IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN"

Transkripsi

1 34 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Lingkungan Fisik Letak, Luas, dan Batas Wilayah Kabupaten Kulon Progo merupakan kabupaten di bagian barat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah ± ha (580,27 km 2 ). Letak geografis Kabupaten Kulon Progo pada BT dan LS sebagaimana pada Gambar 5, dengan batas-batas : - sebelah utara : Kab. Magelang Propinsi Jawa Tengah - sebelah timur : Kab. Sleman dan Bantul Propinsi D.I. Yogyakarta - sebelah selatan : Samudera Hindia - sebelah barat : Kab. Purworejo Propinsi Jawa Tengah Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009 Gambar 5 Peta Administrasi Kabupaten Kulon Progo

2 Topografi Secara umum wilayah Kabupaten Kulon Progo dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan terutama di wilayah bagian utara. Oleh karena itu wilayahnya mempunyai ketinggian yang cukup beragam. Gambar 6 menunjukkan ketinggian wilayah Kabupaten Kulon Progo. Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009 Gambar 6 Peta Ketinggian Wilayah Kabupaten Kulon Progo Wilayah Kabupaten Kulon Progo didominasi oleh dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 100 m dpl yaitu sebesar 56,12%. Wilayah dataran rendah tersebut, terdapat pada bagian selatan memanjang ke utara di bagian timur. Ketinggian wilayah m dpl tersebar di wilayah Kabupaten Kulon Progo

3 36 bagian tengah ke utara. Wilayah dengan ketinggian m dpl merupakan yang paling kecil luasannya, dengan penyebarannya meliputi wilayah Kulon Progo bagian barat memanjang dari tengah ke utara. Berdasarkan ketinggian wilayah, Kabupaten Kulon Progo terbagi atas tiga bagian dengan luasan dari masing-masing bagian tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Ketinggian wilayah Kabupaten Kulon Progo No. Ketinggian (m dpl) Luas (Ha) Persentase (%) , , ,2 Jumlah (Ha) ,0 Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009 Penyebaran ketinggian wilayah Kabupaten Kulon Progo tidak mengikuti batas administrasi dalam hal ini batas kecamatan. Kecamatan Nanggulan, Kokap, Girimulyo, dan Pengasih mempunyai ketinggian wilayah yang beragam. Hal ini berbeda dengan wilayah Kulon Progo bagian selatan. Kecamatan Wates, Panjatan, Galur, Lendah, dan sebagian Pengasih merupakan kecamatan dengan wilayah relatif datar dan ketinggian kurang dari 100 m dpl. Keadaan topografi Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Keadaan topografi Kabupaten Kulon Progo Kelompok Keadaan Topografi Wilayah Kecamatan Bagian Utara Bagian Tengah Bagian Selatan Perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara m dpl Daerah perbukitan dengan ketinggian antara m dpl Dataran rendah dengan ketinggian sampai 100 m dpl Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009 Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Nanggulan Kalibawang, Nanggulan, Girimulyo, sebagian Samigaluh, sebagian Pengasih, dan sebagian Kokap Temon, Wates, Panjatan, Galur, Lendah, dan sebagian Pengasih Kabupaten Kulon Progo mempunyai karakteristik wilayah dengan ketinggian yang tersebar cukup beragam. Hal ini akan berpengaruh terhadap

4 37 tingkat kemiringan lereng. Gambar 7 menunjukkan sebaran tingkat kemiringan lereng di Kabupaten Kulon Progo. Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009 Gambar 7 Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Kulon Progo Gambar 7 menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Kulon Progo mempunyai tingkat kemiringan dari datar sampai dengan sangat curam. Wilayah dengan kelerengan datar (0-3%) sangat mendominasi, tersebar di Kulon Progo bagian selatan. Kelerengan 3-8% umumnya mempunyai penyebaran di sekitar tingkat kemiringan kelerengan 0-3%, terutama di wilayah Kulon Progo sebelah timur bagian utara. Tingkat kemiringan lereng 3-8% mempunyai luasan yang kecil. Tingkat kemiringan lereng 8-15% tersebar secara terpencar dengan luasan

5 38 kecil-kecil di bagian tengah wilayah Kulon Progo. Tingkat kemiringan lereng 15-25% tersebar terutama di Kulon Progo bagian tengah sebelah timur. Di samping itu tingkat kemiringan lereng 15-25% tersebar terpencar di antara lereng dengan kemiringan lebih dari 25%. Tingkat kemiringan lereng 25-40% atau lebih terdapat pada wilayah Kulon Progo sebelah barat mulai dari tengah ke utara. Berdasarkan persentase luas tiap tingkat kemiringan lereng, lereng 0-3% mendominasi wilayah Kabupaten Kulon Progo. Tingkat kemiringan lereng 25-40% atau lebih mempunyai persentase luasan yang tidak terpaut jauh masingmasing 25,6% dan 21,5%. Tingkat kemiringan lereng yang lain mempunyai luasan dengan persentase yang kecil yaitu kurang dari 10%. Sebaran kemiringan lereng di Kabupaten Kulon Progo selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Kelas kemiringan lereng di Kabupaten Kulon Progo No. Kelas Kelerengan Luas (Ha) Persentase (%) % , % , % , % , % ,5 6 > 40 % ,5 Jumlah ,0 Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, Jenis Tanah Kabupaten Kulon Progo mempunyai tujuh jenis tanah meliputi aluvial, litosol, regosol, renzina, podsolik, mediteran, dan latosol. Tanah latosol merupakan jenis yang dominan, tersebar di Kecamatan Pengasih, Kokap, Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh dengan persentase 42,19% dari luas wilayah kabupaten. Tanah aluvial, tersebar di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur, Lendah, Sentolo, Pengasih dan Nanggulan dengan persentase 22,77%. Tanah regosol tersebar di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Lendah, dan Galur dengan persentase 9,22%. Tanah regosol dan litosol mempunyai persentase luasan yang cukup besar sekitar 12,51% dengan penyebaran meliputi Wates, Panjatan, Lendah, Sentolo,

6 39 Nanggulan dan Kalibawang. Tanah litosol, mediteran dan renzina mempunyai persentase luasan 12,38% dengan penyebaran meliputi Kokap, Wates, Pengasih, Sentolo, Nanggulan, dan Kalibawang. Tanah podzolik dan regosol mempunyai persentase luasan yang sangat kecil sekitar 1% yang tersebar diperbatasan antara Nanggulan, Kalibawang dan Girimulyo. Tanah latosol dan litosol sangat kecil dan terdapat di Kecamatan Kalibawang. Gambar 8 menunjukkan persebaran jenis tanah di Kabupaten Kulon Progo. Sumber data : BPDAS Serayu Opak Progo, 2009 Gambar 8 Peta Jenis Tanah di Kabupaten Kulon Progo Sebaran jenis tanah di Kabupaten Kulon Progo selengkapnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 11.

7 40 Tabel 11 Jenis tanah di Kabupaten Kulon Progo No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase (%) 1 Aluvial ,8 2 Komplek Litosol, Mediteran dan Renzina ,4 3 Komplek Latosol dan Litosol 11 0,0 4 Komplek Podsolik dan Regosol 525 0,9 5 Komplek Regosol dan Litosol ,5 6 Latosol ,2 7 Regosol ,2 Jumlah (Ha) ,0 Sumber data : BPDAS Serayu Opak Progo, Pola Curah Hujan Curah hujan di Kabupaten Kulon Progo rata-rata mencapai mm/tahun, dengan rata-rata hari hujan (hh) sebanyak 112 hh/tahun atau 9 hh/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Suhu terendahnya ± 24,2 0 C (bulan Juli) dan tertinggi ± 25,4 0 C (bulan April). Kelembaban terendahnya 78,6% (bulan Agustus) dan tertingginya 85,9% (bulan Januari). Intesitas penyinaran matahari rata-rata bulanan mencapai lebih kurang 45,5%, dengan intensitas terendah 37,5% pada bulan Maret dan tertinggi 52,5% pada bulan Juli. Distribusi curah hujan yang meliputi bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai April, sementara bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai September. Menurut Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, tipe iklim dapat diketahui dengan perbandingan antara rata-rata jumlah bulan kering dengan rata-rata jumlah bulan basah. Berdasarkan distribusi curah hujan yang menunjukkan jumlah bulan basah dan bulan kering, diperoleh nilai Q sebesar 71,4%. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, Kabupaten Kulon Progo mempunyai tipe iklim D (sedang). Rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Tabel 12.

8 41 Tabel 12 Rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Kulon Progo No. Bulan Rerata Curah Hujan (mm) Hari Hujan (hari) 1 Januari ,8 2 Februari ,7 3 Maret ,3 4 April ,3 5 Mei 96 7,0 6 Juni 91 4,6 7 Juli 39 3,4 8 Agustus 30 1,8 9 September 57 2,8 10 Oktober 162 7,4 11 Nopember ,3 12 Desember ,0 Rerata Tahunan ,0 Sumber data: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Kulon Progo, 2009 Pola curah hujan di Kabupaten Kulon Progo menunjukkan bahwa nilai curah hujan akan meningkat seiring meningkatnya ketinggian wilayah. Pola persebaran hujan dan topografi wilayah saling berhubungan antara ketinggian tempat terhadap besarnya curah hujan, dimana daerah yang lebih tinggi secara topografi akan memiliki curah hujan yang lebih besar pula. Pola curah hujan di Kabupaten Kulon Progo sesuai dengan topografi wilayah menunjukkan bahwa semakin ke utara curah hujan semakin tinggi. Curah hujan yang tinggi terutama terjadi di Kecamatan Samigaluh dan Kalibawang. Pola curah hujan di Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Gambar 9.

9 42 Sumber data : BPKH Wil. XI Jawa-Madura, 2009 Gambar 9 Peta Curah Hujan di Kabupaten Kulon Progo Penggunaan Lahan Pemanfaatan sumber daya alam harus optimal dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kelestarian, kesesuaian, dan berkelanjutan. Tujuannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penggunaan lahan di daerah pesisir sebagian besar telah dikembangkan menjadi lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Wilayah dengan karakteristik kelerengan yang curam merupakan kawasan perlindungan setempat dan perlindungan daerah-daerah dibawahnya. Penggunaan lahan terutama sebagai kawasan hutan. Permukiman, sawah, dan ladang mempunyai persentase

10 43 penggunaan yang kecil pada kawasan lindung karena keterbatasan topografi dan fungsi kawasan. Kawasan untuk perlindungan meliputi Kecamatan Kokap, Nanggulan, Samigaluh, dan Kalibawang. Area pertanian dan permukiman terutama di bagian tengah dan bagian selatan wilayah kabupaten. Areal pertanian meliputi sawah, tegalan, dan kebun. Daerah lagun digunakan sebagai kebun dengan tanaman seperti pisang, kelapa, dan tanaman lain yang tahan terhadap pengaruh air laut. Selain itu daerah lagum juga digunakan sebagai lahan pertanian dan pemukiman, daerah pesisir juga berpotensi untuk digunakan sebagai area tambak udang. Secara umum penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo meliputi penggunaan lahan hutan, sawah, tegalan/ladang, kebun campur, dan permukiman. Gambaran dari penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Kulon Progo dapat dilihat dari analisis citra yang tersaji pada hasil penelitian ini. 4.2 Kondisi Sosial Budaya Penduduk Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2008 sebesar 2,81%, dengan jumlah orang. Jumlah penduduk tersebut, terdiri dari laki laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa (Kulon Progo dalam Angka, 2009). Keadaan kependudukan di Kabupaten Kulon Progo menurut registrasi selama lima tahun terakhir tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan pertumbuhan penduduk, serta jumlah kepala keluarga di Kabupaten Kulon Progo No. Tahun Penduduk Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah Pertumbuhan Jumlah KK ,7% ,6% ,0% ,7% ,8% Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009 Komposisi penduduk di Kabupaten Kulon Progo berdasarkan umur mulai tahun 2008, didominasi kelompok usia produktif dengan usia 19 s/d 59 tahun yakni sebesar orang atau 60,65%, sedangkan usia muda umur 0 s/d 18

11 44 tahun sebanyak orang (24,79%) dan yang minoritas adalah kelompok usia tua 60 tahun keatas sebanyak orang (14,57%). Komposisi penduduk yang didominasi oleh kelompok usia produktif menunjukkan efektivitas penduduk yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumber daya manusia sebagai modal pembangunan sangat terpenuhi di Kabupaten Kulon Progo. Gambar 10 menunjukkan komposisi penduduk Kabupaten Kulon Progo menurut kelompok umur sampai tahun tahun 6-12 tahun tahun tahun tahun tahun Sumber data : Bappeda Kabupaten Kulon Progo, 2009 Gambar 10 Jumlah Penduduk Kabupaten Kulon Progo Menurut Kelompok Umur Tahun 2008 Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk di Kabupaten Kulon Progo paling dominan berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebesar orang, SLTA sebesar orang dan yang terkecil berpendidikan pascasarjana yakni sebesar 596 orang. Penduduk yang belum sekolah sebesar orang, tidak tamat SD sebesar orang, dan berpendidikan diploma sebesar orang. Berdasarkan mata pencaharian, jenis pekerjaan yang mendominasi adalah petani atau pekebun sebesar orang 26,7%, belum/tidak bekerja sebesar 19,25%, pelajar dan mahasiswa sebesar 14,0%, wiraswasta sebesar 10,9%, dan karyawan swasta sebesar 7,7%.

12 Kebudayaan Seni dan budaya merupakan identitas bagi suatu daerah. Kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo bernuansa budaya jawa, berkaitan dengan benda-benda bersejarah, upacara adat dan berbagai karya seni lainnya. Kemajuan seni dan budaya akan membawa pengaruh yang positif baik dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya itu sendiri maupun bagi masyarakat pendukungnya baik secara sosial, budaya, dan ekonomi. Beberapa upacara adat di Kabupaten Kulon Progo sudah dikemas dengan cukup baik sehingga menjadi daya tarik wisata maupun untuk kelestarian budaya itu sendiri. Kesenian Angguk Putri memberikan warna tersendiri sebagai identitas kebanggaan daerah serta diupayakan terwujudnya seni unggulan yang lain yaitu sendratari dengan mengangkat tema lokal. Di wilayah Kabupaten Kulon Progo juga banyak ditemukan peninggalan benda-benda bersejarah yang bernilai tinggi, dimana sebagian sudah berhasil diidentifikasi.

13 46 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Penggunaan Lahan Tahun 1996 dan 2009 Hasil interpretasi citra landsat tahun 1996 dan tahun 2009 pada band 542 (RGB), menunjukkan berbagai penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo. Penggunaan lahan terdiri dari sembilan jenis meliputi: hutan (HT), kebun campuran (KC), permukiman (PK), sawah (SW), sawah tadah hujan (SWT), tegalan/ladang (TG), semak belukar (SB), sungai (SN), dan waduk (WD). Adapun peta penggunaan lahan Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12. Sumber data: Interpretasi citra landsat band 542(RGB) tahun 1996 Gambar 11 Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996

14 47 Sumber : Interpretasi citra landsat band 542 (RGB) tahun 2009 Gambar 12 Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009 Deskripsi dari masing-masing jenis penggunaan lahan hasil analisis citra landsat pada band 542 (RGB) dan pengecekan di lapangan sebagai berikut : Hutan Hutan mempunyai kenampakan pada citra landsat band 542 dengan warna hijau tua, tekstur kasar, pola tidak teratur umumnya bergerombol dengan luasan yang besar. Penggunaan lahan hutan di Kabupaten Kulon Progo tersebar di sebelah barat dari tengah memanjang ke utara. Kawasan hutan diperuntukkan

15 48 sebagai kawasan lindung terhadap wilayah setempat dan wilayah yang berada dibawahnya. Vegetasi penyusun hutan lindung merupakan campuran berbagai jenis tanaman tahunan antara lain mahoni, jati, acasia, pinus, kenanga, akasia, kayu putih, sono keling, dan kemiri. Penyebaran hutan terdapat pada wilayah dengan karakteristik fisik kelerengan yang curam sampai sangat curam, terutama dijumpai di Kecamatan Samigaluh, Pengasih, Nanggulan, Kokap, Kalibawang, dan Girimulyo. Kondisi vegetasi penyusun hutan relatif masih baik dengan kondisi penutupan tajuk yang cukup rapat dan merata, seperti terlihat pada Gambar 13. Gambar 13 Penggunaan Lahan Hutan Semak Belukar Penampakan penggunaan lahan semak belukar pada citra Landsat band 542 (RGB) berwarna coklat kemerahan dengan tekstur kasar, berpola tidak teratur dan menyebar. Semak belukar merupakan lahan-lahan yang ditumbuhi rerumputan, tanaman perdu, dan tumbuhan menjalar. Semak belukar umumnya mempunyai kerapatan cukup padat dan merata menutupi permukaan tanah sehingga dapat berfungsi sebagai penahan erosi dan mempertinggi resapan air. Penggunaan lahan semak belukar sebagian merupakan peralihan dari penggunaan lahan yang satu ke penggunaan lahan lainnya. Penggunaan lahan pertanian yang akan dirubah menjadi areal terbangun biasanya akan tumbuh semak belukar terlebih dahulu. Jenis tanaman semak belukar di Kabupaten Kulon Progo secara umum adalah

16 49 alang-alang/rumput dan tumbuhan menjalar. Gambar 14 menunjukkan penggunaan lahan semak belukar di lahan pesisir Kabupaten Kulon Progo. Gambar 14 Penggunaan Lahan Semak Belukar Kebun Campuran Kenampakan penggunaan lahan kebun campuran pada citra landsat band 542 (RGB) berwarna hijau kecoklatan, pola tidak teratur dan menyebar. Kebun campuran di Kabupaten Kulon Progo mempunyai penyebaran di wilayah bagian selatan dan bercampur dengan penggunaan lahan permukiman dan sawah. Di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan lahan kebun mempunyai pola penanaman campuran antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau tumpangsari. Batas tepi kebun ditanami tanaman tahunan dengan jarak tanam teratur dan cukup rapat. Tanaman tahunan penghasil kayu digunakan sebagai batas antar pemilik kebun. Tanaman tahunan yang dimanfaatkan untuk hasil bukan kayu ditanam dalam area kebun bukan sebagai tanaman pagar. Sebagai contoh pada tepi kebun ditanam tanaman tahunan dengan hasil kayu yaitu jenis kayu jati. Tanaman kelapa ditanam dengan jarak tanam secara teratur dalam areal kebun sebagai hasil bukan kayu. Di antara tanaman kelapa ditanami ketela yang merupakan tanaman musiman. Lahan-lahan kebun yang kurang subur oleh masyarakat ditanami tanaman tahunan tanpa tanaman semusim. Gambar 15 menunjukkan penggunaan lahan sebagai kebun campuran.

17 50 Gambar 15 Penggunaan Lahan Kebun Campuran Tegalan/Ladang Tegalan/ladang pada citra landsat band 542 (RGB) mempunyai kenampakan seperti kebun campuran. Pada umumnya tegalan/ladang terletak jauh dari permukiman. Tegalan/ladang merupakan areal pertanian untuk tanaman semusim yang tidak memerlukan air dalam jumlah banyak. Tanaman yang dibudidayakan di lahan tegalan/ladang adalah palawija, antara lain kacang tanah, jagung, dan ketela. Tegalan/ladang yang didominasi oleh tanaman palawija membuat lahan sering dalam kondisi terbuka terutama saat tanaman selesai dipanen dan ada waktu tunggu untuk musim tanam berikutnya saat datangnya hujan. Vegetasi tanaman tahunan pada tegalan/ladang juga cukup jarang karena naungannya dapat mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman palawija. Di Kabupaten Kulon Progo tegalan/ladang banyak ditemukan terutama di wilayah dengan kondisi topografi berbukit yaitu wilayah bagian tengah. Tegalan/ladang dengan luasan yang kecil-kecil tersebar di seluruh wilayah. Kegiatan perladangan dilakukan pada lahan-lahan yang cukup subur untuk tanaman palawija, sedangkan untuk lahan-lahan yang diperkirakan kurang menghasilkan apabila ditanami palawija, ditanami tanaman tahunan yang menghasilkan kayu. Pada lahan tegalan/ladang biasanya juga dilakukan teknik konservasi dengan pembuatan teras yang diperkuat dengan susunan batu. Gambar 16 menunjukkan penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang.

18 51 Gambar 16 Penggunaan Lahan Tegalan/Ladang Sawah dan Sawah Tadah Hujan Sawah dan sawah tadah hujan pada citra Landsat band 542 (RGB) berbentuk petak-petak yang ukurannya relatif seragam dengan warna kecoklatan atau hijau. Penyebaran sawah irigasi di Kabupaten Kulon Progo terutama dijumpai pada wilayah bagian tengah ke selatan, dengan topografi datar dan ketinggian tempat yang lebih rendah. Petak-petak sawah irigasi lebih seragam dan bentuk yang jelas sedangkan pada sawah tadah hujan bentuk petakannya kurang seragam. Luasan petak/hamparan sawah irigasi cenderung lebih besar daripada sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan dijumpai di Kulon Progo bagian utara, yaitu daerah perbukitan terutama di Kecamatan Samigaluh, Girimulyo dan Kalibawang. Sawah tadah hujan biasanya menyatu dengan tegalan/ladang dan ditanami padi pada saat musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau ditanami palawija. Masyarakat tetap mempertahankan sawah tadah hujan, sehingga tidak dirubah ke penggunaan lahan yang lain. Hal ini disebabkan karena masyarakat tetap mengharapkan ada hasil pertanian berupa padi setiap tahunnya, sedangkan lahan untuk menghasilkan padi satu-satunya adalah sawah tadah hujan mengingat tidak ada sawah irigasi. Gambar 17 menunjukkan penggunaan lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Kulon Progo.

19 52 Gambar 17 Penggunaan Lahan Sawah Tadah Hujan Permukiman Permukiman pada citra landsat band 542 (RGB) mempunyai kenampakan berbentuk kotak-kotak, berwarna magenta tua, bertekstur halus sampai kasar dengan pola teratur. Permukiman di Kabupaten Kulon Progo dapat dibedakan antara permukiman di pedesaan dengan permukiman di perkotaan. Permukiman di pedesaan merupakan permukiman tradisional dengan pola terpencar tidak teratur dengan kelompok kecil-kecil yang berbaur menjadi satu kelompok dengan vegetasi. Jarak antar permukiman juga cukup jauh. Permukiman di perkotaan mempunyai pola berkelompok besar-besar, teratur dengan vegetasi antar permukiman cukup sedikit. Permukiman di perkotaan dengan pola teratur dan seragam merupakan daerah perumahan modern/realestate yang terdiri dari blokblok perumahan. Pola permukiman di perkotaan mengikuti jalan utama dan sebagian juga mengikuti sungai untuk daerah di sekitar kota. Arah perkembangan permukiman di Kulon Progo menunjukkan ke arah selatan wilayah kabupaten, oleh karena dipengaruhi kondisi fisik wilayah yang relatif lebih datar. Penambahan luasan permukiman cukup besar terjadi di Kecamatan Wates, Temon, Sentolo, Panjatan, Nanggulan, dan Galur. Kecamatan Panjatan dan Temon menunjukkan tingkat perkembangan permukiman yang cukup tinggi mengingat kecamatan tersebut berdekatan dengan Wates sebagai ibu kota kabupaten. Pada Kecamatan Sentolo, Nanggulan, dan Galur perkembangan permukiman juga cukup tinggi. Ketiga kecamatan tersebut merupakan jalur

20 53 penghubung Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Sleman dan Bantul. Kecamatan Pengasih, Lendah, Kokap, Kalibawang, Samigaluh dan Girimulyo merupakan kecamatan dengan tingkat pertumbuhan permukiman yang tidak terlalu tinggi. Gambar 18 menunjukkan Permukiman di perkotaan. Gambar 18 Penggunaan Lahan Permukiman di Perkotaan Sungai Sungai pada citra landsat band 542 (RGB) dapat dikenali dari bentuknya yang memanjang berkelok-kelok dan berwarna biru tua atau gelap. Sungai cenderung tetap dari waktu ke waktu karena tidak ada aktivitas manusia yang berakibat terhadap berubahnya bentuk sungai. Di Kabupaten Kulon Progo sebelah timur dijumpai Sungai Progo yang menjadi batas dengan Kabupaten Sleman dan Bantul. Sungai Progo mempunyai anak-anak sungai yang dimanfaatkan untuk pengairan sawah disekitarnya. Kecamatan Galur dan Lendah merupakan kecamatan yang terluas sungainya, oleh karena disisi timur memanjang ke selatan pada kedua kecamatan ini merupakan muara dari Sungai Progo. Di Kulon Progo bagian tengah, terdapat Sungai Serang yang berhulu di kawasan lindung, di Kecamatan Kokap dan Girimulyo. Sungai Serang melintasi Kecamatan Pengasih, Wates, dan Temon dengan muara di Pantai Glagah. Penggunaan Sungai Serang juga untuk sarana irigasi, sedangkan di daerah muara dibangun pelabuhan laut. Gambar 19 menunjukkan penggunaan lahan sungai di Kabupaten Kulon Progo.

21 54 Gambar 19 Penggunaan Lahan Sungai Waduk Waduk yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo yaitu Waduk Sermo, terletak di Kecamatan Kokap. Waduk Sermo merupakan satu-satunya waduk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dibangun pada tahun 1994 dan selesai tahun Luas genangan dari Waduk Sermo ± 157 ha, dapat menampung air ± 25 juta m 3, dengan bentuk waduk yang berkelok-kelok. Waduk Sermo dibangun dengan membendung sungai Ngrancah. Bendungan dibangun menghubungkan dua bukit dengan ukuran bendungan lebar atas delapan meter, lebar bawah 250 meter, panjang 190 meter dan tinggi 56 meter. Pada pembangunan waduk ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo memindahkan 107 KK untuk bertransmigrasi, dengan tujuan 100 KK ke Bengkulu dan 7 KK ke Riau. Waduk Sermo dikelola oleh Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Sermo. Waduk Sermo mempunyai multifungsi, dimana tujuan awal dibangunnya adalah suplai air untuk mengairi sawah seluas ha yang berada di wilayah Kulon Progo bagian barat dan selatan. Wilayah ini sebelumnya mendapat pengairan irigasi dari Sungai Progo, akan tetapi sungai Progo tidak sepanjang tahun dapat mengalirkan air untuk memenuhi kebutuhan pertanian di wilayah Kulon Progo bagian barat dan selatan. Irigasi dari Sungai Progo sekarang hanya digunakan untuk pengairan lahan pertanian di wilayah Kulon Progo bagian timur dan tenggara.

22 55 Waduk Sermo juga mempunyai fungsi sebagai sarana konservasi dan sudah berfungsi dengan cukup bagus. Sekitar Waduk Sermo merupakan hutan suaka margasatwa dengan landscape perbukitan menoreh. Fungsi lain seperti sumber air minum, belum maksimal. Air Waduk Sermo kedepan diproyeksikan untuk mensuplai air minum PDAM mulai Pengasih, Kokap hingga Wates, Panjatan, Lendah dan Galur, namun saat ini baru sampai di sebagian Kokap dan Pengasih saja. Waduk Sermo juga sebagai obyek wisata, tetapi belum maksimal karena kurang promosi. Pemandangan dan suasana waduk cukup eksotik dengan keindahan panorama alam dan bangunan waduk. Sarana wisata berupa gardu pandang untuk menikmati keindahannya dan perahu yang dapat digunakan untuk mengelilingi waduk. Fungsi lain waduk yaitu sebagai budidaya ikan air tawar. Gambar 20 memperjelas gambaran tentang Waduk Sermo. Gambar 20 Penggunaan Lahan Waduk Sermo 5.2 Perubahan Penggunaan Lahan Periode Tahun Penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo selama periode tahun 1996 sampai 2009 telah mengalami perubahan. Gambaran perubahan yang jelas adalah dibangunnya Waduk Sermo. Adapun luas setiap penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 disajikan pada Tabel 14.

23 56 Tabel 14 Luas Penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Laju/Tahun Penggunaan Lahan Luas Luas Luas (Ha) (%) (%) Luas (Ha) (%) (%) (Ha) (Ha) SB , , , ,8 HT , , , ,5 KC , , , ,2 PK , , ,7 85 2,2 SW , , , ,1 SWT , ,2 74 6,2 6 0,5 TG , , ,2 30 0,3 SN 720 1, ,2-6 -0,9 MA 1 0,0 1 0,0 0 0,0 WD 0 0, , ,0 Jumlah , ,0 Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 14, penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 didominasi oleh kebun campuran dengan luas ha atau 29,6% dari luas kabupaten. Urutan kedua adalah hutan 26,6%, diikuti tegalan/ladang, sawah, dan permukiman. Pada tahun 2009, dominasi penggunaan lahan tidak mengalami perubahan, dimana kebun campuran tetap menempati urutan pertama seluas ha atau 28,9%, diikuti penggunaan lahan hutan 25%, tegalan/ladang, sawah, dan permukiman. Penggunaan lahan yang lain mempunyai luasan yang kecil dengan persentase luasan di bawah 10%. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo ada yang positif (mengalami penambahan luas) dan ada yang negatif (mengalami pengurangan luas). Penggunaan lahan yang mengalami pengurangan luas meliputi semak belukar, hutan, kebun campuran, sawah. Penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas meliputi permukiman, sawah tadah hujan, tegalan/ladang, dan adanya bangunan waduk. Hutan mengalami pengurangan luas paling besar yaitu 981 ha. Pengunaan lahan selanjutnya yang mengalami pengurangan luas berturut-turut adalah kebun campuran, sawah, semak belukar, dan waduk. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas paling besar adalah permukiman seluas ha. Peningkatan permukiman ini tercermin dari pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 2008 yang mencapai 2.8% dengan kepadatan 813 jiwa/km 2

24 57 (Kulon Progo dalam Angka, 2009). Penggunaan lahan selanjutnya yang mengalami penambahan luas berturut-turut adalah tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan waduk. Pengurangan luasan setiap penggunaan lahan, dapat digunakan untuk memperkirakan laju dari besarnya pengurangan atau penambahan luasan. Selama periode tahun 1996 sampai 2009, laju pengurangan luasan terbesar yaitu penggunaan lahan hutan dengan perkiraan laju pengurangan luas rata-rata sebesar 75 ha/tahun. Laju penambahan luas, terbesar yaitu penggunaan lahan permukiman dengan perkiraan rata-rata sebesar 85 ha/tahun. Perubahan penggunaan lahan mempunyai dampak terhadap penambahan atau pengurangan luasan suatu jenis penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan tahun 1996 sampai 2009 mempunyai berbagai macam pola perubahan, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 15. Tabel 15 Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1996 sampai 2009 Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2009 (Ha) SB HT KC PK SW SWT TG SN MA WD Tahun 1996 SB HT Tahun 1996 (Ha) KC PK SW SWT TG SN MA WD Tahun Sumber : Hasil Analisis Tabel 15 menunjukkan bahwa hutan merupakan penggunaan lahan yang mengalami konversi atau perubahan yang terbesar. Luasan hutan, sebagian mengalami konversi menjadi lima jenis penggunaan lahan. Hutan menjadi tegalan/ladang merupakan konversi hutan yang paling besar yaitu 676 ha. Bentuk konversi hutan lainnya adalah menjadi semak belukar, sawah tadah hujan, permukiman, dan waduk.

25 58 Semak belukar merupakan lahan-lahan yang tidak digarap, misalnya arealareal yang akan dibangun, lahan pesisir sepanjang pantai selatan Kabupaten Kulon Progo, serta lahan yang kurang subur sehingga alang-alang dan semak-semak yang tumbuh. Semak belukar mengalami perubahan ke kebun campuran dan permukiman. Perubahan semak belukar ke kebun campuran mencapai luas 217 ha, Perubahan ini terjadi di lahan pesisir Kabupaten Kulon Progo yang meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur. Lahan-lahan pesisir merupakan lahan marginal yang paling besar kemungkinannya untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena lahan pesisir merupakan lahan yang umumnya hanya ditumbuhi semak belukar dan rumput sehingga untuk mengubah menjadi lahan pertanian tidak perlu biaya yang besar. Lahan pesisir cukup baik digunakan sebagai lahan pertanian semusim mengingat hanya kondisi tanah berpasir yang menjadi pembatas utama. Faktor pembatas ini diminimalkan dengan penambahan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan dan agregat tanah. Masyarakat mempergunakan lahan pesisir untuk penanaman komoditas hortikultura dimana, sejak tahun 2000 semakin meningkat pesat. Komoditas utama meliputi cabai, semangka, melon dan buah naga. Tegalan/ladang mengalami perubahan menjadi permukiman dan waduk. Penggunaan lahan kebun campuran, sawah, dan sawah tadah hujan, hanya mengalami satu jenis perubahan penggunaan lahan menjadi permukiman. Penggunaan lahan yang tidak mengalami pengurangan luas adalah permukiman. Disisi lain penggunaan lahan juga ada yang mengalami penambahan luas. Penggunaan lahan semak belukar, kebun campuran, sawah tadah hujan dan tegalan/ladang mengalami penambahan luas dari satu jenis penggunaan lahan saja. Kebun campuran mendapat tambahan luasan dari semak belukar, sedangkan penggunaan lain bertambah karena konversi hutan. Permukiman mengalami penambahan luas berasal dari semua penggunaan lahan, kecuali dari sungai dan waduk. Waduk dibangun dengan membendung sungai, sehingga merupakan konversi dari sungai, hutan, dan tegalan/ladang di sekitar waduk. Permukiman baru sangat mendominasi penyebab perubahan penggunaan lahan. Penambahan luasan permukiman yang berasal dari berbagai penggunaan

26 59 lahan, merupakan salah satu indikasi bahwa penyebaran permukiman baru terjadi secara tidak teratur, dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Perkembangan permukiman baru umumnya terjadi di sekitar permukiman yang telah ada sebelumnya dengan pola berkelompok-kelompok yang menyebar tidak teratur. Undang-undang No. 32 tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan otonami yang sangat besar pada daerah untuk mengelola pemerintahan dan sumber daya daerahnya. Kewenangan otonomi salah satunya berdampak terhadap perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan pada tahun 1996 dan 2009 dapat digunakan untuk menggambarkan sejauhmana perubahan penggunaan lahan sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tersebut. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 perubahan penggunaan lahan yang terjadi mempunyai pola, bertambah luasnya penggunaan lahan tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan permukiman. Hal ini terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk sehingga semakin meningkat kebutuhan akan lahan. Pada kawasan lindung telah terjadi konversi hutan menjadi tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan permukiman. Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya fungsi kawasan lindung. Tutupan lahan pada kawasan lindung perlu dipertahankan untuk mencegah erosi. Penggunaan lahan hutan merupakan yang terbaik untuk mendukung fungsi kawasan lindung karena hutan mempunyai tutupan lahan dari tajuk vegetasi penyusunnya. Kenyataan yang terjadi pada kawasan lindung telah terjadi konversi hutan menjadi penggunaan selain hutan sehingga dapat menyebabkan terjadi degradasi lahan. Degradasi lahan akan menyebabkan terbentuknya lahan kritis, sehingga kawasan lindung berkurang atau kehilangan fungsinya. Pada kawasan budidaya, telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang digunakan sebagai permukiman. Di samping itu, di daerah pesisir juga terjadi pembukaan lahan yang semula berupa semak belukar menjadi lahan untuk kebun campuran. Kebun campuran terbentuk karena kebutuhan lahan untuk usaha pertanian, sedangkan permukiman sebagai bangunan tempat tinggal. Akan tetapi, disisi lain, kebun campuran yang terkonversi menjadi permukiman lebih besar daripada yang terbentuk, sehingga secara keseluruhan luasan kebun campuran

27 60 tetap berkurang. Terbentuknya permukiman baru seringkali dijumpai pada lahanlahan dengan kelerengan yang curam dan sangat curam. Hal ini akan menyebabkan lahan lebih rawan mengalami kerusakan karena penggunaan lahannya kurang sesuai dengan kemampuan lahan apabila dipergunakan untuk permukiman. Penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi suatu kawasan. Fungsi suatu kawasan dibedakan dalam kelompok kawasan hutan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Wilayah Kabupaten Kulon Progo yang dialokasikan sebagai kawasan lindung meliputi bagian barat dari tengah ke utara wilayah Kabupaten Kulon Progo yang umumnya merupakan wilayah dengan tingkat kelerengan curam. Kawasan lindung mempunyai luas ha atau 36,92% dari luas wilayah Kabupaten Kulon Progo ha. Tabel 16 menunjukkan penggunaan lahan padai kawasan lindung pada tahun 1996 dan Tabel 16 Penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Semak Belukar 344 1, , Hutan , , Permukiman , ,6 67 6,0 Sawah 193 1, , Sawah Tadah Hujan 803 3, , Tegalan/Ladang , , Sungai 67 0,3 60 0,3-7 9,0 Waduk , ,0 Jumlah , ,00 Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 penggunaan lahan di kawasan lindung didominasi hutan dengan luas ha atau 72,2% dari luas kawasan lindung. Urutan kedua adalah penggunaan lahan tegalan/ladang dengan persentase 16,0%, kemudian diikuti permukiman, dan sawah tadah hujan. Penggunaan lahan yang lain luasannya relatif kecil dengan persentase kurang dari 2%. Pada tahun 2009 penggunaan lahan di kawasan lindung masih didominasi

28 61 hutan dengan persentase 67,6%. Penggunaan lahan hutan, dan sawah mengalami pengurangan luas. Penggunaan lahan permukiman, sawah tadah hujan, tegalan/ladang, dan semak belukar mengalami penambahan luas. Tegalan/ladang dan semak belukar mengalami peningkatan luas yang cukup besar masing-masing 34,9% dan 17,1%. Hal ini menunjukkan juga bahwa kebutuhan lahan oleh masyarakat untuk kegiatan budidaya cukup besar. Semak belukar umumnya merupakan bentuk penggunaan lahan antara untuk penggunaan lahan selanjutnya. Pada tahun 1997 juga dibangun waduk seluas 144 ha. Wilayah Kabupaten Kulon Progo yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya meliputi wilayah bagian tengah menuju selatan. Kawasan budidaya merupakan wilayah Kulon Progo dengan karakteristik lahan yang umumnya cukup datar. Kawasan budidaya mempunyai luas ha atau 59,92% dari luas wilayah Kabupaten Kulon Progo ha. Penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Semak Belukar 539 1, , ,4 Kebun Campuran , , ,9 Permukiman , , ,8 Sawah , , ,9 Sawah Tadah Hujan 334 1, ,0 0 1,0 Tegalan/Ladang , , ,5 Jumlah (Ha) , ,0 Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 17 penggunaan lahan di kawasan budidaya pada tahun 1996 yang paling dominan adalah kebun campuran seluas ha atau 48,6% dari luas kawasan budidaya. Penggunaan lahan lainnya meliputi sawah, tegalan/ladang, permukiman, semak belukar, dan sawah tadah hujan. Dominasi penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 2009 adalah sama dengan tahun Pada kawasan budidaya penggunaan lahan yang utama adalah untuk kegiatan pertanian. Hal ini berkaitan bahwa lahan pada kawasan budidaya didominasi oleh kelas kemampuan lahan yang mendukung untuk usaha pertanian

29 62 yaitu kelas I sampai kelas IV. Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian terlihat sangat mendominasi yang meliputi kebun campuran, sawah, dan tegalan/ladang. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 menunjukkan bahwa hanya sawah tadah hujan saja yang tidak mengalami perubahan luas. Penggunaan lahan mengalami penambahan luas adalah permukiman. Kebun campuran mengalami pengurangan yang paling besar diikuti oleh tegalan/ladang, sawah, dan semak belukar. Perubahan penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan. Pengaruhnya dapat bersifat negatif dalam arti lahan akan semakin kritis, sehingga kualitas dari lahan tersebut untuk penggunaan tertentu semakin terbatas. Lahan dapat juga mengalami perbaikan tingkat kekritisan, sehingga semakin meningkat kualitas lahan tersebut. Sebagai contoh adalah lahanlahan berupa semak belukar kemudian dimanfaatkan menjadi kebun campuran atau tegalan/ladang sehingga meningkatkan produktivitas. Kawasan lindung di luar kawasan hutan merupakan kawasan yang terletak dalam kawasan budidaya dan bukan kawasan hutan, tetapi pada umumnya telah diusahakan sebagai kawasan budidaya. Kawasan ini meliputi kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan sungai dan anak sungai, dan kawasan sempadan mata air. Penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 18.

30 63 Tabel 18 Penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan Sempadan Mata Air Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Mata Air 1 2,1 1 2,1 0 0 Kebun Campuran 17 35, ,4 0 0 Permukiman 2 4,2 2 4,2 0 0 Sawah 5 10,4 5 10,4 0 0 Tegalan/Ladang 23 47, ,9 0 0 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Pantai Sungai 29 6,7 29 6,7 0 0 Semak Belukar , , ,3 Kebun Campuran 6 1, , ,0 Tegalan/Ladang 7 1,6 7 1,6 0 0 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Sungai Sungai , ,4 0 0 Semak Belukar 19 2,2 16 1, ,8 Kebun Campuran , ,8 2 0,7 Permukiman 43 4,9 44 5,0 1 2,3 Sawah 72 8,2 72 8,2 0 0 Sawah Tadah Hujan Tegalan/Ladang 23 2,6 23 2,6 0 0 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Anak Sungai Sungai , ,0 0 0 Semak Belukar 70 6,7 56 5, ,0 Kebun Campuran , ,2-5 1,9 Permukiman 56 5,3 75 7, ,9 Sawah , ,4 0 0 Sawah Tadah Hujan 43 4,1 43 4,1 0 0 Tegalan/Ladang , ,9 0 0 Jumlah (Ha) , ,0 Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 18 penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, untuk kawasan sempadan mata air pada tahun 1996 sampai 2009 tidak mengalami perubahan penggunaan lahan. Perubahan yang paling besar

31 64 terjadi pada kawasan sempadan pantai yaitu perubahan semak belukar menjadi kebun campuran sebesar 87 ha. Pada kawasan sempadan anak sungai dan sempadan sungai perubahan yang terjadi juga cukup kecil. Pada kawasan sempadan sungai perubahan yang terjadi dari penggunaan awal semak belukar menjadi kebun campuran dan permukiman. Pada kawasan sempadan anak sungai perubahan yang terjadi adalah terbentuknya permukiman baru. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada kawasan lindung di luar kawasan hutan mengarah kepada penggunaan lahan untuk kebun campuran dan permukiman. Perubahan penggunaan lahan ini menunjukkan kebutuhan lahan yang semakin meningkat terutama permukiman. Permukiman baru pada sempadan anak sungai terbangun di sekitar kota wates sebagai ibu kota kabupaten. 5.3 Kelas Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Kabupaten Kulon Progo mempunyai tingkat kelerengan dari datar sampai dengan sangat curam. Semakin ke arah utara kelerengannya semakin curam. Tingkat kelerengan lahan sangat menentukan kelas kemampuan lahan dimana, semakin curam lereng maka semakin tinggi kelas kemampuan lahan. Selain tingkat kelerengan, jenis tanah, erosi, singkapan batuan, kedalaman solum tanah, dan rawan longsor merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan kelas kemampuan lahan. Faktor-faktor tersebut akan membatasi penggunaan lahan sampai batas tertentu. Resiko dari kelas kemampuan lahan yang semakin tinggi maka semakin terbatas pula pemanfaatan lahan tersebut. Setiap kelas kemampuan lahan mempunyai kesamaan faktor-faktor penghambat utama. Gambar 21 dan 22 memperlihatkan kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo.

32 65 Sumber : Hasil Analisis Gambar 21 Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Tahun 1996

33 66 Sumber : Hasil Analisis Gambar 22 Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009 Berdasarkan peta kelas kemampuan lahan pada Gambar 21 dan 22, Kabupaten Kulon Progo mempunyai lima kelas kemampuan lahan. Luas dan persentase dari masing-masing kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo tersaji dalam Tabel 19.

34 67 Tabel 19 Luas tiap kelas kemampuan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 dan 2009 No. Kemampuan Lahan Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) 1 Kelas I , ,2 0 0,0 2 Kelas II , ,8 0 0,0 3 Kelas III , ,0 0 0,0 4 Kelas IV , , ,8 5 Kelas VI , ,4 0 0,0 6 Tidak Terdefinisi 721 1, , ,2 Jumlah , ,0 Sumber : Hasil Analisis Gambar 21, 22, dan Tabel 19, menunjukkan bahwa kemampuan lahan kelas I merupakan yang paling dominan dengan luas ha atau 29,2%. Urutan kedua adalah kelas kemampuan lahan III dengan persentase 26,0%, diikuti dengan kelas kemampuan VI, kelas kemampuan lahan II, dan kelas kemampuan lahan IV merupakan yang terkecil sebesar 8,41%. Lahan kelas I mendominasi wilayah Kulon Progo bagian selatan sampai dengan daerah pesisir dan wilayah bagian timur tetapi dengan luasan yang cukup kecil. Lahan kelas II mempunyai sebaran terpencar-pencar dan umumnya berbatasan dengan lahan kelas I, dan tersebar di daerah pesisir. Lahan kelas II juga tersebar di Kulon Progo bagian timur utara terutama di Kecamatan Nanggulan. Lahan kelas III tersebar dominan di wilayah tengah, bagian timur Kulon Progo dengan kondisi topografi berbukit. Persebaran lahan kelas III juga dijumpai secara terpencar-pencar di wilayah Kulon Progo bagian utara. Sebaran dari lahan kelas kemampuan IV tersebar di wilayah Kulon Progo sebelah barat dari tengah ke utara dan berbatasan dengan lahan kelas VI. Kelas lahan VI meliputi wilayah bagian barat dari tengah sampai ke utara dan merupakan lahan dengan topografi berbukit. Dibangunnya Waduk Sermo pada tahun 1997, berdampak terhadap lahan-lahan dengan kelas kemampuan IV berkurang seluas 138 ha, oleh karena digunakan untuk areal pembangunan waduk tersebut yang terdapat di Kecamatan Kokap. Kelas kemampuan lahan mengindikasikan kesamaan potensi dan hambatan atau resiko dari lahan tersebut, sehingga dapat dipakai untuk menentukan tipe penggunaan atau tindakan konservasi yang perlu dilakukan. Lahan dengan kelas

35 68 kemampuan lahan I dan II merupakan lahan yang cocok untuk pertanian ataupun penggunaan lahan yang lain mengingat tidak ada hambatan penggunaan dalam kelas ini. Lahan kelas VI merupakan lahan dengan penggunaan terbatas dan diutamakan untuk dihutankan. Lahan kelas III dan IV dapat dipertimbangkan untuk berbagai penggunaan lainnya. Kelas kemampuan lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan akan tetap menjaga kualitas lahan, tetapi penggunaan lahan yang tidak sesuai kemampuannya menyebabkan kerusakan lahan yang berujung ke lahan kritis. Terkait dengan kerusakan lahan atau lahan kritis, kemampuan lahan dapat digunakan untuk pengecekan terhadap ketepatan penggunaannya. Berdasarkan kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat direkomendasikan perubahan penggunaannya, atau diterapkannya teknologi konservasi sesuai karakteristik lahan tersebut. Hal ini akan tetap menjaga lahan tidak rusak atau dapat digunakan secara lestari. 5.4 Potensi Terbentuknya Lahan Kritis Perubahan penggunaan lahan dapat berdampak terhadap berubahnya kualitas lahan. Kualitas lahan akan tetap baik meskipun mengalami perubahan penggunaan lahan, apabila penggunaan lahan yang baru tetap berada dalam batas daya dukung atau fungsi lahan tersebut. Sifat fisik lahan merupakan salah satu aspek yang membatasi daya dukung lahan untuk tujuan penggunaan tertentu. Kenyataan yang terjadi, seringkali penggunaan lahan kurang memperhatikan sifatsifat fisik lahan sehingga tidak sesuai dengan daya dukungnya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya berdampak terhadap penurunan kualitas lahan, sehingga terbentuk lahan kritis. Sebaran lahan kritis, dibedakan dalam kelompok kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Kawasan lindung bertujuan sebagai kawasan perlindungan setempat maupun perlindungan kawasan dibawahnya. Penggunaan lahan di kawasan lindung didominasi penggunaan lahan hutan. Akan tetapi penggunaan lahan hutan tersebut sebagian telah terkonversi menjadi penggunaan lahan selain hutan.

36 69 Kawasan lindung terdapat di Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Pengasih, dan Nanggulan. Gambar 23, 24, dan Tabel 20 menunjukkan sebaran tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 dan Sumber : Hasil Analisis Gambar 23 Peta Lahan Kritis di Kawasan Lindung Tahun 1996

37 70 Sumber : Hasil Analisis Gambar 24 Peta Lahan Kritis di Kawasan Lindung Tahun 2009 Berdasarkan Gambar 23 dan 24, di kawasan lindung lahan potensial kritis menunjukkan sebaran yang paling dominan. Lahan tidak kritis, agak kritis dan kritis terpencar-pencar dengan luas yang kecil-kecil. Luasan dari masing-masing tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung pada tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 20.

38 71 Tabel 20 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Tidak Kritis , , ,28 Potensial Kritis , , ,02 Agak Kritis , , ,97 Kritis , , ,22 Jumlah (Ha) , ,00 Sumber : Hasil Analisis Gambar 20, 21 dan Tabel 20 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 di kawasan lindung tingkat kekritisan lahan didominasi oleh lahan potensial kritis, kemudian tidak kritis, kritis dan agak kritis. Pada tahun 2009 dominasi tingkat kekritisan lahan masih sama dengan tahun Penambahan luas lahan kritis dan agak kritis terjadi karena adanya perubahan penggunaan lahan. Hutan merupakan penggunaan lahan yang paling baik untuk mendukung fungsi kawasan lindung. Penggunaan lahan hutan akan mempertahankan kualitas kawasan lindung sehingga tetap tidak kritis. Konversi hutan ke non hutan akan mengubah lahan-lahan tidak kritis atau potensial kritis menjadi lahan agak kritis dan kritis. Lahan pada kawasan lindung merupakan lahan dengan kelas kemampuan rendah sehingga setiap perubahan hutan menjadi penggunaan non hutan akan membuat kualitas lahan menurun dan menyebabkan terbentuknya lahan kritis. Hal ini terbukti dengan meluasnya lahan agak kritis dan kritis dengan terkonversinya hutan ke non hutan. Sebaran tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung menunjukkan bahwa lahan potensial kritis mempunyai sebaran yang merata. Lahan potensial kritis merupakan lahan dengan penggunaan lahan hutan dengan kelerengan sangat curam atau >40%. Lahan tidak kritis sebarannya terpencar-pencar dengan luasan yang tidak terlalu besar. Lahan ini juga didominasi penggunaan lahan hutan pada tingkat kelerengan kurang dari 40%. Sebaran lahan tidak kritis dan agak kritis yang paling dominan adalah tersebar berdekatan dengan lahan-lahan pada kawasan budidaya. Perubahan tingkat kekritisan lahan tahun 1996 sampai 2009 mempunyai berbagai macam perubahan, tidak hanya berubah dari tingkatan kritis satu ke tingkat kritis yang lain. Perubahan tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung tersaji pada Tabel 21.

39 72 Tabel 21 Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun Tahun 1996 (Ha) Tingkat Kekritisan Lahan Tahun 2009 (Ha) Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Tahun 1996 Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Tahun Sumber : Hasil Analisis Tabel 21 menunjukkan bahwa selama tahun 1996 sampai 2009, lahan potensial kritis tidak mengalami penambahan luas tetapi cenderung mengalami pengurangan luas. Hal ini berkebalikan dengan lahan agak kritis, dimana pada periode yang sama terjadi penambahan luas. Pada lahan tidak kritis dan kritis, lahan mengalami penambahan dan pengurangan luas. Kawasan budidaya berbeda fungsi dengan kawasan lindung. Kawasan budidaya mempunyai fungsi terutama untuk produksi pertanian sedangkan kawasan lindung bukan untuk produksi. Pada kawasan budidaya faktor atau parameter penentu tingkat kekritisan lahan adalah produktivitas lahan pertanian. Parameter yang lain adalah faktor pengelolaan lahan terkait untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan produktivitas lahan. Di Kabupaten Kulon Progo kawasan budidaya tersebar meliputi seluruh kecamatan. Tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Gambar 25, Gambar 26, dan Tabel 22.

40 73 Sumber : Hasil Analisis Gambar 25 Peta Lahan Kritis di Kawasan Budidaya Tahun 1996

41 74 Sumber : Hasil Analisis Gambar 26 Peta Lahan Kritis di Kawasan Budidaya Tahun 2009 Berdasarkan Gambar 25 dan 26, di kawasan budidaya lahan tidak kritis menunjukkan sebaran yang paling dominan. Lahan potensial kritis dan agak kritis tersebar terpencar-pencar dengan luas yang kecil-kecil. Lahan potensial kritis di bagian tengah wilayah Kulon Progo. Luas dari masing-masing tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya pada tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 22.

42 75 Tabel 22 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Tidak Kritis , ,14 0 0,00 Potensial Kritis , , ,55 Agak Kritis 685 2, , ,23 Jumlah (Ha) , ,00 Sumber : Hasil Analisis Gambar 25 dan 26 menunjukkan bahwa sebaran tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya pada tahun 1996 dan 2009 mempunyai pola yang hampir sama. Lahan tidak kritis tersebar di wilayah Kulon Progo pada bagian tengah ke selatan dan mempunyai luasan yang besar secara merata. Lahan tidak kritis juga tersebar di wilayah Kulon Progo bagian timur dengan luasan yang lebih kecil. Lahan potensial kritis terkonsentrasi di wilayah Kulon Progo bagian tengah ke timur dengan luasan yang kecil-kecil. Penyebaran lahan potensial kritis juga di dekat tepi kawasan lindung, hal ini karena pengaruh kelerengan yang masih terhubung dengan kawasan lindung. Lahan agak kritis meliputi daerah atau lahanlahan dekat kawasan lindung dan mempunyai luasan yang cukup kecil dan umumnya bersebelahan dengan lahan-lahan potensial kritis. Tabel 22 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 dan 2009, lahan tidak kritis masih menunjukkan luasan yang paling dominan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan di kawasan budidaya masih sesuai dengan kemampuan lahan untuk mempertahankan produksi. Lahan potensial kritis menunjukkan penurunan berubah menjadi lahan-lahan kritis. Perubahan lahan pada tingkat potensial kritis sebesar 22 ha atau 0,55%. Lahan dengan tingkatan paling rendah adalah lahanlahan agak kritis, menunjukkan luasan yang paling kecil dan mengalami penambahan luasan. Lahan agak kritis mengalami penambahan luasan sebesar 22 ha atau 3,23% dari luas tahun Penambahan luas lahan agak kritis berasal dari lahan-lahan potensial kritis. Perubahan tingkat kekritisan lahan antara tahun 1996 sampai 2009 juga terjadi pada berbagai macam tingkatan. Tingkat kekritisan lahan tidak hanya berubah dari tingkatan kritis satu ke tingkat kritis yang lain, akan tetapi perubahan

43 76 dapat terjadi ke berbagai tingkatan kekritisan lahan yang lain. Perubahan tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Matrik perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun (Ha) Tingkat Kekritisan Lahan Tahun 2009 (Ha) Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Tahun 1996 Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis Tahun Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 23 selama periode tahun 1996 sampai 2009 lahan agak kritis tidak mengalami pengurangan luas, sedangkan lahan-lahan yang lain mengalami pengurangan dan penambahan luas. Lahan tidak kritis mengalami pengurangan luas sama dengan penambahan luasnya sehingga secara total tidak mengalami perubahan luas. Tabel 23 juga menunjukkan bahwa perubahan tingkat kekritisan lahan terjadi dari lahan agak kritis menjadi potensial kritis seluas 22 ha. Perubahan dari lahan potensial kritis menjadi agak kritis seluas 7 ha dan perubahan lahan dari potensial kritis menjadi tidak kritis seluas 163 ha. Perubahan tingkat kekritisan Lahan dari lahan tidak kritis menjadi agak kritis dan potensial kritis sebesar 15 ha dan 148 ha. Tingkatan agak kritis yang tidak mengalami perubahan luasan sebesar 685 ha, lahan potensial kritis yang tetap seluas ha dan lahan tidak kritis yang tetap seluas ha. Kawasan lindung di luar kawasan hutan mempunyai fungsi yang sama dengan kawasan lindung berupa hutan. Tujuan utama ditetapkannya kawasan lindung ini adalah menjaga kelestarian fungsi dari masing-masing kawasan dimaksud. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung di luar kawasan hutan pada tahun 2009 tersaji pada Gambar 27.

44 77 Sumber : Hasil Analisis Gambar 27 Peta Lahan Kritis Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Tahun 2009 Gambar 27 menunjukkan sebaran lahan kritis di kawasan lindung di luar kawasan hutan tingkat kekritisan lahan di dominasi oleh lahan tidak kritis dan potensial kritis. Kawasan ini meliputi sempadan mata air, sempadan pantai, sempadan sungai, dan sempadan anak sungai. Pada umumnya pada kawasan ini Luas dari masing-masing tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung di luar kawasan hutan pada tahun 1996 dan 2009 tersaji pada Tabel 24.

45 78 Tabel 24 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan Sempadan Mata Air Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Tidak Kritis 1 0,2 1 0,2 0 0,0 Potensial Kritis 17 35, ,4 0 0,0 Agak Kritis 30 62, ,4 0 0,0 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Pantai Tidak Kritis , , ,7 Potensial Kritis 13 3, , ,2 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Sungai Tidak Kritis , ,2-3 -0,7 Potensial Kritis , ,8 2 0,7 Agak Kritis , ,0 1 0,5 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Anak Sungai Tidak Kritis , , ,5 Potensial Kritis , ,2-5 -1,9 Agak Kritis , ,3 19 4,2 Kritis 22 2,1 22 2,1 0 0,0 Jumlah (Ha) , ,0 Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 24, pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tingkat kekritisan lahan didominasi oleh lahan-lahan tidak kritis dan potensial kritis sementara lahan-lahan agak kritis dan kritis luasnya relatif kecil. Kawasan sempadan mata air tidak mengalami perubahan tingkat kekritisan lahan selama tahun 1996 sampai Lahan kritis hanya dijumpai pada kawasan sempadan anak sungai seluas 22 ha. Pada kawasan lindung ini, kawasan sempadan pantai mempunyai tingkat kualitas lahan yang paling baik karena lahan terdiri dari tidak kritis dan potensial kritis tidak dijumpai lahan agak kritis dan kritis. Kawasan sempadan sungai dan anak sungai dijumpai lahan kritis dan agak kritis yang lebih luas dari pada kawasan yang lain. Hal ini dimungkinkan oleh karena ketersediaan air sepanjang tahun dari sungai atau anak sungai untuk memenuhi kebutuhan usaha budidaya pertanian.

46 Sebaran Lahan Kritis di Setiap Penggunaan Lahan Penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan bersangkutan. Lahan kritis tersebar di berbagai jenis penggunaan lahan. Selain karena pengaruh kemampuan lahan, terbentuknya lahan kritis juga dipengaruhi fungsi suatu lahan. Tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung tersebar diberbagai penggunaan lahan. Perubahan tingkat kekritisan lahan setiap penggunaan lahan umumnya meningkat dari tahun 1996 sampai Lahan tidak kritis yang mengalami pengurangan luas karena perubahan penggunaan lahan hutan. Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung tersaji pada Tabel 25. Tabel 25 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan Penggunaan Lahan Tahun 1996 Tahun Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Tidak Kritis HT , , ,4 SN 67 0,3 61 0,3-6 9,0 WD 0 0, , ,0 Pot. Kritis HT , , ,0 Agak Kritis SB 66 0,3 81 0, ,9 PK 871 3, , ,4 SW 174 0, ,8-3 -1,9 SWT 383 1, ,9 16 4,2 TG , , ,8 Kritis SB 278 1, , ,6 PK 308 1, ,6 28 9,1 SW 19 0,1 19 0,1 0 0,0 SWT 421 2, , ,7 TG , , ,0 Jumlah (Ha) , ,0 Sumber : Hasil Analisis Tabel 25 menunjukkan tingkat kekritisan lahan pada tahun 1996 sampai tahun 2009 pada tiap penggunaan lahan. Setiap tingkat kekritisan lahan mempunyai penggunaan lahan yang berbeda pula. Lahan kritis pada kawasan lindung meliputi penggunaan lahan semak belukar, permukiman, sawah, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Pada umumnya luas penggunaan lahan kritis meningkat dari tahun 1996 sampai 2009, kecuali sawah yang tetap luasnya. Penggunaan lahan yang menyebabkan lahan

47 80 kritis didominasi oleh penggunaan lahan sebagai tegalan/ladang yang meningkat seluas 467 ha dan semak belukar yang meningkat 104 ha. Penggunaan lahan pada tingkat kritis tersebar pada kawasan lindung meliputi lahan-lahan dengan kelerengan >40% atau sangat curam. Lahan agak kritis penggunaan lahannya sama dengan lahan kritis. Perbedaanya adalah sebaran lahan agak kritis meliputi lahan-lahan dengan kelerengan antara 25-40% atau lahan-lahan curam. Penggunaan lahan agak kritis dalam periode tahun 1996 sampai 2009 umumnya mengalami peningkatan luas, kecuali sawah yang berkurang 3 ha. Dominasi penggunaan lahan meliputi tegalan/ladang, sawah tadah hujan, permukiman. Gambar 28 memperlihatkan lahan kritis pada kawasan lindung dengan penggunaan lahan tegalan/ladang. Gambar 28 Lahan Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Tegalan/Ladang Gambar 28 menunjukkan bahwa lahan kritis di kawasan lindung yang disebabkan penggunaan lahan tegalan/ladang. Kegiatan perladangan menyebabkan tutupan lahan akan mengalami perubahan dari semula tanaman tahunan menjadi tanaman musiman. Hal ini terjadi karena tanaman tahunan dianggap menghambat pertumbuhan tanaman pertanian karena naungan tajuknya. Oleh karena itu tanaman tahunan banyak yang dikurangi baik ditebang atau dipangkas tajuknya. Pengurangan tanaman tahunan menyebabkan lahan semakin terbuka dan semakin mudah tererosi oleh air hujan. Pengolahan lahan yang intensif pada musim hujan dan kondisi lahan-lahan dengan kelerengan curam atau

48 81 sangat curam semakin memperbesar terjadinya erosi. Lahan untuk perladangan juga didominasi batuan sehingga lapisan tanah mudah tererosi bahkan longsor karena pengaruh air hujan. Masa tanah yang berat karena telah jenuh dengan air hujan akan mudah longsor karena batuan yang kedap air dapat berperan sebagai papan luncur. Pada tingkatan potensial kritis penggunaan lahan hanya meliputi hutan saja. Pada periode tahun 1996 sampai 2009 hutan pada lahan potensial kritis mengalami pengurangan luas sebesar 808 ha. Pada lahan tidak kritis penggunaan lahannya meliputi: hutan, sungai, dan waduk. Penggunaan lahan hutan mengalami pengurangan luas yang cukup besar. Waduk dibangun untuk tujuan utama suplai air untuk irigasi. Gambar 29 memperlihatkan lahan tidak kritis pada kawasan lindung dengan penggunaan lahan hutan. Gambar 29 Lahan Tidak Kritis pada Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Hutan Penggunaan lahan hutan akan mempertahankan lahan pada kawasan lindung tetap tidak kritis. Kondisi hutan yang masih baik akan mempertahankan tutupan lahan dengan tajuk vegetasi penyusunnya yaitu pohon. Tajuk vegetasi penyusun hutan bertingkat-tingkat. Tajuk paling atas merupakan tajuk tinggi yang tersusun oleh pohon tinggi, sampai pada permukaan tanah masih tertutup oleh tajuk dari tumbuhan bawah dan seresah. Pentupan lahan oleh tajuk membuat hujan yang turun tidak langsung mengenai permukaan tanah akibat. Hal ini akan mencegah

49 82 terjadinya erosi terutama pada lahan-lahan curam, sehingga fungsi dan kualitas lahan di kawasan lindung tetap terjaga dan tidak terbentuk lahan kritis. Tingkat kekrtitisan lahan di kawasan budidaya juga meliputi berbagai penggunaan lahan. Pada kawasan budidaya dari tahun 1996 sampai 2009 mengalami perubahan luasan tingkat kekritisan lahan. Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan budidaya tersaji pada Tabel 26. Tabel 26 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Penggunaan Lahan Tahun 1996 Tahun Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) Tidak Kritis Kebun Campuran , , ,1 Permukiman , , ,1 Sawah , , ,0 Sawah Tadah Hujan 214 0, ,6 0 0 Tegalan/Ladang , , ,2 Pot. Kritis Semak Belukar 384 1, , ,7 Kebun Campuran 874 2, ,5-7 -0,8 Permukiman 569 1, , ,6 Sawah 23 0,1 23 0,1 0 0 Sawah Tadah Hujan 78 0,2 78 0,2 0 0 Tegalan/Ladang , , ,57 Agak Kritis Semak Belukar 155 0, ,5 0 0 Permukiman 78 0, , ,5 Sawah 130 0, ,4 0 0 Sawah Tadah Hujan 42 0,1 42 0,1 0 0 Tegalan/Ladang 280 0, ,8-2 -0,8 Jumlah (Ha) , ,0 Sumber : Hasil Analisis (%) Tabel 26 menunjukkkan bahwa pada tahun 1996 dan 2009 pada lahan tidak kritis, penggunaannya meliputi kebun campuran, sawah, tegalan/ladang. Penggunaan lahan yang mengalami penambahan luas adalah permukiman sedangkan sawah tadah hujan luasannya tetap. Berdasarkan karakteristik fisik lahan, lahan-lahan tidak kritis tersebar pada wilayah yang datar. Lahan potensial kritis, penggunaan lahannya didominasi semak belukar, permukiman, dan tegalan/ladang. Lahan sepanjang pesisir pantai dengan

50 83 penggunaan lahan adalah semak belukar juga termasuk lahan potensial kritis. Selama periode tahun 1996 sampai 2009 hanya permukiman saja yang mengalami penambahan luas, sedangkan semak belukar, dan tegalan/ladang berkurang luasnya. Penyebaran lahan ini meliputi wilayah dengan karakteristik tingkat kelerengan agak curam. Lahan agak kritis meliputi berbagai penggunaan lahan dengan penyebaran pada wilayah yang mempunyai tingkat kelerengan lebih dari 40%. Dari tahun 1996 sampai 2009 penggunaan lahan yang menyebabkan lahan agak kritis cenderung tetap. Pertambahan permukiman saja yang paling besar pengaruhnya terhadap terbentuknya lahan agak kritis. Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tingkat kekrtitisan lahan juga meliputi berbagai penggunaan lahan. Pada kawasan ini pada tahun 1996 dan 2009 perubahan tingkat kekritisan lahan tidak terlalu besar karena penggunaan lahannya cenderung tetap tidak mengalami perubahan yang dinamis. Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tersaji pada Tabel 27.

51 84 Tabel 27 Tingkat kekritisan tiap penggunaan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun 1996 dan 2009 Tingkat Kekritisan Lahan Sempadan Mata Air Penggunaan Lahan Tahun 1996 Tahun 2009 Perubahan Luas Luas Luas (%) (%) (%) (Ha) (Ha) (Ha) Tidak Kritis Mata Air 1 2,1 1 2,1 0 0,0 Pot. Kritis Kebun Campuran 17 3,4 17 3,4 0 0,0 Agak Kritis Permukiman 2 4,2 2 4,2 0 0,0 Sawah 5 10,4 5 10,4 0 0,0 Tegalan/Ladang 23 47, ,9 0 0,0 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Pantai Tidak Kritis Sungai 29 6,7 29 6,7 0 0,0 Semak Belukar , , ,3 Pot. Kritis Kebun Campuran 6 1, , ,0 Tegalan/Ladang 7 1,7 7 1,7 0 0,0 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Sungai Tidak Kritis Sungai , ,4 0 0,0 Semak Belukar 19 2,1 16 1, ,8 Pot. Kritis Kebun Campuran , ,8 2 0,7 Agak Kritis Permukiman 43 4,9 44 4,9 1 2,3 Sawah 72 8,2 72 8,2 0 0,0 Sawah Tadah Hujan 73 8,3 73 8,3 0 0,0 Tegalan/Ladang 23 2,6 23 2,6 0 0,0 Jumlah (Ha) , ,0 Sempadan Anak Sungai Tidak Kritis Anak Sungai , ,9 0 0,0 Semak Belukar 71 6,8 57 5, ,7 Pot. Kritis Kebun Campuran , ,2-5 -1,9 Agak Kritis Permukiman 55 5,2 74 7, ,5 Sawah , ,7 0 0,0 Sawah Tadah Hujan 42 4,0 42 4,0 0 0,0 Tegalan/Ladang , ,6 0 0,0 Kritis Permukiman 1 0,1 1 0,1 0 0,0 Sawah 17 1,6 17 1,6 0 0,0 Sawah Tadah Hujan 1 0,1 1 0,1 0 0,0 Tegalan/Ladang 3 0,3 3 0,3 0 0,0 Jumlah (Ha) , ,0 Sumber : Hasil Analisis

52 85 Berdasarkan Tabel 27, lahan tidak kritis merupakan lahan dengan penggunaan sebagai semak belukar. Semak belukar mampu mempertahankan kualitas lahan, baik yang terdapat di sempadan sungai dan anak sungai, serta sempadan pantai. Penggunaan lahan selain semak belukar cenderung berdampak terhadap terbentuknya lahan kritis. Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya lahan tidak kritis akibat berubahnya penggunaan lahan semak belukar. Penggunaan lahan sebagai kebun campuran masih mampu mempertahankan kualitas lahan dimana lahan berada dalam tingkat potensial kritis. 5.6 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Terbentuknya Lahan Kritis Perubahan penggunaan lahan di kawasan lindung akan berdampak terhadap tingkat kekritisan lahan. Dampak yang terjadi dari perubahan penggunaan lahan dapat bersifat menambah atau mengurangi luasan setiap tingkat kekritisan lahan. Perubahan penggunaan lahan umumnya mengakibatkan lahan semakin kritis. Pertumbuhan penduduk berdampak pada kebutuhan lahan, baik untuk pembangunan maupun permukiman. Pembangunan permukiman secara langsung akan diikuti dengan konversi lahan yang berdampak terhadap berkurangnya lahanlahan tidak kritis. Hal ini diperparah dengan konversi yang dilakukan pada lahanlahan dengan tingkat kelerengan yang curam. Gambaran perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung pada tahun 1996 sampai 2009 tersaji pada Tabel 28.

53 86 Tabel 28 Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung tahun Tingkat Kekritisan Lahan Penggunaan Lahan Tetap Berkurang Bertambah Jenis Luas (Ha) Luas (Ha) Luas (Ha) Tidak Kritis HT HT SB 15 TG WD 87 SN 61 HT SWT 16 HT WD 51 HT TG 120 SN WD 6 HT PK 21 SN WD 6 Jumlah (Ha) Pot. Kritis HT HT PK 13 HT SB 106 HT PK 12 HT SWT 71 HT TG 556 HT WD 51 Jumlah (Ha) Agak Kritis SB 66 SW PK 3 HT SB 15 PK 871 TG PK 2 SW PK 3 SWT 383 TG PK 2 SW 171 HT PK 21 TG HT PK 13 HT SWT 16 HT TG 120 Jumlah (Ha) Kritis SB 277 SB PK 1 HT SB 106 PK 308 SWT PK 14 SB PK 1 SWT 407 TG PK 1 SWT PK 14 SW 19 TG WD 87 TG PK 1 TG HT PK 12 HT SWT 71 HT TG 556 Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis Tabel 28 menunjukkan selama periode tahun 1996 sampai 2009 perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan lahan semakin kritis didominasi perubahan atau konversi hutan. Perubahan penggunaan lahan dari hutan (potensial kritis) terkonversi menjadi semak belukar, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Di sisi lain luas lahan kritis berkurang karena berubahnya penggunaan lahan tegalan/ladang menjadi waduk (tidak kritis), tetapi perubahan lahan kritis menjadi waduk luasannya relatif kecil dan fungsi yang berbeda dengan hutan. Bertambahnya lahan agak kritis disebabkan oleh konversi hutan (tidak kritis) menjadi semak belukar, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Perubahan penggunaan lahan lainya konversi hutan (potensial kritis) ke permukiman. Lahan potensial kritis mengalami pengurangan luas dimana perubahan penggunaan lahan yang mempengaruhi adalah perubahan hutan menjadi

54 87 tegalan/ladang, semak belukar, sawah tadah hujan, waduk, dan permukiman. Lahan tidak kritis berkurang karena konversi hutan menjadi tegalan/ladang, sawah tadah hujan, dan semak belukar. Berdasarkan penggunaan lahan di kawasan lindung dapat diketahui bahwa tingkat kekritisan lahan yang mengarah terbentuknya lahan kritis disebabkan terkonversinya penggunaan lahan hutan menjadi semak belukar, tegalan/ladang, sawah, sawah tadah hujan, dan permukiman. Kegiatan tersebut merupakan aktivitas manusia yang disebabkan karena kebutuhan akan lahan sebagai dampak pertumbuhan penduduk. Semakin banyak penduduk yang tinggal di suatu wilayah maka semakin besar konversi penggunaan lahan untuk kegiatan budidaya. Perubahan penggunaan lahan berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dapat bersifat menambah atau mengurangi luasan setiap tingkat kekritisan lahan. Pada kawasan budidaya perubahan penggunaan lahan yang terjadi umumnya berpengaruh positif. Lahan semakin menuju tingkat kekritisan yang lebih baik artinya lahan semakin kearah tidak kritis. Aktivitas manusia yang erat kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan adalah pembangunan permukiman. Berbeda dengan kawasan lindung, pada kawasan budidaya kegiatan penggunaan lahan belukar/semak menjadi kebun atau ladang berdampak positif. Perubahan belukar/rumput menjadi ladang atau kebun pada daerah-daerah pesisir menyebabkan lahan-lahan mengalami perubahan dari tidak produktif menjadi produktif. Kegiatan perladangan, sawah, dan sawah tadah hujan pada lahan-lahan dengan kelerengan curam di kawasan budidaya berpeluang mengubah lahan menjadi lebih kritis. Kegiatan budidaya pada pada lahan-lahan curam harus hatihati. Penutupan lahan harus tetap dipertahankan misalnya dengan sistem pertanian tumpangsari. Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 sampai 2009 ditunjukkan pada Tabel 29.

55 88 Tabel 29 Perubahan penggunaan lahan pada tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya tahun Penggunaan Lahan Tingkat Tetap Berkurang Bertambah Kekritisan Perubahan Perubahan Lahan Jenis Luas (Ha) (Ha) (Ha) Tidak KC KC PK 15 SB KC 122 Kritis PK KC PK 149 SB PK 42 SWT 214 KC PK 442 KC PK 442 SW SW PK 164 SW PK 164 TG TG PK 161 TG PK 161 Jumlah (Ha) Pot. Kritis SB 220 SB KC 122 TG PK 31 KC 868 SB PK 42 KC PK 149 PK 569 KC PK 7 SWT 78 TG PK 31 SW 23 TG Jumlah (Ha) Agak SB 155 TG PK 2 TG PK 2 Kritis PK 78 KC PK 7 SWT 42 KC PK 15 SW 130 TG 278 Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 29, secara umum perubahan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya dipengaruhi oleh terbentuknya permukiman baru dan perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi kebun campuran. Tahun 1996 sampai 2009 terbentuknya lahan-lahan agak kritis di kawasan budidaya dipengaruhi oleh permukiman baru yang berasal dari perubahan tegalan/ladang dan kebun campuran. Pada lahan potensial kritis pengurangan luasan terjadi akibat perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi kebun campuran seluas 122 ha. Kebun campuran akan merubah tingkat kekritisan lahan menjadi tidak kritis. Pembentukan permukiman baru akan berpengaruh menambah luasan lahan potensial kritis. Semak belukar penyebarannya meliputi lahan-lahan di daerah pesisir, sedangkan tegalan/ladang tersebar bercampur dengan kebun campuran. Pada lahan lahan tidak kritis terjadi pengurangan luas karena perubahan dari penggunaan lahan kebun campuran menjadi permukiman. Perubahan ini terjadi

56 89 pada lahan-lahan dengan tingkat kelerengan curam atau sangat curam. Disisi lain Pembentukan kebun campuran dan permukiman dari semak belukar pada lahanlahan pesisir akan menambah luas lahan tidak kritis. Terbentuknya permukiman baru lainnya, merubah jenis penggunaan lahan saja, tanpa merubah tingkat kekritisannya. Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, perubahan penggunaan lahan yang terjadi relatif kecil, sehingga pengaruhnya terhadap terbentuknya lahan kritis juga cukup kecil. Fungsi kawasan ini juga termasuk kawasan lindung sehingga perubahan lahan berdampak lebih besar untuk terbentuknya lahan kritis. Perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan terjadinya lahan kritis adalah berubahnya semak belukar menjadi kebun campuran dan permukiman. Semak belukar mampu mempertahankan kualitas lahan oleh karena semak belukar mampu menahan terjadinya erosi terutama daerah sempadan sungai dan anak sungai. Daerah tebing-tebing sungai sangat rawan tergerus oleh aliran air dan dengan adanya semak belukar maka mampu mencegah tergerusnya tebing sungai terutama ketika musim hujan aliran air sungai menjadi lebih besar. Sementara pada kawasan sempadan pantai berubahnya semak belukar ke kebun campuran menyebabkan lahan menjadi potensial kritis. Tabel 30 menunjukkan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan.

57 90 Tabel 30 Perubahan penggunaan lahan tiap tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan tahun Tingkat Penggunaan Lahan Kekritisan Tetap Berkurang Bertambah Lahan Jenis Luas (Ha) Perubahan (Ha) Perubahan (Ha) Sempadan Mata Air Tidak Kritis MA 1 Pot. Kritis KC 17 Agak Kritis PK 2 SW 5 TG 23 Jumlah (Ha) 48 Sempadan Pantai Tidak Kritis SN 29 SB 304 SB KC 87 Pot. Kritis KC 6 SB KC 87 TG 7 Jumlah (Ha) Sempadan Sungai Tidak Kritis SN 383 SB KC 2 SB 16 SB PK 1 Pot. Kritis KC 270 SB KC 2 Agak Kritis PK 43 SB PK 1 SW 72 SWT 73 TG 23 Jumlah (Ha) Sempadan Anak Sungai Tidak Kritis ASN 241 SB 57 SB PK 14 Pot. Kritis KC 254 KC PK 5 Agak Kritis PK 55 SB PK 14 SW 228 KC PK 5 SWT 42 TG 132 Kritis PK 1 SW 17 SWT 1 TG 3 Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis

58 Tingkat Kekritisan Lahan di Setiap Kelas Kemampuan Lahan Kualitas lahan tetap terjaga apabila penggunaan lahannya sesuai dengan kemampuan lahan menentukan. Tingkat kekritisan lahan dipengaruhi oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tingkat kekritisan lahan tiap kelas kemampuan lahan di kawasan lindung tersaji pada Tabel 31. Tabel 31 Tingkat kekritisan lahan tiap penggunaan lahan dan kelas kemampuan lahan pada kawasan lindung tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Tahun 1996 Tahun Kelas Lahan Lahan Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Tidak Kritis HT Kelas II , , ,0 Kelas III , , ,3 SN Tidak terdefinisi 67 1,7 61 1,6-6 -9,2 WD Tidak terdefinisi 0 0, ,6 144 Jumlah (Ha) , ,0-34 Pot. Kritis HT Kelas IV , , ,4 Kelas VI , , ,6 Jumlah (Ha) , ,0-808 Agak Kritis SB Kelas II 16 0,6 27 1, ,7 Kelas III 51 1,9 54 1,9 4 7,5 PK Kelas II 62 2,3 73 2, ,3 Kelas III , ,9 10 2,0 Kelas IV 233 8, ,9 18 7,8 SWT Kelas II 36 1,4 37 1,3 1 3,7 Kelas III , ,8 15 4,3 SW Kelas III 174 6, ,0-3 -1,9 TG Kelas II 245 9, , ,2 Kelas III , ,3 71 7,4 Jumlah (Ha) , ,0 185 Kritis SB Kelas IV 18 0,5 17 0,4-1 -6,0 Kelas VI 260 8, , ,6 PK Kelas VI 308 9, ,6 28 9,1 SWT Kelas IV 212 6, ,7 10 4,9 Kelas VI 209 6, , ,7 SW Kelas VI 18 0,6 18 0,5 0 0,0 TG Kelas IV , ,0-8 -1,6 Kelas VI , , ,8 Jumlah (Ha) , ,0 658 Sumber : Hasil Analisis

59 92 Tabel 31 menunjukkan bahwa pada lahan kritis, kelas kemampuan lahannya didominasi kelas IV dan VI. Pada lahan kritis, penggunaan lahannya termasuk kegiatan pengolahan lahan yang intensif meliputi sawah, sawah tadah hujan, dan tegalan/ladang. Penggunaan lahan permukiman dan semak belukar juga mendominasi pada tingkatan ini. Lahan agak kritis pengunaan lahannya sama dengan lahan kritis, perbedaannya terletak pada kelas lahannya. Kelas kemampuan lahan II dan III mendominasi lahan agak kritis. Pada tingkatan ini penggunaan lahan permukiman juga mendominasi dengan terdapat pada kelas lahan IV. Pada lahan potensial kritis, penggunaan lahan hanya hutan saja dengan kelas kemampuan lahan IV dan VI. Pada lahan tidak kritis penggunaan lahan tersebar pada lahan-lahan kelas kemampuan II dan III. Sementara penggunaan lahan sebagai tubuh air berupa sungai dan waduk kelas kemampuan lahan tidak terdefinisi. Penggunaan lahan sebagai semak belukar sebenarnya belum tentu dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa lahan tersebut kritis atau agak kritis meskipun kelas kemampuan lahan IV dan V. Kenyataan menunjukkan bahwa semak belukar atau alang-alang dapat mencegah dan memperkecil terjadinya erosi akibat air hujan dan aliran permukaan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pada kelerengan yang curam tutupan lahan secara alami berupa semak belukar atau alang-alang dapat mencegah terjadinya erosi yang akan mengakibatkan terbentuknya lahan kritis. Gambar 30 memperlihatkan bahwa semak belukar atau alang-alang tetap mampu mempertahankan lahan tetap tidak kritis Gambar 30 Penggunaan lahan Semak Belukar atau Alang-Alang Akan Mempertahankan Lahan Tetap Tidak Kritis

60 93 Pada kawasan budidaya tingkat kekritisan lahan akan sangat besar pengaruhnya apabila penggunaan lahannya tidak sesuai atau salah penggunaan. Hal ini didasarkan bahwa kawasan budidaya mempunyai fungsi pertanian dan non pertanian. Faktor pengelolaan lahan yang tepat pada kawasan budidaya akan mencegah terjadinya lahan kritis. Lahan-lahan tidak kritis di kawasan budidaya, penggunaan lahannya digunakan untuk usaha pertanian yang meliputi kebun campuran, sawah tadah hujan, sawah, dan tegalan/ladang. Pada lahan tidak kritis, kelas kemampuan lahan yang dominan adalah kelas I, II, dan III. Lahan dengan kelas kemampuan I, II, dan III merupakan lahan-lahan yang dapat digunakan untuk berbagai macam usaha pertanian yang intensif pengolahannya. Pada lahan potensial kritis dan agak kritis, penggunaan lahannya adalah sama. Perbedaan terletak pada kelas kemampuan lahan, dimana lahan potensial kritis didominasi oleh kelas lahan III dan IV, sedangkan lahan agak kritis kelas IV dan VI. Seringkali kelas lahan sama, tetapi tingkat kekritisan lahan berbeda. Hal ini terjadi karena pengaruh karakteristik fisik lahan, misalnya tingkat erosi, dimana wilayah Kulon Progo mempunyai tingkat erosi ringan sampai sedang. Penyebab lain adalah perbedaan tingkat produktivitas lahan karena perbedaan jenis penggunaannya dan jenis yang dibudidayakan. Tabel 32 menunjukkan tingkat kekritisan tiap kelas kemampuan lahan pada kawasan budidaya.

61 94 Tabel 32 Tingkat kekritisan lahan tiap kelas kemampuan lahan pada kawasan budidaya tahun 1996 dan 2009 Penggunaan Lahan Tidak Kritis Kelas Lahan Tahun 1996 Tahun Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) Luas (Ha) (%) KC Kelas I , , ,6 Kelas II , ,4 35 1,1 Kelas III , , ,6 Kelas VI 639 2, , ,4 PK Kelas I , , ,6 Kelas II 508 1, , ,9 SWT Kelas I 2 0,0 2 0,0 0 0,0 Kelas II 88 0,3 88 0,3 0 0,0 Kelas III 124 0, ,4 0 0,0 SW Kelas I , , ,5 Kelas II 587 2, ,0-1 -0,2 Kelas III , ,2-8 -0,5 TG Kelas I , , ,4 Kelas II , , ,4 Jumlah (Ha) , ,0 0 Pot. Kritis SB Kelas I 140 3,5 99 2, ,6 Kelas II 211 5,2 89 2, ,8 Kelas III 32 0,8 32 0,8 0 0,0 KC Kelas VI , ,5-7 -0,8 PK Kelas III , , ,6 SWT Kelas III 78 1,9 78 1,9 0 0,0 SW Kelas III 23 0,6 23 0,6 0 0,0 TG Kelas I 116 2, ,9 0 0,0 Kelas II 205 5, ,1 0 0,0 Kelas III , , ,9 Kelas IV 120 2, ,0 0 0,0 Jumlah (Ha) , ,0-22 Agak Kritis SB Kelas IV 76 11, ,8 0 0,0 Kelas VI 79 11, ,2 0 0,0 PK Kelas IV 9 1,3 24 3, ,8 Kelas VI 69 10, ,0 9 13,1 SWT Kelas IV 7 1,0 7 0,9 0 0,0 Kelas VI 36 5,2 36 5,1 0 0,0 SW Kelas IV , ,4 0 0,0 TG Kelas VI , ,3-2 -0,8 Jumlah (Ha) , ,0 22 Sumber : Hasil Analisis

62 Tingkat Kekritisan Lahan di Kabupaten Kulon Progo Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo dapat diperkirakan berdasarkan hasil analisis tingkat kekritisan lahan di kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Tingkat kekritisan lahan diperoleh dengan penjumlahan dari masing-masing kawasan tersebut. Tabel 33 dan Tabel 34 menunjukkan tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo. Tabel 33 Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 1996 Kawasan Tingkat Kekritisan Tahun 1996 Kritis Agak Kritis Pot. Kritis Tidak Kritis Jumlah (Ha) Lindung Budidaya Sempadan Mata Air Sempadan Pantai Sempadan Anak Sungai Sempadan Sungai Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis Tabel 34 Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2009 Kawasan Tingkat Kekritisan Tahun 2009 Kritis Agak Kritis Pot. Kritis Tidak Kritis Jumlah (Ha) Lindung Budidaya Sempadan Mata Air Sempadan Pantai Sempadan Anak Sungai Sempadan Sungai Jumlah (Ha) Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan Tabel 33 dan Tabel 34 menunjukkan bahwa pada tahun 1996 dan 2009, lahan kritis hanya terdapat pada kawasan lindung dan kawasan sempadan anak sungai. Pada lahan agak kritis satu-satunya kawasan yang tidak ada lahan kritis dan agak kritis adalah kawasan sempadan pantai. Lahan agak kritis paling dominan terdapat pada kawasan lindung. Lahan tidak kritis paling dominan terdapat pada kawasan budidaya. Dominasi lahan kritis, agak kritis, dan potensial kritis terdapat pada kawasan lindung sedangkan dominasi lahan tidak kritis terdapat pada kawasan budidaya.

63 Potensi Lahan Kritis terhadap RTRW Kabupaten Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulon Progo ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo Nomor 1 Tahun Rencana tata ruang tersebut membagi wilayah kabupaten menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung merupakan kawasan yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta sejarah bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung berfungsi untuk perlindungan kawasan setempat dan kawasan dibawahnya. Kawasan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan pada kawasan sekitarnya dan kawasan bawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kawasan budidaya merupakan kawasan yang dimanfaatkan secara terarah bagi hidup dan kehidupan manusia. Kawasan budidaya bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang berdaya guna dan berhasil guna dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pengembangan kawasan budidaya meliputi kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan pariwisata, kawasan perdagangan, kawasan industri dan kawasan pertambangan. Gambar 31 menunjukkan RTRW Kabupaten Kulon Progo tahun 2003 sampai 2013.

64 97 Sumber : Bappeda Kabupaten Kulon Progo,2009 Gambar 31 Peta RTRW Kabupaten Kulon Progo Gambar 31 menunjukkan bahwa berdasarkan rencana tata ruang wilayah, Kabupaten Kulon Progo menetapkan enam kawasan rencana penggunaan wilayah. Kawasan yang direncanakan meliputi kawasan industri, kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, kawasan lindung, kawasan perikanan pantai, dan kawasan permukiman. Luas dari masing-masing kawasan dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulon Progo tersaji pada Tabel 35.

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS Kawasan Outbound Training di Kabupaten Kulon Progo 3.1 TINJAUAN KONDISI UMUM KABUPATEN KULON PROGO

BAB III TINJAUAN KHUSUS Kawasan Outbound Training di Kabupaten Kulon Progo 3.1 TINJAUAN KONDISI UMUM KABUPATEN KULON PROGO BAB III TINJAUAN KHUSUS Kawasan Outbound Training di Kabupaten Kulon Progo Kawasan outbound training di Kabupaten Kulon Progo merupakan kawasan pusat di alam terbuka yang bertujuan untuk mewadahi kegiatan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek BAB III TINJAUAN LOKASI 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek 3.1.1 Kondisi Administratif Kabupaten Kulon Progo Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten dari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM KABUPATEN KULONPROGO. Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima kabupaten / kota di

KEADAAN UMUM KABUPATEN KULONPROGO. Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima kabupaten / kota di IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KULONPROGO A. Keadaan Geografis 1. Letak dan keadaan fisik Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima kabupaten / kota di Propinsi D.I. Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. 1. Visi dan Misi Pembangunan Daerah MASYARAKAT KABUPATEN KULON PROGO YANG MAJU,

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. 1. Visi dan Misi Pembangunan Daerah MASYARAKAT KABUPATEN KULON PROGO YANG MAJU, BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Deskripsi Wilayah Kabupaten Kulon Progo 1. Visi dan Misi Pembangunan Daerah a. Visi Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025 disebutkan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibutuhkan secara berkesinambungan, karena merupakan bahan pangan yang

I. PENDAHULUAN. dibutuhkan secara berkesinambungan, karena merupakan bahan pangan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu produk pertanian hortikultura yang banyak diusahakan oleh petani. Hal ini dikarenakan cabai merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI WILAYAH DAERAH PENELITIAN

BAB III DESKRIPSI WILAYAH DAERAH PENELITIAN BAB III DESKRIPSI WILAYAH DAERAH PENELITIAN Dalam bab ini akan dibahas bagaimana letak, batas dan luas daerah penelitian, morfologi daerah penelitian, iklim daerah penelitian, dan keadaan penduduk daerah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Buah naga merupakan buah yang berkhasiat bagi kesehatan. Beberapa khasiat

I. PENDAHULUAN. Buah naga merupakan buah yang berkhasiat bagi kesehatan. Beberapa khasiat xvi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah naga merupakan buah yang berkhasiat bagi kesehatan. Beberapa khasiat buah naga menurut Cahyono (2009) adalah sebagai penyeimbang kadar gula darah, menurunkan dan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN LOKASI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB IV TINJAUAN LOKASI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BAB IV TINJAUAN LOKASI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 4.1. Letak geografis wilayah Yogyakarta 1 Secara geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terletak diantara 7 33-8 15 Lintang Selatan dan 110 5-110 50 Bujur

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN A. PROFIL KABUPATEN KULON PROGO Berdasarkan website resmi Pemerintah Kabupaten Kulon Progo (www.kulonprogo.go.id), profil daerah Kabupaten Kulon Progo yaitu: 1. Kondisi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG 101 GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG Wilayah Pegunungan Kendeng merupakan bagian dari Kabupaten Pati dengan kondisi umum yang tidak terpisahkan dari kondisi Kabupaten Pati. Kondisi wilayah Pegunungan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Banjararum terletak sekitar 26 km dari Puasat Pemerintahan Kabupaten Kulon

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Banjararum terletak sekitar 26 km dari Puasat Pemerintahan Kabupaten Kulon IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Alam 1. Letak geografis dan batas administrasi Desa Banjararum merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 32 BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah Desa Sumberejo terletak di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis, terletak pada 7 32 8 15

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kecamatan Conggeang 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG A. Letak Geografis Wilayah Kecamatan Srumbung terletak di di seputaran kaki gunung Merapi tepatnya di bagian timur wilayah Kabupaten Magelang. Kecamatan Srumbung memiliki

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI BAB I KONDISI FISIK A. GEOGRAFI Kabupaten Lombok Tengah dengan Kota Praya sebagai pusat pemerintahannya merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah selatan DI Yogyakarta merupakan bentangan pantai sepanjang lebih dari 113 km, meliputi wilayah Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH KULON PROGO

BAB III TINJAUAN WILAYAH KULON PROGO BAB III TINJAUAN WILAYAH KULON PROGO III.1 Tinjauan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta Lokasi studi perancangan Sekolah Luar Biasa Tipe G/A-B direncanakan berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tinjauan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di I. PENDAHULUAAN A. Latar Belakang Kabupaten Kulon Progo merupakan bagian dari wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di Barat dan Utara, Samudra

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah provinsi di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang 70 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Tanggamus 1. Keadaan Geografis Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak dan Luas Daerah Penelitian Secara astronomis Kabupaten Bantul terletak antara 07 0 44 04-08 0 00 27 LS dan 110 0 12 34 110 0 31 08 BT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Desa wukirsari merupakan salah satu Desa dari total 4 Desa yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Desa Wukirsari yang berada sekitar

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan 77 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada 104 552-105 102 BT dan 4 102-4 422 LS. Batas-batas wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat secara geografis

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis 33 KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Lokasi Geografis Daerah penelitian terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kecamatan Imogiri berada di sebelah Tenggara dari Ibukota Kabupaten Bantul.

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Desa Gunung Malang merupakan salah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Obyek Kabupaten Kulonprogo dengan ibu kotanya berada di Kota Wates memiliki luas wilayah 598.627.512 ha (586,28 km 2 ), terdiri dari 12 kecamatan 87 desa,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dusun dan terletak di bagian selatan Gunungkidul berbatasan langsung dengan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dusun dan terletak di bagian selatan Gunungkidul berbatasan langsung dengan III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Geografis Tanjungsari adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan ini terdiri dari 5 desa dan

Lebih terperinci

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Kajian Hasil Inventarisasi LP2B Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Sub Direktorat Basis Data Lahan Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2014

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran. 25 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST) terletak di Sub DAS Kali Madiun Hulu. Secara geografis Sub-sub DAS KST berada di antara 7º 48 14,1 8º 05 04,3 LS

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 1. Letak Geografis Kabupaten Kulon Progo. wilayah ini, diharapkan akan lebih mudah memahami tingkah laku dan

BAB IV GAMBARAN UMUM. 1. Letak Geografis Kabupaten Kulon Progo. wilayah ini, diharapkan akan lebih mudah memahami tingkah laku dan BAB IV GAMBARAN UMUM 1. Letak Geografis Kabupaten Kulon Progo Untuk memahami kharakteristik sosial dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Kulon Progo, perlu adanya deskripsi atau gambaran umum tentang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III: DATA DAN ANALISA PERENCANAAN

BAB III: DATA DAN ANALISA PERENCANAAN BAB III: DATA DAN ANALISA PERENCANAAN 3.1 Data Lokasi Gambar 30 Peta Lokasi Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana 62 1) Lokasi tapak berada di Kawasan Candi Prambanan tepatnya di Jalan Taman

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH 2.1. Aspek Geografi dan Demografi 2.1.1. Aspek Geografi Kabupaten Musi Rawas merupakan salah satu Kabupaten dalam Provinsi Sumatera Selatan yang secara geografis terletak

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH. RW, 305 RT dengan luas wilayah ha, jumlah penduduk jiwa.

IV. KEADAAN UMUM DAERAH. RW, 305 RT dengan luas wilayah ha, jumlah penduduk jiwa. 31 IV. KEADAAN UMUM DAERAH A. Letak Geografis Kecamatan Galur merupakan salah satu dari 12 kecamatan di Kabupaten Kulonprogo, terdiri dari 7 desa yaitu Brosot, Kranggan, Banaran, Nomporejo, Karangsewu,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 37 IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang merupakan kawasan hutan produksi yang telah ditetapkan sejak tahun

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan tanah terbuka pada suatu daerah yang dapat menjadi salah satu faktor penentu kualitas lingkungan. Kondisi lahan pada suatu daerah akan mempengaruhi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105. IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 4.1.1. Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.14 sampai dengan 105, 45 Bujur Timur dan 5,15

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH. tenggara dari pusat pemerintahan kabupaten. Kecamatan Berbah berjarak 22 km

GAMBARAN UMUM WILAYAH. tenggara dari pusat pemerintahan kabupaten. Kecamatan Berbah berjarak 22 km IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Kecamatan Berbah 1. Lokasi Kecamatan Berbah Kecamatan Berbah secara administrasi menjadi wilayah bagian dari Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Kecamatan Leuwiliang Penelitian dilakukan di Desa Pasir Honje Kecamatan Leuwiliang dan Desa Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan pertanian

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1. Sejarah Kabupaten Bekasi Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Dasar-Dasar Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27 persen dari luas Propinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Citapen Lokasi penelitian tepatnya berada di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tata Guna Lahan Tata guna lahan merupakan upaya dalam merencanakan penyebaran penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang 43 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Umum Kecamatan Sragi a. Letak Geografis Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada di

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Geografis Secara geografis Kabupaten Tebo terletak diantara titik koordinat 0 52 32-01 54 50 LS dan 101 48 57-101 49 17 BT. Beriklim tropis dengan ketinggian

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009 33 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16 4.1 Keadaan Wilayah Desa Sedari merupakan salah satu desa di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Luas wilayah Desa Sedari adalah 3.899,5 hektar (Ha). Batas

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Wilayah Bodetabek Sumber Daya Lahan Sumber Daya Manusia Jenis tanah Slope Curah Hujan Ketinggian Penggunaan lahan yang telah ada (Land Use Existing) Identifikasi Fisik Identifikasi

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. terkecil lingkup Balai Besar TNBBS berbatasan dengan:

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. terkecil lingkup Balai Besar TNBBS berbatasan dengan: IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Wilayah Sukaraja Atas 1. Letak Geografis dan Luas Berdasarkan administrasi pengelolaan Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Resort Sukaraja Atas sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan kemajuan zaman serta bertambahnya jumlah penduduk dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan kemajuan zaman serta bertambahnya jumlah penduduk dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan zaman serta bertambahnya jumlah penduduk dengan pesat maka permintaan akan barang dan jasa yang berasal dari sumber daya air akan meningkat.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN 3.1. Tinjauan Umum Kota Yogyakarta Sleman Provinsi Derah Istimewa Yogyakarta berada di tengah pulau Jawa bagian selatan dengan jumlah penduduk 3.264.942 jiwa,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci