@UKDW BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam waktu akhir-akhir ini perhatian pada budaya bangsa Indonesia cukup tinggi. Perhatian tersebut tentu saja menjadi kabar yang sangat menggembirakan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Indonesia merupakan Negara yang kaya akan kebudayaan. Setiap wilayah memiliki kebudayaan masing-masing sesuai peninggalan leluhur mereka. Keanekaragaman kebudayaan tersebut menegaskan betapa Indonesia memiliki sikap toleransi yang tinggi kepada perbedaan. Selain itu perhatian kepada budaya ini juga menjadi hal yang menarik. Mengingat selama ini budaya lokal seakan tersingkir dan tidak mendapat tempat yang sepantasnya. Meskipun hal tersebut tidak terjadi di semua wilayah dan masih ada beberapa daerah yang menjaga budaya dan tradisi mereka. Alasan penolakan pada budaya di Indonesia sangat beragam. Datangnya agama dan budaya dari bangsa lain yang masuk ke Indonesia menjadi salah satu alasanya. Kedatangan agama dan budaya dari luar tersebut tentu membawa misi dan pengaruh yang sangat mungkin berbeda dengan budaya kita. Sehingga masuknya agama dan budaya tersebut terkadang tidak seramah yang kita harapakan. Tidak sedikit para penyebar agama dan kebudayaan tersebut berusaha menyingkirkan budaya masyarakat setempat. Berbagai alasan dikemukakan untuk membenarkan tindakan mereka ini. Dengan menganggap budaya kita telah tertinggal jauh, sehingga tidak relevan lagi untuk dihidupi. Meskipun demikian tidak semua penyebar agama dan kebudayaan bersikap seperti itu terhadap budaya kita. Akan tetapi tindakan beberapa oknum atau kelompok tidak jarang mempengaruhi persepsi masyarakat luas. Persepsi inilah yang pada akhirnya diturunkan kepada generasi selanjutnya dan terus meluas. Sehingga sikap orang beragama yang dalam hal ini secara khusus orang Kristen, belum ramah terhadap budaya. Bahkan tidak jarang sikap yang ditunjukkan justru menolak budaya. Sikap tidak ramah ini salah satunya dialami oleh keris. Keris merupakan benda budaya asli nusantara. Dikatakan asli karena keris diyakini telah ada sebelum agama-agama besar masuk Nusantara. Dalam beberapa penelitian keris yang ditemukan diperkirakan dibuat pada masa agama Buddha masuk di Nusantara. Selain itu sampai saat ini belum ditemukan benda budaya yang sama dengan keris dalam budaya lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa keris merupakan benda budaya khas Nusantara. Terkait pengakuan budaya keris ini, 1

2 UNESCO memberikan penghargaan kepada keris sebagai karya agung pusaka warisan dunia. Penghargaan tersebut diberikan oleh UNESCO pada tahun 2005 dengan sebutan A Masterpiece of Oral and Intengible Heritage of Humanity. 1 Pemberian penghargaan ini merupakan wujud pengakuan dunia bahwa keris adalah budaya peninggalan leluhur bangsa Indonesia yang sangat tinggi. Pengakuan ini sebenarnya dapat menjadi kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Mengingat salah satu benda budaya kita diakui dunia sebagai karya yang luar biasa. Pengakuan keris dari dunia internasional justru bertolak belakang dengan sikap beberapa kelompok masyarakat di Indonesia. Mereka menganggap keris adalah benda yang layak dijauhi. Bahkan ada beberapa kelompok yang menganggap keris layak untuk dimusnahkan. Sikap penolakan dan memusuhi keris ini justru sangat terlihat ditunjukkan orang-orang beragama. Berbagai tindakan dilakukan untuk mengumpulkan keris dan memusnahkannya. Pemusnahan ini dilakukan dengan berbagai macam cara. Mulai dari mematahkan, memotong, membakar, dan bahkan membuangnya ke laut atau sungai. Berbagai upaya tersebut dilakukan karena mereka tidak mau menerima keris. Sehingga tindakan memusnahkan keris adalah tindakan nyata atas penolakan kelompok tersebut terhadap keberadaan keris. Tindakan penolakan ini dilakukan semata-mata untuk memusnahkan keris dari hidup masyarakat. Alasan yang sering muncul atas penolakan keris ini adalah anggapan bahwa keris adalah benda yang jahat. Sebagai benda yang dianggap jahat keris diyakini mengandung kekuatan yang jahat. Keris dianggap sebagai benda yang mengandung kekuatan yang dapat mencelakan manusia. Apabila terjadi keadaan yang kurang baik dari pemilik keris, maka keris sering dikambing hitamkan. Seperti seseorang yang memiliki keris sakit, maka menghubungkan sakit dan keris sering dilakukan. Selain itu nasib yang kurang beruntung pada seseorang juga sering dipandang sebagai dampak negatif dari keris. Pemikiran keris sebagai benda yang jahat dan menyebabkan hal yang tidak baik sudah menyebar luas. Kondisi tersebut membuat keris semakin terbuang dari rumahnya sendiri. Penolakan keris ini juga dilakukan oleh kaum beragama. Mereka juga sejalan dengan menganggap keris sebagai benda yang mengandung kegelapan. Mereka meyakini bahwa keris dapat menyebabkan orang jauh dari pada Tuhan. 1 Ki Juru Bangunjiwo, Misteri Pusaka-Pusaka Soeharto, (Yogyakarta: Galang Press, 2007), h.15. 2

3 Penolakan keberadaan keris ini ternyata memiliki dampak pada kehidupan orang Kristen. Dimana kita mengetahui bahwa masih banyak orang Kristen yang memiliki keris. Setidaknya hal tersebut dapat saya lihat di tempat saya stage, yaitu di desa Wonorejo. Di sana masih banyak keluarga Kristen yang memiliki keris. Akan tetapi keris dipahami tidak lebih sebagai benda berkekuatan negatif. Pandangan negatif terhadap keris sudah terlalu melekat dengan kuat di masyarakat. Mereka tidak berani untuk membuang keris, tetapi juga takut dianggap memuja keris oleh jemaat lain. Mengingat pandangan negatif pada keris sangatlah kuat. Keris hanya dibiarkan di lemari tanpa dirawat sebagaimana mestinya. Selama bertahuntahun keberadaan keris justru menjadi beban bagi mereka. Jika akan dibuang keris tersebut merupakan peninggalan leluhur. Artinya dalam sebuah keris tersebut terdapat sejarah, kenangan, dan bahkan identitas. Tetapi jika merawat keris, ketakutan mereka adalah dianggap menggunakan daya kegelapan keris. Secara umum keluarga yang memiliki keris lebih banyak menyembunyikannya. Dengan kata lain, mereka tidak akan serta merta memperlihatkan benda tersebut kepada orang lain. Bahkan ketika ditanya mereka tidak berani menjawab dengan lugas. Hal tersebut dikarenakan ketakutan akan pandangan negatif karena seseorang memiliki keris. Para orang Kristen pemilik keris ini mengalami kegalauan. Mereka memiliki keris namun mereka binggung dalam menempatkan keris. Hal tersebut dikarenakan belum adanya sikap dan status yang jelas orang Kristen terhadap keberadaan keris. Kebingungan orang Kristen pada status keris justru menimbulkan pertentangan tersendiri dalam kehidupan kristiani. Sikap diam gereja justru menjadi legitimasi secara tidak langsung pada pandangan negatif pada sebuah keris. Tidak jarang kebingungan ini akhirnya memaksa orang kristen membiarkan kebingungan ini jalan terus. Di satu sisi mereka sayang kepada keris. Karena keris sebagai benda peninggalan leluhurnya yang sangat berat sekali untuk dibuang dan dimusnahkan. Akan tetapi di sisi yang lain, pandangan negatif membuat mereka juga enggan dan merasa tertekan dengan memiliki sebuah keris. Di sini terjadi pergolakan dalam hati jemaat, antara ingin terus merawat atau membuangnya. Munculnya fenomena penolakan keris dengan menganggap keris adalah benda yang jahat merupakan dampak dari perjumpaan agama dengan budaya. Perjumpaan agama dan budaya memang seringkali kurang harmonis. Terkait perjumpaan agama dan budaya ada beberapa sikap yang seringkali dimunculkan. Menurut Richard Niebuhr perjumpaan agama atau iman dan budaya dikategorikan ke dalam lima sikap yang ditunjukkan gereja terhadap 3

4 budaya. Kelima sikap tersebut adalah sikap radikal, akomodatif, sintetik, dualistik, dan transformative. 2 Berbagai sikap tersebut diuraikan Niebuhr sebagai berikut: a. Sikap Radikal Mengenai sikap radikal ini Niebuhr menyebut dengan Kristus lawan kebudayaan. Ciri dari sikap radikal adalah sikap ini sangat membedakan antara iman dan kebudayaan. Sikap tanpa kompromi pada kebudayaan sangat nampak dalam sikap radikal 3. Dalam sikap radikal, iman dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari atas. Sedangkan menurut sikap radikal, budaya berasal dari bawah. Dimana iman yang dianggap sebagai sesuatu yang dari atas diidentikkan dengan kemurnian, sedangkan kebudayaan yang dianggap dari bawah merupakan sesuatu yang cemar. Munculnya pemahaman yang demikian membuat iman dan kebudayaan bukanlah dua hal yang setara. Dari pemaknaan ini maka sikap yang muncul adalah iman selalu menghakimi kebudayaan. b. Sikap Akomodatif Dalam sikap akomodatif ini Niebuhr menyebutnya dengan Kristus dari kebudayaan. Pemberlakuan sikap ini berbeda dari sikap radikal. Sikap akomodatif adalah sikap yang tidak mempertentangkan antara iman dan kebudayaan. Keberadaan iman dan kebudayaan dipandang sebagai nilai yang sama-sama baik. Di sini kebudayaan memiliki nilai yang sama dengan iman. Dari sikap akomodatif ini maka terjadi kombinasi antara Kristus dengan budaya. 4 Karena kebudayaan yang merupakan nilai yang ada di masyarakat merupakan nilai yang sama dikejar dalam penghayatan iman. Dalam pemaknaan ini, sikap akomodatif lebih bisa menerima budaya dibanding dengan sikap radikal. Perbedaan cara pandang pada kebudayaan dari sikap akomodatif ini melahirkan sikap yang lebih menerima pada keberadaan budaya. c. Sikap Sintetik (Kristus di atas Kebudayaan) Sikap ini dijelaskan oleh Niebuhr dengan menyebut Kristus di atas budaya. Maksud dari hal sikap tersebut adalah perjumpaan iman dan kebudayaan yang saling 2 H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, terj. Yayasan Satya Karya, (Jakarta: Petra Jaya, tanpa tahun) h H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, p H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, p.94. 4

5 menerima dan mengisi. Dalam sikap orang sintesis perjumpaan Kristus dan budaya adalah seperti seorang yang mengakui Tuhan dalam dunia ini dan di dunia lain. 5 Sikap seperti tentu saja menyisakan jarak yang panjang antara iman dan budaya. Meskipun saling menerima dan mengisi keduanya memiliki jarak jurang pemisah diantara keduanya. d. Sikap Dualistik Niebuhr menjelaskan sikap ini dengan menyebut Kristus dan budaya dalam paradox. Hal ini dipahami bahwa sikap ini muncul sebagai usaha untuk menjawab persoalan Kristus dan budaya berdasarkan keduanya. 6 Mereka yang menggunakan sikap ini disebut dualis. Para pelaku sikap dualis ini berdiri pada pihak manusia dalam perjumpaan dengan Allah, tetapi berusaha untuk menafsirkan firman Allah yang sudah didengarnya datang dari pihak lain. 7 e. Sikap Transformatif Menurut Niebuhr sikap ini seperti dipahami bahwa Kristus adalah pengubah kebudayaan. Dalam sikap ini perjumpaan iman dan budaya ditransformasikan dalam bentuk yang berbeda. Budaya dalam suatu tempat sangat diberi ruang oleh sikap ini. Tetapi penerimaan ini juga disertai dengan perubahan pada budaya tersebut. Hal ini mengingat ciri utama dari sikap ini adalah transformatif. Pada bagian tertentu budaya dapat diterima dan bagian yang lain harus dirubah dan disesuikan dengan iman. Karena itu masalah kebudayaan adalah masalah pengubahannya dan bukan penggantiannya. Walaupun perubahan tersebut sangat radikal dan dapat dikatakan seperti kelahiran baru. 8 Dengan melihat berbagai kemungkinan sikap yang ditunjukkan iman kepada budaya, maka kita dapat melihat sikap seperti apa yang ditunjukkan oleh orang Kristen pada keris. Hal ini tentu saja akan menjadi dasar bagi penulis untuk melihat sejauhmana posisi budaya keris dalam kekristenan. 5 H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, p, H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan,p H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, p H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan,p

6 2. RUMUSAN PERMASALAHAN Munculnya fenomena penolakan pada keris menjadi persoalan bagi orang Kristen. Hal ini mengingat masih banyak orang Kristen yang memiliki keris. Keris dalam keluarga mereka memiliki arti sejarah dan identitas keluarga besar mereka. Keberadaan keris bukan hanya persoalan keberadaan bendanya, tetapi juga nilai sejarah dan identitas yang terkandung di dalamnya. Dengan adanya fenomena penolakan keris yang disebabkan pandangan negatif pada keris membuat orang Kristen bimbang. Penolakan ini membuat mereka bimbang dalam menyikapi keris dalam hidup mereka. Kebimbangan ini juga dapat mengganggu iman jemaat. Mengingat budaya keris justru dibenturkan dengan iman jemaat. Dalam rangka merespon persoalan ini, maka fokus permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah: a. Bagaimana orang Kristen Wonorejo saat ini memandang serta memahami keris? b. Mengapa keris dipandang negatif dengan dianggap sebagai benda yang jahat dan mengandung kegelapan oleh orang Kristen? c. Pemaknaan dan pemahaman yang tepat terhadap keberadaan keris dalam hidup jemaat, sehingga keberadaan keris justru dapat menjadi penunjang kehidupan iman jemaat? 3. Judul Tulisan Dengan melihat persoalan yang ada, maka judul yang dirumuskan untuk tulisan ini adalah sebagai berikut: MEMAKNAI KERIS SEBAGAI BAGIAN DALAM KEHIDUPAN KRISTIANI Penjelasan judul: Judul ini dirumuskan sebagai upaya penulis untuk melihat sejauhmana keberadaan keris dapat dipergunakan dalam kehidupan kristiani. Hal tersebut berangkat dari adanya upaya penulis untuk melihat keris secara lebih luas. Dari seluruh penjabaran permasalah yang ada, maka persoalan utama dari tulisan ini adalah bagaimana memahami keris dalam kehidupan orang kristiani. Melalui judul ini penulis ingin menjelaskan posisi atau letak keris dalam kehidupan kristiani. Alasan pemilihan judul ini juga tidak terlepas dari pergumulan dalam tulisan ini terkait keberadaan keris dalam kehidupan kristiani. 6

7 4. TUJUAN PENULISAN Tujuan dari penulisan ini adalah memahami sejauhmana pandangan negatif orang Kristen Wonorejo terhadap keris. Hal ini dipahami bahwa pandangan negatif tersebut telah memunculkan fenomena penolakan keris secara luas. Sehingga melihat keris dimaknai pada saat ini adalah hal yang penting. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan realita bahwa keris sebagai benda bersejarah denga nilai seni tinggi tetapi justru berusaha dimusnahkan. Secara khusus penulisan ini bertujuan untuk memberi alternatif pandangan jemaat (Orang Kristiani) terhadap keberadaan keris dalam hidup mereka. Diharapkan sekali dengan keberadaan tulisan ini setidaknya membantu jemaat untuk memahami keris dalam kehidupannya. Sehingga mereka tidak ragu dan bimbang lagi dalam menempatkan keris dalam hidupnya. Dari usaha ini diharapkan dapat memberi kejelasan pada pemilik keris tentang keberadaan keris dalam hidupnya. Merekapun pada akhirnya dapat memaknai dan menempatkan keris secara tepat dalam hidup mereka. Dengan kejelasan sikap ini diharapkan pula keris tidak lagi menjadi batu sandungan jemaat untuk beriman, tetapi justru dapat semakin memantapkan iman mereka kepada Kristus 5. METODE Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi literatur dan penelitian lapangan. Studi literatur dilakukan untuk dapat memahami keris dalam budaya Jawa. Hal ini mengingat pandangan negatif pada keris juga perlu dibandingkan dengan awal mula keberadaan keris. Berbagai buku yang ada tentang keris yang beredar saat ini akan dianalisa. Selain studi literatur, penulis juga mengumpulkan data dari penelitian lapangan. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat sejauhmana persoalan penolakan keris ini di desa Wonorejo yang merupakan salah satu desa Kristen. Pengumpulan data dari penelitian ini adalah dengan penelitian kualitatif. Dimana penulis akan melakukan wawancara kepada masyarakat Wonorejo. Pengambilan tempat di Wonorejo dikarenakan Wonorejo adalah desa Kristen yang penduduknya masih banyak memiliki keris. Selain itu Wonorejo sebagai daerah yang berbatasan dengan laut selatan adalah tempat perjumpaan berbagai praktik budaya Jawa di daerah itu. Di sisi lain Wonorejo adalah tempat penulis melakukan praktik stage. Data yang terkumpul akan dianalisa dengan seksama untuk mendapat gambaran yang utuh tentang kondisi keberadaan keris di Wonorejo. 7

8 6. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I. PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang permasalahan penulisan ini. Kemudian secara berturu-turut akan dilanjutkan dengan rumusan permasalahan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan, dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab II. SIMBOLISME KERIS DALAM BUDAYA JAWA Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang keris dalam budaya Jawa. Karena keris adalah benda yang dibuat dengan unsur simbolik yang kuat, maka uraian ini akan diawali dengan simbolisme dalam budaya Jawa. Kemudian dilanjutkan dengan pemahaman keris dalam budaya jawa. Hal tersebut meliputi tujuan dan fungsi keris, proses pembuatan keris, hingga tuah dalam keris. Bab III. KERIS DALAM MASYARAKAT WONOREJO Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang keris dalam pandangan masyarakat Wonorejo. Untuk memahami pandangan tersebut uraian ini dimulai dengan gambaran umum desa Wonorejo dan konteks budaya jawa yang berkembang di sana. Setelah itu barulah masuk pada hasil penelitian tentang keris menurut orang Kristen Wonorejo secara umum dan pemilik keris di Wonorejo. Dengan memahami keris menurut mereka kita akan mengetahui bagaimana mereka bersikap pada keris. Bab IV. MEMAKNAI KERIS DALAM KEHIDUPAN KRISTIANI Dengan melihat kesimpulan bab III dan kemudian dihubungkan dengan kesimpulan bab II, maka pada bab IV akan dirumuskan pemahaman baru tentang keberadaan keris. Pemaknaan baru ini adalah upaya untuk memaknai keris sebagaimana seharusnya dipahami. Selain itu penulis akan memaknai keris dalam kehidupan kristiani sebagai refleksi Teologis. Bab V. KESIMPULAN DAN PENUTUP Bab V ini berisi tentang kesimpulan keseluruhan proses penulisan skripsi ini sampai akhir penulisan. Kemudian penulis akan mengakirinya dengan penutup. 8