BAB I PENDAHULUAN. dysmenorrhea, yaitu keluhan nyeri yang menyerang/terjadi di perut menjelang atau

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat haid, pada sebagian perempuan ada yang mengalami gangguan haid yang cukup berat. Salah satu gangguan yang berhubungan dengan haid adalah dysmenorrhea, yaitu keluhan nyeri yang menyerang/terjadi di perut menjelang atau selama haid. Nyeri ini terjadi akibat ketidakseimbangan hormon progesteron dalam darah yang mengakibatkan muncul rasa nyeri. Perempuan yang menggalami dysmenorrhea memproduksi prostaglandin 10 kali lebih banyak daripada yang tidak mengalami dysmenorrhea. Prostaglandin menyebabkan peningkatan kontraksi uterus yang dapat menyebabkan nyeri saat haid. Tidak sedikit perempuan mengalami nyeri haid berkepanjangan yang terus-menerus mengalami rasa sakit, bahkan tidak bisa beraktifitas apapun selama haid karena rasa nyeri yang tidak tertahankan (Manuaba, 2010). Angka kejadian (prevalensi) dysmenorrhea di dunia cukup tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ju, et al (2013) berupa review terhadap 15 penelitian tahun tentang prevalensi dan faktor risiko dymenorrhea di seluruh dunia, prevalensi dysmenorrhea sebesar 16%-91% pada perempuan usia reproduksi, dengan dysmenorrhea berat sebesar 2-29%. Di Jepang, penelitian Kazama et al (2015) pada remaja menunjukkan prevelansi dysmenorrhea ringan-sedang sebesar 46,8%, sedangkan dysmenorhea berat sebesar 17,7%. Di Iran, penelitian Baghianimoghadam et al (2012) pada mahasiswa Universitas Sadoughi menunjukkan prevalensi dysmenorrhea sebesar 38,3%. Di India, penelitian Kumbhar et al (2011) menunjukkan prevelansi dysmenorrhea remaja sebesar 65%. Sedangkan penelitian El Gilany et al 1

2 2 (2005) di Mansoura Mesir, menunjukkan prevalensi dysmenorrheapada remaja sebesar 75%. Prevalensi dysmenorrhea primer di Indonesia juga sangat tinggi, yaitu 60-75%. Diperkirakan prevalensi dysmenorrhea di Indonesia sebesar 64,25% yang terdiri dari 54,89% dysmenorrhea primer dan 9,36% dysmenorrhea sekunder (Proverawati dan Misaroh, 2009). Angka tersebut sejalan dengan penelitian-penelitian yang terlah dilakukan. Penelitian Hutomo (2014) di Sragen Jawa Tengah menunjukkan dari 24 dari 40 responden yaitu ibu-ibu PKK (60%) mengalami dysmenorrhea. Penelitian Novia dan Nunik (2008) di Banjar menujukkan 71% dari 100 responden wanita usia subur (15-30 tahun) mengalami dysmenorrhea. Penelitian Kuswanda et al. (2010) pada mahasiswa di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa dari 92 orang 3,2% responden mengalami dysmenorrhea berat, 28,3% mengalami dysmenorrhea sedang, dan 68,5% mengalami dysmenorrhea ringan. Menurut penelitian Pratiwi (2014) pada 36 mahasiswa di Universitas Negeri Semarang 44% mengalami sindrom prementrsuasi. Penelitian Yusrawati, et al (2013) pada 96 mahasiswa Universitas Andalas Medan menunjukkan kejadian dysmenorrheaa sebesar 82,3%. Penelitian Rakhma (2012) pada sisiwi SMK di Depok, Jawa Barat menunjukkan prevalensi dysmenorrhea ringan 46,5%, dysmenorrea sedang 34,1% dan dysmenorrea 19,4%. Sedangkan penelitian Asma ulludin (2016) pada remaja SMA sederajat di Jakarta Barat menunjukkan prevalensi dysmenorrhea sebesar 49,9%. Angka-angka tersbut menunjukkan kejadian dysmenorrhea cukup tinggi di berbagai wilayah di Indonesia. Kejadian dysmenorrhea menjadi permasalahan yang cukup serius mengingat usia menstruasi pertama kali (menarche) di Indonesia masih sangat muda. Menarche

3 3 merupakan tanda awal masuknya seorang perempuan dalam masa reproduksi. Ratarata usia menarche pada umumnyaadalah 12,4 tahun. Menarche dapat terjadi lebih awal pada usia 9-10 tahun atau lebih lambat pada usia 17 tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010 menunjukan bahwa berdasarkan laporan responden yang sudah mengalami haid, rata- rata usia menarche di Indonesia adalah 13 tahun (20,0%) dengan kejadian lebih awal pada usia kurang dari 9 tahun dan ada yang lebih lambat sampai 20 tahun serta 7,9% tidak menjawab / lupa. Terdapat 7,8% yang melaporkan belum haid. Secara nasional rata-rata menarche tahun terjadi pada 37,5% anak Indonesia (Kemkes, 2011). Dysmenorrhea dapat menyebabkan berbagai dampak yang berhubungan dengan ketidaknyamanan akibat nyeri. Dampak tersebut antara lain gangguan aktivitas sehari-hari, menurunnya kualitas hidup, kerugian ekonomi karena produktivitas kerja/sekolah menurun, infertilias, depresi, dan keluhan ginekologi lainnya (Patel, et al, 2009) Dysmenorrhea dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu usia menarche, status pernikahan, status melahirkan, kebiasaan merokok (Manuaba, 2010), dan kebiasaan olahraga (Giriwijoyo dan Sidik, 2012, Proverawati dan Misaroh, 2009). Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani (Karim, 2012). Olahraga secara teratur bermanfaat untuk membantu mengurangi dysmenorrhea karena akan memicu keluarnya hormon endorphin yang dinilai sebagai pembunuh alamiah untuk rasa nyeri (Kumalasari, et al, 2012). Wanita yang melakukan olahraga secara teratur setidaknya menit setiap 3-5x perminggu dapat mencegah terjadinya dysmenorrhea. Setiap wanita dapat sekedar berjalan-jalan santai, jogging

4 4 ringan, berenang, senam maupun bersepeda sesuai dengan kondisi masing-masing (Manuaba, 2010). Olahraga merupakan bagian dari aktivitas fisik secara umum. Di Indonesia, masih banyak penduduk yang kurang melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisisk dikatakan kurang jika tidak melakukan aktivitas fisik 30 menit sehari atau 150 menit seminggu. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2012, kurang aktivitas fisik di Indonesia adalah 26,1%. Adapun poporsi di DKI Jakarta sebesar 44,2%, jauh melebihi angka nasional (Kemkes, 2013). Berbagai penelitian tentang hubungan antara olah raga dengan kejadian dysmenorrheamenunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian Novia (2012) pada pekerja di RSUD Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2008 menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan olah raga dan kejadian dysmenorrhea. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pratiwi (2014) pada mahasiswa Universitas Negeri Semarang menunjukkan adanya hubungan antara akivitas olah raga dengan sindrom premenstruasi dengan hasil korelasi negatif, berarti semakin tinggi aktivitas olahraga maka semaakin rendah sindrom premenstruasi. Penelitian Kasrin dan Putri (2013) di siswi SMP di Bukittinggi menunjukkan ada hubungan antara kebiassaan olahraga dengan dysmenorrhea. Penelitian Ramadani (2014) pada siswi SMP Demak menunjukkan ada hubungan olah raga dengan dysmenorrhea dengan Odds Ratio (OR) 2,0 yang berarti bahwa responden yang tidak melakukan kebiasaan olahraga (kurang dari 3 kali seminggu) mempunyai risiko mengalami dysmenorrhea 2 kali lebih besar daripada yang mempunyai kebiasaan olahraga. Demikian juga hasil penelitian Sophia, et al (2013) menujukkan adanya hubungan antara olahraga dan dysmenorrhea pada siswi SMK di Medan dengan nilai Prevalence Ratio (PR) 1,2 yang berarti bahwa responden yang jarang melakukan

5 5 mempunyai risiko mengalami dysmenorrhea 1,2 kali lebih besar daripada yang sering melakukan olahraga Sedangkan penelitian Kuswanda, et al (2010) pada mahasiswa di Universitas Islam Indonesi Yogyakarta menunjukkan hasil tidak ada hubungan antara olahraga terukur teratur dengan intensitas dysmenorrhea. Demikian juga penelitian Bahri, et al (2013) pada mahasiswa di Universitas Andalas menunjukkn hasil tidak ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan dysmenorrhea. Hasil studi pendahuluan melalui wawancara yang dilakukan peneliti kepada para pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Baratpada 19 Januari 2017terlihat menujukkan bahwa dari 55 pegawai perempuan, 45 pegawai (81,8%) mengalami dysmenorrheadan 10 pegawai (18,2%) tidak mengalaminya. Pegawai yang mengalami dysmenorrhea menyatakan melakukan olahraga hanya 1 kali dalam seminggu selama 15 menit. Sedangkan pegawai yang tidak mengalami dysmenorrhea menyatakanmelakukan olah raga 3 kali dalam seminggu selama 30 menit. Dari kejadian dysmenorrhea tersebut, sering terjadi berkurangnya produktifitas kerja, terbukti banyak absen para pegawai wanita saat jam kerja. Menurut laporan HRD tahun 2016, didapatkan 30 hari pegawai yang tidak masuk kerja karena alasan dysmenorrhea. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut, peneliti tertarikmelakukan penelitian mengenai Hubungan Olahraga dengan Kejadian dysmenorrhea pada Pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat Tahun Perumusan Masalah Dysmenorrhea atau nyeri saat haid menjadi masalah kesehatan pada perempuan yang dapat terjadi sejak perempuan mengalami menstrusi pertama kali. Angka kejadian dysmenorrhea di Indonesia cukup tinggi. Dysmenorrhea dapat menyababkan

6 6 gangguan aktivitas sehari-hari, menurunnya kualitas hidup, kerugian ekonomi karena produktivitas kerja/sekolah menurun, infertilias, depresi, dan keluhan ginekologi lainnya. Dysmenorrhea dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu usia menarche, status pernikahan, status melahirkan, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga. Mengingat kesibukan bekerja, kebiasaan berolah raga menjadi hal yang jarang dilakukan oleh perempuan yang bekerja. Berdasarkan wawancara, kejadian dysmenenorrhea pada pegawai wanita BPJS Kesehatan Jakarta Barat cukup tinggi yaitu 81,8% dan data HRD menunjukkan angka absensi yang cukup tinggi. Kebiasaan olah raga pada pegawai juga bervariasi antara 15 menit sampai 30 menit dengan frekuensi 1-3 kali seminggu. Dengan tingginya angka dysmenorrheadi BPJS Kesehatan Jakarta Barat dan adanhya faktor kebiasaan olahraga yang bervariasi maka perlu diteliti apakah ada hubungan antara olah raga olahraga dengan kejadian dysmenorrhea pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat tahun Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran kejadian dysmenorrhea padapegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat tahun 2017? 2. Bagaimana gambaran kebiasaan olah raga pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat tahun 2017? 3. Apakah ada hubunga antara olah raga dengan kejadian dysmenorrhea pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat tahun 2017?

7 7 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui hubungan kebiasaan olahraga dengan kejadian dysmenorrhea pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat Tahun Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi gambaran kebiasaan olahraga pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat Tahun Mengidentifikasi gambaran kejadian dysmenorrheae pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat Tahun Menganalisis hubungan kebiasaan olahraga dengan kejadian dysmenorrhea pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat Tahun Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini adalah tentang hubungan olahraga dengan kejadian dysmenorrhea pada pegawai BPJS Jakarta Barat tahun 2017 pada seluruh pegawai perempuan yang dilakukan pada Juni Juli 2017 untuk mengetahui hubungan olahraga dengan kejadian dysmenorrhea dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dengan menggunakan alat ukur kuesioner. Penelitian ini dilakukan mengingat tingginya keluhan dysmenorrhea pada pegawai BPJS Kesehatan Jakarta Barat pada tahun 2016 serta kemungkinan kurang olah raga teratur di kalangan pegawai yang berpengaruh terhadap kehadiran kerja pegawai tersebut.

8 8 1.6 Manfaat Penelitian Bagi Peneliti Hasil penelitian ini untuk menambah pengalaman dalam mengaplikasikan penelitian dan pengetahuan bagi peneliti serta dapat dijadikan landasan untuk penelitiankedepannya tentang hubungan olahraga terhadap kejadian dysmenorrhea Bagi Tempat Penelitian Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu kesehatan terutama tentang hubungan olahraga terhadap kejadian dysmenorrhea Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan ilmu dalam kemajuan dan pengembangan di bidang kesehatan sertabisa dijadikan bahanpenelitianselanjutnya tentang hubungan olahraga terhadap kejadian dysmenorrhea.