PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA TIMOR BARAT ABSTRACT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA TIMOR BARAT ABSTRACT"

Transkripsi

1 PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA TIMOR BARAT Arnold E. Manu Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang Telp.(0380) , HP , ABSTRACT The objectives of this study were to evaluate the West Timor savanna productive at different season. The location of this study is in the station of Lili field, Assessment Institute for Agricultural Technology Naibonat Kupang, with 40 hectare of savannah for pasture, held in one year. The data collected are botanical composition, production, feed intake in savannah and forage quality also the carrying capacity. The data analyzed descriptively. The amount of goat used for measurement of feed intake in savannah is 10 does. The result showed that the averages of forage fluctuation available is between ,33 ton/hectare. The lowest point of production is happened in the edge of dry season (October) that is 0.61 ton/hectare. Then it increases in early of rainy (December) and reaches the highest point in the early of dry season (April). From this point, then it decreases and reach the lowest point in October, so, the forage production in nature was increases in December. The composition rate of CP is very varied, that is %. The composition of CP in nature grass has no significant difference with the composition in other locations of Timor, that is 2.26% in the ends of dry season and become 8-10% in the rainy. Most of forage on the pasture is nature grass that is upper 90% and relative less of leguminous plants. The lack proportion of leguminous plants in nature savannah result in the less of forage quality, especially during the dry season there is no legume proportion and the quality of nature grass become very low. Key words : Production, savannah, pasture, West Timor ABSTRAK Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda telah dilakukan di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, dengan sabana sebagai padang penggembalaan seluas 40 ha dan berlangsung selama 1 (satu) tahun. Data yang dikumpulkan adalah: komposisi botani, produksi, kualitas hijauan dan konsumsi di sabana serta daya tampung, data dianalisis secara deskriptif. Ternak yang digunakan untuk pengamatan konsumsi sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon. Pengukuran jumlah konsumsi pakan di sabana pada puncak musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi pada titik terendah terjadi pada puncak kemarau (Oktober) yaitu 0,61 ton/ha. Kemudian bergerak naik pada di bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada awal kemarau (April). Dari sini terus menurun dan mencapai titik terendah di Oktober. Kandungan PK sangat besar variasinya diantara 2,71-9,48%. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai dengan perubahan musim. Sebagian besar hijauan adalah rumput alam (di atas 90%), hanya terdapat sedikit tanaman Prosiding Semnas II HITPI Page 184

2 leguminosa. Konsumsi hijauan selama penggembalaan berkisar antara 0,7-1,9% dari berat badan. Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam menyebabkan rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau proporsi legum sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat rendah mutunya. Kata Kunci : Produksi, sabana, padang penggembalaan, Timor Barat PENDAHULUAN Timor Barat merupakan salah satu tempat konsentrasi ternak ruminansia di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ternak biasanya dipelihara dengan dilepas bebas di padang penggembalaan dan dikandangkan pada malam hari. Hal ini dimungkinkan karena didukung oleh potensi alam Timor Barat yang memiliki padang sabana yang luas, menurut data tahun 1999 terdapat ,824 ha, dan yang digunakan sebagai padang penggembalaan seluas ha. Kawasan pulau Timor memiliki kondisi alam yang dipengaruhi oleh sistem angin muson yang dicirikan dengan musim hujan yang pendek (tiga sampai empat bulan yaitu Desember sampai Maret) dan musim kemarau panjang (delapan sampai sembilan bulan yaitu April sampai Nopember). Adanya jarak waktu yang tidak seimbang antara musim hujan dan musim kemarau mengakibatkan pengaruh negatif terhadap kuantitas dan kualitas pakan yang tersedia di padang penggembalaan dan secara tidak langsung mempengaruhi proses produksi dan reproduksi ternak. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim sistem Schmidt dan Ferguson, wilayah Timor Barat termasuk dalam tipe iklim E (agak kering) (Anonim, 2002). Kondisi ini berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan air tanah untuk proses fisiologis tanaman. Besarnya hasil fotosintesis netto pada tanaman berhubungan erat dengan ketersediaan air di daerah perakaran termasuk hijauan yang terdapat dalam hamparan sabana. Gejala yang sudah lazim terjadi adalah kekurangan air selama musim kemarau bagi pertumbuhan rumput, di samping terjadi kekurangan air selama musim kemarau juga terjadi peningkatan suhu (mencapai di atas 32 o C) yang mengakibatkan peningkatan laju proses fotosintesis dan menurun setelah mencapai titik optimum. Keadaan ini bermuara pada menurunnya kualitas rumput yang ditandai dengan menurunnya kandungan protein kasar. Penurunan kandungan protein kasar akan berpengaruh terhadap penurunan total konsumsi bermuara pada penurunan berat badan. Berdasarkan pemikiran ini maka telah dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk: mengukur produktivitas sabana Timor Barat sebagai padang penggembalaan pada musim yang berbeda. MATERI DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di stasiun kebun percobaan Lili, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat Kupang, yang memiliki sabana sebagai padang penggembalaan seluas 40 ha. Penelitian berlangsung selama 1 (satu) tahun yaitu selama 2 musim yang berbeda. Prosiding Semnas II HITPI Page 185

3 Materi penelitian Ternak percobaan. Ternak yang digunakan untuk pengamatan konsumsi di sabana sebanyak 10 ekor induk kambing Bligon kering. Peralatan. Peralatan yang digunakan adalah timbangan duduk merk Tanita kapasitas 115 kg dengan kepekaan 0,1 kg untuk menimbang ternak, untuk hijauan dengan timbangan merk Camry kapasitas 5 kg dengan kepekaan 20 g, dan bingkai kuadrat untuk pengukuran produksi hijauan. Metode penelitian Untuk dapat menjawab tujuan yang diajukan dilaksanakan penelitian yang meliputi: Padang penggembalaan sabana Untuk keperluan pengamatan komposisi botani, produksi dan kualitas hijauan serta daya tampung, areal penggembalaan dibagi ke dalam 8 petak dengan luas masing-masing petak 5 ha. Pengukuran dilakukan dengan metode Halls et al. (1964) yang dikutip Susetyo (1980) yaitu dengan menggunakan bingkai kuadrat berukuran 1 1 m 2 sebagai titik pengamatan. Penempatan bingkai kuadrat dilakukan dengan menggunakan bilangan teracak di setiap petak. Sebanyak 8 titik pengamatan untuk masing-masing petak sehingga diperoleh 64 titik pengamatan. Pengamatan dilakukan sepanjang tahun setiap 2 bulan sekali. Pengamatan komposisi botanis Pada setiap titik pengamatan diamati vegetasi yang ada yaitu rumput, legum dan gulma, dan dihitung persentase masing-masing vegetasi dari setiap petak. Kemudian dihitung rata-rata masing-masing vegetasi dari 64 titik pengamatan. Pengamatan produksi hijauan Untuk mengukur produksi hijauan pada padang penggembalaan, pada setiap titik pengamatan hijauan dipotong setinggi 5 cm dari tanah. Selanjutnya dihitung produksi hijauan (g/bk/titik) setiap kali pemotongan dan produksi bahan kering per hektar dari padang penggembalaan. Pemotongan dilakukan sepanjang tahun bersamaan dengan pengamatan komposisi botani, kualitas hijauan dan daya tampung. Dari 64 titik pengamatan ini kemudian dihitung rata-ratanya dan dikonversi ke produksi per ha. Pengamatan kualitas hijauan. Pengamatan dilakukan sama dengan pengukuran produksi hijauan. Kualitas hijauan dilakukan dengan analisis nilai nutrien, meliputi kadar PK, LK, SK, abu, Ca, P, BETN, energi, NDF dan ADF, sedangkan TDN dihitung dengan rumus Hartadi et al. (2005). Hijauan dari 64 titik pengamatan untuk setiap pemanenan dikomposit kemudian dikeringkan dan diambil sampel sebanyak 10% untuk dianalisis. Daya tampung Perhitungan daya tampung padang penggembalaan dilakukan dengan membagi produksi hijauan/ha dengan kebutuhan BK/UT/tahun. Kebutuhan BK Prosiding Semnas II HITPI Page 186

4 untuk 1 unit ternak (UT) adalah sebesar 2,5%/hari dari berat badan (BB). Satu UT adalah satu ekor sapi dewasa dengan BB 400 kg atau 8 ekor domba dewasa dengan BB 40 kg/ekor (Anggraeny dan Umiyasih, 2005). Pengukuran jumlah konsumsi pakan di padang penggembalaan Estimasi konsumsi bahan kering (dry matter=dm) di sabana dilakukan dengan metode Fecal Techniques dengan rumus Minson (Manu et al., 2007): DM = keluaran feses sehari ( 1 - DMD ) Estimasi keluaran feses menggunakan external indicator (tracer) yaitu chromic oxide (Cr 2 O 3 ) dan dilakukan selama 10 hari. Keluaran feses/hari = Q/C Q = jumlah tracer yang diberikan per hari C = konsentrasi tracer pada sampel feses Estimasi bahan kering tercerna (digestible dry matter = DMD) dari hijauan yang digembalakan menggunakan internal tracer (tracer alami) yang tidak tercerna, dalam hal ini yang digunakan adalah lignin. DMD = X 2 X 1 X 2 X 1 = tracer alami di pakan X 2 = tracer alami di feses Dari data konsumsi di sabana ini diketahui berapa kekurangan bahan kering selama ternak kambing merumput. Perhitungan konsumsi dilakukan pada puncak musim kemarau selama 10 hari di bulan Oktober. Tracer diberikan sebanyak 10 g/ekor/hari, sampel diambil dari feses yang baru keluar dari rectum ternak sebanyak ± 10 g setiap pengambilan. Setiap hari diambil sebanyak 4 kali yaitu pada pukul 06.00, 11.00, dan Sampel selama 10 hari dikomposit dan diperiksa tracer alami (lignin) dan tracer chromic oxide. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Hijauan Hasil penelitian produksi hijauan dan besarnya kapasitas tampung lokasi penelitian tertera pada Tabel 1. Fluktuasi produksi hijauan dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 1. Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa fluktuasi hijauan yang tersedia secara rata-rata diantara 0,61-4,33 ton/ha. Produksi (BK, PK) terendah terjadi pada puncak kemarau (September-Oktober), kemudian bergerak naik pada awal hujan yaitu bulan Desember dan mencapai puncak tertinggi pada awal kemarau yaitu bulan April. Produksi hijauan kemudian menurun dan mencapai titik terendah bulan Oktober, jadi produksi rumput alam mulai membaik pada bulan Desember. Prosiding Semnas II HITPI Page 187

5 Produksi BK (ton/ha) Hijauan di sabana merupakan asset yang sangat penting peranannya dalam menunjang pengembangan usaha ternak ruminansia di Timor Barat. Hamparan areal penggembalaan terdiri dari spesies rumput dan legum lokal serta adanya leguminosa pohon dan tanaman keras lainnya yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. Pengukuran produksi hijauan dalam areal penggembalaan, penting artinya dalam menentukan peluang pengembangan ternak yang diusahakan di atasnya. Produksi dan kandungan kimia rumput alam di India yang beriklim semi arid seperti Timor dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004), menunjukkan gejala yang sama. Tabel 1 menunjukkan bahwa variasi kandungan PK sangat besar yaitu diantara 2,71-9,48 %. Kandungan PK rumput alam ini tidak jauh berbeda dengan PK rumput alam di lokasi lain di Timor yaitu 2,26% di akhir musim kemarau dan menjadi 8-10% di musim hujan. Kandungan PK ini sangat berfluktuasi sesuai dengan perubahan musim. Pada musim hujan kandungan dinding sel rumput alam di Timor yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebesar 65% dan meningkat menjadi 85% pada musim kemarau (Nulik dan Bamualim, 1998). Tabel 1. Produksi, daya tampung dan kualitas hijauan di lokasi penggembalaan selama penelitian Parameter Musim/Bulan Hujan Awal kemarau Akhir kemarau Des. Feb. Apr. Juni Agst Okt. Produksi BK (ton/ha) 2,66 3,27 4,33 2,27 1,50 0,61 Daya tampung (UT/ha/thn) 0,74 0,91 1,20 0,83 0,42 0,17 BK (%) 16,01 22,27 40,41 71,22 78,41 80,41 PK (%) 6,18 9,48 8,65 6,45 4,43 2,71 LK (%) 2,78 2,17 1,77 1,65 1,16 1,93 SK (%) 20,38 36,15 42,54 45,63 58,47 69,22 BETN (%) 61,47 50,63 46,83 44,88 43,77 42,11 Abu (%) 9,81 11,57 10,21 11,39 12,17 13,92 Ca (%) 0,43 0,56 0,62 0,84 1,13 1,22 P (%) 0,15 0,24 0,29 0,35 0,64 0,58 Gross Energi (Kkal/kg) NDF (%) 51,04 54,18 58,65 65,55 76,48 89,48 ADF 32,12 36,45 38,44 46,48 55,10 51,14 DT UT/ha/thn 0,74 0,91 1,20 0,93 0,42 0,17 BK=bahan kering; PK=protein kasar; LK=lemak kasar; UT=unit ternak Peb April Juni Agst Okt Des Bulan Gambar 1. Fluktuasi ketersediaan hijauan di lokasi penelitian BK Kandungan kimia hijauan alam ini sangat mempengaruhi kecernaan pakan, karena kecernaan berhubungan erat dengan kandungan PK dan dinding sel (NDF). Semakin rendah PK dan semakin tinggi kandungan NDF akan semakin Prosiding Semnas II HITPI Page 188

6 Kandungan(%) memperkecil kecernaan suatu bahan pakan. Aoetpah (2002) melaporkan bahwa kecernaan BO (bahan organik) rumput alam Timor tertinggi terjadi pada bulan Desember dimana rumput masih muda dan kandungan PK tertinggi di bulan ini, dan kecernaan terendah di bulan Oktober. Setiap penurunan 1% PK maka kecernaan BO turun sebesar 1,77%. Secara fisiologis dapat dijelaskan bahwa sintesis protein mikrobia tergantung kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorbsi ammonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan dari rumen dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis pakan. Kualitas sumber protein penting karena 40% zeinnitrogen, 90% casein-nitrogen dan 50% nitrogen tanaman diubah menjadi protein mikrobia. Mikrobia rumen menggunakan 25-50% N dari protein pakan. Kandungan PK ditentukan oleh konsentrasi N, semakin tingginya konsentrasi N hijauan yang digunakan oleh mikrobia akan meningkatkan aktivitas pencernaan mikrobia terhadap kandungan BO pakan (McDonald et al., 2002). Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa kandungan NDF berfluktuasi mengikuti musim. Kandungan NDF terendah terdapat pada musim hujan (Desember dan Pebruari), terus bergerak naik dan tertinggi pada puncak musim kemarau yaitu Oktober. Fluktuasi kandungan PK dan NDF dapat digambarkan dalam gambar seperti pada Gambar Des Feb Aprl Juni Agst Okt. Bulan Gambar 2. Fluktuasi kandungan PK dan NDF hijauan sabana PK NDF Aoetpah (2002) mendapatkan bahwa semakin tinggi kandungan NDF akan menurunkan kecernaan BO pakan. Setiap kenaikan kandungan NDF rumput alam sebesar 1% akan mengurangi kecernaan BO secara in vitro rata-rata sebesar 0,87%. Daya cerna pakan dipengaruhi oleh komposisi nutrien dan daya cerna berhubungan erat dengan kandungan serat kasar. Dinding sel tanaman terutama terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terutama jika berikatan dengan lignin. Setiap penambahan 10% serat kasar dalam tanaman menyebabkan penurunan daya cerna BO sebesar 0,7-1,0 unit pada ruminansia (Katipana et al., 2009). Pada tanaman muda kandungan selulosa dan hemiselulosa kira-kira 40% dari BK dan karbohidrat yang larut dalam air terutama fruktan kira-kira 25%. Bila hijauan semakin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa bertambah, sedangkan karbohidrat yang mudah larut berkurang. Selulosa berhubungan erat dengan lignin dan kombinasi lignin-selulosa yang merupakan bagian terbesar pada tanaman yang tua maupun jerami. Selulosa dan hemiselulosa tidak dicerna oleh enzim tetapi oleh mikrobia, sedangkan lignin tidak dicerna oleh enzim maupun mikrobia Prosiding Semnas II HITPI Page 189

7 rumen. Hal yang sama dilaporkan oleh Bhatta et al. (2004) bahwa dengan semakin rendah kandungan PK dan semakin tinggi serat kasar (ADF) kecernaan BO pada kambing yang merumput semakin menurun. Terdapat banyak pendapat mengenai mengapa lignin dapat mengurangi biodegradasi BO. Jelantik (2001) merangkum beberapa pendapat yang menyebutkan berbagai alasan hubungan kandungan lignin terhadap kecernaan BO antara lain karena sulitnya mikrobia melekat pada substrat, lignin membentuk lapisan bagian dalam yang tidak dapat dicerna, lignin terikat bersama-sama hemiselulosa, atau lignin merupakan racun bagi mikrobia. Produksi rumput alam yang berfluktuasi ini menyebabkan jumlah ternak yang dapat ditampung per satuan luasan area penggembalaan juga berfluktuasi seperti pada Tabel 1. Terjadi penurunan daya tampung padang penggembalaan yang tajam dari bulan Juni ke bulan Oktober. Produksi rumput alam menjadi sangat rendah selama puncak musim kemarau sehingga daya tampung hanya 0,6 UT/ha. Hal ini terjadi terutama akibat tidak adanya pertumbuhan rumput selama tidak adanya curah hujan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau dan ditambah dengan semakin naiknya suhu lingkungan dan semakin berkurangnya kelembaban sehingga udara menjadi sangat kering. Dengan demikian peranan pakan yang berasal dari luar lahan penggembalaan menjadi sangat penting selama periode pertengahan sampai akhir musim kemarau, terutama pada wilayah yang mempunyai kepadatan ternak tinggi. Dari data Tabel 1 ini jelas terlihat padang sabana mulai memasuki akhir musim kemarau sudah tidak bisa menyediakan rumput sebagai pakan ternak dalam jumlah yang cukup. Kekurangan jumlah ini ditambah lagi dengan kualitas rumput yang sudah menurun karena tingginya kandungan SK, NDF dan rendahnya PK. Hal ini dapat mengakibatkan pada menurunnya produktivitas ternak yang digembalakan di padang sabana ini. Konsumsi di padang penggembalaan Jumlah konsumsi BK pada puncak musim kemarau (bulan Oktober) dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil konsumsi BK pada Tabel 2 merupakan hasil perhitungan dari rumus metode Fecal Techniques dan perhitungannya seperti tertera pada Lampiran 1. Tabel 2. Konsumsi hijauan di padang penggembalaan jika kebutuhan BK 3% dari BB pada akhir musim kemarau No. Konsumsi bahan Konsumsi bahan Konsumsi BK % Kekurangan kering (g) segar (g) (% dari BB) ,21 156,89 245,79 432,76 285,43 198,90 325,92 290,77 285,56 189,44 396,98 195,11 305,67 538,19 354,97 247,36 405,30 361,61 355,13 235,59 1,43 0,70 1,10 1,94 1,28 0,89 1,46 1,30 1,28 0,85 1,57 2,30 1,90 1,06 1,72 2,11 1,54 1,70 1,72 2,15 Prosiding Semnas II HITPI Page 190

8 Rata-rata konsumsi dari hasil perhitungan selama musim kemarau berkisar antara 0,70% sampai 1,94% dari BB, jika kebutuhan BK dari ternak adalah 3% dari BB, maka selama kemarau ada kekurangan sebanyak 1,06% sampai 2,30% dari BB. Keadaan ini jelas sangat jauh dari kebutuhan ternak karena pada bulan Oktober ini ketersediaan hijauan di lapangan sangat sedikit. Komposisi Botani padang penggembalaan Yang dihitung dalam penelitian ini adalah proporsi dari rumput, leguminosa dan gulma. Setelah dihitung proporsinya maka untuk melihat jenis rumput dan leguminosa hanya diidentifikasi yang dominan saja. Jenis rumput dan leguminosa yang dominan terdapat di padang penggembalaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis rumput dan legum yang dominan di padang penggembalaan Rumput Leguminosa Heteropogon contortus Alysicarpus vaginalis Digitaria sangunalis Desmodium spp Bothriochloa timorensis Glysine spp Ischaemum timorense Digitaria sp Cyprus rotundus Proporsi dari tanaman rumput, leguminosa dan gulma yang terdapat di lokasi padang penggembalaan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Proporsi rumput, leguminosa dan gulma di lokasi penggembalaan Bulan Rumput (%) Leguminosa herba (%) Gulma (%) Desember 92,3 4,1 3,6 Pebruari 91,3 4,8 4,2 April 90,4 4,3 5,3 Juni 91,9 2,5 5,6 Agustus 98,5 0,2 1,3 Oktober 99,2-0,8 Sebagian besar hijauan yang ada di padang penggembalaan adalah rumput alam yakni diatas 90%, hanya terdapat relatif sedikit tanaman leguminosa. Kurangnya proporsi tanaman leguminosa di padang rumput alam menyebabkan rendahnya kualitas hijauan, terutama selama musim kemarau proporsi legum sudah tidak ada, di mana rumput alam sudah menjadi sangat rendah mutunya yang menjadi sumber pakan satu-satunya. Pada kebanyakan padang rumput alam di Timor sekarang ditambah dengan ancaman gulma semak bunga putih (Chromolena odorata) yang semakin mempersempit lahan penggembalaan, tetapi pada lokasi penelitian ancaman semak ini belum terlalu banyak karena gulma di stasiun ini secara rutin setiap musim hujan dimusnahkan. Pemeliharaan yang dilakukan adalah ternak digembalakan sepanjang pagi sampai sore hari dan pada malam hari dikandangkan. Setelah masuk kandang maka ternak diberi hijauan pohon, jenis hijauan yang diberikan sangat tergantung pada ketersediaannya di sabana. Ketersediaan hijauan sangat tergantung pada musim dan sifat dari regrowth tanaman setelah pemotongan, maka ada perbedaan Prosiding Semnas II HITPI Page 191

9 hijauan yang diberikan sepanjang tahun, yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis hijauan yang diberikan kepada ternak selama dikandangkan Bulan Jenis Hijauan Desember Januari Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica Pebruari Maret Leucaena leucochepala, Lannea corromandelica, Gliricidia sepium April Mei Gliricidia sepium, Leucaena leucochepala, Samania saman Juni Agustus Samania saman, Schleichera oleosa September Nopember Thamarindus, Schleichera oleosa KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Produksi dan kualitas hijauan, daya tamping sabana Timor Barat mengalami fluktuasi sesuai musim, produksi tertinggi di awal kemarau, kualitas terbaik di musim hujan serta produksi dan kualitas terendah di akhir kemarau. 2. Di akhir musim kemarau ternak hanya mengkonsumsi 0,7-1,94% BK hijauan sabana dari BB sehingga mengalami kekurangan 1,06-2,3% BK pakan dari kebutuhan 3 % BK berdasarkan BB. DAFTAR PUSTAKA Anggraeny, Y.N. dan U. Umiyasih Tinjauan tentang upaya penyediaan hijauan pakan ternak sepanjang tahun di lahan kering. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Fapet-UGM, Yogyakarta. Anonim Data Curah Hujan Daerah NTT. Stasiun Klimatologi Klas II Lasiana, Kupang. Aoetpah, A Fluktuasi ketersediaan dan kualitas gizi padang rumput alam di pulau Timor. J.of Dryland Agric. Information 11: Pusat Penelitian Lahan Kering Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang. Bhatta,R.,N.Swain, D.L. Verma and N.P.Singh Study on feed intake and nutrient utilitation of sheep under two housing system in a semi arid region of India. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17 (6): Hartadi,H., S.Reksohadiprodjo, A.D.Tillman Tabel-tabel Dari Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia. Edisi kelima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Jelantik, I G.N Improving Bali cattle (Bibos banteng Wagner) production Trough protein supplementation. PhD. Tesis. Dept. of Science and Animal Health. The Royal Veterinary and Agricultural University Copenhagen. Katipana, N.G.F., J.I. Manafe, D. Amalo Manfaat Limbah Organik Bagi Produktivitas Ternak Ruminansia, Ketahanan Pangan dan Pencemaran Lingkungan: I. Uji Laboratoris Terhadap Produksi NH3 dan Tingkat Degradasi Protein Limbah Organik dari Mikrobia Rumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Undana. Kupang. Prosiding Semnas II HITPI Page 192

10 Manu, A.E., E. Baliarti, S. Keman, F. Umbu Datta Effects of Local Feed Supplementation on the Performance of Bligon Goat Does at the End of Gestation Reared in West Timor Savannah. Anim. Proc. 9 (1): 1-8. McDonald, P.; R.A Edwards; J.F.D. Greenhalgh; and C.A. Morgan Animal Nutrition. Prentice Hall. New York. Nulik, J. dan A. Bamualim Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. Laporan Penelitian. BPTP Naibonat Kupang dan Eastern Island Veterinary Service Project. Susetyo Padang Penggembalaan. Balai Penyuluhan Pertanian Batangkaluku. Badan Pendidikan dan Latihan Penyuluh Pertanian, Departemen Pertanian. Prosiding Semnas II HITPI Page 193

11 PENDUGAAN DAYA TAMPUNG RUSA LIAR (Cervus timorensis) DI PADANG RUMPUT MAR TAMAN NASIONAL WASUR MERAUKE Bambang Tjahyono Hariadi 1) dan Thimotius Sraun 1) ABSTRACT The objective of this experiment was to know carrying capacity of rusa deer (Cervus timorensisi) at Mar, Wasur National Park Merauke district. The data collected were spesies of grasses, production each species and carrying capacity. The results showed species of grasses were Cynadon dactylon, Imperata cylindrica and Phragmites karka. Mar was dominated by Cynadon dactylon. The production of Cynodon dactylon was kg/ha. The Carryng capacity of rusa deer was 0,5 ha/head/year. Key words : Carryng capacity, rusa deer, savannah, national park ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar (Macropus agilis) di Mar Taman Nasonal Wasur Merauke. Variabel yang diamati yaitu jenis rumput, produksi per ha dan kapasitas tampung. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput Mar yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alangalang (Imperata cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka), dimana grinting merupakan rumput yang sangat dominan. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) Kg/ha. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5 Ha/ekor/tahun. Kata kunci : Daya tampung, padang rumput, rusa liar, taman nasional PENDAHULUAN Latar belakang Taman Nasional Wasur merupakan taman nasional yang terletak di kabupaten Merauke-Papua. Taman Nasioanl Wasur ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan nomor : 448/Menhut- VI/1990, tertanggal 6 Maret Luas areal Taman Nasional Wasur sebesar Ha. Potensi flora dan fauna di Taman Nasional Wasur sangat besar. Taman ini mempunyai 10 jenis induk vegetasi dengan daerah hutan savana 2/3 dari seluruh taman. Habitat lain yang dapat dijumpai adalah hutan pantai, hutan bakau, hutan bambu, padang rumput dan rawa sagu yang cukup luas. Di Taman Nasional Wasur terdapat sekitar 80 jenis mamalia, dimana 27 jenis merupakan jenis endemik. Jenis burung yang ada sekitar 390, sehingga merupakan daerah yang paling kaya di Papua (Petocz, R.G., 1987). Jenis-jenis fauna antara lain kanguru/ walabi lincah (Macropus agilis), kaswari (Casuarius-casuaarius) dan fauna eksotik adalah rusa liar (Cervus timorensis). Prosiding Semnas II HITPI Page 194

12 Permasalahan Mar, merupakan salah satu zona inti di dalam kawasan Taman Nasional Wasur. Di lokasi tersebut banyak dijumpai padang rumput/savana yang sangat luas. Satwa yang bisa dilihat dalam padang rumput di Mar antara lain yaitu walabi lincah dan rusa liar. Pengelolaan padang rumput di Mar menjadi sangat penting, karena padang rumput tersebut menjadi sumber pakan utama bagi rusa liar. Sedangkan rusa liar merupakan sumber protein yang penting juga bagi masyarakat yang berdiam di dalam Taman Nasional Wasur maupun masyarakat di Merauke dan sekitarnya. Kondisi padang rumput yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai terjadi kondisi over grazing maupun under grazing oleh rusa liar pada padang rumput tersebut. Untuk mencegah terjadinya kondisi over maupun under grazing di dalam suatu kawasan padang rumput, salah satu caranya adalah dengan mengukur kapasitas tampung/carrying capacity pada lokasi tersebut. Dengan mengetahui adanya kapasitas tampung di padang rumput Mar, maka bisa diketahui berapa jumlah ideal rusa liar yang dapat ditampung pada padang rumput tersebut. Hal ini menjadi sangat penting bagi strategi pengelolan kawasan zona inti di Mar tersebut. Bila jumlah rusa liar berlebihan maka perlu dilakukan pemburuan terhadap rusa liar, agar tidak terjadi over grazing. Tetapi bila jumlah rusa liar dirasa kurang, maka perburuan perlu dilarang, karena akan mengakibatkan terjadinya under grazzing di padang rumput tersebut. Mengingat sampai sekarang data tentang kapasitas tampung di Mar sampai saat ini belum ada, maka penelitian untuk mengetahui kapasitas tampung di Mar mutlak perlu sebagai dasar dalam pengelolaan zona inti di Mar Taman Nasional Wasur Merauke. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kapasitas tampung rusa liar di Mar Taman Nasonal Wasur Merauke. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dasar dalam melakukan strategi pengelolaan rusa liar di padang rumput Mar Merauke. MATERI DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilakasanakan di padang rumput Mar Taman Nasional Wasur. Penelitian dilaksanakan selama 7 hari. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu rumput. Sedangkan alat yang dipakai adalah : Timbangan duduk berkapasitas 2 kg, meteran rol, kantong plastik, parang, gunting, kwadran kayu ukuran 1 m 2, spirtus, kertas koran, buku identifikasi jenis rumput, dan alat tulis menulis. Metoda Metoda yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metoda deskriptif dengan teknik survei. Survei dilakukan di Padang rumput Mar Taman Nasional Prosiding Semnas II HITPI Page 195

13 Wasur Merauke. Untuk mengetahui produksi rumput dan kapasitas tampung, pengambilan contoh rumput dilakukan secara stratifikasi dengan menggunakan metoda kwadran (Alikodra 1990) dan (Reksohadiprodjo, 1996). Sedangkan koleksi spesimen dilakukan untuk mengetahui spesies rumput yang dimakan oleh rusa liar. Identifikasi jenis rumput Identifikasi jenis rumput dilakukan dengan mengamati jenis-jenis rumput dan mencabut jenis rumput terutama yang sudah berbunga. Kemudian dicocokkan dengan buku identifikasi lapangan ( Mannetje L. t and R.M. Jones, 1992). Rumput yang belum teridentifikasi, akan dibuat spesimen basah untuk diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium atau spesimen tersebut nantinya dikirim ke Herbarium Bogoriense- Bogor. Stratifikasi lokasi Stratifikasi lokasi dilakukan berdasarkan jenis rumput yang tumbuh. Berdasarkan pengamatan lapangan menunjukan bahwa terdapat tiga jenis rumput yaitu grinting (Cynodon dactylon ), Palungpung (Prhagmites karka) dan Alangalang (Imperta cylindrica). Tetapi luasan palungpung dan alang-alang sangat kecil kurang dari 1%, maka pada kedua jenis rumput tersebut tidak diambil sampelnya. Sedangkan grinting tumbuh sangat dominan di padang rumput tersebut hampir 100%, sehingga padang rumput sangat homogen. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan pengambilan sampel untuk rumput grinting pada tiga lokasi yang berbeda. Pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan menempatkan kwadran 1 m 2 pada padang rumput tersebut. Rumput yang masuk dalam kwadran semuanya dipotong serendah mungkin dengan tanah, kemudian ditimbang berat segarnya. Pengukuran produksi padang rumput dimodifikasi dari (Reksohadiprodjo, 1996): 1. Diamati spesies padang rumput yang dikonsumsi oleh satwa, dan dihitung produksinya per hektar 2. Dihitung % cover masing-masing spesies, kemudian dijumlahkan sehingga merupakan total % cover. 3. Ditentukan P.U.F (proper use factor). untuk menjamin pertumbuhan kembali. PUF untuk penggunaan padang rumput yang ringan adalah 25% 4. Dipertimbangakan juga periode merumput atau periode stay dan periode istirahat atau rest. Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996) memasukkan periode rest(istirahat) minggu atau 70 hari rata-rata dan periode merumput 30 hari untuk negara tropis. Persamaan Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo (1996) untuk mengukur kebutuhan luas tanah pertahun adalah : (Y-1) s = r dimana Y = luasan tanah yang diperlukan oleh seekor satwa s = Periode merumput (30 hari) r = Periode istirahat (70 hari) (Y-1) 30 = 70 30Y 30 = 70 Prosiding Semnas II HITPI Page 196

14 30Y = 100; Y = 3,3 (Kebutuhan tanah pertahun adalah 3,3 kali kebutuhan tanah perbulan). Variabel yang diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu : a. Jenis rumput b. Produksi rumput dihitung dengan membandingkan berat segar rumput (gr) per luasan 1 m 2. c. Proyeksi daya tampung. Untuk menetapkan proyeksi daya tampung di daerah tropis dimodifikasi berdasarkan rumus Voisin (1959) dalam Reksohadiprodjo ( 1996) sebagai berikut : (y - 1 ) s = r dimana : Y : angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per ekor rusa liar per tahun terhadap kebutuhan per bulan S : periode merumput (S = stay : selama 30 hari) R : periode istirahat (r = rest : selama 70 hari) Dengan menggunakan nilai r = 70 dan s = 30 pada rumus di atas, maka diperoleh nilai Y = 3,3. Sehingga dengan mengetahui kebutuhan luas tanah per bulan/ha/ unit rusa liar (UR), maka kebutuhan luas padang rumput atau daya tampung per tahunnya dapat diketahui = 3,3 taksiran kebituhan luas tanah /bulan/ur. Pengolahan data Pengolahan data dilakukan secara tabulasi sesuai dengan variabel pengamatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-jenis Hijauan Jenis-jenis hijauan yang terdapat dalam padang rumput Mar Taman Nasional Wasur yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynodon dactylon) (L.) Pers.), palungpung (Phragmites karka) (Retz.) Trin., Alangalang (Imperata cylindrical) (L.) Beauv. Grinting mempunyai daya pengikat tanah yang kuat dan tahan terhadap injakan sehingga rumput ini merupakan rumput penutup halaman dan lapangan olah raga yang baik. Karena sifat-sifatnya itulah rumput ini sudah umum ditanam. Grinting juga merupakan rumput makanan ternak yang bernilai tinggi. Tumbuhnya memberi respon terhadap pemupukan. Seperti jenis rumput lainnya, dalam penanamanya juga biasa dicampur dengan jenis legum yang tujuannya untuk meningkatkan nilai gizi dan produksinya. Jenis legum yang dapat ditanam bersama-sama yaitu Trifolium repens, Trifolium procumbens, Trifolium dubium dan Lespedeza sp. (Anonimous, 1982) Jenis legum (leguminosa) tidak dijumpai di padang rumput tersebut. Berdasarkan kandungan gizinya, maka legum lebih tinggi kandungan protein kasarnya dari pada rumput ( McIlroy R.J., 1977). Dengan demikian maka sebenarnya rusa liar masih perlu suplai protein kasarnya dalam pakannya, sehingga pertumbuhan rusa liar bisa lebih baik lagi. Prosiding Semnas II HITPI Page 197

15 Dimana salah satu fungsi dari protein adalah untuk pertumbuhan (Tilmann, dkk., 1998). Disamping itu peranan legum sangat penting untuk satwa, legum juga mempunyai peranan sangat penting untuk padang rumput antara lain yaitu yaitu : (1) memperbaiki kualitas produksi suatu padang rumput, karena kadar protein kasar legum yang lebih tinggi dari pada rumput. (2) Memanfaatkan transfer nitrogen dari legum untuk menjaga produksi rumput padang rumput karena pelapukan bintil akar serta rontokan daun legum akan menyumbangkan N pada tanah setelah melewati proses dekomposisi. Hal tersebut pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas satwa/walabi yang hidup pada padang rumput tersebut (Humphreys, 1995). Alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan penanaman legum yang sudah ada di dalam Taman Nasional Wasur. Apakah berupa legum pohon, legum yang menjalar atau legum perdu. Produksi Hijauan Berdasarkan pengamatan lapangan terdapat tiga jenis rumput yang dapat dikonsumsi oleh Rusa liar, yaitu palungpung, alang-alang dan grinting. Tetapi yang diambil sebagai sampel hanya terhadap rumput grinting. Produksi rumput grinting dari tiga lokasi di Mar disajikan dalam Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Produksi rumput grinting di padang rumput Mar No Tempat/Lokasi Produksi ( gr / m 2 ) Produksi (kg /Ha) Lokasi I Lokaasi II Lokasi III Rata-rata 218, Berdasarkan Tabel 1 tersebut diatas menunjukkan bahwa produksi rumput grinting rata sebesar kg/ha. Dapat dikatakan cukup tinggi. Berdasarkan waktu pengambilan sampel pada bulan November, maka waktu tersebut merupakan akhir musim kering. Dengan demikian maka pada akhir musim keringpun produksi grinting masih cukup tinggi. Menurut Subagiyo dan Kusmartono (1988), musim terutama curah hujan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi rumput. Dari segi kualitas perubahan musim antara musim penghujan dan musim kemarau akan mengakibatkan adanya perubahan nilai gizi rumput. Hal ini disebabkan karena kandungan nilai gizi rumput berasal dari unsur hara dalam tanah. Dengan berkurangnya kadar air tanah di musim kemarau, maka unsur hara tersebut kurang dapat diabsorbsi rumput untuk pembetukan zat gizi. Dengan demikian maka kandungan protein kasarnya pun pada mudim kemarau akan menurun. Disamping itu radiasi sinar matahari yang lebih besar pada musim kemarau akan mengakibatkan pembentukan serat kasar yang lebih aktif, sehingga kandungan kasar rumput akan lebih tinggi. Pada musim kemarau juga akan menurunkan kuantitas produksi rumput. Karena kadar air tanah yang rendah, maka rumput akan mengalami hambatan pertumbuhan karena berkurangnya kadar air tanah serta kurang dapatnya unsur hara untuk diabsorbsi rumput untuk pertumbuhan tersebut. Bahkan penurunan produksi rumput pada musim kemarau dapat mencapai lebih dari setengah Prosiding Semnas II HITPI Page 198

16 produksi pada musim penghujan. Fluktuasi ini juga akan dapat mengakibatkan fluktuasinya pertumbuhan satwa (rusa liar) di padang rumput tersebut. Proyeksi Daya Tampung Di dalam menentukan proyeksi daya tampung padang rumput Mar ditarik beberapa asumsi sebagai berikut: Berat rata-rata rusa liar diasumsikan adalah 110 kg, Semiadi (1998) dalam Andoy E F S (2002) sehingga kebutuhan rumput/hijauan perhari adalah 10% dari berat badan = 110 kg 10% = 11kg. Sehingga kebutuhan perbulan = 11 kg 30 = 330 Kg/bulan. Proyeksi daya tampung di padang rumput Mar disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Proyeksi kebutuhan lahan/ekor rusa liar No Jenis rumput Produksi (Kg/Ha) PUF (25%) Kons.pakan per bulan (Kg) Kebth. lahan (bulan/ Ha) Kebth. lahan (tahun/ Ha) 1 Grinting ,75(kg) 330 0,60 1,98 Keterangan : Kons.pakan : Konsumsi pakan Kebuth. Lahan : Kebutuhan lahan Berdasarkan tabel 2 di atas terlihat bahwa kebutuhan lahan seekor rusa liar adalah 0,6 Ha/bulan atau 1,98 2 Ha/tahun. Dengan kata lain Daya Tampung perhektar 0,5/ekor/th. Jumlah ini sama dengan yang dilaporakan oleh Burhanudin M dkk. (2008) sebesar 0,5 ekor/ha/tahun di Tanjung Pasir Taman Nasional Bali Barat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Jenis hijauan yang ditemukan di padang rumput Mar yang dikonsumsi oleh rusa liar adalah Grinting (Cynadon dactylon), Alang-alang (Imperata cylindrica) dan Palungpung (Phragmites karka). 2. Produksi Grinting (Cynadon dactylon) Kg/ha. 3. Daya tampung padang rumput Mar terhadap rusa liar adalah 0,5 Ha/ekor/thn. Saran Hal-hal yang perlu disarankan setelah penelitian ini yaitu: perlu dilakukan survei jumlah populasi rusa liar di padang rumput Mar. DAFTAR PUSTAKA Alikodra Hadi S., Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prosiding Semnas II HITPI Page 199

17 Andoy Elvis Erikson Sonny, Studi Populasi Rusa Timr (Cervus timorensis) dan Perburuan oleh Penduduk di Desa Poo, Tomer dan Sota Dalam Taman Nasional Wasur Merauke. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Papua. Tanpa Publikasi. Anonimous, Rumput Dataran Rendah. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. Burhanudin Masy ud, Indra Hadi Kusuma dan Yandi Rahmadani, Potensi Vegetasi Pakan dan Efektivitas Perbaikan Habitai Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainfile 1828) di Tanjung Pasir Taman Nasional di Taman Nasional Bali Barat). Media Knservasi. Vol.13 No.2. Agustus 2008 : Humphreys L.R., Diversity and Productivity of tropical legumes. In : D Mello J.P.F. and Devendra C (ed)., Tropical Legumes in Animal Nutrition. CAB international, Wallingford UK. Mannetje L. t and R.M. Jones, Forages. Prosea, Bogor. McIlroy R.J., Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita, Jakarta. Petocz, R.G., Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya. Pustaka Grafitipers, Jakarta. Reksohadiprodjo Soedomo, Evaluasi Produksi Pasture. Dalam Kursus Singkat Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia. Jurusa liarn Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UGM, Yogjakarta. Soesanto, H dan Subagiyo, Landasan Agrostologi. NUFFIC. Universitas Brawijaya, Malang. Subagiyo,I. dan kusmartono, Ilmu Kultur Padangan. NUFFIC. Universitas Brawijaya, Malang. Susetyo, Pengelolaan dan Pemanfaatan Padang Rumput. Direktorat Jendral Peternakan dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Tillman A.D., Hartadi H., Reksohadiprodjo S., dan Lebdosoekojo S Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press dan Fakultas Peternakan UGM., Yogjakarta. Prosiding Semnas II HITPI Page 200

18 PENGARUH CARA PERSIAPAN LAHAN TERHADAP PRODUKSI BAHAN KERING DAN KUALITAS Centrosema pubescent Benth. DAN Calopogonium mucunoides Desv. DI PADANG RUMPUT ALAMI Luh Suariani, I Nyoman Kaca dan Ni Made Yudiastari Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa ABSTRACT The low forage production of native grasslands result in the low ruminant husbandry production. One effort that can be done to increase production and pasture qualities is by planting of/ improved legumes. Therefore, an experiment on land preparation was conducted to find a simple and cheap method for legumes establishment. This research was conducted from February to June 2012, at Lumbung village, Selemadeg-Tabanan district. Factorial randomized block design with four land preparation methods (no tillage, herbicide aplication, with burning and conventional tillage) and three kind legumes (without legumes, Centrosema pubescent Benth., and Calogonium mucunoides Desv.) was used for this research. Treatments were replicated three times. The result showed that there were interactions between land preparation methods with the kind of legumes on growth, area cover, and botanical composision. Land preparation method by spraying herbicide (glyphosate) after were cut previously, were the most adequate method for legumes planting to native grassland. To increase feeding stuff supply from native grasslands, planting centro at land preparation method using systemic herbicide is must appropriate. Research for longer time to gain a data more precisely to forage production along the years is still required. Key word: land preparation, legumes establishment, and native grassland. ABSTRAK Produksi hijauan di padang rumput alami yang rendah mengkibatkan rendahnya produktivitas ternak ruminansia. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peroduksi dan kualitas hijauan adalah dengan penanaman/penyebaran leguminosa. Oleh sebab itu, diperlukan cara persiapan lahan yang tepat dan murah untuk menanam leguminosa di padang rumput alami. Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juni 2012, di desa Lumbung, kecamatan Selemadeg-Tabanan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 4 3, dengan 4 cara persiapan lahan : persiapan lahan tanpa olah tanah (Pt), persiapan lahan dengan herbisida (Ph), persiapan lahan dengan pembakaran (Pp) dan persiapan lahan secara konvensional (Pk) dan tiga jenis leguminosa : tanpa leguminosa, Centrosema pubescent Benth., dan Calogonium mucunoides Desv. Masingmasing kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Hasil percobaan menunjukkan terdapat interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap pertumbuhan, produksi dan kualitas hijauan di padang rumput alami. Jenis leguminosa yang mampu menghasilkan bahan kering lebih tinggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrocema pubescens Benth. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering hijauan Prosiding Semnas II HITPI Page 201

19 sebesar 20,8% pada pemotongan pertama dan 10,7% pada pemotongan kedua, dan mampu meningkatkan kualitas protein hijauan sebesar 17,01% pada pemotongan pertama dan 38,95% pada pemotongan kedua. Cara persiapan lahan dengan menyemprotkan herbisida yang berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara yang paling tepat dalam menanam leguminosa ke padang rumput alami. Untuk meningkatkan ketersediaan pakan berkualitas, menanam centro ke padang rumput alami dengan cara persiapan lahan menggunakan herbisida yang berbahan aktif glyphosate adalah merupakan cara yang paling tepat. Diperlukan suatu penelitian dalam jangka waktu yang panjang untuk memperoleh data yang lebih akurat mengenai produksi hijauan pakan sepanjang tahunnya. Kata kunci: persiapan lahan, penyebaran legume, padang rumput alami PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi ternak ruminansia adalah tersedianya hijauan makanan ternak yang berkualitas sepanjang tahun. Hijauan makanan ternak yang berkualitas terutama terdiri dari rumput rumputan sebagai sumber energi dan leguminosa sebagai sumber protein. Di Indonesia, khususnya di Bali, petani ternak masih memanfaatkan rumput lapangan sebagai pakan ternaknya (Mendra, 1992 ), karena lahan yang khusus dipergunakan untuk menanam rumput tidaklah memadai. Padang rumput alami yang tersebar pada beberapa daerah di Indonesia luasnya ha, dan lebih dari 90% luas padang rumput yang diusahakan untuk menghasilkan pakan ternak di Indonesia didominasi oleh rumput alam dan komponen leguminosa hampir tidak ada (Sanchez, 1993). Rendahnya produktivitas ternak pada padang rumput alami didaerah tropis terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas hijauan. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas hijauan padang rumput alami adalah kelengasan dan kesuburan tanah yang rendah (Sanchez, 1993). Di negara-negara maju, asosiasi rumput dan leguminosa banyak diterapkan di padang penggembalaan (padang rumput). Bayer (1990) menyatakan bahwa keuntungan leguminosa dibandingkan dengan rumput adalah (1) leguminosa dapat mengikat N bebas dan bersimbiose dengan rhizobia, (2) kualitas hijauan leguminosa tidak menurun drastis pada musim kemarau, (3) hijauan yang lebih banyak mengandung leguminosa mempunyai kandungan protein dan nilai cerna yang lebih tinggi. Pada umumnya leguminosa yang diintroduksikan ke dalam padang rumput adalah leguminosa penutup tanah (cover crops), seperti Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides dan Pueraria phaseoloides. Jenis leguminosa penutup tanah ini adalah leguminosa tahunan yang tumbuhnya membelit dan memanjat, dan panjangnya bisa mencapai 5 m (Bogdan, 1977) Spesies tahunan seperti Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides ini mempunyai sistem perakaran yang kuat dan relatif tahan terhadap cekaman air. Centrosema pubescens mempunyai pertumbuhan awal yang sangat lambat, tetapi akan berkembang sangat cepat dan agresif jika sudah beradaptasi, serta mempunyai daun yang lebat (Skerman, 1988). Sumbangan nitrogen yang dapat diberikan Prosiding Semnas II HITPI Page 202

20 leguminosa setiap tahunnya pada padang rumput menurut Sanchez (1993) adalah berkorelasi langsung dengan kandungan bahan kering bagian atas apabila spesies yang digunakan telah dikelola dengan baik. Di beberapa tempat yang mengembangkan padang rumput leguminosa, daya tampung dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan padang rumput alamiah. Hal ini didukung oleh t Mannetje dan Jones (1992) yang menyatakan bahwa pada pertanaman campuran rumput dan leguminosa dapat meningkatkan kapasitas tampung, meningkatkan kenaikan berat badan dan meningkatkan produksi dari ternak. Leguminosa memerlukan aerasi yang baik supaya bintil akar dapat berkembang dan memfiksasi N bebas dengan baik. Hasil fiksasi N inilah nantinya yang akan membantu pertumbuhan leguminosa, sehingga mampu berproduksi maksimal dengan kualitas yang baik (Humphreys, 1980). Pada umumnya leguminosa kalah bersaing dengan rumput lapangan yang telah menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Rumput-rumputan termasuk tanaman golongan C 4 sedangkan leguminosa termasuk golongan C 3. Tanaman C 4 lebih efisien dalam memanfaatkan sinar matahari, CO 2 dan lebih efisien dalam penggunaan air, karena mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C 3 (Sastroutomo, 1980). Cara persiapan lahan yang tepat juga bertujuan untuk mengurangi kompetisi oleh rumput sehingga leguminosa dapat tumbuh optimum. Pemilihan cara persiapan lahan ini sangat dibatasi oleh biaya, ketersediaan tenaga kerja dan luasan padang rumput yang akan diintroduksi dengan leguminosa, serta tingkat erosi (Leach et al., 1976 dalam Nurjaya, 1987). Pengolahan tanah didalamnya termasuk pencangkulan sampai dengan tanpa pengolahan hanya dibuat larikan atau ditugal.selain dengan pengolahan tanah pengelolaan padang rumput alam juga dapat dilakukan dengan pembakaran padangan. Maksud utama pembakaran adalah untuk memusnahkan tanaman rumput dan gulma yang tua dan tidak palatabel dan kering, serta untuk merangsang pertumbuhan tanaman muda yang mengandung nutrisi yang lebih tinggi dan lebih disukai ternak. Pembakaran juga dapat memberantas hama dan penyakit baik yang menyerang ternak atau tanaman (Reksohadiprodjo, 1994), serta melepaskan fosfor dan unsur hara yang lain yang terikat dalam jaringan tanaman tua dan membuatnya tersedia bagi tanaman (Sanchez, 1993). Pengontrolan kompetisi tanaman juga dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida. Herbisida sistemik seperti dalapon dan glyphosate, ditranslokasikan ke tanaman dan akan membunuh sampai ke akar tanaman. Nurjaya (1987) menemukan bahwa pada tanah berpasir, cara persiapan lahan dengan memotong kemudian menyemprot dengan glyphosate 3 kg a.i. ha 1 dan setelah dua minggu ditanami, memberikan hasil yang lebih baik daripada persiapan lahan secara konvensional (membajak dan membersihkan tanaman yang ada). Hal ini disebabkan oleh temperatur permukaan tanah lebih tinggi pada persiapan lahan secara konvensional dibandingkan dengan menyemprotnya dengan herbisida. Rumusan Masalah Padang rumput alami didominasi oleh rumput-rumputan lokal sehingga kuantitas dan kualitas pakan ternak yang dihasilkan rendah. Penanaman Prosiding Semnas II HITPI Page 203

21 leguminosa ke padang rumput alami merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas padang rumput alami, namum leguminosa kalah bersaing dengan rumput-rumput yang telah ada. Untuk itu diperlukan cara persiapan lahan yang dapat mendorong pertumbuhan leguminosa. MATERI DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lumbung Kecamatan Selamadeg, Kabupaten Tabanan, yang merupakan salah satu daerah lahan kering di Bali. Jenis tanah dilokasi penelitian adalah tanah Inceptisol (berdasarkan peta jenis tanah Propinsi Bali) dengan type iklim C menurut Schmit dan Ferguson (1951). Ketinggian tempat dilokasi penelitian adalah + 50m dari permukaan laut. Padang rumput ini didominasi oleh rumput lapangan yang mempunyai rhizome (rizomathous). Tanah ditempat percobaan mempunyai kandungan N (rendah), P (sangat rendah) dan K(rendah) dengan tektur tanah liat. Materi Jenis leguminosa penutup tanah yang diintroduksikan pada padang rumput alami adalah centro (Centrosema pubescens Benth.) dan calopo (Calopogonium mucunoides Desv.), yang bijinya diperoleh dari BPT/HMT Ciawi Bogor. Dalam percobaan ini di pupuk dengan 50 kg Urea ha -1, 75 kg SP36 ha -1 dan 75 kg KCl ha -1 sebagai pupuk dasar. Pemupukan dilakukan seminggu sebelum penanaman leguminosa. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Cangkul, sekop, dan sabit dipergunakan pada saat pengolahan lahan 2. Peralatan semprot (hand sprayer) 3. Timbangan yang berkapasitas 22,6 kg dengan ketelitian 10 g yang dipergunakan untuk menimbang hijauan segar, Timbangan Mettler Toledo PB 3002 berkapasitas 500 g dengan ketelitian 0,01mg untuk menimbang sampel keperluan analisis kimia 4. Timbangan Bonso model 323, kapasitas 5000 g dengan kepekaan 1 g untuk menimbang berat kering oven hijauan dan komponen hijauan 5. Oven pengering model GC-2 untuk mengeringkan sampel hijauan 6. Grinder untuk menggiling sampel 7. Penggilingan elektronik dengan diameter lubang 0,1 mm, persiapan sampel untuk analisis kimia. 8. Dan berbagai peralatan yang diperlukan dalam analisis kandungan bahan kering dan protein hijauan makanan ternak. Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah : a. Inokulan rhyzobium diperlukan untuk menginokulasi biji leguminosa, b. Bibit leguminosa Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides, Rancangan percobaan Percobaan dilakukan dengan mempergunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap pola faktorial 4 3 dengan faktor pertama adalah empat cara persiapan Prosiding Semnas II HITPI Page 204

22 lahan dan faktor kedua adalah dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa penanaman leguminosa. Dari kedua faktor tersebut akan diperoleh duabelas kombinasi perlakuan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali, sehingga akan diperoleh 36 petak percobaan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah : Faktor I : Cara persiapan lahan yaitu : Pt = Tanpa Olah Tanah (TOT), pada lahan padang rumput dibuat larikan untuk menanam leguminosa sedangkan tumbuhan yang sudah ada dipotong. Ph = Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu kemudian disemprot dengan herbisida glyphosate 3 kg a.i.(active ingredient) ha -1. Setelah dua minggu biji leguminosa baru ditanam dalam larikan. Pp = Memotong dan seminggu kemudian membakar padang rumput, lalu membuat larikan untuk ditanami leguminosa. Pk = Pengolahan konvensional. Lahan diolah dengan mencangkul mengumpulkan dan membersihkan rumput-rumput serta akar rimpangnya, menghancurkan bongkahan tanah dan meratakan. Faktor II adalah penanaman dua jenis leguminosa penutup tanah dan tanpa penanaman leguminosa yaitu : LTl = Tanpa ditanami leguminosa (kontrol) LCp = Centro (Centrosema pubescens Benth.) LCm = Calopo (Calopogonium mucunoides Desv.) Pertama-tama dilakukan Pelaksanaan pembuatan petak-petak yang jumlahnya 36 petak dengan ukuran petak 3 4 m dan jarak antar petak adalah 0,4 m. Setelah dirandom maka tanah baru diolah sesuai dengan cara persiapan lahan yaitu : (a) Untuk Pt (Tanpa Olah Tanah). Rumput pada petak ini dipotong dan dibuat Larikan, kemudian ditanami dengan leguminosa. (b) Untuk Ph (dengan herbisida). Rumput dipotong, dibiarkan tumbuh 2 minggu kemudian baru disemprot dengan herbisida. Penanam leguminosa dilakukan setelah 2 minggu penyemprotan. (c) Untuk Pp (Pembakaran padang rumput). Rumput dipotong dan seminggu sebelum penanaman dilakukan pembakaran pada padang rumput. (d) Untuk Pk (Pengolahan konvesional). Pembersihan dan pencangkulan lahan dilakukan seminggu sebelum dilakukannya penanaman dengan leguminosa. Biji leguminosa sebelum ditanam/disebar telah diskarifikasi. Kebutuhan biji centro dan calopo untuk setiap hektarnya adalah 5 kg dan 3 kg (t Mannetje dan Jones, 1992). Daya germinasi untuk centro adalah sebesar 80% dan 60% untuk calopo. Panen Panen dilakukan dengan memotong tanaman pada ubinan dengan tinggi pemotongan lima sentimeter. Luas ubinan adalah 2 1,5 m (Gambar 2). Tanaman sampel adalah tanaman yang akan diukur panjangnya dan selanjutnya akan didestruksi untuk melihat jumlah nodul efektifnya. Panen dilakukan sebanyak dua kali yaitu pemotongan pertama pada saat tanaman berumur dua Prosiding Semnas II HITPI Page 205

23 belas minggu, dan pemotongan kedua minggu setelah tanam). enam minggu kemudian (delapan belas Variabel yang diamati Variabel yang diamati meliputi variabel respon pertumbuhan dan produksi hijauan meliputi : 1. Komposisi botani 2. Kandungan dan produksi bahan kering (Dry Matter) 3. Kadar protein kasar (Crude Protein) hijauan 4. Kandungan abu dan bahan organik hijauan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan dan dilakukann transformasi beberapa data untuk menyeragamkan varians (Steel and Torrie, 1989). HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Botani Terdapat interaksi antara cara persiapan lahan (P) dengan jenis leguminosa (L) terhadap komposisi botani rumput dan gulma pada pemotongan pertama dan pada komposisi botani rumput, legum dan gulma pada pemotongan kedua (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan mengakibatkan menurunnya prosentase rumput (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan pembakaran yang ditanami dengan Calopo. Penurunan prosentase rumput sebesar 33% dan 43,93% masing-masing terjadi pada pastura yang ditanami Centro (LCp) dan Calopo (LCm) Pada pemotongan pertama dan kedua, penanaman leguminosa juga mengkibatkan menurunnya prosentase gulma yang tumbuh dan cara persiapan lahan meningkatkan jumlah gulma secara nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada penanaman dengan Calopo. Pada pemotongan kedua, persentase rumput cenderung meningkat dibandingkan dengan pada pemotongan pertama. Dengan penanaman leguminosa prosentase rumput mengalami penurunan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa dan dengan persiapan lahan ternyata mampu menurunkan prosentase rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan. Produksi Bahan Kering Leguminosa, Rumput dan Gulma Terdapat interaksi yang nyata antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap produksi bahan kering rumput pada pemotongan pertama dan produksi bahan kering leguminosa, rumput dan gulma pada pemotongan kedua. Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi bahan kering leguminosa dan gulma pada pemotongan pertama (Tabel 5.1) Prosiding Semnas II HITPI Page 206

24 Tabel 5.1 Signifikansi pengaruh cara persiapan lahan (P), jenis leguminosa (L) dan interaksinya terhadap variabel yang diamati. Variabel Pengaruh P L P X L PEMOTONGAN PERTAMA 4 Komposisi botani (%) a) Rumput ** ** ** b)leguminosa ** ** NS c) Gulma ** ** * 9 Produksi (t ha 1 ) a). Produksi bahan kering rumput ** ** ** b). Produksi bahan kering gulma ** NS NS c). produksi bahan kering leguminosa ** ** NS d).produksi total bahan kering hijauan ** ** ** e). Produksi total protein kasar NS ** NS 10 Kualitas hijauan (%) a). Kandungan protein kasar ** ** * b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS c). Kandungan bahan organik NS NS NS d). Kandungan abu. NS NS NS PEMOTONGAN KEDUA 4 Komposisi botani (%) a) Rumput ** ** ** b) Leguminosa ** ** ** c) Gulma ** ** ** 9 Produksi (t ha -1 ) a). Produksi bahan kering rumput ** ** ** b). Produksi bahan kering gulma ** ** ** c). produksi bahan kering leguminosa ** ** ** d) Produksi total bahan kering hijauan ** ** NS e) Produksi total protein kasar ** ** ** 10 Kualitas hijauan (%) a). Kandungan protein kasar ** ** ** b). Kandungan bahan kering (DM) NS ** NS c). Kandungan bahan organik NS NS NS d). Kandungan abu. NS NS NS 11 Jumlah nodul NS NS NS Keterangan : 1) * = berbeda nyata (P < 0,05 ) 2) ** = berbeda sangat nyata (P < 0,01) 3) NS = tidak berbeda nyata (P> 0,05) Pada pemotongan pertama, cara persiapan lahan tanpa penanaman leguminosa tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap poduksi bahan kering rumput, kecuali pada persiapan lahan secara konvensional (Tabel 5.2). Penanaman centro mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput pada cara persiapan lahan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan. Pada penanaman calopo, persiapan lahan dengan pembakaran menghasilkan produksi bahan kering rumput yang lebih tinggi dibandingkan dengan persiapan lahan konvensional, tetapi tidak berbeda nyata dengan persiapan lahan dengan herbisida dan tanpa olah tanah. Persiapan lahan secara nyata (P<0,05) meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, tetapi penanaman leguminosa ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap berat kering gulma (Tabel 5.2). Prosiding Semnas II HITPI Page 207

25 Pada pemotongan kedua, persiapan lahan pada penanaman centro secara nyata meningkatkan produksi bahan kering leguminosa dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, sedangkan pada calopo persiapan lahan dengan herbisida dan tanpa persiapan lahan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.3). Produksi bahan kering leguminosa tertinggi dijumpai pada persiapan lahan dengan herbisida dan ditanami dengan centro, serta yang terendah dijumpai pada persiapan lahan secara konvensional yang ditanami dengan Calopo (Tabel 5.3). Penanaman leguminosa mengakibatkan penurunan produksi bahan kering rumput dibandingkan dengan tanpa ditanami dengan leguminosa kecuali pada persiapan lahan secara konvensional. Tanpa penanaman leguminosa, cara persiapan lahan menekan produksi bahan kering rumput dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Pada penanaman dengan centro, cara persiapan lahan memberikan produksi rumput yang sama kecuali pada persiapan lahan secara konvensional yang mampu menekan produksi bahan kering rumput. Pada penanaman dengan calopo, cara persipan lahan tidak memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.3). Tabel 5.2 Pengaruh cara persiapan lahan (P) dan jenis leguminosa (L) terhadap produksi bahan kering gulma dan leguminosa (t ha 1 ) pada pemotongan pertama dan produksi bahan kering total (t ha -1 ) pada pemotongan kedua (Pem.II) Perlakuan Produksi bahan kering Prod. Bahan Pemotongan I Kering total Leguminosa Gulma Pem. II t ha t ha Persiapan lahan Pt (TOT) 1,47 c 0,68 b 2,85 a Ph(herbisida) 2,39 a 1,06 a 2,84 a Pp(pembakaran) 1,70 b 1,07 a 2,54 b Pk(konvensional) 1,77 b 0,98 a 2,20 c Jenis Leguminosa Ltl (Tanpa legum) - 1,02 a 2,75 b LCp (Centro) 1,71 b 0,89 a 3,08 a LCm (calopo) 1,96 a 0,93 a 1,95 c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5% Tanpa penanaman leguminosa, persiapan lahan meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persipan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Pada penaman dengan centro, cara persiapan lahan meningkatkan produksi bahan kering gulma dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan, sedangkan pada penanaman calopo persiapan lahan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi bahan kerinng gulma (Tabel 5.3) Prosiding Semnas II HITPI Page 208

26 Produksi Total Bahan Kering Hijauan di Atas Tanah Interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah pada pemotongan pertama (Tabel 5.1) dan pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan dan jenis leguminosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tetapi tidak terdapat interaksi antara keduanya (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, tanpa penanaman leguminosa, cara persiapan lahan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah kecuali pada persiapan lahan secara konvensional. Penanaman centro, memberikan hasil yang berbeda nyata pada cara persiapan lahan yang berbeda, penanaman calopo mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah meningkat dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.3). Tabel 5.3 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap produksi total bahan kering hijauan di atas tanah (DM) (t ha -1 ) pada pemotongan pertama Persiapan Jenis Leguminosa Lahan Ltl LCp LCm t ha Pt (TOT) 3,93 ab 4,02 ab 3,36 b Ph(herbisida) 3,69 ab 4,49 a 4,27 a Pp(pembakaran) 3,71 ab 3,95 ab 4,19 a Pk(konvensional) 1,83 c 3,76 ab 3,86 ab Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan menurunkan (P>0,05) produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada persiapan lahan dengan herbisida. Cara persiapan lahan dengan herbisida memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah yang paling tinggi. Penanaman dengan centro meningkatkan (P<0,05) produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa dan dengan penanaman calopo (Tabel 5.2). Produksi Total Protein Kasar Pada pemotongan pertama, jenis leguminosa memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi total protein kasar (Tabel 5.1) dan pada pemotongan kedua interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa memberikan pengaruh yang sangat nyata (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, penanaman leguminosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi total protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa, tetapi antara centro dan calopo menunjukkan hasil produksi protein kasar yang tidak berbeda nyata (Tabel 5.4). Pada pemotongan kedua, penanaman centro berpengaruh nyata meningkatkan produksi total protein kasar hijauan dibandingkan dengan penanaman calopo dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel 5.4). Pada cara Prosiding Semnas II HITPI Page 209

27 persiapan lahan dengan menggunakan herbisida yang diitanami dengan centro memberikan hasil produksi total parotein kasar hijaun yang paling tinggi dan yang paling rendah dijumpai pada persiapan lahan secara konvensional yang tidak ditanami dengan leguminosa.(tabel 5.4). Tabel 5.4 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis leguminosa terhadap produksi total protein (t ha -1 ) pada pemotongan kedua (Pem.II) dan kandungan bahan kering (%) pada pemotongan pertama (Pem.I) dan kedua (Pem.II) Perlakuan Prod. Total Kandungan Bahan Protein kasar Kering Pem.I Pem.I Pem.II t ha % Persiapan lahan Pt (TOT) 0,49 a 27,43 a 26,50 a Ph(herbisida) 0,54 a 26,56 a 29,20 a Pp(pembakaran) 0,57 a 26,29 a 25,66 a Pk(konvensional) 0,52 a 25,71 a 25,51 a Jenis Leguminosa Ltl (Tanpa legum) 0,38 b 26,52 b 26,54 a LCp (Centro) 0,59 a 28,86 a 27,26 a LCm (calopo) 0,62 a 24,12 c 24,10 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5% Tabel 5.5 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap produksi total protein kasar hijauan (t ha -1 ) pada pemotongan kedua Persiapan Jenis leguminosa Lahan Ltl LCp LCm t ha Pt (TOT) 0,30 d 0,38 c 0,31 d Ph(herbisida) 0,27 de 0,63 a 0,39 c Pp(pembakaran) 0,27 de 0,46 b 0,26 de Pk(konvensional) 0,22 e 0,43 b 0,28 de Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% Kandungan Protein Kasar Pada pemotongan pertama dan kedua terdapat interaksi yang nyata terhadap kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, penanaman leguminosa meningkatkan (P<0,05) kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa. Pada penanaman dengan centro, cara persiapan lahan meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan (Tabel 5.6) Pada pemotongan kedua, penanaman leguminosa meningkatkan Prosiding Semnas II HITPI Page 210

28 kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa penanaman leguminosa. Cara persiapan lahan tanpa penanaman leguminosa tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan protein kasar hijauan. Cara persiapan lahan dan penanaman leguminosa meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa persiapan lahan kecuali pada penanaman calopo dengan cara persiapan lahan pembakaran (Tabel 5.6). Tabel 5.6 Pengaruh interaksi cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa terhadap kandungan protein kasar hijauan (%) pada pemotongan pertama dan pemotongan kedua Persiapan Jenis leguminosa Lahan Pemotongan I Pemotongan II Ltl LCp LCm Ltl LCp LCm % % Pt (TOT) 10,89 de 12,88 c 15,24 ab 9,33 e 11,98 d 13,38 c Ph(herbisida) 9,55 e 14,36 b 14,85 ab 8,94 e 18,60 a 18,24 a Pp(pembakaran) 11,42 d 14,84 b 16,49 a 9,86 e 15,22 b 13,95 c Pk(konvensional) 16,35 a 16,01 ab 16,81 a 9,3 e 15,51 b 18,67 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada pemotongan yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% Kandungan Bahan Kering (DM) Kandungan bahan kering (DM) pada pemotongan pertama dan kedua, hanya dipengaruhi oleh jenis leguminosa (P<0,01) sedangkan untuk cara persiapan lahan tidak menunjukkan hasil yang nyata (P>0.05) (Tabel 5.1). Pada pemotongan pertama, penanaman centro meningkatkan kandungan bahan kering hijauan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa dan dengan penanaman calopo, tetapi pada pemotongan kedua, tanpa penanaman leguminosa dan dengan penanaman centro memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan penanaman calopo (Tabel 5.4). Kandungan Bahan Organik Pada pemotongan pertama dan kedua, perlakuan cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) pada kandungan bahan organik hijauan (Tabel 5.1). Kandungan bahan organik pada pemotongan pertama yang terendah diperoleh pada cara persiapan lahan dengan pembakaran (Pp) dan yang tertinggi adalah pada persiapan lahan dengan herbisida (Ph) tetapi secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05), seperti tersaji dalam Tabel 5.7 berikut. Prosiding Semnas II HITPI Page 211

29 Tabel 5.7 Pengaruh cara persiapan lahan dan jenis legum terhadap kandungan bahan organik (%) pada pemotongan pertama dan kedua, kandungan abu (%) pada pemotongan pertama dan kedua, serta jumlah nodul pada akhir penelitian Perlakuan Kandungan Bahan Kandungan Abu Jumlah Organik Nodule 2) Pem.I Pem. II Pem.I Pem. II % % (buah) Persiapan lahan Pt (TOT) 88,08 a 1) 89,267 a 11,92 a 10,73 a 1,83 a Ph(herbisida) 88,49 a 89,389 a 11,50 a 10,61 a 3,33 a Pp(pembakaran) 86,98 a 89,953 a 13,02 a 10,05 a 2,50 a Pk(konvensional) 88,11 a 89,880 a 11,89 a 10,12 a 2,17 a Jenis Leguminosa Ltl (Tanpa legum) 88,28 a 89,900 a 11,71 a 10,10 a LCp (Centro) 88,00 a 89,301 a 12,00 a 10,70 a 2,92 a LCm (calopo) 87,46 a 89,672 a 12,54 a 10,33 a 2,00 a Keterangan : 1). Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5% 2). Data ditransformasikan dengan transformasi logaritmik Kandungan Abu Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tdak menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan abu hijauan pada pemotongan pertama dan kedua (Tabel 5.1 dan 5.7). Jumlah Nodul Cara persiapan lahan dan jenis leguminosa tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap jumlah nodul pada akhir penelitian (Tabel 5.1 dan 5.7). Pembahasan Pada persiapan lahan dengan menggunakan herbisida, glyphosate yang bersifat sistemik berhasil membasmi rumput dan gulma sampai keakar-akarnya, sehingga produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tidak berbeda dibandingkan tanpa pengolahan tanah dan tanpa penanaman leguminosa (Tabel 5.4). Produksi bahan kering pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami dengan leguminosa, sebagian besar terdiri dari leguminosa itu sendiri (54,82% pada centro, dan 54,24% pada calopo). Dengan rendahnya kompetisi rumput dan gulma maka produksi total bahan kering hijauan di atas tanah pada cara persiapan lahan dengan herbisida juga mencapai hasil yang tertinggi (Tabel 5.4). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nurjaya (1986) yang menyatakan bahwa cara persipan lahan dengan memotong dan menyemprot dengan herbisida glyphosat 3 kg a.i ha -1 dan setelah dua minggu ditanami dengan leguminosa, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan cara persiapan lahan secara konvensional. Hal ini disebabkan oleh temperatur Prosiding Semnas II HITPI Page 212

30 permukaan tanah lebih tinggi pada persiapan lahan secara konvensional dibandinngkan dengan cara persiapan lahan dengan herbisida. Pada persiapan lahan dengan herbisida, produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tidak berbeda baik yang ditanami leguminosa atau tanpa penanaman leguminosa. Hal ini diakibatkan karena rumput merupakan sumber energi dengan kandungan bahan kering yang lebih banyak dibandinngkan dengan leguminosa. Oleh sebab itu walaupun prosentase rumput lebih rendah pada penanaman dengan leguminosa, produksi total bahan kering hijauan di atas tanah tidak berbeda nyata. Sementara itu, penanaman leguminosa pada perlakuan ini meningkatkan kandungan protein kasar hijauan (Tabel 5.7) dan juga meningkatkan produksi total protein kasar hijauan (Tabel 5.6). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Sanchez (1993), dimana dinyatakan bahwa peranan leguminosa dalam sistem asosiasi adalah untuk memberi tambahan nitrogen kepada rumput dan memperbaiki kandungan hara secara menyeluruh pada padang penggembalaan terutama protein, fosfor dan kalium. Sementara itu, leguminosa yang berbeda mempunyai kemampuan untuk berkompetisi yang berbeda, dan sangat ditentukan oleh sistem perakaran, lebar daun, dan sifat morfologis lainnya. Pada tanaman leguminosa, penampilan dan juga hasil akhir selain dipengaruhi oleh sifat genetika dan lingkungan serta interaksi keduanya, juga dipengaruhi oleh efek dari rhizobium yang banyak terdapat dalam bintil akar. Kebanyakan leguminosa bergantung kebutuhan nitrogennya kepada N hasil fiksasi bukan dari N inorganik. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi pertumbuhan leguminosa itu sendiri, sehingga N inorganik yang terdapat dalam tanah dapat dimanfaatkan oleh tanaman lainnya (Sanchez, 1993). Hal ini lah yang mendorong lebih tingginya produksi pastura campuran. Selain itu sistem penanaman campuran akan menghasilkan pakan yang berkualitas karena komposisi pakan ruminansia yang baik tersusun dari rumputrumputan dan leguminoa (Dubbs, 1971). Perbaikan kualitas hijauan selanjutya akan meningkatkan daya tampung dan produktivitas ternak. Di beberapa tempat yang telah mengembangkan padang rumput campuran leguminosa, daya tampung ternak dapat ditingkatkan 5-6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan padanng rumput alamiahpada pemotongan kedua, terjadi kecenderungan yang sama seperti pada pemotongan pertama. Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah cenderung menurun yang diakibatkan oleh pemotongan (pengaruh pemotongan tidak dianalisis secara statistik), yang menunjukkan centro dan calopo, terutama calopo (Tabel 5.4) tidak tahan terhadap pemotongan yang terlalu cepat (umur 6 mingggu setelah pemotongan pertama) dan pemotongan yang terlalu rendah (5 cm di atas tanah). Selain itu, perakaran juga berperan dalam hal ini, dimana dengan perakaran yang bagus maka tanaman akan dapat lebih berkompetisi dalam menyerap unsur hara, air dan pada leguminosa, aerasi yang bagus pada tanah juga akan sangat mempengaruhi aktivitas nodul, sehingga akan mempengaruhi juga kemampuannya dalam memfiksasi N bebas (Sanchez, 1993). Pada pemotongan kedua, cara persiapan lahan dengan herbisida memberikan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah yang tidak berbeda nyata dengan tanpa persiapan lahan, dan jenis leguminosa centro memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan calopo dan tanpa penanaman leguminosa. (Tabel 5.2). Hal ini diakibatkan karena pada persiapan lahan dengan Prosiding Semnas II HITPI Page 213

31 herbisida yang ditanami dengan leguminosa produksi bahan kering rumputnya hampir sama dengan pada persiapan lahan tanpa olah tanah (Tabel 5.4), tetapi untuk produksi bahan kering leguminosa pada persiapan lahan dengan herbisida pada penanaman centro memberikan hasil yang berbeda nyata. Hal inilah yang mengakibatkan produksi total bahan kering hijauan di atas tanah, pada persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami centro memberikan hasil yang paling tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penanaman leguminosa dan cara persiapan lahan mampu menekan pertumbuhan rumput dibandingkan dengan tanpa olah tanah. Tanpa penanaman leguminosa, prosentase rumput masih tingggi tetapi dengan penanaman leguminosa prosentase rumput berkurang baik pada pemotongan pertama maupun pada pemotongan kedua. Calopo, pada pemotongan pertama mempunyai daya menekan pertumbuhan rumput yang lebih tinggi dibandingkan dengan centro. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa centro lebih tahan terhadap pemotongan. Reksohadiprodjo (1994) menyatakan bahwa centro adalah leguminosa dengan sifat tumbuh yang agresif, tumbuhnya merayap dan membelit dengan batang-batang yang dapat mengeluarkan akar dari tiap ruas batangnya, sehingga dapat menghindari dari tertutupnya oleh bayangan tanaman yang tumbuh bersamanya, dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Centro merupakan tanaman leguminosa tahunan yang lebih tahan terhadap pemotongan jika dibandingkan dengan calopo (Skerman, 1988). Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap kualitas hijauan (kandungan bahan organik dan kandungan abu) kecuali terhadap kandungan protein kasar hijuan (Tabel 5.7). Pada semua perlakuan dihasilkan kandungan protein kasar di atas 7% yang merupakan kandungan protein kasar kritis pada hijauan pakan ternak. Penanaman leguminosa nyata meningkatkan kandungan protein kasar hijauan dibandingkan dengan tanpa ditanami leguminosa (Tabel 5.7). Cara persiapan lahan dengan herbisida menghasilkan hijauan dengan kandungan protein kasar yang tertinggi, tetapi tidak berbeda dengan antara leguminosa centro dan calopo. Semakin besar persentase leguminosa, maka kandungan protein kasar akan semakin besar dan semakin banyak prosentase rumput akan semakin menurunkan kandungan protein hijauan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Miller (1984) dan Reksohadiprodjo (1994) yang menyatakan bahwa leguminosa mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik daripada rumput, memiliki kandungan protein kasar, kalsium dan fosfor yang lebih tinggi, dan seringkali mempunyai nilai serat kasar yang lebih rendah. Sementara itu, Mc Illroy (1977) menyatakan bahwa tingkat dan stadia pertumbuhan tanaman erat kaitannya dengan perbaikan kualitas pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa nilai gizi jenis hijauan makanan ternak dipengaruhi oleh perbandingan daun/batang, fase pertumbuhan, kesuburan tanah dan pemupukan, serta keadaan iklim. Lebih lanjut, Djuned, dkk. (1980) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi kimia hijauan diantaranya adalah faktor tanaman meliputi umur, jenis dan bagian tanaman. Daun mempunyai nilai protein yang lebih tingggi dibandingkan dengan batang, karena pada batang lebih banyak mengandung serat kasar dibandingkan dengan daun. Produksi total bahan kering hijauan di atas tanah dan kandungan protein Prosiding Semnas II HITPI Page 214

32 kasar hijauan akan mempengaruhi produksi total protein kasar di padang rumput alami. Produksi total protein kasar yang tertinggi diperoleh pada cara persiapan lahan dengan herbisida yang ditanami dengan centro pada pemotongan pertama dan kedua.(tabel 5.1). Produksi total protein kasar berkorelasi erat dengan produksi bahan kering leguminosa. Semakin banyak jumlah bahan kering leguminosa pada hijauan akan semakin meningkatkan produksi total protein kasar, dan dengan semakin banyaknya rumput maka akan mengakibatkan semakin rendahnya produksi total protein kasar. Selain itu produksi total protein kasar juga berkorelasi erat dengan nodul yang terbentuk. Nodulasi leguminosa juga dapat mempertahankan tingginya konsentrasi protein pada rumput, sehingga keberadaan leguminosa dalam hijauan akan memberikan pakan yang lebih baik bagi ternak (Skerman,1977). Penanaman centro pada perbagai cara persipan lahan, mampu meningkatkan produksi total protein kasar mendekati dua kali lipat pada penanaman calopo. Hal ini disebabkan karena setelah defoliasi calopo lebih lambat tumbuh kembali dibandingkan dengan centro. Kompetisi yang terjadi setelah defoliasi, antar spesies tanaman yang berbeda atau pada spesies yang sama meliputi banyak faktor. Penampilan spesies tanaman yang berbeda dalam asosiasi yang berbeda dari sangat depresif, depresif hingga menunjukkan interaksi yang tidak menguntungkan. Kompetisi akhirnya akan mengurangi jumlah faktor yang esensial bagi masing-masing individu. Berhasilnya tanaman dalam kompetisi tergantung pada kedalaman dan distribusi akar, lebar daun dan sifat genetik (Donald,1963). Rumput merupakan tanaman C 4 yang lebih efisien dalam memanfaatkan sinar matahari, CO 2 dan lebih efisien dalam penggunaan air, karena mempunyai sistem perakaran yang lebih luas dibandingkan dengan C 3 (Sastroutomo, 1990). Hal tersebutlah yang akan membatsi pertumbuhan leguminosa setelah pemotongan. Selanjutnya Mc.Illroy (1977) menyatakan bahwa penekanan ini disebabkan penaungan rumput dan persaingan akar dalam menyerap unsur hara di dalam tanah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Terjadi interaksi antara cara persiapan lahan dengan jenis leguminosa dalam hal produksi dan kualitas hijauan di padang rumput alami. 2. Jenis leguminosa yang lebih mampu menghasilkan bahan kering yang lebih tingggi terutama pada pemotongan kedua adalah Centrosema pubescens Benth. 3. Penanaman leguminosa mampu meningkatkan produksi total bahan kering dan kualitas hijauan di padang rumput alami. 4. Cara persiapan lahan dengan menyemprotkan herbisida sistemik yang berbahan aktif glyphosate setelah dipotong terlebih dahulu, merupakan cara yang paling tepat dalam menanam leguminosa di padang rumput alami. Prosiding Semnas II HITPI Page 215

33 Saran 1. Dalam upaya meningkatkan ketersediaan pakan ternak yang berkualitas, maka dapat dilakukan dengan mengintroduksikan leguminosa Centro kedalam pastura alami dengan cara persiapan lahan menggunakan herbisida 2. Perlu dilaksanakan penelitian yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil yang lebih tepat misalnya selama satu tahun, untuk melihat kemampuan produksi padang rumput baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. DAFTAR PUSTAKA Alison, M.W. and W.D. Pitman Legumes Use in Pastures. Louisiana Agriculture 38 : Bahar,S., S. Hardjosoewignjo, I. Kismono, dan O. Haridjaja Perbaikan padang rumput alam dengan introduksi leguminosa dan beberapa cara pengolahan tanah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 4 (3) : Bayer, W Nappier Grass-A Promising Fodder for Smallholder Livestock Production in the Tropics. Plant Research and Development. p Bogdan, A. V Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and Legumes). Longman,London and New York. Crowder, L. V. and H.R. Cheda Tropical Grassland Husbandry. First Publ. Longman, London, New York. P Djuned H, M.H.D.Wiradisastra, T.Aisyah dan Ana Rochana Tanaman Makanan Ternak. Bagian Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung, Dubbs,A.I Competition between grass and legumes spesies on dryland. Agron.J. 63 : Donald, C.M Competition among crop and pasture plants. Adv.Agron Humphreys, L A Guide to Better Pasture for the Tropics and Subtropics. Revised 4 th. Wright Stephenson & Co. Australia. Mendra, I. K Evaluasi Penyediaan Hijauan Makanan Ternak di Delapan Kabupaten di Bali. Tim Ahli Ilmu Makanan Ternak UNUD bekerjasama dengan Dinas Peternakan Propinsi Bali. Miller, D. A Forage Crops. Mc Graw-Hill Book Company, New York. Nurjaya, I.G.M.O Studies on management of Imperata cylindrica (L) Beauv. for oversowing pasture legumes. (Thesis). University of New England. Reksohadiprodjo, S Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Reynolds S.G Pasture Cattle-Coconut Systems. Food and Agriculture Organzation of The United Nations regional Office for Asia and the Pasific (Rapa). Bangkok, Thailand. Sanchez P.A Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 2. Terjemahan Amir Hamzah. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung. Sarief. S Ilmu Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana. Jakarta. Prosiding Semnas II HITPI Page 216

34 Skerman, P. J Tropical Forage Legumes. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Steel, R. G. dan J.H. Torrie Principles and Procedur of Statistic. Mc Graw-Hill Book Company. New York. Suarna I W Pengaruh pupuk organik kascing terhadap pertumbuhan, hasil dan kualitas hijauan dalam sistem asosiasi rumput leguminosa serta dampaknya terhadap prestasi kambing PE jantan. (Disertasi). Bandung. Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. t Mannetje, L. and R.M. Jones Plant Resources of South-east Asia, Forages. No.4. Prosea, Bogor. Indonesia. Whiteman, P.C. ;L. R. Humphreys; N. H. Nonteith; E. H. Holt; P. M. Bryant and J.E. Slater A Course manual In A Tropical Pasture Science. A.A.U.C.S. Brisbane, Australia. Whiteman, P.C Tropical Pasture Science. Oxford University Press, Oxf. Prosiding Semnas II HITPI Page 217

35 PEMANFAATAN LIMBAH DALAM SISTEM INTEGRASI TERNAK UNTUK MEMACU KETAHANAN PAKAN DI PROVINSI ACEH Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh ABSTRAK Provinsi Aceh merupakan daerah prioritas penyumbang ternak sapi potong yang memberi kontribusi terhadap penyediaan daging untuk konsumsi dalam daerah dan memberi pendapatan yang cukup tinggi 25,5%. Akan tetapi akhirakhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya sangat lambat, sehingga terjadi penurunan populasi ternak mencapai 1,25%. Salah satu penyebabnya yaitu rendahnya daya reproduksi terutama pada usaha peternakan rakyat akibat dari terbatasnya ketersediaan pakan. Penelitian ini bertujuan untuk ; 1). Meningkatkan produksi dan produktivitas ternak untuk mencukupi kebutuhan daging 2). mendapatkan teknologi pakan yang berasal dari limbah pertanian (padi dan kakao) sebagai sumber hijauan pakan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Bireuen. Ternak sapi di kelompokkan atas berdasarkan umur dan bobot hidup. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Nilai ekonomis ransum dihitung menggunakan R/C ratio. Design perlakuan pakan sebagai berikut : A 0 =Perlakuan Petani dan A 1 = 50% jerami padi fermetasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat ; A 2 = 50% kulit kakao fermentasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat. Peubah yang diamati adalah: Pertambahan bobot badan harian, konsumsi dan analisis ekonomi (B/C ratio). Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian A 0 sebesar 0,759 kg, A 1 sebesar 0,801 kg dan A 2 sebesar 0,675 kg. Nilai B/C ratio A o sebesar 1,48 ; A 1 sebesar 1,55, dan A 2 sebesar 1,39. Kata kunci: integrasi, sapi, jerami padi, kulit kakao, ketahanan pakan PENDAHULUAN Kebijakan pembagunan peternakan di Provinsi Aceh dewasa ini lebih ditekankan pada upaya untuk menyongsong kecukupan daging Salah satu faktor yang dominan pada keberhasilan pengembangan ternak adalah ketersediaan sumber pakan baik secara kuantitas maupun kualitas. Provinsi Aceh sebagai salah satu Provinsi yang memiliki ternak sapi lokal dengan populasi sebesar 587,122 ekor memiliki potensi lahan pertanian berupa perkebunan, antara lain kebun kakao 105,625 ha dan lahan sawah 352,201 ha. Kedua komoditi tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Akan tetapi akhir-akhir ini laju pengembangan dan pertumbuhannya sangat lambat, sehingga terjadi penurunan populasi ternak mencapai 1,25% (Dinas Peternakan Prov. NAD, 2009). Hambatan utama petani ternak khususnya dalam peningkatan populasi ternak yaitu terbatasnya pakan. Perluasan areal untuk penanaman rumput sebagai pakan ruminansia sangat sulit, karena alih fungsi lahan yang sangat tinggi. Mengingat sempitnya lahan penggembalaan, maka usaha pemanfaatan sisa hasil (limbah) pertanian untuk pakan perlu dipadukan dengan bahan lain yang sampai saat ini belum biasa digunakan sebagai pakan. Salah satu sistem usaha tani yang dapat mendukung pembangunan Prosiding Semnas II HITPI Page 218

36 pertanian di wilayah pedesaan adalah sistem integrasi tanaman ternak. Ciri utama dari pengintegrasian tanaman dengan ternak adalah terdapatnya keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan ternak. Keterkaitan tersebut terlihat dari pembagian lahan yang saling terpadu dan pemanfaatan limbah dari masing masing komponen. Saling keterkaitan berbagai komponen sistem integrasi merupakan faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang berkelanjutan (Pasandaran, Djajanegara, Kariyasa dan Kasryno, 2005). Sistem integrasi tanaman ternak terdiri dari komponen budidaya tanaman, budidaya ternak dan pengolahan limbah. Penerapan teknologi pada masingmasing komponen merupakan faktor penentu keberhasilan sistem integrasi tersebut. Agar sistem integrasi berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan produktifitas pertanian maka petani harus menguasai dan menerapkan inovasi teknologi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003). Berdasarkan peluang dan permasalahan yang ada Balai Penelitian Teknologi Pertanian Aceh sebagai ujung tombak Badan Litbang Pertanian yang ada di daerah dapat memberi dukungan yang signifikan terhadap keberhasilan program Kementerian Pertanian. Terobosan yang dilakukan melalui keterpaduan sub sektor yang saling berkaitan antara ternak dan tanaman secara bersinergis dari hasil limbah yang dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan peternak yang berwawasan agribisnis. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak untuk mencukupi kebutuhan daging dan mendapatkan teknologi pakan yang berasal dari limbah (kakao, jerami padi) sebagai sumber hijauan dan ketahanan pakan serta bersifat agribisnis. Metodologi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Bireuen dari bulan Februari sampai dengan Desember MATERI DAN METODE Ternak sapi di kelompokkan atas dasar umur dan bobot hidup menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan dan 3 perlakuan. Adapun pakan perlakuan sebagai berikut : A 0 = Perlakuan Petani A 1 = 50% jerami padi fermetasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat A 2 = 50% kulit kakao fermentasi + 50% hijauan pakan + 1% konsentrat Persiapan bahan biomas (jerami padi dan kulit kakao) Proses biomas kulit buah kakao dihaluskan dengan pemakaian alat, kemudian difermentasikan dengan bantuan stater starbio dan didiamkan selama 21 hari, untuk proses biomas jerami padi yang sudah dipanen difermentasikan selama 21 hari dengan bantuan stater probion. Sebelum diberikan perlakuan, terlebih dahulu ternak ditimbang dengan bobot badan kg/ ekor. Setiap ternak Prosiding Semnas II HITPI Page 219

37 diberikan vitamin dan obat cacing. Dilakukan adaptasi selama 10 hari dengan bahan pakan yang akan diuji. Setiap 10 hari ternak ditimbang. Pakan diberikan sebanyak 10% dari bobot badan. Konsentrat diberikan setiap pagi bersama dengan mineral blok. Peubah yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan analisis ekonomi (B/C ratio) berdasarkan nilai input dan output. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik di Kabupaten Bireuen Desa Juli Mee Tengoh merupakan salah satu desa di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen dengan luas wilayah 207 Ha. Jarak desa ke ibukota kecamatan 3,5 km dan jarak desa ke ibukota kabupaten 5,5 km. Desa ini mudah dikunjungi karena transportasi dan sistem komunikasi relatif lancar. Batasan desa adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Meunasah Teungoh Sebelah Timur berbatasan dengan Blang Keutumba Sebelah Selatan berbatasan dengan Bate Raya, Peuraden Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Gunci Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Juli Mee Teungoh sangat beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani. Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan ditanam adalah kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura berupa rambutan dan pisang. Adapun komoditas ternak yang banyak diusahakan adalah sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik. Karakteristik Fisik di Kabupaten Aceh Timur Desa Lhok Asahan merupakan salah satu desa di Kecamatan Idi Timur Kabupaten Aceh Timur dengan luas wilayah 230 Ha. Jarak desa ke ibukota kecamatan 1,5 km, dan jarak desa ke ibukota kabupaten 6,5 km. Batasan desa adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Seunebok Kuyun Sebelah Timur berbatasan dengan Meunasah Jempa Sebelah Selatan berbatasan dengan Keutapang Dua Sebelah Barat berbatasan dengan Seunebok Tengoh Karakteristik Usahatani dan Jenis Usahatani Usahatani yang dikelola oleh masyarakat di Desa Lhok Asahan sangat beragam dimana umumnya petani mengelola lebih dari satu jenis usahatani. Beberapa jenis komoditas utama yang diusahakan masyarakat adalah tanaman semusim seperti padi, sayuran dan cabe. Jenis tanaman perkebunan yang dominan ditanam adalah kelapa sawit, kakao, pinang, dan kelapa. Tanaman hortikultura berupa rambutan dan pisang. Adapun komoditi ternak yang banyak diusahakan adalah sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik. Susunan dan komposisi pakan sesuai dengan pemberian saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Prosiding Semnas II HITPI Page 220

38 Tabel 1. Susunan pakan berdasarkan bahan kering Bahan pakan Susunan Formulasi ransum (%) A 0 A 1 A 2 Hijauan jerami padi fermentasi kulit kakao fermentasi Konsentrat Total Tabel 2. Komposisi bahan pakan sesuai jumlah yang diberikan (kg) Bahan pakan Susunan Formulasi Ransum (kg) A 0 A 1 A 2 Hijauan jerami padi fermentasi kulit kakao fermentasi Konsentrat Total Pertambahan Bobot Badan Selama Penelitian Rata-rata pertambahan bobot badan sapi selama penelitian 90 hari perlakuan A 0 (perlakuan petani) sebesar g/ekor/hari, perlakuan A 1 (pemakaian 50% jerami padi permentasi tambah 50% hijauan tambah 1% konsentrat) sebesar g/ekor/hari dan perlakuan A 2 (kulit buah kakao permentasi hijauan tambah 1% Konsentat) sebesar g/ekor/hari. Dari hasil data penelitian yang diperoleh A 0, A 1, dan A 2 secara statistik menunjukkan perbedaan tingkat pertambahan bobot badan ternak sapi yang nyata terutama antara perlakuan petani (A 0 ) dengan perlakuan penambahan bahan pakan hasil fermentasi yaitu A 1 dan A 2. Namun perbedaan pertambahan bobot bobot badan ternak sapi yang diberikan pakan perlakuan hasil fermentasi antara A 1 dengan A 2 memperlihatkan selisih yang tidak terlalu jauh. Hal ini disebabkan karena pengaruh hasil proses fermentasi jerami padi (A 1 ) yang menunjukkan serat-seratnya sudah terurai semua sehingga memberikan daya cerna lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan petani maupun perlakuan penambahan kulit buah kakao difermentasi. Tingkat daya cerna pakan yang dikonsumsi dapat menunjukkan tingkat tinggi rendahnya penambahan bobot badan, karena dapat memberikan gambaran seberapa banyak pakan yang dikonsumsi ternak dapat diserap oleh pili-pili usus untuk membentuk otot daging dan tidak banyak di buang dalam bentuk feses. Fitriani (2003) menyatakan bahwa perlakuan amoniasi jerami padi dengan aditif mikroba dapat meningkatkan nilai kecernaan NDF dan hemisellulosa rumput. Tabel 3. Rataan Pertambahan Bobot Badan Sapi Selama Penelitian (gram/ekor/hari) Ulangan Perlakuan Total Rata-rata A a A c A b Ket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar perlakuan berbeda nyata (P>0,05) Prosiding Semnas II HITPI Page 221

39 Konsumsi Ransum Selama Penelitian Pemberian pakan pada sapi ini sebanyak 10% dari bobot badan. Perlakuan bahan pakan yang disusun terdiri dari tiga macam perlakuan yaitu ; perlakuan A 0 : pemberian pakan dilakukan oleh petani peternak atau perlakuan petani berupa hijauan segar 100%, perlakuan A 1 : (50% Hijauan, 50% jerami padi difermentasi, 1% konsentrat), dan perlakuan A 2 : (50% Hijauan, 50% kulit buah kakao difermentasi, 1% konsentrat). Selama penelitian pakan yang diberikan semua habis dimakan oleh ternak sapi tidak ada yang tersisa. Berdasarkan jumlah perhitungan 10% dari bobot badan menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu jauh antara perlakuan A 0 dengan perlakuan memakai bahan pakan hasil fermentasi yaitu ; perlakuan A 1 dan perlakuan A 2 dari jumlah pemberian pakan per-hari sampai akhir penelitian. Tabel 4. Jumlah konsumsi pakan per-individu ternak selama penelitian 90 hari (kg) Ransum Perlakuan Bahan Pakan A0 A1 A2 Pemberian Pada Ternak Sisa pakan yang di Konsumsi Jumlah Konsumsi Pakan Konsumsi pakan selama penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan A 0 mengkonsumsi pakan sebanyak kg, perlakuan A 1 sebanyak 1692 Kg, dan perlakuan A 2 sebanyak kg. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa tingkat konsumsi pakan perlakuan A 1 dan A 2 lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan A 0. Disebabkan karena tingkat daya cerna bahan pakan hasil fermentasi terutama kulit buah kakao dan jerami padi sehingga dimanfaatkan oleh ternak. Menurut Zainuddin (1995), kulit buah kakao mengandung 16.5% protein dan 9.8% lemak dan setelah dilakukan fermentasi kandungan protein meningkat menjadi 21.9% serta mampu menurunkan kadar serat kasar dari menjadi 10.15%. Konsumsi pakan ditentukan oleh, kualitas pakan dan frekuensi pemberian pakan yang memberikan pengaruh besar terhadap pertambahan bobot badan dan biaya produksi selama pemeliharaan sapi atau penelitian berlangsung. Walaupun seekor ternak memiliki potensi genetik tinggi, akan tetapi apabila tidak didukung oleh makanan yang baik mutu dan cukup jumlahnya, maka ternak kurang dapat menampilkan potensi tersebut. Analisa ekonomi (B/C Ratio) Telah diketahui bahwa pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam suatu usaha peternakan baik itu ternak ruminansia maupun non ruminansia. Oleh karena itu biaya pakan perlu ditekan serendah mungkin agar diperoleh pendapatan yang lebih baik atau setinggi mungkin. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan biaya produksi selama penelitian, dimana semakin besar produksi yang dihasilkan semakin besar pula penerimaannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan analisis ekonomi (B/C ratio) adalah: konsumsi ransum, bobot badan akhir, harga beli sapi, harga lainya dianggap sama. Hasil produksi dan keuntungan selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Prosiding Semnas II HITPI Page 222

40 Tabel 5. Hasil produksi ternak sapi selama penelitian 90 hari Perlakuan Bobot Badan Awal PBB Bobot Badan Akhir Harga Karkas Rp/Kg Penerimaan A Rp Rp A Rp Rp A Rp Rp Tabel 6. Keuntungan bersih selama penelitian 90 hari Perlakuan Penerimaan Biaya produksi Keuntungan (Rp) (Rp) A 0 Rp Rp Rp A 1 Rp Rp Rp A 2 Rp Rp Rp Pemanfaatan limbah hasil pertanian (jerami padi dan kulit buah kakao) yang dilakukan pengolahan dengan cara fermentasi ternyata memberikan dampak positif terhadap percepatan pertambahan bobot badan ternak sapi penelitian, yang memberikan selisih tingkat keuntungan yang tinggi yang diperoleh dari masingmasing pakan pelakuan dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi tersebut. Dari hasil analisis ekonomi terhadap berbagai jenis pakan perlakuan penelitian (A 0,A 1,A 2 ) ; Pakan perlakuan A 0 biaya produksi Rp ,-, keuntungan Rp ,- dengan B/C ratio 1,48 ; Pakan perlakuan A 1 biaya produksi Rp ,-, Keuntungan Rp , -, dengan B/C ratio 1,55 ; dan pakan perlakuan A 2 Biaya produksi Rp ,-, keuntungan Rp ,- B/C ratio 1,39. Berdasarkan data hasil penelitian usaha ternak sapi tentang perhitungan analisis ekonomi menunjukkan bahwa pakan perlakuan A1 (jerami padi difermentasi), memberikan keuntungan yang lebih besar dengan biaya produksi rendah serta B/C ratio yang tinggi dibandingkan dengan pakan perlakuan penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya. Dapat disimpulkan perlakuan pakan A 1 dengan memanfaatkan jerami padi yang diolah dengan cara fermentasi dapat membantu petani ternak dalam memanfaatkan produk limbah pertanian, sehingga dapat menurunkan ketergantungan terhadap ketersediaan hijauan pakan. Pemanfaatan limbah pertanian dapat dilakukan sejalan dengan pengolahan lahan pertanian dan pengaturan penanaman hijauan makanan ternak. Pakan perlakuan yang dilakukan petani atau perlakuan petani (A 0 ) berdasarkan data tingkat analisis ekonominya lebih tinggi dibandingkan pakan perlakuan penelitian dengan penambahan bahan pakan hasil fermentasi lainnya, hal ini disebabkan karena pakan perlakuan petani jumlah biaya produksi lebih rendah dengan hanya memakai pakan hijauan saja tanpa penambahan pakan lainnya namun tidak memberikan tingkat pertambahan bobot badan yang tinggi seperti pada perlakuan penelitian dengan memakai bahan pakan hasil fermentasi lainnya (A 1 dan A2). Prosiding Semnas II HITPI Page 223

41 Biaya produksi adalah sejumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor produksi, yang digunakan dalam proses produksi, dan biaya adalah suatu nilai yang dikorbankan untuk produksi (Teken dan Asnawi, 1977). Penerimaan adalah hasil perkalian antara jumlah produksi fisik dengan harga satuan dari produksi tersebut. Dalam hal ini jelas bahwa harga dari jumlah produksi sangat menentukan besar kecilnya penerimaan (Bishop dan Toussaint, 1979). Sedangkan pendapatan adalah jumlah penerimaan total dari hasil usaha setelah dikurangi biaya riil usaha (Adiwilaga, 19820). Untuk menilai kelayakan ekonomi dari hasil penelitian maka digunakan analisa tingkat keuntungan dan rasio manfaat biaya (B/C Ratio) disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai B/C Ratio selama penelitian 90 Hari Perlakuan Penerimaan Biaya produksi (Rp) B/C Ratio A 0 Rp Rp A 1 Rp Rp A 2 Rp Rp KESIMPULAN 1. Pertambahan bobot badan sapi selama penelitian mengalami kenaikan yg signifikan dengan pemberian ransum perlakuan yang terdiri dari pakan perlakuan Hasil penelitian diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian A 0 sebesar 0,759 kg, A 1 sebesar 0,801 kg dan A 2 sebesar 0,675 kg. Nilai B/C ratio A o sebesar 1,48 ; A 1 sebesar 1,55, dan A 2 sebesar 1, Pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan seperti pelepah sawit, kulit buah kakao yang di olah dengan cara fermentasi memberikan B/C ratio yang lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan petani. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, Data Base Peternakan Provinsi Aceh. Banda Aceh. Fitriani Analisis Usaha Penggemukan Sapi Yang Diberi pakan Jerami padi Fermentasi ditambah Aktivator Mikroorganisme. Skripsi Jurusan Peternakan Unsyiah, Darussalam Banda Aceh. Pasandaran, Effendi. Djayanegara, Andi. Kariyasa, Ketut. Kasryno. Faisal Integrasi Tanaman Ternak di Indonesia. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Suharto Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp Zainuddin Kecernaan dan Fermentasi Limbah Kakao serta Manfaatnya. Kumpulan Hasil-hasil Pertanian APBN TA 94/95, Balia Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Prosiding Semnas II HITPI Page 224

42 KERAGAAN PASTURA Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick PADA SISTEM PENGGEMBALAAN DAN STOCKING RATE BERBEDA DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA Selvie D. Anis 1, M.A. Chozin 2, M. Ghulamahdi 2, Sudradjat 2 dan H. Soedarmadi 3 1 DepartemenNutrisidanMakananTernakFakultasPeternakan UNSRAT, Manado. 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. 3 DepartemenMakananTernakdanTeknologi Pakan, FakultasPeternakan IPB, Bogor. ABSTRACT Integreted pasture and livestock in coconuts based farming systems were expected to enhance the efficiency and the sustainability of land utilization. The aim of this experiment was to studies the effects of stocking rate and grazing systems on performance of pasture. This experiment was conducted at Coconut and Others Palma Research Center (BALITKA) Manado since July 2009 until June Two grazing system and three stocking rate were put on Split Plot arrangement based on Rendomized Block Design (RBD). Measured variables were number of mother plant, ground tiller, aerial tiller, weight of dry roots and crown. The results shows that all highest performances measured were found on the interaction of rotational grazing system (SP 2 ) and stocking rate 2,31 AU (SR3). Key word: performance, humidicola, grazing system, stocking rate. ABSTRAK Integrasin pastura dan ternak sapi ke dalam system pertanian berbasis kelapa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secar aberkelanjutan. Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruhstocking rate dan system penggembalaan terhadap keragaan pastura.penelitian ini telah dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak Juli 2009 sampai Juni Perlakuan terdiri dari dua sistem penggembalaan dan tiga stocking rate diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada Rancangan Acak Kelompok (RAK). Variabel yang diukur adalah jumlah tanaman induk, jumlah ground tiller, jumlah aerial tiller, bobot akar dan bobot crown. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua parameter keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan stocking rate 2,31 UT (SR3). Kata kunci : keragaan, humidicola, sistempenggembalaan, stocking rate. PENDAHULUAN Frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa bahan kering hijauan di atas tanah (Flemmer et al., 2002) dan pada tekanan penggembalaan berat akan terjadi pengurangan absorbsi unsur hara yang dapat mengancam terhadap pemulihan jaringan fotosintesis (Dawson et al., 2000), bahkan gangguan kehidupan perakaran dan kematian akar (Mousel et al., 2005). Namun demikian laporan terbaru menunjukkan naiknya frekuensi defoliasi tidak berpengaruh terhadap produksi dan dinamika akar, sebaliknya menaikan Prosiding Semnas II HITPI Page 225

43 konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar (Gittins et al.,2010). Sebelumnya, Gao et al. (2007) melaporkan bahwa penggembalaan berat 2,9 Yaks/ha menghasilkan rasio biomassa akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 Yaks/ha dan medium 2,0 Yaks/ha. Naiknya alokasi, yang biomassa komponen akar rumput adalah respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003). Ketika terjadi defoliasi atau perenggutan bagian pucuk tanaman akan menyebabkan kehilangan unsur nitrogen, yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan kedua unsur tersebut. Untuk menjaga tanaman berada dalam keadaan homeostatis, secara otomatis tanaman akan melepaskan unsur karbon ke lingkungan risosfer melalui eksudat akar (Manske, 2001; Kuzyakov, 2002; Mousel et al., 2003). Eksudat akar mengadung glukosa dan asam amino yang optimal, akan menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan bakteri (Kuzyakov, 2002). Pada umumnya rerumputan pakan tropis selalu menghasilkan biomassa hijauan berlimpah. Namun tanpa manajemen penggembalaan yang benar akan terjadi akumulasi material mati yang dapat menghambat ternak untuk merumput (Sollenberger dan Burns, 2001). Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput, dan sebagai contoh untuk jenis limpograss (Hemarthria altissima) dapat memenuhi kebutuhan ternak dan memberi keragaan ternak terbaik pada struktur pastura dengan tinggi conopy 40 cm, sebagai ukuran tinggi tanaman yang terjangkau oleh ternak untuk direnggut dengan ditandai suplai hijauan tertinggi (Newman et al., 2002). Tinggi tunggul yang tersisa 30 cm setelah digembalakan menghasilkan komponen daun lebih banyak dan memberikan efisiensi penggembalaan 80%, lebih tinggi dibandingkan 68% pada tinggi tunggul 50 cm pada rumput P. Maximum (Carnevalli et al., 2006), demikian juga dilaporkan pada jenis rumput Brachiaria yang lebih sering digembalakan, efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurang digembalakan (CIAT, 2006). Pengaruh sistem penggembalaan terhadap produksi ternak tidak sebesar pengaruh stocking rate (SR). Sistem penggembalaan rotasi dapat menyajikan hijauan yang lebih seragam, tumbuh relatif pendek tetapi berdaun muda dan bergizi, serta lebih disukai dan dipilih ternak (Mayne et al., 2000). Pada sistem penggembalaan rotasi dengan SR tinggi, memberikan kenaikkan hasil susu sapi per induk sebesar 16%, dibandingkan dengan hanya 4% pada SR rendah,demikian juga pertambahan berat badan harian ternak sapi lebih tinggi pada rumput B.humidicola dengan naiknya SR (Pereira et al., 2009). Penentu utama jumlah hijauan yang terenggut per hari oleh ternak sapi adalah bobot hijauan per renggutan.volume tersebut ditentukan oleh tinggi rendahnya kanopi pastura, sebagai akibat dari perbedaan SR (Newman et al., 2002; Carnevalli et al., 2006) dimana tinggi kanopi pastura antara 8-10 cm memberikan hasil pertambahan berat badan lebih tinggi (Mayne et al, 2000). MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan ini dilaksanakan di lapang pada kebun percobaan Balai Prosiding Semnas II HITPI Page 226

44 Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) di Desa Paniki Bawah, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Secara geografis terletak pada 01 o 30 LU, dan pada 124 o 54 BT, dengan tinggi tempat 67 meter dpl. Penelitian ini dimulai Juli 2009 sampai Juni Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalahbibit tanaman B.humidicola, lahan pertanaman kelapa berumur 50 tahun, jarak tanam 9 9 m sesuai lahan yang tersedia, luas lahan keseluruhan termasuk lahan cattle yard tempat diletakan timbangan ternak seluas 6 Ha, tetapi untuk penggembalaan seluas 5,76 Ha. Ternak sapi sebanyak 36 ekor dengan berat badan awal kg, yang deberikan suntikan subcutan dengan Ivomec (kontrol Endo dan Ecto parasit ternak sapi). Alat yang digunakan adalah : traktor dan garuk, cangkul dan parang, timbangan ternak digital kapasitas 1000 kg, termometer suhu udara maksimum minimum Model Weatherguide TM System, Taylor Precision Products, Oak Brook, IL Metode Dalam percobaan ini perlakuan yang akan diuji adalah dua sistem penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP 1 ) dan penggembalaan rotasi pada tahap perkembangan tanaman rumput mencapai 3,5 daun dewasa yang dihitung berdasarkan akumulasi unit panas sebesar 456 DD (SP 2 ), dan stocking rate (SR) terdiri atas 0,77 UT/pedok (SR 1 ), 1,54 UT /pedok (SR 2 ), dan 2,31 UT/pedok (SR 3 ). Percobaan ini menggunakan pola petak terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK). Variabel yang diukur Keragaan pastura yang diukur meliputi produksi biomassa (bobot kering), jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground dan aerial tiller) dengan mengikuti prosudur pengambilan sampel menurut petunjuk Busque dan Herero (2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan percobaan ini untuk mempelajari bagaimana mekanisme persistensi rumput B. humidicola setelah digembalai. Untuk itu beberapa variabel keragaan pastura telah diukur yang dapat menjadi indikator persistensi setelah penggembalaan yaitu jumlah tanaman induk, jumlah anakan (ground tiller dan aerial tiller), bobot akar dan crown. Tanaman Induk Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata SP dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP 2 SR 3 (12,22 tanaman), lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan interaksi lainnya. Sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah diperoleh pada interaksi SP 2 SR 1 sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih rendah dari interaksi lainnya. Prosiding Semnas II HITPI Page 227

45 Tabel 1. Pengaruh interaksi perlakuan system penggembalaan dan stocking rate terhadap keragaan pasture B.humidicola. Parameter Interaksi Aerial Ground Bobot Tanaman Induk Crown Tiller Tiller Akar SP 1 -SR 1 SP 1- SR 2 SP 1- SR 3 SP 2- SR 1 SP 2- SR 2 SP 2- SR 3 6,22 b 6,44 b 9,22 b 2,66 c 7,00 b 12,22 a 13,22 b 18,78 b 26,55 a 3,67 c 14,00 b 27,89 a 16,55 a 9,78 b 7,33 b 12,77 a 4,55 b 1,11 c 4,35 c 5,48 b 6,06 b 4,07 c 5,80 b 11,09 a 5,11 c 6,99 b 9,78 b 3,48 c 9,01 b 14,34 a Ket : angka yang diikuti huruf tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata P<0,05 Anakan/Ground Tiller. Jumlah anakan (ground tiller) tertinggi pada interaksi SP 2 SR 3 (27, 89) dan SP 1 SR 3 (26, 55) dimana keduanya berbeda nyata lebih tinggi dari interaksi lainya, tetapi keduanya tidak berbeda nyata. Sedangkan jumlah anakan yang paling rendah diperoleh pada interaksi SP 2 SR 1 (3,67) dan nyata lebih rendah dari interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan pada interaksi perlakuan SP 2 SR 3 tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar biomassa hijauan terenggut oleh ternak, sehingga terjadi pengurangan phytomas berupa mulsa dan material mati (Schuman et al., 1999). Kondisi ini memungkinkan penetrasi cahaya yang cukup dan meningkat kankecepatan pertukaran CO 2 melalui proses fotosintesis (Lecain et al., 2000; Bremer et al., 1998), dan terjadi peningkatan suhu udara mikroklimat dekat permukaa ntanah yang merangsang pertumbuhan pucuk baru dari crown (McMaster et al., 2003). Selanjutnya aktivitas fotosintesis meningkat pada bagian tanaman yang tidak terdefoliasi karena naiknya rasio akar tajuk yang bersinergi dengan naiknya intesitas penyinaran akibat lingkungan pastura semakin terbuka (Schnyder dan de Visser, 1999; Thornton et al., 2000). Hasil penelitian Zhang et al. (2011) menunujukkan bahwa penggembalaan berdampak positif terhadap perkecambahan, dimana pada pedok yang digembalai kumulatif perkecambahan meningkat 77%, sedangkan yang didefoliasi secara mekanik (mowing) peningkatan tersebut hanya 59%. Peningkatan jumlah kecambah yang tumbuh tersebut berkorelasi positif dengan temperatur tanah lapisan atas (Wang et al., 2003). Pada pastura yang tidak digembalakan vegetasi rumput akan menutupi permukaan tanah sehingga membatasi masuknya cahaya matahari yang akan menentukan tinggi rendahnya suhu tanah lapisan atas (Huang dan Gutterman, 2004; Romo, 2004). Anakan/Aeriel tiller. Jumlah anakan (aerial tiller) tertinggi pada interaksi SP 1 SR 1 (16,55) dan SP 2 SR 1 (12,77). Keduanya tidak berbeda nyata, tetapi nyata dibandingkan dengan interaksi lainnya. Selanjutnya jumlah aerial tiller terendah dihasilkan oleh interaksi SP 2 SR 3 sebanyak 1,11 anakan. Hal ini disebabkan sebagian besar pucuk tanaman terenggut oleh ternak sehingga kurang kemungkinan menghasilkan aerial tiller (Busque dan Herrero, 2001). Bobot Akar dan Crown. Akar sebagai representasi sumber cadangan energy pada bagian tanaman di bawah tanah, dan dengan biomassa yang besar Prosiding Semnas II HITPI Page 228

46 dapat memberikan kontribusi lebih banya unsur C dan N ke dalam tanah (Mouselet al, 2003). Bobot akar seberat 11,09 g dan bobot crown sebanyak 14,34 g dihasilkan pada perlakuan SP 2 SR 3 (Gambar), dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya. Pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar bila frekuensi defoliasi meningkat (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot akar dan crown yang kami peroleh pada penelitian ini merupakan respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003). Hal ini penting mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padangrumput. Gao et al. (2007) melaporkan bahwap enggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium 2,0 yaks/ha. Hasil bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP 2 SR 3 sebanyak 11,09 g. Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa pada sistem penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan pada sistemp enggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada system penggembalaan rotasi tanman diberi kesempatan untuk bertumbuh kembali optimal. Dalam perkembangan tanaman, naiknya proporsi pucuk selalu diimbangi dengan perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh Gittins et al. (2010) yang menunjukkan bahwa defoliasi yang berat tidak berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown, kecepatan rekrutmen akar dan tingkat hidup akar rumput Poa ligularis. Penulis tersebut mengatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis rerumputan yang tergolong persisten sebagai padang penggembalaan. Kemungkinan lain dari hasil penelitian kami adalah bahwa rumput B.humidicola semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horinsontal ke stolon. Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman rumput tidak tergantung sepenuhnya cadangan energi yang berasal dari akar dan crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007). KESIMPULAN Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : Semua keragaan pastura yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP 2 ) dan stocking rate tiga (SR 3 ). Prosiding Semnas II HITPI Page 229

47 DAFTAR PUSTAKA Baruch, Z., O. Guenni Irradiance and defoliation effects in three species of the forage grass Brachiaria. Tropical Grassland 41: Busque.J., M. Herrero Sward structure and patterns of defoliation of signal gass (Brachiariadecumbens) pastures under different cattle gazing intensities. Tropical Gassland 35: Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca under four grazing managements. Tropical Grassland 40: Carnevalli R.A., S.C. Da Silva., A.A.O. Bueno., N.G. Silva., J.P.G Morais Herbage production and grazing losses in Panicum maximumcv. Mombaca under four grazing managements. Tropical Grassland 40: Centro InternationaleAgicultureTropicale (CIAT) Exploiting biological nitrification inhibition in agiculture. Dawson, L.A., S.J. Gayston., E. Paterson Effects of gazing on the roots and rhizosphere of gasses. GasslandEcaophysisolgy and GazingEcoalogy. (Ed) G. Lemaire et al. CAB International. Flemer, A.C., C.A. Busso., O.A. Fernandez., T. Montani Root gowth, appearance and disappearance in perennial gasses: Effects of the timming of water stress with or without defoliation. Canadian Journal of Plant Science. 82: Gao, Y.H., P. Luo., N. Wu., W. Chen., G.X. Wang Gazing intensity impacts on carbon sequestration in an Alpine Meadow on the Eastern Plateau. Research J. Agi and Biology Sci. 3 (6): Gittings,C., C.A. Busso., G, Becker., L. Ghermandi., G. Siffredi Defoliation frequency affects morphophysiological traits in the bunchgasspoaligularis. Int. J. Exptl Botany 79: Gomez, A.A and A.A. Gomez ProsedurStatistikuntukPenelitianPertanian. (Edisi II). PenerbitUniversitas Indonesia. Huang, Z., Y. Guttreman Seedling desiccation tolerance of Leymusracemous(Poaceae) (wild rye) a perennial sand-dune grass inhabiting the Junggar Basin of Xinjiang, China. Seed Sci. Res. 2(14): Kuzyakov,Y Factor affecting rhizosphere priming effects.j.plantnut. SoilSci 165: Lecain, D.R., Morgan, J.A., Schuman, J.D and H. Hart Carbon exchange rates gazed and ungazed pastures of Wyoming. J. Range Management. 53: Manske,L.L Well-Timed gazing can stimulate gassgowth and tiller development.north Dakota State University-NDSU Agiculture Communication. hhtp:// Mayne, C.S,.Wright, I.A and G.E.J. Fisher Gassland management under gazing and animal respons. In: Gass Its Production and Utilization. Third Edition.Edited by Alan Hopkins. Institute of Gassland and Environment Research, North Wyke, Okehampton, Devon, UK. Blackwell Science Ltd. McMaster, G.S., W.W.Wilhelm., D.B.Palic., J.R. Porter., P.D. Jamieson Prosiding Semnas II HITPI Page 230

48 Spring wheat leaf appearance and temperature: Extending the Paradigm? Annals of Botany 91: Mousel, E.M., W.H. Schacht., C.W. Zanner., L.E. Moser Effects of Summer gazing strategies on organic reserves and root characteristics of Big Bluestem. Crop Sci. 45: Newman,Y.C., Sollenberger.L.E., Kunkle.W.E and C.G. Chambliss Canopy height and nitrogen supplementation effects on performance of Heifersgazinglimpogass. Agon.J.94: Pereira, J.M., Tarre, R.M., Macedo, R and R.M. Boddey Productivity of B.humidicola pastures in Atlantic forest region of Brazil as affected by stocking rate and the presence of a forage legume. Nutr. Cycl. Agoecosyst 83 : Romo, J.T Establishing winterfat in praire restorations in Saskatchewan. Can. J. Plant Sci. 84: Schnyder.H and R.de Visser Fluxes of reserve-derived and currently assimilated C and N in perennial Ryegrass recovering from defoliation. Plant Physiol.199: Sollenberger, L.E dan J.C. Burns Canopy characteristics, ingestivebehaviour and herbage intake in cultivated tropical grasslands. In: Proc. Int Cong., 19 th. Sao Pedro, Brazil. Thornton,B., Miilard,P., and U. Bausewein Reserve formation and recycling of carbon and nitrogen during regowth of defoliated plants. P In: G. Lamaire et al. (ed). Gassland ecophysiology and gazing ecology. CAB Internatonal, New York. Wang, R.Z., Gao,Q and Q.S. Chen Effects of climate change on biomass and biomass and biomass allocation in Leymuschinensis (Poaceae) along the Notrh-East China Transect (NECT). J. Arid.Environ. 54: Zhang R.,D.Huang., K. Wang., Y.T. Zhang., C.W. Wang Effect of mowing and grazing on ramet emergence of Leymus racemosus inthe inner Mongolia Steppe during the spring regreening period. African J. Biotech. 10(12): Prosiding Semnas II HITPI Page 231

49 PERILAKU MAKAN RUMINANSIA SEBAGAI BIOINDIKATOR FENOLOGI DAN DINAMIKA PADANG PENGGEMBALAAN Suhubdy Yasin Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan Padang Penggembalaan Kawasan Tropis, Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram-NTB ABSTRACT Grazingland or Rangeland is an eating table of ruminants and/or other herbivores for supporting their life. The adequacy and uptake of essential nutrients such as dry matter, protein and energy are very much determined by quality and phenology of pasture vegetation. The phenology of grass influences directly to ingestive behaviour of the herbivores. During grazing time, ruminant animals/herbivores tend to select the pastures that are easy to be prehended for fulfilling their dry matter requirement. Therefore, monitoring and recording the diurnal ingestive or grazing behaviour of ruminant animals or other herbivores would be as useful bioindicator for understanding the change of growth and availability of grass on pasture and/or rangeland. This behavioral aspect of ruminants is also useful clue and effective information to be considered for managing the grassland developments. This paper reviews and discusses the ingestive behaviour of ruminants as one of bioindicators determining the phenology of grass and dynamics of grasslands or rangelands. Keywords: bioindicator, grasslands, ingestive behaviour, plants phenology, pastures, rangelands, ruminants ABSTRAK Padang rumput (penggembalaan) merupakan meja makan bagi ternak ruminansia dan/atau herbivora lainnya untuk menopang hidupnya. Ketercukupan kebutuhan dan asupan zat gizi utama seperti bahan kering, protein dan energi sangat ditentukan oleh mutu dan fenologi tumbuhan pakan tersebut. Fenologi tumbuhan pakan secara langsung mempengaruhi cara dan pola konsumsi (ingestive behaviour) dari ternak herbivora. Pada saat merumput, ruminansia memiliki kecenderungan memilih dan menyenggut hijauan pakan yang gampang disenggut untuk memenuhi kebutuhan bahan kering pakannya. Oleh sebab itu, memonitor dan merekam karakteristik aktivitas merumput (grazing) dan pola makan harian ruminansia dan/atau herbivora lainnya menjadi salah satu petunjuk biologis (bioindikator) yang mungkin sangat berguna untuk mengungkapkan perubahan yang terjadi terhadap padang penggembalaan dan aspek ini pula pada gilirannya menjadi salah satu faktor manajemen strategis pengelolaan padang penggembalaan. Makalah ini mereview dan mendiskusikan tentang perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia sebagai salah satu bioindikator fenologi dan dinamika padang penggembalaan alam dan/atau pastura. Kata kunci: bioindikator, fenologi tumbuhan, padang penggembalaan, padang rumput, perilaku makan, ruminansia Prosiding Semnas II HITPI Page 232

50 PENDAHULUAN Secara alamiah, ternak ruminansia atau herbivora lainnya mengandalkan hijauan pakan dan/atau padang penggembalaan sebagai sumber zat gizi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ternak ini memenuhi kebutuhan bahan kering, protein, dan energi dengan cara merumput secara bebas di atas padang penggembalaan. Pemeliharaan ruminansia berbasis padang pengembalaan sangat intensif dilakukan di negara-negara yang sistem peternakannya sudah maju, seperti misalnya di Australia, Amerika, dan New Zealand. Sedangkan di Indonesia, pemanfaatan padang rumput secara maksimal untuk produksi ternak ruminansia masih relatif terbatas, kecuali di beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Secara tradisional (sistem pemeliharaan ternak berbasis cut-and-cary), sumber hijauan pakan untuk ternak ruminansia cenderung diperoleh dari lahanlahan marginal seperti pinggir jalan raya, tepi sungai, areal persawahan, dan tanah lapang yang berdekatan dengan tempat pemeliharaannya. Peternak mengarit hijauan pakan dan diberikan secara langsung kepada ternaknya di kandang dan pada kondisi seperti ini ternak piaraannya tak ada kesempatan untuk menyeleksi atau memilih bahan pakan yang akan dikonsumsinya. Hal ini dimungkinkan karena ternak tersebut tidak ada kebebasan untuk memilih atau karena keterbatasan jumlah dan/atau tempat pemeliharaannya. Sedangkan pada padang penggembalaan, ternak herbivora mempunyai kesempatan dan kebebasan untuk memilih hijauan pakan seluas-luasnya karena disamping ragam dan jenisnya yang banyak juga tempatnya yang luas. Pada kondisi seperti ini, jumlah dan jenisnya pakan yang disenggut (dikonsumsi) sangat dipengaruhi oleh karaketristik morfologi (fisik), bologi, kimia, dan fenologi (fase pertumbuhan - vegetatif dan generatif) tumbuhan pakan yang tersedia di atas padang penggembalaan. Ruminansia atau herbivora mempunyai kecenderungan memilih dan menyenggut hijauan (rerumputan, semak, dan/atau belukar) yang mudah disenggut untuk memenuhi kebutuhan bahan keringnya (Forbes, 1995; Gregorini, dkk., 2008; Prache, dkk., 1998; Yasin, 2012). Pola makan ruminansia dan/atau herbivore non-ruminansia pada padang penggembalaan dipengaruhi disamping oleh karakteristiknya, juga oleh fenologi dan karakteristik tumbuhan pakan itu sendiri. Sekecil apa pun perubahan yang terjadi pada tumbuhan pakan baik karena faktor iklim maupun intervensi manusia akan tercermin secara cepat pada pola merumput ternak herbivora. Di Indonesia, interaksi antara tumbuhan pakan dengan herbivora pada padang penggembalaan masih relatif belum banyak diperhatikan atau diungkapkan baik secara praktis maupun ilmiah (Yasin, 2012 dan 2013). Makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendiskusikan pola makan ruminansia (ingestive behaviour) sebagai salah satu bioindikator fenologi dan dinamika padang penggembalaan. Dan selanjutnya, informasi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengelola dan mengembangkan padang penggembalaan sebagai basis pengembangan dan peningkatan produksi ternak ruminansia. Prosiding Semnas II HITPI Page 233

51 NOLOGI DAN KARAKTERISTIK NUTRISI TUMBUHAN PAKAN Fenologi tumbuhan didefinisikan sebagai siklus perubahan biologi tumbuhan yang erat kaitannya dengan faktor iklim (MacAdam, 2009 dan Gibson, 2009). Pada saat musim penghujan, rerumputan yang potensial sebagai hijauan pakan tumbuh dengan baik dan produksi biomassanya relatif berlimpah. Akan tetapi pada musim kemarau, produktivitasnya relatif sedikit. Artinya, faktor pembatasnya adalah ketersediaan air bukan hujan. Jika air dapat disediakan secara memadai sepanjang tahun maka produksi dan ketersediaan hijuan pakan tak akan menjadi kendala. Fenologi tumbuhan pakan sangat mempengaruhi nilai gizi dan tabiat makan dan/atau ruminasia (Flores, dkk., 1993; Minson, 1990; Prache, 1997; Prache, dkk., 1998;). Pada fase vegetatif kandungan protein kasar cenderung tinggi dan kadar seratnya relatif rendah. Demikian sebaliknya, kadar serat cenderung semakin meningkat pada saat mencapai fase generatif (Brazle., dkk., 2000). Tingginya kadar serat berkaitan erat dengan tingkat lignifikasinya. Hijauan pakan biasanya disukai oleh ternak jika diberikan biomassa pada saat fase vegetatif dan kurang diminati jika diberikan pada saat sudah menua. Pada kondisi padang penggembalan, hijauan pakan yang sudah menua akan menyulitkan ternak mengkonsumsinya hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam hal menyenggut dan mengunyahnya (Yasin, 2012). Di samping itu, nilai nutrisinya (daya cerna) pun cenderung menurun (Tabel 1, Minson, 1990). Tabel 1. Daya cerna (in vitro) lima species rumput tropis (Minson, 1990). Daya cerna bahan kering Tumbuhan Pakan Monthly Mature Rata-rata regrowths regrowths Setaria sphacelata var. splendida 0,65 0,58 0,62 Digitaria decumbens 0,63 0,57 0,60 Chloris gayana 0,61 0,54 0,58 Panicum maximum 0,61 0,52 0,57 Pennisetum clandestinum 0,60 0,52 0,56 Rata-rata 0,62 0,55 0,59 Prosiding Semnas II HITPI Page 234

52 Gambar 1. Hasil pantauan perubahan biomassa ( ) dan standing CP ( ) dan kandungan CP ( ) dari tiga tingkat penggembalaan (a) NG: nongrazed grassland, (b)lg: lightly grazed grassland, (c)mg: intermediately grazed grassland, dan (d)hg: heavily grazed grassland) pada stepa Xilingol, Mongolia (Kawamura dan Akiyama, 2010). Perubahan kualitas hijauan pakan dapat dimonitor secara langsung dan tidak langsung. Cara jitu dan sahih untuk menilai qualitas hijauan pakan adalah dengan menyajikannya kepada ternak. Respons ternak ruminansia terhadap hijauan yang dikonsumsinya dapat dimonitor dari pertambahan bobot badan dan produksi air susunya. Namun, melakukan percobaan pemberian pakan biasanya relatif membutuhkan waktu, biaya, dan fasilitas yang mahal (NRC, 1962; t Mannetje and Jones, 2000). Pada kondisi padang penggembalaan, kualitas dan kuantitas hijauan pakan sesungguhnya dapat diamati setiap saat dengan memperhatikan tabiat atau pola makan ternak herbivore (Forbes, 1995). Gambar 1 mengilustrasikan perubahan kandungan nutrient (CP) dan biomassa hijauan pada padang penggembalaan di Xilingol stepa di Mongolia (Kawamura dan Akiyama, 2010). Dari ilustrasi (Tabel 1 dan Gambar 1) menunjukkan bahwa fenologi nampak mempengaruhi kandungan protein, jumlah biomassa hijauan, dan daya cerna tumbuhan pakan. FENOLOGI, PERILAKU MAKAN RUMINANSIA, DAN DINAMIKA PADANG PENGGEMBALAAN Berbagai ahli nutrisi ternak ruminansia telah melaporkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara fenologi tumbuhan pakan, pola makan, dan dinamika padang penggembalaan (Bailey, dkk., 1996; Baumont, dkk., 2000; Boland dan Scaglia, 2011). Selanjutnya Baumont dkk., (2000) menyimpulkan bahwa pada pastura, konsumsi, komposisi pakan, dan dampak merumput terhadap Prosiding Semnas II HITPI Page 235

53 berkembangan vegetasi merupakan interaksi yang kompleks antara ternak dan vegetasi. Dinamika padang penggembalaan sesungguhnya sangat komplek melibatkan komponen utama yaitu peternak, ternak, dan vegetasi. Ternak dan tumbuhan pakan sangat rentan perubahan akibat perubahan pengaruh iklim. Oleh sebab itu, untuk kontinyuitas hubungan ini, peternak harus mampu mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi terutama dalam beradapatsi pada kondisi lokalsetempat. Kepekaan peternak untuk memantau dan merekam setiap perubahan yang terjadi akan mendapatkan informasi yang akurat dalam mengelola padang rumput alami maupun pastura. Ternak herbivora mengekploitasi vegetasi padang penggembalaan untuk memenuhi kebutuhan bahan kering dan zat makanan esensial lainnya. Konsumsi pakan merupakan penentu utama keberlangsungan hidup dan berproduksi. Pada kondisi padang penggembalaan yang kompleks, fenologi tanaman pakan secara langsung mempengaruhi pola makan. Sebagai contoh, jika hijauan pakan yang tersedia relatif sedikit dan tinggi tanaman relatif rendah untuk disenggut secara maksimal, maka herbivora akan memperpanjang waktu merumput agar mendapatkan total jumlah senggutan yang diharapkan (Baumont, dkk, 2000; Brazle, dkk., 2000; Kirch, dkk, 2007; Gregorini, dkk, 2006; 2008; 2009; Boland dan Scaglia, 2011; Yasin, 2012). Jika hijauan yang tersedia sangat padat dan komposisi botaninya relatif seragam maka herbivora akan mempersingkat waktu merumput akan tetapi memperpanjang waktu ruminasi (Bailey, dkk., 1996; Gregorini, dkk., 2008; Yasin, 2012). Ingestive behaviour dari ternak ruminansia ditentukan oleh karakeristik vegetasi, kondisi fisiologi, dan aktivitas rongga mulut (buccal cavity) (Coleman, dkk., 1989; Yasin, 2012). Komponen pola makan dapat dijadikan parameter untuk menentukan konsumsi pakan harian dan secara keseluruhan hubungan anatar komponen ingestive behaviour seperti diilustrasikan pada Gambar 2 (Gordon dan Lascano, 1993). Gambar 2. Skema hubungan ingestive behaviour dengan konsumsi pakan harian ruminansia (Gordon dan Lascano, 1993). Prosiding Semnas II HITPI Page 236

54 Dalam waktu yang relatif lama (pada padang penggembalaan), konsumsi harian dapat diestimasikan sebagai hasil kali antara massa senggutan (bite weight), laju senggutan (bite rate), dan wakru merumput (grazing time). Sedangkan pada tingkatan individual rumpun (patch) dan dalam waktu yang relatif singkat/terbatas maka konsumsi pakan ditentukan oleh bite weight dan bite rate. Jadi pada kondisi padang penggembalaan, pola makan menjadi sangat komplek akibat interaksi antara fenologi tumbuhan pakan, jenis ternak, fase fisiologi, serta faktor biotik dan abiotik lainnya (Coleman, dkk., 1989). Pola makan ruminansia dan/atau herbivora lainnya sangat bervariasi mulai dari tingkatan individu tumbuhan pakan hingga pada skala lanskap (Coleman, dkk., 1989). Minson (1990) mengutip hasil penelitian Kibon dan Holmes (1987) mengilustrasikan bahwa tinggi tanaman rumput berpengaruh terhadap pola makan, konsumsi, dan produktivitas sapi laktasi (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh tinggi tumbuhan pakan terhadap pola makan, konsumsi, dan produksi ternak sapi laktasi (Minson, 1990). Komponen Tinggi hijauan pakan (cm)* 4,8 6,4 Produksi hijauan (kg OM/ha) Kepadatan anakan (1000/m 2 ) Proporsi dedaunan 0,51 0,55 Kebutuhan hijuan (kg OM/sapi/hari) Daya cerna hijauan yang disenggut (OM) 0,76 0,77 Waktu merumput (menit/hari) Total senggutan (000/hari) 44,7 43,3 Ukuran senggutan (mg OM/senggutan) Konsumsi hijauan (kg OM/sapi/hari) 12,7 15,1 Produksi susu (kg FCM/hari) 26,3 28,1 Perubahan bobot badan (kg/hari) ,15 Keterangan: * diukur dengan menggunakan plate meter dengan tekanan sebesar 4,8kg/m 2 ; OM: organic matter; FCM: fat corrected milk. Dari informasi pada Tabel 2 terindikasi bahwa fenologi tumbuhan pakan (misalnya tinggi tumbuhan pakan) dapat mempengaruhi pola makan dan produksi ternak ruminansia. Semakin tinggi rumput akan mempermudah ternak ruminansia mengkonsumsinya dan pada gilirannya total konsumsi akan cepat terpenuhi. Seperti diketahui bahwa ternak ruminansia besar (kerbau dan sapi) menggunakan lidah dan bibir untuk ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) dan kuda sebagai eating apparatus-nya, maka ternak ruminansia besar mempunyai tinggi minimum rerumputan agar dapat disenggutnya dengan optimal. Allden dan Whittaker (1970) melaporkan bahwa ternak domba akan semakin meningkatkan jumlah senggutan per menit (biting rate) jika tinggi anakan rerumputan berkurang dari 35 cm ke 5 cm dan semakin lebih ditingkatkan jumlah senggutannya jika tingginya semakin lebih rendah dari 5 cm. Untaian diskusi singkat dalam makalah ini menyajikan cukup informasi untuk menjelaskan bahwa tingkah laku makan (ingestive behaviour) herbivora erat hubungannya dengan fenologi tumbuhan pakan dan dinamika padang rumput. Prosiding Semnas II HITPI Page 237

55 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perilaku makan (ingestive behaviour) ternak ruminansia dan/atau herbivora non-ruminansia merupakan salah satu bioindikator yang praktis, sakil dan mangkus untuk mengetahui perubahan fenologi, karakteristik tumbuhan pakan, dan dinamika padang penggembalaan. Saran Bioindikator ini dapat juga dijadikan petunjuk agronomis dalam memaksimalkan komposisi botani padang penggembalaan, dan pada gilirannya dapat pula dijadikan acuan ilmiah yang jitu untuk mengetahui perubahan kapasitas produksi, nilai gizi, dan strategi untuk mengembangkan ternak ruminansia berbasis padang penggembalaan. DAFTAR PUSTAKA Allden, WG. Dan Whittaker, IA.McD The determinants of herbage intake by grazing sheep: The interrelationship of factors influencing herbage intake and availability. Aust. J. Agric. Res., 21: Bailey, DW., Gross, JE., Laca, EA., Rittenhouse, R., Coughenour, MB., Swift, DM. dan Sims, PL Invited Synthesis Paper: Mechanism that results in large herbivores grazing distribution patterns. J. Range Manage. 49: Boland, HT. dan Scaglia, G Case Study: Giving beef calves a choice of pasture type influences behaviour and performance. The Professional Animal Scientist, 27: Boumant, R., Ptache, S., Meuret, M. dan Morand-Fehn, P How forage characteristic influence behaviour and intake in small ruminants: a review. Ivestock Production Science, 64: Brazle, FK., Kilgore, GL., dan Fausett, MR Effect of season on grazing native-grass pastures. The Professional Animal Scientist, 16: Coleman, SW., Forbes, TDA. Dan Stuth, JW Measurements of the plantanimal interface in grazing research. Dalam: Grazing Research: Design, Methodology, and Analysis. CSSA Special Publication No. 16. Flores, ER., Laca, EA., Griggs, TC. Dan Demment, MW Sward height and vertical morphologyal differentiation determine cattle bite dimensions. Agron. J., 85: Forbes, JM Voluntary food Intake and Diet Selection in Farm Animals. CAB International, UK. Gordon, IG. Dan Lascano, C Foraging strategies of ruminant livestock on intensively manged grasslands: potential and constrains. Proceedings of the XVII International Grassland Congress New Zealand, p Gibson, DJ Grasses and Grassland Ecology. Oxford University Press, UK. Gregorini, P., Gunter, SA. dan Beck, PA Matching plant and animal processes to alter nutrient supply in strip-grazed cattle: timing of herbage and fasting allocation. J. Anim. Sci., 86: Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Calwell, J., Bowman, MT., dan Coblentz, Prosiding Semnas II HITPI Page 238

56 WK Short-term foraging dynamics of cattle grazing swards with different canopy structures. J.Anim. Sci. 87: Gregorini, P., Gunter, SA., Beck, PA., Soder, KJ. dan Tamminga, S Review: The interaction of diurnal grazing pattern, ruminal metabolism, nutrient supply, and management in cattle. The Professional Animal Scientist, 24: Gregorini, P., Tamminga, S. dan Gunter, SA Review: Behaviour and daily grazing patters of cattle. The Professional Animal Scientist, 16: Hodgson, J Influence of sward characteristics on diet selection and herbage intake by grazing animal. Dalam: J.B. hacker (Ed): Nutritional Limit to Animal Production from Pastures. Commonwealth Agricultural Bureaux, UK. Kawamura, K. dan Akiyama, T Simultaneous monitoring of livestock distribution and desertification. Global Environment Research, 14: Kirch, BH., Moser, LE., Waller, SS., Klopfenstein, TJ., Aiken, GE. dan Strickland, JR Selection and dietary quality of beef cattle grazing smooth Bromegrass, Switchgrass, and Big Bluestem. The Professional Animal Scientist, 23: MacAdam, JW Structure and Function of Plants. Wiley Blackwell, USA. Minson, DJ Forage in Ruminant Nutrition. Academic Press, Inc. San Diego, USA. National Research Council (NRC), Range Research. National Academy of Science-National Research Council, Washington DC, USA. Prache, S Intake rate, intake per bite and time per bite of lactating ewes on vegetative and reproductive swards. Appl. Anim. Behav., 52: Prache, S., Gordon, IJ. Dan Rook, AJ Foraging behaviour and diet selection in domestic herbivores. Ann. Zootech., 47: Prache, S., Roguet, C., dan Petit, M How degree of selectivity modifies foraging behaviour of dry ewes on reproductive compared to vegetative swards structure. Appl. Anim. Behav., 57: t Mannetje, L. dan Jones, RM Filed and Laboratory Methods for Grassland and Animal Production Research. CABI Publishing, Wallingford, UK. Yasin, S Ingestive behaviour in ruminants: a methodological approach and implication to feeding management strategies. LAP Lambert Academic Publishing, Germany. Yasin, S Produksi Ternak Ruminansia (Kerbau dan Sapi). Pustaka Reka Cipta, Bandung. Prosiding Semnas II HITPI Page 239

57 POTENSI HIJAUAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA Taufan P. Daru, Arliana Yulianti, dan Eko Widodo Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Alamat: Kampus Gunung Kelua, Jl. Pasir Balengkong Samarinda Telp./HP: / taufan.pd@gmail.com ABSTRACT The purpose of this study is to provide an overview of the potential forage crop in oil palm plantations in terms of botanical composition, production, and chemical composition to estimate the carrying capacity of oil palm plantations at the age of 3 years and 6 years for beef cattle. Data collection was conducted in Samboja district, Kutai regency, East Kalimantan province, from January to March Plant samples were taken under oil palm plantations age 3 years and 6 years. Each age of plantation were taken 5 hectares, and every hectare were picked 10 points by using the quadrant size of 1 m 1 m at random. The result showed that plants growing on palm oil plantations 3 years dominated by Paspalum conjugatum (45.54%), followed by Mikania micrantha (9.93%), and Ottochloa nodosa (7.89%). While the age of 6 years dominated by Ottochloa nodosa (33.89%), Melastoma malabatrichum (28.23%), and Paspalum urvillei (8.37%). Dry weight production of plantation age 3 years was 3,205.1 kg per ha decreased to 1,165.4 kg per ha in plantation age 6 years. Chemical composition, especially CP increased from 8.25% at the age 3 years to 10.5% at the age 6 years, while CF decreased from 23.20% at the age 3 years to 22.43% at the age 6 years. Carrying capacity of oil palm plantations age 3 years was 1.44 AU ha -1 yr -1 and age 6 years was 0.71 AU ha -1 yr -1. Naturally, oil palm plantation in Kutai regency, East Kalimantan has good potential as a source of beef cattle forage. Key words: Oil palm, botanical composition, forage production, chemical composition, carrying capacity ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai potensi hijauan antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari komposisi botani, produksinya dan kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan kapasitas tampung dari kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun untuk sapi potong. Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Maret Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa sawit yang telah berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di ambil seluas 5 hektar, dan setiap hektar di ambil sebanyak 10 titik dengan menggunakan kuadran ukuran 1 m 1 m secara acak. Hasil pengamatan menunjukan bahwa tanaman yang tumbuh pada perkebunan kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan Ottochloa nodosa (7,89%). Sedangkan pada perkubunan Prosiding Semnas II HITPI Page 240

58 umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), Melastoma malabatrichum (28,23%), dan Paspalum urvillei (8,37%). Produksi berat kering tanaman pada perkebunan umur 3 tahun adalah 3.205,1 kg per ha menurun menjadi 1.165,4 kg per ha pada perkebunan umur 6 tahun. Kandungan zat-zat makanannya, terutama PK meningkat dari 8,25% pada umur tanaman 3 tahun menjadi 10,5% pada umur 6 tahun, sedangkan SK menurun dari 23,20% pada umur 3 tahun menjadi 22,43% pada umur 6 tahun. Kapasitas tampung perkebunan kelapa sawit umur 3 tahun adalah 1,44 ST ha -1 th -1 dan umur 6 tahun adalah 0,71 ST ha -1 th -1. Secara alami, perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur memiliki potensi yang baik sebagai sumber hijauan pakan sapi potong. Kata kunci: Kelapa sawit, komposisi botanis, produksi hijauan, zat-zat makanan, kapasitas tampung PENDAHULUAN Populasi sapi potong di Provinsi Kalimantan Timur dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 tercatat ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2012) dan pada tahun 2012 meningkat menjadi ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2013). Di Kabupaten Kutai Kartanegara sendiri peningkatannya cukup besar dari ekor pada tahun 2007 menjadi ekor pada tahun 2011 (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Meningkatnya populasi ini memberikan konsekuensi terhadap penyediaan lahan bagi sapi potong. Lahan tersebut tidak hanya berperan sebagai sumber hijauan pakan, namun juga sebagai ruang jelajah. Hingga saat ini, di Provinsi Kalimantan Timur belum ada alokasi lahan yang diperuntukan khusus sebagai kawasan peternakan, sehingga integrasi dengan berbagai subsektor pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman pangan, dan hortikultura, serta kehutanan, maupun pertambangan merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan pakannya. Pada tahun 2011, luas areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan Timur sudah mencapai ha dari ,50 ha pada tahun 2007 (Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur, 2012). Seiring dengan meningkatnya areal perkebunan kelapa sawit, maka potensi untuk mengembangkan ternak sapi potong secara terintegrasi di kawasan ini cukup besar. Menurut Direktorat Pakan Ternak (2011) Konsep integrasi ternak dalam usahatani tanaman baik itu tanaman perkebunan, pangan, atau hortikultura adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktifitas dan produktifitas tanaman. Dengan adanya ternak ini dapat meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus produksi ternaknya. Dengan demikian, dalam sistem integrasi ternak dan tanaman akan terjadi suatu hubungan yang saling menguntungkan (mutualism sinergicity). Keberadaan ternak di perkebunan kelapa sawit memberikan beberapa keuntungan, diantaranya adalah mengurangi biaya untuk mengendalikan gulma dan menyumbangkan kotoran ternak sebagai sumber hara bagi tanaman. Chung (1994) menyatakan bahwa kerbau yang dipelihara di kebun kelapa sawit dapat mengurangi biaya pengendalian gulma, selain itu juga akan diperoleh keuntungan berupa daging dan ternak sebagai nilai tambah dalam proses produksi hilir. Diketahui, penggunaan herbisida sebagai pengendalian gulma dilakukan pada Prosiding Semnas II HITPI Page 241

59 kisaran kali pada saat tanaman muda. Di Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya di Kecamatan Samboja, saat ini telah berkembang sistem pemeliharaan ternak sapi bali di bawah areal perkebunan kelapa sawit dengan memanfaatkan hijauan antar tanaman. Sistem integrasi sapi-sawit dengan memanfaatkan hijauan tersebut cukup prospektif untuk meningkatkan produksi ternak dan tanaman kelapa sawit yang baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai potensi hijauan antara tanaman di perkebunan kelapa sawit ditinjau dari produksinya dan kandungan zat-zat makanannya untuk memperkirakan kapasitas tampung dari kebun kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun di perkebunan rakyat, Kabupaten Kutai Kartanegara. MATERI DAN METODE Pengambilan data dilakukan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Maret Sampel tanaman diambil di bawah tanaman kelapa sawit yang telah berumur 3 tahun dan 6 tahun. Masing-masing umur tanaman di ambil seluas 5 hektar, dan setiap hektar di cuplik sebanyak 5 cuplikan dengan menggunakan kuadran ukuran 1 m 1 m secara acak. Untuk memperkirakan produksi hijauan per hektar digunakan rumus sebagai berikut: P = C x (LP JS), dimana P adalah produksi hijauan per hektar (kg), C adalah rata-rata berat hijauan per m 2, LP adalah luas piringan pada pohon kelapa sawit, dan JS adalah jumlah tanaman kelapa sawit dalam 1 hektar. Jumlah tanaman kelapa sawit rakyat yang ditanama di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai kartanegara rata-rata 136 pohon per hektar. Jari-jari piringan pada pohon kelapa sawit umur 3 tahun adalah 2 m dan pada umur 6 tahun adalah 3 m. Dengan demikian luas piringan pohon kelapa sawit umur 3 tahun adalah 12,56 m 2 per pohon, dan umur 6 tahun adalah 28,26 m 2 per pohon. Produksi hijauan antar tanaman yang dimaksud adalah produksi berat kering, yaitu hijauan segar yang telah di lakukan pengeringan dengan oven pada suhu 65 o C selama 48 Jam atau beratnya stabil. Komposisi botanis tanaman dihitung berdasarkan perbandingan berat kering antara suatu spesies tanaman terhadap total berat kering seluruh tanaman dalam setiap cuplikan, kemudian dibandingkan terhadap seluruh cuplikan. Pengambilan sampel ini dilakukan sebelum dilakukan perhitungan produksi berat kering. Komposisi kimia zat-zat makanan, dianalisis secara proksimat untuk memperoleh kandungan protein kasar, serat kasar, lemak kasar, dan abu. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Untuk memperoleh perkiraan kapasitas tampung kebun kelapa sawit bagi sapi potong, digunakan persamaan Voisin (Reksohadiprodjo, 1994). Persamaan tersebut, yaitu (Y 1) s = r, dimana Y adalah jumlah luas lahan yang diperlukan oleh seekor sapi, s adalah periode merumput pada setiap luas lahan, dan r adalah periode istirahat agar tanaman melakukan pertumbuhan kembali. Dalam penelitian ini s adalah 30 hari dalam satu bulan dan r adalah 60 hari. Sedangkan PUF (proper use factor) yang diperhitungkan adalah 40%, dengan asumsi bahwa Prosiding Semnas II HITPI Page 242

60 penggembalaan yang dilakukan adalah sedang. Setiap satu satuan ternak (ST) dihitung setara dengan sapi jantan seberat 400 kg. Konsumsi hijauan segar diasumsikan 10% dari setiap satuan ternak. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi botanis Komposisi botanis adalah proporsi suatu spesies tanaman terhadap seluruh tanaman yang tumbuh bersamanya. Hijauan yang tumbuh di perkebunan kelapa sawit rakyat, Kecamatan Samboja merupakan hijauan alam, sehinga perubahan komposisi botanis hijauan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kesuburan tanah, ketersediaan air, dan naungan dari tajuk sawit (cahaya). Hasil penelitian ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa jenis tanaman yang tumbuh di bawah kelapa sawit dengan umur yang berbeda proporsinya juga berbeda. Pada kebun kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), yang diikuti oleh Mikania micrantha (9,93%), dan Ottochloa nodosa (7,89%), sedangkan di kebun kelapa sawit umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%), yang diikuti oleh Melastoma malabatrichum (28,23%) dan Paspalum urvillei (8,37%). Tabel 1. Komposisi botanis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara Komposisi botanis (%) pada No. Jenis tanaman kelapa sawit umur 3 tahun 6 tahun 1 Ageratum conyzoides 0 1,06 2 Asystasia intrusa 5,49 1,17 3 Borreria latifolia 6,73 5,47 4 Chromolaena odorata Clidemia hirata 0 1,14 6 Cyperus brevifolius 0 0,48 7 Cyperus rotundus 0 1,15 8 Imperata cylindrica 2, Leptochloa chinensis 0,57 7,95 10 Melastoma malabatrichum 3,89 28,23 11 Mikania micrantha 9,93 3,9 12 Nephrolepsis bisserata 1, Ottochloa nodosa 7,89 33,89 14 Panicum sarmentosum 5, Paspalum conjugatum 45,54 1,49 16 Paspalum urvillei 3,07 8,37 17 Solanum violaceum 5,7 5,4 Berdasarkan hal tersebut nampak bahwa O. nodosa memiliki proporsi yang semakin tinggi dengan meningkatnya umur pohon kelapa sawit. Hal ini Prosiding Semnas II HITPI Page 243

61 menunjukkan bahwa O. nodosa lebih tahan terhadap naungan dibandingkan P. conjugatum, dimana proporsinya menjadi sangat kecil, dari 45,54% (3 tahun) menjadi 1,49% (6 tahun). Menurut Crowder & Chheda (1982) O. nodosa merupakan rumput alam yang disukai oleh ternak dan sangat tahan terhadap naungan, sehingga memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan di bawah naungan. Suboh (1997) menjelaskan bahwa jenis tanaman yang biasa tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umumnya didominasi oleh O. nodosa, Axonopus compressus, Mikania scandens, dan A. intrusa. Jenis-jenis tanaman ini biasanya tumbuh baik pada intensitas penyinaran sebesar 40-60%. Sapi pada umumnya merenggut tanaman ini, bahkan beberapa diantaranya memiliki kandungan zat makanan yang kualitasnya bersaing dengan tanaman pakan budidaya. Produksi hijauan antar tanaman Hasil pengukuran produksi hijauan segar per m 2 untuk vegetasi yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun adalah 386,54 g m -2 dan pada umur 6 tahun adalah 189,29 g m -2. Setelah dilakukan konversi ke dalam 1 hektar yang selanjutnya dikurangi dengan luas piringan dalam 1 hektar untuk masing-masing umur tanaman, maka rata-rata produksi hijauan antar tanaman di bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi hijauan antar tanaman di bawah pohon kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun di Kecamatan Semboja, Kabupaten Kutai Kartanegara Umur tanaman kelapa sawit Produksi hijauan Berat segar (kg ha -1 ) Berat kering (kg ha -1 ) 3 tahun ,1 6 tahun ,4 Berdasarkan hasil pengukuran tersebut nampak bahwa dengan semakin meningkatnya umur tanaman kelapa sawit produksi hijauan yang tumbuh di bawahnya juga menurun. Semakin tingginya umur tanaman kelapa sawit penetrasi cahaya yang menerobos daun kelapa sawit semakin rendah sehinnga berpengaruh terhadap produksi bahan kering tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit (Wong & Chin, 1998). Menurut Chin (1998) produksi bahan kering hijauan pakan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit muda dapat mencapai sampai kg per hektar dan menurun hingga mencapai 600 kg per hektar dengan semakin dewasanya umur tanaman kelapa sawit. Dalam kasus lainnya, produksi bahan kering hijauan di bawah tanaman kelapa sawit umur 3-4 tahun bisa lebih tinggi lagi dan dapat mencapai kg per hektar per tahun (Abdullah, 2006). Produksi hijauan antar tanaman kelapa sawit memiliki variasi yang cukup tinggi berdasarkan derajat naungannya. Derajat naungan sangat tergantung pada umur tanaman, tinggi tanaman, jarak tanam, kesuburan tanah, dan karakteristik kanopi. Biasanya, jumlah cahaya semakin menurun dengan bertumbuhnya tanaman muda. Pada kasus tanaman karet dan kelapa sawit umur 6-7 tahun cahaya yang menerobos kanopi pada siang hari dengan penyinaran penuh hanya 10% dan penetrasi cahaya tersebut tidak berubah hingga tanaman berumur tahun (Chen, 1990). Pada transmisi yang rendah akan Prosiding Semnas II HITPI Page 244

62 memberikan pengaruh terhadap mikroklimat yang ada di bawah kanopi, yang kemudian menyebabkan suhu tanah menjadi lebih rendah. Kondisi yang demikian berpeluang menghambat pertumbuhan dan akumulasi bahan kering pada tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit (Abdullah, 2011). Produktivitas hijauan pakan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit dapat diperbaiki melalui penanaman tanaman pakan unggul yang tahan terhadap naungan. Hasil penelitian Hanafi (2007) mengemukakan terdapat beberapa tanaman pakan unggul yang tahan terhadap naungan, diantaranya adalah Digitaria milanjiana, Stylosanthes guianensis, Paspalum notatum, dan Calopogonium caeruleum. Komposisi Kimia Zat-zat Makanan Komposisi kimia zat-zat makanan yang terkandung dalam hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit pada umur 3 tahun dan 6 tahun disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia zat-zat makanan hijauan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umur 3 tahun dan 6 tahun Umur Tanaman Kelapa Sawit Zat-zat makanan 3 tahun 6 tahun Protein kasar (%) 8,25 10,5 Serat kasar (%) 23,2 22,43 Lemak kasar (%) 4,2 2,4 Abu (%) 2,48 3,98 BETN (%) 61,87 60,69 Berdasarkan Tabel 3 tersebut nampak bahwa kandungan protein kasar dan abu pada hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 6 tahun cenderung meningkat, sedangkan kandungan serat kasar, lemak kasar, dan BETN cenderung menurun. Meningkatnya kandungan protein kasar pada tanaman yang ternaungi oleh kelapa sawit umur 3 tahun ke 6 tahun, dapat disebabkan oleh 2 hal. Pertama, akibat berubahnya komposisi botanis. Pada tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 3 tahun didominasi oleh Paspalum conjugatum (45,54%), sedangkan tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 6 tahun didominasi oleh Ottochloa nodosa (33,89%). Diketahui kandungan protein kasar P. conjugatum adalah 11,0 % dan O. nodosa 13,5% (Chen et al., 1991). Dengan demikian, kandungan protein kasar pada tanaman yang tumbuh di bawah kelapa sawit umur 6 tahun lebih tinggi. Kedua, akibat berubahnya komposisi kimia yang disebabkan oleh naungan. Naungan memilki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas hijauan, sehingga dapat merubah komposisi kimia. Kandungan protein kasar biasanya lebih tinggi pada bagian tanaman yang berada di atas daripada yang berada di bawah (Buxton & Fales, 1994). Menurut Kephart & Buxton (1993) konsentrasi protein kasar jauh lebih responsif terhadap naungan dibandingkan Prosiding Semnas II HITPI Page 245

63 komponen kualitas lainnya. Disebutkan pula bahwa naungan sebesar 63% dapat meningkatkan konsentrasi protein kasar sebesar 26% pada rumput. Meningkatnya konsentrasi senyawa nitrogen akibat naungan biasanya dengan mengorbankan karbohidrat terlarut. Kapasitas Tampung Berdasarkan hasil perhitungan untuk mendapatkan kapasitas tampung per hektar tanaman kelapa sawit pada umur 3 tahun diperoleh hasil sebesar 1,44 ST ha -1 dan untuk tanaman kelapa sawit umur 6 tahun sebesar 0,71 ST ha -1. Menurunnya kapasitas tampung ini berkaitan dengan menurunnya produksi hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit akibat semakin tuanya umur tanaman kelapa sawit. Pada tanaman kelapa sawit umur muda menghasilkan hijauan yang tinggi sehingga dapat mendukung jumlah ternak yang optimum. Menurunnya kapasitas tampung akibat semakin tuanya tanaman kelapa sawit juga ditunjukkan oleh Wan Mohammad et al. (1997). Ketika tanaman kelapa sawit berumur 1-2 tahun dapat menampung 3 ekor sapi per hektar, kemudian menurun menjadi 2 ekor per hektar ketika tanaman telah berumur 2-3 tahun, selanjutnya menurun lagi menjadi 1 ekor per hektar pada tanaman umur 5 tahun. Untuk mempertahankan kapasitas tampung sebaiknya dilakukan penggembalaan dengan sistem rotasi pada interval sekitar 60 hari. Chen & Dahlan (1995) menyarankan agar system rotasi dilakukan pada interval 6-8 minggu agar diperoleh kapasitas tampung yang berkelanjutan. Hal itu juga perlu memperhatikan ketersediaan hijauan. Dalam hal meningkatkan kapasitas tampung, selain memperbaiki jenis hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit, bisa juga melalui pemupukan. Hanafi (2007) melaporkan bahwa pemupukan dengan 100 kg urea + 50 kg SP kg KCl untuk rumput, serta 50 kg SP kg KCl untuk legume ha -1 tahun -1 dapat meningkatkan kapasitas tampung dari 2,78 ST ha -1 menjadi 5,12 ST ha -1 pada tanaman kelapa sawit umur 4 tahun. KESIMPULAN Dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa hijauan antar tanaman di perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang besar sebagai sumber hijauan bagi sapi potong. Jenis-jenis tanaman yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit umumnya sebagai gulma, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan bagi sapi potong. Hal ini digambarkan oleh produksi hijauan yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit maupun komposisi kimia zat-zat makanan yang dikandungnya. Berdasarkan produksi hijauan tersebut, perkebunan kelapa sawit rakyat yang berada di Kecamatan Sembija, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat menampung 1,44 ST ha -1 pada tanaman umur 3 tahun, dan menurun menjadi 0,71 ST ha -1 pada tanaman umur 6 tahun. Untuk mempertahankan kapasitas tampung tersebut diperlukan pengelolaan hijauan pakan yang tepat. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, L The development of integrated forage production system for ruminants in rainy tropical region. Bull. Facul. Agric. Niigata Univ. 58 (2): Prosiding Semnas II HITPI Page 246

64 Abdullah, L Prospek Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit-Sapi Potong dalam Upaya Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Nasional 2014 : Sebuah Tinjauan Perspektif Penyediaan Pakan. Orasi Ilmiah, disampaikan pada Sidang Senat Terbuka (Wisuda) V Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur. Sangatta. Buxton, D.R., Fales, S.L Plant Environment and Quality. Dalam: Fahey, G.C (Ed). Forage Quality, Evaluation, and Utilization. American Society of Agronomy, Madison, WI, USA. Chen, C.P Problem and Prospects of Integration of Forage Into Permanent Crops. Chen, C.P., Wong, H.K., Dahlan, I Herbivores and the plantations. Proceedings of 3 rd. International Symposium on Nutrition of Herbivores. MSAP. Chen, C. P., Dahlan, I Tree spacing and livestock production. Paper presented at the FAO First International Symposium on the integration of livestock to oil palm production May 1995, Kuala Lumpur, Malaysia. Chin, F.Y Sustainable use of ground vegetation under mature oil palm and rubber trees fo commercial beef production. Dalam: de la Vina, A.C., Moog, F.A., (eds). Proceedings of 6 th. Meeting of the Regional Working Group on Grazing and Feed Resources for Shoutheast Asia. Legaspi City, Philippines. Chung, G.F Herbicide evaluation for general weed control in immature oil palm with and without EFN mulching. Dalam: Jalami Sukaimi et.al., (eds). PORIM International Palm Oil Congress: Update are vision. Ministry of Primary Industries Malaysia. Crowder, L. V., Chheda, H.R Tropical Grassland Husbandry. Longman group. New York Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Buku Statistik Perkebunan Tahun Perkebunan Kalimantan Timur, Samarinda. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur Statistik Peternakan Kalimantan Timur Tahun Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur Laporan Penyelenggara Rapat Konsultasi dan Koordinasi Teknis Daerah (Rakontekda) Pembangungan Peternakan dan Pertemuan Kelompok Tani Ternak Se Kaltim, Samarinda Februari Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda. Direktorat Tanaman Pakan Pedoman Umum Pengembangan Integrasi Tanaman Ruminansia Tahun Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Jakarta. Hanafi, D.N Keragaan Pastura Campuran pada Berbagai Tingkat Naungan dan Aplikasinya pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kephart, K.D., Buxton, D.R Forage quality responses of C3 and C4 perennial grasses to shade. Crop. Sci. 33: Prosiding Semnas II HITPI Page 247

65 Reksohadiprodjo, S Produksi Hijauan Makanan Ternak, edisi ke-3. BPFE. Yogayakarta. Suboh, I Memaksimumkan pendapatan penanam kelapa sawit integerasi tanaman/ternakan di ladang sawit. Seminar Pekebun Kecil Sawit/ Eksekutif Estet Pamol, Sabah. PORIM, April Wan Mohammad, Hutagalung, W.E., Chen, C.P Feed availability, utilization and constraints in plantation of Asia and the Pacific performance and prospect. Trop. Grassl. 21 : Wong, C.C., Chin, F.Y Meeting Nutritional Requirement of Cattle from Natural Forages in oil plantation. National Seminar Livestock and Crop Integration in Oil Palm Towards Sustainability, PORIM, May Keluang, Malaysia. Prosiding Semnas II HITPI Page 248

66 PROSPEKTIF AGRONOMI DAN EKOFISIOLOGI Indigofera zollingeriana SEBAGAI TANAMAN PENGHASIL HIJAUAN PAKAN BERKUALITAS TINGGI L. Abdullah Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, ABSTRACT Indigofera sp. are very diverse legume species. The plant has been utilized as a natural dye for generations. One such species namely Indigofera zollingeriana has been widely used as forage because of its advantages in the agronomic and nutritional aspect. However, agronomic knowledge about Indigofera is still limited. It is therefore, some results relating to agronomic and nutritional aspect of I. zollingeriana are elucidated in this paper. Some of the information obtained during this study showed that from agronomic view point I. zollingeriana is a prospective plant, ease to be developed generatively and has a high forage production capability and rapid regrowing. In addition it has the ability to adapt to drought condition. Keyword: Indigofera zollingeriana, agronomic view, and regrowing. ABSTRAK Indigofera merupakan leguminosa yang sangat beragam spesiesnya dan kegunaannya. Masyarakat industri pakaian mengenal Indigofera sebagai tanaman sumber pewarna alami yang sudah digunakan secara turun temurun. Salah satu spesies Indigofera seperti Indigofera zollingeriana telah banyak digunakan karena kelebihannya secara agronomis maupun nutrisi menjadikannya salah satu pilihan sumber pakan berkualitas. Pengetahuan agronomi tanaman Indigofera masih perlu disosialisaikan kepada masyarakat agar penggunaan hijauannya lebih luas. Beberapa informasi yang berhasil diperoleh dari penelitian selama ini menunjukan bahwa Indigofera secara agronomis mudah untuk dikembangkan secara generative dan memiliki kemampuan produksi hijauan yang tinggi serta regrowing yang cepat. Selain itu memiliki kemampuan adaptasi kekeringan. Kata kunci: Indigofera zollingeriana, secara gronomi, dan regrowing PENDAHULUAN Indigofera zollingeriana termasuk salah satu genus tanaman yang memiliki kegunaan untuk industri baik industri pewarna secara alami maupun industri peternakan. Keberadaan Indigofera di Indonesia telah dikenal sejak lama untuk industri pewarna alami. Namun dilaporkan oleh banyak peneliti bahwa Indigofera selain sebagai sumber pewarna alami terdapat beberpa spesies Indigofera memiliki potensi sebagai hijauan pakan sumber protein. Setidaknya terdapat 700 spesies Indigofera yang telah teridentifikasi. Sebanyak 64 spesies ditemukan mengandung senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2 sampai 12 mg NO 2 /g tanaman. Empat spesies yang diuji 4 sampai 12 mg NO2/g yang cukup Prosiding Semnas II HITPI Page 249

67 beracun untuk umur anak ayam 1 minggu. Sekitar 20 spesies yang telah dipelajari untuk tanaman pakan. Beberapa spesies Indigofera yang diketahui memiliki peranan penting sebagai bahan pakan antara lain, Indigofera zollingeriana, Indigofera arrecta, Indigofera tinctoria, dan spesies lain seperti I. spicata and I. nigritana yang diujikan pada ternak tikus tidak menunjukan gejala abnormalitas secara histologi. Secara nutritif telah dilaporkan bahwa I. zollingeriana tergolong sebagai tanaman legume semak yang mampu menghasilkan hijauan pakan dengan kualitas tinggi (Abdullah et al., 2010) seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian cabang edible) Indigofera zollingeriana Sumber : (Abdullah et al., 2010) Pengujian secara in vivo terhadap kambing perah PE dan Saanen dengan pemberian hijauan I. zollingeriana dalam bentuk sampai taraf 100% menunjukan peningkatan produksi susu 14-28% dan persistensi produksi menjelang masa kering (Apdini, 2012). Produksi susu kambing menjelang masa kering dari ternak kambing Saanen dan peranakan etawah (PE) yang diberi pellet daun I. zollingeriana sebanyak berturut-turut 761 ml dan 675 ml dibandingkan produksi susu kambing pada waktu yang sama dari kambing Saanen dan PE berturut-turut yang hanya 379 ml dan 390 ml. Banyak pertanyaan di lapangan tentang prospek Indigofera sebagai tanaman pakan yang baru-baru ini mulai banyak dibicarakan dalam forum ilmiah. Secara ekofisiologis, I. zollingeriana termasuk tanaman yang sangat adaptif terhadap kondisi lingkungan yang relatif kering, karena mekanisme fisiologi yang dibangun dalam sistem tubuh tanaman tersebut melalui ekskresi prolin menjadi salah satu cirinya, disamping terdapat mekanisme interaksi dengan hifa mikoriza Prosiding Semnas II HITPI Page 250

68 yang sangat membantu I. zollingeriana untuk mempertahankan produksi daun (Dianita, 2012). Indigofera dapat mempertahankan potensial airnya sangat rendah dibandingkan legum lainnya pada keadaan kekeringan selama ada mikoriza yang berinteraksi dengannya. Secara agronomis Indigofera merupakan tanaman yang sangat mudah dikembangkan, karena potensi reproduksinya yang tinggi untuk menghasilkan polong dengan biji bernas, sifat tumbuh kembali (regrowing) yang baik memungkinkan perkembangan cabang secara progresif, sehingga produksi daun yang tinggi, responsif terhadap pemupukan baik melalui media (tanah) maupun langsung pada permukaan daun, dapat diperlakukan dengan menyisakan batang pada ketinggian meter. Produksi Hijauan dan Pembentukan Cabang/Ranting Indikator produktivitas yang mudah diukur pada tanaman pakan adalah produksi hijauan pakan (BK) selama setahun atau beberapa kali pemanenan. Hijauan yang dimaksud meliputi daun, tangkai daun dan ranting yang dapat dimakan (edible). Indigofera termasuk kedalam salah satu jenis tanaman herba yang mampu menghasilkan hijauan pakan cukup tinggi (Gambar 1.) Kisaran produksi hijauan Indigofera yang dapat dicatat di kebun percobaan di Darmaga dan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan IPB Jonggol antara 7-10 ton BK/ha/panen (catatan: bahwa produksi hijauan ini diperoleh dari tanaman yang diberi pupuk daun). Hasil pengamatan selama ini Indigofera memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan karena alasan karakteristik agronomi dan nilai nutrisinya (Abdullah et al., 2012). Secara agronomis produksi hijauan pakan mengalami peningkatan dari pemangkasan pertama hingga pemangakan ke empat (saat puncak musim hujan) secara eksponensial, namun mengalami pengurangan biomasa setelah pemanenan ke enam. Tingginya pemangkasan (intensitas defoliasi) dapat berpengaruh terhadap produksi hijauan, meskipun faktor ini tidak nampak pengaruhnya terhadap produksi hijauan hingga pemanenan ke enam, namun setelah pemangkasan ke enam pemangkasan dengan tinggi 1.00 meter menghasilkan hijauan pakan lebih tinggi dibandingkan dengan pemangkasan lebih pendek (0,75 m). Pemangkasan yang lebih tinggi hingga 1.5 m dilaporkan oleh Andi Tarigan et al., (2010) menunjukan produksi hijauan lebih banyak dibandingkan pemangkasan yang lebih pendek, namun tidak mengubah jumlah cabang yaitu sekitar buah cabang. Gambar 1. Dinamika produksi hijauan dan percabangan tanaman Indigofera zollingeriana. Sumber : Abdullah et al (2010) Prosiding Semnas II HITPI Page 251

69 Pertumbuhan dan produksi hijauan tanaman pakan dipengaruhi oleh intensitas pembentukan percabangan/ranting. Jumlah cabang tanaman Indigofera pada umumnya berkisar antara 8-30 cabang sejak mengalami pemangkasan pertama hingga pemangkasan ke-10. Setiap cabang memiliki sekitar 2-6 ranting yang pada umumnya masih dapat dikonsumsi ternak terutama dalam keadaan segar. Jumlah ranting dan cabang meningkat secara eksponensial sampai pemangkasan ke-6 dan cenderung melambat diatas pemangkasan ke-8. Produksi hijauan pada sampai pada pemangkasan ke-6 masih mengikuti pola pembentukan cabang dan ranting, sehingga korelasi keduanya positif (r=0.894). Peningkatan jumlah percabangan setelah pemangkasan ke-6 menyebabkan pertumbuhan daun (kanopi) saling menutupi dan banyak daun tidak efektif dalam melakukan proses fotosintesis akibat ternaungi oleh daun diatasnya. Perbanyakan cabang ini menyebabkan penurunan produksi sehingga korelasi keduanya negatif (r=-0.979). Berdasarkan pengalaman ini maka perlu dilakukan manajemen percabangan jika sistem pemangkasan dilakukan hingga ketinggian tanaman m. Ketahanan terhadap Cekaman Kekeringan Sebuah kajian ekofisiologi yang mempelajari ketahanan Indigofera zollingeriana terhadap cekaman kekeringan telah dilakukan oleh Herdiawan et al., 2012 dan Sowmen Kedua studi menemukan hasil bahwa Indigofera termasuk kedalam jenis tanam pakan yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Kemampuan I. zollingeriana terhadap cekaman kekeringan ditunjukan dengan nilai potensial air daun yang berkisar antara -1,8 mpa sampai -7,9 mpa. Selang nilai potensial air daun ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi kekeringan yang ekstrim. Herdiawan et al., (2012) mengungkapkan bahwa meskipun terjadi penurunan produksi tajuk hingga 33,96% akibat pengurangan air hingga 25% kapasitas lapang, namun tanaman ini tetap menghasilkan tajuk, dan mengalami pemulihan ketika tanaman mendapatkan air kembali. Tanaman I. zollingeriana mengalami titik layu permanen hingga umur 20 minggu untuk tanaman I. zollingeriana berumur sekitar 2 bulan, dimana kadar air tanah tinggal 23%. Pada saat kondisi seperti ini tanaman ini menunjukan nilai potensi air daunnya terrendah yaitu -7.9 (Sowmen, 2012). Temuan ini telah mengungkap bahwa I. zollingeriana merupakan tanaman pakan yang dapat bertahan pada kondisi kering. Budidaya Tanaman Indigofera Produksi Benih I. zollingeriana merupakan salah satu jenis leguminosa semak yang sangat mudah menghasilkan benih. Jumlah polong dalam setiap tangkai bervariasi antara 7-17 buah dengan panjang polong antara cm, jumlah benih per polong antara 5-7 butir dengan didominasi benih bernas 64-82% (Gambar 2. Indigofera mulai berbunga sejak umur 2 bulan setelah transplantasi, dan bunga berkembang menjadi polong memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Pematangan fisiologis benih terjadi hingga minggu ke-6 tergantung curah hujan. Warna polong yang sudah mengalami masak fisiologis adalah hitam kecoklatan dan terdapat relief pada setiap segmen benih yang menunjukan benih bernas. Polong merupakan salah satu bagian tanaman yang paling mudah diserang hama. Frekuensi investasi Prosiding Semnas II HITPI Page 252

70 hama dan penyakit seperti jamur pada polong dapat mencapai 36% pada musim hujan. Gambar 2. Bentuk tanaman dan polong Indigofera zollingeriana Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa mencapai 8-9%. Benih normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan persentase perkecambahan (daya kecambah) 28-35% jika benih pernah mengalami penyimpanan selama 2 bulan. Pada umumnya daya kecambah yang rendah disebabkan oleh kulit benih yang tebal dan invasi jamur pada saat perkecambahan. Pengalaman di laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB menunjukan pemberian bahan organik (pupuk organik) pada media penyemaian dapat meningkatkan daya kecambah menjadi 67%-74%. Perlakuan benih dengan skarifikasi pemanasan kering dari 30 o C menjadi 45 o C menurunkan daya kecambah dari 58% menjadi 29% pada pengamatan umur perkecambahan 7 hari. Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat fotoblastik negatif, karena benih yang berkecambah pada germinator gelap lebih banyak dibandingkan germinator terang (44% - 57% vs 24% - 29%; P<0.05). Karakteristik fisiologi lainnya dari benih I. zollingeriana adalah menurunnya daya kecambah benih jika telah mengalami penyimpanan dan penundaan waktu berkecambah. Penyimpanan lebih dari 4 minggu dapat menurunkan daya kecambah benih hingga 24%. Secara fisik benih berwarna coklat (b) dan coklat kehitaman (c) bulat berisi lebih baik dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau kecoklatan (Gambar 3). Penambahan panjang hipokotil dari umur kecambah 4 hari ke umur 7 hari mencapai 177%, namun mengalami penurunan penambahan tinggi hipokotil sebanyak 26.26% dengan bertambahnya umur kecambah menjadi 14 hari. Pengeringan benih hingga 45 o C dapat menurunkan daya kecambah benih hingga 29.85% dan 41.53% berturut-turut pada umur kecambah 4 hari dan 14 hari. Gambar 3. Bentuk dan warna benih Indigofera pada kondisi masak fisiologis berbeda. Benih berwarna coklat kehitaman lebih bernas dibanding yang masih muda (Sumber Foto : Nanda dan Rhoma, 2011) Prosiding Semnas II HITPI Page 253

71 Persemaian Benih Indigofera sangat mudah dihasilkan Persemaian benih pada baki yang berisi media tumbuh pasir, tanah dan pupuk kandang (1:1:1). Setelah pengujian benih, benih langsung ditabur secara merata ke permukaan media tanam pada baki Penyiraman dilakukan secara hati-hati agar kecambah tidak rusak, tidak tergenang (Gambar 4). Hari ke 7-10 dipindahkan ke polibag ukuran 0.5 kg. Bibit muda dipelihara di bawah naungan dengan menggunakan paranet naungan 65%. Pembersihan lahan, pembajakan, penggaruan, penggemburan, pengguludan dan dibuat jarak tanam m. Jarak individu tanaman antar guludan 1.5 m dan jarak invidu tanaman dalam guludan 1m. Populasi tanaman 6600 individu tanaman/ha. Tanaman berumur 1 bulan dapat dipindahkan secara hati-hati ke lobang tanaman dengan jarak tanam yang sudah ditentukan. Gambar 4. Proses penyemaian dan pembibitan tanaman Indigofera Untuk hasil yang baik, pemberian pupuk kandang dalam lobang tanam sebanyak g/lobang. Untuk menghasilkan bentuk tajuk yang baik dan pertumbuhan cabang yang baik, potong tanaman dengan ketinggian cm. Pemotongan pertama sebaiknya dilakukan setelah tanaman mencapai target ketinggian yang diharapkan. Pemberian pupuk cair anorganik maupun organik seperti urin sapi dapat memacu pertumbuhan dan pembentukan tajuk lebih cepat dibandingkan dengan kontrol (tanpa pupuk). Salah satu pupuk buatan yang dikembangkan di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB yang dirancang khusus untuk pertumbuhan tajuk Indigofera adalah INDIGO- FERTILIZER dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk ini untuk setiap satu liter diencerkan dalam liter, tergantung hasil yang diharapkan. Kebutuhan pupuk cair untuk satu hektar adalah 10 botol untuk sekali penyemprotan. Pupuk daun diberikan 4 kali selama periode penanaman, yaitu pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan 42 hari setelah pemangkasan atau panen sebelumnya (Gambar 5). Pemanenan dilakukan dengan interval 60 hari, menyisakan tegakan tanaman cm. bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible). Batang yang tidak terpakai hasil pemangkasan yang dianggap tidak dapat dimakan dapat digunakan sebagai kayu bakar ringan atau digunakan untuk mulsa. Pertumbuhan kembali (regrowth) tajuk Indigofera akan terlihat setelah satu minggu jika cukup curah hujan (Gambar 6). Daun dan batang dikeringkan, Prosiding Semnas II HITPI Page 254

72 kemudian dirontokan dengan mesin perontok (daun kering dengan sendirinya terlepas dari batang edible). Pengeringan dengan sinar matahari 4 jam sudah menyisakan kadar air sekitar 28%, dan pada 2 jam pertama kadar air sudah mencapai 30%, atau pengeringan dengan oven 70 o C selama 2 jam. Kadar air ini sangat sesuai untuk pembuatan tepung (agar tidak terlalu berdebu) dan mudah dibentuk pelet. Gambar 5. Pertumbuhan, pembentukan tajuk dan penyemprotan pupuk cair pada daun Indigofera Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2010), mengungkapkan bahwa aplikasi pupuk daun dapat memperbaiki produksi hijauan tanaman Indigofera, total produksi daun, rataan tinggi tanaman, rataan jumlah cabang, rataan persentase pucuk terhadap total daun dan rasio daun-batang. Seperti terlihat pada Tabel 1. Respons tanaman I. zollingeriana terhadap perlakuan pemupukan daun menunjukan bahwa terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan produktivitasnya. Pemupukan daun dengan menggunakan pupuk cair INDIGO- FERTILIZER juga dapat memperbaiki komposisi dan konsentrasi asam amino pada daun (Abdullah dan Kumalasari 2012). Pemupukan tidak hanya melalui daun tetapi praktek pemupukan dengan pupuk organik pada tanah sangat dianjurkan, karena dapat meningkatkan produksi hijauan pakan secara signifikan (18%). Tabel 2. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan dan pertumbuhan tanaman Indigofera Sumber : Abdullah dan Kumalasari (2010) Prosiding Semnas II HITPI Page 255

73 Produksi dan kualitas hijauan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi daun muda dan daun tua tanaman Indigofera. Dinamika komposisi antara daun muda dan daun tuda terjadi sesuai waktu pemangkasan. Hasil studi menunjukan bahwa semakin tua umur pemangkasan dari 38 hari menjadi 88 hari semakin meningkat proporsi daun tua dari 58.4% menjadi 75.3% dan semakin menurun proporsi daun muda dari 41.6% menjadi 24.7% (Abdullah dan Suharlina, 2010), meskipun produksi total hijauan meningkat dari 2673 kg BK/ha/panen menjadi 5410 kg BK/ha/panen. Konsekuensi perubahan komposisi ini adalah penurunan kualitas yang ditunjukan oleh penurunan kandungan protein dari 22% menjadi 20%, dan penurunan kecernaan bahan kering dari 74.52% menjadi 67.39% serta penurunan kecernaan 73.79% menjadi 69.63%. Gambar 6. Pemanenan menghasilkan hijauan pakan dan batang untuk kayu bakar. Pertumbuhan kembali setelah pemanenan pada musim hujan bisa terlihat setelah satu minggu Peran Tanaman Indigofera terhadap Kesuburan Tanah Sebagai tanaman leguminosa yang akan dikembangkan untuk sumber hijauan pakan, Indigofera juga diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap kestabilan kesuburan tanah. Mekanisme simbiosis untuk fiksasi nitrogen udara dengan bakteri rhizobium dan transfer unsur hara dan air melalui simbiosis dengan mikoriza diharapkan dapat meningkatkan peran Indigofera dalam menjaga ekologi tanah. Hasil pengamatan pada pot terkontrol di rumah kaca menunjukan bahwa keberadaan Indigofera dipandang mampu mempertahankan kandungan C, N dan P. Indigofera mampu meningkatkan residu akar dan asam organik pada tanah sehingga dapat meningkatkan taraf kandungan karbon organik tanah sebesar 16.8%, yang berarti dapat memberikan peluang untuk berkembangnya mikroorganisme tanah (Suharlina dan Abdullah, 2012). Demikian halnya dengan kandungan N dan P tanah yang relatif masih stabil setelah penanaman Indigofera, meskipun sebagian telah dimanfaatkan (uptake) oleh tanaman untuk kebutuhan pertumbuhan dan pembentukan tajuk. Hal penting lainnya secara mikrobiologis, keberadaan perakaran Indigofera pada tanah dapat meningkatkan populasi bakteri pelarut fosfat, yang diduga menjadi salah satu factor stabilnya kandungan fosfat tersedia pada tanah setelah penanaman Indigofera. KESIMPULAN Indigofera zollingeriana sebagai tanaman leguminosa sangat potensial sebagai sumber hijauan pakan, yang secara agronomis mudah dikembangkan melalui benih. Reproduktivitas yang tinggi memungkinkan pengembangan secara Prosiding Semnas II HITPI Page 256

74 nasional untuk suplementasi protein dan perbaikan asupan nutrisi lainnya untuk ternak. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, L Herbage production and quality of Indigofera treated by different concentration of foliar fertilizer. Med Pet., 33(3): Abdullah, L and Suharlina, Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at different time of first regrowth defoliation. Med. Pet., 1(33): Abdullah, L. N.R. Kumalasari, Nahrowi dan Suharlina Pengembangan Produk Hay, Tepung dan Pelet Daun Indigofera sp. sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan IPB. Abdullah, L. and N.R.Kumalasari Amino Acid Contents of Indigofera arrecta Leaves After Application of Foliar Fertilizer. Journal of Agricultural Science and Technology Vol. 1 No.8, hal , Des 2011, ISSN , David Publishing Co. Illinois, Amerika Serikat. Abdullah, L., A. Tarigan, Suharlina, D. Budhi, I. Jovintry dan T.A. Apdini Indigofera zollingeriana : A promising forage and shrubby legume crop for Indonesia. Proceeding the 2 nd International Seminar on Animal Industry. JCC, Jakarta p Andi Tarigan, L. Abdulla, S.P. Ginting dan I.G. Permana Produksi dan komposisi serta nutrisi In vitro Indigofera sp. Pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 15(3): Apdini, T.A.P Pemanfaatan Pellet Indigofera sp. pada Kambing Perah Peranakan Etawah dan Saanen di Peternakan Bangun Karso Farm, Skripsi, IPB. Aylward, J.H.; Court, R.D.; Strickland, R.W.; Hegarty, M.P Indigofera species with agronomic potential in the tropics. Rat toxicity studies. Australian Journal of Agricultural Research. v. 38(1) p Dianita, R Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and non Legume Plants in Integrated System. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Iwan Hrdiawan,L. Abdullah, D. Sopandi, P.D.M.H. Karti and N. Hidayati Productivity of Indigofera sp. At different drought stress level and defoliation interval. J. Animaland Veterinary Sci. 17(2): Suharlina dan L. Abdullah., Peningkatan produktivitas Indigofera sp. Sebagai pakan hijauan berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organic cair : 1. Produksi hijauan dan dampaknya terhadap kondisi tanah. Pastura, Journal Tumbuhan Pakan Tropika, 1(2): Williams., M. C Nitro Compounds in Indigofera Species.Agronomy Journal, Vol. 73 No. 3, : Prosiding Semnas II HITPI Page 257

75 MASALAH PENGEMBANGAN HIJAUAN MAKANAN TERNAK DI ACEH M. Nur Husin dan Didy Rachmadi Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. ABSTRACT Forage development in Aceh is slow if it is compared to other Agriculture sectors. Program of population growth of animal ruminant and its genetic quality depend on the quality and production of forage since forage is the basis of animal feed of ruminant. The problems found were: forage planting was vegetative and the raising system of ruminant was permanent grazing (traditional system). There is no standard regulation about the land used in raising animal in agriculture area, and no investor to develop Animal Husbandry sector as well. The result of the research on the plant of grass and legume in Experimental Farm, University of Syiah Kuala shows that it can improve carrying capacity from 6 Animal Unit (AU) to 12 AU. There is a valuable potential land in Aceh to develop animal ruminant in West Indonesia in order to achieve self supporting of meat in Indonesia. Without sufficient fund this program is impossible to be implemented in the future. Key words: Forage, problems, and development. PENDAHULUAN Pembangunan peternakan di Aceh mempunyai peranan penting dalam pembangunan pertanian secara keseluruhan, namun kemajuannya dirasakan lamban bila dibandingkan dengan kemajuan di sektor pertanian lainnya. Berbagai faktor yang menyebabkan lambatnya kemajuan ini dapat diidentifikasi antara lain: Adanya penyakit parasiter, keguguran, mutu genetik ternak yang rendah, kurangnya pemanfaatan bibit hijauan unggul dan cara beternak yang masih tradisional. Program peningkatan populasi dan mutu genetik ternak ruminansia selalu di dasarkan kepada peningkatan mutu dan produksi hijauan, karena hijauan merupakan basis utama makanan ternak ruminansia. Tanpa perbaikan mutu dan produksi hijauan adalah sulit untuk memajukan usaha pengembangan ternak ruminansia. Usaha apapun (pengobatan, bibit unggul) tidak akan nampak hasilnya apabila masalah hijauan makanan ternak tidak ditanggulangi terlebih dahulu. Hijauan yang mempunyai produksi tinggi membutuhkan tempat tumbuh (tanah) dengan tingkat kesuburan tinggi. Kenyataan menunjukan bahwa lahan yang tersedia untuk pengembangan perternakan adalah lahan klass IV sampai kritis. Lahan ini harus dikelola dengan hati-hati disertai pemupukan berat. Penanaman hijauan unggul (rumput, dan leruminosa) memungkinkan daya tampung ternak dapat di pertinggi 5-20 kali (Mc Ilroy, 1976) di samping dapat meningkatkan kesuburan tanah akibat fiksasi nitrogen oleh leguminosa. Tanaman leguminosa selain mempunyai protein tinggi juga dapat berfungsi ganda dalam penghematan penggunaan pupuk dan sintetik. Setiap kg N yang difiksasi setara dengan 2,22 kg pupuk urea (N urea 46%) Program budidaya hijauan unggul telah lama dilakukan di Aceh. Namun Prosiding Semnas II HITPI Page 258

76 hasilnya masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain: 1. Keinginan masyarakat untuk menanam rumput unggul masih rendah, karena tersedia rumput alam 2. Nilai ekonomis hijauan sangat rendah di bandingkan dengan tanaman lain. 3. Tidak mempunyai kebun bibit hijauan disetiap Kabupaten/Kota yang mudah diperoleh peternak kecuali kabupaten Aceh Besar 4. Sistem pemeliharaan ternak dipedesaan pada umumnya masih tradisional Merubah sistem usaha ternak dari sistem tradisional ke intensif bukanlah pekerjaan yang mudah karena memerlukan perubahan bentuk usaha tani ternak, disamping memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberanian, kepercayaan dan modal usaha yang memadai. Untuk ini diperlukan pemikiran para cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu dan investor untuk mengolah sumber daya alam yang tersedia secara optimal. PEMBAHASAN Potensi Ternak Ruminansia Potensi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba lokal) sampai saat sekarang masih menjadi primadona dalam penyediaan daging di Aceh. Jumlahnya semakin berkurang akibat adanya konflik bersenjata yang dimulai tahun 1976 antara GAM dan pemerinta RI yang berkepanjangan dan ditambah Tsunami Potensi genetik sapi aceh tidak terlalu rendah dibandingkan sapi bali. Pertambahan berat badan sapi jantan aceh yang dipelihara secara tradisional pada umur 2-3 tahun antara g/hari per ekor dan yang intensif g/hari/ekor (Basri, 2003) sedangkan sapi bali mempunyai tambahan berat badan jantan g/hari/ekor (Sitepu, 2009) dan Brahman Cross 1200 g/hari/ekor (Rahmadi, 2012). Menurut BPS (2012) di Aceh terdapat ekor sapi ( di antaranya adalah sapi bali), kerbau ekor, kambing ekor, dan domba ekor. Populasi sapi, kambing dan domba terbesar di temukan di pantai utara Aceh (Banda Aceh Sampai Aceh Tamiang), sedangkan populasi kerbau banyak di temukan di Pantai Barat Selatan (Banda Aceh sampai Aceh Singkil, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Pulau Simeulu). Pemotongan ternak sapi /ekor/tahun, kerbau /ekor/tahun, kambing /ekor/tahun, dan domba /ekor/tahun. Harga daging di Banda Aceh termasuk harga tertinggi di Dunia. Secara konkrit harga daging sapi, kerbau dan domba berkisar antara Rp Rp /kg dan harga daging kambing berkisar antara Rp Rp /kg. (Mai 2013) dan pada hari Megang (2 hari sebelum bulan puasa/idul Fitri dan Idul Adha) harga daging naik 20-30%. Sistem pemeliharaan ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba pada umumnya secara tradisional. Dimana ternak dilepas bebas mencari makan sendiri di permukiman penduduk atau di jalan raya. Hal ini merugikan banyak pihak karena menjadi hama bagi tanaman pertanian dan mengakibatkan sering terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Pemeliharaan secara intensif dengan pemberian hijauan unggul banyak di temukan di bantaran Krueng Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Semnas II HITPI Page 259

77 Potensi Lahan Aceh mempunyai lahan padang penggembalaan seluas /ha pada tahun Akibat infasi tanaman industri, perkebunan dan permukiman penduduk, sekarang luasnya ha, persawahan ha, lahan kering ha, kebun rakyat ha, perkebunan besar (sawit dan karet) ha, lahan pemukiman ha, merupakan sumber lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan hijauan dan ternak (BPS, 2012). Merubah sistem usaha ternak tradisional ke intensif akan memberikan keuntungan antara lain; 1. Mempertinggi daya guna tanah dan daya tamping ternak 2. Memperluas lapangan kerja bagi pengangguran dan masyarakat pedesaan 3. Dapat menambah pendapatan dan mengurangi kemiskinan 4. Dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengangguran dan Kemiskinan Komplek bersenjata antara GAM dan Pemerintah RI yang berkepanjangan ditambah gempa dan Tsunami 26 Desember 2004, yang melanda Aceh telah menimbulkan banyak korban jiwa manusia, ternak, tananam, harta benda, mata pencaharian yang tidak terkira nilainya. Namun disisi lain, terdapat hikmah besar yang timbul secara spontan dan sangat luar biasa dari masyarakat Indonesia dan Internasional yang membantu perjuangan hidup mati rakyat Aceh. Perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI 15 agustus 2005 di Helsinki telah membawa angin sejuk bagi rakyat miskin untuk bangkit kembali menyongsong hari depan yang lebih cerah. Daerah Aceh sejak kemerdekaan merupakan salah satu daerah kaya di Indonesia dan dijuluki sebagai daerah modal (Soekarno, Presiden RI) namun kenyataannya sampai saat ini merupakan salah satu daerah miskin di Indonesia dengan jumlah penduduk 5,1 juta jiwa, penduduk miskin 19,46% dan pengangguran 7,43% (di atas rata-rata nasional). Tidak diketahui secara pasti kapan kemiskinan dan penganguran dapat ditanggulangi di Aceh. Masalah kemiskinan dan kesempatan kerja merupakan masalah nasional yang belum dapat ditanggulangi sampai saat sekarang. Jangankan masyarakat miskin dan pemuda putus sekolah, Lulusan Sarjana saja banyak yang menganggur belum mendapat pekerjaan yang layak. Menciptakan lapangan kerja pada saat sekarang bukanlah pekerjaan mudah, karena memerlukan pengetahuan, ketrampilan, keberaniaan dan modal usaha yang memadai. Membuka usaha peternakan adalah salah satu alternatif untuk menggurangi pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan strategi dan terobosan Gubernur Aceh (Zaini Abdullah, 2013) memilih bidang usaha peternakan menjadi salah satu usaha andalan untuk memerangi kemiskinan dan pengangguran Pekerjaan ini tidak semudah membalik telapak tangan Budidaya Hijauan Budidaya hijauan unggul daerah Aceh di temukan berkembang pesat dipinggiran Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Daerah ini dikenal sebagai kantong tempat penggemukan ternak dikandang (zero grazing). Diprediksi jumlah rumput unggul yang telah dibudidaya mencapai ha, dimana 70% berada di Prosiding Semnas II HITPI Page 260

78 kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar dan 30% di wilayah Aceh lainnya. Keadaan ini disebabkan karena sumber bibit hijauan unggul yang tersedia hanya adalah di Unit Pelaksana Teknis Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Makanan Ternak (BPTU-HMT) Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Jarak (BPTU- HMT) Indrapuri dengan ibu kota Banda Aceh 30 km. Hasil penelitian hijauan unggul yang dikumpulkan dari kebun percobaan HMT Unsyiah (Husin dkk., 2012) tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi Segar Hijauan Unggul Di Aceh No. Nama Hijauan Produksi Ton /Ha 1. King grass (rumput raja) Elephant grass (rumput gajah) Guenia grass (rumput benggala) Setaria (rumput lampung) Star grass (rumput bintang) Signal grass (rumput bede) Paca grass (rumput kolonjono) Coronivia grass (rumput beha) Centro (kacang kupu) Calopo (kacang asu) Siratro (kacang kara) Peuro (kacang ruji) Leucaena (lamtoro) Proyeksi hasil penelitian pada kebun kelapa rakyat yang ditumbuhi rumput alam dengan penggantian spesies hijauan unggul daya tampung ternak dapat ditingkatkan 8-12 Unit Ternak (UT/ha). Kendala Pengembangan Hijauan Makanan Ternak Unggul 1. Sukar mendapat bibit dalam bentuk biji, reproduksi hijauan dilakukan dengan cara vegetative (stek, stolon, dan anakan). 2. Pengembangan hijauan di daerah permukiman penduduk memerlukan biaya tambahan untuk pemagaran, agar ternak tidak masuk ke kebun hijauan. 3. Sebagian tanah peternakan telah mendapat HGU diterlantarkan oleh pemilik modal berdasi. 4. Tidak ada aturan yang jelas dari pemerintah tentang tata laksana penggunaan tanah. 5. Program pengembangan bibit hijauan dari dinas terkait sangat sedikit. Saran 1. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus membuat peraturan yang jelas tentang Tata Laksana Penggunaan Tanah Peternakan, Tanaman Pangan, Perkebunan, Budi daya Perikanan, dan Kehutanan. 2. Pemerintah membatalkan HGU dari pengusaha berdasi apabila dalam 1 (satu) tahun HGU tersebut tidak diusahakan. 3. Membuat kebun bibit hijauan makanan Ternak (HMT) di setiap Kecamatan minimal 10 ha. Prosiding Semnas II HITPI Page 261

79 4. Memberi pelatihan budidaya hijauan ternak kepada petani ternak yang melibatkan tenaga ahli hijauan. 5. Pemerintah perlu menyediakan dana khusus untuk pengembangan HMT dan ternak melalui dana APBN, APBA, dan APBD. 6. Pemerintah mencari Investor untuk menanam modal pada usaha peternakan di Aceh agar realisasi swasembada daging di Indonesia terpenuhi. DAFAR PUSTAKA BPS., Aceh dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Rachmadi, D Penggunaan Bungkil Inti Sawit dalam Ransum terhadap Pertambahan Sapi Brachman Cross. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Basri, H Penggunaan Molases dalam Ransum terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Aceh. Penelitian Mandiri. Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Husin, MN, M.J. Helmy., A.G. Fadli Pedoman Memelihara Sapi di Pedesaan. Badan Pembinaan Pendidikan Dayah. Pemerintah Aceh, Banda Aceh. Husin, M.N., Asril., M. Delima, D. Rachmadi Kumpulan Hasil Penelitian Hijauan. Laboratorium Hijauan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Unsyiah, Banda Aceh. McIlroy, R.J., Pengantar Budidaya Rumput Tropika. Terjemahan. Pradnya Paramita. Jakarta Sitepu, M Cara Memelihara Sapi Organik. PT. Indek. Jakarta. Zaini, A Memperkuat Perekonomian yang Inklusif Melalui Penanggulangan Kemiskinan dan Penurunan Pengangguran Menuju Aceh Sejahtera. Tabloid Tabangun Aceh. Edisi 31, April 2013, Banda Aceh. Prosiding Semnas II HITPI Page 262

80 PRODUKSI PADANG PENGGEMBALAAN ALAM DAN POTENSI PENGEMBANGAN SAPI BALI DALAM MENDUKUNG PROGRAM KECUKUPAN DAGING DI PAPUA BARAT Onesimus Yoku, Andoyo Supriyantono, Trisiwi Widayati dan Iriani Sumpe Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua Jl. Gunung Salju Amban Manokwari ABSTRACT West Papua is an area with high potential for the development of beef cattle because the capacity of the area is quite extensive. Availability of the natural resources provides great opportunities to develop of Bali cattle business. This study aims to analyze the botanical composition, carrying capacities, and forage production potential in Kebar, West Papua. Botanical composition was analyzed by the ranking method (dry weight rank) which observing only three types of forage that has a big contribution, and set them as 1, 2, and 3 ranking based on dry matter, while forage production was estimated by sample method using 1 m 2 quadrants. The results showed that almost 100% forage on pasture were dominated by grass; very low carrying capacity of natural pastures, it was about 0.48 to 1.70 UT / ha / year; forage production on natural pastures have not any potential for planing of Bali cattle/beef cattle development to support beef sufficiency program in West Papua. Keywords: grassland natural, botanical composition, carrying capacities ABSTRAK Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan ternak sapi potong karena daya dukung wilayah cukup luas. Ketersediaan sumberdaya alam tesebut memberikan peluang besar bagi pengembangan usaha peternakan sapi bali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi botanis, kapasitas tampung, dan potensi produksi hijauan pakan di dataran Kebar kabupaten Tambraw provinsi Papua Barat. Komposisi botanis dianalisis dengan metode ranking (dry weight rank) yaitu dengan mengobservasi hanya tiga jenis hijauan yang mempunyai kontribusi besar, dan menetapkannya sebagai ranking 1, 2, dan ranking 3 berdasarkan bahan kering, sedangkan produksi hijauan pakan diestimasi dengan metode cuplikan menggunakan kuadran berukuran 1 m 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 100% hijauan pada padang penggembalaan di dominasi jenis rumput; kapasitas padang penggembalaan alam sangat rendah yaitu 0,48-1,70 UT/ha/tahun; dan produksi hijauan pada padang penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk rencana pengembangan ternak sapi bali dan/atau sapi potong untuk mendukung program kecukupan daging sapi di provinsi Papua Barat. Kata Kunci: Padang penggembalaan alam, komposisi botanis, kapasitas tampung PENDAHULUAN Papua Barat merupakan daerah yang sangat potensial bagi pengembangan ternak sapi potong karena daya dukung wilayah berupa padang penggembalaan Prosiding Semnas II HITPI Page 263

81 alami cukup luas. Ketersediaan sumberdaya alam tesebut memberikan peluang besar bagi pengembangan usaha peternakan sapi bali. Namun demikian sapi bali saat ini cenderung mengalami penurunan kualitas karena adanya seleksi negatif ditingkat peternak (Djagra et al., 2002; Jan, 2000; Talib et al., 2002; Supriyantono et al., 2011). Pembangunan peternakan secara nasional secara mutlak memerlukan peran serta peternakan rakyat, mengingat produksi ternak di Indonesia didominasi oleh peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional (99,70%) dan sisanya sebesar 0,30% diusahakan oleh perusahaan berskala besar (Soedjana, 2005). Sehingga sangat perlu untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam mengembangkan peternakan rakyat, melalui dukungan baik dari permodalan, teknologi, bibit, manajemen pengembangan melalui standardisasi usaha peternakan. Peningkatan kualitas bibit sapi bali dapat dilakukan dengan mengembangkan village breeding center (VBC) dengan melibatkan masyarakat. Salah satu daerah pengembangan VBC di Papua Barat adalah Kabupaten Kebar yang memiliki hamparan padang penggembalaan seluas ±1.500 ha. Daerah ini diharapkan mampu menjadi salah satu lumbung daging sapi di Papua Barat guna mendukung Program Swasembada Daging Sapi Pengembangan padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat dilakukan hanya jika diketahui susunan/komposisi vegetasi dan kapasitas tampung padang penggembalaan dimaksud. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi yaitu padang penggembalaan alam kampung Inam dan kampung Jandurau. Kampung Inam dan Kampung Jandurau merupakan bagian dari wilayah distrik Kebar, kabupaten Tambrauw, provinsi Papua Barat. Lokasi pengambilan sampel (cuplikan) ditetapkan secara purposif berdasarkan jenis vegetasi (hijauan pakan ternak) dan luas padang penggembalaan alam. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal. Menurut petunjuk Susetyo (1980) yaitu untuk padangan dengan luas 65 ha, ditetapkan sebanyak 100 cuplikan. Cuplikan diambil secara sistematik dengan arah diagonal. Metode dry weight rank (DWR) digunakan untuk mengestimasi komposisi jenis-jenis hijauan pakan (komposisi botani) atas dasar bahan kering. Metode DWR digunakan dengan mengobservasi hanya tiga jenis hijauan yang mempunyai kontribusi besar yang ditemukan dalam kuadran (ranking 1, 2, dan 3) tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan. Selanjutnya untuk mengetahui produksi hijauan dan sampel untuk analisis laboratorium, hijauan yang terdapat dalam areal kuadran dipotong sekitar 5-10 cm di atas permukaan tanah dan ditimbang beratnya menggunakan timbangan digital kapasitas 5 kg dengan ketelitian 10 g. Variabel penelitian meliputi komposisi botani dan kapasitas tampung. Komposisi botani dihitung untuk mengetahui komposisi atau susunan spesies hijauan pada suatu padang penggembalaan. Jenis hijauan yang termasuk dalam ranking 1, 2, dan 3, tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan. Selanjutnya dikalikan dengan angka konstanta berturut-turut 8,02; 2,41; dan 1 (jika total tidak sama) atau 70,2; 21,1; dan 8,7 (jika total sama), Prosiding Semnas II HITPI Page 264

82 Kapasitas tampung dihitung berdasarkan petunjuk Subagio dan Kusmartono (1988). Menentukan kuantitas produksi hijauan dalam kuadran 1 m 2. Menetapkan Proper use factor (PUF) tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan, dan kondisi tanah padang penggembalaan. Penggunaan padang penggembalaan ringan, sedang, dan berat nilai PUFnya masing-masing 25-30%, 40-45%, dan 60-70%. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan dan pada penelitian ini diperhitungkan sebesar 10% dari berat badan ternak. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu padang penggembalaan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali (periode istirahat) dan siap untuk digembalakan lagi. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari. Taksiran kebutuhan kebutuhan luas tanah per tahun digunakan rumus Voisin, yaitu : (Y-1) s = r, dimana : Y = angka konversi luas tanah yang dibutuhkan per tahun terhadap kebutuhan per bulan, s = periode merumput, dan r = periode istirahat. Angka konversi luas tanah yang dibutuhkan dari per bulan menjadi per tahun sebesar 3,3 ((Y-1) s = r ; r = 70 hari, dan s = 30 hari). Pengukuran kapasitas tampung sapi dengan dasar kebutuhan pakan untuk ternak sapi dewasa per hari adalah 3,1 kg bahan kering atau 10% dari berat badannya (Reksohadiprodjo, 1985). HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Botani Hasil penelitian menunjukkan bahwa padang penggembalaan alam memiliki variasi jenis hijauan (vegetasi) sangat tinggi. Jenis-jenis hijauan yang tercatat pada tiga ranking terbanyak untuk dua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada dua lokasi kampung Inam NO Nama hijauan/spesies Kel. Wanimeri (%) Kel. Bitawi (%) Keterangan 1 Bothriochloa ischaemum 14,29 R 2 Kyllinga brevifolia (teki) 38,93 R 3 Ischaemum indicum 24,64 R 4 Cyperus rotundus (teki) 4,28 R 5 Hyparrhenia hirta 14,29 R 6 Scirpus grossuss (teki) 3,56 R 7 Imperata cylindrica 73,42 R 8 Osmunda regalis (paku) 22,01 BP 9 Mikania cordata 2,28 BP 10 Lycopodium cernuum (paku) 2,28 BP TOTAL 100,00 100,00 Rumput 100,00 73,42 Hijauan lain - 26,58 Keterangan : Kel. = kelompok; Ket. = keterangan, R = rumput, BP = bukan pakan ternak Pada lokasi kampung Inam jenis hijauan yang dominan sangat berbeda pada dua lokasi, masing-masing lokasi kelompok Wanimeri adalah tumbuhan teki Prosiding Semnas II HITPI Page 265

83 (Kyllinga brevifolia) sebesar 38,93% dan 100% termasuk kategori rumput, sedangkan pada kelompok Bitawi didominasi oleh Imperata cylindrica sebesar 73,42% dengan sebaran 73,42% rumput dan 26,58 bukan pakan ternak. Tabel 2. Jenis-jenis hijauan yang dominan pada lokasi kampung Jandurau No. Nama hijauan/spesies Persen Ket. 1. Paspalum conjugatum 18,28 R 2. Ischaemum indicum 12,87 R 3. Ipomea batas 0,73 BP 4. Phragmites karka 1,75 R 5. Mikania cordata (bkn pakan) 0,73 BP 6. Cyperus rotundus (teki) 9,36 R 7. Sida rhumbefolia 2,48 BP 8. Imperata cylindrica 20,76 R 9. Osmuda regalis (paku tauge) 11,70 BP 10. Rumput kelinci btg merah 0,73 R 11. Hyparrhenia hirta 9,79 R 12. Amaranthus sp (bayaman-bkn hmt) 1,75 BP 13. Panicum bunga coklat 6,58 R 14. Kyllinga brevifolia (teki) 1,75 R 15. Lycopodium cernuum (paku jari) 0,73 BP TOTAL 100,00 Rumput 73,42 Hijauan lain 26,58 Keterangan : Ket. = Keterangan, R = Rumput, BP = Bukan pakan ternak Pada lokasi kampung Jandurau tiga jenis hijauan yang dominan, masingmasing 20,76% Imperata cylindrica, 18,28% Paspalum conjugatum, 12,87% Ischaemum indicum dan tidak ditemukan jenis hijauan legum, tetapi hanya jenis rumput dan jenis hijauan lainnya yang tidak termasuk jenis hijauan pakan (tidak dapat dikonsumsi ternak). Kondisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Setiana (2010) bahwa ternak ruminansia secara alami memanfaatkan tumbuhan untuk kebutuhan hidupnya, terutama jenis tumbuhan berasal dari famili Gramineae atau Poacea atau rumputan. Menurut Kristianto dan Nappu (2004), sistem pemeliharaan sapi potong di tingkat petani juga masih kurang optimal, oleh karena ternak sapi pada siang hari diikat di padang penggembalaan alam dengan kualitas hijauan yang masih rendah, karena komposisi hijauan pakan ternak didominasi oleh alang-alang dan semak belukar. Selanjutnya dikemukakan bahwa hijauan pakan ternak lokal yang tidak bernilai gizi tinggi merupakan penyebab utama rendahnya produksi sapi. Potensi Produksi Hijauan dan Kapasitas Tampung Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas tampung padang penggembalaan alam di dataran Kebar cukup rendah yaitu berkisar antara 0,48-1,70 UT/ha/thn. Potensi produksi hijauan dan kapasitas tampung padang penggembalaan menurut lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Prosiding Semnas II HITPI Page 266

84 Tabel 3. Potensi produksi hijauan dan estimasi kapasitas tampung a. Padang Penggembalaan Alam KAMPUNG INAM KAMPUNG JANDURAU Variabel Pengamatan/Uraian Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam Produksi hijauan, kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478 Produksi hijauan, kg/ha, * Produksi hijauan tersedia, kg/ha, *25% (rendah) 2387,5 4377, KT (carrying capacity), UT/ha/thn 0,9646 1,7687 1,0646 0,4828 b. Kebun Rumput Raja Variabel Pengamatan/Uraian HASIL Produksi hijauan, kg/rumpun 4,2 Produksi hijauan (PH), kg/ha ,00 Produksi hijauan tersedia, kg/ha Musim hujan, 100%, (5/2)(1*PH) ,00 Musim kemarau, 60%, (7/3)(0,6*PH) ,00 Jumlah (kg/ha/thn) ,00 Berat 1 unit ternak (UT) sapi, kg 250 Kebutuhan pakan (10% BB), kg/hari 25 Kebutuhan pakan per tahun (365 hari), 25 kg* Kapasitas tampung, UT/ha/thn 28,72 c. Total kapasitas tampung (UT/ha/thn) 29,68 30,49 29,78 29,20 Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa produktivitas padang penggembalaan alam sangat tidak potensial untuk mendukung rencana pengembangan ternak sapi potong (sapi bali). Kapasitas tampung padang penggembalaan alam sangat rendah yaitu berkisar antara 0,48-1,70 UT/ha/thn atau setinggi-tingginya dapat menampung 2 unit ternak (2 ekor sapi betina dewasa atau 1 UT setara satu ekor sapi betina dewasa dengan berat badan 250 kg). Diperlukan upaya-upaya perbaikan padang penggembalaan alam dan peningkatan kapasitas tampung. Salah satu upaya alternatif yaitu membangun kebun hijauan pakan ternak. Jika dalam luasan 1 ha ditanami rumput raja dengan jarak tanam 100 cm 60 cm, untuk jangka waktu satu tahun dapat mencapai kapasitas tampung sekitar 28,72 UT/ha/thn atau setara 28,72 atau 29 ekor sapi dewasa (lihat Tabel 3). Untuk mendukung peningkatan produksi sapi potong dan usaha untuk mencapai program swasembada daging sapi, maka diperlukan perbaikan tatalaksana pemeliharaan sapi di tingkat petani secara tepat (Kristianto dan Nappu, 2004) Komposisi Kimia Padang Penggembalaan Alam Hasil analisis komposisi kimia nutrien hijauan pakan di lokasi penelitian, masing-masing bahan kering (BK), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat kasar (SK), dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) disajikan pada Tabel 4. Prosiding Semnas II HITPI Page 267

85 Tabel 4. Komposisi kimia hijauan pakan di padang penggembalaan alam Kebar No Komponen Komposisi Kisaran 1. Air (%) 9,74 8,25 10,75 2. BK (%) 90,26 89,26 91,75 3. PK (%) 3,99 3,54 4,42 4. LK (%) 2,37 1,98 2,81 5. SK (%) 40,87 37,37 46,63 6. BETN (%) 44,75 42,20 49,21 7. Abu (%) 8,02 5,27 10,57 Ca (%) 0,0874 0,0357 0,1162 P (%) 0,0809 0,0651 0, GE (Kal/g) 4391, , ,86 Keterangan : BK =bahan kering, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK = serat kasar, BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, Ca = kalsium, P = fosfor, Kalori = gross energy (GE) Rata-rata kandungan PK hijauan pakan pada padang penggembalaan alam sebesar 3,99% termasuk dalam kategori sangat rendah. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Siregar (1994) bahwa hijauan dikategorikan pada kualitas rendah bila kandungan protein kasarnya kurang dari 5%, sedang bila kandungan PK adalah 5-10%, dan tinggi bila PK hijauan adalah lebih besar dari 10%. Rata-rata kandungan PK padang penggembalaan sebesar 3,99% (Tabel 1) disebabkan karena komposisi botani hijauan sebagian besar adalah jenis rumput, sebagian kecil hijauan bukan pakan, dan tanpa leguminosa. Kondisi padang penggembalaan ini akan berdampak pada rendahnya produktivitas ternak karena kebutuhan minimal PK bagi ternak ruminansia sebesar 8% tidak terpenuhi. Produktivitas dan kualitas padang penggembalaan di kampung Inam dan Jandurau perlu ditingkatkan dengan introduksi hijauan pakan jenis rumput dan leguminosa yang sesuai kondisi setempat atau sesuai dengan jenis tanah dan kondisi iklim. KESIMPULAN Hijauan pakan yang mendominasi padang penggembalaan alam Kebar adalah jenis rumput dengan kapasitas tampung sangat rendah yaitu 2 UT/ha/tahun. Produktivitas padang penggembalaan alam dataran Kebar dapat ditingkatkan dengan introduksi spesies yang cocok dan potensi produksi tinggi dan/atau perlu dilakukan program pemberian pakan tambahan (dasar hijauan pakan). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Proyek: DP2M Ditjen Dikti, Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Nomor Kontrak: 244/SP2H/PL/Dit.Litabmas/ III/2012. Prosiding Semnas II HITPI Page 268

86 DAFTAR PUSTAKA Djagra, I.B., I.G.N.R. Haryana, I.G.M. Putra, I.B. Mantra, A.A. Oka., Ukuran Standar Tubuh Sapi Bali Bibit. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Bappeda Propinsi Bali dengan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar. Jan, R., Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali di Daerah Tingkat I Bali. Tesis PPS-UGM, Yogyakarta. Kristanto, L.K dan M. B. Nappu Prospek Pengembangan Sapi Potong Melalui Pola Pengembangan Kolektif Dalam Upaya Swasembada Daging Sapi di Kalimantan Timur. Lokakarya Nasional Sapi Potong. Samarinda Reksohadiprodjo Produksi Hijauan Makanan Ternak. BPFE. Yogyakarta. Siregar, S.B Ransum Ternak Ruminansia. Cetakan Pertama. Swadaya, Jakarta. Subagio, I dan Kusmartono Ilmu Kultur Padangan, NUFIC. Universitas Brawijaya Malang. Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono, Breeding Programme Development of Bali Cattle at Bali Breeding Centre. Journal of Animal Production. 13, 1: Susetyo, S, Pengelolaan dan Potensi Hijauan Makanan Terak untuk Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner and D. Lindsay, Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Programs in Indonesia. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February Lampiran 1. Estimasi produksi hijauan rumput raja tahunan Penanaman rumput Raja : 100 cm x 60 cm Populasi 1 ha = ( m2)/ (1 m x 0,6 m) = rumpun; dalam hitungan dibulatkan rumpun Untuk kondisi umum, 1 rumpun menghasilkan 7 (tujuh) kg hijauan segar Khusus Kebar, diperhitungkan hanya 60% sehingga produksi hijauan segar yang dihasilkan sebanyak 4,2 kg Jadi produksi per ha = 4,2 kg * rumpun = kg/ha Estimasi Produksi Hijauan setahun Masa pertumbuhan dan produksi hijauan Kemarau = 3 bulan Hujan = 2 bulan Jika data Klimatologi tahun 2010 : di Manokwari Bulan Hujan = Nov, Des, Jan, Feb, dan Mart (5 bulan) Prosiding Semnas II HITPI Page 269

87 Bulan Panas = April, Mei, Jun, Jul, Agust, Sep dan Okto (7 bulan) Hitungan : Hujan = (5 bulan / 2 bulan) x produksi hijauan Kemarau = (7 bulan / 3 bulan) x produksi hijauan Estimasi produksi rumput raja = Estimasi Produksi Hijauan Produksi Hijauan TOTAL Rata-Rata (kg/ha) Rata-Rata (kg/ha) PRODUKSI HUJAN (100%) PANAS (60%) HUJAN KEMARAU (kg/ha/thn) , , , , ,00 Lampiran 2. Estimasi kapasitas tampung padangan di kampung Inam dan Jandurau, Kebar, Manokwari a. Padang Penggembalaan Alam Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan KAMPUNG INAM KAMPUNG JANDURAU Wanimeri Bitawi Amawi Aruwam Produksi hijauan kg/m2 0,955 1,751 1,054 0,478 Produksi hijauan kg/ha * Produksi hijauan tersedia (PHT) kg/ha * 25% (rendah) 2387,5 4377, Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg Kebutuhan pakan (30 hari) kg/bulan 25 kg * 30 hari Kebutuhan luas lahan per bulan Ha/bula 750/PHT * 1 (LLB) n ha 0,3141 0,1713 0,2846 0,6276 Kebutuhan luas lahan per tahun Ha/UT/t (LLT) h 3,3 * LLB 1,0366 0,5654 0,9393 2,0711 KT (carrying capacity) UT/ha/t h 1/LLT 0,9646 1,7687 1,0646 0,4828 b. Kebun Rumput Raja Variabel Pengamatan/Uraian Satuan Hitungan HASIL Produksi hijauan kg/rump un Produksi hijauan kg/ha * ,00 Produksi hijauan tersedia kg/ha Musim hujan 100% (5/2)(1*Prod Hij) ,00 Musim kemarau 60% (7/3)(Prod Hij*0,6) 94080,00 Jumlah (kg/ha/thn) ,00 Berat 1 unit ternak (UT) sapi kg 250 (BB) 250 Kebutuhan pakan (10% BB) kg/hari 10% * BB kg 25 Kebutuhan pakan per tahun (365 hari) kg/ha/u T 25 kg * 365 hari 4, Kebutuhan luas lahan per bulan UT/ha/ta / ,72 Prosiding Semnas II HITPI Page 270

88 hun c. Total kapasitas tampung 29,68 30,49 29,78 29,20 PERTUMBUHAN GENERATIF ALFALFA (Medicago sativa L) MUTAN TROPIS, RESPON TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT (HASIL MUTASI INDUKSI EMS) Widyati-Slamet. Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mendapatkan manajemen pemupukan fosfat untuk pertumbuhan generatif alfalfa yang ditanam pada ketinggian tempat tertentu. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), terdiri dari 5 perlakuan (0, 50, 100, 150, 200 kg P 2 O 5 /ha) dan 4 kelompok ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100 biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemupukan fosfat tidak berpengaruh terhadap jumlah tanaman yang berbunga dan berpolong pada umur 14 minggu. Pemupukan fosfat tidak nyata meningkatkan persen tanaman alfalfa yang berbunga dan berpolong, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Alfalfa mutan membutuhkan pemupukan fosfat 122,50 kg P 2 O 5 /ha untuk mendapatkan berat per 100 biji yang maksimum. Kata kunci: alfalfa, pemupukan P, pertumbuhan generatif ABSTRACT The research was aimed to obtain management of Phosphat fertilization for the growth generative of alfalfa at a certain altitude. The research Completely Randomized Block Design with 5 treatments (0, 50, 100, 150, 200kg P 2 O 5 /ha) and 4 replicated. The variable observed growth generative of alfalfa (number of flowering plants, the number of pods plants and weight per 100 seeds). The result of research showed P fertilization had no effect on the number of flowering plants and pod plants at the age of 14 weeks. P fertilization did not increase the percent of alfalfa plants were flowering and pods. Fertilizing of mutan alfalfa with kg P 2 O 5 /ha of P-fertilizer provided the maksimum weight of 100 seeds. Keywords: alfalfa, P fertilization, generative growth PENDAHULUAN Alfalfa (Medicago sativa L. ) dikenal sebagai Queen of Forages", palatabel dan bergizi, kaya protein, vitamin dan mineral (Orloff, 1997), dapat dipakai sebagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak karena mempunyai serat kasar dan protein kasar yang tinggi. Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate (Hoy et al., 2002) dan merupakan tanaman hari panjang. Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, ph 6,5 atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Prosiding Semnas II HITPI Page 271

89 Extension Service, 1998). Kelebihan tanaman alfalfa dapat hidup 3 hingga 12 tahun, tergantung varietas dan iklim di mana tanaman itu hidup. Tingginya dapat mencapai satu meter, memiliki akar yang sangat panjang hingga mencapai 4,5 meter. Keunggulan itulah yang menyebabkan alfalfa mampu bertahan hidup, sekalipun saat terjadi kekeringan. Alfalfa adalah tanaman tahunan berupa herba berakar dalam, bercabang dan membentuk rhizom, mempunyai batang mendatar, menanjak sampai tegak, berkayu di bagian dasar, cabang-cabang di bagian dasar dan menanjak setinggi cm, satu tangkai berdaun tiga (trifoliat), panjang daun 5-15mm, berbulu pada permukaan bawah, tangkai daun berbulu, bunga berbentuk tandan yang rapat berisi bunga, mahkota berwarna ungu atau biru jarang yang berwarna putih (Mannetje dan Jones, 2000). Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa tersaji pada Ilustrasi 1. Tanaman alfalfa merupakan leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate (Hoy et al., 2002). Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, ph 6,5 atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Karakteristik Alfalfa di daerah temperate antara lain: kapasitas produksi tinggi ( ton bahan segar/ha/th), kualitas hijauan tinggi (PK 18-24%), nilai kemampuan tumbuh tinggi yang dipengaruhi tekanan musim dan resistensi terhadap penyakit daun dan tunas serta penyakit akar, kecepatan tumbuh setelah pemotongan, penghasil biji yang baik (Smith et al., 1986). Alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan merupakan hasil perbaikan dari alfalfa subtropis yang dilakukan para ahli pertanian di Taiwan, dapat beradaptasi dan tumbuh baik di daerah tropis di Propinsi Taiwan sebagai penghasil hijauan. Perbaikan alfalfa tropis yang berasal dari Taiwan telah dilakukan agar dapat beradaptasi secara alami sebagai penghasil biji. Alfalfa di Indonesia belum menghasilkan biji. Akibatnya tanaman alfalfa tidak berkembang karena keterbatasan bibit (Sajimin, 2011). Tanaman Alfalfa Daun Alfalfa Bunga Alfalfa Polong alfalfa Ilustrasi 1. Tanaman, daun, bunga dan polong alfalfa Prosiding Semnas II HITPI Page 272

90 Perbaikan tanaman dapat dilakukan antara lain dengan melakukan mutasi induksi yang dapat meningkatkan keragaman genetik sehingga benih yang dihasilkan dapat dipakai sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan tanaman yang dikehendaki. Keragaman yang tinggi merupakan salah satu faktor untuk merakit varietas unggul baru (Hutami et al., 2006). Unsur fosfat (P) pada dosis tinggi lebih diinginkan legume untuk memacu pertumbuhan (Mikkelsen, 2004; Liani et al., 2011). Penelitian Yu et al. (2007) menunjukkan bahwa alfalfa sangat sensitif terhadap P tersedia dan terdapat korelasi positif antara penurunan P tanah tersedia dengan hasil hijauan alfalfa setelah berumur 3 tahun. Pemupukan P sampai 100kg P 2 O 5 /ha dan Interval defoliasi yang berbeda tidak mempengaruhi produksi bahan kering (BK), protein kasar (PK) maupun serat kasar (SK) hijauan alfalfa (Widyati-Slamet et al., 2008). Liani et al. (2011), mendapatkan produksi bahan kering tertinggi dengan pemupukan TSP dengan dosis 125 mg P2O5/kg tanah. MATERI DAN METODE Materi Penelitian yang digunakan biji hasil alfalfa mutan, hasil mutasi induksi dengan EMS (Ethyl Methyl Sulfanate), kebun percobaan, kompos, pupuk Urea (45%N), SP-36 (36% P 2 O 5 ), KCl (52%K 2 O), dan insektisida. Penelitian dilaksanakan di kebun di desa Sidomulyo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang terletak pada ketinggian m dpl. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) terdiri dari 5 perlakuan dosis fosfat (0, 50, 100, 150 dan 200kg P 2 O 5 /ha) dengan 4 kelompok ulangan. Variabel yang diamati adalah karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa, yaitu jumlah tanaman berbunga, jumlah tanaman berpolong dan berat per 100 biji. Data yang diperoleh diolah secara statistik menurut prosedur analisis ragam untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati, apabila terdapat pengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980) dan Uji Polinomial. Apabila diperoleh pengaruh kuadratik, dirumuskan dalam persamaan Polinomial Kuadratik y = a + bx + cx 2, selanjutnya untuk mendapatkan Titik Puncak (TP) perlakuan pemupukan P optimum diperoleh dengan rumus; TP = - b, di mana a = intersep, b, c = koefisien regresi linier dan kuadratik. 2 c HASIL DAN PEMBAHASAN Tempat Penelitian Penelitian untuk produksi biji dilakukan pada lahan di desa Sidomulyo kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang yang terletak pada ketinggian m diatas permukaan laut. Hasil analisis tanah lahan penelitian mengandung P potensial 499,39 ppm dengan ph 6,57 Temperatur selama penelitian berkisar antara o C dengan kelembaban berkisar antara 31-80%. Masa adaptasi tanaman alfalfa dari persemaian ke lahan + 2 minggu. Hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang menyebabkan curah hujan tidak terukur. Data yang didapat dari Balai Meteorologi dan Geofisika didapatkan bahwa curah hujan selama bulan September 133 mm (4 hari hujan) Prosiding Semnas II HITPI Page 273

91 lainnya tidak terukur. Curah hujan bulan Oktober 137 mm (10 hari hujan) lainnya tidak terukur. Curah hujan bulan Nopember 217 mm (19 hari hujan) lainnya tidak terukur. Pengamatan pada tanaman alfalfa dilakukan selama 16 minggu (Agustus- Nopember 2011) setelah benih ditanam ke lahan, karena pengaruh cuaca, beberapa tanaman belum berbiji, hal tersebut disebabkan karena Alfalfa tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat. Pertumbuhan generatif alfalfa Jumlah Tanaman Berbunga Jumlah tanaman yang berbunga diamati pada umur tanaman 14 minggu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berbunga. Persen jumlah tanaman yang berbunga pada pemupukan P yang Tabel 1. Tabel 1. beda tersaji pada Jumlah tanaman yang berbunga (14 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda ========================================================== Perlakuan Pemupukan Jumlah tanaman yang berbunga Ulangan Rerata P %/petak P1 (0kg P 2 O 5 /ha) 31,25 56,25 37,5 93,75 54,69 P2 (50kg P 2 O 5 /ha) 43,75 31,25 68,75 18,75 40,63 P3 (100kg P 2 O 5 /ha) 43,75 81,25 37,50 87,50 62,50 P4 (150kg P 2 O 5 /ha) 81,25 81,25 56,25 43,75 65,63 P5 (200kg P 2 O 5 /ha) 81,25 81,25 87,25 62,5 78,06 Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Pemupukan P tidak mempengaruhi jumlah tanaman yang berbunga. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa P 2 O 5 total 323,43 ppm melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm) (Hardjowigeno, 1987), tetapi P yang ada pada tanah bukan P tersedia, sehingga pemupukan P dengan berbagai level belum mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa. Alfalfa sangat sensitif dengan P tersedia (Yu et al., 2007), sehingga jika kandungan P pada media tanam cukup tinggi, pemberian P tidak efektif. Kemungkinan P yang ada pada media tanam dalam bentuk mineral yang kompleks, biasanya sangat lambat tersedia dan sulit diserap oleh tanaman (Agustina, 2004). Unsur P pada dosis tinggi lebih diinginkan legume untuk memacu pertumbuhan (Mikkelsen, 2004). Alfalfa pada umur 10 minggu setelah tanam sudah memasuki akhir fase vegetatif, karena beberapa tanaman dalam petak sudah mulai berkuncup dan tinggi tanaman lebih dari 30 cm. Fase reproduktif alfalfa dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahap terakhir vegetatif dengan ditandai belum terdapat kuncup bunga dengan tinggi tanaman lebih dari 30 cm, tahap kuncup bunga, tahap berbunga pertama, berbunga semuanya dan pembungaan terakhir (Bagg, 2003). Tanah lokasi penelitian pada waktu hujan tergenang air tetapi pada waktu kering tanahnya padat sehingga aerasi kurang baik. Aerasi yang kurang baik penyerapan P dan unsur-unsur lain nya akan terganggu. Selama penelitian hujan turun sepanjang hari pada bulan Agustus sampai Nopember. Angin yang kencang Prosiding Semnas II HITPI Page 274

92 menyebabkan curah hujan tidak terukur. Hujan yang turun hampir sepanjang penelitian menyebabkan tanaman bagian bawah busuk karena tergenang air. Kisaran ph 4-9 secara normal. Kelarutan P paling tinggi pada ph yang rendah, tetapi pada kenyataannya seringkali ion ini tidak banyak tersedia dalam larutan tanah, karena adanya ion Fe, Al atau Ca yang bereaksi dengan ion orthofosfat menjadi bentuk tambahan yang tidak tersedia dan sebagian besar fosfor yang mudah larut diambil mikroorganisme tanah untuk pertumbuhannya yang diubah menjadi humus (Agustina, 2004). Fungsi P dalam tanaman antara lain adalah mempercepat pembungaan. Jumlah Tanaman yang berpolong Jumlah tanaman yang berpolong diamati pada umur tanaman 14 minggu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap jumlah tanaman yang berpolong. Persen jumlah tanaman yang berpolong tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah tanaman yang berpolong (14 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda ========================================================== Perlakuan Pemupukan Jumlah tanaman yang berpolong Ulangan Rerata Fosfat %/petak P1 (0kg P 2 O 5 /ha) ,25 12,50 37,50 23,44 P2 (50kg P 2 O 5 /ha) 25,50 18,75 37,50 6,25 21,88 P3 (100kg P 2 O 5 /ha) 37,50 68,70 25,00 62,25 48,36 P4 (150kg P 2 O 5 /ha) 56,25 68,75 6,25 6,25 34,38 P5 (200kg P 2 O 5 /ha) 37,5 37,5 12, ,38 Fosfat (P) cukup penting untuk produksi biji yang memuaskan. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan puncak yg cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan memperpanjang periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan hasil biji lebih rendah. Saat bunga sudah mulai mekar hujan turun sepanjang hari sehingga banyak bunga yang rontok dan daun alfalfa membusuk karena kelembaban cukup tinggi Pertumbuhan alfalfa membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, tahan temperatur tinggi tetapi tidak tahan kelembaban tinggi. Memerlukan drainase baik, ph 6,5 atau lebih dengan kesuburan tanah yang baik (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Waktu yang ideal alfalfa berbunga untuk produksi biji yang tinggi adalah pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, yang terus sampai biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi menyebabkan pada saat berbunga musim kemarau sudah berakhir dan hujan pada akhir bulan Nopember turun sepanjang hari walaupun curah hujan masih rendah. Prosiding Semnas II HITPI Page 275

93 Alfalfa berbunga kira-kira 7 minggu tiap periode, jika terjadi penyerbukan, menghasilkan polong biji dan masak 3 sampai 5 minggu. Pada kondisi yang bagus tiap polong mengandung 3 sampai 5 biji. Dibawah kondisi tekanan serangga yang tinggi, beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009). Berat per 100 biji Bulan Nopember curah hujan merata sepanjang hari sehingga polong yang telah terbentuk tidak mengandung biji. Beberapa polong tidak mengandung biji yang dapat hidup, hal tersebut disebabkan tanaman di bawah kondisi tekanan serangga yang tinggi (Oklahoma Cooperative Extension Service, 2009). Alfalfa tumbuh untuk produksi biji hanya jika kondisi cuaca tepat. Tanaman untuk produksi biji harus menerima hanya cukup air untuk meningkatkan pertumbuhan puncak yang cukup sampai berbunga. Kondisi kelembaban akan meningkatkan pertumbuhan lambat (slow-growing). Tambahan air akan menunda periode pembungaan, tetapi kelebihan air akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan hasil biji lebih rendah. Waktu alfalfa berbunga yang ideal untuk produksi biji yang tinggi adalah pada musim kemarau. Bunga mekar terus untuk kira-kira 3 minggu, dan biji matang sampai beberapa minggu (Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service, 1998). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemupukan P yang berbeda berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap berat per 100 biji alfalfa. Berat per 100 biji alfalfa pada pemupukan P yang berbeda tersaji pada Tabel 3. Hasil uji Duncan menunjukkan berat per 100 biji pada pemupukan P dosis 50 kg P 2 O 5 /Ha lebih tinggi dari semua perlakuan pemupukan. Pemupukan sampai 50 kg P 2 O 5 /Ha meningkatkan berat per 100 biji pada alfalfa mutan kemudian menurun pada perlakuan 100, 150, dan 200 kg P 2 O 5 /Ha. Tabel 3. Berat per 100 biji (16 mg) pada Pemupukan P yang Berbeda ========================================================== Perlakuan Pemupukan Berat per 100 biji Ulangan Rerata Fosfat g P1 (0kg P 2 O 5 /ha) 0,5580 0,5520 0,6920 0,9460 O,6945 b P2 (50kg P 2 O 5 /ha) 1,3520 1,4100 1,3120 1,3100 1,3460 a P3 (100kg P 2 O 5 /ha) 0,8940 0,8460 0,7640 1,3720 0,9690 b P4 (150kg P 2 O 5 /ha) 0,7920 0,9860 1,1060 0,7520 0,9090 b P5 (200kg P 2 O 5 /ha) 1,3900 0,9240 0,8500 0,8700 1,0085 b *Superskrip yang berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Hasil uji lanjut menunjukkan besarnya nilai koefisien regresi pada persamaan alfalfa mutan Y = 0, ,0049 X - 0,00002 X 2 (R 2 = 0,13) yang mempunyai titik puncak 122,50 kg P 2 O 5 /Ha. Pemupukan alfalfa mutan 122,50 kg P 2 O 5 /Ha memberikan berat per 100 biji yang optimum walaupun hanya dipengaruhi 13% oleh pemupukan P, Hal tersebut disebabkan kandungan P pada media tanam (499,39 ppm) melebihi yang dibutuhkan legum (21-40 ppm) (Hardjowigeno, 1987), sehingga pemupukan P dengan berbagai level tidak akan Prosiding Semnas II HITPI Page 276

94 mempengaruhi pertumbuhan tanaman alfalfa secara nyata. Perubahan asam amino pada rantai DNA akan mempengaruhi metabolisme tanaman. disebabkan alfalfa mutan mengandung asam amino yang kaya AT dan GC, sehingga beberapa asam amino berubah karena komposisi nya berubah (Yuwono, 2006). Perubahan asam amino akan mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Proses metabolisme tanaman akan mempengaruhi produksi tanaman (biji). Pemakaian mutagen EMS dengan konsentrasi yang tepat menunjukkan mutasi yang positif (Chopde, 2006). Mutasi dengan EMS akan menunjukkan peningkatan perubahan genetik (Jabeen dan Mirza, 2002). Perubahan genetik pada organisme yang tercermin dari perubahan ekspresinya mungkin dapat mempengaruhi reaksi individu terhadap lingkungan tertentu. Berdasarkan variabel genetik, alfalfa memiliki kemampuan beradaptasi yang baik untuk kondisi lingkungan yang berbeda (Radovic et al., 2009). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan yang dapat diambil adalah, bahwa pada kondisi tempat penelitian, tanaman alfalfa mutan kurang responsif terhadap pemupukan P. Pemupukan P tidak meningkatkan persen tanaman berbunga dan berpolong alfalfa mutan, tetapi meningkatkan bobot per 100 biji. Pemupukan 122,50 kg P 2 O 5 /ha cukup memberikan berat per 100 biji yang maksimum. Dapat disarankan bahwa, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap karakteristik pertumbuhan generatif alfalfa mutan ini untuk produksi biji pada kondisi yang lebih mendukung. DAFTAR PUSTAKA Agriculture Experiment Station and Cooperative Extension Service, Alfalfa Production Handbook. Kansas State University, Manhattan, Kansas. Agustina, L Dasar Nutrisi Tanaman. Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Bagg, J Cutting Management of Alfalfa. Government of Ontario. Ontaria Hoy. D. M,., K. J. Mooere, J. R. George and E. C. Brummer Alfalfa Yield and Quality as Influenced by Establishment Method. Agron J. 94: Hutami, S., I. Mariska dan Yati Supriati Peningkatan Keragaman Genetik Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. J. AgroBiogen 2(2): Liani, Y., H. H. Qing, Sumarsono, D.W. Widjajanto and J. Guanjie Phosphate rock application on alfalfa (Medicago sativa L) production and macronutrient in latosol soil. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 36 (4) : Mannetje, L dan R.M. Jones Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. PT. Balai Pustaka, Bogor. Mikkelsen, R Managing phosphorus for maximum alfalfa yield and quality. Dalam: Proccedings National Alfalfa Symposium, San Diego December CA, CU Cooperative Extension, University of California, Davis. Pp Oklahoma Cooperative Extension Service Alfalfa Production Guide for the Southern Great Plains. Division of Agricultural Sciences and Natural Prosiding Semnas II HITPI Page 277

95 Resources. Oklahoma State University, Stillwater, Oklahoma. Sajimin Medicago sativa L (alfalfa) sebagai tanaman pakan ternak harapan di Indonesia. Wartazoa vol 21(2): Smith D, Raymond J.B and Richard P W Forage Management. 5 th Edition. Kendall/Hunt. Publishing Company. Dubuque. Iowa. Steel, R.G.D and J.H Torrie Principle and Procedures of Statistics. Mc. GrawHill Book Company, Inc. New York. Widyati-Slamet, F. Kusmiyati dan E.D. Purbayanti Produksi Alfalfa (Medicago sativa). dengan Pemupukan Fosfat dan Interval Defoliasi yang Berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 33 (2 ): Yuwono, T.W Bioteknologi Pertanian. Cetakan kedua. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta Yu Jia, Xu Bingcheng, Li Fengmin and Wang Xiaoling Availability and Contributions of soil phosphorus to forage production of seeded alfalfa in semiarid Loess Plateau. Acta Ecologica Sinica. 2007, 27(1): Prosiding Semnas II HITPI Page 278

96 UJI PENGAWETAN TERHADAP DAYA SIMPAN BAHAN TANAM STEK RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Schummach) M. Agus Setiana Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor Hp ABSTRAK Pendistribusian bahan tanam stek masih menjadi kendala karena sifatnya yang mudah rusak akibat faktor luar seperti mikroba dan fungi. Metode penyimpanan stek yang baik diperlukan agar stek memiliki daya simpan yang lebih lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahan dan alat yang dapat memperpanjang umur stek dan menentukan lama masa simpan yang terbaik untuk bahan tanam stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan ulangan 5 kali. Faktor A adalah perlakuan pengawetan berupa 4 jenis bahan atau alat pengawet yaitu cairan gula 2%, cairan lilin, silica gel dan refrigerator (4 C) dan faktor B adalah 5 tingkat lama penyimpanan 3, 6, 9, 12 dan 15 hari. Bahan yang digunakan adalah stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach) sebanyak 625 batang. Peubah yang diukur adalah keadaan umum stek, penyusutan bobot, awal pertumbuhan setelah tanam, daya tumbuh, dan tinggi vertikal. Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi nyata (P<0,05) terhadap penyusutan bobot stek yang berpengaruh nyata antara penggunaan bahan pengawet dengan lama penyimpanan, interaksi terjadi pada bahan pengawet gula, silica gel, dan kontrol. Interaksi menunjukkan bahwa optimal lama penyimpanan kurang lebih 13 hari. Lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh, dimana lama penyimpanan 15 hari menunjukkan penurunan daya tumbuh yang signifikan. Lama penyimpanan dan bahan pengawet berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tinggi vertikal, dimana penyimpanan 15 hari secara signifikan berpengaruh pada tinggi vertikal dan rataan tinggi vertikal tertinggi pada penggunaan lilin dan gula. Daya simpan stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Schummach) dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahan pengawet gula, silica gel, lilin, dan refrigerator pada suhu 4 C selama 15 hari. Kata kunci: Pennisetum purpureum Schummach, stek, bahan pengawet, penyimpanan. ABSTRACT Elephant grass s producers still can not distribute more than a week, because of the damaged of the cutting by external factors such as microbes and fungi. Therefor it is necessary that both storages methods cuttings that have a longer shelf life. The aim of this study was to determine the materials and tools that can extend the life of old cuttings and det ermine the shelf life is best for planting material cuttings of elephant grass. Experimental design used was completely randomized design (CRD) Prosiding Semnas II HITPI Page 279

97 factorial with repeated 5 times. A factor is a preservation treatment is 4 types of materials or equipment that is preservative 2% liquid sugar, liquid wax, silica gel, an refrigerator (4 C) and factor B are 5 levels of storage time of 3, 6, 9, 12, and 15 days. The materials used are cutting grass counted 625 pieces. The variables measured were the general state of cuttings, weight decrease, and early growth after planting, growing power, and vertical height. Results showed that the real interaction (P<0.05) the weight decrease significant cuttings between the used of preservatives with storage time, the interaction occurs in sugar preservatives, silica gel and control. The teraction showed a point of intersection between the sugar, silica gel and control over storage time chart at approximately 13 days. Intersection indicates that the maximum points of planting cuttings storage materials are given preservative sugar, silica gel, and control is about 13 days. Storage time significantly (P<0,05) the ability of grow, where teh storage time of 15 day showed a significant reduction in the growth of storage longer than others. Preservative retention and significantly (P<0.05) to the vertical height, where the storage time of 15 day showed higher average vertical drop significantly and the average height of the highest vertical is when using wax and sugar preservatives. The shelf life cuttings of elephant grass (Pennisetum purpureum Schummach) can be improved by using sugar preservatives, silica gel, wax, and refrigerator at 4 C for 15 days storage time and quality is good for 15 days of shelf life that is using a refrigerator at 4 C. Keyword: Pennisetum purpureum Schummach, cuttings, preservatives, storage PENDAHULUAN Kendala yang dihadapi pada saat penyediaan dan penyebaran bahan tanam stek (vegetatif) adalah sifatnya yang mudah rusak akibat proses fisiologis dan invasi mikroorganisme yang dapat menurunkan kandungan bahan organik. Dalam distribusi stek yang relatif jauh memerlukan upaya penanganan stek yang tepat untuk mempertahankan kualitas bibit dan mempertahankan daya tumbuh selama penyimpanan. Bahan-bahan dan alat seperti lilin, gula, silica gel dan refrigerator dapat digunakan sebagai sarana pengawetan. Penggunaan sarana pengawetan tersebut diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan dapat membantu penyebaran hijauan yang berkualitas tinggi ke daerah yang membutuhkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa teknik pengawetan untuk dapat mempertahankan umur bahan tanam stek rumput gajah (Pennisetum purpureum Shummach) selama penyimpanan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai bulan April-Mei 2012, di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor. Materi Bahan yang digunakan adalah stek Pennisetum purpureum Schummach umur 4 bulan, panjang cm, sebanyak 625 stek. Stek diambil dari tanaman induk yang seragam dari Laboratorium Lapang Agrostologi. Bahan pengawet Prosiding Semnas II HITPI Page 280

98 yang digunakan adalah larutan gula 2%, lilin, silica gel, dan pupuk. Alat yang digunakan yaitu: refrigerator, karung, tali, polybag, dan cangkul. Metode Persiapan Stek dan Bahan Penyimpanan Stek 1. Pencelupan lilin Kedua ujung stek dicelupkan ke dalam lilin yang telah. Setelah itu stek didiamkan hingga lilin memadat, lalu dimasukkan ke dalam karung dan diikat. 2. Pencelupan cairan gula Pencelupan stek pada cairan gula menggunakan konsentrasi 2%. Kedua ujung stek direndam di dalam cairan gula selama 30 menit. Stek ditiriskan lalu dimasukkan ke dalam karung dan diikat dengan rapat. 3. Penambahan silica gel Stek ditimbang satu persatu, lalu dimasukkan dalam karung bersama silica gel 30 g dalam kemasan berpori. Kemudian karung tersebut diikat dengan rapat. 4. Penggunaan refrigerator (suhu 4 C) Refrigerator diatur suhunya menjadi 4ºC. Stek ditimbang dan dimasukkan ke dalam karung lalu diikat dan dimasukkan ke dalam refrigerator. Penyimpanan Penyimpanan stek dilakukan pada setiap perlakuan pengawetan dibagi menjadi 5 yaitu lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari. Penanaman Setelah disimpan, stek ditimbang, dan ditanam di polybag yang berisi tanah dan pupuk kandang (10 g/polybag), KCl (2 g/polybag), dan SP 36 (2 g/polybag. Peubah yang diamati a. Keadaan umum stek Keadaan umum yang diamati adalah perubahan warna, bau, fisik (tumbuhnya cendawan) dan tekstur, pada setiap lama penyimpanan 3, 6, 9, 12, dan 15 hari. b. Penyusutan bobot stek Stek ditimbang sebelum dan sesudah penyimpanan, dan dihitung selisihnya. Rumus : selisih bobot stek (g) = bobot stek awal (g) bobot stek akhir (g). c. Awal pertumbuhan setelah tanam Diamati dan dicatat munculnya tunas dan daun awal setelah penanaman stek (setiap 2 hari hingga hari ke-14). d. Daya tumbuh Pertumbuhan dilihat setelah muncul dua daun pada stek setiap perlakuan. e. Tinggi vertikal Tinggi vertikal stek diukur 15 Hari setelah Tanam (HST). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan pengulangan 5 kali, dan setiap ulangan terdiri dari 5 stek. Faktor A adalah perlakuan bahan/alat pengawet dan faktor B adalah lama penyimpanan. Prosiding Semnas II HITPI Page 281

99 Faktor A A0 A1 A2 A3 A4 Faktor B B1 B2 B3 B4 B5 = Perlakuan bahan pengawet = Penyimpanan tanpa bahan pengawet (kontrol) = Penyimpanan dengan cairan gula = Penyimpanan dengan cairan lilin = Penyimpanan dengan silika gel = Penyimpanan dengan mesin pendingin (refrigerator) = Lama penyimpanan stek = Stek disimpan selama 3 hari = Stek disimpan selama 6 hari = Stek disimpan selama 9 hari = Stek disimpan selama 12 hari = Stek disimpan selama 15 hari Model matematis yang digunakan pada penelitian ini yaitu: Yijk = µ + a i + b j + (ab) ij + e ijk Keterangan: Y ijk = nilai pengamatan untuk perlakuan bahan pengawet (A0,,A5) ke-i perlakuan lama penyimpanan (B1,,B5) ke-j dan ulangan k µ = rataan umum = pengaruh perlakuan A ke-i a i b j = pengaruh perlakuan B ke-j (ab) ij = pengaruh interaksi bahan pengawet ke-i dan lama penyimpanan ke-j e ijk = galat faktor A ke-i, faktor B ke-j dan ulangan ke-k Analisa data : Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan yang dilakukan terhadap bahan tanam stek meliputi keadaan fisiologis, kualitas, dan daya tumbuh yang disajikan pada Tabel 1. Stek dengan perlakuan menggunakan pengawet lilin sudah mulai mengalami perubahan warna, bau, dan tekstur pada saat penyimpanan, karena lapisan lilin yang menutupi poripori pada stek tersebut rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Pengamatan bagian tekstur tidak terlihat adanya penyusutan meskipun bobotnya turun, hal ini disebabkan karena penurunan bobot stek tidak terlalu banyak. Pelapisan lilin biasa digunakan pada buah-buahan. Permukaan buah yang dilapisi oleh lilin dapat mencegah terjadinya penguapan air sehingga dapat memperlambat kelayuan dan menghambat laju respirasi (Suhaidi, 2008). Pada perlakuan penanmabahan silica gel, terjadi perubahan warna stek menjadi kuning kecoklatan, tumbuh cendawan dan terjadi penyusutan (keriput). Hal ini diduga karena kurang banyaknya jumlah silica gel yang digunakan sehingga kurang dapat menyerap air yang dapat menyebabkan kebusukan dan kelembaban sehingga mempermudah tumbuhnya cendawan. Stek yang disimpan dalam refrigerator dengan suhu 4 C warna, bau dan tekstur stek masih tetap terjaga sama sebelum stek mendapatkan perlakuan. Pada penyimpanan dalam refrigerator aktivitas mikroba terhambat, sehingga tidak Prosiding Semnas II HITPI Page 282

100 merusak stek. Menurut Thalib dan Widiawati (2010), penyimpanan pada suhu dingin menyebabkan aktivitas mikroba akan semakin melemah. Tabel 1. Perubahan Warna, Bau, Fisik (Cendawan), dan Tekstur Stek Selama Penyimpanan Kontrol Lilin Perlakuan Lama penyimpanan (hari) Warna Bau Fisik (cendawan) Tekstur (keriput) Warna Bau Fisik (cendawan) Tekstur (keriput) Silica gel Warna Bau Fisik (cendawan) Tekstur (keriput) Refrigerator Gula Warna Bau Fisik (cendawan) Tekstur (keriput) Warna Bau Fisik (cendawan) Tekstur (keriput) Keterangan : Tanda (-) : belum ada perubahan, (+) : sudah terjadi perubahan dan semakin banyak tanda (+) maka perubahan yang terjadi semakin meningkat. Pada perlakukan dengan bahan pengawet gula, stek mengalami perubahan warna, bau, fisik (tumbuh cendawan), dan tekstur (keriput), yang disebabkan oleh mikroorganisme yang menjadikan gula sebagai sumber nutrisinya. Menurut Suwijah (2011), pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan karbon dan nitrogen, dimana kebutuhan akan karbon dapat diperoleh dalam bentuk karbohidrat sederhana, misalnya adalah sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lain. Penyusutan Bobot Stek Data pada Tabel 2 menunjukkan adanya interaksi yang nyata (P<0,05) terhadap perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan pengawet. Interaksi terjadi antara kontrol, gula dan silica gel, (Gambar 1), yang Prosiding Semnas II HITPI Page 283

101 menunjukkan adanya titik perpotongan antara kontrol, gula dan silica gel pada lama hari penyimpanan optimum (kurang lebih 13 hari). Tabel 2. Rataan Penyusutan Bobot Stek (g) Selama Penyimpanan Bahan Lama penyimpanan (hari) Pengawet Kontrol 2,76±2,18 c 4,24±0,99 c 6,04±1,34 b 6,36±0,95 b 8,68±1,91 a Lilin 1,32±0,27 d 3,56±0,50 c 4,84±1,35 c 4,32±0,46 c 6,16±1,19 b Silica gel 2,28±0,52 c 4,40±0,58 c 6,72±1,91 b 5,48±0,94 c 9,56±2,58 a Refrigerat 0,84±0,55 d 1,48±0,44 d 2,80±0,98 c 2,20±0,62 d 2,76±1,32 c Gula 2,12±0,81 c 5,48±1,97 c 7,24±2,70 b 6,24±1,51 b 7,76±1,77 a Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris menunjukkan interaksi yang berpengaruh nyata pada (P<0,05) antara perlakuan lama penyimpanan dengan penggunaan bahan pengawet terhadap penyusutan bobot stek Kontrol Lilin Silica Gel Refrigerator Gula Gambar 1. Grafik Interaksi Penyusutan Bobot Stek Rataan penyusutan bobot stek pada setiap perlakuan yang disimpan di dalam refrigerator lebih rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lain. Hal ini disebabkan karena aktivitas hormon terhambat selama penyimpanan dengan suhu dingin (4 C), sehingga laju respirasi menurun. Menurut Yunarti (2008), aktivitas tumbuh hormon semakin menurun sehingga bobot pada saat sebelum dan sesudah penyimpanan tidak berbeda jauh. Stek yang paling banyak mengalami penyusutan bobot adalah peyimpanan dengan menggunakan pengawet gula dan silica gel. Beberapa stek ditumbuhi cendawan sehingga cadangan makanan dalam stek berkurang dan bobot stek menurun. Penyusutan bobot stek perlakuan gula dan silica gel masih lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Awal Pertumbuhan Setelah Tanam Stek dengan perlakuan menggunakan bahan pengawet gula, silica gel, lilin sudah mulai tumbuh tunas 2 hari setelah penanaman. Perlakuan dengan menggunakan bahan pengawet lilin yang disimpan selama 12 dan 15 hari, sebagian sudah mulai tumbuh tunas sebelum ditanam (Tabel 3). Penyimpanan stek di dalam refrigerator memiliki pertumbuhan awal yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan yang lain, karena aktivitas hormon pertumbuhan dalam stek terhambat pada suhu dingin, maka membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan suhu normal, Menurut Salisbury dan Ross (1992b), umumnya pertumbuhan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh Prosiding Semnas II HITPI Page 284

102 suhu, saat tanaman berada pada suhu optimum maka tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik, tetapi pada saat tanaman berada pada suhu di bawah suhu minimun maka laju pertumbuhannya tidak baik. Tabel 3. Awal Pertumbuhan Bahan Tanam Stek Setelah Tanam Bahan Pengawet Awal pertumbuhan setelah tanam (hari) Kontrol Lilin Silica gel Refrigerat Gula Keterangan : (-):belum ada pertubuhan, (+) : sudah terjadi pertumbuhan tunas dan semakin banyak tanda (+) maka pertumbuhan yang terjadi semakin meningkat. Pada perlakuan silica gel, pertumbuhan paling lambat terjadi pada penyimpanan 12 dan 15 hari akibat kontaminasi mikroorganisme yang mengambil cadangan makanan dalam stek. Hartman et al. (1997), menyatakan bahwa serangan cendawan pada stek dapat langsung menurunkan daya tumbuh dan kemampuan stek untuk bertahan hidup sehingga stek mengalami kematian. Menurut Edi (2001), kecepatan tumbuh stek yang semakin menurun dikarenakan cadangan karbohidrat yang diperlukan untuk energi oleh stek saat pertumbuhan tunas semakin berkurang, baik akibat respirasi ataupun fermentasi yang dilakukan oleh stek untuk mempertahankan jaringan maupun fermentasi yang dilakukan oleh bakteri atau cendawan yang terdapat pada stek. Stek dengan pengawet gula sudah terlihat pertumbuhan tunas 2 hari setelah tanam dan tumbuh dua daun sempurna pada hari ke 6. Cadangan makanan yang dibutuhkan selama penyimpanan masih tersedia, sehingga stek lebih cepat tumbuh. Napitupulu (2006) menyatakan bahwa cadangan makanan yang cukup mampu memenuhi nutrisi bahan stek agar tetap bertahan hidup dimana bahan stek masih terlihat segar dan tahan terhadap penyakit. Daya Tumbuh Stek Stek yang diawetkan dengan lilin mulai tumbuh kuncup daun 2 hari setelah penanaman, karena lapisan lilin menghambat kontaminasi mikroorganisme. Stek yang tidak tumbuh, lebih sedikit pada penggunaan pengawet gula dibandingkan dengan menggunakan lilin, silica gel, dan refrigerator. Cadangan makanan stek masih tersedia sehingga daya tumbuhnya cepat. Penyimpanan dalam refrigerator, tunas tumbuh setelah 4 hari penanaman dan daya tumbuhnya lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Stek membutuhkan waktu sesuai suhu optimal untuk pertumbuhannya. Pengamatan pada keseluruhan perlakuan pada 2 minggu setelah penanaman, semua stek sudah tumbuh dengan sempurna, Pada Tabel 4, pengawetan dan lama penyimpanan tidak memiliki interaksi yang nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh stek. Lama simpan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya tumbuh stek (3, 6, 9, 12 dan 15 hari). Penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari menghasilkan daya tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan 15 hari, karena terjadinya penurunan cadangan makanan dalam stek yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Saputri (2012), menyatakan Prosiding Semnas II HITPI Page 285

103 bahwa penyimpanan selama 3 hari tidak menimbulkan kerusakan yang berarti sehingga daya tumbuh masih tinggi. Penyimpanan pada suhu 4 C, daya tumbuh stek setelah 15 hari adalah paling baik dibanding pengawetan lainnya. Pertumbuhan tunas yang cepat pada 4 hari setelah tanam dan hari ke 15 sudah tumbuh dua daun sempurna. Kemampuan tumbuh yang baik setelah disimpan pada suhu 4 C juga disebabkan penyusutan bobot yang terkecil dibanding perlakuan lainnya. Pada perlakuan silica gel, daya tumbuh relatif lebih kecil akibat banyak ditumbuhi cendawan sehingga cadangan makanan dalam stek berkurang. Stek dengan perlakuan lilin menunjukkan daya tumbuh yang baik karena rata-rata daya tumbuhnya tidak jauh berbeda dengan perlakuan penyimpanan menggunakan refrigerator, sehingga penggunaan lilin dapat menjadi alternatif selain penggunaan refrigerator. Tabel 4. Rataan Daya Tumbuh (%) Stek Berdasarkan Pengawetan dan Lama Bahan Lama penyimpanan (hari) Pengawet Rata-rata Kontrol 76± 0,26 100±0,00 96± 0,09 92±0,11 76±0,26 88±0,11 Lilin 100±0,00 96±0,09 92± 0,18 96±0,09 84±0,17 94±0,06 Silica gel 92±0,11 100±0,00 88± 0,11 96±0,09 60±0,32 87±0,16 Refrigerat 100±0,00 96±0,09 84± 0,17 92±0,11 88±0,11 92±0,06 Gula 100±0,00 100±0,00 100±0,00 96±0,09 84±0,09 96±0,07 Rataan 94±0,16 A 98±0,07 A 92±0,11 A 94±0,06 A 78±0,04 B Keterangan : superskrip pada baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05) Tinggi Vertikal Pengukuran tinggi vertikal dilakukan 15 Hari Setelah Tanam (HST). Kemudian dihitung rata-rata tinggi vertikal tanaman untuk mengetahui bahan pengawet mana yang memiliki kecepatan tumbuh yang lebih baik. Tabel 5. Rataan Tinggi Vertikal (cm) pada Stek selama Penyimpanan Bahan Lama Pengawetan (hari) Rataan Pengawet Kontrol 43,66±11,09 59,62±9,39 54,96±8,04 53,38±14,61 38,8 ±17,43 50,09±8,56 b Lilin 70,16±9,61 61,66±7,12 62,94±19,34 70,60±7,86 52,52±13,43 63,58±7,40 a Silica gel 53,16±4,14 64,06±1,48 56,92±9,55 60,80±6,00 28,76±24,07 54,74±9,83 b Refrigerat 59,58±4,94 58,92±4,76 55,12±15,68 52,82±5,49 45,20±10,88 54,33±5,81 b Gula 64,36 ±10,36 66,90±2,12 63,60±9,47 57,74±8,23 50,14±7,41 60,55±6,72 a Rataan 58,18±13,22 A 62,23±7,33 A 58,71±3,12 A 59,07±6,45 A 45,09±6,52 B Keterangan : superskrip pada kolom dan baris menunjukkan pengaruh nyata pada (P<0,05) Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan pengawetan dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Namun lama penyimpanan dan penggunaan bahan pengawet berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap peningkatan tinggi vertikal. Rataan tinggi vertikal pada lama penyimpanan 15 hari lebih rendah dibandingkan dengan lama penyimpanan 3, 6, 9, dan 12 hari. Maka semakin lama penyimpanan, tinggi vertikal akan mengalami penurunan. Pengawetan dengan menggunakan refrigerator suhu 4 C memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi vertikal yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan pengawet yang lainnya, hal ini disebabkan karena pada saat pengambilan data tinggi vertikal stek masih dalam tahap adaptasi terhadap lingkungan tempat penanaman stek setelah mengalami dormansi Prosiding Semnas II HITPI Page 286

104 KESIMPULAN Perlakuan pengawetan dengan menggunakan gula, silica gel, lilin dan refrigerator dapat meningkatkan daya simpan dan pertumbuhan bahan tanam stek rumput gajah selama penyimpanan hingga 15 hari. Pengawetan yang paling baik adalah penyimpanan di dalam refrigerator dengan suhu 4 C. DAFTAR PUSTAKA Agribisnis Deptan Pengawetan Bunga Potong. [9 Maret 2011]. Edi, A Perbandingan Daya Tumbuh dan Kesempurnaan Tumbuh Stek Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schummach) yang Disimpan Dengan Metode Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartman, H. T & D. E. Kester Plant Propagation Principles and Practices. 5 rd. Prentice Hill.New York. Meilawati, N. L. M Pengaruh bahan stek dan konsentrasi zat pengatur tumbuh hormonik terhadap keberhasilan stek Sansevieria trifasciata Tiger Stripe. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Napitupulu, R. M Pengaruh bahan stek dan dosis zat pengatur tumbuh rootone-f terhadap keberhasilan stek Euphorbia milii. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rochman, K. dan S.S. Haryadi Pembiakan Vegetatif. Diktat. Departemen Agronomi IPB, Bogor. Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992a. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono Institut Teknologi Bandung (ITB)-Perss, Bandung. Salisbury, F.B & C.W. Ross. 1992b. Fisiologi Tumbuhan jilid 3. Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono Institut Teknologi Bandung (ITB) -Press, Bandung. Saputri, E. L Uji pengawetan terhadap daya simpan bahan tanam stek rumput meksiko (Euchlaena mexicana Schrad). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhaidi, I Pelapisan Lilin Lebah untuk Mempertahankan Mutu Buah Selama Penyimpanan. Jurnal Penelitian Rekayasa. 1 (1): Sutopo, L Teknologi Benih. Raja Garfindo. Jakarta. Suwijah Pengaruh kadar gula, vitamin C dan kadar serat dari sari buah markisa ungu (Passiflora edulis var eduls) pada pembuatan nata de coco dengan menggunakan Acetobacter xylinum. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan. Thalib, A & Y. Widiawati Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Daya Inhibitor Metanogenesis Sediaan Cair Kultur Bakteri Acetoanaerobium noterae dan Acetobacterium woodii. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku I: Yunarti, R. A Pengaruh suhu pemeraman dan konsentrasi etilen terhadap mutu buah sawo (Achras Zapota L.) varietas sukatali ST 1. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prosiding Semnas II HITPI Page 287

105 ANALYSIS AND EXPRESSION OF AL-TOLERANT GENES FROM SOYBEAN [Glycine max (L.) Merryl] ON FORAGE CROPS AND Escherichia coli S. Anwar, Sumarsono, Karno and F. Kusmiyati Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University ABSTRACT In order to analyze and to study expressions of the Al-tolerant genes, we have examined five clone genes that were isolated from soybean cv. Lumut. Soybean cv. Lumut and Slamet, Centrocema pubescens, Pennisetum purpureum and Escherichia coli were selected for futher analysis. Based on the DNA sequencing, searching enzyme restriction sites and searching DNA homology with the genebank database; the clones encoding: (1) Catalase (gmali12, that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein/pcnalp (gmali15, that involved as one of transcriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22, this gene may play a role on stimulation of cell growth/development), (4) Amine oxidase (gmao, genebank accession number AF313622, a gene that function as amine oxidation and/or antioxidant), and (5) Aminoacyl peptidase (gmap, genebank accession number AF091304, a serine protease gene). Expressions of the clone genes either on forage crops or Escherichia coli indicated that all of the clones are basic genes, but its expression increased with aluminium induction (Al-induced genes) and involved in detoxification to Al stress. From this research, we also found similar responses between oxidative stress and Al stress to gene responses. Keywords: Analysis, Expression, Al-Tolerant Genes, Soybean, Forage, E. coli INTRODUCTION Aluminum (Al) is regarded as one of the main toxic factors which exist in most acidic soil in Indonesia (Notohadiprawiro, 1983), even of the world, comprising 1x10 9 hectares in the tropical and cool temperature regions (Van Wambeke, 1976) or approximately 8% by Weight (Moller et al., 1984). Most Al in soil is insoluble, associated with complex aluminosilicates and oxides. However, under acidic soil condition (ph < 5) Al is converted from insoluble forms into soluble Al +3 (Marschner, 1991; Driscoll and Schecher, 1990; and Kinraide, 1991), which block growth of plant roots (Rajaram and Villegus, 1990; Kinraide and Ryan, 1991; Foy et al., 1978; Wagatsuma et al., 1987; and Taylor, 1991). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits plant growth, particularly in the tropical regions. Approximately 40% of the world s arable soils are too acid, and Indonesia has over 47,6 millions hectares. A problem that is becoming increasingly severe, because of the use of nitrogenous fertilizer, industrial pollution and acid rain (Van breeman, 1985). Eventhough, normal rainfall can also cause acidification of soils by promoting the leaching of basic cations such as Ca +2, Mg +2, K + and Na + (Foy, 1984). Thus, Al toxicity is one of the most important soil problems that limits plant growth, particularly in the tropical regions (Kochian, 1995; Taylor, 1995; Prosiding Semnas II HITPI Page 288

106 Matsumoto, 2000). Identifying genetic resistance to aluminium toxicity would be a valuable contribution toward the development of tolerant crops in the tropical areas, especially in Indonesia. In these low ph aluminosilicate soils, the susceptibility of field crops to aluminium toxicity leads to the inhibition of root growth into the lower soil horison. Aluminium saturates the charged sites of the soil particle and, along with the restriction of root growth, acts to impede cation exchange with subsoil elements (Ca +2, K +, and Mg +2 ), which are critical for normal plant development. Determining the molecular basis of tolerance to increase levels of aluminium in certain crops (such as soybean) poses a significant challenge. Soybean is one of important crops in Indonesia. Its specific material for Indonesian tradisional food such as tempe, tofu, sauce and soybean milk have brought the soybean to an important position in Indonesian nutrition. Demand for soybean is increasing with the increase on protein need due to improvement program on Indonesian nutrition. The development of animal husbandry in Indonesia have also increased the demand of this crop. Unfortunately, the increase in demand for soybean can not be responded by the sufficient increase in production of this crop. This research was conducted to support soybean breeding programs by molecular approach. Considering the importance of molecular information on soybean tolerance to Al, we proposed the research on molecular biology of soybean tolerance to al stress as follow-through from previous research, by two approach: (1) Analysis of the Al-tolerant and (2) Study of expression of the cloned genes. The genes also have been evaluated to forage crop by northern/slot blot hybridization (heterologous approach) and E. coli. RESEARCH METHOD The research consist of two programs: Research I (Analysis of Al-tolerant genes) and Research II (Study expression of Al-tolerant genes). Research 1. There are 3 steps in this program: (a) Analysis of clone genes by nucleotide sequencing, (b) Analysis of clone genes by searching restriction enzyme sites and (c) Analysis of clone genes by searching homology with GeneBank database. DNA synthesis for chain-termination sequencing is carried out two steps. In the first, the primed strand of DNA is extended and at the same time labelled by the incorporation of dye-nucleotide.. In the second step, dideoxynucleotides are added to the population of labelled DNA molecules (ranging in length from a few to many hundreds of nucleotides) and synthesis continues until a ddntp is incorporated, thus terminating the chains. Analysis of clone genes by nucleotide sequencing was started with cdnas cloned from our previous study that is not analyzed yet (Anwar, 1999). Plasmid cdnas cloned are prepared using the alkaline lysis method (Sambrook et al., 1989). The selected cdna clones was sequenced by dideoxynucleotide chain-termination method (Sanger et al., 1977). Analysis of clone genes by searching restriction enzyme sites using the amino acid and restriction enzyme sites software that have been developed by DCRG-team database, which provided information about analysis of DNA Prosiding Semnas II HITPI Page 289

107 especially for searching of restriction enzyme sites, start and stop codon, amino acid sequence, including number of ATGC and amino acid. Analysis of clone genes by searching homology with GeneBank database. The resulted cdna sequences are then compared to the existing genes sequences in Genebank. First, we access to the NCBI (National Center for Biotechnology Information) website ( and then select GeneBank database for searching similarity/homology sites for nucleotide sequence (BLAST program/blast web). Finally, follow instruction provided in the web electronic guide till resulted kinds of the genes. In Research II, expression of the cloned genes have been studied by (a) using mrna analysis by northern/slot blot hybridization method both on soybean and forage crop and (b) Escherichia coli s exposed to Al toxic level. There are 4 steps for analysis of transcript level/mrna analysis i.e: (a) Planting material, (b) total RNA Isolation, (c) probe preparation and (d) northern/slot blot hybridization. Planting material was planted described by Anwar (1999). Total RNA was isolated from the root tips (± 5 mm) and/or leaf of soybean and forage crop treated and untreated with Al +3, using phenol/sds method (Ausabel et al., 1987). Northern/Slot Blot Hybridization. Total RNA (10-15 g) samples was denatured with glyoxal and DMSO, and followed incubation in 65 o C for 15 minutes. Then, the RNA was transferred to Hybond-N+ membranes (Amersham) by Slot-Hybridization (prior to use, the slot must be cleaned with 0.1 N NaOH and washed by steril water- DEPC treated). Probes was prepared from cdna inserts isolated from agarose gels and labelled by non radioactive system (ECL-system). Hybridization was performed as described in Virca et al. (1990). The filter was washed twice with 2xSSC+0.4%SDS for 10 min at 42 o C, and twice with 2xSSC for 5 min at room temperature. Filter was stripped by immersion in warm (60 o C) 0.1% SDS and reprobed up to three times as described by Sambrook et al. (1989). For Expression of clone genes by identifying tolerant-genes with its expression on Escherichia coli to Al toxic level was implemented by addition of Al toxic level on LB (Luria Bertani) culture (2% bactotryptone, 0.5% yeast extract, 10 mm NaCl and 1% bactoagar. First of all, to set up assay for Al stress, E. coli and E. coli containing vector was cultured in LB with various Al treatment (0-500 ppm). Assay for Al-toxic level based on the reduction of E. coli s growth on media at least 75% from control (without Al). Secondly, all of the clones was cultured at LB plate with addition of Al-toxic level based on previous study for 2 days. The clones that involved to Al tolerance was indicated by E. coli (contained the clones) growing well in the selected media. RESULTS AND DISCUSSIONS Analysis of Al-tolerant Genes There are five clones that are already analyzed (cdna isolation and sequencing, searching enzyme restriction sites and searching homology with GeneBank database) as shown on Table 1 and Figure 1-5. Based on the searching homology with the genebank database, the clones encode: (1) Catalase (gmali12, that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein/pcnalp (gmali15, that involves as one of transcriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22), (4) Amine oxidase (gmao, Prosiding Semnas II HITPI Page 290

108 genebank accession number AF313622), and (5) Aminoacyl peptidase (gmap, genebank accession number AF091304). Table 1. Characteristics of clones No. Clones Characteristics 1. gmali12 Nucleotide length=252 bp; Amino acid=84 aa; Encode=Catalase (CAT) 2. gmali15 Nucleotide length=254 bp; Amino acid=84 aa; Encode=PCNALP 3. gmali22 Nucleotide length=247 bp; Amino acid=65 aa; Encode= Growth Hormon (GH) 4. gmao Nucleotide length=830 bp; Amino acid=250 aa; Encode= Amine Oxidase (AO) 5. gmap Nucleotide length=657 bp; Amino acid=202 aa; Encode=Aminoacyl Peptidase (AP) Notes : gmali12 = Glycine max aluminium induced number 12; gmali15 = Glycine max aluminium induced number 15 gmali22 = Glycine max aluminium induced number 22; gmao = Glycine max Amine Oxidase gmap = Glycine max Aminoacyl Peptidase 1 tggataatgaatttccacatactgacactgagtattagggttaatatgtggaaattcatt atccaaaaacaactcaaacttgattcccatgcaagttatatgtctttgtttgatagtttt cttttttcttattttttttatgtgttatatttacagatgggtatatgttctttgtttcat tttttaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaagggcggccgctcgcgat ctaaaactagtc 252 Figure 1. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of The gmali12 Clone. Amino acid residues are shown in the single-letter codes (coding : Catalase) 1 tgattatccattgtgttgatgttcacatagtctcatacaagcataacagtttaatatggg tgatcagttgttcccatagtctcatacaagcatatcagtttaatatgggtgatcactgtt acgaacacaaagcaaacaatcctagatgtggacagatacacacaactgattatccattgt gttgttgttccaacatatatttttatgacaaaaaaaaaaaaaaaagggcggccgctcgcg atctagaactagtc 254 Figure 2. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of The gmali15 Clone. Amino acid residues are shown in the single-letter codes (coding : PCNALP) 1 tgagcagaaaaggcatttatatatattacataacttatataagtgatttctatgtcttga ttatttggtaccttacatcatccccaaatgcaggcaaaattttgaatagcctaaaaaagc gtgatgcctatgtatgtcttaatcacatgaataatcatcatcccaaaaatgagaatcaaa agaaggaaattagatgaaaagaaaacatgtaatgctacaaaatgaagttgttttacttta CTGCTTC 247 Figure 3. Nucleotide and the deduced amino acid sequence of The gmali22 Clone. Amino acid residues are shown in the single-letter codes (coding : Growth Hormone) 1 gcaagaatggcacttcgttgaatggcagaagtggaattttcgtattggattcactcctag ggagggtttggtaattcattcagtagcctatattgatggaagtcggggacgaagacctgt ggcccatagattgagctttgttgagatggtagtcccgtatggagatcctaatgatcctca ctataggaaaaatgcttttgacgctggggaagatggcctgggtaaaaatgctcattctct caagaagggctgcgattgtttaggctatatcaaatactttgatgcgcacttcacaaactt ctatggaggtgttgaaacaattgagaactgtgtttgtttgcatggagaagatcatggtat tttatggaagcatcaagattggagaacaggattggctgaagttcgaaggtctagaaggct 420 Prosiding Semnas II HITPI Page 291

109 421 gacagtgtctttatatgcactgtggctaactatgagtatggatttttctggcacttttat caggatggaaaaatagaagcagagatcaagctcacaggaattctcagcttaggatcactt caaccaggtgaactcgaaaatatggcacaaccattgcacctggactatatgcgcctgtcc accaacattttttgttgctcgtatggacatggcagtaaattgcaagcctggtgaaacatt taatcaggttgttgaaggtgaatgtcaaaattgaaaaaccagaaacaataatgttcctaa caatgcattttatgctgaaaaaaaaactgcttaaatcaaaaatggaagcaatgccttgat tgtgacctttatctgcccctccctgggattgtttggaaccctaggacttt 830 Figure 4. Nucleotide sequence of the gmao (Glycine max Amine Oxidase) Clone. 1 atggcagctactcaggaagatgtgtactctgatcccggttctcctatgatgcggagaact caagctgggacatacattattgccaggataaagaaggaaagtgatgaaggaagatatatt tatactgaatggaaatggtgctacaccagaaggaaacattccattccttgatctgtttga cataaatacaggtaaaaaaatggaacgaatctgggagagcgataaggagaagtattatga gactgttgttgctctaatgtctgatcaagaagaaggggatttgtatttagataaactgaa gaagatactgacttctaaagagtcaaaaactgaaaacacccaatactactttgttagctg ggccagataaaaacatagttcaggttacaaatttccctcatccataccctcagcttgcat ccattgcagaaagagatgatcagatatgaaagaaaagacggggttcaacttactgctaca ttatacctaccaccaggttacaatccatcaacagatggccctttgccatgcctggtttgg tcttacccaggagaatttaagaacaaagatgctgctggacaagttcgtggtctccaaatg aatttgtaggctccacatcttcctgagtagctgccatcgcccgaaacttcattcgtt 657 Figure 5. Nucleotide sequence of the gmap (Glycine max Aminoacyl Peptidase) Clone. Expression of Al-tolerant Genes Plants show spesific responses to many kinds of stress (biotic and abiotic) including aluminium stress. Genes response to Al stress will be reflected by increasing transcription (production mrna) level of one or more genes. The molecular basis of these responses has not been completely worked out but there are clear examples of the expressions of many induced genes by aluminium stress. Based on slot blot analysis (Figure 6), all of the genes are basic genes (appear at all of control media/media ph 6.0 without Al), but its expression increased with Al stress (media ph 4.0 with Al stress). Clone gmali12 is coding catalase which involved as antioxidant. This result indicated that genes response to Al stress is similar with oxidation stress responses. This novel information is useful for genetic engineering. Similar result from the genes are expressed on Escherichia coli. Prosiding Semnas II HITPI Page 292

110 Glycine max cv. Lumut a b c d Glycine max cv. Slamet a b c d Centrosema pubescens a b c d Pennisetum purpureum a b c d gmali12 (% ) gmali15 (% ) gmali22 (% ) GmAO (% ) GmAP (% ) Notes : a = media ph 6.00 without Al; b = media ph 4.0 without Al c = media ph 4.0 with 0.8 mm Al d = media ph 4.0 with 1.6 mm Al Figure 6. Slot blot hybridization of clone genes on Glycine max, Centrocema pubescens and Pennisetum purpureum Assay for Al-toxic level on Escherichia coli, based on the reduction of E. coli s growth on media at least 75% from control (without Al). We found that 300 ppm Al is a critical assay for E. coli, and used it for study of expression of Altolerant genes on Escherichia coli. The result of research is listed on Table 2-3 and Figure 7. Table 2. Optical density value (OD 550 ) of growth of E. coli in Luria Clone gmali12: B+none B+VnR B+VR gmali15: B+none B+VnR B+VR gmali22: B+none B+VnR B+VR gmao : B+none B+VnR B+VR gmap B+none B+VnR B+VR Notes : B+none B+VR Time of Stress (h) = DH10B E.coli; B+VnR = DH10B E.coli withvector/plasmid insite; = DH10B E.coli with Vector Recombiant Prosiding Semnas II HITPI Page 293

111 Table 3. Growth of E. coli in Luria Bertani agar media with 300 ppm Al for 24 h Clones Stress gmali12 gmali15 gmali22 gmao gmap a b c a b c a b c a b c a b c -Al: % Al: % Notes : a = B+none = DH10B E.coli; b = B+VnR = DH10B E.coli withvector/plasmid insite; c = B+VR = DH10B E.coli with Vector Recombiant CONCLUSIONS From this research, we concluded that nucleotide and sequencing of Altolerant genes are coding: (1) Catalase (gmali12, that function as an antioxidant), (2) Proliferating cell nuclear antigen like protein (gmali15, that involved as one of tanscriptional regulator in the eucaryotic cell cycle), (3) Growth hormone (gmali22), (4) Amine oxidase (gmao, genebank accession number AF313622), and (5) Aminoacyl peptidase (gmap, genebank accession number AF091304) Expression of Al-tolerant genes (gmali12, gmali15, gmali22, gmao, and gmap) either on plant or Escherichia coli, indicated that all of the clones are genes response to Al-induction and involved in detoxification to Al-stress. ACKNOWLEDMENT We appreciated and thank s to DGHE for sponsorship and for all of member s of Forage Science Laboratory Faculty of Animal Agriculture Diponegoro University and PAU Bioteknologi IPB Bogor. REFERENCES Anwar, S Cloning of Aluminium Induced Genes in Soybean [Glycine max(l.) Merryl]. Dissertation PhD Program, IPB Bogor. Anwar, S., Karno, F. Kusmiyati, M. Jusuf and Suharsono Glycine max Amine Oxidase (gmao), mrna sequence. GeneBank database, NCBI, Access No.AF Ausubel, F.M., R. Brent, R.E. Kingston, D.D. Moore, T.G. Seidman, J.A. Smith and K. Struhl Current Protocols In Molecular Biology. John Wiley and Sons, New York. Delhaize, E., P.R. Ryan and P.J. Randall Aluminum tolerance in wheat (Triticum aestivum L.). II. Aluminum stimulated excretion of maliec acid from root apies. Plant Physiol. 103: Driscoll, C.T. and W.D. Schecher The chemistry of aluminum in the environment. Environ. Geochem. Health 12: Foy, C.D., R.L. Chaney and Mc. White The physiology of metal toxicity in plant. Annu. Rev. Plant Physiol. 29: Foy, C.D Physiological effects of hydrogen, aluminum, and manganese Prosiding Semnas II HITPI Page 294

112 toxicity in acid soil. Agronomy Monograph 12: Grierson, D. and S. Covey Plant Molecular Biology. Blackie Publ., USA New York.176p. Jusuf, M., Suharsono, and D. Sopandie Molecular biology of soybean tolerance to aluminium stress. HTTP report Batch II. Jakarta. Kinraide, T.B Identity of the rhizotoxic aluminum species. Plant soil. 134: Kinraide, T.B and P.R. Ryan Cell surface change may observe the identity of the rhizotoxic aluminum species. In D.D. Randall, D.G. Blevins and C.D. Lies, ed., Current Topics in Plant Biochemistry and Physiology. Univ. of Missouri, Columbia, pp Kochian, L.V Cellular mechanisms of aluminium toxicity and resistant in plants. Ann.Rev.Plant.Physiol.Plnat Mol.Biol.46: Marshner Mechanism of adaptation of plants to acid soils. Plant Soil 134:1-20. Matsumoto, H Cell biology of aluminium tolerance and toxicity in higher plants. Int.Rev.Cytol. (in press). Moller T., J.C. Bailar, J. Kleinberg, C.O. Guss, M.E. Castellion, and C. Motz Chemistry with Inorganic Qualitative Analysis. Acad Press, Inc. Orlando. Notohadiprawiro, T Persoalan Tanah Masam Dalam Pembangunan Pertanian Indoonesia. Bull Faperta UGM. 18: Rajaram, S. and E. Villegas Breeding wheat (Triticum aestivum) for aluminum toxicity tolerance at CIMMYT. P In N.E. Bassam et al (eds). Genetic aspexcts of plant mineral nutrition. Kluwer Acad. Publ., Dordrecht, the Netherlands. Rhue, R.D., G.O. Grugan, E.W. Stockmeyer, and H.L. Everett Genetic control of aluminum tolerance in corn. Crop Sci. 18: Sambrook J, E.F. Fritsch and T. Mamatis Molecular Cloning : A laboratory Manual. Cold Spring Harbor laboratory Press, New York. Sanger, F., S.Nicklen and A.R. Coulson DNA sequencing with chaintermination inhibitors. Proc.Natl.Acad. USA 74: Taylor G.J Current views of the aluminum stress respons : the physiological bases of tolerance. In D.D. Randall, D.G. Blevins and C.D. Miles, eds., Current Topics in Plant Biochemistry and Physiology. University of Missouri, Columbia, pp Van Breemen N Acidification and decline of Central European Forest. Nature : 316 : 16. Van Wambeke A Formation, distribution and consequence of acid soils in agriculture development. In M.J. wright and S.A. Ferrari, eds. Plant adaptation to mineral stress in problem soils. Spec. Publ. Cornell Univ. Agric. Exp. Stn. Ithaca, New York. Pp Wagatsuma T., M. Kaneko and Y. Hayasaka Destruction process of plant root cells by aluminum. Soil Sci. Plant Nutr. 33 : Prosiding Semnas II HITPI Page 295

113 EVALUASI PRODUKTIVITAS TANAMAN KERANDANG (Canavalia virosa) SEBAGAI SUMBER HIJAUAN PAKAN TERNAK PADA LAHAN PANTAI Sajimin dan B.R. Prawiradiputra Balai Penelitian Ternak P.O.Box 221 Bogor ABSTRAK Tanaman kerandang (Canavalia virosa) adalah jenis leguminosa yang banyak tumbuh dilahan salin (pantai). Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang dan berpotensi apabila dikelola dengan baik seperti untuk penyediaan pakan ternak. Memelihara ternak merupakan alternatif diversifikasi usaha untuk meningkatkan taraf hidup nelayan pada saat tidak melaut. Tujuan penelitian untuk mengetahui produktivitas hijauan tanaman kerandang pada berbagai media tanah. Rancangan percobaan adalah split plot pola faktorial dengan faktor utama media tanam dan dosis pupuk limbah kopi. Perlakuan yang diuji adalah tanah, pasir kali dan pasir pantai, media tersebut diberi pupuk dengan dosis 0%, 5%, 10%, dan 15% yang diulang tiga kali. Parameter yang diamati produktivitas hijauan setiap 60 hari, pertumbuhan tanaman setiap minggu setelah panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas hijauan berat kering tertinggi pada media pasir kali 25,9 gram per panen pada dosis pemupukan 15%, kemudian diikuti pada media tanah 18,8 gram/tanaman/panen pada dosis 10%. Produksi terendah pada media pasir pantai 16,6 gram/tanaman/panen pada dosis 5%. Rataan produksi hijauan yang diberikan pupuk dibandingkan dengan perlakuan kontrol (0%) meningkatkan produksi 92,99%. Produksi hijauan tiap panen terjadi penurunan setelah pemotongan ke empat, sedangkan pada media pasir pantai pada awal produksi hijauan tertinggi kemudian panen berikutnya menunurun sampai panen ke lima. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tanaman kerandang dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan pemberian pupuk organik dan setelah empat kali pemanenan perlu pemberian pupuk untuk mendapatkan hasil stabil. Kata kunci : canavalia virosa, produksi hijauan, pupuk limbah kopi. PENDAHULUAN Porsi utama pakan ternak ruminansia adalah dari hijauan pakan yang mencapai 80% dari pakan yang dikonsusmsi sebagai sumber serat. Namun pakan utama tersebut pada musim kemarau selalu terjadi masalah kekurangan. Hal ini ini disebabkan pengembangan tanaman pakan pada umumnya dilahan-lahan marginal (kurang subur) atau sub-optimal. Pemanfaatan lahan yang kurang subur untuk tanaman pakan menjadi sangat penting seperti tanah salin (pesisir). Ekstensifikasi tanah salin mempunyai potensi yang besar karena Indonesia merupakan negara pulau yang mempunyai garis pantai yang panjang dengan didominasi lahan salin. Menurut Suhardi (2008) lahan pasir di Indonesia km yang berada disepanjang pantai dan belum dimanfaatkan. Pengembangan tanaman pakan ternak pada lahan marginal di pesisir yang mengandung kadar garam (salinitas) tinggi diperlukan upaya perbaikan lahan Prosiding Semnas II HITPI Page 296

114 terlebih dulu agar tanaman mampu tumbuh dan berproduksi. Salinitas mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui keracunan akibat penyerapan unsur garam berlebihan seperti natrium yang mengakibatkan penurunan penyerapan unsur penting bagi tanaman (Purbayanti et al., 2010). Tanaman kerandang (Canavalia virosa Roxb) adalah termasuk keluarga Leguminosa dan merupakan tanaman perenial yang tumbuh baik di daerah pantai dengan perbanyakan taanaman dengan biji atau stek. Pemanfaatan biji kerandang dilakukan sebagai bahan pakan untuk menggantikan kedelai. Menurut Djaafar et al. (2011) biji kerandang mengandung protein 31,3%, lemak 4,8%, abu 3,8% dan asam amino seperti isoleusine, histidine, cystine, methionin, dan threonine. Biji kerandang telah diolah menjadi tempe, tahu dan minuman fermentasi. Namun mengandung HCN tinggi sehingga apabila digunakan sebagai bahan pangan perlu proses pengolahan yang benar untuk menurunkan kandungan HCN. Menurut Winarti et al. (2009) produktivitas kerandang biji 909,07 kg/ha, kulit biji 290,99 kg/ha, kulit polong 809,94 kg/ha dan daun serta batang 3100 kg/ha/panen Kerandang termasuk tanaman kacang-kacangan tropis tahunan yang merambat, berdaun tiga dengan bunga warna pink. Panjang bunga kerandang 3 cm, ukuran polong 17 cm 3 cm, warna biji coklat atau coklat kemerahan dengan marble warna hitam (PROSEA, 1992). Tanaman tersebut mampu tumbuh cepat di lahan pasir dan merupakan tanaman penutup lahan yang bagus untuk lahan pasir yang kering. Saat ini tanaman kerandang tumbuh sebagai tanaman liar, yang mampu hidup dan berproduksi tanpa adanya campur tangan manusia. Disamping itu, kerandang juga mampu mengikat nitrogen dari udara sehingga berpotensi untuk memperbaiki kesuburan lahan. Pengembangan tanaman kerandang sebagai pakan ternak didaerah pantai merupakan sumber hijauan yang dapat digunakan oleh nelayan terutama pada saat tidak melaut. Penelitian ini bertujuan mempelajari produktivitas hiajauan dengan pemotongan teratur dan pertumbuhan tanaman dengan penambahan pupuk organik serta kualitas hijauan. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balitnak Bogor pada tahun Penelitian merupakan percobaan pot menggunakan media tanah, pasir kali, dan pasir pantai. Tanaman pakan yang digunakan kerandang (Canavalia virosa Roxb (W&A). Percobaan disusun dengan rancangan split plot dengan dua faktorial yaitu media tanam dan dosis pupuk dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama media tanam tanaman dan faktor kedua dosis pupuk organik 0%, 5%, 10% dan 15% dari berat tanah. Tahap persiapan dilakukan penyiapan media yang diisikan dalam pot berisi tanah kering 7 kg. Kompos limbah kopi yang digunakan mengandung bahan organik C/N rasio 2,77%, P 2 O 5 4,25%, N 4,90%. Sedangkan media tanam masing-masing tanah kandungan P 7,34%, K 8,32%, Mo 3,34% dan C/N rasio 7. Media pasir kali kandungan P 8,69%, K 9,20%, Mo 2,53% dan C/N 8. Media pasir pantai kandungan P 6,41%, K 7,12%, Mo 4,21% dan C/N 7. Pemberian pupuk dilakukan saat pengisian pot dicampur merata sesuai dengan perlakuan dan diinkubasikan selama satu bulan dan tiap tanaman menerima N 17,15 g (dosis 5%), 34,3 g (dosis 10%), dan 51,45 g (dosis 15%). Prosiding Semnas II HITPI Page 297

115 Tanaman setelah tumbuh merata umur 3 bulan dilakukan penyeragaman (dipangkas) kemudian dipotong setiap 60 hari. Peubah yang diamati meliputi laju pertumbuhan setiap 1 minggu (jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun. Produksi hijauan segar dan kering setiap 2 bulan dan pada panen ke 4 (akhir) kegiatan diambil contoh hijauan komposit untuk analisa protein kasar, serat kasar, Calsium dan Fosphor. HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan tanaman Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman kerandang pada media yang berbeda memberikan respon pertumbuhan yang berbeda. Secara umum pada media pasir kali rata-rata pertumbuhannya tertinggi dengan pemberian pupuk limbah kopi, kemudian diikuti pada media pasir pantai dan terendah pada media tanah (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang Media percobaan Dosis pupuk (%) Panjang tunas (cm) Jumlah daun (helai) Jumlah cabang (buah) Tanah 0 351,7 b 154,7 b 19,0 a 5 346,0 b 196,1 b 28,3 a ,0 a 237,7 b 30,3 a ,3 b 214,3 b 27,3 a Pasir kali 0 257,7 b 144,0 b 29,3 a 5 604,7 a 293,3 b 37,0 a a 327,3 a 37,7 a ,7 a 305,7 a 36,3 a Pasir pantai 0 194,7 b 181,7 b 31,0 a 5 326,7 a 226,3 a 30,3 a ,3 262,3 a 37,0 a ,3 315,3 a 44,3 a Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata (P<0,05). Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa jika dibandingkan perlakuan dosis pupuk yang diberikan 5%, 10% dan 15% tinggi tanaman tidak beda nyata (P<0,05) pada media tanah baik pada jumlah daun maupun cabang. Sedangkan pada media pasir kali dan pasir pantai pemberian pupuk organik menunjukkan lebih tinggi. Namun jika dibandingkan dengan kontrol ada penbedaannya nyata lebih tinggi dan. Jumlah daun lebih banyak. Hal ini nampaknya pupuk yang diberikan memberikan pengaruh pada pertumbuhan yang lebih cepat dengan jumlah cabang dan daun lebih banyak dari perlakuan kontrol. Keadaan ini mengindikasikan tanaman yang meiliki daun lebih banyak merupakan sumber hijauan pakan yang baik. Keadaan ini juga terlihat pada hasil pengamatan pertumbuhan setiap minggu (Gambar 1). Prosiding Semnas II HITPI Page 298

116 A. Gambar pertumbuhan tanaman pada media tanah B. Gambar pertumbuhan tanaman pada lahan pasir kali C. Gambar pertumbuhan pada media pasir pantai Gambar 1. Pertumbuhan tanaman pada berbagai media tumbuh Pada Gambar 1 terlihat bahwa dari pengukuran tinggi tanaman dari Prosiding Semnas II HITPI Page 299

pastura Vol. 3 No. 1 : ISSN : X

pastura Vol. 3 No. 1 : ISSN : X pastura Vol. 3 No. 1 : 25-29 ISSN : 2088-818X PRODUKTIVITAS PADANG PENGGEMBALAAN SABANA TIMOR BARAT Arnold E. Manu Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang e-mail: Maurin_01@yahoo.co.id

Lebih terperinci

Pendugaan Daya Tampung Walabi Lincah (Macropus agilis) di Padang Rumput Mar Taman Nasional Wasur Merauke ABSTRACT

Pendugaan Daya Tampung Walabi Lincah (Macropus agilis) di Padang Rumput Mar Taman Nasional Wasur Merauke ABSTRACT Jurnal Ilmu Peternakan, Desember 2008, hal. 58-63 ISSN 1907-2821 Vol. 3 No.2 Pendugaan Daya Tampung Walabi Lincah (Macropus agilis) di Padang Rumput Mar Taman Nasional Wasur Merauke (Carrying capacity

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia.

PENGANTAR. Latar Belakang. Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia. PENGANTAR Latar Belakang Hijauan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia. Produktivitas ternak ruminansia sangat ditentukan oleh ketersediaan pakan yang berkualitas secara cukup dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola

Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Kotoran Ternak (Sapi, Ayam, dan Kambing) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Brachiaria Humidicola The Effect of Three Kind Manure (Cow, chicken, and goat) to The Vegetative

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produksi protein hewani untuk masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh peningkatan penduduk, maupun tingkat kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan

I. PENDAHULUAN. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan pakan dalam usaha bidang peternakan sangat penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasilan produksi ternak. Jenis pakan

Lebih terperinci

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI

AD1. FAKTOR IKLIM 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3. FAKTOR SPESIES 4. FAKTOR MANAJEMEN/PENGELOLAAN 1. RADIASI SINAR MATAHARI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HMT FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KUALITAS HMT ADALAH : 1. FAKTOR IKLIM 2. FAKTOR KESUBURAN TANAH 3.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

PENANAMAN Untuk dapat meningkatkan produksi hijauan yang optimal dan berkualitas, maka perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Ada beberapa hal yan

PENANAMAN Untuk dapat meningkatkan produksi hijauan yang optimal dan berkualitas, maka perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman. Ada beberapa hal yan Lokakarya Fungsional Non Peneliri 1997 PENGEMBANGAN TANAMAN ARACHIS SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK Hadi Budiman', Syamsimar D. 1, dan Suryana 2 ' Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran

Lebih terperinci

SILASE SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN SAPI PENGGEMUKAN PADA MUSIM KEMARAU DI DESA USAPINONOT

SILASE SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN SAPI PENGGEMUKAN PADA MUSIM KEMARAU DI DESA USAPINONOT SILASE SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN SAPI PENGGEMUKAN PADA MUSIM KEMARAU DI DESA USAPINONOT Sophia Ratnawaty, P. Th. Fernandez dan J. Nulik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur Abstrak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. untuk menentukan suatu keberhasilan dari sebuah peternakan ruminansia, baik

PENDAHULUAN. untuk menentukan suatu keberhasilan dari sebuah peternakan ruminansia, baik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya hijauan pakan menjadi salah satu faktor untuk menentukan suatu keberhasilan dari sebuah peternakan ruminansia, baik secara kuantitas maupun

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KETERSEDIAAN PAKAN MELALUI INTRODUKSI JAGUNG VARIETAS UNGGUL SEBAGAI BORDER TANAMAN KENTANG

MENINGKATKAN KETERSEDIAAN PAKAN MELALUI INTRODUKSI JAGUNG VARIETAS UNGGUL SEBAGAI BORDER TANAMAN KENTANG Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 21 MENINGKATKAN KETERSEDIAAN PAKAN MELALUI INTRODUKSI JAGUNG VARIETAS UNGGUL SEBAGAI BORDER TANAMAN KENTANG (Introduction of New Maize Varieties, as

Lebih terperinci

KUALITAS GIZI DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK SECARA IN VITRO HAY RUMPUT UNTUK SAPI ANTAR PULAU DI STASIUN KARANTINA TENAU KUPANG

KUALITAS GIZI DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK SECARA IN VITRO HAY RUMPUT UNTUK SAPI ANTAR PULAU DI STASIUN KARANTINA TENAU KUPANG L.J.M. Christna K. Lado dan Aholiab A., Kualitas Gizi dan Kecernaan 57 KUALITAS GIZI DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK SECARA IN VITRO HAY RUMPUT UNTUK SAPI ANTAR PULAU DI STASIUN KARANTINA TENAU KUPANG L.J.M.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN Indigofera sp. DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA DOMBA JANTAN

PEMANFAATAN Indigofera sp. DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA DOMBA JANTAN Jurnal Ilmiah Peternakan 5 (2) : 80-84 (2017) ISSN : 2337-9294 PEMANFAATAN Indigofera sp. DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA DOMBA JANTAN the using of Indigofera sp. in

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pegaruh Perlakuan terhadap Produksi Hijauan (Bahan Segar)

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pegaruh Perlakuan terhadap Produksi Hijauan (Bahan Segar) IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pegaruh Perlakuan terhadap Produksi Hijauan (Bahan Segar) Produksi hijauan segar merupakan banyaknya hasil hijauan yang diperoleh setelah pemanenan terdiri dari rumput

Lebih terperinci

KANDUNGAN SERAT KASAR Centrosema pubescens DAN Capologonium mucunoides DI KAMPUNG WASUR ABSTRACT

KANDUNGAN SERAT KASAR Centrosema pubescens DAN Capologonium mucunoides DI KAMPUNG WASUR ABSTRACT Agricola, Vol 4 (1), Maret 2014, 33-40 p-issn : 2088-1673., e-issn 2354-7731 KANDUNGAN SERAT KASAR Centrosema pubescens DAN Capologonium mucunoides DI KAMPUNG WASUR Yenni Pasaribu 1) dan Irine I. Praptiwi

Lebih terperinci

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA HIJAUAN GLIRICIDIA SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA I Wayan Mathius Balai Penelitian Ternak, Bogor PENDAHULUAN Penyediaan pakan yang berkesinambungan dalam artian jumlah yang cukup clan kualitas yang baik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produktivitas ternak ruminansia sangat tergantung oleh ketersediaan nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan produktivitas ternak tersebut selama

Lebih terperinci

Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan masih merupakan kendala. yang dihadapi oleh para peternak khususnya pada musim kemarau.

Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan masih merupakan kendala. yang dihadapi oleh para peternak khususnya pada musim kemarau. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan masih merupakan kendala yang dihadapi oleh para peternak khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan lahan-lahan yang kurang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian lapangan dilaksanakan pada enam kawasan yaitu Nagerawe, Ndora, Lambo, Ratedao, Rendu dan Munde, yang terdiri dari sembilan desa yaitu Desa Dhereisa, Bidoa,

Lebih terperinci

Studi tentang pola produksi alfalfa tropis (Medicago sativa l.) Study on production pattern of tropical alfalfa (Medicago sativa L.

Studi tentang pola produksi alfalfa tropis (Medicago sativa l.) Study on production pattern of tropical alfalfa (Medicago sativa L. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan 19 (1): 20-27 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Studi tentang pola produksi alfalfa tropis (Medicago sativa l.) R. D. Wahyuni dan S. N. Kamaliyah

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga 9 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2016 dengan tiga tahap, yaitu : tahap pendahuluan dan tahap perlakuan dilaksanakan di Desa Cepokokuning, Kecamatan Batang,

Lebih terperinci

UJI COBA PEMBERIAN DUA JENIS LEGUMINOSA HERBA TERHADAP PERFORMANS SAPI BALI DI DESA TOBU, NUSA TENGGARA TIMUR

UJI COBA PEMBERIAN DUA JENIS LEGUMINOSA HERBA TERHADAP PERFORMANS SAPI BALI DI DESA TOBU, NUSA TENGGARA TIMUR UJI COBA PEMBERIAN DUA JENIS LEGUMINOSA HERBA TERHADAP PERFORMANS SAPI BALI DI DESA TOBU, NUSA TENGGARA TIMUR Sophia Ratnawaty dan Didiek A. Budianto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berasal dari hijauan dengan konsumsi segar per hari 10%-15% dari berat badan,

I. PENDAHULUAN. berasal dari hijauan dengan konsumsi segar per hari 10%-15% dari berat badan, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan produktivitas ternak ruminansia, diperlukan ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan, baik secara kualitas maupun kuantitas secara berkesinambungan.

Lebih terperinci

HIJAUAN MAKANAN TERNAK (HMT) PET60 (2( 2 SKS) IR. NIKEN ASTUTI, MP.

HIJAUAN MAKANAN TERNAK (HMT) PET60 (2( 2 SKS) IR. NIKEN ASTUTI, MP. HIJAUAN MAKANAN TERNAK (HMT) PET60 (2( 2 SKS) IR. NIKEN ASTUTI, MP. CIRI-CIRI PADANG RUMPUT YANG BAIK : 1. MAMPU MENYEDIAKAN PAKAN YANG BERKUALITAS DALAM WAKTU YANG LAMA (SEPANJANG TAHUN) 2. TIDAK BERBAHAYA

Lebih terperinci

Siti Nurul Kamaliyah. SISTEM TIGA STRATA (Three Strata Farming System)

Siti Nurul Kamaliyah. SISTEM TIGA STRATA (Three Strata Farming System) Siti Nurul Kamaliyah SISTEM TIGA STRATA (Three Strata Farming System) DEFINISI Suatu cara penanaman & pemotongan rumput, leguminosa, semak & pohon shg HMT tersedia sepanjang rahun : m. hujan : rumput &

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para peternak selayaknya memanfaatkan bahan pakan yang berasal dari hasil ikutan produk sampingan olahan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketersediaan Limbah Pertanian Pakan ternak sangat beragam tergantung varietas tanaman yang ditanam petani sepanjang musim. Varietas tanaman sangat berdampak

Lebih terperinci

POTENSI LIMBAH KULIT BUAH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI PEDAGANG GORENGAN DI KOTA MANOKWARI

POTENSI LIMBAH KULIT BUAH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI PEDAGANG GORENGAN DI KOTA MANOKWARI POTENSI LIMBAH KULIT BUAH PISANG (Musa paradisiaca L.) DARI PEDAGANG GORENGAN DI KOTA MANOKWARI The Waste Potency of Banana Skin (Musa paradisiaca L.) from Junkfood Salesman in Manokwari City DIANA SAWEN

Lebih terperinci

Pola produksi dan nutrisi rumput Kume (Shorgum plumosum var. Timorense) pada lingkungan alamiahnya

Pola produksi dan nutrisi rumput Kume (Shorgum plumosum var. Timorense) pada lingkungan alamiahnya Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 31-40 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Pola produksi dan nutrisi rumput Kume (Shorgum plumosum var. Timorense) pada lingkungan alamiahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi

Lebih terperinci

TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA TANAMAN Leguminosa Styloshanthes guianensis (Stylo) merupakan salahsatu tanaman pakan yang telah beradaptasi baik dan tersebar di

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

KELARUTAN MINERAL KALSIUM (Ca) DAN FOSFOR (P) BEBERAPA JENIS LEGUM POHON SECARA IN VITRO SKRIPSI SUHARLINA

KELARUTAN MINERAL KALSIUM (Ca) DAN FOSFOR (P) BEBERAPA JENIS LEGUM POHON SECARA IN VITRO SKRIPSI SUHARLINA KELARUTAN MINERAL KALSIUM (Ca) DAN FOSFOR (P) BEBERAPA JENIS LEGUM POHON SECARA IN VITRO SKRIPSI SUHARLINA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dapat menyebabkan rendahnya produksi ternak yang di hasilkan. Oleh karena itu,

I. PENDAHULUAN. dapat menyebabkan rendahnya produksi ternak yang di hasilkan. Oleh karena itu, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pakan merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan usaha peternakan karena berkaitan dengan produktivitas ternak, sehingga perlu dilakukan peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Gajah Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) adalah tanaman yang dapat tumbuh di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa tambahan nutrien

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN KONSENTRAT DALAM PAKAN RUMPUT BENGGALA (Panicum maximum ) TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA KAMBING LOKAL

PENGARUH PENGGUNAAN KONSENTRAT DALAM PAKAN RUMPUT BENGGALA (Panicum maximum ) TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA KAMBING LOKAL PENGARUH PENGGUNAAN KONSENTRAT DALAM PAKAN RUMPUT BENGGALA (Panicum maximum ) TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA KAMBING LOKAL Jems. A. Momot; K. Maaruf*); M. R. Waani*); Ch. J. Pontoh*)

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PEMUPUKAN DAN TEKSTUR TANAH TERHADAP PRODUKTIVITAS RUMPUT Setaria splendida Stapf

PENGARUH WAKTU PEMUPUKAN DAN TEKSTUR TANAH TERHADAP PRODUKTIVITAS RUMPUT Setaria splendida Stapf PENGARUH WAKTU PEMUPUKAN DAN TEKSTUR TANAH TERHADAP PRODUKTIVITAS RUMPUT Setaria splendida Stapf Oleh WAHJOE WIDHIJANTO BASUKI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember RINGKASAN Percobaan pot telah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH MENGGUNAKAN SUPLEMEN KATALITIK Dian Agustina (dianfapetunhalu@yahoo.co.id) Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

STUDY TENTANG TIGA VARIETAS TERUNG DENGAN KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN

STUDY TENTANG TIGA VARIETAS TERUNG DENGAN KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN STUDY TENTANG TIGA VARIETAS TERUNG DENGAN KOMPOSISI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN [STUDY ON THREE EGG PLANT VARIETIES GROWN ON DIFFERENT COMPOSITION OF PLANT MEDIA, ITS EFFECT ON GROWTH

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kecernaan dan Deposisi Protein Pakan pada Sapi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kecernaan dan Deposisi Protein Pakan pada Sapi 22 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Kecernaan dan Deposisi Protein Pakan pada Sapi Madura Jantan yang Mendapat Kuantitas Pakan Berbeda dilaksanakan pada bulan Juni September 2015. Lokasi

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Percobaan lapangan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak

BAB III METODE PENELITIAN. Percobaan lapangan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak 23 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Percobaan lapangan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Pola Faktorial 3 x 2 dimana 3 perlakuan jenis tanaman (Faktor A) dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ubi jalar yang ditanam di Desa Cilembu Kabupaten Sumedang yang sering dinamai Ubi Cilembu ini memiliki rasa yang manis seperti madu dan memiliki ukuran umbi lebih besar dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengamatan Selintas 4.1.1. Keadaan Cuaca Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sebagai faktor eksternal dan faktor internalnya yaitu genetika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak ruminansia adalah ketersediaan pakan yang berkualitas, kuantitas, serta kontinuitasnya terjamin, karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

METODE. Materi. Gambar 2. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian Foto: Nur adhadinia (2011)

METODE. Materi. Gambar 2. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian Foto: Nur adhadinia (2011) METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di kandang domba Integrated Farming System, Cibinong Science Center - LIPI, Cibinong. Analisis zat-zat makanan ampas kurma dilakukan di Laboratorium Pengujian

Lebih terperinci

E-JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP ISSN: VOL. 3, NO. 1, APRIL 2017

E-JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP ISSN: VOL. 3, NO. 1, APRIL 2017 Pengaruh Jenis dan Dosis Pupuk ZA, NPK, Urea terhadap Pertumbuhan Rumput Bermuda (Cynodon dactylon) pada Industri Pembibitan Tanaman Lansekap di Kelurahan Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur I PUTU MERTAYASA

Lebih terperinci

Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit berbagai Kelompok Umur di PTPN 6 Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi

Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit berbagai Kelompok Umur di PTPN 6 Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit berbagai Kelompok Umur di PTPN 6 Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi Farizaldi 1 1 Fakultas Peternakan Universitas Jambi Jl. Jambi-Muara

Lebih terperinci

SELEKSI JENIS TUMBUHAN PAKAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis Blainville) DI PULAU MENJANGAN BALI. Program Studi Biologi FMIPA Universitas Udayana 2016

SELEKSI JENIS TUMBUHAN PAKAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis Blainville) DI PULAU MENJANGAN BALI. Program Studi Biologi FMIPA Universitas Udayana 2016 SELEKSI JENIS TUMBUHAN PAKAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis Blainville) DI PULAU MENJANGAN BALI I Ketut Ginantra I B Made Suaskara I Ketut Muksin Program Studi Biologi FMIPA Universitas Udayana 2016 I.

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) ABSTRAK Noverita S.V. Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sisingamangaraja-XII Medan Penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN PENINGKATAN KANDUNGAN PROTEIN DAN SERAT KASAR LEGUM Clitoria ternatea SEBAGAI HIJAUAN PAKAN TERNAK

HUBUNGAN PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN PENINGKATAN KANDUNGAN PROTEIN DAN SERAT KASAR LEGUM Clitoria ternatea SEBAGAI HIJAUAN PAKAN TERNAK HUBUNGAN PEMBERIAN PUPUK KANDANG SAPI DENGAN PENINGKATAN KANDUNGAN PROTEIN DAN SERAT KASAR LEGUM Clitoria ternatea SEBAGAI HIJAUAN PAKAN TERNAK Syamsuddin 1, Takdir Saili 1, Asmar Hasan 2 1) Staf Pengajar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di TINJAUAN PUSTAKA Syarat Tumbuh Tanaman Jahe Iklim Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian 200-600 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata berkisar 2500-4000 mm/ tahun. Sebagai

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan kadar protein dan energi berbeda pada kambing Peranakan Etawa bunting dilaksanakan pada bulan Mei sampai

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Dengan potensi tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat

Lebih terperinci

SKRIPSI POTENSI HIJAUAN PAKAN UNTUK PENGGEMBALAAN SAPI POTONG PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA DI KECAMATAN DAKO PEMEAN. Oleh : H E N R I K NPM :

SKRIPSI POTENSI HIJAUAN PAKAN UNTUK PENGGEMBALAAN SAPI POTONG PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA DI KECAMATAN DAKO PEMEAN. Oleh : H E N R I K NPM : 1 SKRIPSI POTENSI HIJAUAN PAKAN UNTUK PENGGEMBALAAN SAPI POTONG PADA LAHAN PERKEBUNAN KELAPA DI KECAMATAN DAKO PEMEAN Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pada Jurusan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produktivitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah pakan. Davendra, (1993) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan berat badan maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Mucuna Bracteata DC.

TINJAUAN PUSTAKA Mucuna Bracteata DC. 3 TINJAUAN PUSTAKA Mucuna Bracteata DC. Tanaman M. bracteata merupakan salah satu tanaman kacang-kacangan yang pertama kali ditemukan di areal hutan Negara bagian Tripura, India Utara, dan telah ditanam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al.

I. PENDAHULUAN. kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hijauan merupakan bahan pakan sumber serat yang sangat diperlukan bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak ruminansia. Menurut Abdullah et al. (2005) porsi hijauan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput gajah berasal dari afrika tropis, memiliki ciri-ciri umum berumur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rumput gajah berasal dari afrika tropis, memiliki ciri-ciri umum berumur BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) Rumput gajah berasal dari afrika tropis, memiliki ciri-ciri umum berumur tahunan (Perennial), tingginya dapat mencapai 7m dan akar sedalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan di Indonesia sampai saat ini masih sering dihadapkan dengan berbagai masalah, salah satunya yaitu kurangnya ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan khususnya

Lebih terperinci

KAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN TERNAK BABI. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2

KAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN TERNAK BABI. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2 KAJIAN TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN TERNAK BABI Batseba M.W. Tiro 1 dan Paskalis Th. Fernandez 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

A. Pengolahan tanah METODE PENANAMAN RUMPUT BEDE Pada prinsipnya pengolahan tanah sama seperti persiapan untuk penanaman rumput unggul lainnya. Tanah

A. Pengolahan tanah METODE PENANAMAN RUMPUT BEDE Pada prinsipnya pengolahan tanah sama seperti persiapan untuk penanaman rumput unggul lainnya. Tanah Lokakarya Fungsiona/ Non Peneiti 1997 TEKNIK BUDIDAYA RUMPUT BRACHIARIA DECUMBENS (RUMPUT BEDE) Oyo, T. Hidayat, Ida Heliati dan Mat Solihat Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai dengan Januari 2006. Penanaman dan pemeliharaan bertempat di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biskuit Pakan Biskuit pakan merupakan inovasi bentuk baru produk pengolahan pakan khusus untuk ternak ruminansia. Pembuatan biskuit pakan menggunakan prinsip dasar pembuatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penyusunan ransum bertempat di Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Pembuatan pakan bertempat di Indofeed. Pemeliharaan kelinci dilakukan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

G. S. Dewi, Sutaryo, A. Purnomoadi* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang

G. S. Dewi, Sutaryo, A. Purnomoadi* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj PRODUKSI DAN LAJU PRODUKSI GAS METHAN PADA BIOGAS DARI FESES SAPI MADURA JANTAN YANG MENDAPATKAN PAKAN UNTUK PRODUKSI YANG BERBEDA (Production

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Kebutuhan jagung dunia mencapai 770 juta ton/tahun, 42%

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Kebutuhan jagung dunia mencapai 770 juta ton/tahun, 42% 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas jagung (Zea mays L.) hingga kini masih sangat diminati oleh masyarakat dunia. Kebutuhan jagung dunia mencapai 770 juta ton/tahun, 42% diantaranya merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al.,

I.PENDAHULUAN. dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. diikuti dengan meningkatnya limbah pelepah sawit.mathius et al., I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi yang menurun dan meningkatnya impor daging di Indonesia yang dikarenakan alih fungsi lahan yang digunakan untuk pembuatan perumahan dan perkebunan. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN KONSENTRAT DALAM PAKAN RUMPUT BENGGALA ( Panicum Maximum ) TERHADAP KECERNAAN NDF DAN ADF PADA KAMBING LOKAL

PENGARUH PENGGUNAAN KONSENTRAT DALAM PAKAN RUMPUT BENGGALA ( Panicum Maximum ) TERHADAP KECERNAAN NDF DAN ADF PADA KAMBING LOKAL PENGARUH PENGGUNAAN KONSENTRAT DALAM PAKAN RUMPUT BENGGALA ( Panicum Maximum ) TERHADAP KECERNAAN NDF DAN ADF PADA KAMBING LOKAL Rizal Rahalus*, B. Tulung**, K. Maaruf** F. R. Wolayan** Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dan. Alang-alang (Imperata cylindrica) adalah jenis rumput tahunan yang

TINJAUAN PUSTAKA. Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dan. Alang-alang (Imperata cylindrica) adalah jenis rumput tahunan yang TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Alang-alang Ciri utama lahan kritis adalah gundul, terkesan gersang dan produktivitasnya yang rendah. Umumnya lahan kritis didominasi vegetasi alangalang. Alang-alang (Imperata

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak

Lebih terperinci