6%) 29(74,4%) 0,509 9,4%/26,8% 3x4 mg 14 (35%) 26(65,0%) Total 24(30,4%) 55(69,6%) Kekambuhan dalam 2 minggu 3x12 mgt 4(10,2%) 35(89,8%) 0,244 12,3%/54,7% 3x4 mg 9(22,5%) 31(77,5%) Total 13(16,4%) 66(83,6%) 142 J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli 2014

5 Jumlah kekambuhan dalam 2 minggu pertama pada kelompok 3x12 mg adalah 4 orang (10,2 %) dan 10 orang (22,5 %) pada kelompok 3x4 mg dengan ARR 12,3%, RRR 54,7% dan NNT 8. Perbedaan angka kekambuhan dalam 2 minggu pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,244). Minggu terjadinya kekambuhan Dua puluh empat pasien yang mengalami ke kam buhan selanjutnya dikelompokkan menurut minggu terjadinya kekambuhan. Hasil menunjukkan bahwa kekambuhan tersering terjadi pada minggu ke-1 yaitu sebanyak 7 pasien (29,2%) diikuti minggu ke-2 sebanyak 6 pasien (25%). Secara keseluruhan kekambuhan total kedua kelompok yang terjadi dalam dua minggu pertama adalah 13 orang (54,2%). Kekambuhan pada minggu ke-3, ke-4 dan ke-6 masingmasing adalah 3 pasien (12,5%) dan paling sedikit minggu ke-5 yaitu 2 pasien (8%). Rerata skor gejala harian Penilaian skor gejala harian dilakukan 3 kali yaitu di akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6. Data rerata skor gejala harian dua kelompok yang diperoleh selanjutnya diuji dengan uji t independen. Rerata skor gejala harian kedua kelompok menunjukkan angka tertinggi pada akhir minggu ke-2 lalu menurun di akhir minggu ke-4 dan 6. Perbedaan rerata skor gejala harian pada akhir minggu ke-2 (skor gejala minggu 2) menunjukkan kelompok 3x12 mg lebih baik dan bermakna secara statistik (p=0,045). Rerata skor gejala harian akhir minggu ke-4 (skor gejala minggu 4) dan akhir minggu ke-6 (skor gejala minggu 6) kelompok 3x12 mg juga sedikit lebih baik dibandingkan kelompok 3x4 mg dan perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,945 dan 0,946). Rerata skor pemakaian agonis Pemeriksaan skor penggunaan agonis pada tiap pasien dilakukan pada akhir minggu ke- 2, 4 dan 6. Hasil menunjukkan bahwa rerata skor kelompok 3x12 mg lebih baik daripada kelompok 3x4 mg walaupun tidak bermakna secara statistik. Perbedaan rerata skor penggunaan agonis paling besar terjadi pada akhir minggu ke-2 (3,03±0,74 vs 2,80±0,82 ; p = 0,205). Rerata skor penggunaan agonis pada akhir minggu ke-4 dan ke-6 menunjukkan perbedaan yang lebih kecil (Tabel 3). Rerata nilai APE pada kedua kelompok Hasil pengukuran APE pada saat eksaserbasi (APE eksaserbasi) dan setelah tatalaksana eksaserbasi sebelum pasien pulang (APE pulang) menunjukkan rerata APE kelompok 3x4 mg lebih tinggi, tetapi tidak bermakna secara statistik (p=0,564 dan p = 0,875). Rerata APE setelah dipulangkan menunjukkan kelompok 3x12 mg memiliki rerata APE lebih baik dibandingkan 3 x 4 mg. Selisih rerata APE terbesar adalah selisih pada akhir minggu ke-2 kelompok 3x12 mg lebih baik (297,03± 71,52) dibandingkan kelompok 3x4 mg (276,41± 68,61), namun tidak bermakna secara statistik (p=0,204). Rerata nilai APE setelah minggu ke-2 menurun pada kedua kelompok dan menunjukkan kelompok 3x12 mg lebih baik dibandingkan 3x4 mg tetapi tidak bermakna secara statistik (p > 0,05). Tabel 2. Minggu terjadinya kekambuhan. Minggu Frekuensi Persen Persentase validitas Persen kumulatif 1 7 8,6 29,2 29, , , ,7 12,5 66, ,7 12,5 79, ,5 8 87, ,7 12,5 100 Total 24 29,6 100 Tabel 3. Rerata skor gejala harian dan skor pemakaian agonis pada kedua kelompok. Skor gejala 3 x 12mg 3 x 4 mg P Rerata skor harian Minggu 2 9,95±1,95 9,02±2,09 0,045 Minggu 4 7,97±2,42 7,95±1,68 0,945 Minggu 6 7,92±1,38 7,90±1,65 0,946 Rerata skor pemakaian agonis Skor mg ke-2 3,03±0,74 2,80±0,82 0,205 Skor mg ke-4 2,67±0,70 2,62±0,84 0,811 Skor mg ke-6 2,63±0,67 2,61±0,79 0,876 J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli

6 Tabel 4. Rerata nilai APE pada kedua kelompok. 3 x 12 mg 3 x 4 mg p APE eksaserbasi 143,33±33,43 147,75±34,23 0,564 APE pulang 259,74±64,99 262,00±62,27 0,875 APE minggu ke-1 279,44±71,59 268,72±64,90 0,489 APE minggu ke-2 297,03± 71,52 276,41± 68,61 0,204 APE minggu ke-3 291,39±73,80 274,36±67,11 0,299 APE minggu ke-4 285,41±75,08 272,31±66,98 0,424 APE minggu ke-5 283,89±70,28 274,32±67,15 0,554 APE minggu ke-6 282,70±72,52 273,59±64,34 0,564 APE L/mnt Gambar 1. Rerata nilai APE pada kedua kelompok. Efek samping yang terjadi Pengamatan terhadap efek samping menunjukkan keluhan yang timbul semua adalah keluhan pencernaan. Subjek yang mengalami efek samping berupa perih di ulu hati, kembung, dan mual sebanyak 9 orang (11,3%) terutama dari kelompok dosis 3x12 mg sebanyak 6 orang (15,3%) sedangkan dari kelompok 3x4 mg 3 orang (7,5%). Semua subjek yang mengeluh mual tersebut dapat diatasi keluhannya dan melanjutkan penelitian. PEMBAHASAN pulang mgg 1 mgg 2 mgg 3 mgg 4 mgg 5 mgg 6 Kunjungan Penelitian ini merupakan uji klinis bersifat acak terkontrol dengan memberikan dosis total metil prednisolon oral 36 mg (3 x 12 mg) sehari pada kelompok perlakuan dan 12 mg (3x4 mg) pada kelompok kontrol atau metilprednisolon oral dosis tinggi dan dosis rendah selama 2 minggu. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menilai efikasi pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg sehari dibandingkan 3 x 4 mg dalam menekan angka kekambuhan pasien asma pascaeksaserbasi. Tujuan lain adalah mengetahui pengaruh dosis metilprednisolon oral terhadap skor gejala harian, skor penggunaan agonis harian serta APE tiap minggu. Selain itu, diamati pula minggu terjadinya 3x12 mg 3x4 mg kekambuhan dan efek samping yang terlihat pada pasien. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian ini. Agar hasil yang diperoleh mendekati nilai objektif maka kriteria inklusi sampel penelitian dibatasi pada asma persisten sedang yang mengalami serangan akut sedang atau berat agar kriteria subjek yang ikut lebih homogen. Sampel lebih banyak berasal dari poliklinik asma dibandingkan IGD. Hal ini disebabkan pasien eksaserbasi di IGD banyak yang menolak partisipasi dan drop out karena umumnya bukan pasien tetap poliklinik asma RS Persahabatan. Selain itu pasien tetap poliklinik asma justru lebih menyukai mencari pertolongan di poliklinik asma, kecuali bila terjadi eksaserbasi di luar jam kerja. Hal ini memudahkan pelaksanaan penelitian karena pasien yang datang di poliklinik asma umumnya dapat ditelusuri cacatan rekam medisnya dan relatif lebih lengkap dibandingkan catatan yang ada di IGD. Jumlah total drop out pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 19 orang (19,4 %). Data pasien juga menunjukkan dari 19 pasien drop out sebagian besar yaitu 14 orang (73,7 %) adalah pasien yang diambil dari IGD. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 98, tetapi yang tidak drop out dan mengikuti penelitian hingga memiliki data cukup untuk diolah berjumlah 79 orang. Perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 17:62. Perbandingan tersebut sesuai dengan proporsi pasien asma di masyarakat, pada usia pascapubertas pasien asma banyak ditemukan pada perempuan. 1,12 Sebaliknya, pada usia anak-anak penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. 11 Selain itu, peneliti juga mendapatkan bahwa pasien laki-laki umumnya sibuk sehingga lebih sedikit yang mau berpartisipasi karena tidak punya cukup waktu luang ikut penelitian yang memerlukan kontrol tiap minggu. Hal tersebut juga menyebabkan jumlah drop out pasien laki-laki (13 orang) lebih banyak daripada perempuan (6 orang). Perbedaan proporsi jenis kelamin pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Perbandingan rerata berat, umur dan tinggi badan pada kedua kelompok yang diteliti tidak berbeda bermakna. Hasil data dasar 144 J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli 2014

7 yang tidak berbeda bermakna tersebut menunjukkan kedua kelompok dapat disebandingkan. Kekambuhan pada dua kelompok diamati pada 2 minggu serta 6 minggu penelitian dan data yang diperoleh diuji dengan uji chi-square. Menurut Emmerman 11 terdapat variasi diantara para ahli untuk menentukan periode waktu pengamatan yang tepat untuk menentukan kekambuhan. Periode yang lebih singkat (kurang dari 2 minggu) akan banyak dipengaruhi oleh proses eksaserbasi yang mungkin masih berlangsung dan fungsi paru yang belum pulih sepenuhnya, sedangkan periode yang lebih lama (lebih dari 2 minggu) dipengaruhi oleh kemungkinan eksaserbasi akibat pajanan baru. 12 Atas dasar pertim bangan tersebut, maka penulis mengamati kekambuhan di dua periode pengamatan yaitu 2 dan 6 minggu. Pada penelitian ini angka kekambuhan yang didapat selama observasi 6 minggu setelah dipulangkan pada kelompok dosis 3 x 12 mg adalah 25,6% sedangkan kelompok dosis 3 x 4 mg adalah 35,0%. Hasil ini menunjukkan bahwa dosis 3 x 12 mg mg memiliki angka kekambuhan yang lebih rendah dengan absolute risk reduction (ARR) 9,4% dan relative risk reduction (RRR) 26,8%. Perhitungan sta tistik menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak bermakna. Angka kekambuhan 6 minggu secara kumulatif pada penelitian ini adalah 30,4%. Emmerman 11 menyatakan bahwa kekambuhan setelah lebih dari dua minggu dapat mencapai lebih dari 30%. Hasil ARR 9,4% menunjukkan dosis tinggi metilprednisolon oral mampu menekan risiko absolut kekambuhan sebesar 9,4% dibandingkan dosis rendah. Number needed to threat (NNT) pada kekambuhan 6 minggu adalah 11 yang berarti setiap pemberian dosis tinggi metilprednisolon oral terhadap 11 pasien akan mengurangi kekambuhan 1 pasien. Angka RRR 26,8% menunjukkan bahwa bila kita menggunakan dosis tinggi metilprednisolon oral, risiko relatif dapat dikurangi hingga 26,8% atau lebih dari seperempat kekambuhan dibandingkan bila meng gunakan dosis rendah. Namun, hal ini memerlukan sampel yang jauh lebih besar untuk dilakukan generalisasi terhadap populasi. Angka kekam buhan 2 minggu pada kelompok dosis 3x12 mg ad alah 10,2% (4 orang) dan kelompok 3x4 mg 22,5% (9 orang) dengan angka kekambuhan kumulatif adalah 16,4%. Uji statistik chi-square menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak bermakna (p=0,224). Husain 8 pada penelitian sebelumnya mendapatkan kekambuhan pada dosis metilprednisolon oral 3x4 mg adalah 25,6%, dosis 3x8 mg 17,9% dan kumulatif 21,7%. Penelitian lain dengan menggunakan prednison oral (dosis median 40 mg/hari selama 5-7 hari) dilakukan oleh Emmerman 11 mendapatkan angka kekambuhan 2 minggu sebesar 17%. Perbedaan hasil ini disebabkan pene litian tersebut multisenter dan memasukkan semua tingkat eksaserbasi dan klasifikasi asma. Absolut risk reduction pada penelitian ini adalah 12,3% berarti lebih besar dibandingkan AAR kekambuhan 6 minggu. Relative risk reduction yang tinggi (54,7%) menunjukkan bahwa pemberian metilprednisolon oral dosis tinggi (3x12 mg) dapat menekan lebih dari setengah jumlah kekambuhan dibandingkan dosis rendah. Hal ini memerlukan penelitian dengan sampel jauh lebih besar untuk dapat digeneralisasikan pada populasi. Number needed to threat pada kekambuhan 2 minggu adalah 8 yang berarti setiap pemberian dosis tinggi metilprednisolon oral terhadap 8 pasien akan mengurangi kekambuhan 1 pasien. Pengamatan terhadap minggu terjadinya kekambuhan menunjukkan kekambuhan tersering ter jadi pada minggu ke-1, yaitu sebanyak 29,2% (7 pasien) diikuti minggu ke-2 25,0% (6 pasien) lalu minggu ke- 3, ke-4,ke-6 masing-masing 12,5% dan ke-5 8%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan kekambuhan minggu pertama tertinggi dibandingkan minggu sesudahnya. 6,9,11,13 Kekambuhan pada minggu pertama tertinggi diduga akibat belum selesainya masa pemulihan yang ratarata berlangsung satu minggu. 10 Hasil pengamatan terhadap skor gejala harian meliputi penilaian terhadap keluhan batuk, sesak, gejala malam dan keterbatasan aktivitas dimodifikasi dari kuesioner asthma control test (ACT). Modifikasi dibuat untuk memudahkan penerapan poin yang berhubungan dengan gejala pada ACT yaitu poin 1,2 dan 3 selain itu perlu dilakukan perubahan karena ACT diperuntukkan evaluasi bulanan dan J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli

8 bukan 2 minggu seperti yang dilakukan penulis. Hasil pengamatan skor gejala harian pada kedua kelompok menunjukkan bahwa kelompok dosis 3x12 mg memiliki rerata lebih baik daripada dosis 3x4 mg yaitu minggu ke-2 (9,95±1,95 vs 9,02±2,09), minggu ke-4 (7,97±2,42 vs 7,95±1,68) dan minggu ke-6 (7,92±1,38 vs 7,90±1,65). Hasil ini kemudian diuji dengan uji t independen dan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata skor gejala harian antara kedua kelompok pada minggu ke-2 (p=0,045) sedangkan pada minggu ke-4 dan ke-6 tidak bermakna (p=0,945 dan 0,946). Hasil pengamatan terhadap gejala harian asma ini sesuai dengan penelitian lain. Rowe 16 melakukan penelitian metaanalisis untuk mempelajari pengaruh kortikosteroid baik oral, inhalasi atau parenteral ternyata secara bermakna memperbaiki gejala harian dibandingkan dengan plasebo. Sementara itu penelitian Chapman 14 tidak menemukan perbedaan bermakna skor gejala harian pada pemberian prednison oral dosis 40 mg/ hari dengan tappering dibandingkan plasebo tetapi skor gejala kelompok prednison lebih baik. Levy 15 melaporkan perbaikan skor gejala asma pada pasien pascaeksaserbasi dengan memberikan prednisolon oral dan tidak berbeda bermakna dengan kelompok yang menggunakan inhalasi flutikason. Secara teori kortikosteroid akan mengurangi proses inflamasi selama eksaserbasi dan masa pemulihan sehingga akan memperbaiki gejala pascaeksaserbasi dan faal paru. 15,16 Hal ini menerangkan mengapa perbedaan rerata skor gejala harian pada minggu 2 lebih besar dan bermakna secara statistik mengingat bahwa metilprednisolon oral pada penelitian ini diberikan hingga 2 minggu. Salah satu keluaran sekunder yang digunakan untuk menilai efikasi dosis metilprednisolon oral pada penelitian ini adalah penggunaan agonis harian baik yang berupa tablet, kapsul, sirop maupun inhalasi. Skor yang digunakan juga diambil menggunakan kuesioner asthma control test (ACT) poin ke 4 dengan sedikit modifikasi. Pengamatan dilakukan seperti untuk skor gejala harian yaitu pada akhir minggu ke-2, ke-4 dan ke-6. Hasil rerata skor pada kedua kelompok kemudian diuji dengan menggunakan uji t independen. Hasil uji statistik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Hasil rerata skor penggunaan agonis harian dalam 3 kali pengamatan tersebut menunjukkan kelompok dosis 3 x 12 mg sedikit lebih baik daripada dosis 3 x 4 mg terutama pada 2 minggu pertama. Rowe 16 pemberian kortikosteroid menu runkan penggunaan agonis harian secara bermakna dibandingkan plasebo. Penelitian Chapman 14 juga menunjukkan pemberian steroid oral prednison dosis 40 mg/hari memperbaiki skor penggunaan agonis harian secara bermakna dibandingkan plasebo. Penelitian metaanalisis yang dilakukan Edmond dkk. 17 mendapatkan bahwa skor penggunaan agonis harian kelompok steroid oral tidak berbeda bermakna dengan kelompok steroid inhalasi. Secara teori penggunaan agonis tergantung gejala yang dialami pasien. Pada penelitian ini skor gejala harian yang berbeda bermakna pada 2 minggu pertama ternyata tidak diikuti perbedaan bermakna skor penggunaan agonis harian. Hal ini kemungkinan disebabkan sebagian pasien secara psikologis sudah terbiasa dengan dosis dan jadwal penggunaan agonis harian yang sudah dijalaninya sejak lama. Pada penelitian ini dilakukan pula APE pada kedua kelompok sebagai salah satu tujuan sekunder. Pengukuran rerata nilai APE saat se rangan dan sesaat sebelum pasien dipulangkan menun jukkan tidak terdapat perbedaan bermakna. Pengukuran nilai APE kedua kelompok pada saat sebelum tatalaksana diberikan maupun setelah tata laksana menunjukkan peningkatan yang tidak berbeda bermakna. Pengukuran APE selanjutnya dilakukan tiap akhir minggu setelah pasien dipulang kan, pasien akan melakukan pengukuran APE sebanyak 6 kali. Pengukuran dilakukan pada tiap hari ke-7 setelah pasien dipulangkan atau paling lambat dua hari setelahnya. Hasil rerata nilai APE minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-6 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, tetapi rerata nilai APE kelompok 3x12 mg secara konsisten lebih baik daripada kelompok 3x4 mg. Husain 8 juga mene mukan bahwa terdapat kenaikan APE dengan pemberian 146 J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli 2014

9 prednisolon dosis lebih tinggi tetapi tidak bermakna secara statistik. Suatu studi metaanalisis yang dilakukan Rodrigo 12 menyatakan bahwa pemberian steroid oral, parenteral maupun inhalasi pada asma akut akan meningkatkan APE secara bermakna dibandingkan plasebo dan hal yang sama dinyatakan Rowe. 16 Rodrigo 12 juga menyatakan peningkatan dosis steroid dengan dosis medium atau tinggi meningkatkan APE dibandingkan dosis rendah, tetapi secara statistik tidak bermakna. Penelitian Webb 18 dengan menggunakan 3 dosis pred nisolon oral berbeda yaitu dosis rendah, sedang, dan tinggi menemukan terdapatnya hubungan bermakna kenaikan dosis dengan kenaikan APE. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pemberian steroid akan mengurangi inflamasi selama eksaserbasi sehingga memperbaiki faal paru. 9,10,14,18 Angka kejadian efek samping merupakan hal yang juga perlu diamati pada terapi steroid sistemik. Secara teoritis penggunaan steroid jangka pendek relatif aman dibandingkan jangka panjang. Kepustakaan menyatakan bahwa penggunaan steroid oral kurang dari 3 minggu tidak menyebabkan supresi adrenal yang berarti sehingga tidak memerlukan tappering off. 10,15,18 Efek samping penggunaan jangka pendek umumnya adalah efek samping minor dan segera menghilang saat terapi dihentikan. 15 Keluhan yang tersering diantaranya adalah keluhan pencernaan akibat iritasi lambung seperti kembung, mual dan perih di ulu hati. Pada penelitian ini angka kejadian efek samping pencernaan terjadi pada 9 orang (15,3 %) yaitu 6 orang dari kelompok 3x12 mg dan 3 orang (7,5 %) dari kelompok 3x4 mg. Semua subjek yang mengalami keluhan pencernaan diberi terapi proton pump inhibitor (PPI) omeprazol 2x20 mg, bila perlu metoklopropamid 3x1 tablet dan semua melanjutkan penelitian. Penelitian sebelumnya oleh Husain 8 menemukan efek samping pencernaan lebih besar yaitu 15,7 %. Studi metaanalisis yang dilakukan Rowe 16 menemukan bahwa efek samping jarang sekali terjadi (3 %). Diaz 19 mengatakan bahwa penggunaan steroid jarang menimbulkan efek samping pada pasien tanpa riwayat penyakit dasar saluran cerna atas dan dihindari penggunaan berbarengan dengan obat anti in flamasi non-steroid (NSAID). Angka kejadian efek samping pencernaan 11,3 % menunjukkan bahwa penggunaan dosis tinggi metilprednisolon oral selama 2 minggu meningkatkan efek samping keluhan pencernaan dua kali dibandingkan dosis rendah. Salah satu kelemahan penelitian ini adalah tidak diperhitungkannya berbagai faktor yang di duga dapat mempengaruhi kekambuhan pasca eksaserbasi. Emmerman 13 menyatakan bahwa berbagai faktor seperti riwayat kunjungan ke IGD satu tahun terakhir, lama gejala eksaserbasi sebelum berkunjung ke IGD, penggunaan berbagai macam obat asma termasuk menggunakan nebuliser di rumah, penggu naan steroid inhalasi dosis tinggi, kontrol tidak teratur, dan memiliki pencetus asma multipel berhubungan dengan mening katnya kekambuhan pascaeksaserbasi dan disebut faktor risiko tinggi. Penulis mengu sulkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penga ruh dosis metilprednisolon oral pada pasien asma pasca eksaserbasi dengan riwayat berbagai faktor tersebut. KESIMPULAN Pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg selama 2 minggu menurunkan angka kekambuhan dalam 2 dan 6 minggu pascaeksaserbasi pada pasien asma persisten sedang dibandingkan 3x4 mg, tetapi secara statistik tidak bermakna. Pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg selama 2 minggu memberikan skor gejala asma harian lebih baik secara bermakna pada 2 minggu pascaeksaserbasi pada pasien asma persisten sedang dibandingkan 3x4 mg, tetapi tidak bermakna pada 4 dan 6 minggu pascaeksaserbasi. Pemberian metilprednisolon oral 3x12 mg selama 2 minggu memberikan skor penggunaan agonis lebih baik dan nilai APE lebih tinggi pada pasien asma persisten sedang pascaeksaserbasi dibandingkan 3x4 mg tetapi secara statistik tidak bermakna. Sebaiknya digunakan metilprednisolon oral dosis 3x4 mg pada pasien asma persisten sedang pascaeksaserbasi karena tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada angka kekambuhan, skor gejala harian, J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli

10 skor penggunaan agonis, dan nilai APE pada kedua kelompok. DAFTAR PUSTAKA 1. Siregar CA, Soewarta DKS, Mangunnegoro H. Asma di unit gawat darurat. J Respir Indo. 1996;4: Mahadevan M, Jin A, Manning P, Lim TK. Emergency department asthma: compliance with an evidence-based management algorithm. Ann Acad Med Singapore (4): Rabe KF, Vermeire PA, Soriano JB, Maier WC. Clinical Management of asthma in 1999: the asthma insights and reality in Europe (AIRE) study. Eur Respir J. 2000;16: Taylor DM, Aubie TE, Calhoun WJ, Mosesso VN. Current outpatient management of asthma shows poor compliance with international consensus guidelines. Chest. 2000;116: Farid M. Penilaian berat serangan asma akut untuk menen tukan indikasi rawat di Rumah Sakit Persahabatan. Tesis: Bagian Pulmonologi FKUI Miller KE. Assessing relapse potential in patients with asthma. AAFP 1999;60(3): Lanes SF, Garret JE. Systemic corticosteroid. In: Clark TJH, Godfrey S, Lee TH, Thomson NC eds. Asthma. 4th edition. London: Arnold; p Husain B, Yunus F, Wiyono WH. Angka kekambuhan asma pascaeksaserbasi akut setelah pemberian metilprednisolon serta faktor-faktor yang mempengaruhi. J Respir Indo. 2004;24: Rodrigo C, Rodrigo G. Treatment of acute asthma. Chest. 1994;106: Clark TJH, Cagnani CB, Bousquet J, Busse WW, Fabbri L, Grouse L, et al. Asthma management program. In: Global initiative for asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. NHBLI, WHO p Emmerman CL, Woodruff PG, Cydulka RK, Gibbs MA, Pollack CV, Cammargo CA. Prospective multi center study of relapse following treatment for acute asthma among adult presenting to the emergency department. Chest. 1999;115: Lederle FA, Pluhar RE, Joseph AM, Niewoehner DE. Tapering of corticosteroid therapy following exacerbation of asthma. A randomized, doubleblind, placebo controlled trial. Arch Intern Med. 1987;147: Barr RG, Woodruff PG, Clark S, Camargo CA. Sudden onset asthma exacerbations: clinical features, responsse to therapy and 2 weeks follow up. Eur Respir J. 2000;15: Chapman Kr, Verbeek PR, White JG, Rebuck AS. Effect of a short course of prednisone in the prevention or early relapse after the emergency room treatment of acute asthma. N Engl J Med. 1991;324: Levy ML, Stevenson C, Maslen T. Comparison of short courses of oral prednisolone and fluticasone proprionate in the treatment of adults with acute exacerbations of asthma in primary care. Thorax. 1996;51: Rowe BH, Spooner C, Ducharme F, Bretzlaff J, Bota G. Corticosteroid for preventing relapse following acute exacerbations of asthma. Cochrane Data Base Of Systematic reviews 2007, Issue Edmonds ML, Camargo CA, Brenner BE, Rowe BH. Replacement of oral corticosteroids with inhaled corticosteroids in the treatment of acute asthma following emergency department discharge. A meta-analysis. Chest. 2002;12: Webb JR. Dose responss of patients to oral corticosteroid treatment during exacerbations of asthma. Br Med J. 1986;292: Diaz SH, Rodriquez LAG. Steroids and risk of upper gastrointestinal complications. Am J Epidemiol. 2001;153: J Respir Indo Vol. 34 No. 3 Juli 2014

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan

Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan Studi Perilaku Kontrol Asma pada Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan Herry Priyanto*, Faisal Yunus*, Wiwien H.Wiyono* Abstract Background : Method : April 2009 Result : Conclusion : Keywords

Lebih terperinci

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma 2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian

Lebih terperinci

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Program Penatalaksanaan Asma 1. Edukasi 2. Monitor penyakit berkala (spirometri) 3. Identifikasi dan pengendalian pencetus 4. Merencanakan Terapi 5. Menetapkan pengobatan pada

Lebih terperinci

Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru

Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru Tingkat Kontrol Asma Mempengaruhi Kualitas Hidup Anggota Klub Asma di Balai Kesehatan Paru Setyoko 1, Andra Novitasari 1, Anita Mayasari 1 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang ABSTRAK

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG Pendahuluan asma merupakan proses inflamasi kronik dimana yang berperan adalah sel-sel inflamasi maupun struktural dari bronkus GINA 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini terkait disiplin Ilmu Kesehatan Anak khusunya bagian Respirologi, Alergi & Imunologi, serta Ilmu Fisiologi. 3.2 Tempat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak napas,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG Anita Mayasari 1, Setyoko 2, Andra Novitasari 3 1 Mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah

Lebih terperinci

PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA

PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagaian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Fisioterapi Disusun Oleh: NOVI LIQMAYANTI Nim : J120110036 PROGRAM STUDI S1 FISOTERAPI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG Asma merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas kronis sedunia dan terdapat bukti bahwa prevalensi asma meningkat dalam 20 tahun terakhir. Prevalensi penyakit asma

Lebih terperinci

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran,

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran, BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran, khususnya bagian ilmu kesehatan anak divisi alergi & imunologi dan fisiologi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang The Global Initiative For Asthma (GINA) menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari asma sedunia. Semakin meningkatnya jumlah penderita asma di dunia membuat berbagai badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di negara maju. Sebagai contoh di Singapura 11,9% (2001), Taiwan 11,9% (2007), Jepang 13% (2005)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2013, WHO, (2013) memperkirakan terdapat 235 juta orang yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 berdasarkan hasil survei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sistem pernapasan merupakan penyebab 17,2% kematian di dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 5,1%, infeksi pernapasan bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Mchpee

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

Pengaruh Edukasi Farmasis terhadap Tingkat Kontrol Asma The Effect of Pharmacist Education on The Level of Asthma Control

Pengaruh Edukasi Farmasis terhadap Tingkat Kontrol Asma The Effect of Pharmacist Education on The Level of Asthma Control Jurnal Farmasi Indonesia, Maret 2015, hal 85-93 Vol. 11 No. 1 ISSN: 1693-8615 EISSN : 2302-4291 Online : http://farmasiindonesia.setiabudi.ac.id/ Pengaruh Edukasi Farmasis terhadap Tingkat Kontrol Asma

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis dan Rancangan Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis dan Rancangan Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif 56 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif untuk megevaluasi mutu pelayanan kasus Asma Bronkial Anak di Unit Gawat Darurat

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI Dr. Taufik SpP(K) Bagian Pulmonologi FKUA/RSUP Dr.M.Djamil Padang PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit saluran nafas yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Kekerapannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada balita rawat inap di RSUD Kab Bangka Tengah periode 2015 ini

Lebih terperinci

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract PENDAHULUAN. Wulan Prisilla 1, Irvan Medison 2, Selfi Renita Rusjdi 3

Artikel Penelitian. Abstrak. Abstract PENDAHULUAN.  Wulan Prisilla 1, Irvan Medison 2, Selfi Renita Rusjdi 3 72 Artikel Penelitian Hubungan Keteraturan Penggunaan Kortikosteroid Inhalasi dengan Tingkat Kontrol Asma Pasien Berdasarkan ACT di Poliklinik Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang Wulan Prisilla 1, Irvan Medison

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL CLINDAMYCIN DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE + ZINC PADA ACNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimulus tertentu. Manifestasi

Lebih terperinci

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD X TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI

ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD X TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI ANALISIS RASIONALITAS PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PENYAKIT ASMA PASIEN RAWAT INAP DI RSUD X TAHUN 2012 NASKAH PUBLIKASI Oleh : ARUM NURIL HIDAYAH K 100 090 008 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR.

PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR. PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ARUM

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi

Lebih terperinci

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll LAMPIRAN 1 Lembaran Pemeriksaan Penelitian Nama : Umur :...tahun Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telf : No RM : Jenis kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan :...cm Berat badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan, sehingga diperlukan suatu kajian yang lebih menyeluruh mengenai determinan

Lebih terperinci

Study objective: To investigate wheter combination of steroid (fluticasone) and long acting β 2

Study objective: To investigate wheter combination of steroid (fluticasone) and long acting β 2 The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compare with Budesonide Inhalation to Control Moderate Persistent Asthma by The Use of Asthma Control Test as Evaluation Tool. Nur Ahmad

Lebih terperinci

Profil Pasien Rawat Jalan Poli Asma RSUP Persahabatan Juli Desember 2006

Profil Pasien Rawat Jalan Poli Asma RSUP Persahabatan Juli Desember 2006 Profil Pasien Rawat Jalan Poli RSUP Persahabatan Juli Desember 2006 Satria Pratama, Erna Juniety, Dedi Zairus, Vinda Rassuna, Faisal Yunus Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI SMF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang BAB I A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang menderita akibat PPOK. PPOK merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 20 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional di mana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem respirasi tersering pada anak (GINA, 2009). Dalam 20 tahun terakhir,

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RSUD A.W SJAHRANIE SAMARINDA PERIODE JANUARI- DESEMBER 2014

STUDI KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RSUD A.W SJAHRANIE SAMARINDA PERIODE JANUARI- DESEMBER 2014 STUDI KARAKTERISTIK PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI RSUD A.W SJAHRANIE SAMARINDA PERIODE JANUARI- DESEMBER 2014 Hardiana Sepryanti Palinoan, Risna Agustina, Laode Rijai Fakultas Farmasi

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA JANGKA PANJANG

PENATALAKSANAAN ASMA JANGKA PANJANG PENATALAKSANAAN ASMA JANGKA PANJANG Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN ~ Asma penyakit kronik inflamasi saluran napas ~ Prevalensi

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung. BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otot jantung. Angina seringkali digambarkan sebagai remasan, tekanan, rasa berat, rasa

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif

Lebih terperinci

STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No.

STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No. LAMPIRAN 1 STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No.RM : Tanggal I. DATA PRIBADI 1. Nama 2. Umur 3. Alamat 4. Telepon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan

Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan Sari Pediatri, Sari Pediatri, Vol. 4, Vol. No. 4, 1, No. Juni 1, 2002: Juni 20022-6 Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan Partini P Trihono, Eva Miranda Marwali,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis. dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis. dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang patogenesis dasarnya adalah oleh proses inflamasi dan merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk proses respirasi. Respirasi merupakan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan

Lebih terperinci

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam CURRICULUM VITAE Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam Email: nurahmad_59@yahoo.co.id Jabatan: Ketua Divisi Pulmonologi Dept.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas 4-5 Sekolah Dasar Negeri di

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas 4-5 Sekolah Dasar Negeri di 22 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup Penelitian Ruang lingkup disiplin ilmu dari penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak dan Fisiologi. 4.2 Tempat dan Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya

Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya 517 Artikel Penelitian Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya Yessy Susanty Sabri, Yusrizal Chan Abstrak Asma adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Tingkat kesejahteraan dan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan, tetapi masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum peduli dengan

Lebih terperinci

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri merupakan masalah yang paling sering menyebabkan pasien mencari perawatan ke rumah sakit. Nyeri tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia, nyeri tidak membeda-bedakan

Lebih terperinci

commit to user BAB V PEMBAHASAN

commit to user BAB V PEMBAHASAN 48 BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dengan pasien PPOK dilakukan pada bulan April sampai Mei 2013 di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi, dengan subjek penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Fakultas

Lebih terperinci

Bintari Ratih Kusumaningrum Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Bintari Ratih Kusumaningrum Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang RENCANA TINDAKAN TERTULIS PASIEN ASMA (WRITTEN ASTHMA ACTION PLANS:WAAPS) SEBAGAI PANDUAN EDUKASI UNTUK MENJARANGKAN KUNJUNGAN ASMA KE UNIT GAWAT DARURAT Bintari Ratih Kusumaningrum Jurusan Keperawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik disingkat PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Mulut. Lingkup disiplin ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Gigi dan 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit

Lebih terperinci

Quality Outcome dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru di R.S.& Puskesmas

Quality Outcome dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru di R.S.& Puskesmas Quality Outcome dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru di R.S.& Puskesmas Dr.Priyanti ZS SpP(K) & Dr.Mukhtar Ikhsan SpP(K), MARS RSUP PERSAHABATAN JAKARTA 1 PENDAHULUAN Penyakit paru : masalah kesehatan

Lebih terperinci

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani

Lebih terperinci

PENGARUH KONSELING OBAT DALAM HOME CARE TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

PENGARUH KONSELING OBAT DALAM HOME CARE TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI PENGARUH KONSELING OBAT DALAM HOME CARE TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KOMPLIKASI HIPERTENSI Suryani, N.M 1, Wirasuta, I.M.A.G 1, Susanti, N.M.P 1 1 Jurusan Farmasi - Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke arah yang lebih baik di Indonesia, mempengaruhi pergeseran pola penyakit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MULTIDRUG-RESISTANT TUBERCULOSIS DI RUMAH SAKIT PARU DR.H.A.ROTINSULU, BANDUNG TAHUN 2014 Ferdinand Dennis Kurniawan, 1210122 Pembimbing I : Dr.Jahja Teguh Widjaja, dr., SpP.,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN BRONKODILA TOR SECARA INHALASI PADA REVERSIBILITAS FAAL PARU

ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN BRONKODILA TOR SECARA INHALASI PADA REVERSIBILITAS FAAL PARU ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN BRONKODILA TOR (VENTOLIN@) SECARA INHALASI PADA REVERSIBILITAS FAAL PARU Adhytiya D R T, 2004, PEMBIMBING 1. J. Teguh Widjaja, dr., Sp.P., FCCP. II. Slamet Santosa, dr., MKes.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini

Lebih terperinci

ABSTRAK PENILAIAN TINGKAT TERKONTROLNYA ASMA BERDASARKAN METODE ASTHMA CONTROL TEST TM PADA PENDERITA ASMA

ABSTRAK PENILAIAN TINGKAT TERKONTROLNYA ASMA BERDASARKAN METODE ASTHMA CONTROL TEST TM PADA PENDERITA ASMA ABSTRAK PENILAIAN TINGKAT TERKONTROLNYA ASMA BERDASARKAN METODE ASTHMA CONTROL TEST TM PADA PENDERITA ASMA Michael Setiawan P., 2010 Pembimbing I: J. Teguh Widjaja., dr., Sp. P., FCCP. Pembimbing II: Dr.

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN 1. LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN KELOMPOK (INFORMATION FOR CONSENT) Selamat pagi/siang Bapak/ Ibu/ Saudara/i. Nama saya dr. Dian Prastuty. PPDS Departemen Pulmonologi dan Ilmu

Lebih terperinci

HIGEIA: JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT

HIGEIA: JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT HIGEIA 1 (1) (2017) HIGEIA: JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia TERAPI SLOW DEEP BREATHING (SDB) TERHADAP TINGKAT KONTROL ASMA Nurul Dwi Astuti,

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka konsep penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, kerangka konsep mengenai angka kejadian relaps sindrom nefrotik

Lebih terperinci

I Ketut Darmayasa Unit Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Jalan Kesehatan Denpasar ABSTRAK

I Ketut Darmayasa Unit Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Jalan Kesehatan Denpasar ABSTRAK SENAM ASMA TIGA KALI SEMINGGU LEBIH MENINGKATKAN KAPASITAS VITAL PAKSA (KVP) DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK 1 (VEP 1) DARI PADA SENAM ASMA SATU KALI SEMINGGU PADA PENDERITA ASMA PERSISTEN SEDANG I Ketut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di seluruh dunia (Halbert et al., 2006). PPOK terjadi karena adanya kelainan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di seluruh dunia (Halbert et al., 2006). PPOK terjadi karena adanya kelainan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit saluran napas kronik yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia

Lebih terperinci

Peran Asthma Control Test (ACT) dalam Tata laksana Mutakhir Asma Anak

Peran Asthma Control Test (ACT) dalam Tata laksana Mutakhir Asma Anak Artikel Asli Peran Asthma Control Test (ACT) dalam Tata laksana Mutakhir Asma Anak Heda Melinda Nataprawira Subbagian Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 43 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Elvira Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 17 April 1993 Agama : Kristen Protestan Alamat : Jl. Sentosa Km.12 No.88 Riwayat Pendidikan : 1. TK Yayasan Pendidikan Swasta Andreas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lebih dari 60 tahun arah pembangunan dibidang kesehatan selama ini menekankan terhadap pengendalian penyakit menular. Kondisi yang sepenuhnya belum tertanggulangi ini

Lebih terperinci